BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Fraktur atau patah tulang merupakan salah satu penyakit muskuloskeletal
(penyakit pada tulang dan jaringan otot) yang tidak menular dan menjadi penyebab kematian penduduk di dunia. Secara global ditemukan 9 juta kasus fraktur tulang tiap tahunnya. WHO mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik (Johnel dan Kanis, 2006). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013 melakukan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menemukan kasus patah tulang sebesar 5,8% yang disebabkan oleh trauma benda tajam (7,7%), kecelakaan lalu lintas (56,7%), dan terjatuh (3,7%) dengan kasus tertinggi terdapat di provinsi Papua dan terendah terdapat di provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kerusakan tulang menyebabkan terputusnya kontiunitas tulang sehingga dibutuhkan penanganan lebih lanjut demi mengembalikan sifat fungsionalnya. Penanganan berbagai kasus fraktur selama ini sebagian besar masih menggunakan bone graft alami. Allograft (berasal dari pendonor), xenograft (tulang yang diawetkan) dan autograft (berasal dari tulang trabekular pasien) merupakan alternatif pengganti tulang akan tetapi menimbulkan efek imunologik kecuali autograft karena berasal dari tubuh sendiri. Meskipun demikian, autograft memiliki keterbatasan dalam penyuplaian jumlah terutama pada kasus defek yang besar. 1
2
Karena keterbatasan tersebut, dalam tiga dekade terakhir para peneliti mengembangkan metode rekayasa jaringan (Vacanti et al,. 2000). Teknik rekayasa jaringan menjadi solusi dalam perbaikan atau regenerasi jaringan dan organ sehingga kembali fungsional tanpa intervensi tindakan operasi berlebihan. Untuk kembali fungsional, teknik rekayasa jaringan harus menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan perlekatan dan pertumbuhan sel-sel pada daerah defek. Osteoblas dan fibroblas merupakan dua jenis sel yang paling banyak digunakan dalam rekontruksi jaringan yang mengalami defek. Osteoblas berperan dalam pembentukan tulang yang merupakan suatu kaskade diferensiasi osteogenik. Diferensiasi osteogenik terdiri dari tiga periode biologik, yaitu proliferasi selular, maturasi selular, dan mineralisasi matriks. Secara umum, osteoblas merupakan sel tulang yang imatur dan menyekresi matriks osteoid yang mengkalsifikasi matriks ekstraselular yang terdiri dari kolagen dan glikoprotein (www.bioceramics.uni-bremen.de). Matriks ektraseluler (ECM = extracellular matrix) secara spesifik disintesis oleh sel fibroblas yang memiliki peranan penting dalam rekayasa jaringan (tissue engineering) karena selain mensintesis ECM, fibroblas juga bertanggung jawab dalam biosintesis dan organisasi kolagen, kerangka struktural (stroma), dan penyembuhan luka. Selain berfungsi sebagai template kerja osteoblas, ECM juga berperan dalam penyediaan kekuatan mekanik dan sebagai sebuah kerangka kerja bagi sel lain dan jaringan dalam tubuh (Sangmyung, 2009). Hal ini berarti, ekstraseluler matriks yang disekresi fibroblas merupakan faktor utama dan pertama dalam perbaikan tulang. Rekonstruksi jaringan dalam prosesnya, dibutuhkan tidak hanya sel reparator tetapi
3
