BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Osteomielitis Kronik
2.1.1. Definisi Osteomielitis adalah infeksi pada tulang. Berasal dari kata osteon (tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi dengan itis (inflamasi) untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang terinfeksi oleh mikroorganisme (Madder dkk, 1997, Lazzarini dkk, 2004). Osteomielitis kronis didefinisikan sebagai osteomielitis dengan gejala lebih dari 1 bulan (Dormans & Drummond, 1994). Osteomielitis kronis dapat juga didefinisikan sebagai tulang mati yang terinfeksi didalam jaringan lunak yang tidak sehat (Cierny & Madder, 2003). Gambaran patologi dari osteomielitis kronis adalah adanya tulang mati, pembentukan tulang baru, dan eksudat dari leukosit polymorphonuclear bersama dengan jumlah besar dari limfosit, histiosit, dan juga sel plasma (Lazzarini dkk, 2004). Pada osteomielitis kronis dapat terjadi episode infeksi klinis yang berulang (Spiegel & Penny, 2005). Tulang tibia merupakan tempat paling sering terjadinya infected nonunion dan osteomielitis kronis setelah trauma (Patzakis dkk, 2005)
1
2
2.1.2. Etiologi Penyebab osteomielitis kronis multifaktor. Adanya kondisi avaskuler dan iskemik pada daerah infeksi dan pembentukan sequestrum pada daerah dengan tekanan oksigen rendah sehingga tidak bisa dicapai oleh antibiotik. Rendahnya tekanan oksigen mengurangi efektivitas bakterisidal dari polymorpholeukocytes dan juga merubah infeksi aerobik menjadi anaerob (Wirganowicz, 1999). Penyebab tersering osteomielitis termasuk patah tulang terbuka, penyebaran bakteri secara hematogen, dan prosedur pembedahan orthopaedi yang mengalami komplikasi infeksi (DeCoster dkk, 2008). Organisme utama penyebab infeksi adalah Staphylococcus aureus, organisme ini ditemukan baik sendiri maupun kombinasi dengan patogen yang lain pada 65% hingga 70% pasien. Pseudomonas aeruginosa, penyebab tersering kedua, ditemukan pada 20% hingga 37% pasien. Osteomielitis biasanya terdapat lebih dari satu organisme pada 32% hingga 70% pasien. Atypical mycobacteria atau jamur dapat menjadi patogen pada pasien dengan immunocompromised.
Adanya
implant
dapat
mendukung
terjadinya
perlengketan mikroba dan pembentukan biofilm, dan dapat mengganggu proses fagositosis sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Menghilangkan biofilm dengan cara mengeluarkan implant dan debridemen jaringan mati diperlukan dalam pengobatan infeksi yang sukses Salomon dkk, 2010).
(Patzakis dkk, 2005,
3
Zat-zat yang diproduksi oleh biofilm Staphylococcus aureus dapat memberikan konstribusi terhadap kehilangan tulang selama osteomielitis kronis dengan cara menurunkan viabilitas osteoblas dan potensi osteogenik sehingga membatasi pertumbuhan tulang baru dan meningkatkan resorpsi tulang dengan cara peningkatan ekspresi RANK-L oleh osteoblas (Sanchez dkk, 2013).
