4
TINJAUAN PUSTAKA
Tulang Tulang merupakan jaringan ikat khusus yang berfungsi sebagai alat penyokong, pelekatan, perlindungan, dan penyimpanan mineral. Konsekuensinya, jaringan ini dilengkapi dengan rigiditas, kekuatan yang sangat besar, serta elastisitas yang sangat terbatas. Kemampuan jaringan ini untuk menyimpan mineral terutama kalsium (Ca), kebanyakan dalam bentuk kristal hidroksiapatit, merupakan sifat utama yang membedakan tulang dari jaringan ikat lainnya (Samuelson 2007). Tulang secara eksternal diselaputi oleh sebuah jaringan bernama periosteum. Periosteum berisi pembuluh darah, lapisan tebal serabut kolagen yang tersusun padat tidak beraturan, dan sel-sel yang mampu berdiferensiasi menjadi osteoblas (sel osteogenik). Semua bagian tulang diselaputi oleh periosteum, kecuali bagian yang terdapat artikulasi dengan tulang lainnya. Tulang memiliki ruang internal di bagian tengahnya yaitu rongga sumsum, yang di dalamnya terdapat sel stem dari sel darah. Rongga sumsum dilapisi oleh selapis jaringan ikat tipis tervaskularisasi bernama endosteum. Endosteum juga memiliki sel-sel osteogenik seperti halnya periosteum (Kalfas 2001; Samuelson 2007). Tulang tersusun atas tiga jenis sel utama yaitu osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas adalah sel yang berperan dalam aktivitas sintesis komponen organik tulang, yang disebut sebagai prebone atau osteoid. Osteoblas terletak dalam suatu garis di sepanjang permukaan jaringan tulang. Saat aktif, osteoblas cenderung berbentuk kubus dan bersifat basofilik. Sedangkan saat kurang aktif, maka bentuknya akan menjadi lebih kempis dan kurang basofilik. Ketika aktivitas sintesis matriks berhenti dan osteoblas telah memasuki matriks tersebut maka osteoblas berubah namanya menjadi osteosit. Osteosit berada di dalam suatu ruangan berbentuk oval bernama lakuna yang terletak di dalam matriks yang telah termineralisasi. Lakuna memiliki penjuluran halus yang disebut kanalikuli. Kanalikuli menghubungkan antar lakuna yang berdekatan sehingga osteosit mampu mencapai pembuluh darah untuk pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme (Gambar 1).
5 Kanalikuli
Osteosit
Gambar 1 Struktur kanalikuli dan osteosit yang terkurung dalam lakuna (IOF 2009). Sitoplasma osteosit memiliki ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan sitoplasma osteoblas, serta memiliki organel sel yang lebih sedikit sehubungan dengan aktivitas metaboliknya. Osteosit memfasilitasi pemeliharaan lingkungan ekstraseluler yang telah termineralisasi. Saat terstimulasi oleh hormon paratiroid (PTH), osteosit mampu segera melepaskan mineral (termasuk Ca) dari matriks ekstraseluler dengan menyekresikan hidrolase. Proses ini dikenal sebagai osteocytic osteolysis yang berperan penting dalam pelepasan Ca secara cepat. Osteoklas merupakan sel raksasa multinukleus (≥ 6-50 inti) yang terlibat dalam resorpsi dan remodeling tulang. Sel ini, yang terlihat asidofilik secara sitologi, memiliki banyak lisosom serta organel sel lainnya yang berkembang baik. Osteoklas yang diketahui berasal dari sumsum tulang, merupakan turunan dari sejumlah gabungan monosit. Pada proses pertumbuhan dan remodeling tulang, osteoklas secara kontinu akan melakukan penyerapan (osteoclasia). Proses osteoclasia merupakan hasil dari sekresi beberapa macam material termasuk asam dan enzim hidrolitik. Asam yang disekresikan seperti asam laktat dan sitrat, memiliki pH rendah sehingga memudahkan pelepasan mineral. Sedangkan enzim hidrolitik, seperti acid hydrolase, collagenase, dan lainnya, mampu mencerna matriks ekstraseluler. Osteoclasia terutama diatur oleh sistem endokrin, antara lain: kelenjar tiroid yang menyekresikan hormon kalsitonin dan kelenjar paratiroid yang menyekresikan hormon paratiroid (Samuelson 2007).
