TINJAUAN TENTANG STRATEGI MENEKAN ANGKA KEMATIAN DAN MENINGKATKAN LAJU PERTUMBUHAN PEDET DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI DI NUSA TENGGARA TIMUR I Gusti N. Jelantik Pusat Penelitian dan Pengembangan Sapi Bali Timor Universitas Nusa Cendana ABSTRAK Walaupun NTT selama ini menyandang sebagai gudang dan pemasok sapi nasional, namun ternak tersebut dihasilkan dari sistem peternakan dengan produktivitas rendah. Produktivitas ternak sapi di pulau Timor hanya 12% dari populasi yang ada. Rendahya produktivitas tersebut menyebabkan populasi yang ada sangat sensitif apabila terjadi peningkatan ekspor antar pulau maupun pemotongan ternak untuk konsumsi lokal yang akan menyebabkan penurunan populasi. Salah satu penyebab utama rendahya produktivitas sapi Bali di NTT adalah tingginya angka kematian pedet yang bervariasi antara 20 sampai 50%. Berbagai faktor telah teridentifikasi sebagai penyebab kematian pedet yaitu musim kelahiran yang jatuh pada musim kemarau, rendahnya berat lahir, rendahnya produksi susu induk yang mengalami stress nutrisi selama musim kemarau, sistem pemeliharaan ekstensif, penyakit dan karena predasi. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menghasilkan berbagai strategi dalam rangka menekan angka kematian pedet. Berbagai skema suplementasi dengan beragam bahan pakan (konsentrat lokal, multinutrien blok, protein, dsb.) dan kualitas telah diaplikasikan baik pada induk sebelum dan sesudah melahirkan dengan hasil bervariasi. Secara umum angka kematian dapat ditekan, walaupun kelayakan ekonomis aplikasi skema suplementasi demikian masih perlu dikaji secara mendalam. Strategi lainnya adalah memberikan suplementasi pakan berkualitas tinggi langsung pada pedet. Berbagai pakan telah dicobakan baik berupa pakan cair seperti susu kedelai maupun campuran ekstrak beberapa pakan lokal yang diramu sebagai pakan cair penambah susu. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi ini sangat efektif dalam menekan angka kematian pedet hingga 5% atau bahkan 0%. Di samping itu, pemberian hay rumput dan pakan padat pemula (konsentrat) berkualitas tinggi selain efektif menekan angka kematian juga meningkatkan laju pertumbuhan pedet. Respons terbaik diperoleh ketika strategi suplementasi dibarengi dengan strategi pemeliharaan berupa pengekangan anak selama induk menggembala di padang penggembalaan alam. Kata Kunci : pedet, pertumbuhan, mortalitas, suplementasi, strategi pemeliharaan PENDAHULUAN Tingginya angka kematian pedet sebelum disapih merupakan faktor utama penyebab rendahnya produktivitas sapi Bali di pulau Timor. Beberapa penelitian yang telah diadakan di daerah ini pada umumnya mengungkapkan tingginya angka kematian pedet tersebut. Wirdahayati (1989) melaporkan bahwa tingkat kematian pedet pada sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif atau semi-intensif di NTT berkisar antara 25 sampai 30%. Bamualim dkk. (1990), Malessy dkk. (1990) dan Bamualim (1992) mencatat kematian pedet mencapai 47% dari jumlah yang dilahirkan. Tingkat kematian yang sangat tinggi yaitu lebih dari setengah (53,3%) juga pernah dilaporkan (Fattah, 1998). Survei yang belakangan dilakukan selama 2 tahun berturut-turut pada dua sistem pemeliharaan yang berbeda (gembala dan diikat) juga mengindikasikan bahwa kematian anak sapi masih tetap sangat tinggi (Jelantik, 2001a). Nampak jelas bahwa kematian pedet merupakan faktor yang paling berperanan yang menyebabkan kelangkaan bakalan untuk digemukkan dan kemudian diantar-pulaukan. Hasil penelitian Jelantik (2001a) menyimpulkan bahwa hasil anak per tahun dari sekelompok betina induk hanya 21% karena hampir setengah dari anak yang lahir mati sebelum berumur 1 tahun. Dari data-data
