TINJAUAN PUSTAKA
Daging Daging merupakan komponen utama karkas yang tersusun dari lemak, jaringan adipose tulang, tulang rawan, jaringan ikat dan tendon. Komponen-komponen tersebut menentukan ciri-ciri kualitas daging, organ-organ misalnya hati, ginjal. Otak, paruparu, jantung, limpa, pankreas dan jaringan otot tidak termasuk dalam definisi ini. Daging merah adalah daging yang menunjukkan warna merah sebelum dimasak. Daging sapi, domba, kambing, kelinci, kerbau dan daging rusa disebut dengan daging merah. Daging ternak mamalia umumnya disebut daging merah. Warna merah yang terdapat pada daging-daging tersebut disebabkan oleh kandungan dari mioglobin. Mioglobin adalah protein yang membawa oksigen pada jaringan hewan ternak (Wikipedia, 2005).
Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging Beku), daging masak, daging asap, dan daging olahan (Tafal, 1981). Daging segar jika dipotong mula-mula berwarna ungu tapi lama kelamaan permukaan daging berubah berwarna merah dan akhirnya menjadi coklat. Terbentuknya warna coklat ini sering digunakan sebagai petunjuk menurunnya Sifat fisiologi daging sangat menarik untuk dipelajari. Terjadinya
fenomena-fenomena
seperti
variasi
perubahan
tekstur
pascapenyembelihan dan pemotongan perlu dikaji lebih mendalam. Jika dilakukan pentahapan
proses
yang
didasarkan
pada
urutan
proses
yang
terjadi
Universitas Sumatera Utara
pascapenyembelihan, proses awal yang terjadi pada daging dikenal dengan istilah pre rigor, kemudian diikuti rigor mortis kemudian diakhiri dengan post rigor atau pasca rigor. Hewan setelah disembelih, proses awal yang terjadi pada daging adalah pre rigor. Setelah hewan mati, metabolisme yang terjadi tidak lagi sabagai metabolism aerobik tapi menjadi metabolism anaerobik karena tidak terjadi lagi sirkulasi darah ke jaringan otot. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk. Akibatnya pH jaringan otot menjadi turun. Penurunan pH terjadi perlahan-lahan dari keadaan normal (7,2-7,4) hingga mencapai pH akhir sekitar 3,55,5. Sementara itu jumlah ATP dalam jaringan daging masih relatif konstan sehingga pada tahap ini tekstur daging lentur dan lunak. Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase prerigor ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase postrigor. Daging pada fase prerigor. Hal ini disebabkan pada fase ini hampir 50% protein-protein daging yang larut dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al, 1975). Karakteristik ini sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya. Mengingat pada sistem emulsi dibutuhkan kualitas dan jumlah protein yang baik untuk berperan sebagai emulsifier. Tahap selanjutnya yang dikenal sebagai tahap rigor mortis. Pada tahap ini, terjadi perubahan tekstur pada daging. Jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Rigor mortis juga sering disebut sebagai kejang bangkai. Kondisi daging pada fase ini perlu diketahui kaitannya dengan proses pengolahan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan menghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Kekerasan daging selama rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam
Universitas Sumatera Utara
daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami crosslinking. Kekakuan yang terjadi juga dipicu terhentinya respirasi sehingga terjadi perubahan dalam struktur jaringan otot hewan, serta menurunnya jumlah adenosine triphosphat (ATP) dan keratin phosphat sebagai penghasil energi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Jika penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan kelenturan otot. Pada tingkat ATP dibawah 1 mikro mol/gram, energi yang dihasilkan tidak mampu mempertahankan fungsi reticulum sarkoplasma sebagai pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca di sekitar miofilamen serendah mungkin. Akibatnya, terjadi pembebasan ionion Ca yang kemudian berikatan dengan protein troponin. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin). Proses ini ditandai dengan terjadinya pengerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari 0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna. Daging menjadi keras dan kaku. Keadaan rigor mortis yang menyebabkan karakteristik daging alot dan keras memerlukan waktu yang cukup lama sampai kemudian menjadi empuk kembali. Melunaknya kembali tekstur daging menandakan dimulainya fasepost rigor atau pascarigor. Melunaknya kembali tekstur daging bukan diakibatkan oleh pemecahan ikatan aktin dan miosin, akan tetapi akibat penurunan pH. Pada kondisi pH yang rendah (turun) enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garisgaris gelap Z pada miofilamen, menghilangkan daya adhesi antara serabut-serabut otot. Enzim katepsin yang bersifat proteolitik, juga melonggarkan struktur protein serat otot . Mutu daging
Universitas Sumatera Utara
dikaitkan dengan aspek konsumsi (the eating quality of meat) dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: a. Warna b. Water holding capacity dan Juiciness c. Tekstur dan keempukan d. Odor dan Taste (Astawan, 1989). Tabel 1. komposisi zat gizi daging sapi per 100 gram bahan yang dimakan Komposisi Kalori Protein Air Lemak Kalsium Fosfor Besi
Kandungan 207 18,8 66 14 11 170 2,8
Sumber : Komposisi Bahan Makanan Depkes RI (1981).