Matriks Ekstraseluler Tulang (Bone Extracellular Matrix) Sebagian besar jaringan tulang terdiri atas matriks ekstraseluler, yang kurang lebih 2/3 bagiannya berupa material anorganik dan sisanya berupa material organik. Sebagian besar material organik terdiri atas serabut kolagen tipe I (~94%) dan sejumlah kecil bahan dasar (Samuelson 2007; IOF 2009). Secara
6
umum tulang tersusun oleh 30% substansi organik, 55% substansi anorganik (mineral), dan 15% air (Aoki 1991). Material anorganik tulang seperti kalsium (Ca) dan fosfor (P) tersedia dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagian besar Ca dan P membentuk kristal hidroksiapatit, yang terletak berdampingan dengan serabut kolagen. Selain itu, beberapa mineral lain juga terdapat dalam jumlah sedikit antara lain: bikarbonat (HCO3-), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), dan lainnya. Kristal hidroksiapatit tersusun di sepanjang serabut kolagen dan di dalam celah serabut tersebut. Bahan dasar matriks tulang terdiri atas protein non-kolagenous, glikoprotein, proteoglikan, peptida, karbohidrat, dan lemak (Kalfas 2001). Molekul-molekul proteoglikan kecil terutama terdiri atas sulfated glycosaminoglycans, chondroitin 4-sulfate, dan keratan sulfate, melekat pada hyaluronans, membentuk suatu satuan komposit yaitu hyaluronic proteoglycan aggregate yang melapisi kristal hidroksiapatit (Samuelson 2007). Proteoglikan dalam komposit tersebut bersifat instrumental dalam inisiasi dan inhibisi proses mineralisasi tulang. Selama proses mineralisasi normal berlangsung, jumlah dari proteoglikan dalam ECM (Extracellular Matrix) relatif menurun. Jadi terdapat suatu hubungan timbal balik dalam jumlah proteoglikan dan derajat mineralisasi dalam tulang yang sedang tumbuh. Bahan dasar yang terutama terdiri atas satuan komposit tersebut, memungkinkan air untuk bersentuhan dengan kristal sehingga terjadi pertukaran ion. Sejumlah kecil glikoprotein dan protein matriks hadir dalam bahan dasar ECM dan berfungsi sebagai bahan pelekat (Samuelson 2007).
Klasifikasi Tulang Terdapat tiga tipe utama tulang yaitu woven bone, cortical bone, dan cancellous bone. Woven bone terdapat selama perkembangan embrio, selama persembuhan fraktur (pembentukan kalus), dan pada beberapa kasus patologis seperti hiperparatiroidisme. Tulang ini tersusun atas berkas kolagen yang tersusun acak serta ruang vaskular yang tidak beraturan dan dilapisi deretan sel osteoblas. Cortical bone, yang juga disebut tulang kompak atau tulang lamelar, merupakan bentuk kelanjutan woven bone yang telah mengalami remodeling.
7
Remodeling terjadi akibat infiltrasi pembuluh darah ke dalam woven bone melalui permukaan periosteal dan endosteal tulang. Unit struktural primer tulang kompak dinamakan osteon atau sistem Haversian. Osteon tersusun oleh osteosit, lakuna, dan kanalikuli yang tersusun dalam matriks ekstraseluler tulang yang berlapislapis membentuk lamel-lamel tulang (Gambar 2). Lamel-lamel tulang berbentuk silinder mengelilingi sebuah saluran longitudinal yang disebut saluran Havers (Kalfas 2001; Samuelson 2007). Saluran Havers mengandung pembuluh darah, nervus vasomotorik, sel-sel osteoblas dan osteoprogenitor. Osteon-osteon dapat saling berhubungan melalui suatu saluran horisontal yang bernama saluran Volkmann. Melalui saluran Volkmann, pembuluh darah dan syaraf dari periosteum dan endosteum dapat mencapai saluran Havers sehingga pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme dapat terjadi (Samuelson 2007). Osteosit Kanalikuli
Saluran Havers