tersebut bisa dibayangkan tingkat kerugian ekonomis yang telah dialami oleh peternak di daerah ini selama bertahun-tahun. Jumlah kematian pedet per tahunnya mencapai 66.464 ekor pedet dengan asumsi 35,1% dari 192.024 ekor yang dilahirkan oleh sekitar 302.400 ekor betina pada tahun 1998 pada saat populasi sapi di Nusa Tenggara Timur mencapai 720 ribu ekor (Jelantik, 2001a). Jika seekor pedet pada umur satu tahun di hargai antara Rp. 800 ribu hingga 1 juta rupiah, maka kerugian yang dialami peternak setiap tahunnya mencapai 53,17 sampai 66,5 milliar rupiah. Angka ini merupakan kerugian ekonomis yang sangat besar bagi daerah ini. Jadi jelaslah bahwa upaya menekan kematian pedet akan secara signifikan meningkatkan produktivitas ternak di NTT. Perhatian terbesar nampaknya harus diarahkan pada upaya memenuhi kebutuhan susu anak yang dilahirkan selama musim kemarau. Peningkatan produksi susu oleh induk sapi Bali misalnya dengan suplementasi mungkin salah satu alternatif yang dapat dilakukan. Sukarini dkk. (2000) melaporkan bahwa dengan pemberian suplemen yang tepat, produksi susu sapi Bali dapat ditingkatkan secara signifikan. Namun beberapa penelitian yang dilakukan di pulau Timor, terbukti suplementasi nampaknya sulit untuk meningkatkan produksi susu sapi Bali. Jelantik dkk. (1998) dan Jelantik (2001a) telah mencoba memberikan suplementasi kepada induk menyusui dengan beragam jenis suplemen pada level yang diyakini dapat memberikan respons. Namun kenyataannya suplementasi gagal meningkatkan produksi susu tetapi tampilan kondisi tubuh yang lebih baik. Pengalaman ini menunjukkan bahwa pemberian suplemen mungkin sebaiknya langsung pada pedet. Pemberian pakan cair suplemen susu mungkin akan membantu menanggulangi kematian ternak. Namun demikian pemberian susu tambahan ini nampaknya harus dibarengi dan atau dilanjutkan dengan pemberian pakan padat pemula (calf starter). Studi yang dilakukan Jelantik (2001a) juga mengungkapkan adanya dua puncak kematian pedet selama musim kemarau yaitu pada Juli dan Agustus serta pada bulan Oktober. Konsentrasi kematian yang pertama (Juli) diyakini disebabkan oleh ketidakcukupan susu, sementara puncak yang kedua disebabkan oleh kelangkaan pakan padat/hijauan selama akhir musim kemarau sementara pedet sudah mulai mengkonsumsi dan tergantung pada hijauan. TINGGINYA MORTALITAS PEDET MERUPAKAN PENYEBAB UTAMA RENDAHNYA PRODUKTIVITAS SAPI BALI DI NTT Ternak sapi merupakan produk pertanian andalan propinsi NTT terutama pulau Timor dimana 90% dari total populasi sapi yang ada berada di wilayah ini. Sapi menyumbang pendapatan terpenting bagi daerah ini diantara produk pertanian lainnya.Terlepas dari peran penting ternak sapi bagi sosial ekonomi penduduk NTT, sangat ironis jika sistem peternakan masih bersifat ekstensif tradisional dengan produktivitas yang sangat rendah. Kendati jumlah ternak yang diantar-pulaukan setiap tahun masih terbilang cukup besar, namun jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan dengan populasi ternak yang ada. Total keluaran ternak (diantarpulaukan + dipotong secara lokal) dari populasi hanya sekitar 10% dari total populasi (lihat gambar 1). Survey yang dilakukan Jelantik (2001a) selama 2 tahun berturut-turut selama tahun 1998 dan 1999 memperlihatkan bahwa total produksi sapi Bali di pulau Timor hanya 12.8% dari total populasi. Ini berarti untuk menghasilkan satu ekor jantan yang dapat diantar-pulaukan atau satu ekor betina yang dipotong secara lokal per tahunnya diperlukan populasi sebesar 8 ekor. Rendahnya produktivitas sapi Bali di NTT telah mendapat perhatian yang besar bagi berbagai kalangan di daerah ini, kendati upaya peningkatan produktivitas ternak belum dilakukan secara memadai. Upaya pemerintah hingga saat ini baru terbatas pada adanya peraturan daerah tentang larangan pemotongan betina produktif dan inipun hanya mampu sebagai imbauan untuk menghindarkan pemotongan betina produktif (Littik, 2001). Langkah yang ditempuh pemerintah tersebut mungkin saja mampu mempertahankan jumlah ternak yang diantar-pulaukan, tetapi produktivitas akan tetap rendah. Di samping itu sebenarnya tidak cukup bukti bahwa pemotongan betina produktif sudah berlebihan seperti disinyalir banyak pihak. Statistik memang menunjukkan (gambar 1) bahwa telah terjadi peningkatan pemotongan ternak sapi yang kebanyakan ternak betina hampir 2 kali lipat dalam kurun waktu 8 tahun dari 12.820 ekor pada tahun 1990 menjadi 22.614 ekor pada tahun 1990. Seharusnya tidak perlu dikhawatirkan karena pada saat yang sama juga terjadi peningkatan populasi ternak dan proporsi betina dalam populasi sebenarnya