2.1.3. Patofisiologi Terdapat tiga mekanisme dasar terjadinya osteomielitis. Osteomielitis hematogen biasanya terjadi pada tulang panjang anak-anak, jarang pada orang dewasa, kecuali bila melibatkan tulang belakang. Osteomielitis dari insufisiensi vaskuler sering terjadi pada diabetes melitus. Contiguous osteomielitis paling sering terjadi setelah terjadi cedera pada ekstremitas. Berbeda dari osteomielitis hematogen, kedua yang terakhir biasanya dengan infeksi polimikroba, sering Staphylococcus aureus bercampur dengan patogen lain (Swiontkowski dkk, 1999). Infected nonunion dan osteomielitis post trauma disebabkan oleh karena kontaminasi mikroba setelah suatu patah tulang terbuka atau pembedahan pada patah tulang tertutup. Pembentukan biofilm merupakan kunci dari perkembangan infeksi. Biofilm merupakan suatu kumpulan koloni
4
mikroba yang ditutupi matriks polisakarida ekstraseluler (glycocalyx) yang melekat pada permukaan implan atau tulang mati (Patzakis dkk, 2005). Fokus primer dari osteomielitis akut pada anak-anak terdapat pada metafise. Bila tidak ditangani, terjadi peningkatan tekanan intramedula dan eksudat menyebar melalui korteks metafise yang tipis menjadi abses subperiosteal. Abses subperiosteal dapat menyebar dan mengangkat periosteum sepanjang diafise. Nekrosis tulang terjadi karena kehilangan aliran darah akibat dari peningkatan tekanan intramedulari dan kehilangan suplai darah dari periosteal. Bagian yang avaskular dari tulang yang dikenal sebagai sequestrum, dan seluruh panjang dari tulang dapat menjadi sequestrum. Fragmen ini menjadi tempat berkumpulnya mikroorganisme dan dapat terjadi episode infeksi klinis yang berulang. Abses dapat keluar melalui kulit, membentuk sinus. Respon pasien dibentuk oleh periosteum sebagai usaha memagari atau menyerap fragmen ini dan mengembalikan stabilitas, disebut involucrum (Song dkk, 2001, Spiegel & Penny, 2005, Salomon dkk, 2010). Infeksi bakteri ke tulang dapat terjadi karena inokulasi langsung, penyebaran hematogen atau invasi lokal dari tempat infeksi lain. Fisis yang avaskuler membatasi penyebaran infeksi ke epifise kecuali pada neonatus dan bayi. Pembuluh darah menyebrang fisis hingga umur 15 hingga 18 bulan, berpotensi terjadinya septic arthritis. Hal ini dapat terjadi sekitar 75% dari kasus osteomielitis neonatus (Song dkk, 2001).
5
Bakteri dapat muncul dalam bentuk biofilm atau planktonik. Biofilm memberikan proteksi, kerangka, yang dapat memfasilitasi aktivitas metabolik dan bahkan komunikasi antara anggotanya. Pada bentuk planktonik, tidak terdapat struktur organisasi antara sel-sel, demikian juga tidak terbentuk lapisan kimia. Bakteri dalam bentuk planktonik memudahkan penyebaran infeksi ke tempat lain (bacteremia atau sepsis); namun lebih rentan diserang oleh sistem imun atau antibiotik (Arnold, 2013). Setelah terinfeksi, osteomielitis melunakan tulang secara progresif dan terjadi nekrosis tulang sehingga terbentuknya sequestrum. Pada stadium ini, debridemen dengan pembedahan menjadi pilihan terapi. Adanya implant pada lokasi infeksi dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat pengobatan yang sukses (Eid & Berbari, 2012). 2.1.4. Klasifikasi Klasifikasi oleh Cierny-Mader berdasarkan pada karakteristik anatomi dari tulang dan fisiologi dari inang. Debridemen osteomielitis ditentukan dari evaluasi karakteristik anatomi. Dengan memperhatikan karakteristik fisiologi baik lokal maupun sistemik, dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah. Optimalisasi kondisi pasien sebelum operasi dan hindari prosedur rekonstruksi kompleks pada pasien yang bermasalah (Cierny dkk, 2003). Terdapat empat tipe anatomi dari osteomielitis: medula, superfisial, lokal dan difus (Tabel 2.1). Osteomielitis medula (type I) melibatkan
6
permukaan intramedula. Osteomielitis superfisial (type II) melibatkan permukaan tulang. Ini disebabkan oleh infeksi langsung ketika permukaan tulang berdekatan dengan luka jaringan lunak. Osteomielitis lokal (type III) melibatkan seluruh tebal korteks dan menyebar ke kanal intramedula, namun pengeluaran sequestrum dengan pembedahan tidak mempengaruhi stabilitas tulang. Osteomielitis difus (type IV) melibatkan tulang secara melingkar, membutuhkan reseksi tulang dan stabilisasi. Instabilitas pada osteomielitis difus, dapat terjadi baik sebelum maupun sesudah debridemen. Infected nonunions, yang melibatkan osteomielitis difus, memberikan tantangan paling besar (Cierny dkk, 2003). Status fisiologi dari pasien dibagi menjadi tipe A, B, atau C berdasarkan adanya faktor lokal dan sistemik, yang memberikan peran besar pada hasil akibat dari interaksi mikroorganisme dan inang. Tipe A mempunyai sistem pertahanan yang baik, vaskularisasi lokal yang baik dan respon fisiologi yang normal terhadap infeksi dan pembedahan. Tipe B dibagi menjadi masalah sistemik, lokal dan kombinasi dalam penyembuhan luka dan respon terhadap infeksi. Faktor sistemik, seperti penyakit ginjal stadium akhir, keganasan, diabetes mellitus, penggunaan alkohol, malnutrisi, penyakit reumatologi
atau
status
immunocompromised
(infeksi
HIV,
terapi
imunosupresif), dapat mengurangi kemampuan sistem imun. Defisiensi lokal dapat disebabkan oleh penyakit arteri, stasis vena, radiasi, bekas luka, atau
7
merokok yang dapat mengurangi vaskularisasi (Tabel 2.2). Cedera awal dan pembedahan yang menyertai sering berakhir dengan fragmen tulang yang avaskuler dan bekas luka pada jaringan diatasnya. Pada inang tipe C, faktor lokal dan sistemik begitu beratnya sehingga bahaya dari terapi melebihi penyakit itu sendiri (Cierny dkk, 2003).