juga kerangka yang memfasilitasi perlekatan dan pertumbuhan sel yang dikenal sebagai scaffold. Scaffold adalah struktur padat tiga dimensi (3D) berpori yang memiliki peranan dalam mendukung regenerasi jaringan (Brahatheeswaran et al., 2008). Ukuran scaffold dapat didesain sesuai dengan ukuran tulang yang mengalami fraktur. Tujuan utama dari desain sebuah scaffold adalah memproduksi scaffold ideal yang dapat menggantikans matriks ekstraseluler hingga sel fibroblas induk repopulasi dan mensintesis matriks baru. Scaffolds rekayasa jaringan yang ideal harus memenuhi beberapa persyaratan struktural, yaitu mudah dalam pabrikasi, biodegradabel, bioaktif, karakteristik kimia permukaan yang baik, biokompatibel, berkekuatan mekanik yang tinggi, dan berpori (Mandal et al., 2008). Perolehan scaffold ideal diharapkan mampu digunakan secara klinis dan menjadi solusi perbaikan jaringan rusak. Tabel 1.1 menunjukkan hasil studi klinikal aplikasi scaffold dalam rekayasa jaringan (Chatterjea et al., 2010). Pemilihan material yang tepat menjadi perhatian utama sebelum memproduksi scaffold karena menjadi penentu sifat-sifat scaffold ideal terutama perlekatan sel. Perlekatan sel sangat penting sebagai tahap awal yang dapat mempengaruhi kemampuan sel untuk berproliferasi dan berdiferensiasi sehingga mendukung regenerasi jaringan baru. Faktor lain yang ikut mempengaruhi pertimbangan pemilihan material adalah biaya produksi dan mudah diperoleh bahan mentahnya sehingga material yang dipilih harus lebih murah dan terjangkau.
4
Tabel 1.1 Studi klinikal aplikasi scaffold rekayasa jaringan (Chatterjea et al., 2010) Peneliti Scaffold Pasien Area Laporan Rekonstruksi R. Quarto HA 3 Tibia, ulna, Scaffold berintegrasi (2001) 100% humerus dengan tulang asli Y. Soleymani (2007)
HA/TCP
6
Sinus maksila
Berhasil dengan rata-rata regenerasi tulang 41,34% dan berosseointegrasi
H. KrecicStres (2007)
Trifosfat kalsium berpori
1
Femoral
Good clinical recovery
K. Mesimaki (2009)
β - TCP
1
Rekonstruksi maksila
Pengecekan bulan-8 mengindikasi kehadiran tulang dewasa
Jun Lee (2010)
Freeze dried tulang konselus autolog
1
Rekonstruksi mandibula
Pembentukan tulang baru setelah 4 bulan, Good clinical recovery
Kekayaan sumber daya alam Indonesia menyediakan berbagai hasil alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber material bahan scaffold. Serisin, protein alami yang terdapat pada kepompong ulat sutra, telah menjadi objek penelitian dalam aplikasinya sebagai biomaterial. Pabrik industri kain sutra biasanya memisahkan serisin dari serat fibroin kemudian dibuang menjadi limbah. Larutan limbah serisin yang mengandung BOD (Biological Oxygen Demand) yang tinggi (4840 mg/l), COD (Chemical Oxygen Demand) (8870 mg/l) dan nitrogen (11%) dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang sangat besar (Vaithanomsat dan Kitpreechavanich, 2008). Isolasi serisin dapat dilakukan melalui teknik degumming dan teknik ini dapat dikembangkan untuk mencegah permasalahan lingkungan serta
5
meminimalisir limbah (Moore dan Ausley, 2004). Serisin sangat hidrofilik dan memiliki gugus polar yang sangat kuat seperti hidroksil, karboksil dan grup amino yang dapat memudahkan cross-linking, kopolimerisasi dan menyatu dengan dengan polimer lain untuk memproduksi material biodegradabel dengan properti yang lebih baik (Cho et al., 2003; Ahn et al., 2001; Nagura et al., 2001). Rekayasa perbaikan jaringan tulang (bone tissue engineering) dalam pelaksanaannya, selain penggunaan serisin sebagai substansi pemancing sel (fibroblas), penggunaan material berbasis kalsium fosfat juga menjadi pilihan untuk mendukung regenerasi
tulang. Diantara banyaknya material berbasis kalsium
