BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang pada tahap awal belum memberikan gejala-gejala yang diketahui (asymtomatic disease). Osteoporosis baru diketahui ada apabila secara tidak sengaja si penderita mengalami patah tulang tertentu hanya dengan kecelakaan yang ringan saja.1,2,10 Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemis dimana tulang mengalami kehilangan massa tulang dan kerusakan konstruksi trabekula tulang, sehingga kortex
menjadi
lebih
tipis
dan
medula
lebih
spongius
atau
berongga.
Konsekuensinya tulang menjadi lebih rapuh dan mudah patah.3,4,10 Osteoporosis tidak hanya masalah pada wanita. Osteoporosis terjadi pada 75 juta orang di Amerika, Eropa, dan Jepang, termasuk sepertiganya adalah wanita postmenopause.4 Di Amerika Serikat, 44 juta orang yang berusia 50 tahun atau lebih, termasuk 14 juta laki-laki, memiliki massa tulang yang rendah atau osteoporosis5,6,7. Tujuan dari pencegahan dan terapi osteoporosis adalah untuk mencegah terjadinya fraktur. Bila dilihat dari segi usia, insiden terjadinya fraktur panggul, vertebra dan pergelangan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia, dan insidens terjadinya fraktur pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Wanita kulit putih usia 85 tahun, mempunyai insiden fraktur panggul sebesar 3% per tahun. Resiko fraktur pada osteoporosis pada umur 50 tahun di Inggris diperkirakan sekitar 14% untuk fraktur panggul, 11 % untuk vertebra, dan 13% untuk tulang
Universitas Sumatera Utara
radius. Koresponden di Amerika Utara menyatakan resiko fraktur pada wanita lebih tinggi 17,5%, 15.6% dan 16%. Diperkirakan insidens terjadinya fraktur panggul pertahun di Inggris sebesar 60.000, fraktur tulang sekitar 50.000, dan fraktur vertebra yang didiagnosis secara klinis sebesar 40.000. Walaupun demikian, insiden sebenarnya untuk fraktur vertebra lebih tinggi dari pada data sebenarnya, dimana lebih dari dua per tiga dan kemungkinan sebanyak 85%, tidak mendapatkan perhatian secara medis.8,9 Di Indonesia, data nasional belum ada namun meningkatnya kelompok usia lanjut yang akan mencapai sekitar 16 juta dalam abad ini, dengan sendirinya penderita osteoporosis akan semakin banyak dan dengan demikian penderita patah tulang akan meningkat dan merupakan masalah kesehatan di masa mendatang.6,8,9 Menopause
berdasarkan
rekomendasi
WHO
tahun
1981
dan
telah
diperbaharui kembali oleh Technical Working Party WHO tahun 1994 didefinisikan sebagai : penghentian permanen siklus haid pada wanita yang disebabkan oleh pengurangan aktifitas folikel ovarium. Diagnosa berdasarkan pemantauan selama amenorea 12 bulan berturut-turut dan tidak terdapat penyebab lainnya, patologis atau psikologis.5,7 Postmenopause dimulai 5 tahun setelah menopause, sedangkan pramenopause terjadi 4-5 tahun sebelum masa menopause. 10,11,15 Hormon estrogen dalam kadar normal akan memicu aktifitas osteoblas dalam formasi tulang untuk membentuk kolagen. Kadar estrogen yang sangat rendah dapat menghambat kerja osteoblas dan akan meningkatkan kerja osteoklas sehingga remodeling tulang tidak seimbang dan lebih banyak ke proses resorpsi tulang (osteoklas lebih aktif dari osteoblas) sehingga ancaman terjadinya osteopenia
Universitas Sumatera Utara
sampai osteoporosis. Kehilangan massa tulang pada awal menopause sekitar 10% dan berkelanjutan sekitar 2-5% pertahun.10,12 Penurunan hormon estrogen merupakan penyebab lebih cepat terjadinya osteporosis primer pada wanita postmenopause. Osteoporosis biasanya terjadi pada usia 55-70 tahun dan sering menyebabkan kolaps tulang belakang, tinggi badan berkurang karena bengkok, fraktur tulang panggul dan pangkal pergelangan tangan. Saat ini dinyatakan bahwa osteoporosis merupakan penyakit endemik manusia usia lanjut.10,12,13 Pada tahun 1990, populasi wanita menopause di seluruh dunia dilaporkan mencapai jumlah 476 juta jiwa, 40% di antaranya berada di negara industri. Diperkirakan jumlah populasi wanita menopause pada tahun 2030 sebanyak 1.200 juta dengan distribusi di negara berkembang sebesar 76%. Data yang didapatkan dari daerah Asia Tenggara juga menunjukkan fenomena serupa. Umur di negara barat seperti populasi wanita menopause Amerika Serikat dan United Kingdom adalah 51,4 dan 50,9 tahun. Untuk negara Asia, ternyata didapatkan nilai yang tidak jauh berbeda. Sebuah studi yang dilakukan pada 7 negara Asia Tenggara memperlihatkan usia median terjadinya menopause yaitu 51,9 tahun. Untuk Indonesia sendiri, laporan tahun 1990 menyebutkan terjadi menopause pada usia 50 tahun. Studi yang diadakan di Malaysia terhadap 3 jenis etnik yaitu Melayu, Cina dan India, menyebutkan bahwa menopause terjadi pada usia 50,7 tahun.13,14 Tahapan menopause atau klimakterium adalah tahap awal penurunan fungsi ovarium, yang ditandai dengan menstruasi yang tidak teratur dengan dijumpai gejala vasomotor.
