I GUSTI BAGUS RAI UTAMA, SE., MMA., MA.
AGROWISATA SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF DI INDONESIA
Solusi Masif Pengentasan Kemiskinan 0
PRAKATA Salam Sejahtera, Terimakasih saya ucapkan kepada banyak pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung untuk terbitnya buku agrowisata ini. Di tengah perdebatan yang cukup panjang dan lama, istilah agrowisata belum menemukan definisi yang ideal sehingga tercetuslah untuk menulis buku ini. Penulis menyakini bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan agrowisata karena citra Indonesia cukup kuat pada bidang pertanian. Perubahan konsep budidaya pertanian menjadi konsep agribisnis telah memungkinkan bidang pertanian berkolaborasi dengan bidang lainnya dengan harapan kolaborasi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Derasnya globalisasi memaksa sector pertanian Indonesia harus bersaing dengan Negara lain secara terbuka dalam pasar internasional. Pariwisata diyakini akan menjadi pemasaran langsung dan juga menjadi perangsang bagi masyarakat tidak ragu lagi menggantungkan hidupnya pada sector pertanian. Agrowisata juga diyakini sebagai pariwisata alternative yang bertanggung jawab, pro konservasi dan preservasi terhadap sumberdaya alam. Berdasarkan alasan tersebutlah buku AGROWISATA SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF INDONESIA akhirnya dikompilasi dan ditulis kembali. Jika agrowisata dikembangkan secara massif, maka diyakini usaha pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara massif karena sebagian besar masyarakat miskin adalah kaum tani.
Denpasar, April 2012 Penulis,
I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA.
1
DAFTAR PUSTAKA AGROWISATA SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF DI INDONESIA .................................... 0 PRAKATA......................................................................................................................... 1 BAB I ............................................................................................................................... 4 PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN.............................................................. 4 BAB II .............................................................................................................................. 7 PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN ................................... 7 BAB III ........................................................................................................................... 15 TINGKATKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA AGRARIS ......................................... 15 3.1. Pertanian adalah Citra Indonesia ........................................................................ 15 3.2. Membangun Citra Pertanian melalui Agrowisata Indonesia ................................ 18 3.3. Membangun Persepsi Wisatawan ...................................................................... 18 3.4. Motivasi Wisatawan untuk Berwisata................................................................. 19 3.5. Faktor-faktor Pendorong Wisatawan untuk Berwisata........................................ 20 3.6. Faktor-faktor Penarik (Daya Tarik Objek Wisata) ................................................ 21 BAB IV........................................................................................................................... 22 DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PERTANIAN ................................................... 22 BAB V............................................................................................................................ 26 DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PARIWISATA.................................................. 26 BAB VI ........................................................................................................................... 30 DEFINISI AGROWISATA DARI BERBAGAI PERSPEKTIF ..................................................... 30 BAB VII .......................................................................................................................... 35 PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGROWISATA............................................................ 35 BAB VIII ......................................................................................................................... 38 KONDISI AGROWISATA DI INDONESIA ........................................................................... 38 BAB IX ........................................................................................................................... 48 MODEL IDEAL AGROWISATA INDONESIA....................................................................... 48 BAB X ............................................................................................................................ 52 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DINAMIKA AGROWISATA ................. 52
2
BAB XI ........................................................................................................................... 57 SISI POSITIF DAN SISI NEGATIF AGROWISATA ................................................................ 57 BAB XII .......................................................................................................................... 61 POTENSI PENGEMBANGAN AGROWISATA DI INDONESIA .............................................. 61 BAB XIII ......................................................................................................................... 67 AGROWISATA ADALAH BENTUK PARIWISATA YANG BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN ..................................................................................................................................... 67 BAB. XIV........................................................................................................................ 73 POTENSI AGROWISATA SEBUAH STUDI KASUS DESA-DESA DI BALI ................................ 73 1.
Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali ................................................................ 73
Anggapan Warga Desa Bayung Gede tentang Agrowisata ......................................... 74 2.
Desa Candikuning, Baturiti , Tabanan, Bali ..................................................... 76
Anggapan Warga Desa Candikuning tentang Agrowisata........................................... 77 3.
Desa Wisata Blimbingsari, Jembrana, Bali....................................................... 79
Anggapan Warga Desa Blimbingsari tentang Agrowisata ........................................... 80 4.
Desa Pelaga, Badung, Bali .............................................................................. 82
Anggapan Warga Desa Pelaga tentang Agrowisata.................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 85 BIODATA PENULIS ......................................................................................................... 91
3
BAB I PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
Meskipun Secara terus-menurus, pembangunan pariwisata berkelanjutan dikumandangkan, dan pada KTT Johannesburg 2002 telah diletakkan dasar secara signifikan sebagai upaya melakukan negosiasi dan kampanye positif tentang pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Pada KTT ini juga mampu menggalang lebih dari 300 kemitraan sukarela, yang masing-masing membawa tambahan sumber daya untuk mendukung upaya-upaya untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. (United Nations Department of Economic and Social Affairs, 2002). Memperdebatkan pariwisata dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebuah hal logis mengingat bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang menjual lingkungan, baik fisik dan manusia sebagai totalitas produk. Integritas dan kontinuitas produk ini telah menjadi perhatian utama industri seperti yang dinyatakan oleh beberapa lembaga international, misalnya, UN-WTO tentang Global Etik untuk Kode etik Pariwisata, dan asosiasi Ekowisata Australia telah merumuskan sebuah Program Akreditasi Ekowisata untuk mendukung usaha pembangunan yang berkelanjutan. Terdapat banyak pilihan sebenarnya, tapi maknanya lebih dari isu-isu dan pilihan yang perlu dilakukan sebelum konsep pembangunan berkelanjutan dapat bergerak lebih lanjut terhadap fisik dan realitas ekonomi. Para peneliti dan pemerintah di beberapa negara telah menaruh perhatian yang cukup terhadap konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan, tetapi industri dan konsumen tampaknya kurang menerima sepenuhnya ide-ide tentang pembangunan berkelanjutan ini. 1
Definisi Pembangunan Berkelanjutan diperlukan untuk menciptakan hubungan baru dengan lingkungan, dan kepentingan dalam pembangunan berkelanjutan yang telah dibangun selama 30 tahun sejak tahun 1972. Danella dan Dennis Meadows (1972) telah mengguncang dunia dengan buku mereka yang berjudul “Limits to Growth”. Mereka berpendapat bahwa sumber daya di bumi dan kemampuan untuk menyerap polusi amat terbatas. Dengan menggunakan simulasi komputer, mereka meramalkan penduduk bumi dan kemajuan pembangunan fisik akan mengalami kendala pada abad mendatang. Buku tersebut menjadi peringatan pertama untuk segera mengadakan penelitian dan musyawarah dalam jangka panjang yang harus dilanjutkan pada tingkat industri. Rumusan tentang pembangunan berkelanjutan tersebut dirumuskan dalam beberapa hal seperti yang terdappat pada (the publication of the World Conservation Strategy by the
1
The need for a renewed relationship with the environment and interest in sustainable development has been building over the past 30 years. In 1972 Danella and Dennis Meadows shook the world’s complacency with their book Limits to Growth (1972).
4
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources IUCN, 1980) adalah sebagai berikut: 1. Membangun batas ekologi dan standar lebih adil yang akan membawa konsekuensi adanya kebutuhan promosi terhadap nilai-nilai yang mendorong pengunaan standar yang menjadi batas-batas dari kemungkinan kerusakan ekologis. 2. Re-distribusi kegiatan ekonomi dan re-alokasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan yang tergantung pada pencapaian potensi pertumbuhan penuh karena pembangunan berkelanjutan jelas memerlukan pertumbuhan ekonomi yang bekelanjutan. 3. Pengendalian penduduk karena ukuran besaran jumlah penduduk akan berdampak pada distribusi sumber daya karena pembangunan berkelanjutan hanya dapat dikejar jika perkembangan kependudukan selaras dengan perubahan ekosistemnya. 4. Konservasi mendasar terhadap sumber daya diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan agar tidak membahayakan sistem alamiah yang seharusnya mendukung kehidupan di bumi: atmosfer, air, tanah, dan makhluk hidup tidak boleh rusak karena pembangunan itu sendiri. 5. Akses ke sumber daya yang adil dan usaha peningkatan teknologi serta menggunakannya secara lebih efektif karena pada dasarnya pertumbuhan sebenarnya tidak memiliki batas yang ditetapkan jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk bumi atau penggunaan sumber daya luar yang tak terkendali dapat menyebabkan bencana ekologis. Tetapi batas berakhirnya ada tatkala sumberdaya tersebut telah habis terpakai dan teknologi harusnya dapat diciptakan sebagai usaha untuk mengurangi tekanan terhadap alam dan memperlambat terhadap habisnya sumber daya yang ada. 6. Kendali daya dukung dan hasil berkelanjutan merupakan kendali yang diperlukan untuk sumber daya yang dapat diperbaharui, karena sebagian besar sumberdaya yang ada saling terkait pada ekosistem, dan hasil maksimum yang berkelanjutan harus didefinisikan setelah memperhitungkan efek terhadap seluruh sistem eksploitasi. 7. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa tingkat penyusutan sumber daya yang tak dapat diperbaharui mengharuskan adanya beberapa alternatif di masa depan. 8. Diversifikasi spesies adalah pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan konservasi spesies tanaman dan hewan. 9. Meminimalkan dampak yang merugikan artinya pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa dampak yang merugikan terhadap kualitas udara, air, dan lainnya yang berupa unsur-unsur alami harus dapat diminimalkan untuk mempertahankan ekosistem secara keseluruhan. 10. Pengendalian komunitas adalah adanya kendali masyarakat atas keputusan pembangunan yang mempengaruhi ekosistem setempat. 11. Kebijakan nasional yang luas dalam kerangka kebijakan internasional artinya harus dipahami bahwa biosfer adalah rumah bersama semua umat manusia dan pengelolaan bersama atas biosfer adalah prasyarat untuk keamanan politik global karena pada prinsipnya bumi kita hanya satu yang harus kita kelola secara bijaksana bersama-sama oleh seluruh manusia di bumi ini.
5
12. Viabilitas ekonomi adalah sebuah kebijakan lingkungan perusahaan yang merupakan perpanjangan dari manajemen kualitas total. 13. Kualitas lingkungan adalah kebijakan lingkungan perusahaan yang merupakan perpanjangan dari manajemen kualitas total. 14. Audit lingkungan adalah suatu sistem audit lingkungan yang efektif yang berpusat pada pengelolaan lingkungan yang baik. 15. Triple bottom line yang diterjemahkan bahwa kemakmuran ekonomi, kualitas lingkungan dan keadilan sosial merupakan satu kesatuan idealisme pembangunan yang berkelanjutan. 2
Prioritas yang segera diwujudkan untuk mendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)mengidentifikasi standar sosial dan sumber daya yang dapat diterima dan dapat dicapai, (2)mendokumentasikan kesenjangan antara keadaan yang diinginkan dan yang sudah ada pada sebuah destinasi, (3)mengidentifikasi tindakan manajemen untuk menutup kesenjangan tersebut, (4)monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas manajemen destinasi, (5)mengidentifikasi perubahan yang tidak dapat diterima yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kedatangan wisatawan dan pengembangan strategi manajemen untuk menjaga dampak pariwisata dalam tingkat yang dapat diterima, (6)mengintegrasikan dan mengelola dampak kunjungan wisatawan ke dalam perencanaan instansi yang ada, mendesain, dan mengelolanya; (7)mendasarkan pengelolaan dampak kunjungan wisatawan pada pemahaman ilmiah yang terbaik dan menyediakan informasi situasional terkini, (8)menentukan tujuan pengelolaan yang mengidentifikasi sumber daya dan kondisi yang harus dicapai serta jenis daya tarik wisata yang akan disediakan; (9)mengidentifikasi dampak masalah pengunjung dengan membandingkan standar kondisi yang dapat diterima dengan indikator kunci dari dampak berdasarkan waktu dan lokasi; (10)mendasarkan keputusan manajemen, untuk mengurangi dampak atau mempertahankan kondisi yang dapat diterima, pada pengetahuan tentang sumber-sumber kemungkinan dan hubungan antara dampak yang tidak dapat diterima; (11)mengatasi dampak pengunjung dengan berbagai teknik alternatif pengelolaan, dan (12)merumuskan tujuan pegelolaan destinasi, yang memasukkan berbagai tingkat dampak yang diterima, untuk mengakomodasi keragaman lingkungan dan kesempatan pengalaman sekarang dalam setiap pengaturan sumber daya alamiah.