tidak berubah. Bamualim dkk. (1992) dalam suatu survey mencatat bahwa jumlah sapi betina mencapai 37% dari populasi dan angka ini tidak jauh berbeda dengan hasil survey tahun 1998-1999 yang 38,25% (Jelantik, 2001a). Dengan demikian, langkah yang sebenarnya lebih bijaksana adalah upaya harus diarahkan untuk meningkatkan produktivitas ternak yang ada. Namun demikian upaya demikian akan berhasil jika faktor-faktor yang mempengaruhi dapat secara tepat diidentifikasi. Upaya peningkatan produktivitas ternak sapi di NTT nampaknya tidaklah mudah mengingat banyaknya dan kompleksnya faktor-faktor yang secara simultan menyebabkan rendahnya produktivitas sapi Bali di NTT. Dalam upaya untuk membuat daftar faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas sapi Bali di NTT, mungkin pada akhirnya hanya sampai pada keyakinan bahwa faktor terpenting yang menyebabkan rendahnya produktivitas yaitu adalah rendahnya jumlah sapi bakalan yang siap untuk digemukkan atau menggantikan induknya (replacement stock). Faktor ini paling banyak dikeluhkan oleh peternak penggemukan atau perusahaan penggemukan di daerah ini. Terlepas dari itu, rendahnya jumlah bakalan ini dapat disebabkan oleh berbagai penyebab antara lain a) angka kelahiran rendah atau terjadi penurunan angka kelahiran, b) angka kematian pedet tinggi dan c) laju pertumbuhan anak sebelum dan setelah disapih rendah. Data angka kelahiran sapi Bali dalam dua dekade terakhir memang menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan angka kelahiran. Laporan-laporan terdahulu mencatat angka kelahiran yang tinggi yaitu 80% di pulau Timor (Banks, 1976), 83,4% (Pastika dan Darmadja, 1979) sampai 87% (Anon., 1971) di Bali, atau bahkan antara 90 sampai 100% di Australia (Kirby, 1979). Angka kelahiran yang tinggi tersebut merupakan potensi bangsa sapi Bali yang prelific dan potensi ini namun sulit dicapai karena terkendala oleh faktor-faktor yang belum terungkap hingga kini. Penelitian-penelitian terakhir pada umumnya mencatat angka kelahiran yang lebih rendah. Survey yang dilakukan oleh Wirdahayati dkk. (1994) pada peternakan semi intensif di pulau Timor melaporkan angka kelahiran sebesar 64%. Fattah (1998) juga mencatat angka kelahiran sebesar 65,7% pada sapi Bali yang digembalakan secara ekstensif. Jelantik (2001) melaporkan angka kelahiran 63,5% namun bervariasi antar desa dari 51,1% hingga 73,4%. Membandingkan kedua data tahun 70an dengan 90an, nampaknya memang telah terjadi penurunan angka kelahiran yang cukup signifikan. Sungguhpun demikian, angka kelahiran yang dilaporkan belakangan tersebut sebenarnya sudah cukup tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi lain. Sebagai contoh, sapi Ongole di pulau Sumba dilaporkan oleh Wirdahayati dan Bamualim (1990) mempunyai angka kelahiran hanya 30%. Permasalahannya adalah penurunan angka kelahiran tersebut dibarengi oleh tingginya angka kematian pedet dan anak sapihan. Tingginya tingkat mortalitas terutama pada pedet telah terungkap dari beberapa studi yang telah dilakukan seperti dirangkum pada Tabel 1. Nampak jelas bahwa kematian pedet merupakan faktor yang paling berperanan yang menyebabkan kelangkaan bakalan untuk digemukkan dan kemudian diantar-pulaukan. Hasil penelitian Jelantik (2001) menyimpulkan bahwa hasil anak per tahun dari sekelompok betina induk hanya 21% karena lebih dari setengah dari anak yang lahir mati sebelum berumur 1 tahun. Tabel 1. Tingkat mortalitas sapi di NTT pada umur yang berbeda Umur Ternak Pedet (< 1 tahun)
Sapihan (1 - 2 tahun) Dewasa
Mortalitas (%) 25 - 30 20 - 47 47 53,3 35,1 (24,1 - 51,2) 4-8 7 - 21 <5 5-8
Peneliti Wirdahayati (1989) Bamualim dkk. (1990) Malessy dkk. (1991) Bamualim (1992) Fattah (1998) Jelantik (2001) Wirdahayati (1994) Jelantik (2001) Wirdahayati (1994) Jelantik (2001)
FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA MORTALITAS PEDET SAPI PADA SISTEM GEMBALA EKSTENSIF TRADISIONAL DI NTT Tingginya kematian anak sapi ini sebelumnya disinyalir merupakan karakteristik dari bangsa sapi Bali. Sebagai contoh, Kirby (1979) memberikan alasan lemahnya hubungan antara anak-induk sebagai penyebab tingginya mortalitas pedet. Peneliti tersebut mendapatkan tingginya kejadian cross suckling pada kelompok sapi Bali di semenanjung Cobourg di Australia Utara. Sebagian peternak di NTT juga mendapatkan anak sapinya lari bersembunyi ke semaksemak sampai berhari-hari. Fenomena ini sekilas didukung oleh kenyataan bahwa mortalitas anak sapi Bali relatif tidak berubah dari tahun ke tahun (lihat tabel 1) walaupun hampir dipastikan telah terjadi perubahan lingkungan yang cukup signifikan pada awal dan akhir tahun 90an. Namun apabila kita perhatikan lebih jauh bahwa kematian anak sapi terkonsentrasi pada pertengahan dan akhir musim kemarau (Jelantik, 2001a), nampak faktor yang lebih mudah dipahami yaitu stress pakan memberikan sumbangan yang besar bagi tingginya angka kematian anak sapi. Kesimpulan ini juga dapat ditarik dari kenyataan mengapa hanya di NTT mortalitas begitu tinggi sementara di Bali (Anon., 1975) dan di daerah lainnya di Indonesia (Anon., 1981) angka kematian anak sapi hanya 7%. Perbedaan utama daerah NTT dengan daerah lainnya di Indonesia adalah adanya musim kelangkaan pakan selama kemarau yang panjang (8-9 bulan). Ironisnya, musim kelahiran anak sapi Bali di NTT justru terkonsentrasi selama bulan Juni sampai Agustus atau pada pertengahan musim kemarau (Toelihere dkk., 1990; Jelantik, 2001a). Mudah dipahami bahwa pedet yang dilahirkan oleh seekor induk yang mengalami stress pakan akan dibatasi oleh rendahnya produksi susu. Produksi susu sapi Bali pada musim kemarau hanya 0,79 (Wirdahayati dan Bamualim, 1990) sampai 1,4 kg/hari (Jelantik dkk., 1998; Jelantik, 2001). Gambar 2 memperlihatkan bagaimana fluktuasi ketersediaan dan kualitas hijauan di padang penggembalaan alam di pulau Timor. Selama musim hujan hijauan berkualitas tinggi tersedia dalam jumlah yang melimpah (Nullik et al., 1990; Jelantik, 2001). Kandungan protein kasar rumput 2 minggu setelah musim hujan dapat mencapai 15% dengan kecernaan in vitro mencapai 65% (Jelantik, 2001). Akan tetapi kualitas rumput yang ada di padang penggembalaan dengan cepat menurun ketika memasuki musim kemarau karena rerumputan telah mencapai tingkatan kedewasaan dan atau karena kekeringan. Akibatnya hijauan pakan ternak yang ada selama musim kemarau yang panjang adalah pakan berkualitas rendah dengan kadar protein kasar mendekati 3% (Riwukaho,1993; Nullik et al., 1990; Jelantik, 2001a) dengan kecernaan in vitro mendekati 40 % (Jelantik, 2001a) yang tentu saja bernilai guna rendah bagi ternak. Hal inilah yang menyebabkan produksi susu sapi Bali menjadi rendah dan menyebabkan kematian pedet. Puncak kematian pedet berikutnya terjadi pada akhir musim kemarau (Jelantik, 2001) pada stadium umur yang lebih tua (3-4 bulan) ketika mereka mulai mengkonsumsi hijauan pakan. Kelangkaan pakan dan dibarengi dengan kualitas yang sangat rendah telah menyebabkan defisiensi nutrisi pada pedet dan pada banyak kejadian telah menyebabkan kematian pedet. Kematian pedet selama ini disinyalir disebabkan terutama oleh rendahnya produksi susu induk sebagai akibat stress nutrisi selama musim kemarau. Pada penelitian ini produksi susu induk sapi Bali pada semua perlakuan sangat rendah yaitu berkisar antara 0,72 sampai 1,15 kg/hari. Hasil penelitian ini sekali lagi membuktikan rendahnya potensi produksi susu induk sapi Bali. Produksi susu sapi Bali di pulau Timor sebelumnya dilaporkan oleh Wirdahayati dan Bamualim (1990) berkisar antara 0,79 sampai 1,4 kg/hari. Sementara itu, Jelantik (2001) mencatat produksi susu sapi Bali yang digembalakan mencapai 1,40 sampai 1,48 kg/hari. Sukarini dkk. (2000) di Pulau Bali juga melaporkan produksi susu 1,4 kg/hari. Selain karena rendahnya potensi genetik bangsa sapi dalam menghasilkan susu, musim kelahiran yang jatuh pada awal sampai pertengahan musim kemarau (Jelantik, 2001) merupakan salah satu penyebab utama terhadap rendahnya produksi susu sapi Bali. Seperti terlihat pada tabel 15 induk pada semua perlakuan mengalami penurunan berat badan yang cukup signifikan. Berbeda dengan pada sapi perah, sebagai bangsa sapi potong penurunan berat badan biasanya tidak banyak dikorbankan untuk mempertahankan produksi susu yang tinggi tetapi memang karena input nutrisi sudah jauh di bawah kebutuhan hidup pokok.