Sebuah
kepustakaan
menyebutkan
bahwa
masa
klimakterium
berlangsung selama 30 tahun (usia 35-65 tahun), dan dibagi menjadi 3 bagian untuk
Universitas Sumatera Utara
kepentingan klinis, yaitu: Klimakterium awal (35-45 tahun) pada masa ini mulai terjadi keluhan gangguan haid oleh karena kadar esterogen mulai rendah, masa perimenopause (46-55 tahun) terbagi pada tahap pramenopause (umur 45-50), menopause (umur 50 tahun), postmenopause (umur > 55 tahun) pada masa ini sudah dijumpai keluhan klinis defisiensi estrogen pada vasomotor, flour albus, dispareunia, osteopenia, dan osteoporosis, Klimakterium akhir ( 56-65 tahun) pada masa ini didapati kadar estrogen yang sangat rendah sampai tidak ada. Dengan ancaman
masalah
jantung,
aterotrombosis,
serta
fraktur
oleh
karena
osteoporosis.3,11,10,15 Pemeriksaan radiologi konvensional mempunyai peran yang kecil dalam menegakkan diagnosis osteoporosis. Hal ini dikarenakan pemeriksaan rontgen konvensional tidak dapat menentukan derajat bone loss. Osteoporosis dan juga kelainan tulang, baru diketahui pada pemeriksaan rontgen apabila massa tulang telah berkurang lebih dari 30%.4,16,17 Untuk menilai densitas dari tulang dilakukan pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD), salah satunya dengan Alat Ultrasound Densitometry atau Quantitative Ultrasound (QUS), yang memiliki potensial untuk mengukur struktur tulang menggunakan gelombang suara dengan nilai dalam T-score.16,17 Alat sonografi pada densitometri ini tidak berbeda prinsip kerjanya dengan alat USG yang biasa kita kenal dan kita pakai pada pemeriksaan abdomen obstetric. AEU menggunakan frekwensi gelombang suara yang sekitar 0,2 sampai 0,5 MHz (bandingkan dengan USG yang biasa dipakai untuk pemeriksaan abdomen atau obstetri, yaitu 3,5 MHz dan untuk payudara sekitar 5-7,5 MHz), berarti panjang gelombang makin panjang dan daya tembus makin dalam.16,17
Universitas Sumatera Utara
Bila hasil T-score lebih dari -1 SD dikategorikan normal, antara -1 sampai -2,5 SD disebut osteopenia, dan di bawah -2,5 SD disebut osteoporosis.17 Dayeng A.N, dalam penelitiannya “Diagnosa osteoporosis pada wanita menopause
dengan
mempergunakan
Achilles
Express
Ultrasonometer”
menyimpulkan bahwa Alat Achilles Express Ultrasonometer dapat dipakai sebagi screening awal untuk mendiagnosa osteoporosis dan untuk memonitoring hasil-hasil terapi serta memiliki beberapa kelebihan antara lain selain harga terjangkau, mudah dalam penggunaannya dan juga memiliki ketetapan pemeriksaan osteoporosis. Penggunaan USG densitometri ini baru diakui oleh FDA pada tahun 1998 yang berarti layak pakai sebagai alat pemeriksaan osteoporosis. Dibandingkan dengan QCT, alat ini jauh lebih praktis, karena tampilan alat yang portable dan biaya pemeriksaan yang lebih murah. Pemakaian paparan radiasi yang rendah densitometer sebagai alat pemeriksaan untuk mendeteksi osteoporosis.16,17 Di Amerika pemakaian alat densitometer untuk mendeteksi osteoporosis baru direkomendasikan untuk kaum wanita, karena osteoporosis jarang ditemukan pada kaum pria.17
1.2. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian masalah dalam latar belakang tersebut, Mengingat kejadian kasus osteoporosis pada wanita sangat besar maka dalam penegakan diagnosis osteoporosis dilakukan pemeriksaan densitas mineral dengan Quantitative Ultrasonografi (QUS). Pemeriksaan nilai densitas mineral tulang dengan Quantitative Ultrasonografi (QUS) jauh lebih praktis, karena tampilan alat yang portable dan
Universitas Sumatera Utara
biaya pemeriksaan yang lebih murah. Untuk itu, peneliti membandingkan nilai densitas mineral tulang wanita pada masa klimakterium yang dibagi atas 3 yaitu, klimakterium awal (35-45 tahun), Masa perimenopause (46-55 tahun), dan klimakterium akhir (56-65 tahun. 1.3. HIPOTESA PENELITIAN Adanya hubungan berbanding terbalik antara usia dengan densitas mineral tulang, yang mana semakin tinggi usia semakin kecil nilai densitas mineral tulang. 1.4. TUJUAN PENELITIAN Umum : Untuk mengetahui apakah ada terjadi penurunan nilai densitas mineral tulang wanita pada masa klimakterium sesuai dengan bertambahnya usia seorang wanita. Khusus : 1.
Untuk mengetahui nilai densitas mineral tulang pada wanita masa klimakterium awal (35-45 tahun), perimenopause (46-55 tahun), masa klimakterium akhir (56-65 tahun).
2.
Untuk mengetahui perbedaan nilai densitas mineral tulang pada wanita masa klimakterium.
3.
Untuk mengetahui hubungan antara nilai densitas mineral tulang pada wanita dengan Indek Masa Tubuh (IMT).
Universitas Sumatera Utara
1.5. MANFAAT PENELITIAN Agar dapat alat Quantitative Ultrasonografi (QUS) digunakan sebagai skrening awal dalam menegakkan diagnosa dini osteoporosis pada masa klimakterium seorang wanita.
Universitas Sumatera Utara