8
Tabel 2.1. Klasifikasi Osteomielitis Kronis Menurut Cierny-Mader (Cierny III dkk, 2003) Tipe Anatomi Tipe I
Osteomielitis Medula
Tipe II
Osteomielitis Superfisial
Tipe III
Osteomielitis Lokal
Tipe IV
Osteomielitis Difus
Kelas Fisiologi Host – A
Sistem imun baik
Host – B
Sistem imum terganggu baik lokal (BL) atau sistemik (BS)
Host – C
Membutuhkan supresif atau tidak ada terapi,
terapi
penyakitnya, pembedahan.
lebih bukan
buruk
dari
kandidat
9
Gambar 2.1. Klasifikasi anatomi dari osteomielitis kronis menurut Cierny-Mader (Cierny III dkk, 2003)
Tabel 2.2. Faktor sistemik atau lokal yang mempengaruhi imun, metabolisme dan vaskularisasi lokal (Cierny III dkk, 2003) Sistemik
Lokal
Malnutrisi
Limfedema kronik
Gagal hati, gagal ginjal
Stasis vena
Penyalahgunaan alkohol
Gangguan
pembuluh
utama Defisiensi imun
Arteritis
Hipoksia kronis
Bekas luka yang luas
Keganasan
Fibrosis akibat radiasi
Diabetes mellitus
darah
10
Umur tua Terapi steroid Penyalahgunaan tembakau
2.1.5. Manifestasi Klinis Pasien dapat menderita nyeri pada daerah yang terkena, eritema, bengkak dan terdapat sinus. Demam biasanya tidak ditemukan pada osteomielitis kronis (Patzakis dkk, 2005, Salomon dkk, 2010). Oleh karena infeksi biasanya tenang, diperlukan kecurigaan yang tinggi dalam diagnosis, terutama pada pasien dengan atrophic nonunion setelah patah tulang terbuka atau fiksasi internal dari patah tulang tertutup. Pada sekitar 0.2% hingga 1.6% pasien, sinus yang kronik dapat berakhir pada metaplasia pada epitel traktus sinus, tranformasi ganas dan pembentukan squamous cell carcinoma (Marjolin’s ulcer) (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk, 2005, Steinrücken dkk, 2012). Osteomielitis multifokal kronis merupakan kondisi yang jarang dengan penyebab yang belum diketahui. Gambaran klinis berupa lemas yang memberat, nyeri lokal dan nyeri tekan pada tempat infeksi. Lesi tulang dapat muncul berurutan dengan lokasi predominan pada metafise tulang panjang, dapat juga melibatkan bagian medial clavicula, korpus vertebra atau sendi sacroiliakus. Lesi tulang sering berulang dan dapat simetris (Carr, 1993).
11
2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan tanda dari proses inflamasi, baik disebabkan oleh infeksi maupun tidak. Keduanya dapat meningkat sekitar 64% pada pasien osteomielitis kronis. Hitung sel darah putih (WBC) sering normal pada sebagian besar pasien dengan osteomielitis kronik atau infected nonunion. Pemeriksaan x-ray dapat menunjukan daerah yang mencurigakan terhadap infeksi, berupa resorpsi tulang, sequestrum, pembentukan tulang baru pada periosteal atau endosteal dan iregularitas korteks. Gambaran sequestrum pada x-ray dapat dilihat pada gambar 2.2.(A). CT scan menjelaskan tulang lebih detail, adanya sequestrum dan perubahan kecil seperti erosi atau kerusakan korteks, reaksi periosteal atau endosteal, dan fistula intraoseus. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dipercaya untuk mendeteksi perubahan pada sum-sum tulang akibat dari infeksi. Ini merupakan modalitas dengan sensitivitas tinggi untuk menilai pasien dengan osteomielitis. Peningkatan cairan sekunder karena edema atau hyperemia menunjukan penurunan sinyal sum-sum tulang pada T1, dan peningkatan sinyal pada T2. Erdman dkk menggunakan MRI untuk mengevaluasi 110 pasien yang dicurigai menderita osteomielitis dan mendapatkan sensitivitas sebesar 98% dan spesifisitas sebesar 75% (Patzakis dkk, 2005).