Gambar 2 Osteon yang merupakan unit struktural primer tulang. Terdiri atas lamel-lamel konsentris dan saluran Havers (IOF 2009). Osteon terbentuk di sepanjang pinggiran tulang kompak dengan pembentukan asimetris lamel-lamel interstitial yang mengelilingi sebuah pembuluh darah. Lamel dan jaringan osteogenik terdekat kemudian mengelilingi pembuluh darah tersebut dan osteon muda terbentuk. Osteoblas, yang sekarang merupakan bagian dari endosteum, mensekresikan matriks osteoid secara konsentris, dan osteosit menjadi terbenam dalam matriks tersebut. Ukuran osteon semakin mengecil dan sejumlah kecil jaringan osteogenik, syaraf, dan pembuluh darah tinggal di dalamnya (Samuelson 2007). Kekuatan mekanik dari tulang kompak bergantung pada kepadatan susunan osteonnya (Kalfas 2001). Cancellous bone (trabecular bone) terletak di antara permukaan bagian dalam tulang kompak. Cancellous bone berisi elemen hematopoietik dan bony trabeculae (Kalfas 2001). Bony trabeculae (trabekula tulang) merupakan spikula
8
tulang yang saling berhubungan membentuk jaring-jaring yang saling berhubungan (Dorland 2002). Jaring-jaring yang saling berhubungan tersebut terisi oleh sumsum tulang. Trabekula terutama terdapat pada bagian ujung tulang panjang. Cancellous bone secara berkelanjutan akan mengalami remodeling pada permukaan internal lapisan endosteum tulang (Kalfas 2001). Gambaran struktur tulang trabekular dan tulang kompak dapat terlihat jelas pada tulang panjang. Bila tulang panjang dipotong (Gambar 3 A dan B), maka akan terlihat bagian tulang kompak dan tulang trabekular. Bagian luarnya dibentuk oleh tulang kompak, sedangkan bagian dalamnya dibentuk oleh tulang trabekular yang mirip bunga karang (spongy). Bagian tengah tulang panjang dinamakan sebagai diafise, dan kedua ujungnya dinamakan epifise. Antara epifise dan diafise terdapat daerah pertumbuhan tulang yaitu metafise, yang memungkinkan pertumbuhan memanjang tulang. Diafise hampir seluruhnya tersusun atas tulang kompak, dan sedikit tulang trabekular pada bagian tengah yang berbatasan dengan sumsum tulang. Sedangkan epifise, hampir seluruhnya terdiri atas tulang trabekular dan selapis tipis tulang kompak pada bagian luarnya (Mills 2007). (A)
(B) Kartilago persendian
Lamela Kanalikuli Osteon
Lakuna
Tulang kompak
Epifise
Tulang cancellous Saluran Havers
Garis epifiseal Tulang spongy Rongga sumsum
Diafise
Endosteum Periosteum
Periosteum Saluran Volkmann
Epifise
Kartilago persendian
Gambar 3 Berbagai gambaran struktur tulang. Tulang kompak dan cancellous (A), dan potongan melintang tulang panjang (B) (IOF 2009). Proses Histogenesis Tulang Pertumbuhan tulang terbentuk dari jaringan ikat, baik pada masa embrio maupun pascanatal. Dilihat dari proses perkembangannya, tulang dibedakan menjadi dua pola, yakni osifikasi intramembranous dan intrakartilagenous.
9
Pada osifikasi intramembranous, tulang langsung berkembang dari jaringan ikat, yang dimulai dari tengah mesenkim yang disebut “pusat pertulangan”. Mesenkim akan mengalami peningkatan vaskularisasi dan proliferasi. Selanjutnya terjadi perubahan bentuk sel yang menghasilkan sel osteogenik dan osteoblas. Osteoblas kemudian menjadi aktif menghasilkan matriks dan serabut kolagen, yang mula-mula masih lunak (osteoid). Osteoid tersebut kemudian mengalami kalsifikasi oleh garam Ca berupa kristal hidroksiapatit (Hartono 1989). Tulang-tulang yang mengalami proses ini adalah sejumlah tulang yang berfungsi sebagai pelindung seperti tulang frontal dan parietal tengkorak, tulang rahang bawah, dan rahang atas (Samuelson 2007). Pada osifikasi intrakartilagenous (Gambar 4), jaringan ikat mula-mula menumbuhkan “tulang rawan miniatur”, yaitu suatu tulang rawan hialin, bentuknya mirip tulang dewasa hanya formatnya kecil. Tulang rawan ini selanjutnya akan dirombak, dan digantikan dengan tulang. Osifikasi dimulai dari tengah tulang rawan dan meluas ke seluruh arah sesuai dengan pertumbuhan tulang rawan (Hartono 1989). Proses pembentukan tulang ini terjadi pada pembentukan tulang panjang dan tulang pendek (tulang-tulang penahan bobot tubuh) seperti tulang femur, tibia, dan lain-lainnya. Pada masa fetus, hampir semua tulang tubuh merupakan tulang rawan. Namun seiring dengan perkembangan fetus dan setelah kelahiran, tulang rawan tersebut berkembang menjadi tulang untuk menyediakan kekuatan terhadap tekanan-tekanan yang makin bertambah (Mills 2007; Samuelson 2007).