2
Suggested research areas and priorities for sustainable development in tourism. Source: Taylor and Stanley, 1992.
6
BAB II PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
Pariwisata apapun jenis dan namanya, hendaknya dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Menurut United Nation (2002) prinsip-prinsip tersebut adalah: Participation: Residents of a community must maintain control of tourism development by being involved in setting a community tourism vision, identifying the resources to be maintained and enhanced, and developing goals and strategies for tourism development and management. Residents must participate in the implementation of strategies and the operation of the tourism infrastructure, services and facilities. Prinsip pertama adalah pembangunan pariwisata harus dapat dibangun dengan melibatkan masyarakat lokal , visi pembangunan pariwisata mestinya dirancang berdasarkan ide masyarakat lokal dan untuk kesejahteraan masyarakat lokal . Pengelolaan kepariwisataan yang telah dibangun mestinya juga melibatkan masyarakat lokal sehingga masyarakat lokal akan merasa memiliki rasa memiliki untuk perduli terhadap keberlanjutan pariwisata. Masyarakat lokal harusnya menjadi pelaku bukan menjadi penonton. Community Goals: Harmony is required between the needs of a visitor, the place and the community. This is facilitated by broad community support with a proper balance between economic, social, cultural and human objectives, and recognition of the importance of cooperation between government, host communities, the tourism industry and non-profit organizations involved in community development and environmental protection.
Prinsip kedua adalah menciptakan keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan masyarakat. Kepentingan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah tujuan yang didasarkan atas kerelaan untuk membentuk kualitas destinasi yang diharapkan oleh wisatawan. Keseimbangan tersebut akan dapat terwujud jika semua pihak dapat bekerjasama dalam satu tujuan sebagai sebuah komunitas yang solid. Komunitas yang dimaksud adalah masyarakat lokal , pemerintah lokal , industri pariwisata, dan organisasi kemasyarakat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat di mana destinasi pariwisata dikembangkan. Lebih lanjut dapat dijabarkan, dari perspektif filsafat manajemen pertumbuhan, pembagunan adalah sebagian besar merupakan pertanyaan tentang apa diinginkan oleh masyarakat yang terlihat pada visi masyarakat, tujuan, dan kemampuan untuk mengelola
7
dampak pertumbuhan itu. Sesuai dengan pandangan ini, Whistler berpendapat, pemimpin harus berhati-hati dalam mengadopsi filosofi manajemen pertumbuhan. Kebijakan yang dirancang untuk mendorong program-program lingkungan yang berfokus pada: Suatu pendekatan berbasis ekosistem terhadap penggunaan lahan, termasuk area yang dilindungi, perkotaan yang desain secara efisien; Lingkungan transportasi yang berkelanjutan, termasuk strategi yang komprehensif untuk mendorong efesiensi penggunaan kendaraan bermotor; Pasokan air bawah tanah dan program pengelolaan air limbah; Pengurangan limbah padat dan inisiatif penggunaan kembali, dan Praktek Konservasi energi (Waldron, Godfrey, dan Williams, 1999). Stakeholder Involvement: Tourism initiatives should be developed with the help of broad-based community input. Participants could include lokal NGO groups and institutions, volunteer service groups, the poor, women, municipal governments and their economic development departments, tourism associations, visitor bureaus, town business associations, regional representatives of provincial tourism development and any other party which might be involved in or impacted by tourism. Prinsip ketiga adalah pembangunan harus melibatkan para pemangku kepentingan, dan melibatkan lebih banyak pihak akan mendapatkan input yang lebih baik. Pelibatan para pemangku kepentingan harus dapat menampung pendapat organisasi kemasyarakatan lokal , melibatkan kelompok masyarakat miskin, melibatkan kaum perempuan, melibatkan asosiasi pariwisata, dan kelompok lainnya dalam masyarakat yang berpotensi mempengaruhi jalannya pembangunan. Dalam sosiologi atau ilmu kemasyarakatan, terdapat beberapa kelompok berpengaruh dalam masyarakat, dan jika menghendaki pembangunan pariwisata di suatu daerah bekelanjutan, mestinta semua kelompok dalam masyarakat dapat dilibatkan untuk menampung segala masukan dan saran-sarannya untuk pembangunan. Harus disadari, setiap saat kelompok berpengaruh dalam masyarakat dapat bertambah atau berkurang jumlahnya seiring dengan berkembangnya kebebasan berdemokrasi. 3 Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan adalah kondisi yang diinginkan dan mungkin menjadi elemen yang paling penting dari manajemen pertumbuhan. Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk menggabungkan pandangan berbeda adalah penting untuk keberhasilan pembangunan yang menyesuaikan kepentingan masyarakat dan wisatawan secara bersama-sama (Cleveland dan Hansen, 1994). Masing-masing kelompok msyarakat memiliki kebutuhan yang sangat berbeda dalam hal fasilitas perumahan dan pelayanan. Alternatif mekanisme, seperti pertemuan kelompok kecil yang lebih informal, telah digunakan dalam beberapa kasus. Dalam hubungannya dengan proses ini, informasi komunitas yang aktif dan program publisitas 3
Community involvement in establishing desirable conditions is perhaps the single most important element of growth management. Developing appropriate mechanisms to incorporate divergent views is critical for successfully establishing appropriate resident–visitor relationships (Cleveland and Hansen, 1994).
8
(misalnya, melalui talk show radio, newsletter, dll) sering diperlukan untuk memastikan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan dalam proses manajemen pertumbuhan (Gill, 1992). Lokal Ownership: Tourism development must provide quality employment for community residents. The provision of fulfilling jobs has to be seen as an integral part of any tourism development at the lokal level. Part of the process of ensuring quality employment is to ensure, as much as possible, the tourism infrastructure (hotels, restaurants, shops, etc.) is developed and managed by lokal people. Experience has demonstrated that the provision of education and training for lokal residents and access to financing for lokal businesses and entrepreneurs are central to this type of policy. Prinsip keempat adalah, memberikan kemudahan kepada para pengusaha lokal dalam sekala kecil, dan menengah. Program pendidikan yang berhubungan dengan kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal dan industri yang berkembang pada wilayah tersebut harus mampu menampung para pekerja lokal sebanyak mungkin. Establishing Lokal Business Linkages: Linkages must be established among lokal businesses in the tourism industry in order to ensure tourism expenditures stay within the destination rather than leak out to purchase imported goods and services for tourists. Lokal involvement in tourism facilitates the development of linkages among the service and goods providers within the tourism destination. Prinsip kelima adalah, pariwisata harus dikondisi untuk tujuan membangkitkan bisnis lainnya dalam masyarakat artinya pariwisata harus memberikan dampak pengganda pada sector lainnya, baik usaha baru maupun usaha yang telah berkembang saat ini. Cooperation: Cooperation between lokal attractions, businesses and tourism operators is essential given that one business or operation can be directly affected by the performance or quality of another. Models of partnerships must be explored in the areas of planning, management, marketing and funding for tourism ventures. Prinsip keenam adalah adanya kerjasama antara masyarakat lokal sebagai creator atraksi wisata dengan para operator penjual paket wisata, sehingga perlu dibangun hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Misalnya, berkembangnya sanggar tari, kelompok tani, dan lainnya karena mendapatkan keuntungan dari berkembangnya sector pariwisata. Sementara para operator sangat berkepentingan terhadap eksistensi dan keberlanjutan atraksi wisata pada wilayah pariwisata. Idealnya harus ada keseimbangan permintaan dan penawaran yang berujung pada kepuasan wisatawan, namun demekian dalam praktiknya akan ada perbedaan mendasar antara masyarakat lokal dan wisatawan sehubungan dengan perbedaan perbedaan sikap terhadap pembangunan itu sendiri (Lawrence, et al., 1993). Penelitian terhadap wisatawan akan dapat menjadi jalan keluar
9
untuk mengatasi perbedaan tersebut dengan melakukan wawancara dengan para wisatawan untuk memahami mengapa mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah destinasi, seberapa baik harapan mereka terpenuhi dan apa yang dapat dilakukan untuk membuat mereka tetap lebih terpuaskan. Menjaga keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan orang-orang dari semua masyarakat sangatlah penting untuk diketahui. Seperti banyak penduduk kota wisata memilih untuk tinggal di sana karena gaya hidup yang dirasakan dan faktor kemudahan, program yang dirancang untuk memfasilitasi penggunaan fasilitas, dan layanan yang dapat digunakan untuk mengurangi gesekan antara warga dan pengunjung. Sustainability of the Resource Base: Sustainable tourism development has to provide for intergenerational equity. Equitable distribution of costs and benefits of tourism development must take place among present and future generations. To be fair to future generations of tourists and the travel industry, society should strive to leave a resource base no less than the one inherited. Sustainable tourism development must, therefore, avoid resource allocation actions that are irreversible. Prinsip ketujuh adalah, pembangunan pariwisata harus mampu menjamin keberlanjutan, memberikan keuntungan bagi masyarakat saat ini dan tidak merugikan generasi yang akan datang. 4Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata berpotensi merusak lingkungan jika dihubungkan dengan peningkatan jumlah wisatawan dan degradasi daerah tujuan pariwisata adalah sesuatu yang logis (Hunter dan Green, 1995). Wujud hubungan ini adalah konsep tentang daya dukung yang menunjukkan suatu pendekatan manajemen yang memungkinkan pertumbuhan dalam batas yang dapat diterima (Johnson dan Thomas, 1996).
Carrying Capacity: There is a definite need for the impact assessment of tourism development proposals to distinguish between plans which encourage mass versus quality tourism. The capacity of sites must be considered, including physical, natural, social and cultural limits. Development should be compatible with lokal and environmental limits, and operations should be evaluated regularly and adjusted as required Prinsip kedelapan adalah pariwisata harus bertumbuh dalam prinsip optimalisasi bukan pada exploitasi. Strategi manajemen kapasitas akan menjadi pilihan yang terbaik, walaupun saat ini masih mengalami kontroversi yang cukup tajam. Konsep ini merupakan kebutuhan yang semestinya diakui untuk membatasi dan menjadi kendali atas dimensidimensi pembangunan pariwisata yang dapat mengancam berkelanjutan penggunaan 4
There is widespread acknowledgment of the potentially damaging relationship between increasing numbers of tourists and the escalated degradation of many tourism destinations (Hunter and Green, 1995).