12
Gambar 2.2. Osteomielitis kronis tulang tibia. (A). Tampak pada x-ray sdh terbentuk involucrum. (B). Bagian tulang sudah avaskuler. (C). Bagian tulang sangat mudah di angkat (Spiegel & Penny, 2005)
Standar baku untuk diagnosis infeksi yaitu mengisolasi patogen dari kultur. Pengecatan Gram dapat juga membantu. Pemberian antibiotik sebelumnya atau penanganan yang salah saat mengambil spesimen dapat mengganggu pertumbuhan kuman. Kultur yang diambil dari swab luka dan biopsi dengan jarum pada tempat infeksi tidak cukup untuk menentukan patogen. Perry dkk melaporkan bahwa swab luka dan biopsi jarum mengidentifikasi patogen yang sama dengan pada spesimen saat debridemen sebesar 62% dan 55% dari pasien, secara berurutan (Patzakis dkk, 2005). 2.1.7. Terapi Tahap pertama penanganan osteomielitis kronis adalah membuat diagnosis. Karena diferensial diagnosis pada pemeriksaan radiologi termasuk neoplasma, sering diperlukan biopsi. Setelah menegakkan diagnosis,
13
penanganan osteomielitis kronis adalah pembedahan. Sangat penting untuk memperbaiki status fisiologi inang melalui nutrisi yang baik, koreksi anemia, dan terapi infeksi lain yang ada (Spiegel & Penny, 2005). Manajemen osteomielitis dan infected nonunions termasuk kontrol infeksi dengan debridemen dan antibiotik, stabilisasi fraktur, penanganan defek dengan tujuan memperoleh union tulang yang aseptik. Penyelamatan ekstremitas pada osteomielitis kronis yang difus terdiri dari debridemen, stabilisasi tulang, pemberian antibiotik sistemik dan lokal, penutupan jaringan lunak, dan manajemen patah tulang yang belum union serta defek tulang (Patzakis dkk, 2005, DeCoster dkk, 2008). Tahap pertama: Debridemen, stabilisasi tulang dan terapi antibiotik. Debridemen Ahli bedah Perancis yang mempopulerkan istilah “débridement,” yang artinya memotong jaringan yang kontraktur disekitar luka. Saat ini istilah tersebut digunakan untuk prosedur yang lebih ekstensif dari insisi dan eksisi jaringan yang rusak. Untuk menentukan jaringan mana yang akan di eksisi, ahli bedah mengidentifikasi otot yang masih hidup dengan bantuan 4 C: contraction (kontraksi saat dijepit), consistency (tidak lunak), capillary bleeding saat dipotong, dan color (warna merah, bukan pucat atau gelap) (Bowyer, 2006).