Gambar 4 Proses osifikasi intrakartilagenous (Reza 2008).
10
Proses Modeling dan Remodeling Tulang Modeling tulang adalah suatu kondisi saat proses resorpsi dan pembentukan tulang terjadi pada permukaan tulang yang berlainan (pembentukan dan resorpsi tidak berpasangan). Contohnya pada pertambahan panjang dan diameter tulang panjang. Modeling tulang terjadi sejak kelahiran hingga dewasa dan proses ini berperan dalam penambahan massa dan perubahan bentuk kerangka. Pada kondisi ini proses pembentukan tulang lebih dominan terjadi daripada proses resorpsi tulang. Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan tulang muda. Kondisi ini sebagian besar terjadi pada kerangka hewan dewasa untuk mempertahankan massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan resorpsi tulang secara bersamaan (berpasangan). Remodeling merupakan sebuah proses yang dinamis termasuk penggantian dan pengisian kembali baik tulang kompak
maupun
trabekular.
Proses
ini
terus-menerus
terjadi
untuk
mempertahankan massa tulang serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini kompleks dan dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh tekanan mekanis. Proses ini bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Secara bersamaan, ketiga sel ini membentuk BMU (Basic Multicellular Unit) atau unit remodeling tulang yang berperan dalam proses remodeling pada hewan dewasa (Mills 2007). Proses remodeling tulang terjadi dalam beberapa fase (Gambar 5), yaitu: 1. Aktivasi: pre-osteoklas terstimulasi menjadi osteoklas dewasa yang aktif. 2. Resorpsi: osteoklas mencerna matriks tulang tua. 3. Pembalikan: akhir dari proses resorpsi, saat osteoklas digantikan oleh osteoblas. 4. Pembentukan: osteoblas menghasilkan matriks tulang yang baru. 5. Fase pasif: osteoblas selesai menghasilkan matriks dan terbenam di dalamnya. Beberapa osteoblas membentuk sederet sel yang berjejer di permukaan tulang yang baru.
Gambar 5 Proses remodeling tulang (IOF 2009).
11
Persembuhan Kerusakan Tulang Kerusakan segmental tulang akibat defek pengeboran prinsipnya hampir sama dengan kerusakan pada patah tulang (fraktur). Namun dalam persembuhan kerusakan segmental tersebut, di dalam defek pengeboran diberi suatu biomaterial/implan tulang. Boden et al. (1995) menyebutkan bahwa proses penyatuan implan tulang dalam spinal fusion model hampir sama dengan proses persembuhan tulang yang terjadi dalam keadaan persembuhan fraktur. Fraktur merupakan kerusakan dalam suatu jaringan ikat makhluk hidup, dan persembuhannya dapat dicapai melalui pertumbuhan sel. Tahap-tahap persembuhan tulang dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 1. Proses Persembuhan Fraktur Minggu Ke-1
Minggu Ke-2 sampai ke-3
Hematoma dan inflamasi
Kalus halus
Minggu Ke-4 sampai ke-16
Minggu Ke-17 dan seterusnya
Kalus keras
Remodelling
Gambar 6 Proses persembuhan tulang (Anonim 2010).
12
Tabel 1 Persembuhan tulang pada fraktur tulang sederhana Waktu
Perubahan yang terjadi
<1 hari
Hari ke 1-5
Edema dan deposisi fibrin pada jaringan sekitar fraktur. Jaringan granulasi menginvasi bekuan darah. Proliferasi kondroblas dan osteoblas dari bagian pinggir periosteal dan endosteal.
Hari ke 3-7
Pembentukan kalus sementara seiring dengan tulang dihubungkan oleh jaringan granulasi dan pulau-pulau kartilago.
Minggu ke 1-4
Bony callus terbentuk oleh kalsifikasi. Penghubung kalus sementara oleh jaring-jaring trabekula osteoid yang dihasilkan osteoblas.
> 4 minggu
Remodeling tulang: proses penyerapan dan pembentukan tulang terus berlangsung. Penghilangan kalus eksternal. Pelekukan kalus internal untuk membentuk sumsum tulang.