10
sumber daya yang terbatas, pada saat yang bersamaan, konsep tersebut berhadapan dengan keinginan untuk memaksimalkan peluang sebagai tujuan pertumbuhan dan mewujudkan manfaat potensial yang terkait dengan pengunjung yang semakin meningkat. Monitoring and Evaluating: Guidelines have to be established for tourism operations, including requirements for impact assessment. There should be codes of practice established for tourism at the national, regional and lokal levels. There is also a need to develop indicators and threshold limits for measuring the impacts and success of lokal tourism ventures. Protection and monitoring strategies are essential if communities are to protect the very resources that form the basis of their tourism product to protect the environment (the tourism resource base) on which it depends. Prinsip kesembilan adalah harus ada monitoring dan evaluasi secara periodic untuk memastikan pembangunan pariwisata tetap berjalan dalam konsep pembagunan berkelanjutan. Mestinya pembagunan pariwisata dapat diletakkan pada prinsip pengelolaan dengan manajemen kapasitas, baik kapasitas wilayah, kapasitas obyek wisata tertentu, kapasitas ekonomi, kapasitas social, dan kapasitas sumberdaya yang lainnya sehingga dengan penerapan manajemen kapasitas dapat memperpanjang daur hidup pariwisata itu sendiri sehingga konsepsi konservasi dan preservasi serta komodifikasi untuk kepentingan ekonomi dapat berjalan bersama-sama dan pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diwujudkan. Accountability: The management and use of public goods such as water, air and common lands should ensure accountability on behalf of users to ensure these resources are not abused. Prinsip kesepuluh adalah harus adalah keterbukaan terhadap penggunaan sumber daya seperti penggunaan air bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak disalah gunakan. Untuk hal tersebut 5 kode etik pembangunan pariwisata berkelanjutan harus dirumuskan dan menjadi agenda yang terus menerus di revisi dan bahkan revisi yang terakhir diselenggarakan di Bali (UNWTO Etic Code, 2011). Standar yang tetapkan memang masih terlalu umum untuk diterapkan oleh unit bisnis, sehingga masih perlu dilakukan penjabaran menjadi standar yang lebih rinci dalam bentuk buku manual (Font dan Bendell, 2002). Sebagai contohnya, di Eropa secara sukarela mengambil inisiatif untuk program pariwisata berkelanjutan dan menciptakan sebuah sistem federal untuk meningkatkan standar di antara programprogram saat ini, telah digunakan pada 1000 akomodasi sebagai sebuah disertifikasi untuk konsumen dalam promosi, dan penawaran paket wisata mereka (Visitor, 2003).
5
Although most certification programmes are not growing in number of applicants (only 20 percent of the medium-aged ecolabels are growing annually, according to the WTO [2002])
11
Training: Sustainable tourism development requires the establishment of education and training programmes to improve public understanding and enhance business, vocational and professional skills especially for the poor and women. Training should include courses in tourism, hotel management, creation and operation of small businesses and other relevant topics. Prinsip kesebelas adalah melakukan program peningkatan sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang keahlian pariwisata sehingga dapat dipastikan bahwa para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya masing-masing sehingga program sertifikasi akan menjadi pilihan yang tepat. 6Sertifikasi sebagai proses untuk meningkatkan standar industri memiliki pendukung dan dan nilai kritik. Bagian ini sebenarnya meninjau kelayakan sertifikasi sebagai alat kebijakan untuk melakukan perbaikan secara sukarela, di bawah lima aspek: keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas, dan integrasi (Toth, 2002). Instrumen keadilan dianggap sebagai kesempatan semua perusahaan pariwisata untuk mengakses sertifikasi. Tiga wilayah dianggap berpotensi menimbulkan ketidakadilan dapat berupa biaya biaya (1) aplikasi, (2) pelaksanaan oleh perusahaan pariwisata, dan (3)program pelaksanaannya. Tingginya biaya relatif yang dirasakan dari sertifikasi dianggap sebuah ketidakadilan karena tidak semua perusahaan akan memiliki potensi yang sama untuk mengakses program sertifikasi tersebut. Sebuah studi kasus di Kostarika, pemerintahnya telah berhasil memberikan subsidi bagi yang pertama kali menjalankan program sertifikasi ini khususnya yang berkaitan dengan sertifikat Pariwisata Berkelanjutan. Contoh lainnya, di Australia, Program Akreditasi yang berkaitan dengan ekowisata telah dituangkan dalam bentuk audit tertulis pada tahun 2001. Meskipun beberapa program sertifikasi dapat memberikan manfaat yang cukup namun factor biaya masih menjadi mitos penghalang terwujudnya program sertifikasi tersebut (Toth, 2002).
6
Certification as a process to raise industry standards has its advocates and critics. This section reviews the feasibility of certification as a policy tool to make voluntary improvements, under five aspects: equity, effectiveness, efficiency, credibility, and integration.
12
Residents (‘owners of the destination’) Quality of Life
Needs & requirements
Needs & requirements
Industry (‘providers of the destination’) Quality of Opportunity
Needs & requirements
Tourists (‘consumers of the destination’) Quality of Experience
Gambar Kualitas Pariwisata, Sumber: Postma, 2006 Positioning: Sustainable tourism development involves promoting appropriate uses and activities to reduce poverty and draw from and reinforce landscape character, sense of place, community identity and site opportunities. These activities and uses should aim to provide a quality tourism experience that satisfies visitors while adhering to other principles of sustainable tourism. Prinsip keduabelas adalah terwujudnya tiga kualitas yakni pariwisata harus mampu mewujudkan kualitas hidup ”quality of life” masyarakat lokal, pada sisi yang lainnya pariwisata harus mampu memberikan kualitas berusaha ”quality of opportunity” kepada para penyedia jasa dalam industri pariwisata dan sisi berikutnya dan menjadi yang terpenting adalah terciptanya kualitas pengalaman wisatawan ”quality of experience”. Menurut Ardika (Kompas, Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan tumbuh karena perbedaan, keunikan, kelokalan baik itu yang berupa bentang alam, flora, fauna maupun yang berupa kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan budhi manusia. Tanpa perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada orang yang melakukan perjalanan atau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan alam dan budaya serta menjunjung kebhinekaan adalah fungsi utama kepariwisataan. Alam dan budaya dengan segala keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga kelestariannya. Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang pulalah kepariwisataan itu. Dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan Indonesia didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep prikehidupan yang berkeseimbangan. Seimbangnya hubungan manusia dengan Tuhan, seimbangnya
13
hubungan manusia dengan sesamanya, seimbangnya hubungan manusia dengan lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan kepada kita untuk menjunjung nilai-nilai luhur agama serta mampu mengaktualisasikannya, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, toleran, kesetaraan, kebersamaan, persaudaraan, memelihara lingkungan alam. Kesadaran untuk menyeimbangkan kebutuhan materi dan rokhani, seimbangnya pemanfaatan sumber daya dan pelestarian. Kita diajarkan untuk tidak menjadi rakus. Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia dengan segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan demikian kepariwisataan Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat (community based tourism) dan berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan yang dibangun dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
14
BAB III TINGKATKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA AGRARIS 3.1. Pertanian adalah Citra Indonesia Sebelum krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia pernah menjadi Negara dengan kekuatan ekonomi baru barada bersama-sama dengan Malaysia dan Thailand. Indonesia sempat menjadi model pembangunan ekonomi yang bekelanjutan khususnya untuk Negara sedang berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik (Tambunan, 2006). Saat ini sector pertanian masih memegang peranan penting karena hampir 45% (41 juta) penduduk Indonesia bekerja pada sector ini dari 100 juta angkatan kerja yang ada. Rata-rata berkontribusi 17% terhadap GDP (DepTan Indonesia, 2005). Menurut ADB, masyrakat miskin mayoritas bekerja sebagai petani, dan jika 45% penduduk Indonesia adalah petani, berarti penduduk miskin Indonesia masih cukup tinggi. Pernyataan di atas dikuatkan oleh BPS, data Biro Pusat Statistik Indonesia juga menunjukkan bahwa sampai Agustus 2010, jumlah tenaga kerja Indonesia di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan adalah 41,4 juta dari total angkatan kerja sebanyak 108,2 juta, sedangkan sisanya terdistribusi dalam delapan bidang pekerjaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa bidang pertanian sesungguhnya paling potensial dalam menyerap tenaga kerja. Persoalannya adalah bagaimana membuat pasar tenaga kerja pertanian tersebut diisi oleh orang-orang yang benar-benar potensial, mempunyai visi dan instink bisnis yang kuat sehingga dapat menggerakkan investasi besar di bidang pertanian. Menurut Yuwono (2011) membangun pertanian adalah membangun citra dan kedaulatan Indonesia menuju kejayaan yang pernah disandang oleh Indonesia sebagai Negara agraris yang kuat, kaya dengan sumber daya dan hasil pertanian yang berkualitas tinggi di mata internasional. Sekarang yang menjadi persoalannya adalah, bagaimana cara membangun dan membangkitkan gairah untuk membangun sector pertanian tersebut? Berikut fakta-fakta yang ditulis oleh Prof. Yuwono seperti yang tertulis di Majalah Time, Amerika Serikat, dalam edisi 11 Juli 2011, menulis sebuah laporan yang sangat menarik mengenai kecenderungan yang sekarang berlangsung di Amerika Serikat mengenai pertanian. Dalam artikel berjudul Want to Make More than a Banker? Become a Farmer!, Stephen Gandel menulis bahwa di Amerika Serikat saat ini mulai timbul kesadaran bahwa menjadi petani adalah pekerjaan paling bagus pada abad ke-21. Penghasilan petani meningkat tajam karena kenaikan harga pangan. Meskipun ada
15
keraguan di beberapa pihak, namun Jim Rogers, seorang penulis terkenal mengenai investasi merasa sangat yakin bahwa pertanian akan meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade ke depan, lebih cepat dibanding dengan industri-industri yang lain, bahkan termasuk Wall Street sebagai kiblat investasi. Dilaporkan juga bahwa selama beberapa tahun terakhir, karena adanya kenaikan bisnis biofuel, bisnis pertanian telah tumbuh sangat meyakinkan. Pada saat ekonomi secara keseluruhan hanya tumbuh pada laju 1,9%, penghasilan dari bidang pertanian telah meningkat sebesar 27% tahun sebelumnya dan diramalkan akan meningkat lagi sebesar 20% pada tahun 2011. Sementara itu, harga-harga real estate telah jatuh lagi tahun ini. Saat ini bisnis pertanian telah menjadi salah satu investasi paling panas di Wall Street. Setengah agak heran, Prof. Yuwono menuliskan kenapa selama ini bidang pertanian di Indonesia dianggap sebagai bidang usaha yang tidak terlalu seksi untuk investasi besar, kecuali pada komoditas tertentu pada skala perkebunan besar, misalnya kelapa sawit? Dicurigai factor utamanya adalah kurangnya pencitraan dan perhatian terhadap pertanian oleh pemerintah dan masyarakat selama ini dan akhirnya berdampak negatif terhadap minat terhadap bidang pertanian. Pernyataan tersebut nampaknya tidak dapat kita tolak, data dari hasil penerimaan mahasiswa baru melalui Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) menegaskan hal ini. Tidak perlu ditutupi atau diingkari kenyataan bahwa banyak calon mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi pertanian berasal dari kalangan yang secara akademis bukan yang terbaik. Prof Yuwono, terus bertanya-tanya dan pertanyaan kemudian mengiang tak habis-habis seputar apa sebenarnya yang salah dengan pertanian di negara kita sehingga pertanian menjadi bidang pendidikan dan usaha yang tidak cukup kuat menggiring investasi maupun minat calon mahasiswa? Beberapa faktor yang mungkin dapat menjelaskan fenomena ini antara lain adalah kebijakan yang belum sepenuhnya pro petani dan pertanian. Memang harus diakui bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pertanian, termasuk pembangunan infrastruktur yang diperlukan. Meskipun demikian, harus disadari bahwa pertanian bukan hanya persoalan ketersediaan lahan dan infrastruktur. Kebijakan atas harga komoditas pertanian yang lebih menjanjikan untuk perbaikan kehidupan petani, kebijakan subsidi dan permodalan pertanian, penghapusan impor produk pertanian yang bersaing headto-head dengan produk pertanian lokal, kebijakan yang tegas terhadap kecenderungan alih fungsi lahan, penindakan tegas terhadap penimbunan bahan pangan, adalah beberapa contoh kebijakan yang harus menjadi perhatian penuh penentu kebijakan agar pertanian menjadi lahan bisnis yang menarik. Minat terhadap bidang pertanian, baik dalam konteks usaha maupun pendidikan, diyakini
16
akan meningkat dengan tajam jika ada kebijakan yang menjadikan pertanian sebagai bisnis yang menarik, seperti halnya bisnis kertas berharga di pasar saham. Sebenarnya ada jalan keluar untuk membangkitkan sector pertaian Indonesia, yakni mereka yang akan berkecimpung dalam bidang pertanian, sebagai mahasiswa maupun pengusaha pertanian, tentu memerlukan jaminan masa depan pertanian dan pemerintah mesti memberikan dukungannya. Seperti contoh yang terjadi di Amerika Serikat, booming bisnis pertanian telah memengaruhi juga pasaran kerja, baik yang terkait dengan pertanian secara langsung maupun industri lain, misalnya industri perangkat penyimpanan hasil pertanian dan industri perumahan di daerah-daerah pertanian. Tantangan yang harus dihadapi di Indonesia untuk membuat pertanian menjadi ladang investasi dan jaminan masa depan yang menarik memang cukup berat. Persoalannya cukup kompleks, meskipun banyak di antaranya lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang setengah hati, misalnya kebijakan impor produk pertanian yang bersaing langsung dengan produk lokal. Sungguh ironis bahwa sekarang ini lebih mudah untuk menemukan apel Washington, jeruk dari China, beras dari Vietnam, dan lain-lain di pasar tradisional dibanding dengan menemukan produk buah eksotis lokal, misalnya sawo. Tidak ada yang dapat memungkiri peranan pertanian bagi tegaknya suatu negara. Kemampuan suatu negara untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi warganya merupakan faktor kritis yang menentukan apakah suatu negara dapat menegakkan kedaulatannya khususnya kedaulatan pangan. Oleh karena itu menempatkan pertanian dalam posisi yang setara dengan bidang-bidang keilmuan dan usaha yang lain, keteknikan, kedokteran, manajemen dan lain-lain, menjadi suatu keharusan. Persoalannya adalah, seperti telah disampaikan di depan, apakah negara mampu meyakinkan masyarakat bahwa belajar ilmu pertanian, atau berinvestasi di bidang pertanian, dapat memberikan jaminan masa depan yang menjanjikan? Meskipun demikian, masyarakat juga perlu membuka kesadaran diri untuk memberikan penghargaan yang layak bagi petani dan usaha tani dan tidak menempatkannya dalam posisi yang inferior dibanding dengan bidang lain. Dari pernyataan di atas, para akademisi dan praktisi pariwisata mencoba menolong sector pertanian yang nyaris mati suri ini dengan mengembangkan agrowisata. Jika agrowisata dapat dikembangkan secara masif di Indonesia, maka jalan untuk mengentaskan masyarakat miskin dari kubangan kemiskinan tersebut semakin menemui jalan terang setidaknya pariwisata dapat menjadi penolong bagi program pengentasan kemiskinan tersebut dan lambat laun sector pertanian dapat dibangkitkan kembali seperti yang terjadi di Amerika saat ini.