fosfat, hidroksiapatit merupakan material biokeramik yang sering digunakan dalam aplikasi ortopedi karena kemiripannya dengan tulang asli. Hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2) merupakan mineral alami dari senyawa apatit kalsium fosfat yang sangat biokompatibel, osteokonduktif, bioaktif dan telah banyak digunakan dalam rekayasa jaringan karena kesamaan struktur kimianya dengan matriks inorganik tulang asli (Fathi et al., 2008; Woodard et al., 2007). Menurut Fujishiro et al (2005), HA banyak digunakan sebagai bahan pengganti (subtitution) dalam pencangkokan tulang. Kombinasi antara serisin/HA sebagai material scaffold masih memiliki kekurangan karena lemahnya struktur serisin dan sulit untuk dipabrikasi (Mandal et al., 2009) serta sifat HA yang getas (brittle) sehingga mudah patah. Oleh karena itu polimer ditambahkan untuk meningkatkan sifat mekanik scaffold. Starch bioplastic menjadi pilihan diantara sekian banyak polimer yang tersedia karena merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, tidak
6
beracun, rendahnya biaya produksi, dan dapat didegradasi (Yew et al., 2005). Selain itu, melimpahnya ubi kayu sebagai salah satu komoditi Indonesia dapat mengantisipasi kekurangan penyediaan bahan mentah serta meningkatkan nilai ekonominya selain sebagai bahan makanan. Serisin telah diketahui dapat meningkatkan perlekatan dan pertumbuhan sel dan tidak bersifat toksik secara independen namun perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat sitotoksisitasnya ketika dicampur dengan material lain (HA dan bP) dalam berbagai konsentrasi. Selain itu, belum ada data mengenai penggunaan kombinasi serisin, HA, dan bioplastik dari tepung tapioka sebagai material scaffold komposit untuk meningkatkan implantasi fibroblas. Aplikasi scaffold komposit akan mengakibatkan membran serisin-HA-starch bioplastic (SS/HA/bP) bersinggungan langsung dengan sel-sel lain pada jaringan yang mengalami kerusakan, terutama sel fibroblas. Oleh karena itu, dalam penelitian dilakukan uji in vitro untuk melihat sitotoksisitas scaffold biokomposit SS/HA/bP terhadap sel fibroblas dan perlekatan sel fibroblas pada scaffold tersebut. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, permasalahan penelitian ini adalah:
1.2.1 Apakah terdapat pengaruh konsentrasi serisin pada scaffold biokomposit serisin-hidroksiapatit-starch bioplastic terhadap viabilitas sel fibroblas? 1.2.2 Apakah terdapat pengaruh konsentrasi serisin pada scaffold biokomposit serisin-hidroksiapatit-starch bioplastic terhadap perlekatan sel fibroblas?
7
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah mengkaji pengaruh konsentrasi serisin pada
scaffold biokomposit serisin-hidroksiapatit-starch bioplastic terhadap viabilitas dan perlekatan sel fibroblas. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Perguruan Tinggi Penelitian ini dijadikan salah satu penelitian untuk mewujudkan Universitas Gadjah Mada sebagai universitas riset. 1.4.2 Bagi Bidang Ilmu Material Ortopedi Penelitian ini menjadi salah satu rujukan untuk pengembangan material dalam mendesain kerangka tiga dimensi (3D) matriks ekstraseluler untuk pertumbuhan sel tulang. 1.4.3 Pihak Masyarakat Hasil penelitian dapat memberikan manfaat kepada masyarakat untuk memaksimalkan kokon ulat sutera dalam bidang lain selain sebagai sebagai bahan sandang (sutera). Penelitian ini juga diharapkan menghasilkan scaffold yang efisien sehingga harganya terjangkau bagi pasien yang mengalami patah tulang. 1.4.4 Bagi Peneliti Kajian penelitian ini mengembangkan wawasan peneliti lebih jauh dalam bidang material tulang serta meningkatkan minat baik dalam melakukan pengembangan dari penelitian ini atau melakukan penelitian lainnya dalam bidang yang sama.