Hemoraghi dan pembentukan hematoma. Penggumpalan darah pada daerah fraktur. Invasi makrofag untuk menghilangkan debris, sel darah merah, dan fibrin. Nekrosis sel osteosit pada daerah fraktur.
Secara histologi, persembuhan tulang dapat dibagi menjadi beberapa fase: 1. Fase hemoraghi dan pembentukan jaringan granulasi. Pada fraktur traumatis sederhana pada tulang panjang, patahan tulang mengalami pergeseran dari lokasi normalnya dan jaringan lunak di sekitarnya ikut terlukai (Cheville 2006). Selama 24-48 jam pertama setelah pelukaan, gambaran histologi persembuhan tulang memperlihatkan adanya eksudat traumatik berisi serum dan darah akibat pecahnya pembuluh darah (Watson-Jones 1952). Hemoraghi terjadi di sepanjang daerah fraktur dan otot apabila darah merembes keluar dari periosteum yang sobek. Koagulasi darah dengan segera membentuk bekuan darah yang mengisi celah fraktur. Kerusakan vaskular mengakibatkan terjadinya nekrosis pada jaringan tulang di sekitar fraktur. Osteosit mati akibat kehilangan nutrisi yang biasanya disuplai melalui pembuluh darah. Periosteum dan sumsum lebih tervaskularisasi dengan baik sehingga kejadian nekrosis pada bagian ini lebih sedikit (Cheville 2006). Bekuan darah selanjutnya berubah menjadi jaringan granulasi untuk melindungi tulang yang rusak (Samuelson 2007). Jaringan granulasi merupakan jaringan ikat fibroblastik tervaskularisasi pada persembuhan luka. Monosit memasuki daerah fraktur dan berubah menjadi makrofag yang berperan utama dalam proses persembuhan tulang (Cheville 2006).
13
2. Fase pembentukan kalus. Dalam waktu 48 jam setelah fraktur, bekuan darah diserbu oleh sel-sel osteogenik dari lapisan periosteum, endosteum, dan sumsum tulang. Sel-sel ini berproliferasi di pinggir fraktur dan secara cepat menyerbu bekuan darah dan daerah nekrotik sekitarnya untuk membentuk kalus. Kalus merupakan massa jaringan yang berfungsi melekatkan ujung-ujung tulang yang patah (Cheville 2006). Proses pembentukan kalus yang berasal dari periosteum, endosteum, dan sumsum tulang tersebut bertemu dalam satu proses yang sama (Rizka 2010). Proses terus berlangsung ke bagian dalam dan luar tulang sehingga menjembatani permukaan fraktur satu sama lain. Awalnya, kalus merupakan jaringan granulasi (kalus lunak) yang kemudian akan berubah menjadi jaringan tulang dan tulang rawan (kalus keras) (Cheville 2006). 3. Fase pembentukan tulang rawan. Dalam waktu satu minggu, sel-sel yang berproliferasi mulai berdiferensiasi menjadi kondroblas dan tulang rawan terbentuk. Material matriks terdeposit mengelilingi sel. Dalam proses kalsifikasi tulang rawan, vesikula kecil matriks dilepaskan di bawah pengaruh enzim yang meningkatkan konsentrasi lokal orthophosphate dan mengarah pada pembentukan hidroksiapatit. Pada 7 sampai 10 hari, pH kalus meningkat sehingga membantu proses deposisi garam kalsium. Tulang rawan yang terbentuk bersifat hanya sementara karena akan segera digantikan oleh woven bone. Matriks ekstraseluler tulang rawan mengalami kalsifikasi, sehingga menyebabkan kondrosit mati. Proses perubahan tulang rawan menjadi tulang terjadi melalui mekanisme osifikasi intrakartilagenous. 4. Fase pembentukan tulang baru. Selama kalus yang terbentuk sebelumnya menghilang, osteoblas menghasilkan osteoid dengan susunan yang lebih teratur. Molekul kolagen berorientasi di sekeliling pembuluh darah untuk membentuk sistem Haversian. Osteoklas kemudian melekat pada permukaan trabekula tulang untuk meresorpsi tulang. Woven bone yang lebih dahulu terbentuk secara bertahap berubah menjadi cortical bone dan kalus berlanjut mengalami remodeling. Secepatnya, dengan ketepatan serta respon kalus yang minimal, susunan tulang terbentuk kembali dan kalus tidak teraba lagi (Cheville 2006).