STRATEGI SUPLEMENTASI DALAM RANGKA MENEKAN KEMATIAN PEDET DAN MENINGKATKAN LAJU PERTUMBUHAN PEDET Pengetahuan kita tentang beragam penyebab tingginya tingkat kematian pedet pada sistem peternakan gembala esktensif tradisional di NTT akan semakin mendekatkan pada upaya penanggulangannya. Jika rendahnya kuantitas dan terutama kualitas adalah pangkal penyebab angka kematian pedet yang tinggi, dua alternatif pemecahan dapat dikedepankan. Modifikasi Musim Kelahiran Memodifikasi musim kelahiran yang kini jatuh pada periode kekurangan pakan selama musim kemarau ke periode kelimpahan hijauan pakan berkualitas (pertengahan sampai akhir musim hujan). Kendati menurut penulis metode ini cukup prospektif dan sangat penting untuk dikaji, namun beberapa permasalahan dan kendala mungkin harus dipecahkan. Hingga kini belum pernah terungkap mengapa induk sapi Bali 'menempatkan' musim kelahirannya pada periode yang 'tidak tepat' yaitu pada musim kemarau yang dapat mengancam keselamatan anaknya. Tentunya ternak sapi secara naluriah mempunyai alasan tertentu untuk mempertahankan kelangsungan spesies tersebut (Van Soest, 1994). Faktor-faktor peningkatan intensitas parasit selama musim hujan mungkin menjadi pertimbangan penting. Selain itu, diperlukan pengaturan perkawinan dan hal ini akan sangat sulit pada sistem peternak ekstensif tradisional. Hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang secara sistematis membandingkan antara mortalitas dan pertambahan berat badan pedet yang dilahirkan selama musim hujan dan musim kemarau. Namun demikian, hasil penelitian yang dilaksanakan selama musim hujan dilaporkan mempunyai penampilan pedet yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang dicatat pada penelitian yang dilaksanakan selama musim kemarau. Sebagai contoh, Belli (2002) melaporkan pertambahan berat badan anak sapi Bali yang induknya diberikan suplemen selama musim hujan mencapai 311 g per hari. Pertumbuhan pedet yang impresif juga dilaporkan oleh Jelantik dkk. (2002) yang mencapai 379 g per hari. Hasil-hasil penelitian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan selama musim kemarau yang mencatat pertambahan berat badan pedet berkisar 141 – 243 g per hari (Fattah, 1998; Jelantik et al, 2001b; Jelantik dkk., 2003; 2004; 2005). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa modifikasi musim kelahiran mungkin akan meningkatkan produktivitas sapi Bali di NTT. Strategi Suplementasi Pendekatan kedua adalah dengan suplementasi untuk menutupi defisiensi nutrien selama musim kemarau. Namun demikian pada kenyataannya keberhasilannya akan sangat tergantung dari beragam faktor termasuk pakan, ternak dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lainnya dan lebih lanjut dengan sosial ekonomi untuk menentukan kapan, apa dan seberapa banyak suplementasi harus diberikan dan bagaimana cara memberikan pada ternak dengan beragam tingkatan fisiologis yang berbeda pada lingkungan yang berubah secara progresif. Jelaslah bahwa suatu skema strategi suplementasi haruslah dibuat pada setiap daerah dengan kondisi tertentu dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut. Strategi suplementasi paling tidak meliputi beberapa aspek termasuk level optimal sesuai dengan tujuan suplementasi, macam suplemen, skala prioritas pada ternak mana suplementasi akan diberikan dan kapan harus dilakukan suplementasi. Suplementasi dalam Rangka Meningkatkan Produksi Susu Induk Sejauh ini upaya suplementasi dalam upaya menekan angka kematian pedet dan meningkatkan pertumbuhan pedet sapi Bali di NTT telah dicoba dilakukan. Peningkatan produksi susu sapi Bali merupakan sasaran utama suplementasi mengingat salah satu faktor penting yang menyebabkan tingginya angka kematian pedet sapi Bali adalah rendahnya produksi susu induk sapi Bali (Jelantik dkk., 1998). Jelantik dkk. (1998) mencoba memberikan suplementasi jerami jagung yang diammoniasi dan konsentrat kepada induk sapi Bali yang sedang menyusui.