Sosis Kata sosis berasal dari bahasa latin salcisia dari kata salcus yang artinya asin. Yang dimaksud dengan sosis adalah olahan daging hewan yang berupa campuran daging giling dengan garam, bahan – bahan lain serta rempah – rempah sebagai bumbunya. Adonan daging giling itu kemudian dimasukan ke dalam pembungkus yang mencetaknya menjadi bentuk bulat panjang. Bentuk bulat panjang inilah yang merupakan ciri khas sosis yang membedakannya dengan hasil olahan daging lain (Anonimous, 1973). Menurut Forrest et al (1975) membagi sosis kedalam 6 kategori pembuatan yang digunakan oleh pabrik yaitu : sosis segar, sosis asap-tidak dimasak,sosis asapdimasak, sosis fermentasi,
dan daging giling masak. Sosis segar tidak dimasak
sebelumnya dan biasanya tidak diasapi, sehingga bila dikonsumsi sosis segar harus dimasak Sosis segar dibuat dari daging segar yang tidak dicuringkan. Pencuringan adalah suatu cara pengolahan daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam natrium klorida (NaCl), natrium-nitrit, natrium-nitrat,
Universitas Sumatera Utara
gula, serta bumbu-bumbu. Tujuan daripada curing adalah untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur, dan kelezatan yang baik, dan untuk mengurangi pengerutan daging selama prosesing serta memperpanjang masa simpan produk (Soeparno, 1994). Ketentuan dari mutu sosis berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995) adalah kadar air maksimal 67%, abu maksimal 3%, protein minimal 13%, lemak maksimal 25%, serta karbohidrat maksimal 8%. Garam merupakan konstituen campuran bahan curing yang paling penting, garam pada konsentrasi yang cukup berfungsi sebagai: (1) pengawet atau penghambat pertumbuhan mikroba dan (2) penambah aroma dan cita rasa atau flavour.
Jenis Casing Terdapat 3 jenis casing yang sering digunakan dalam pembuatan sosis yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Casing alami biasanya terbuat dari usus alami hewan, casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi dan melekat pada produk, sedangkan kerugian dari casing ini adalah produk ini tidak awet. Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar, keuntungan dari jenis casing ini dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan dari casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Kekurangan dari casing ini adalah sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan (Astawan, 2009).