14
Ada kalanya fraktur terjadi cukup parah sehingga membutuhkan tindakan lain untuk membantu persembuhan tulang yang sempurna. Tindakan tersebut dapat berupa cangkok tulang atau bone graft (Samuelson 2007). Jika menggunakan suatu bone graft, persembuhan tulang akan dimulai dengan terisinya perbatasan antara tulang-graft dengan jaringan tulang baru. Graft akan mengalami vaskularisasi dan secara perlahan akan digantikan oleh pertumbuhan tulang baru. Perbatasan antara tulang-graft akan sembuh dalam 1 sampai 3 bulan, namun proses remodeling terhadap graft dapat berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan yang lamanya tergantung pada besarnya graft.
Biomaterial Pengganti Tulang Biomaterial merupakan suatu material, baik bersifat alamiah maupun buatan, yang dapat berinteraksi dengan sistem tubuh dengan tujuan untuk memperbaiki (repair), memulihkan (restore), dan menggantikan jaringan yang rusak (replace) atau sebagai penghubung (interface) dengan lingkungan fisiologis tubuh (Darwis 2008). Pemilihan biomaterial yang tepat sangatlah diperlukan dalam proses implantasi. Tentunya biomaterial yang dipilih adalah yang bersifat osteoinduktif, osteokonduktif, biokompatibel, bioaktif, stabil secara biomekanis, bebas penyakit, serta mengandung faktor antigen minimal (Kalfas 2001), bioresorbabel (Samsiah 2009) dan biodegradabel (Pane 2008). Osteoinduktif adalah kemampuan biomaterial untuk menginduksi sel-sel sumsum tulang atau osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang dewasa (Laurencin 2009). Osteokonduktif adalah kemampuan biomaterial untuk mendukung pelekatan sel-sel osteoblas baru dan osteoprogenitor, menyediakan struktur saling berhubungan sehingga sel-sel baru dapat berpindah dan pembuluh darah baru dapat terbentuk (Laurencin 2009). Sifat biokompatibel adalah kemampuan biomaterial untuk menyesuaikan dengan kecocokan tubuh penerima, tidak mempunyai efek toksik maupun melukai fungsi biologis (Dorland 2002). Sedangkan bioaktif adalah kemampuan biomaterial untuk bereaksi dengan jaringan tubuh dan menghasilkan suatu ikatan yang sangat baik (Purnama 2006).
15
Autograft adalah biomaterial yang berasal dari tubuh pasien itu sendiri. Autograft memiliki kerugian karena ketersediaannya terbatas serta dapat meningkatkan resiko kehilangan darah, menimbulkan rasa sakit, dan memperbesar luka akibat operasi tambahan (Schnettler et al. 2004; Nandi et al. 2009). Allograft adalah biomaterial yang berasal dari spesies yang sama. Allograft berpeluang menularkan berbagai penyakit dan menimbulkan ketidakcocokan respon imun (Nandi et al. 2009). Xenograft adalah biomaterial yang berasal dari spesies, genus, maupun famili yang berbeda. Misalnya xenograft yang berasal dari tulang sapi. Namun graft tersebut memiliki keterbatasan dalam perbedaan karakter mineral tulang (Stavropoulos 2008). Biomaterial sintetik pengganti tulang merupakan alternatif yang dapat mengatasi keterbatasan beberapa metode sebelumnya. Penggunaan biomaterial sintetik secara tepat untuk substitusi tulang tidak akan menimbulkan inflamasi serta tidak menyebabkan respon iritasi (Nurlaela 2009). Saat ini penggunaan biomaterial sintetik yang memiliki kemiripan dengan fase anorganik tulang telah mengalami peningkatan di bidang operasi rekonstruksi tulang karena sifat biokompatibilitasnya yang unggul (Schnettler et al. 2004).