14
Tahap pertama dimulai dengan debridemen radikal terhadap semua jaringan mati dan terinfeksi, termasuk kulit, jaringan lunak dan tulang. Untuk memastikan semua fokus infeksi sudah dibuang, debridemen dilakukan hingga berdarah, jaringan yang hidup harus terdapat pada batas reseksi. Tulang yang hidup ditandai dengan titik-titik perdarahan (paprika sign). Debridemen harus radikal dan tidak dibatasi oleh kekhawatiran membuat defek tulang atau jaringan lunak seperti yang terlihat pada Gambar 2.2 (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk, 2005). Tidak ada perbedaan bermakna dari angka kejadian infeksi pada patah tulang terbuka yang dilakukan debridemen awal dan terlambat berdasarkan waktu (Schenker, 2012). Bila terdapat jaringan lunak yang sehat untuk menutup luka dan pembentukan involucrum yang cukup, sequesterektomi, drainase, debridemen jaringan nekrotik dan irigasi yang banyak harus dikerjakan. Perhatian harus diberikan untuk tidak merusak jaringan lunak diatas periosteum dan merusak involucrum. Periosteum sebaiknya diinsisi secara longitudinal untuk membuang sequestrum. Meninggalkan sequestrum di dalam involucrum tidak dianjurkan karena dapat membentuk tempat pertumbuhan bakteri. Periosteum harus dipertahankan dan dijahit membentuk struktur tubuler. Imobilisasi sangat penting setelah operasi. Pemasangan gips dapat membantu. Debridemen dengan pembedahan merupakan hal penting dalam penanganan
15
osteomielitis kronis selain antibiotik dan imobilisasi pada anak-anak (Unal dkk, 2006). Debridemen agresif menggunakan high-speed, saline-cooled burr diperlukan untuk membuang jaringan tulang yang nekrotik. Osseous laser Doppler flowmetry dengan nilai lebih dari 100 mV digunakan untuk meyakinkan tulang yang tersisa masih viabel, level normal pada tulang kortikal adalah 100 mV (Swiontkowski dkk, 1999). Infeksi kronik sulit ditangani dengan cara tanpa pembedahan. Untuk mencegah kekambuhan, biofilm harus dieksisi dan luka harus di revitalisasi. Luka yang hidup, bersih dan dapat dikendalikan sangat diperlukan untuk keberhasilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil termasuk kesehatan inang, ekstensi dari jaringan nekrotik, lokasi dari infeksi, dan keterbatasan karena penyakit. Pemilihan pasien untuk penyelamatan ekstremitas, amputasi ataupun paliatif diperlukan pada faktor tersebut (Cierny III & DiPasquale, 2006).
16
Gambar 2.3. Debridemen radikal terhadap semua jaringan mati dan terinfeksi (A). Debridemen yang kurang baik. (B). Debridemen yang baik. (C). Pemberian bone graft untuk menutup defek (Song & Sloboda, 2001)
Prosedur dari Lautenbach melibatkan debridemen, intramedullary reaming dan pemasangan double-lumen tubes untuk membuat sistem antibiotik lokal dan analisis ruangan untuk volume dan kultur. Hasil akhir dari terapi saat irigasi menghasilkan kultur yang bersih tiga kali berturut-turut disertai perbaikan pada darah dan hilangnya ruangan kosong (Hashmi dkk, 2004). Irigasi pada patah tulang terbuka tetap menjadi komponen yang sangat penting dalam penanganan luka, dengan tujuan mengurangi jumlah benda asing dan jaringan nekrotik serta jumlah bakteri, sehingga dapat mengurangi angka kejadian infeksi. Penelitian pada hewan menunjukan bahwa irigasi dengan tekanan yang tinggi dan jumlah yang banyak lebih efektif untuk mengurangi bakteri dan debris dibandingkan dengan tekanan yang rendah dan
17
jumlah yang sedikit (dengan syringe). Walaupun jumlah volume yang pasti tidak diketahui, kebanyakan setuju cairan irigasi sebanyak 6 sampai 10 liter diperlukan untuk irigasi patah tulang terbuka grade 2 atau 3 (Anglen, 2001). Stabilisasi tulang Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk kontrol infeksi. Namun, dengan adanya fiksasi interna, mikroorganisme dilindungi oleh biofilm yang melekat pada permukaan implan. Oleh karena itu, keputusan untuk mempertahankan atau mengeluarkan implant yang terinfeksi berbeda-beda untuk setiap pasien, bergantung pada beberapa faktor yaitu status penyambungan tulang, stabilitas yang disediakan oleh implant, lokasi fraktur, dan waktu sejak dilakukan fiksasi fraktur (Patzakis dkk, 2005). Antibiotik lokal. Ruangan kosong yang terjadi akibat debridemen dapat diisi oleh polymethylmethacrylate (PMMA) beads yang dikombinasi dengan antibiotik, seperti tobramycin, vancomycin, atau antibiotik spesifik lainnnya yang tahan panas dan tersedia dalam bentuk serbuk (Patzakis dkk, 2005). Penggunaan PMMA beads dengan antibiotik lokal dapat mengurangi insiden infeksi pada patah tulang terbuka yang berat. Bila perlu, debridemen ulang dapat dilakukan setelah 24 hingga 48 jam berdasarkan tingkat kontaminasi dan kerusakan jaringan lunak (Ostermann, 1995).