Bahan Pengikat dan Pengisi Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat meningkatkan daya ikat air daging dan mengemulsikan lemak. Bahan pengikat mengandung protein tinggi, terutama berasal dari susu kering dan produk kedelai misalnya tepung kedelai,
Universitas Sumatera Utara
protein kedelai, dan protein kedelai isolai. Susu kering tanpa lemak mempunyai kemampuan untuk mengemulsikan lemak
yang terbatas, karena kaseinnya
berkombinasi dengan sejumlah Ca sehingga tidak mudah larut dalam air (Forrest et al., 1975). Maksud penambahan bahan pengikat adalah untuk meningkatkan daya ikat air produk daging, mengurangi pengerutan selama pemasakan, meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan flavour, meningkatkan karakteristik irisan produk. Takahashi et al. (1987) menyatakan bahwa penambahan bahan pengikat bertujuan untuk memperbaiki elastisitas dari produk akhir. Penambahan bahan pengikat ke dalam emulsi sosis disamping sebagai bahan pengikat dan pengisi juga berfungsi untuk menarik air, memberikan warna dan membentuk tekstur yang padat. Bahan pengikat yang biasa digunakan adalah tepung kedelai, tepung jagung, tepung terigu, tepung beras, kasein, albumin dan susu skim. Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi mempunyai pengaruh kecil terhadap emulsifikasi. Bahan pengisi yang biasa ditambahkan pada sosis adalah tepung gandum, barley, jagung atau beras, pati dari tepung-tepung tersebut. Tepung pengisi mengandung lemak dalam jumlah yang relatif tinggi dan protein dalam jumlah yang relatif rendah, sehingga mempunyai kapasitas mengikat air yang besar dan kemampuan emulsifikasi yang rendah Maksud dari penambahan bahan pengikat dan pengisi pada daging proses seperti sosis adalah (1) untuk meningkatkan stabilitas emulsi (2) meningkatkan daya ikat air produk daging (3) meningkatkan flavour atau cita rasa (4) mengurangi pengerutan selama pemasakan (5) meningkatkan karakteristik irisan sosis (6) mengurangi biaya formulasi (Soeparno, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan lain 1. Garam Garam yang digunakan dalam pembuatan produk sosis adalah jenis garam dapur (NaCl), garam tidak hanya berfungsi sebagai pembentuk flavor, namun juga berpengaruh dalam pembentukan karakteristik fisik dan adonan. Garam mempunyai peran yang cukup menentukan yaitu memberikan kelezatan produk, mempertahankan flavor dari bahan-bahan yang digunakan, berfungsi sebagai pengikat adonan sehingga mengurangi kelengketan. Selain itu, garam juga dapat membantu mencegah berkembangnya mikroba yang ada dalam adonan (Hui, 1992). 2. Bawang Putih Menurut Lewis (1984) karakteristik bau yang kuat dari bawang putih disebabkan oleh adanya senyawa volatile sekitar 0,1% yang mengandung senyawa sulfur. Senyawa tersebut terbentuk ketika sel terpecah, sehingga terjadi reaksi antara precursor yang disebut allin dan enzim allinase. Terbentuknya substansi yang disebut allicin (diali tiosulfat), menimbulkan bau yang segar dari bawang putih. Allicin mengalami degradasi non enzimatik untuk membentuk metal dan allil mono, di dan trisulfit dan sulfur oksida. 3. Merica Biji merica digunakan sebagai bumbu pemberi rasa dan aroma, karena rempah-rempah dapat menyamarkan makanan dengan penutup rasa bagi makanan yang kurang enak. Selain itu juga berfungsi sebagai pengawet. Merica mengandung minyak atsiri, pinena, kariofilena, filandrena, alkaloid, piperina, kavisina, piperitina, zat pahit dan minyak lemak (Lewis, 1984).
Universitas Sumatera Utara
4. Bahan Penyedap Bahan penyedap yang digunakan sebagai pembangkit aroma dan cita rasa pada makanan merupakan senyawa-senyawa sintetik. Pada umumnya senyawa yang digunakan adalah senyawa-senyawa ester dalam jumlah sangat kecil telah dapat memberikan aroma dan cita rasa yang baik. Salah satu senyawa cita rasa adalah monosodium glutamate (MSG) yang merupakan garam natrium dari asam glutamate. MSG dibuat melalui proses fermentasi dari tetes-tetes gula (molasses) oleh bakteri. Dalam proses fermentasi ini akan menghasilkan asam glutamate, kemudian penambahan sodium karbonat akan terbentuk MSG setelah terlebih dahulu dimurnikan dan dikristalisasikan. Tingkat penggunaan yang tepat secara umum berkisar antara 0,2-0,6% berdasarkan berat makanan yang dikonsumsi (Jenie, 2001). 5. Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng mempunyai fungsi sebagai media penghantar panas, penambah rasa guring, serta penambahan nilai gizi dan kalori pada bahan pangan yang digoreng (Kataren, 1986). Mutu minyak goreng dipengaruhi oleh titik asapnya yang merupakan suhu dimana pemanasan minyak mulai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Kerusakan minyak goreng yang berlansung selama penggorengan yaitu tekstur dan kenampakan yang kurang menarik serta cita rasa dan bau yang kurang enak.