17
3.2. Membangun Citra Pertanian melalui Agrowisata Indonesia Menurut Pitana (2005), membangun pariwisata adalah membangun sebuah citra suatu destinasi, harusnya wilayah yang akan dikembangkan menjadi agrowisata mempunyai citra (image) tertentu, yang akan menjadi “mental maps” seseorang terhadap suatu destinasi. Citra harus mengandung keyakinan, kesan, dan persepsi. Citra yang terbentuk di pasar merupakan kombinasi antara berbagai faktor yang ada pada destinasi yang bersangkutan (seperti cuaca, pemandangan alam, keamanan, kesehatan dan sanitasi, keramahtamahan, dan lain-lain) di satu pihak, dan informasi yang diterima oleh calon wisatawan dari berbagai sumber di pihak lain, atau dari fantasinya sendiri. Fantasi, walaupun tidak real, sangat penting di dalam mempengaruhi calon wisatawan (Nurhayati, 1996; Pitana, 2005). Citra sangat penting dalam industri pariwisata, sehingga Buck, (1993) dan Pitana (2005) menganggap, pariwisata adalah industri yang berbasiskan citra, karena citra akan mampu membawa calon wisatawan ke dunia simbol dan makna. Citra agrowisata adalah citra pertanian, sebuah keharusan penguatan citra pertanian tersebut adalah citra agrowisata yang akan ditawarkan kepada calon wisatawan. Dinamika sosial yang berhubungan dengan citra agrowisata sebaiknya juga menjadi perhatian bagi pengelola agrowisata, apakah citra yang ada tentang agrowisata yang sedang dikelola meningkat, masih tetap ajeg, atau justru telah mengalami penurunan citra. Citra harusnya merupakan core product dari agrowisata yang akan dikembangkan, dan citra dapat dibentuk dan dipengaruhi oleh cuaca, pemandangan alam, keamanan, budaya, kesehatan, dan apa saja bentuknya yang penting citra tersebut menjadi factor penarik dan pendorong wisatawan untuk datang ke sebuah agrowisata. Sebagai contoh, kabupaten Sleman kuat citranya tentang salak pondoh maka maka agrowisatanya akan bercitrakan agrowisata salak pondoh. Contoh lainnya, di kabupaten Malang kuat citranya tentang Apel maka agrowisata akan menjadi agrowisata apel Malang, begitu seterusnya.
3.3. Membangun Persepsi Wisatawan Menurut Simamora (2000), terdapat dua sumber persepsi, antara lain, persepsi langsung dan tidak langsung. Persepsi tidak langsung terbentuk dari media
18
yang dipergunakan oleh produsen dalam memperkenalkan produknya, dapat berupa suara manusia, kata-kata indah dan angka-angka cetakan di media massa. Sedangkan persepsi langsung terbentuk dari indera penglihatan, pendengaran, pembauan, pencicipan, dan perasa. Persepsi langsung dapat dibedakan menurut sumbernya menjadi tiga, antara lain. 1) Persepsi tentang suatu produk yang diperoleh dari indikator-indikator yang berhubungan langsung dengan suatu produk. Indikator-indikator tersebut misalnya, ramainya pengunjung di suatu pusat perbelanjaan, banyaknya produk yang beredar di masyarakat. 2) Persepsi yang diperoleh setelah melakukan preperensi atau perbandingan terhadap produk/objek wisata lain yang sejenis, misalnya Kebun Raya Cibodas Bandung dianggap lebih baik dari pada Kebun Raya Eka Karya Bali. 3) Persepsi yang terbentuk dari pengamatan langsung dan ini paling penting karena hal ini merupakan latar belakang yang diperoleh seseorang dari pengamatan sebuah situasi secara langsung. Dalam konteks pembangunan agrowisata, persepsi harapkan terbentuk dari pengamatan atas atribut yang dimiliki oleh sebuah agrowisata atau wilayah secara langsung melalui kelima indera wisatawan, yaitu penglihatan, penciuman, peraba, perasa, dan pendengaran wisatawan yang berkunjung. Persepsi wisatawan terhadap atribut objek wisata agro merupakan pandangan wisatawan berdasarkan atribut-atribut yang ditawarkan oleh suatu objek wisata agro. Persepsi positif akan mendorong wisatawan untuk mengunjungi suatu objek wisata agro, sedangkan persepsi negatif akan mendorong wisatawan untuk tidak mengunjungi suatu objek wisata agro tersebut.
3.4. Motivasi Wisatawan untuk Berwisata Menurut Sharpley, 1994 dan Wahab, 1975 (dalam Pitana, 2005) menekankan, motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang wisatawan dan pariwisata, karena motivasi merupakan “Trigger” dari proses perjalanan wisata, walau motivasi ini acapkali tidak disadari secara penuh oleh wisatawan itu sendiri. Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan dimotivasi oleh beberapa hal, motivasi-motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar sebagai berikut: (1) Physical or physiological motivation yaitu motivasi yang bersifat fisik antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya. (2) Cultural motivation yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian daerah lain. (3)Social or interpersonal motivation yaitu motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang
19
dianggap mendatangkan gengsi (prestice), melakukan ziarah, pelarian dari situasi yang membosankan dan seterusnya. (4) Fantasy motivation yaitu adanya motivasi di daerah lain sesorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan dan yang memberikan kepuasan psikologis (McIntosh, 1977 dan Murphy, 1985; dalam Pitana, 2005). Pearce, 1998 (dalam Pitana, 2005) berpendapat, wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata termotivasi oleh beberapa faktor yakni: Kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, prestise, dan aktualiasasi diri.
3.5. Faktor-faktor Pendorong Wisatawan untuk Berwisata Faktor-faktor pendorong untuk berwisata sangatlah penting untuk diketahui oleh siapapun yang berkecimpung dalam industri pariwisata termasuk agrowisata (Pitana, 2005). Dengan adanya faktor pendorong, maka seseorang ingin melakukan perjalanan wisata, tetapi belum jelas mana daerah yang akan dituju. Berbagai faktor pendorong seseorang melakukan perjalanan wisata menurut Ryan, 1991 (dalam Pitana, 2005), sebagai berikut: 1) Escape. Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari. 2) Relaxation. Keinginan untuk penyegaran, yang juga berhubungan dengan motivasi untuk escape di atas. 3) Play. Ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan, yang merupakan kemunculan kembali sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri sejenak dari berbagai urusan yang serius. 4) Strengthening family bond. Ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam konteks (visiting, friends and relatives). Biasanya wisata ini dilakukan bersama-sama (group tour) 5) Prestige. Ingin menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk meningkatkan status atau social standing. 6) Social interaction. Untuk melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat, atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi. 7) Romance. Keinginan bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan suasana romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual. 8) Educational opportunity. Keinginan melihat suatu yang baru, memperlajari orang lain dan/atau daerah lain atau mengetahui kebudayaan etnis lain. Ini merupakan pendorong dominan dalam pariwisata. 9) Self-fulfilment. Keinginan menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya bisa ditemukan pada saat kita menemukan daerah atau orang yang baru.
20
10) Wish-fulfilment. Keinginan merealisasikan mimpi-mimpi, yang lama dicitacitakan, sampai mengorbankan diri dalam bentuk penghematan, agar bisa melakukan perjalanan. Hal ini juga sangat jelas dalam perjalanan wisata religius, sebagai bagian dari keinginan atau dorongan yang kuat dari dalam diri.
3.6. Faktor-faktor Penarik (Daya Tarik Objek Wisata) Menurut Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) terdapat 11 faktor yang menjadi faktor penarik, yaitu: (1) location climate, (2) national promotion, (3) retail advertising, (4) wholesale, (5) special events, (6) incentive schemes, (7) visiting friends, (8) visiting relations, (9) tourist attractions, (10) culture, dan (11) natural environment and man-made environment. Dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang menentukan wisatawan untuk membeli atau mengunjungi objek wisata. Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005), menyatakan ada lima faktor yang menentukan seseorang untuk membeli jasa atau mengunjungi objek wisata, yaitu: (1) lokasi, (2) fasilitas, (3) citra atau image, (4) harga atau tarif, dan (5) pelayanan. Membangun agrowisata tidak cukup hanya mengembangkan sector pertanian saja namun harus juga mampu membawa sector pertanian tersebut menjadi kemasan produk yang memiliki citra yang kuat. Citra yang kuat tentang wilayah agrowisata harus dapat dikomunikasikan kepada calon wisatawan sehingga citra tersebut dapat menjadi factor penarik dan pendorong yang akan disesuaikan dengan motivasi masing-masing wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata.