Sementara itu, Mesakh (2000), Wirdahayati (2000), Siregar (2000) dan Jelantik (2001) juga telah berupaya memberikan beragam pakan suplemen untuk meningkatkan produksi susu sapi Bali. Hasil-hasil yang diperoleh pada umumnya menyimpulkan bahwa peningkatan produksi susu setelah suplementasi relatif kecil serta tidak sesuai dengan banyaknya suplemen yang diberikan. Yang lebih penting lagi bahwa hampir semua penelitian gagal meningkatkan laju pertumbuhan pedet. Sebagai contoh, Jelantik dkk. (1998) hanya mampu meningkatkan produksi susu sapi Bali sebanyak 0,2 kg per hari dari 1,2 menjadi 1,4 kg setelah disuplementasi dengan 1,5 kg konsentrat plus 1 kg jerami jagung yang diammoniasi atau setara dengan 2 feed unit untuk produksi 4 kg susu pada sapi perah di Denmark. Mesakh (2000) dengan memberikan 2 kg multinutrien block per hari pada induk sapi Bali yang digembalakan hanya meningkatkan produksi susu dari 1,37 kg/hari menjadi 1,81 kg/hari. Jelantik (2001) dengan memberikan pakan tambahan berupa 2 kg dedak padi dan 1 kg daun lamtoro kering bahkan mencatat peningkatan produksi susu hanya 0,1 kg dari 1,45 kg menjadi 1,55 kg/hari. Walaupun produksi susu dan tampilan pedet tidak secara signifikan meningkat setelah pemberian suplemen pada induk, hasil-hasil penelitian yang pernah dilaporkan menunjukkan adanya peningkatan performans induk. Suplementasi pada 3 bulan sebelum partus menekan penurunan kondisi tubuh setelah partus (Wirdahayati, 1994; Jelantik dkk., 1998; Jelantik et al., 2001b) atau bahkan meningkatkan kondisi tubuh setelah partus (Belli, 2002), mempercepat kebuntingan kembali dan angka konsepsi yang lebih tinggi (Wirdahayati dkk., 2000; Belli, 2002). Dengan demikian strategi pemberian suplemen pada induk baik sebelum dan setelah partus. Namun demikian strategi ini harus dievaluasi lebih lanjut terutama dari segi keuntungan ekonomi netto yang diindikasikan sebagai hasil produksi anak per tahunnya. Suplementasi pada Pedet Dalam rangka menekan angka kematian dan meningkatkan laju petumbuhan anak sapi Bali di pulau Timor, beberapa upaya telah dilakukan dengan memberikan pakan suplemen langsung pada pedet. Strategi ini diharapkan menekan biaya yang dikeluarkan untuk suplementasi mengingat kuantitas pakan yang dibutuhkan jauh lebih sedikit. Untuk tujuan tersebut beberapa penelitian telah dilakukan antara lain oleh Wirdahayati (2000) dan belakangan secara intensif diteliti oleh penulis (Jelantik dkk.., 2001b; Jelantik dkk., 2002; 2003; 2004; 2005). Beberapa jenis suplemen yang telah dicobakan antara lain pemberian tambahan hijauan berupa hay dan lamtoro (Jelantik dkk., 2001b; Jelantik, dkk., 2002; 2003), pakan cair berupa susu kedelai ( Wirdahayati 2000) dan pakan cair penambah susu (PCPS) yang terbuat dari berbagai hasil pertanian tumpang sari jagung (Jelantik dkk., 2002; 2003; 2004). Disamping itu pakan padat pemula (P3) juga telah dicobakan (Jelantik dkk., 2003; 2004;2005). Hasil-hasil penelitian tersebut pada