Universitas Sumatera Utara
Pengawetan dan Pewarna Pewarna alami diperoleh dari tanaman ataupun hewan yang berupa pigmen. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat disekitar kita adalah klorofil (terdapat pada daun-daun berwarna hijau), karotenoid ( terdapat pada wortel dan sayuran lain berwarna oranye-merah). Umumnya pigmen-pigmen ini tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya dan pH tertentu. Walupun begitu pewarna alami umumnya aman dan tidak menimbulkan efek samping bagi tubuh. Pewarna buatan untuk makanan diperoleh melalui proses sintesis kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan kimia, atau dari bahan yang mengandung pewarna alami melalui ekstraksi secara kimiawi. Beberapa contoh pewarna buatan seperti warna kuning : tartrazin, sunset yellow, warna merah : allura, eritrosin, amaranth, dan warna biru : biru berlian Pada pembuatan sosis, bahan pengawet yang sering digunakan adalah nitrit. Aktivitas antibakteri nitrit telah diuju dan ternyata efektif untuk mencegah pertumbuhan bakteri clostridium botulinum yang merupakan bakteri patogen penyebab keracunan makanan. Selain sebagai pengawet fungsi penambahan nitrit pada proses curing daging adalah untuk memperoleh warna merah yang stabil. Nitrit akan terurai menjadi nitrit oksida, yang selanjutnya bakal bereaksi dengan mioglobin membentuk nitrosomioglobin. Meskipun sebagai salah satu bahan tambahan pangan yang memberikan banyak keuntungan, ternyata dari penelitian dibutuhkan bahwa nitrit dapat membentuk nitrosamin yang bersifat toksik dan karsinogenik, yang mengakibatkan kerusakan hati dan penyakit tumor (Tekno Pangan, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Proses Pembuatan Sosis 1. Persiapan Pada tahap ini ada peluang untuk melakukan kreasi dan bahan yang digunakan untuk pembuatan sosis sapi disiapkan sesuai dengan kebutuhan untuk formula resepnya yaitu dengan proses penimbangan masing-masing bahan. Proporsi masingmasing bahan tersebut akan menghasilkan sifat reologis yang berbeda-beda inovasi resep (the u.s. department of agricultural, 1999)
2.
Freezing Freezing merupakan suatu pembekuan yang paling mudah, membutuhkan waktu
yang sedikit dan mampu menjaga daya tahan bahan maupun produk pengoahan lebih lama. Freezing tidak dapat mensterilkan makanan atau membunuh mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan bahan atau produk rusak, melainkan hanya mampu menginaktifkan kerja dari enzim bakteri pembusuk, sehingga dapat memperlambat kerja dari mikroba pembusuk tersebut (Jeremiah, 1996).
3.
Thawing Thawing merupakan proses kelanjutan dari proses freezing. Thawing akan
mengembalikan bahan baku ataupun produk dari yang semula berbentuk fase padat menjadi fase cair. Dalam daging beku akan mengembalikan keempukan dari daging. Suhu thawing berkisar antara 100-150C. (Jeremiah, 1996) Ada 2 macam thawing yaitu slowly thawing dan rapid thawing. Slowly thawing menggunakan aliran udara hangat yang akan menyebabkan suhu bahan baku dan produk menjadi meningkat. Sedangkan cara lambat adalah dengan membungkus bahan baku dengan plstik kemudian dialiri oleh air. (Forrest et all, 1975)
Universitas Sumatera Utara
4.
Penggilingan Daging ayam dicincang sampai halus. Tujuan dari pencincangan ini adalah
pengecilan ukuran daging ayam hingga mencapai ukuran seragam guna pembentukan emulsi pada produk sosis. Kemudian daging yang telah digiling, ditimbang beratnya untuk memudahkan pemberian bumbu-bumbu. (Forrest et all, 1975)
5.
Pemberian bumbu dan Pencampuran Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis menurut Lewis (1984)
adalah lada, pala ,bawang putih, gula dan garam. Jumlah dan variasi bumbu yang digunakan tergantung selera, daerah dan aroma yang dikehendaki. Menurut Amertaningtyas (2001) setelah daging dicincang halus, bumbu-bumbu ditambahkan pada adonan daging cincang kemudian dicampur hingga merata. Sluri dibuat dari bumbu-bumbu dan garam menggunakan dua gelas air lalu dicampur merata. Penambahan air bertujuan untuk memecah curing ingredients, memfasilitasi proses pencampuran dan memberikan karakteristik tekstur dan rasa pada produk sosis.