21
BAB IV DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PERTANIAN Dalam kurun waktu yang sangat panjang perhatian pembangunan peranian terfokus kepada peningkatan produksi, terutama kepada peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi dan komoditi perdagangan tradisional. Upaya pemenuhan pangan melalui swasembada pangan telah menyita perhatian dan dana yang cukup besar. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan pertanian belum optimal sesuai dengan potensinya (Deptan, 2005) Kelemahan yang terjadi selama ini menyebabkan adanya citra yang kurang menguntungkan dalam pembangunan pertanian, antara lain: (a) secara sadar ataupun tidak sadar, pembangunan pertanian diidentikkan dengan kegiatan peningkatan produksi semata; (b) dengan pandangan tersebut, pembangunan pertanian juga seakan terlepas dengan pembangunan sektor-sektor lainnya dan terlepas sebagai bagian dari pembangunan wilayah; dan (c) perhatian yang besar hanya kepada komoditas tertentu menyebabkan banyak bidang usaha pertanian lain kurang tergarap (Deptan, 2005) Pada bagian lain semakin kuatnya norma liberalisasi perdagangan menyebabkan pasar domestik semakin terintegrasi dengan pasar internasional dan memaksa setiap negara termasuk Indonesia membuka segala rintangan dan menghapus segala bentuk proteksi. Ini berarti usaha dan produk pertanian domestik dipaksa untuk bersaing langsung dengan usaha dan produk global. kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pembangunan sektor pertanian kedepan (Deptan, 2005) Implikasi dan liberalisasi perdagangan ini mengharuskan Indonesia untuk mampu mempercepat peningkatan daya saing produknya agar dapat merebut pasar. Dalam peningkatan akses pasar tersebut dua pendekatan dapat dilakukan secara simultan, yaitu : (a) diversifikasi dan peningkatan kualitas sesuai dengan persyaratan yang diminta konsumen dan pasar global; dan (b) pengembangan pasar atas produk spesifik lokalita yang bersifat unik. Salah satu bidang usaha dalam penciptaan pasar yang didasarkan kepada konsep uniqueness adalah usaha wisata agro. Sesuai dengan potensinya bidang usaha ini belum tergarap secara baik dan dinilai prospektif sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru sektor pertanian (Deptan, 2005)
22
“dalam pandangan pertanian, agrowisata berperan sebagai usaha diversifikasi dan peningkatan kualitas yang bersifat unik” Belajar dari kelemahan dan pelaksanaan pembangunan masa lalu pembangunan pertanian saat ini dan kedepan dilakukan melalui pendekatan pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Pembangunan sistem agribisnis dapat diartikan sebagai cara pandang baru dari pembangunan pertanian dengan menekankan kepada tiga hal: (1) melalui pembangunan agribisnis dengan pendekatan pembangunan pertanian dari pendekatan produksi ke pendekatan yang berdasarkan bisnis atau orientasi kepada bisnis sehingga pengembangan usaha bisnis dapat berdaya saing dan berkelanjutan menjadi dasar pertimbangan utama; (2) dalam pembangunan agribisnis pembangunan pertanian bukan semata pembangunan sektoral namun juga terkait dengan lintas sektoral karena pembangunan pertanian sangat terkait dan ditentukan oleh agroindustri hilir, agroindusri hulu dan lembaga jasa penunjang; (3) pembangunan pertanian bukan sebagai pembangunan parsial pengembangan komoditas, melainkan sangat terkait dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat pertanian (Deptan, 2005)
”Pencitraan baru tentang pertanian adalah penerapan model agribisnis, agrowisata merupakan salah satu usaha agribisnis” Pembangunan pertanian dalam kerangka sistem agribisnis merupakan suatu rangkaian dan keterkaitan dari: (1) sub agribisnis hulu (upstream agribusiness) yaitu seluruh kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian primer (usahatani); (2) sub agribisnis usahatani (onfarm agribusiness) atau pertanian primer, yaitu kegiatan yang menggunakan sarana produksi dan sub agribisnis hulu untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Sub ini di Indonesia disebut pertanian; (3) sub agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan baik bentuk produk antara (intermediate product) maupun bentuk produk akhir (finished product); dan (4) sub sasa penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga sub agribisnis di atas (Deptan, 2005) Konsep pembangunan agribisnis tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pengembangan wisata agro. Wisata agro merupakan salah satu usaha bisnis dibidang pertanian dengan menekankan kepada penjualan jasa kepada konsumen. Bentuk jasa tersebut dapat berupa keindahan, kenyamanan, ketentraman dan pendidikan. Pengembangan usaha wisata agro membutuhkan manajemen yang
23
prima diantara sub sistem, yaitu antara ketersediaan sarana dan prasarana sarana wisata, objek yang dijual promosi dan pelayanannya (Deptan, 2005)
”agrowisata merupakan salah satu usaha bisnis dibidang pertanian dengan menekankan kepada penjualan jasa kepada konsumen” Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki kekayaan alam dan hayati yang sangat beragam yang, jika dikelola dengan tepat, kekayaan tersebut mampu diandalkan menjadi andalan perekonomian nasional. Kondisi agroklimat di wilayah Indonesia sangat sesuai untuk pengembangan komoditas tropis dan sebagian sub tropis pada ketinggian antara nol sampai ribuan meter di atas permukaan laut. Komoditas pertanian (mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan) dengan keragaman dan keunikannya yang bernilai tinggi serta diperkuat oleh kekayaan kultural yang sangat beragam mempunyai daya tarik kuat sebagai wisata agro atau ekowisata yang berbasiskan pertanian. Keseluruhannya sangat berpeluang besar menjadi andalan dalam perekonomian Indonesia (Deptan, 2005) Preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis. Kecenderungan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan ini merupakan signal tingginya permintaan akan wisata agro dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik (Deptan, 2005) Sumber: online
”produk-produk agribisnis dapat berbentuk kawasan ataupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik” Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan hortikultura disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentang kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam (Deptan, 2005)
24
Objek wisata agro tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan yang luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Dengan datangnya wisatawan mendatangi objek wisata juga terbuka peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek wisata agro yang bersangkutan, namun pasar dan segala kebutuhan masyarakat.
”agrowisata dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru daerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional” Dengan demikian melalui wisata agro bukan semata merupakan usaha atau bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi pemenuhan konsumen akan pemandangan yang indah dan udara yang segar, namun juga dapat berperan sebagai media promosi produk pertanian, menjadi media pendidikan masyarakat, memberikan signal bagi peluang pengembangan diversifikasi produk agribisnis dan berarti pula dapat menjadi kawasan pertumbuhan baru wilayah. Dengan demikian maka wisata agro dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru daerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional (Deptan, 2005)
25
BAB V DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PARIWISATA
Agrowisata adalah pariwisata pro pertanian The philosophy of agrotourism is inspired to improve the farmers’ earnings and the quality of rural society lives which then expectedly represents opportunity to educate the societies on agriculture and ecosystems. Filosopi agrowisata adalah meningkatkan pendapatan kaum tani, dan meningkatkan kualitas alam pedesanaan menjadi hunian yang benar-benar dapat diharapkan sebagai hunian yang berkualitas, memberikan kesempatan masyarakat untuk belajar kehidupan pertanian yang menguntungkan dan ekosistemnya. “Agrowisata memberikan kesempatan kaum tani meningkatkan kualitas hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya pertanian yang mereka miliki”
Rilla, et al (1999) memiliki pendapat yang hampir sama tentang agrowisata, dimana pembangunan pariwisata mestinya dapat menjadi peluang bagi petani lokal untuk meningkatkan pendapatannya untuk mempertahankan hidup keluarganya. Pendapat Lobo et al dapat dijabarkan sebagai berikut: agrowisata mendidik masyarakat belajar tentang pertanian untuk meningkatkan pendapatannya, agrowisata dapat mengurangi urbanisasi karena dengan adanya agrowisata di pedesaan, kaum muda tidak perlu pergi ke kota untuk bekerja, agrowisata juga dapat menjadi media mempromosikan produk lokal ke ranah internasional. Rilla (1999) describes more clearly the reasons of developing agrotourism as such; (1) it educates for the purpose of keeping the relationship among lokal societies, interest sectors, and visitors. (2) it improves the health and freshness of visitors, (3) relaxation, (4) adventure, (5) natural food or food organic, (6) unique experiences, (7) cheap tourism. Sementara agrowisata bagi wisatawan adalah mendidikan wisatawan untuk memahami kehidupan nyata tentang pertanian dan memberikan pemahaman kepada wisatawan bahwa kehidupan bertani adalah pekerjaan yang amat mulia
26
karena kehidupan manusia lainnya sangat tergantung pada pertanian. Keuntungan lain bagi wisatawan adalah mereka dapat meningmati alam yang sehat dan alamiah bebas dari polusi kota, mendapatkan produk pertanian yang benar-benar segar dan bahkan organic atau green product, agrowisata memberikan pengalaman perjalanan wisata yang unik, agrowisata adalah perjalan wisata yang relatif murah jika dibandingkan dengan wisata lainnya. ”Agrowisata adalah tuntutan akan pariwisata yang pro lingkungan, go green, dan bertanggung jawab” Menurut Sudibya (2002) mengatakan, pariwisata international pada saat ini telah mengalami pergeseran yang cenderung mengarah pada pariwisata ecotourism yang berwawasan lingkungan, konservasi alam dengan pemanfaatan alam dan lingkungan secara bertanggung jawab. Ecotourism dan wisata agro diyakini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan gairah untuk meningkatkan usaha kecil seperti kerajinan rumah tangga, pertanian, dan bidang usaha lainnya karena wisatawan ecotourism adalah wisatawan yang bersentuhan langsung dengan penduduk lokal dimana objek tersebut dikembangkan “Menurut perspektif industri pariwisata, agrowisata adalah bagian dari wisata alam yang memiliki etika perencanaan dan filosofis pro pertanian” Perencanaan kepariwisataan alam di suatu daerah, pada umumnya didasarkan pada pola perencanaan regional dan kawasan. Oleh karena pembangunan kepariwisataan alam sangat erat kaitannya dengan upaya mengkonservasi lingkungan, maka konsep dan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan harus menjadi pertimbangan utama (Nuryanti, 2001) Syamsu, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang penerapan etika perencanaan kawasan Agrowisata Salak Pondoh, Sleman Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut, dirumuskan perencanaan pengembangan suatu kawasan pariwisata yang sebaiknya mempertimbangkan faktor kelangkaan, kealamiahan, keunikan, pelibatan tenaga kerja lokal, pertimbangan keadilan pendapatan dan pemerataan. Jika etika perencanaan dapat dilaksanakan dengan baik, diharapkan peranan suatu objek wisata akan terasa bagi masyarakat lokal. Dijelaskan pula, penataan kawasan wisata mutlak harus dilakukan agar keberadaannya dapat dikunjungi terus oleh wisatawan. Kawasan dan objek wisata yang tertata baik akan memberikan nilai-nilai estetika, kenyamanan, kepuasan dan kesan “image” yang mendalam bagi wisatawan dalam melakukan aktivitas wisata.
27
Sedangkan Sujana (2002) dalam penelitiannya tentang perumusan strategi pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, menyarankan agar pihak pengelola kebun raya Eka Karya melakukan strategi diversifikasi yang diarahkan untuk (1) Menata kembali kawasan ini, berupa: Penataan lokasi kemah wisata, pembuatan jalan turun tebing, pendirian tempat berkemah, pengembangan daya guna flora dan fauna, pembudidayaan tanaman air, arena bermain anak-anak, memperkaya koleksi tanamanan, membuat katalog tanaman, dukungan masyarakat sekitar berupa penjualan souvenir. (2) Melakukan budidaya flora dan fauna berupa pengembangan produk yang dilakukan oleh seksi koleksi berupa: budidaya flora tanaman air sehingga diharapkan dapat memberikan daya tarik lebih agar wisatawan tidak beralih ke objek lainnya. Budidaya fauna khususnya binatang atau burung-burung yang telah ada, jenis serangga tertentu, dan juga binatang kera. (3) Menambah koleksi tanaman khas Bali agar keunikannya semakin nampak berupa penambahan tanaman umbi-umbian (bumbu), tanaman obat, tanaman panca yadnya pada areal khusus. (4) Menciptakan bentuk katalog baru, pembuatan taman supaya memberikan daya tarik unsur ilmiah, dengan nama latin serta bingkai ukiran Bali. (5) Mempererat hubungan dan kerjasama dengan kelompok seni gong sebagai bentuk tanggungjawab sosial dengan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata yakni masyarakat Candikuning. (6) Melakukan kegiatan usaha tambahan seperti: membuat cinderamata khas Kebun Raya Eka Karya, baju kaos bergambar wisatawan dengan latar Kebun Raya Eka Karya, mendirikan kios makanan dan minuman, lapangan tenis dirawat lebih baik, penataan kembali gedung pertemuan, memperbanyak brosur sebagai media promosi. “Agrowisata yang beretika adalah memiliki kelangkaan, alamiah, unik, dan melibatkan petani setempat” Pada prinsipnya, kedua hasil penelitian di atas baik Syamsu dan Sujana berpegang pada prinsip yang sama yakni, pengembangan objek wisata yang mempertimbangkan faktor kelangkaan, kealamiahan, keunikan, pelibatan tenaga kerja lokal, pertimbangan keadilan pendapatan dan pemerataan sehingga dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat.