umumnya menunjukkan bahwa pemberian suplemen berupa pakan cair penambah susu dan pakan padat pemula merupakan strategi yang sangat efisien dalam rangka menekan angka kematian pedet. Hasil dari hampir semua penelitian yang telah dilaksanakan mencatat absennya kematian pedet (mortalitas pedet 0%) pada kelompok pedet yang mendapatkan suplemen (Jelantik dkk., 2002; 2003; 2004; 2005). Hal ini secara meyakinkan menunjukkan besarnya peluang meningkatkan populasi dan produktivitas sapi Bali di pulau Timor dengan aplikasi pakan suplemen yang diberikan langsung pada pedet. Walaupun angka kematian pedet dapat ditekan seminimal mungkin, performans anak belum dapat ditingkatkan secara signnifikan dengan pemberian pakan cair penambah susu. Pertambahan berat badan hanya meningkat dari 84 g menjadi 143 gram per hari setelah pedet diberikan suplemen PCPS (Jelantik dkk., 2002). Hasil tersebut terus konsisten diperoleh pada penelitian-penelitian selanjutnya bahwa peningkatkan berat badan setelah suplementasi lebih rendah dari yang diharapkan. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya konsumsi pakan cair penambah susu yang mencapai hanya rata-rata 0,6 kg per hari (Jelantik dkk., 2002; 2003) walaupun komposisi PCPS telah dimodifikasi dengan memasukkan gula air menggantikan ekstrak labu (Jelantik dkk., 2004). Peningkatan pertambahan berat badan yang signifikan dicatat dari hasil-hasil penelitian yang memberikan pakan padat pemula langsung pada pedet. Pertambahan berat badan pedet meningkat secara signifikan dari 142 g per hari pada pedet kontrol menjadi 379 g per hari setelah mendapatkan suplementasi pakan padat pemula (Jelantik dkk., 2002). Peningkatan yang signifikan tersebut kemabli dicatat oleh Jelantik dkk. (2003) yang melaporkan peningkatan
pertambahan berat badan pedet dari 103 g per hari menjadi 225 g per hari pada pedet yang mendapatkan pakan padat pemula. Peningkatan berat badan yang konsisten tersebut juga dilaporkan pada sapi Bali yang dipelihara dengan sistem ikat maupun gembala (Jelantik dkk., 2005). KESIMPULAN Kematian pedet merupakan faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas dan mempunyai kontribusi penting terhadap penurunan populasi ternak sapi di NTT. Dengan demikian upaya menekan angka kematian dan meningkatkan performans pedet merupakan upaya strategis untuk meningkatkan produktivitas dan populasi ternak sapi di NTT. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk memodifikasi musim kelahiran pedet dari musim kemarau pada saat ini menjadi musim hujan dan memberikan pakan suplemen baik pada induk sebelum dan selama partus dan menyusui atau langsung pada pedet. Hasil-hasil penelitian menujukkan bahwa semua strategi tersebut mampu menekan angka kematian pedet seminimal mungkin dan beberapa di antaranya mampu meningkatkan performans produksi pedet dan reproduksi induk. Pemilihan strategi yang diplilih akan sangat tergantung dari keuntungan ekonomis dari setiap strategi yang dipilih.