6.
Emulsifikasi Emulsifikasi adalah suatu system yang tidak stabil secara termodinamik yang
mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, satu diantaranya didispersikan sebagai globula-globula dalam fase cair lain. Fase yang didispersikan disebut sebagai fase terdispersi dan fase yang mendispersikan disebut sebagai fase kontinu (Martanti,2000). Struktur produk daging misalnya sosis hati , frankfurter dan bologna adalah contoh emulsi lemak dalam air. Lemak membentuk fase disperse dari emulsi sedangkan air yang mengandung protein dan garam terlarut membentuk fase kontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi
Universitas Sumatera Utara
mempunyai afinitas,baik terhadap air yaitu porsi molekul hidrofilik , maupun terhadap lemak yaitu molekul hidrofobik (Forrest et all, 1975). Kapasitas protein dan air mengikat globula tau partikel-partikel lemak di dalam suatu emulsi disebut kapasitas emulsi. Protein daging yang larut dalam air, terutama adalah protein sarkosplasmik. Protein miofibrilar merupakan agensia pengemulsi yang lebih efisien dan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan stabilitas emulsi yang lebih besar dibandingkan protein daging lainnya , misalnya protein sarkoplasmik (Soeparno,1992).
7.
Stuffing Menurut Hui(1992) stuffing merupakan tahap pengisian adonan sosis ke dalam
selongsong. Pengisisan adonan sosis ke dalam selongsong tergantung tipe sosis, ukuran kemudahan proses, penyimpanan serta permintaan konsumen.
8.
Pengeringan Pengeringan merupakan suatu metode untuk mengurangi / mengeluarkan
sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energy panas. Biasanya kandungan air bahan dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh didalamnya. Kadar air berpengaruh terhadap tekstur (Mujumdar,1995). Menurut Desrorier (1978) pengeringan bahan pangan dengan sinar matahari dapat menurunkan kandungan air dan menyebabkan pemekatan dari bahanbahan yang ditinggal seperti karbohidrat, lemak , protein sehingga bahan pangan memilikikualitas simpan yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
9.
Pemasakan Prosess pemasakan bertujuan agar daging sosis menjadi matang, meningkatkan
keempukan daging, meningkatkan kekompakan struktur daging karena terjadi koagulasi protein dan dehidrasi sebagian untuk memberika rasa dan aroma tertentu, memberikan warna yang lebih menarik karena denaturasi mioglobin pembentukan nitrosihemokrom, pasteurisasi sosis dan oleh karenanya memperpanjang masas simpan produk sosis. Pemasakan dapat dilakukan dengan perebusan, pengukusasn, pengasapan,
maupun
kombinasi
dari
ketiganya
selama
45-50
menit
(Forrest, et al , 1975). Proses pemasakan sosis dengan pemanasan adalah memanaskan produk sosis hingga suhu produk mencapai 65-700 C suhu ini cukup untuk membunuh mikroba ynag terdapat didalamnya (Purnomo, 1992).
10.
Cooling Proses ini bertujuan untuk menjaga agar produk makanan teteap awet dan
mikroba pembusuk yang tidak mati ataupun sel vegetatiifnya menjadi tidak aktif. Suhu chilling biasanya berkkisar antara 00 C-50 C bila terlalu lebih dari 50 C dikuatirkan bakteri tetap bekerja dan bila kerja enzim dari mikrobia pathogen maupiun pembusuk tetap aktif , maka akan menyebabkan bahan pangan tersebut akan lebih cepat rusak, serta toksik bahkan akan juga menyebabkan keracunan terhadap makanan tersebut (Jeremiah, 1996).
Universitas Sumatera Utara
11.