18
Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan rendahnya level sistemik meningkatkan kerja terhadap patogen dan mengurangi efek sistemik. Jumlah yang direkomendasikan per 40 g PMMA adalah 2.4 hingga 4.8 g tobramycin, dan vancomycin. Antibiotic-impregnated beads digunakan bila terdapat ruangan kosong dan revisi akan dikerjakan, seperti debridemen ulang, penutupan jaringan lunak dan bone graft. Bila memungkinkan, defek dapat diisi dengan flap otot. Selain itu, beads dapat digunakan sebagai pengisi dibawah flap hingga digantikan oleh bone graft pada prosedur berikutnya (Patzakis dkk, 2005, DeCoster dkk, 2008). Banyak antibiotik mempunyai penetrasi yang buruk ke dalam tulang. Antibiotic beads, sebaliknya menyediakan konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi, tidak bergantung pada aliran darah ke dalam tulang (Spiegel & Penny, 2005, DeCoster dkk, 2008). Pada patah tulang tertutup, konsentrasi tinggi antibiotik dari antibioticimpregnated polymethylmethacrylate (PMMA) beads dapat menghilangkan koloni biofilm. Lebih lanjut, antibiotic-impregnated polymethylmethacrylate (PMMA) beads dapat mengisi ruangan kosong (spacer effect). Setelah penyembuhan luka, depot dapat dibuang dan dapat dilakukan rekonstruksi sebagai pembedahan yang bersih (Forsberg dkk, 2011). Beads menutupi ruangan kosong sehingga mencegah akumulasi hematom yang dapat berpotensi sebagai tempat infeksi. Beads antibiotik juga
19
dapat mengurangi pembentukan jaringan parut pada defek tulang. Bila infeksi menetap, debridemen ulang, kultur dan pergantian beads antibiotik dapat dikerjakan beberapa hari atau minggu kemudian. Setelah infeksi telah terkontrol, beads dikeluarkan. Untuk kasus non union, bone graft dapat ditempatkan pada daerah beads (DeCoster dkk, 2008). Antibiotik sistemik Pemberian secara intravena biasanya diberikan selama 4 sampai 6 minggu dan dapat dikerjakan pada pasien rawat jalan. Manajemen dengan periode yang lebih singkat dari terapi intravena (hingga 1 minggu), diiikuti oleh antibiotik oral selama 6 minggu, sukses dicatat pada 91% pasien (Swiontkowski, 1999, Mader dkk, 1999). Tahap dua : manajemen luka Bergantung pada ekstensi dari infeksi, penundaan atau penutupan luka primer dapat dikerjakan pada pasien dengan jaringan lunak yang cukup. Debridemen ulang sering diperlukan. Dengan adanya jaringan yang rusak, penutupan dapat dicapai dengan flap lokal atau free flap, tergantung pada lokasi dan ekstensi defek jaringan lunak (Wirganowicz, 1999, Patzakis dkk, 2005). Penutupan luka primer setelah debridemen yang cermat tidak berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi, dapat mencegah kontaminasi sekunder dan dapat mengurangi morbiditas, lama dirawat dan biaya. Akan
20
tetapi dapat berpotensi terjadinya clostridial myonecrosis, yang dapat berakhir bukan hanya hilangnya ekstremitas tetapi juga kehilangan nyawa (Zalavras, 2003). Negative pressure wound therapy (NPWT) telah menjadi terapi tambahan yang penting pada manajemen luka trauma dan insisi pembedahan yang berhubungan dengan trauma musculoskeletal. Mekanisme kerja NPWT termasuk stabilisasi lingkungan luka, mengurangi edema, meningkatkan perfusi jaringan, dan stimulasi sel-sel pada permukaan luka. NPWT menstimulasi jaringan granulasi dan angiogenesis dapat mendukung penutupan primer dan mengurangi kebutuhan untuk transfer jaringan. Sebagai tambahan, NPWT mengurangi kontaminasi bakteri gram negatif (Streubel dkk, 2012). Tahap Tiga : Manajemen defek tulang dan fraktur nonunion Bone Graft Bone graft dari iliac crest dapat digunakan untuk penanganan defek tulang hingga 6 cm. Bone graft dikerjakan bila jaringan lunak penutup sudah sembuh, adanya flap yang viabel dan infeksi telah terkontrol, biasanya dalam 6 hingga 8 minggu setelah transfer otot (Patzakis dkk, 2005). Tulang cancellous mempunyai daya tahan yang lebih dibandingkan dengan tulang kortikal, mungkin karena paling terakhir terjadi gangguan