“agrowisata adalah pemanfaatan alam sebagai atraksi wisata”
28
Pada hakekatnya setiap ekosistem dengan segala isinya (sumber daya alam fisik dan hayatinya) merupakan atraksi wisata yang dapat dikembangkan untuk objek wisata alam. Semakin beragam kegiatan wisata alam semakin banyak pula membutuhkan atraksi (Fandeli, 2001). Brahmantyo, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang potensi dan peluang dalam pengembangan pariwisata Gunung Salak Endah, menemukan beberapa potensi alam dapat dimanfaatkan sebagai atraksi objek wisata ecotourism. Potensi tersebut adalah, Air Terjun Curug Ciumpet, areal perkemahan, lahan pertanian sebagai objek wisata agro, kolam air deras, arena pancing (perikanan darat), peternakan lebah, peternakan kuda, wisata perhutanan dan perkebunan, dan wisata industri pengolahan hasil tanaman kopi.
Sedangkan Sudibya (2002) mengindentifikasikan, ecotourism potensial dikembangkan di Bali. Kabupaten Jembrana potensial untuk pengembangan berbagai jenis wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Bali Barat, camping dan trekking dikombinasikan dengan snorkeling di Pulau Menjangan. Kabupaten Buleleng potensial untuk pengembangan berbagai agrowisata mengingat daerah ini memiliki kawasan pertanian yang luas. Berbagai tanaman industri seperti jeruk keprok, tembakau, anggur dan holtikultura bisa dibudidayakan di kabupaten ini. Di Kabupaten Tabanan dapat diintensifkan pengembangan holtikultura dan kebun bunga untuk keperluan hotel dan restoran serta masyarakat umum. Kebun Raya Eka Karya Bali juga dapat ditingkatkan pemanfaatannya, baik untuk atraksi wisata maupun untuk penelitian dan pendidikan. Kabupaten Bangli potensial untuk pengembangan peternakan sapi, terutama penggemukan (fattening) dan unggas untuk pasokan daging ke hotel dan restoran. Danau Batur dikembangkan sebagai tempat perikanan air tawar, baik untuk keperluan industri pariwisata maupun konsummsi lokal. Pulau Nusa Penida potensial untuk pengembangan penggemukan sapi untuk menghasilkan daging yang berkualitas. Pada prinsfnya, alam Bali memiliki potensi yang begitu besar untuk dikembangkan menjadi ecotourism. Lebih lanjut Sudibya (2002) menjelaskan, saat ini di Bali sudah ada atraksi wisata yang erat hubungannya dengan prinsip ecotourism, seperti misalnya, arung jeram (whitewater rafting), cruising/sailing, taman burung, taman gajah, taman reptil, taman kupu-kupu, taman anggrek, dan wisata berkuda (horse riding).
29
BAB VI DEFINISI AGROWISATA DARI BERBAGAI PERSPEKTIF “In simple terms, agritourism is the crossroads of tourism and agriculture: when the public visits farms, ranches or wineries to buy products, enjoy entertainment, participate in activities, eat a meal or spend the night” (www.farmstop.com) Dalam istilah sederhana, agritourism didefinisakan sebagai perpaduan antara pariwisata dan pertanian dimana pengunjung dapat mengunjungi kebun, peternakan atau kilang anggur untuk membeli produk, menikmati pertunjukan, mengambil bagian aktivitas, makan suatu makanan atau melewatkan malam bersama di suatu areal perkebunan atau taman (www.farmstop.com) “Agricultural tourism, or agri-tourism, is one alternative for improving the incomes and potential economic viability of small farms and rural communities” (www.sfc.ucdavis.edu) Sementara definisi lain mengatakan, agritourism adalah sebuah alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali potensi ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan (www.farmstop.com) Di Indonesia, Agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian.
Berikut Definisi dan makna yang berhubungan dengan agrowisata menurut Ramiro Lobo, Farm Advisor UC Cooperative Extension, San Diego County (2007). “Agricultural Tourism: Refers to the act of visiting a working farm or any agricultural, horticultural or agribusiness operation for the purpose of enjoyment, education, or active involvement in the activities of the farm or operation” Agrowisata yakni kegiatan atau wisata yang mengacu pada kegiatan melakukan perkunjungan kepada petani yang sedang bekerja di lahan pertanian
30
mereka artinya wisatawan mungkin akan melihat-lihat proses pembibitan, penanaman, pemanenan, bahkan kegiatan pengolahan produk pertanian menjadi produk olahan dalam konteks kegiatan agribisnis. “Community Supported Agriculture (CSA): Partnership between consumers and farmers in which consumers pay for farm products in advance and farmers commit to supplying sufficient quantity, quality and variety of products. This type of arrangement can be initiated by the farmer (farmer directed) or by a group of consumers (participatory)” Agrowisata adalah jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani dari sisi penawaran para petani siap dengan produk mereka dan para wisatawan mengharapkan suguhan produk yang ditawarkan oleh wisatawan. Proses terjadinya produksi agrowisata adalah ketika terjadi “perkunjungan” yang mempertemukan antara penawaran dan permintaan. “Direct Marketing: Any marketing method whereby farmers sell their products directly to consumers. Examples include roadside stands, farm stands, U-pick operations, community supported agriculture or subscription farming, farmers' markets, etc”. Agrowisata merupakan pemasaran langsung produk pertanian karena para petani dapat menjual secara langsung hasil pertaniannya tanpa melalui saluran distribusi. Petani bias mebuat stand hasil pertaniannya di sepanjang jalur yang dilintasi oleh para wisatawan. Wilayah agrowisata dapat secara otomatis perfungsi sebagai pasar yang mempertemukan antara para petani sebagai penghasil produk pertanian dengan para wisatawan sebagai penikmat produk. Produk yang dimaksud tidak sebatas yang berwujud seperti buah-buahan atau sayur-sayuran, tetapi dapat berupa jasa misalnya mengukir buah, jasa lokal guide, dan mungkin atraksi taritarian para petani lokal yang mengekpresikan kehidupan bertanian mereka. Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (http://database.deptan.go.id)
31
Sutjipta (2001) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus pertanian, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan kesajahteraan masyarakat petani. Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism), yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Deptan, 2005) Antara ecotourism dan agritourism berpegang pada prinsif yang sama. Prinsifprinsif tersebut, menurut Wood, 2000 (dalam Pitana, 2002) adalah sebagai berikut: a) Menekankan serendah-rendahnya dampak negatif terhadap alam dan kebudayaan yang dapat merusak daerah tujuan wisata. b) Memberikan pembelajaran kepada wisatawan mengenai pentingnya suatu pelestarian. c) Menekankan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab yang bekerjasama dengan unsur pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan penduduk lokal dan memberikan manfaat pada usaha pelestarian. d) Mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk tujuan pelestarian, menejemen sumberdaya alam dan kawasan yang dilindungi. e) Memberi penekanan pada kebutuhan zone pariwisata regional dan penataan serta pengelolaan tanam-tanaman untuk tujuan wisata di kawasan-kawasan yang ditetapkan untuk tujuan wisata tersebut. f) Memberikan penekanan pada kegunaan studi-studi berbasiskan lingkungan dan sosial, dan program-program jangka panjang, untuk mengevaluasi dan menekan serendah-rendahnya dampak pariwisata terhadap lingkungan. g) Mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk negara, pebisnis, dan masyarakat lokal, terutama penduduk yang tinggal di wilayah sekitar kawasan yang dilindungi. h) Berusaha untuk meyakinkan bahwa perkembangan pariwisata tidak melampui batas-batas sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan para peneliti yang telah bekerjasama dengan penduduk lokal. i) Mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi tumbuh-tumbuhan dan binatang liar, dan menyesuaikannya dengan lingkungan alam dan budaya. “People want an experience that's completely different from their daily lives. They want an escape from the stress of traffic jams, cell phones, office cubicles and carpooling! Parents want their children to know how food is grown or that milk actually comes from a cow (not the supermarket shelf!)” (www.farmstop.com)
32
Di beberapa negara, agritourism bertumbuh sangat pesat dan menjadi alternatif terbaik bagi wisatawan, hal ini disebabkan, agritourism akan membawa seseorang mendapatkan pengalaman yang benar-benar berbeda dari rutinitas kesehariannya. Mereka ingin keluar dari kejenuhan, tekanan kemacetan lalulintas, telepon selular, suasana kantor dan hiruk pikuk keramaian. Orang tua ingin anakanak mereka dapat mengetahui dari mana sebenarnya makanan itu berasal atau mengenalkan bahwa susu itu dari seekor sapi bukan rak supermarket (www.farmstop.com) Pada era ini, manusia di bumi hidupnya dipenuhi dengan kejenuhan, rutinitas dan segudang kesibukan. Untuk kedepan, prospek pengembangan agrowisata diperkirakan sangat cerah. Pengembangan agrowisata dapat diarahkan dalam bentuk ruangan tertutup (seperti museum), ruangan terbuka (taman atau lansekap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan agrowisata ruangan tertutup dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang khas dan bernilai sejarah atau naskah dan visualisasi sejarah penggunaan lahan maupun proses pengolahan hasil pertanian. Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang khas dan sesuai dengan kapabilitas dan tipologi lahan untuk mendukung suatu sistem usahatani yang efektif dan berkelanjutan. Komponen utama pengembangan agrowisata ruangan terbuka dapat berupa flora dan fauna yang dibudidayakan maupun liar, teknologi budi daya dan pascapanen komoditas pertanian yang khas dan bernilai sejarah, atraksi budaya pertanian setempat, dan pemandangan alam berlatar belakang pertanian dengan kenyamanan yang dapat dirasakan. Agrowisata ruangan terbuka dapat dilakukan dalam dua versi/pola, yaitu alami dan buatan (http://database.deptan.go.id) Selanjutnya agrowisata ruangan terbuka dapat dikembangkan dalam dua versi atau pola, yaitu alami dan buatan, yang dapat dirinci sebagai berikut: Agrowisata Ruang Terbuka Alami Objek agrowisata ruangan terbuka alami ini berada pada areal di mana kegiatan tersebut dilakukan langsung oleh masyarakat petani setempat sesuai dengan kehidupan keseharian mereka. Masyarakat melakukan kegiatannya sesuai dengan apa yang biasa mereka lakukan tanpa ada pengaturan dari pihak lain. Untuk memberikan tambahan kenikmatan kepada wisatawan, atraksi-atraksi spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dapat lebih ditonjolkan, namun tetap menjaga nilai estetika alaminya. Sementara fasilitas pendukung untuk kenyamanan wisatawan tetap disediakan sejauh tidak bertentangan dengan budaya dan estetika asli yang ada, seperti sarana transportasi, tempat
33
berteduh, sanitasi, dan keamanan dari binatang buas. Contoh agrowisata terbuka alami adalah kawasan Suku Baduy di Pandeglang dan Suku Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat; Suku Tengger di Jawa Timur; Bali dengan teknologi subaknya; dan Papua dengan berbagai pola atraksi pengelolaan lahan untuk budi daya umbi-umbian. Agrowisata Ruang Terbuka Buatan Kawasan agrowisata ruang terbuka buatan ini dapat didesain pada kawasankawasan yang spesifik, namun belum dikuasai atau disentuh oleh masyarakat adat. Tata ruang peruntukan lahan diatur sesuai dengan daya dukungnya dan komoditas pertanian yang dikembangkan memiliki nilai jual untuk wisatawan. Demikian pula teknologi yang diterapkan diambil dari budaya masyarakat lokal yang ada, diramu sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk atraksi agrowisata yang menarik. Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, namun tidak mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Kegiatan wisata ini dapat dikelola oleh suatu badan usaha, sedang pelaksana atraksi parsialnya tetap dilakukan oleh petani lokal yang memiliki teknologi yang diterapkan.