Pengemasan Menurut Paine dan Paine (1992) beberapa syarat syarat bahan pengemas untuk
bahan yang dibekukan adalah sebagai berikut: a) Harus mampu memberikan proteksi terhadap kemungkinan adanya dehidrasi. Dalam keadaan udara kering (suhu dingin) bahan pangan cenderung akan kehilangan air.b) Adanya oksigen bagi produk beku akan mempercepat terjadinya rancidity terutama bahan yang mengandung lemak sehingga bahan pengemas mampu menghalang masukn ya oksigen. c) Bila terjadi dehidrasi dan oksidasi dalam bahan pangan yang dikemas menyebabkan terjadinya freezeburn, permukaan bahan pangan akan mengalami pemucatan warna dan kemunduran tekstur(bahan pengemas mampu menghalangai penguapan bahan organic sehingga aroma dan flavor bahan dapat dipertahankan d) Bagian dari wadah terluar dapat digunakan agar embun udara atmosfer tidak meresap dalam wadah, bila terjadi peresapan uap air kedalam bahan yang dikemas mengakibatkan pembekuan yang berlebihan
12.
Penyimpanan Factor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan dalam pangan meliputi
yaitu : a) jenis dan bahan baku yang digunakan, b) metode dan keefektifan pengolahan,c) jenis dan keadaan kemasan,d) perlakuan mekanis yang cukup berat dalam produk yang dikemas dala penyimpanan, dan distribusi dan juga pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan. Setiap system atau jenis bahan pangan dalam suatu kondisi naik mempunyai daya simpan yang potensial, potensi ini dapat hilang dengan cepat oleh perlakuan mekanis yang cukup berat. Pengemasan yang tidak memadai dan kondisi penyimpanan yang jelek (Desrosier,1978). Penentuan kualitas sosis ynag difermentasi kini dilakukan dengan: a) Pengukuran keasaman,
Universitas Sumatera Utara
b) Kadar air , c) disamping uji organpoleptik. Penggunaan kultur pemula dalam proses fermentasi membutuhkan kondisi hygiene selam pengolahan karena kontaminasi kan sangat berpengaruh pada proses fermentasi. Pertumbuhan jamur pada permukaan sering dijumpai terjadi pada sosis yang diolah secara fermenytasi dan pertumbuhan ini diakibatkan oleh kondisi panas serta kelembaban dalam ruang pemasakan
Daun Jati 1. Klasifikasi Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotylledonae
Ordo
: Malvales
Famili
: Sterculiceae
Genus
: Guazuma
Species
: Guazuma ulmifolia Lamk
2. Nama Daerah a. Inggris
: Bastard cedar
b. Perancis
: Orme d’amerique
c. Meksiko
: Guasima
d. Melayu
: Jati belanda
e. Jawa Tengah
: Jati londo
(Backer dan Van Bakhuizen den Brink, 1965)
Universitas Sumatera Utara
3. Daerah Asal Tumbuhan & Morfologi Tumbuhan berasal dari Amerika. Morfologi tumbuhan berupa semak atau pohon, tinggi 10-20 m, percabangan ramping. Bentuk daum bundar telur sampai lanset, panjang helai daun 4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2-10 cm, pangkal menyerong berbentuk jantung, bagian ujung tajam, permukaan daun bagian atas berambut jarang, permukaan bagian bawah berambut rapat;8 panjang tangkai daun 5- 25 mm, mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau berbentuk paku, panjang 3- 6 mm. Perbungaan berupa mayang, panjang 2- 4 cm, berbunga banyak, bentuk bunga agak ramping dan berbau wangi; panjang gagang bunga lebih kurang 5 mm, kelopak bunga lebih kurang 3 mm, mahkota bunga berwarna kuning, panjang 3-4 mm, tajuk terbagi dalam 2 bagian, berwarna ungu tua kadang-kadang kuning tua, panjang 3-4 mm, bagian bawah terbentuk garis, panjang 2- 2,5 mm, tabung benang sari berbentuk mangkuk, bakal buah berambut, panjang buah 2 cm sampai 3,5 cm. Buah yang telah masak bewarna hitam (Anonim, 1978).
4. Habitat dan Daerah Distribusi Tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia L.) dibawa dari Amerika oleh orang Portugis ke Indonesia dan dikultivasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Suharmiati dan Herti, 2003). Tanaman ini tumbuh dengan biji, dapat juga dengan stek tunas berakar. Perbanyakan tanaman Jati Belanda (Guazuma ulmifolia L.) dilakukan dengan biji. Tanaman ini dirawat dengan disiram dengan air, dijaga kelembapan tanahnya, dan dipupuk dengan pupuk organik. Tanaman ini menghendaki tempat yang terbuka dengan cukup sinar matahari (Arief, 2005).