21
vaskularisasi. Untuk vaskularisasi graft diperlukan dasar graft yang baik vaskularisasinya (DeOliveira, 1971). Prosedur rekonstruksi khusus Defek tulang >6 cm membutuhkan prosedur rekonstruksi khusus, seperti vascularized bone grafts atau distraction osteogenesis. Distraction osteogenesis berguna untuk rekonstruksi defek tibia yang terinfeksi (Patzakis dkk, 2005). Alasan terjadinya angka kekambuhan yang tinggi adalah (1) tidak adekuatnya debridemen dalam membuang semua sequestrum, (2) penurunan aliran darah secara primer atau sekunder karena operasi menurunkan kapasitas penyembuhan dan resistensi terhadap infeksi berulang, (3) jaringan parut atau sisa ruangan mati sebagai tempat berkembangnya infeksi, dan (4) adanya kombinasi infeksi bakteri aerobik dan anaerobik (Wirganowicz, 1999). Waktu dilakukan intervensi pembedahan masih kontroversi. Ada yang merekomendasikan sequesterektomi dini untuk eradikasi infeksi dan memberikan lingkungan yang lebih baik untuk periosteum, yang lain merekomendasikan untuk menunggu hingga sudah terbentuk involucrum sebelum mengerjakan sequesterektomi untuk mengurangi resiko komplikasi seperti fraktur, nonunion, deformitas, dan kehilangan tulang. Untuk kehilangan tulang, dapat dikerjakan bone graft atau bone transport (Ilizarov atau implan yang lain) (Spiegel & Penny, 2005).
22
Profesor Simpson dkk. di Edinburgh telah menghasilkan informasi yang berguna untuk menilai efek eksisi terhadap tulang. Mereka secara prospektif mempelajari, 50 pasien yang menderita osteomielitis kronis. Pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok pertama: reseksi luas, dengan batas bersih 5 mm atau lebih, kelompok ke dua yaitu reseksi marginal dengan batas bersih kurang dari 5 mm dan kelompok ke tiga yaitu intralesi, dengan cara debulking daerah yang bermasalah. Semua pasien mendapatkan antibiotik intravena selama enam minggu, diikuti antibiotik oral selama enam minggu berikutnya. Tidak ada pasien di kelompok satu yang mengalami kekambuhan. Pada pasien dengan reseksi marginal, delapan dari 29 (28%) mengalami kekambuhan.
Semua
pasien
yang
dikerjakan
debulking
mengalami
kekambuhan dalam waktu setahun setelah operasi. Eksisi yang cermat sangat diperlukan (Simpson dkk, 2001). 2.2.
Debridemen dengan High speed burr Tulang yang mengalami osteomielitis harus secara ekstensif dibersihkan dengan kuretase atau dengan high speed burr untuk memastikan semua jaringan yang mati dan terinfeksi dibuang (Wirganowicz, 1999). Penggunaan high speed burr memudahkan kita untuk membuang jaringan mati dengan lebih merata hingga mencapai jaringan yang sehat. Panas yang diakibatkan oleh pengeboran tulang merupakan fenomena kompleks. Jika panas yang diakibatkan sangat tinggi, thermonecrosis dapat
23
mengganggu fiksasi dan mengancam tulang. Semakin besar ukuran diameter, semakin besar temperatur tulang. Untuk menghindari nekrosis tulang, tekanan mata bor yang tinggi dan feed rates yang tinggi secara efektif dapat mengurangi temperature karena pengeboran. Temperature mata
bor
