I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tulang adalah jaringan ikat yang keras dan dinamis (Kalfas, 2001; Filho dkk., 2007). Selain fungsi mekanis, tulang juga berperan penting dalam aktivitas metabolik (Meneghini dkk., 2003). Tulang manusia tersusun atas elemen organik, anorganik, dan air. Air memiliki berat sekitar 20% dari total berat tulang sedangkan berat tulang kering merupakan total dari berat matriks organik sebanyak 30–35% dan anorganik sebanyak 65–70% (Kalfas, 2001). Beberapa tahun terakhir ini, penggunaan biomaterial bahan pengganti tulang telah mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya tindakan bedah rekonstruktif yang membutuhkan adanya prosedur grafting (Conz dkk., 2005). Setiap tahunnya, lebih dari satu juta pasien dengan permasalahan skeletal mendapatkan perawatan di bidang bedah ortopedik, bedah plastik, bedah maksilofasial, ataupun bedah saraf (Ana dkk., 2010). Tentunya, hal tersebut menjadi suatu fakta sekaligus tantangan di bidang medis saat ini. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menemukan biomaterial yang
ideal
untuk
dijadikan
sebagai
bahan
pengganti
tulang.
Dalam
perkembangannya, dikenal beberapa jenis graft tulang, yaitu autograft, allograft, xenograft, dan graft sintetik atau alloplast (Nasr dkk., 1999; Farlay dan Boivin, 2012). Autograft masih menjadi baku emas graft tulang (Kneser dkk., 2006) yang menjanjikan tingkat kesuksesan tinggi dalam penggunaanya karena memiliki sifat osteogenik, osteokonduktif, dan osteoinduktif yang baik (Da Cruz dkk., 2006).
1
2
Meskipun demikian, terdapat beberapa kelemahan autograft, misalnya jumlah sediaan yang terbatas, post-operative morbidity, lack of functional shape of transplant (Ana dkk., 2010), dan biaya yang cukup tinggi (Da Cruz dkk., 2006). Allograft diperoleh dari individu lain dalam satu spesies yang berbeda secara genetis (Pedersen, 1996) sedangkan xenograft diperoleh dari spesies yang berbeda (Nascimento dkk., 2007). Kedua graft tersebut diketahui dapat menimbulkan reaksi imunologis dan menjadi media transmisi penyakit (Da Cruz dkk., 2006). Untuk menghindari risiko-risiko tersebut, saat ini, terus dikembangkan graft sintetik sebagai alternatif (Abjornson dan Lane, 2006). Pengembangan alternatif graft tulang inilah yang saat ini menjadi isu yang sangat relevan dalam bidang bedah rekonstruktif tulang (Ana dkk., 2010). Dasar pemikiran terkait pengembangan graft tulang adalah kesamaannya dengan fase anorganik tulang (Porter dkk., 2005) sehingga pengetahuan dasar tentang komposisi mineral tulang sangat diperlukan dalam proses pengembangan graft tulang (Ana dkk., 2010). Menurut Kalfas (2001), komponen anorganik tulang sebagian besar tersusun atas senyawa kalsium fosfat dan kalsium karbonat dengan sedikit penambahan jumlah magnesium, fluor, dan sodium. Meneghini dkk. (2003) menyebutkan bahwa komponen mineral tulang terutama tersusun atas senyawa kalsium fosfat HA (Ca 10 (PO 4 ) 6 (OH) 2 ). Rey dkk. (2009) menyebutkan bahwa selain komponen apatit, terdapat pula ion-ion (non-apatit) yang menyusun mineral tulang, yaitu ion CO 3 2- dan HPO 4 2-. Atas dasar itulah, saat ini, dikembangkan senyawa CHA sebagai alternatif graft tulang yang komposisinya
3
dianggap lebih mirip mineral tulang karena adanya tambahan ion karbonat (Porter dkk., 2005; Ana, 2010). Penelitian terkait pengembangan HA sintetik sebagai bahan pengganti tulang telah banyak dilakukan (Porter dkk., 2005). Selain terdapat beragam teknik yang dapat digunakan (Predoi dkk., 2008; Nayak dkk., 2010), bahan baku yang dapat digunakan pun beragam, termasuk pemanfaatan material alami. Beberapa sumber bahan baku alami yang telah digunakan antara lain karang laut (Herliansyah dkk., 2011 cit. Savikumar dkk., 1996), tulang ikan sotong (Rocha dkk., 2005), cangkang kerang (Vecchio dkk., 2007), batu kapur (Herliansyah dkk., 2011; Ana, 2010) dan cangkang telur (Rivera dkk., 1999; Ahmed dan Ahsan, 2008; Gergely dkk., 2010). Menurut Sasikumar dan Vijayaraghavan (2006), cangkang telur memiliki kelebihan sebagai bahan baku pembuatan HA karena memiliki derajat disolusi, biomineralisasi, dan oseointegrasi yang lebih baik dibandingkan beberapa sumber alami lain. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mensintesis HA dengan bahan baku cangkang telur (Rivera dkk., 1999; Ahmed dan Ahsan, 2008; Gergely dkk., 2010; Herliansyah dkk., 2011). Terdapat dua keuntungan utama penggunaan cangkang telur sebagai bahan baku pembuatan HA, (1) harga HA berbasis cangkang telur yang dihasilkan murah (2) penggunaan cangkang telur sebagai bahan baku pembuatan HA dapat menjadi salah satu teknologi yang efektif dalam pengelolaan limbah (Ahmed dan Ahsan, 2008). Cangkang telur sebagai salah satu mineral alami yang murah, mudah didapat, dan memiliki kandungan kalsium
4
tinggi sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai material substitusi tulang (Herliansyah dkk., 2011). Pengetahuan mengenai sifat-sifat tulang dan graft tulang menjadi hal yang sangat fundamental untuk diketahui dalam rangka meningkatkan oseointegrasi keduanya sehingga perlu dilakukan suatu karakterisasi material graft tulang. Fourier Transform Infrared merupakan suatu alat yang cocok digunakan untuk karakterisasi tulang maupun graft tulang (Figueiredo dkk., 2012). Analisis pola difraksi sinar X dapat digunakan sebagai metode untuk mengetahui fase kristal dari suatu HA (Conz dkk., 2005). Kedua teknik tersebut menjadi populer dilakukan oleh para peneliti untuk mengkarakterisasi senyawa graft sintetik, seperti yang dilakukan oleh Rivera dkk. (1999), Ahmed dan Ahsan (2008), Gergely dkk. (2010), Ana dkk. (2010), dan Herliansyah dkk. (2011) setelah berhasil mensintetis senyawa tersebut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik EHA berdasarkan pola difraksi sinar X dan spektra inframerah? 2. Bagaimanakah pola difraksi sinar X dan spektra inframerah EHA dibandingkan dengan beberapa senyawa kalsium fosfat?
5
C. Keaslian Penelitian Berbagai penelitian di bidang tissue engineering mengenai proses pembuatan dan karakterisasi jenis graft tulang telah dilakukan. Penelitian mengenai proses pembuatan dan karakterisasi EHA banyak dilakukan di antaranya oleh Rivera dkk. (1999), Ahmed dan Ahsan (2008), Gergely dkk. (2010), dan Herliansyah dkk. (2011). Sakti (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi Struktur dan Aplikasi pada Hewan Coba Graft Hydroxyapatite Berpori dari Limbah Cangkang Telur sebagai Substitusi Tulang (Uji Komparasi dengan Graft Hydroxyapatite Komersial Berpori)”, berhasil mensintesis hidroksiapatit berbahan dasar cangkang telur yang selanjutnya dibandingkan dengan senyawa hidroksiapatit komersial lain secara in vivo dalam konsep bone healing. Selain itu, Figueiredo dkk., (2009) juga pernah melakukan penelitian dengan menggunakan XRD dan FT-IR untuk membandingkan sifat fisik dan kimiawi beberapa graft tulang komersial sintetik (bovine-based dan corallinebased). Namun demikian, berdasarkan telaah pustaka yang telah dilakukan oleh penulis, penelitian mengenai perbandingan pola difraksi sinar X dan spektra inframerah EHA dan beberapa senyawa kalsium fosfat belum pernah dilakukan. Keaslian penelitian ini terdapat pada pemilihan objek penelitian yang berbeda, yaitu EHA, HA, CHA, dan DCPD. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik EHA yang disintesis sekaligus membandingkan pola difraksi dan spektra inframerah EHA dengan beberapa senyawa kalsium fosfat untuk menyediakan data terkait pengembangan EHA sebagai alternatif material pengganti tulang.
6
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui karakteristik EHA berdasarkan pola difraksi dan spektra inframerah. 2. Membandingkan pola difraksi sinar X dan spektra inframerah EHA dengan beberapa senyawa kalsium fosfat.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Tersedianya data mengenai karakteristik EHA berdasarkan pola difraksi dan spektra inframerah serta perbandingannya dengan beberapa senyawa kalsium fosfat. 2. Data yang ada dapat digunakan sebagai referensi penelitian lebih lanjut terkait pengembangan EHA sebagai alternatif material substitusi tulang.