DAFTAR PUSTAKA Bamualim, A. 1987. Effect of leucaena fed as a supplement to ruminants on low quality roughage diet. Proc. AAAP Anim. Congr. 1987, Hamilton, New Zealand. Pp. 42. Bamualim, A. B., R. B. Wirdahayati and A. Saleh. 1990. Bali cattle production from Timor island. Research report, BPTP, Lili, Kupang. Banks, B. 1986. Reproductive performance of Bali cattle in Timor. NTT-LDP Reports, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Belli, H. L. L. 2002. Suplementation to Improve The Performance of Grazing Bali Cows (Bibos Banteng Wagner. PhD Thesis. Fattah, S. 1998. The productivity of Bali cattle maintained in natural grassland: a case of Oesuu, East Nusa Tenggara. PhD Thesis, Universitas Padjajaran, Bandung. Jelantik, I G. N. 2001a. Improving Bali Cattle (Bibos banteng Wagner) Production through Protein Supplementation. PhD Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhage, Denmark. Jelantik, I G. N. 2001b. Suplementasi protein sebagai alternatif peningkatan produktivitas sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Proc. Seminar Nasional Peternakan Pasca IAEUP, Hoatel Kristal, Kupang, 27-29 Juli 2001 Jelantik, I G. N., Burhanuddin, G. Oematan, T. T. Nikolaus, J. G. Sogen. 1998. Nutritional status and post partum reprodukctive performance of Bali cows grazing native pasture supplemented with urea-treated corn stover and concentrate. Resarch Report, Undana. Jelantik, I G. N., P. Kune, dan T. T. Nikolaus. 2002. Strategi pemeliharaan dan suplementasi pakan cair penambah susu dan atau pakan padat pemula (calf starter) dalam upaya menekan angka kematian dan meningkatkan produksi anak pada sapi Bali yang digembalakan di padang penggembalaan alam di pulau Timor, NTT. Laporan penelitian, Riset Pengembangan Kapasitas. Jelantik, I G. N., P. Kune, dan T. T. Nikolaus dan D. Taolin. 2003. Strategi suplementasi dan pemeliharaan dalam kerangka menekan angka kematian dan meningkatkan produksi pedet sapi Bali yang digembalakan pada padang penggembalaan alam di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan penelitian tahun I, Penelitian Hibah Bersaing, DIKTI. Jelantik, I G. N., P. Kune, dan T. T. Nikolaus dan D. Taolin. 2004. Strategi suplementasi dan pemeliharaan dalam kerangka menekan angka kematian dan meningkatkan produksi pedet sapi Bali yang digembalakan pada padang penggembalaan alam di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan penelitian tahun II, Penelitian Hibah Bersaing, DIKTI. Jelantik, I G. N., P. Kune, dan T. T. Nikolaus dan D. Taolin. 2005. Strategi suplementasi dan pemeliharaan dalam kerangka menekan angka kematian dan meningkatkan produksi pedet sapi Bali yang digembalakan pada padang penggembalaan alam di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan penelitian tahun III, Penelitian Hibah Bersaing, DIKTI. Kirby, G. W. M. 1979. Bali cattle in Australia. World Anim. Rev. 31, 24-29. Malessy, C. J. 1991. Kebijakan pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Timur. Temu tugas dan temu lapang penelitian dan pengembangan peternakan propinsi NTT, NTB dan Timor Timur.
Mesakh, F. A. 2000. Tingkah Laku Menyusu Anak Sapi Bali pada Induk yang Digembalakan dengan dan tanpa Pemberian Multinutrien Blok. Skripsi Fapet Undana. Nulik, J., P. T. Fernandez, and Z. Babys. 1990. Forage production from Natural Pastures in the village of Naibonat dan Camplong. Research Report, Sub Balai Penelitian Ternak, Lili, Kupang. Pp. 60-64. Pane, I. 1991. Productivity and Breeding of Bali cattle. Proc. National Seminar on Bali cattle, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Pastika, M. and D. Darmadja. 1976. Reproductive performance of Bali cattle. Proc. Seminar on Reproductive Performance of Bali Cattle, Dinas Peternakan Tk. I Propinsi Bali, pp. 18-42. Riwu Kaho, L. M. 1993. Studi tentang pergiliran merumput pada biom savana. Suatu telaah pada savana Binel Timor barat. Thesis, IPB, Bogor. Salean, E. T. 1999. Memori serah terima jabatan kepala dinas peternakan propinsi dati I NTT periode 1994 s/d 1999. Siregar, M. J. 2000. Pengaruh Pemberian Suplemen pada Masa Laktasi terhadap Kualitas Air Susu Induk dan Tingkah Laku Menyusu Anak Sapi Bali. Skripsi Fapet Undana. Toelihere, M. R., I. G. N. Jelantik, and P. Kune. 1990. Pengaruh musim terhadap kesuburan sapi Bali betina di Besipae. Laporan Penelitian, Fapet Undana, Kupang. Toelihere, M. R., I. G. N. Jelantik, and P. Kune. 1991. Performans produksi sapi Bali dan hasil persilangannya dengan Frisien Holstein. Laporan Penelitian Fapet Undana, Kupang. Wirdahayati, R. B. 1989. The productivity of Bali cattle on native pastures in Timor island, the province of East Nusa Tenggara. Laporan Penelitian, BPTP, Lili, NTT. Wirdahayati, R. B. 1994. Reproductive and productive performance of Bali and Ongole cattle in Nusa Tenggara, Indonesia. Research Report, BPTP, Lili, Kupang. Wirdahayati, R. B. and A. Bamualim, 1990. Cattle productivity in the province of East Nusa Tenggara, Indonesia. Resarch Report, BPTP, Lili, Kupang.