Hidroksiapatit (HA) Secara umum penyusun utama komponen anorganik tulang adalah kalsium fosfat yang mempunyai dua fase yaitu amorf dan kristal. Senyawa kalsium fosfat kristal hadir dalam empat fase, yaitu dikalsium fosfat (DKF, CaHPO4.2H2O), okta kalsium fosfat (OKF, Ca8H2PO4.5H2O), trikalsium fosfat (TKF, Ca3(PO4)2) dan hidroksiapatit (HA, Ca10(PO4)6(OH)2). Senyawa kalsium fosfat yang paling stabil adalah hidroksiapatit (Saraswathy et al. 2001). HA terdiri atas kalsium dan fosfat dengan rasio perbandingan 1,67 (Pane 2008). Penggunaan HA sebagai material implan untuk aplikasi medis semakin meningkat saat ini. Beberapa penelitian seperti di India, telah memanfaatkan bahan alam seperti batu koral, ganggang laut, dan cangkang telur ayam sebagai sumber CaCO3 untuk pembentukan HA. Bahan alam diyakini lebih dapat diterima oleh tubuh karena memiliki persamaan sifat fisiko kimia (Nurlaela 2009). Dua
16
penggunaan HA yang paling umum antara lain sebagai pelapis implan titanium atau sebagai bahan pembentuk komposit (Pattanayak et al. 2005). HA banyak digunakan dalam dunia orthopedik karena sifat fisis, kimia, mekanis, dan biologisnya sangat mirip dengan komponen utama tulang manusia (Pattanayak et al. 2005; Pane 2008). Sifat HA yang paling menarik adalah kemampuan biokompatibilitasnya yang sangat baik. HA mampu berkontak dan menyatu secara kimiawi dengan jaringan tulang (Pane 2008). Selain itu, HA memiliki beberapa sifat yang menonjol lainnya yakni: osteokonduktif, berpori, bioresorbabel, bioaktif, tidak korosi, inert, tahan aus (Samsiah 2009), serta mudah didapatkan dalam jumlah banyak (Pane 2008). Beberapa penelitian telah membuktikan kemampuan HA sebagai bahan pengganti tulang. Salah satunya terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Reddy dan Swamy (2010), tentang penggunaan HA sebagai biomaterial pengganti tulang pada beberapa kasus orthopedik. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk lesio kecil, HA sendiri saja sudah cukup namun untuk lesio yang lebih besar, lebih ideal untuk mencampurkan HA dengan autogenous bone graft untuk mempercepat persembuhan. Terdapat pertumbuhan tulang baru serta persembuhan lesio yang baik. Selain itu, tidak ditemukan reaksi imunogenik tubuh terhadap material HA. Uji mekanik memperkuat pendapat bahwa HA menyatu ke dalam tulang lebih kuat daripada autogenous bone graft. Hal tersebut karena kemampuan biodegradasi HA lebih lambat daripada autogenous bone graft sehingga mampu memberi kekuatan mekanis yang lebih lama (Reddy & Swamy 2010).
Kitosan (K) Kitosan adalah biopolimer karbohidrat hasil ekstraksi kitin, yang merupakan biopolimer alami kedua disamping selulosa yang terdapat dalam jumlah melimpah. Kitin merupakan komponen struktural primer dari eksoskeleton hewan arthropoda (contohnya crustacean), dinding sel fungi, dan kutikula serangga. Kitin merupakan polisakarida dan polimer linear dari N-acetyl-Dglucosamine monomers yang bergabung dalam ikatan 1,4β-glikosidik (Shin et al. 2009). Kitosan merupakan derivat kitin yang diperoleh dengan menghilangkan
17
gugus asetilnya menggunakan basa pekat, sehingga bahan ini merupakan polimer dari D-glucosamine (Nurlaela 2009).
Gambar 7 Struktur kimia kitosan (Harisson 2009). Ketertarikan dalam pemanfaatan kitosan telah meningkat sehubungan dengan sifat biologisnya yang unggul, seperti biokompatibilitas, mudah terdegradasi tanpa meninggalkan racun, tidak karsinogenik terhadap hewan maupun manusia, bioaktif (Nurlaela 2009) serta memiliki efek anti bakterial dan efek persembuhan yang cepat bagi jaringan (Shin et al. 2009). Studi lain memperlihatkan bahwa kitosan mampu meningkatkan pembentukan jaringan tulang dan dapat digunakan sebagai matriks dalam teknik pembuatan jaringan gingival. Paik et al. (2001) melaporkan bahwa kitosan dapat meningkatkan sintesis kolagen tipe I pada tahap awal, dan memfasilitasi diferensiasi sel-sel osteogenik pada percobaan in vitro fibroblas ligamen periodontal manusia. Kitosan diketahui dapat mempercepat migrasi sel serta membantu pematangan jaringan. Oleh karena itu, semakin banyak dilakukan penelitian yang berkaitan dengan kemampuan kitosan dalam bidang dentistry dan bedah orthopedik (Shin et al. 2009).