meningkat hingga diameter mata bor 4,5 mm dan kemudian menurun lagi pada diameter bor 6 mm (Karaca dkk., 2013). Eriksson dan kawan-kawan (1982) mendapatkan batasan temperatur untuk panas yang bisa menginduksi kerusakan jaringan tulang adalah pada suhu 47oC selama 1 menit. Banyak faktor yang mempengaruhi efek pengeboran terhadap panas yang ditimbulkan diantaranya adalah diameter mata bor, bahan mata bor, dan kecepatan mata bor (Nam dkk., 2006; Karaca dkk., 2011, Fincham & Jaeblon, 2011). Banyak penelitian tentang efek kecepatan bor terhadap suhu panas yang ditimbulkan pada tulang. Thompson (1958) berkonsentrasi pada low speed drilling berkisar 0-3000 rpm dan menyimpulkan bahwa peningkatan kecepatan bor juga akan meningkatkan suhu tulang yang dibor. Akan tetapi peningkatan suhu ini hanya terjadi sampai batasan kecepatan bor dikisaran 10.000 rpm dan suhu tulang tidak akan meningkat signifikan pada kecepatan bor diatas 10.000 rpm (Nam dkk, 2006; Augustin dkk., 2007). Agak sulit dalam menentukan batasan kecepatan untuk high speed drilling karena berbeda-beda sesuai obyek yang diperuntukkan. Bor yang
24
biasa digunakan oleh kedokteran gigi berkisar 3600-7500 rpm sedangkan dalam bidang orthopaedi biasa menggunakan bor dengan kecepatan 60-800 rpm (Karmani, 2006). Sedangkan pada bagian bedah saraf menggunakan bor dengan kecepatan tinggi 70.000 rpm dan kecepatan rendahnya adalah 20.000 rpm (Roitberg dkk., 1997). Panas dapat menyebabkan denaturasi protein enzim dan membran, menurunkan aktivitas osteoklas dan osteoblas, dehidrasi, kekeringan, yang berkontribusi kepada kematian sel. Thermal osteonecrosis dapat terjadi bukan hanya karena peningkatan temperatur, tapi juga penurunan temperatur dibawah suhu fisiologis seperti pada cryosurgery yang disebabkan oleh nitrogen cair. Suhu obtimal maksimal saat memasang implant adalah 47 °C, dengan waktu pengeboran kurang dari 1 menit (Augustin dkk, 2012, Pandey & Panda, 2013). Mata bor yang tumpul dapat menimbulkan temperatur yang lebih tinggi dan bahkan asap, sementara peningkatan tekanan saat mendorong mata bor menyebabkan kontrol mata bor yang buruk sehingga bisa patah (Natali, 1996). Tulang merupakan konduktor panas yang jelek, dengan konduksi panas pada tulang kortikal segar beriksar antara 0.38- 2.3 J/msK. Mortiz and Henrique menemukan bahwa sel epitel yang terkena suhu 70 oC dapat terjadi kerusakan seketika, bila terkena suhu 55 oC selama 30 detik memberikan hasil
25
yang sama. Pada umumnya, di literatur menunjukan bila temperatur meningkat diatas 55oC selama lebih dari setengah menit, kerusakan yang serius akan terjadi, yang membutuhkan waktu beberapa minggu untuk sembuh (Hillery, 1999).
2.3.
Kultur dan Hitung Koloni Kuman Perhitungan secara kuantitatif koloni Staphylococcus aureus per gram tulang tibia dapat dihitung pada sampel penelitian. Setelah kelinci di korbankan, tulang tibia dibersihkan dari semua jaringan lunak. Implan didalam sum-sum tulang dikeluarkan, kemudian diambil metafise tulang tibia proximal (Shirtliff dkk, 2002). Fragment tulang metafise kemudian di gerus dan dibuat bubuk. Hasil akhirnya kemudian ditimbang. Kemudian dilakukan penambahan cairan NaCl 0,9 % ke bubuk tulang dengan perbandingan 3:1 (3 mL NaCl/g tulang) dan kemudian suspense diaduk selama 5 menit (Shirtliff dkk, 2002). Dibuat 5 suspensi, dengan pengenceran kelipatan 10 dengan campuran cairan salin-tulang. Dua puluh mikroliter sampel dari setiap 5 pengenceran ditanamkan pada plat agar darah dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kemudian dihitung colony forming units (CFU) per gram tulang. CFU kemudian dihitung pada setiap sampel tulang tibia. Log rata-rata dari CFU
26
pada kelima plat dan rata-rata konsentrasi Staphylococcus aureus pada setiap grup perlakuan dihitung (Shirtliff dkk, 2002). Berikut cara menghitung dan melaporkan hasil kultur secara kuantitatif:: Tabel 2.3. Konversi perhitungan kuantitatif koloni kuman (Shirtliff dkk, 2002) Derajat pertumbuhan
Jumlah koloni
Jumlah yang
(CFU/gram)
dilaporkan
Tabung I (10-1)
N
N x 101
Tabung II (10-2)
N
N x 102
Tabung III (10-3)
N
N x 103
Tabung IV (10-4)
N
N x 104
Tabung V (10-5)
N
N x 105