Universitas Sumatera Utara
5. Kandungan Kimia Seluruh bagian tanaman jati belanda (Guazuma ulmifolia L.) mengandung senyawa aktif seperti tanin dan mucilago. Kulit batang mengandung 10% zat lendir, 9,3% damar-damaran, 2,7% tanin, beberapa zat pahit, glukosa dan asam lemak. Zat utama yang terdapat dalam kandungan daun jati adalah tanin, lendir atau musilago. Kandungan lainnya antara lain alkohol, b-sitosterol, kafein, friedelin-3a-asetat, friedelin-3bol, terpen, trieterpen (sterol), karotenoid, flavonoid, resin, glukosa, asam lemak,
asam
fenolat,
zat
pahit,
karbohidrat,
serta
minyak
lemak
(Sulaksana dan Jayusman, 2005) Disamping itu karena kandungan lainnya seperti kasein, fenol, dan asam fenolat, jati belanda memiliki aromatik yang lemah. Kandungan utama daun jati adalah tanin dan musilago. Tanin bersifat astringen, senyawa ini diketahui dapat mengendapkan mukosa protein yang ada di dalam permukaan intestin (usus halus) yang dapat mengurangi penyerapan makanan, sehingga proses obesitas (kelebihan berat badan dapat dihambat). Jadi daun jati belanda dapai mengurangi berat badan (Suharmiati dan Herti., 2003). 6. Manfaat Tanaman jati belanda (Guazuma ulmifolia L.) mempunyai efek antidiare, astringen, dan menguruskan badan (Arief, 2005). Infus daun jati belanda (Guazuma ulmifolia L.) mempunyai khasiat antidiare pada tikus putih yang dibuat diare dengan menggunakan minyak jarak, semakin tinggi dosis yang diberikan semakin besar daya antidiarenya. Selain itu daun jati belanda bisa juga digunakan sebagai antidiare (Sundari dkk, 2001). Bagian dalam kulit batang tanaman jati belanda (Guazuma ulmifolia L.) dipakai untuk mengobati penyakit cacing dan kaki gajah.
Universitas Sumatera Utara
Kadar lemak Kadar lemak mempengaruhi keempukan daging dan kelezatan sosis, lemak juga melayani fase dispersi emulsi daging. Kadar lemak bervariasi diantara daging atau hasil sisa sehingga bisa menimbulkan masalah lemak non-emulsi, lemak yang tidak teremulsi harus diusahakan minimum. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil daripada lemak babi, karena lemak sapi lebih banyak mengandung asam-asam lemak jenuh. Dapat dilumatkan pada temperatur yang lebih tinggi, sedangkan lemak babi sudah mulai mencair pada temperatur rendah. Sosis masak harus mengandung lemak tidak lebih dari 30% (Judge et al.,1989). Dalam pembentukan adonan sosis yang stabil biasanya ditambahkan lemak, baik lemak nabati maupun lemak hewani karena disamping untuk kestabilan sosis penambahan lemak dalam pembuatan sosis juga untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk serta aroma yang lebih baik. Jumlah penambahan lamak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering, sedangkan terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang lunak dan empuk. Jumlah kadar lemak yang dibutuhkan dalam pembuatan sosis berkisar antara 5-20% (Purwaningsih, 2006). Jika lemak digunakan dalam jumlah sedang, maka rasa panganan menjadi lebih baik. Banyak cita rasa dan keharuman yang menyenangkan diperoleh dari lemak dalam pangan. Selain itu, selama proses pencernaan lemak meninggalkan perut lebih lambat dari karbohidrat dan protein, sehingga membantu menangguhkan serangan rasa lapar dan menyebabkan rasa puas pada seseorang. Lemak juga membawa vitamin A, D, E dan K, dan membantu proses pencernaan serta membantu absorbsi vitaminvitamin tersebut dan mengangkutnya ke seluruh tubuh (Kataren, 1968).