34
BAB VII PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGROWISATA Dalam konteks produk pariwisata, agrowisata merupakan salah satu aspek produk yang berupa daya tarik wisata dan harus dapat disatukan dengan aspek produk yang lainnya secara harmonis untuk mewujudkan kepuasan wisatawan. Kepuasan wisatawan adalah ukuran terakhir untuk mengukur kualitas dari produk pariwisata. “Agrowisata adalah bagian dari totalitas produk pariwisata yang terkemas pada atraksi wisata dalam penawaran pariwisata” Aspek Penawaran Pariwisata Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005), ada empat aspek (4A) yang harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut. a) Attraction (daya tarik); daerah tujuan wisata untuk menarik wisatawan pasti memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan budayanya. Agrowisata yang ditawarkan harus memiliki daya tarik yang benarbenar mimiliki daya pikat bagi calon wisatawan untuk berkunjung. b) Accesable (transportasi); accesable dimaksudkan agar wisatawan domestik dan mancanegara dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat wisata. Daya pikat agrowisata harus didukung oleh akses ke objek agro tersebut minimal dapat dijangkau oleh mobil minibus, untuk memastikan sebuah objek layak untuk dikunjungi. c) Amenities (fasilitas); amenities memang menjadi salah satu syarat daerah tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama. Fasilitas makan dan minuman mutlak harus ada, jika perlu makanan atau culinary lokal mungkin menjadi suguhan yang memberikan pengalaman lebih bagi wisatawan. d) Ancillary (kelembagaan); adanya lembaga pariwisata wisatawan akan semakin sering mengunjungi dan mencari objek apabila di daerah tersebut wisatawan dapat merasakan keamanan, (protection of tourism) dan terlindungi. Tour leader dan travel agent yang baik adalah syarat minimal untuk menciptakan kepuasan wisatawan. Selanjutnya Smith, 1988 (dalam Pitana, 2005) mengklasifikasikan berbagai barang dan jasa yang harus disediakan oleh DTW menjadi enam kelompok besar,
35
yaitu: (1)Transportation, (2)Travel services, (3)Accommodation, (4)Food services, (5)Activities and attractions (recreation culture/entertainment), dan (6) Retail goods. Inti dari kedua pernyataan di atas adalah, aspek penawaran harus dapat menjelaskan apa yang akan ditawarkan, atraksinya apa saja, jenis transportasi `yang dapat digunakan apa saja, fasilitas apa saja yang tersedia di objek agro tersebut, siapa saja yang bisa dihubungi sebagai perantara pembelian paket wisata yang akan dibeli.
Aspek Permintaan Pariwisata Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto, 2005), faktor-faktor utama dan faktor lain yang mempengaruhi permintaan pariwisata dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Harga; harga yang tinggi pada suatu daerah tujuan wisata akan memberikan imbas atau timbal balik pada wisatawan yang akan bepergian, sehingga permintaan wisatapun akan berkurang begitu pula sebaliknya. Survey harga mutlak harus dilakukan oleh para pengelola objek agrowisata dengan membandingkan dengan harga-harga yang ada pada objek sejenis, seperti melirik harga-harga di Vietnam, Filifina, atau Thailand. b) Pendapatan; apabila pendapatan suatu negara tinggi, kecendrungan untuk memilih daerah tujuan wisata sebagai tempat berlibur akan semakin tinggi dan bisa jadi calon wisatawan membuat sebuah usaha pada Daerah Tujuan Wisata jika dianggap menguntungkan. c) Sosial Budaya; dengan adanya sosial budaya yang unik dan bercirikan atau berbeda dari apa yang ada di negara calon wisata berasal maka, peningkatan permintaan terhadap wisata akan tinggi hal ini akan membuat sebuah keingintahuan dan penggalian pengetahuan sebagai khasanah kekayaan pola pikir budaya wisatawan. Secara historis, Indonesia lebih dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, tembakau, karet, kelapa sawit, kopi, dan kayu hutan. Dengan melirik ke mana tujuan export produk tersebut? Maka dapat diperkirakan negara tersebutlah menjadi sasaran pemasaran agrowisata Indonesia. d) Sospol (Sosial Politik); dampak sosial politik belum terlihat apabila keadaan Daerah Tujuan Wisata dalam situasi aman dan tenteram, tetapi apabila hal tersebut berseberangan dengan kenyataan, maka sospol akan sangat terasa dampak dan pengaruhnya dalam terjadinya permintaan. e) Intensitas keluarga; banyak atau sedikitnya keluarga juga berperan serta dalam permintaan wisata hal ini dapat diratifikasi, jumlah keluarga yang banyak maka keinginan untuk berlibur dari salah satu keluarga tersebut akan semakin besar, hal ini dapat dilihat dari kepentingan wisata itu sendiri.
36
f) Harga barang substitusi; disamping kelima aspek di atas, harga barang pengganti juga termasuk dalam aspek permintaan, dimana barang-barang pengganti dimisalkan sebagai pengganti DTW yang dijadikan cadangan dalam berwisata seperti: Bali sebagai tujuan wisata utama di Indonesia, akibat suatu dan lain hal Bali tidak dapat memberikan kemampuan dalam memenuhi syarat-syarat Daerah Tujuan Wisata sehingga secara tidak langsung wisatawan akan mengubah tujuannya ke daerah terdekat seperti Malaysia dan Singapura. g) Harga barang komplementer; merupakan sebuah barang yang saling membantu atau dengan kata lain barang komplementer adalah barang yang saling melengkapi, dimana apabila dikaitkan dengan pariwisata barang komplementer ini sebagai objek wisata yang saling melengkapi dengan objek wisata lainnya. “Harga, pendapatan wisatawan, sosial budaya, kondisi politik, kondisi keluarga, produk pengganti, dan produk pelengkap adalah factor pendorong atau pelemah terhadap permintaan”
Sedangkan Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) melihat bahwa faktor penting yang menentukan permintaan pariwisata berasal dari komponen daerah asal wisatawan antara lain, jumlah penduduk (population size), kemampuan finansial masyarakat (financial means), waktu senggang yang dimiliki (leisure time), sistem transportasi, dan sistem pemasaran pariwisata yang ada.
37
BAB VIII KONDISI AGROWISATA DI INDONESIA Agritourism bermula dari ecotourism. Ecotourism adalah yang paling cepat bertumbuh diantara model pengembangan pariwisata yang lainnya di seluruh dunia, dan memperoleh sambutan yang sangat serius. Ecotourism dikembangkan di negara berkembang sebagai sebuah model pengembangan yang potensial untuk memelihara sumber daya alam dan mendukung proses perbaikan ekonomi masyarakat lokal. Ecotourism dapat menyediakan alternatif perbaikan ekonomi ke aktivitas pengelolaan sumber daya, dan untuk memperoleh pendapatan bagi masyarakat lokal ( U.S. Konggres OTA 1992). At the moment, agrotourism has successfully developed in many countries, for instance Switzerland, New Zeeland, France, Netherlands, Australia, and Austria (Rilla 1999). Agritourism telah berhasil dikembangkan di Switzerland, Selandia Baru, Australia, dan Austria. Sedangkan di USA baru tahap permulaan, dan baru dikembangkan di California. Beberapa Keluarga petani sedang merasakan bahwa mereka dapat menambah pendapatan mereka dengan menawarkan pemondokan bermalam, menerima manfaat dari kunjungan wisatawan, (Rilla 1999). Pengembangan agritourism merupakan kombinasi antara pertanian dan dunia wisata untuk liburan di desa. Atraksi dari agritourism adalah pengalaman bertani dan menikmati produk kebun bersama dengan jasa yang disediakan. Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, kita bisa meningkatkan pendapatan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya. Potensi objek wisata dapat dibedakan menjadi objek wisata alami dan buatan manusia. Objek wisata alami dapat berupa kondisi iklim (udara bersih dan sejuk, suhu dan sinar matahari yang nyaman, kesunyian), pemandangan alam (panorama pegunungan yang indah, air terjun, danau dan sungai yang khas), dan sumber air kesehatan (air mineral, air panas). Objek wisata buatan manusia dapat berupa falitas atau prasarana, peninggalan sejarah dan budidaya, pola hidup masyarakat dan taman-taman untuk rekreasi atau olah raga.