Komposit Hidroksiapatit dan Kitosan (HA-K) Material komposit adalah kombinasi dua atau lebih fase material, baik secara makro atau mikro yang berbeda bentuk atau komposisi kimianya untuk memperoleh keseimbangan sifat (Samsiah 2009). Pengembangan teknologi komposit bertujuan untuk meningkatkan efisiensi struktur dan karakteristik sifat material yang signifikan, seperti untuk aplikasi material yang ringan tetapi sangat kuat (Samsiah 2009).
18
Tulang merupakan salah satu komposit alami berskala nano, karena tulang merupakan kombinasi fase organik dan anorganik (Nurlaela 2009). Material yang paling baik untuk menggantikan tulang adalah material yang memiliki kesamaan atau paling tidak identik dengan komposisi tulang yang sebenarnya. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menggantikan tulang dari material komposit yang dibentuk dari HA dan matriks polimer. Beberapa polimer yang dapat digunakan antara lain: kolagen, kitosan, asam polylactic, dan polymethylmethacrylate (PMMA) (Nurlaela 2009). HA yang serupa dengan komponen utama mineral tulang memiliki kekerasan yang rendah dan bersifat rapuh sehingga memberi kendala dalam proses desain (Pattanayak et al. 2005). Sedangkan kitosan yang merupakan biopolimer alami diharapkan dapat bersifat layaknya komponen organik matriks tulang serta dapat mengatasi sifat rapuh HA. Komposit HA-K memiliki keuntungan karena ketika matriks polimer terserap, tulang baru dapat tumbuh di sekitar partikel HA (Samsiah 2009).
Domba Lokal (Ovis ammon aries) Sebagai Hewan Coba Implan tulang dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan biomaterial yang ideal apabila telah melewati uji in vitro maupun in vivo. Hasil dari uji in vitro saja tidak cukup untuk dapat diterapkan pada manusia karena terkadang memberikan hasil yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan serangkaian uji in vivo pada berbagai jenis hewan coba sebagai simulasi kondisi klinis manusia. Hewan-hewan coba tersebut antara lain: anjing, domba, kambing, babi, dan kelinci (Pearce et al. 2007). Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba lokal atau domba ekor tipis (Ovis ammon aries) (Sutama & Budiarsana 2009). Lebih dari sepuluh tahun terakhir penggunaan domba sebagai hewan coba dalam penelitian orthopedik terus meningkat. Pada periode 1990-2001, sebanyak 9-12% penelitian orthopedik telah menggunakan domba sebagai hewan coba. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan periode 1980-1989 ketika penggunaan domba hanya sekitar 5% (Martini et al. 2001). Peningkatan jumlah ini mungkin berhubungan dengan masalah isu etika dan pandangan negatif masyarakat terhadap penggunaan hewan peliharaan sebagai hewan coba (Pearce et
19
al. 2007). Bermacam-macam penelitian orthopedik yang telah dilakukan dengan menggunakan domba antara lain tentang fraktur, osteoporosis, bone-lengthening, dan osteoarthritis (Martini et al. 2001). Secara makrostruktural, domba dewasa memiliki berat tubuh yang hampir menyerupai manusia dan memiliki dimensi tulang panjang yang cocok untuk model pemasangan implan tulang manusia dan prosthesis (Newman et al. 1995). Hal ini tidak dimiliki oleh spesies hewan yang lebih kecil seperti kelinci atau anjing ras kecil. Sedangkan secara histologi, struktur tulang domba sangat berbeda dibandingkan dengan tulang manusia. Domba digambarkan memiliki sebagian besar
struktur
tulang
berupa
tulang
primer
(deKleer
2006),
dalam
perbandingannya dengan struktur tulang manusia yang kebanyakan terdiri atas tulang sekunder (Eitel et al. 1981). Terdapat perbedaan dalam kepadatan tulang antara manusia dan domba. Tulang domba secara signifikan menunjukkan kepadatan yang lebih tinggi dan kekuatan yang lebih besar (Pearce et al. 2007). Sementara itu, perbandingan komposisi mineral tulang manusia dan domba tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Ravaglioli et al. 1996). Walaupun diakui adanya perbedaan dalam struktur tulangnya, beberapa studi berpendapat bahwa domba masih valuable sebagai model untuk penelitian remodeling dan pergantian tulang manusia. Beberapa penelitian tentang implantasi tulang menunjukkan bahwa tulang domba dan manusia memiliki pola yang serupa dalam hal pertumbuhan tulang (bone ingrowth) terhadap poros implan (Pearce et al. 2007).