Universitas Sumatera Utara
Kolagen yang berlebihan selama pencampuran bahan sosis atau emulsifikasi pada sosis dapat meningkatkan daya air, tetapi selama proses pemanasan (misalnya 600C-650C) kolagen mengerut dan sebagiannya menjadi gelatin pada temperatur yang lebih tinggi dari 650C. Kolagen dan gelatinnya mempunyai daya ikat air yang baik tetapi mempunyai kemampuan emulsifikasi lemak yang rendah (Kramlich, 1971). Efek pengolahan terhadap lemak proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi yang tidak dipanaskan (dimasak) rata rata mencapai 17.2%, sedangkan jika dimasak dengan suhu 60ºC, kadar lemaknya akan turun menjadi 11.2 – 13.2% (Aprianto, 2002).
Tekstur Pada prinsipnya keempukan daging dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan atau kealotan daging dengan metode subjektif dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan cara struktur atau non struktur atau dengan cara yang lebih canggih atau kompleks, yaitu uji panel cita rasa yang disebut panel taste. Pengujian secara objektif dapat dilakukan secara mekanik termasuk pengujian kompresi (indikasi kealotan jaringan ikat), daya putus Warner-Bratzler (indikasi kealotan miofibril), adhesi (indikasi kekuatan jaringan ikat) dan susut masak (sensitif terhadap perubahan jus daging) (Moehyi, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Organoleptik Indra perasa kita dapat merasakan banyak makanan yang kita makan, hal ini dapat dipakai sebagai metode untuk menentukan kualitas makanan. Kita dapat membiasakan indera kita untuk mengenali atau menilai cita rasa dan kualitas makanan dengan cara melatih indera tersebut (Ammermen, 1987). Makanan yang telah dikunyah akan mengakibatkan keluarnya air liur yang kemudian menimbulkan rangsangan pada saraf pengecap yang ada di lidah. Makanan yang empuk dapat dikunyah dengan sempurna dan akan menghasilkan senyawa yang lebih banyak berarti intensitas rangsangan menjadi lebih tinggi (Moehyi, 1992). Cita rasa makanan yang ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap indera di dalam tubuh manusia, terutama indera pengecap. Makanan yang memiliki cita rasa tinggi adalah makan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat. Komponen yang berperan dalam penentuan kelezatan makanan adalah aroma makanan, bumbu masakan, keempukan dan kerenyahan makan serta tingkat pematangan dan temperatur makanan (Moehyi, 1992). Flavour dan aroma adalah sensasi kompleks yang saling berkaitan. Flavour melibatkan rasa, bau, tekstur, temperatur dan pH. Evaluasi bau dan rasa sangat tergantung pada panel cita rasa dan flavour daging selama pemasakan. Keragaman antara individu dalam respon intensitas dan kualitas terhadap stimulus tertentu (karena beberapa faktor luar) menyebabkan pemilihan anggota panel merupakan hal yang penting (Lawrie, 2003). Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi warna tristimulus. Ketiga notasi warna didefinisikan sebagai : hue = warna (misalnya merah, biru dan hijau), nilai = terang atau gelap, dan kroma = jumlah intensitas warna (bila hue
Universitas Sumatera Utara
bercampur dengan putih). Setiap warna dapat dibentuk dari campuran antara ketiga warna utama (merah, biru dan hijau) dan jumlah yang dibutuhkan untuk membentuk suatu warna disebut nilai tristimulus. Bau dan rasa daging masak banyak ditentukan oleh prekusor yang larut dalam air dan lemak, dan pembebasan substansi atsiri (volatil) yang terdapat di dalam daging. Senyawa-senyawa flavour di dalam lemak adalah spesifik di dalam daging. Senyawa-senyawa flavour di dalam lemak adalah spesifik untuk suatu spesies, jenis kelamin, atau bisa timbul dari ingridien pakan misalnya tepung ikan, bawang putih dan insektisida, atau diabsorpsi selama pengolahan dan penyimpanan. Flavour daging cured
masak terutama adalah karena bahan curing yang dipergunakan selama
prosesing, yaitu garam, gula dan nitrit, serta asap untuk daging cured asap. Ekstrak air daging misalnya daging sapi mentah yang dipanaskan akan menghasilkan flavour yang spesifik (Kramlich, 1971), hasil dialisi ekstrak air daging giling mentah menunjukkan adanya prekusor di dalam difusat yang menghasilkan lavour seperti daging sapi panggang jika dipanaskan dengan lemak, dan flavour seperti kaldu daging sapi jika dipanaskan dengan air (Batzer et al., 1960).
Universitas Sumatera Utara