38
Objek agrowisata yang telah berkembang dan tercatat dalam basis data Direktorat Jenderal Pariwisata 1994/1995 terdapat delapan propinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Objek agrowisata umumnya masih berupa hamparan suatu areal usaha pertanian dari perusahaan-perusahaan besar yang dikelola secara modern Barat dengan orientasi objek keindahan alam dan belum menonjolkan atraksi keunikan dari aktivitas lokal masyarakat. Diantara objek agrowisatawisata tersebut seperti berikut:
Foto Kebun Raya Bogor Sumber: http://indodesigntour.com a) Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor didirikan 18 Mei 1817 yang semula bernama Islands Plantentuin te Buitenzorg. Pengelolaannya kini di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoneia (LIPI) yang menitikberatkan pada bidang pendidikan dan penelitian daripada untuk rekreasi. Kebun Raya Bogor dengan luas 87 hektare berfungsi untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan secara ex situ (memindahkan tanaman dari tempat asalnya ke tempat baru dengan dibuat sesuai dengan tempat asalnya). Tahun 1995 koleksi Kebun Raya Bogor berjumlah 4.300 jenis tanaman dari Indonesia, kawasan tropis Asia, Austaralia, Amerika, dan Afrika yang penataannya dikelompokkan berdasarkan asal, habitat, dan famili
39
tanaman. Selain itu kebun raya Bogor juga menyedikan pelayanan informasi ilmiah, seperti adanya paket wisata flora siswa bagi pelajar dan mahasiswa. Kebun Raya Bogor merupakan pusat Kebun Raya yang membawahi 3 cabang Kebun Raya, yaitu Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan Kebun Raya Eka Karya Bali (LIPI, 2005)
Foto Taman Anggrek Indonesia Permai Sumber: http://www.gedoor.com b) Taman Anggrek Indonesia Permai, Jakarta Taman ini lokasinya berdekatan dengan Taman Mini indonesia Indah (TMII). Pengunjung dapat menikmati keindahan berbagai jenih anggrek dalam kavelingkaveling khusus. Taman ini juga menawarkan paket khusus budi daya anggrek bagi mereka yang berminat dan sarana penelitian untuk pengembangan budidaya tanaman anggrek. Selain di Jakarta, Taman Anggrek juga tedapat di daerah Bedugul, Bali yang menjual berbagai jenis anggrek. Pengunjung yang datang juga diberi keranjang dan gunting untuk memetik sendiri bunga yang dipilihnya (Kondisi tahun 2005)
40
Foto Taman Bunga Nusantara Sumber: http://indonesia.mitrasites.com c) Taman Bunga Nusantara, Cipanas, Jawa Barat Taman Bunga Nusantara yang dibuka September 1995 dengan luas kawasan 35 hektare. Lahan 25 hektare untuk tanaman hias dan berbagai macam pohon dengan koleksi lebih dari 300 varietas yang dikumpulkan dari berbagai benua. Di taman ini terdapat tempat khusus yang ditanami jenis tanaman tertentu, seperti taman mawar, taman bougenvill, dan taman palem. Pengunjung yang ingin membawa oleh-oleh berupa bunga potong juga dapat membeli di showroom PT Alam Indah Bunga Nusantara yang letaknya bersebelahan. Untuk kegiatan para profesional, pelajar, dan mahasiswa, pihak taman bunga nasional juga menawarkan kegiatan seperti workshop atau seminar (Kondisi tahun 2005)
41
Foto Festival Jambu Biji yang diselenggarakan Taman Wisata Mekarsari, Sumber: http://www.agrina-online.com d) Taman Buah Mekarsari (TBM), Cileungsi, Jawa Barat. Taman Buah Mekarsari diresmikan Oktober 1995. Tujuan pembangunan TBM adalah menciptakan kebun hortikultura dengan teknologi canggih sebagai kebun percobaan, kebun produksi, dan objek agrowisata. TBM memiliki lahan 264 hektare dengan rancangan pola tanam menyerupai bentuk daun lamtorogung, yang dianggap sebagai tanaman serba guna dan sebagai pelestari lingkungan hidup. Di TBM juga disajikan cara bertanam buah untuk masa depan yang dikenal dengan istilah tabulampot. Kini TBM mengoleksi 41 famili yang terdiri dari 143 jenis tanaman dengan 455 varietas. Koleksi tanaman tersebut mencakup 30 varietas jeruk, 19 varietas rambutan, 16 varietas belimbing, 28 varietas pisang, 44 varietas durian, dan 27 varietas mangga dengan menerapkan dengan sistem pertanian modern (Kondisi tahun 2005)
42
Foto oceanarium Sumber: http://www.daysoutguide.co.uk/oceanarium
e) Oceanarium Objek agrowisata perikanan yang terdapat di Indonesia adalah Sea World yang memiliki oceanarium, berlokasi di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Oceanarium ini mulai beroperasi Mei 1994 yang menyajikan kehidupan alam di bawah laut dan aneka ragam hewan laut seperti hiu, ikan pari, penyu, dan ratusan jenis ikan yang dapat dilihat melalui terowongan pada kolam raksasa yang terbuat dari kaca (Kondisi tahun 2005)
43
Foto Taman Akuarium Air tawar TMII Sumber: http://www.tamanmini.com
f) Taman Akuarium Air Tawar (TAAT) Taman Akuarium Air Tawar (TAAT) diresmikan April 1994 berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), TAAT dibangun dengan gedung berbentuk lingkaran yang terdiri dari dua lantai seluas 5.500 M2 dengan atap berbentuk kubah berwarna hijau. Di TAAT terdapat keanekaragaman hayati ikan dan biota air tawar nusantara yang ditempatkan di akuarium geografik, dengan jumlah koleksi 240 buah akuarium dan kolam yang menampung 7.500 ikan yang terdiri dari 450 jenis (Kondisi tahun 2005)
Foto Taman Burung TMM Sumber: http://koran.republika.co.id
44
g) Taman Burung TMII Taman burung ini berlokasi di TMII Jakarta dengan luas taman 6 hektare dan memiliki 267 jenis burung yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan 16 jenis burung yang bukan asli Indonesia. Tahun 1995 koleksi burung di taman ini mencapai 5.134 ekor. Di taman burung ini terdapat dua rangkaian kubah, yaitu kubah barta yang menjadi tempat jenis-jenis burung dari Indonesia Barat dan kubah timur yang berisi koleksi burung dari kawasan Indonesia Timur. Bahkan terdapat juga auditorium yang menyajikan film tentang burung (Kondisi tahun 2005)
Foto Taman Burung TMII Sumber: http://santiorchid.wordpress.com h) Taman Anggrek Ragunan Taman anggrek Ragunan (TAR) merupakan aset Pemda DKI Jakarta dengan luas lahan sekitar 5 ha, dikelola oleh Dinas Pertanian DKI Jakarta. Keberadaan TAR menjadi salah satu objek Agrowisata, yang berfungsi sebagai: tempat wisata, tempat berlangsungnya aktivitas agribisnis tanaman anggrek baik dalam bentuk tanaman maupun bunga potong, dan sebagai sarana untuk mempelajari seluk beluk pemeliharaan anggrek. TAR dibagi menjadi 42 kavling yang dimanfaatkan untuk budidaya, pembibitan tanaman anggrek dan bunga potong. Disamping itu, dilengkapi pula dengan kios sarana produksi dan kantor pemasaran. Kavling-kavling anggrek tersebut dikelola oleh para petani anggrek yang tergabung dalam koperasi. Jenis-jenis anggrek yang diusahakan oleh para petani antara lain jenis Dendrobium, Orcidium, Arachnis, Phalaenopsis, serta tanaman hias penunjang lainnya (Kondisi tahun 2005)
45
Foto Balai Benih Ikan Ciganjur Sumber: http://www.wisatanesia.com i) Balai Benih Ikan Ciganjur Balai Benih Ikan Ciganjur merupakan lahan milik Pemda DKI Jakarta dengan luas lebih dari 10 ha. Balai ini dikelola oleh Dinas Perikanan yang kegiatannya, antara lain: pembenihan ikan, pemeliharaan ikan dan secara berkala diadakan atraksi lomba memancing. Selain itu, sebagian lahan ini juga dimanfaatkan oleh para petani ikan yang mengusahakan ikan konsumsi dan ikan hias. Produksi balai benih ikan tidak hanya melayani pembeli lokal, tetapi juga melayani pembeli yang berasal dari luar kota Jakarta. Pengunjung yang datang dapat membeli ikan konsumsi dan ikan hias (Kondisi tahun 2005)
46
Foto Taman Margasatwa Ragunan Sumber: http://selatan.jakarta.go.id
j) Taman Margasatwa Ragunan Adalah Kebun Binatang milik Pemerintah DKI Jakarta yang berdiri di atas tanah seluas lebih kurang 135 ha. Di dalamnya terdapat koleksi satwa sebanyak lebih kurang 3.200 ekor. Pada saat ini masih dalam tahap proses penataan dan pembangunan untuk terwujudnya Kebun Binatang yang baik sebagai sarana rekreasi, pendidikan, penelitian, dan konservasi fauna dan flora. Berikut sekilas informasi tentang sejaran keberadaan Kebun Binatang di Jakarta, antara lain: (a) Tahun 1864, Raden Saleh, seorang pelukis Indonesia ternama menghibahkan sebidang tanah seluas 10 hektar di kawasan Cikini kepada pemerintah. Oleh Pemerintah Belanda digunakan sebagai "Lembaga untuk Tanaman dan Satwa"; (b) Tahun 1949, Nama Lembaga untuk Tanaman dan Satwa diganti menjadi "Kebun Binatang Cikini"; (c) Tahun 1964, Dengan makin berkembangnya kota Jakarta, Pemerintah Daerah memindahkan Kebun Binatang Cikini ke kawasan Ragunan Pasar Minggu, dengan nama "Taman Margasatwa Jakarta"; (d) Tahun 1974, Nama Taman Margasatwa Jakarta berubah menjadi "Kebun Binatang Ragunan". Sejak saat itu secara bertahap dilakukan penataan dan perluasan, sejalan dengan peran dan fungsi Kebun Binatang; (e) Tahun 1998, Berdasarkan Perda No.13 Tahun 1998 nama "Kebun Binatang Ragunan" berubah namanya menjadi "Taman Margasatwa Ragunan" (Kondisi tahun 2005)
47
BAB IX MODEL IDEAL AGROWISATA INDONESIA
Motivasi agritourism adalah untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi petani. Bagaimanapun, agritourism juga merupakan kesempatan untuk mendidik orang banyak atau masyarakat tentang pertanian dan ecosystems. Pemain Kunci didalam agritourism adalah petani, pengunjung atau wisatawan, dan pemerintah atau institusi. Peran mereka bersama dengan interaksi mereka adalah penting untuk menuju sukses dalam pengembangan agritourism. Keuntungan dari pengembangan agritourism bagi petani lokal dapat dirinci sebagai berikut (Lobo dkk, 1999): 1. Agrowisata dapat memunculkan peluang bagi petani lokal untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan taraf hidup serta kelangsungan operasi mereka; 2. Menjadi sarana yang baik untuk mendidik orang banyak/masyarakat tentang pentingnya pertanian dan kontribusinya untuk perekoniman secara luas dan meningkatkan mutu hidup; 3. Mengurangi arus urbanisasi ke perkotaan karena masyarakat telah mampu mendapatkan pendapatan yang layak dari usahanya di desa (agritourism) 4. Agrowisata dapat menjadi media promosi untuk produk lokal, dan membantu perkembangan regional dalam memasarkan usaha dan menciptakan nilai tambah dan “direct-marking” merangsang kegiatan ekonomi dan memberikan manfaat kepada masyarakat di daerah dimana agrotourism dikembangkan. Sedangkan Manfaat Agritourism bagi pengunjung atau wisatawan (Rilla, 1999) adalah sebagai berikut: a) Menjalin hubungan kekeluargaan dengan petani atau masyarakat lokal. b) Meningkatkan kesehatan dan kesegaran tubuh c) Beristirahat dan menghilangkan kejenuhan d) Mendapatkan petualangan yang mengagumkan e) Mendapatkan makanan yang benar-benar alami (organic food) f) Mendapatkan suasana yang benar-benar berbeda g) Biaya yang murah karena agrowisata relatif lebih murah dari wisata yang lainnya. Pengembangan agrowisata diharapkan sesuai dengan kapabilitas, tipologi, dan fungsi ekologis lahan sehingga akan berpengaruh langsung terhadap kelestarian sumber daya lahan dan pendapatan petani serta masyarakat sekitarnya. Kegiatan
48
ini secara tidak langsung akan meningkatkan persepsi positif petani serta masyarakat sekitarnya akan arti pentingnya pelestarian sumber daya lahan pertanian. Pengembangan agrowisata pada gilirannya akan menciptakan lapangan pekerjaan, karena usaha ini dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat pedesaan, sehingga dapat menahan atau mengurangi arus urbanisasi yang semakin meningkat saat ini. Manfaat yang dapat dipeoleh dari agrowisata adalah melestarikan sumber daya alam, melestarikan teknologi lokal, dan meningkatkan pendapatan petani/masyarakat sekitar lokasi wisata (http://database.deptan.go.id) Selanjutnya Sutjipta (2001) menganggap, agrowisata dapat berkembang dengan baik jika terjadi Tri mitra dan tri karya pembangunan agrowisata yang meliputi, pemerintah sebagai pembuat aturan, rakyat/petani sebagai subyek, dan dunia usaha pariwisata sebagai penggerak perekonomian rakyat. Menurut Afandhi (2005), Pembangunan dan Pengembangan agrowisata bagi dunia usaha dapat dilakukan oleh ketiga pelaku ekonomi yaitu Badan Usaha Milik Negara/ Daerah, Perusahaan Nasional, Koperasi, dan Usaha Perorangan. Ketiga Pelaku ekonomi tersebut harus berdasarkan pola manajemen perusahaan penuh dengan modal yang rasional, sehingga ratio costbenefit dan return on invenstment pat diukur setiap tahun, sedangkan cara atau system pengelolaannya dapat dilakukan secara sendiri atau kerjasama (join venture), bagi hasil (sharing), dan lain-lain dengan prinsip saling menguntungkan. Adapun tenaga kerja sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan obyek agrowisata adalah kemampuan pengelola yang terdiri dari tenaga pembina, pelaksana, dan pemandu wisata. Untuk itu penyediaan tenaga managerial dan pemandu agrowisata yang progfesional sesuai dengan bidangnya mutlak diperlukan. Pola pengelolaan agrowisata yang dikembangkan atau dibangun perlu dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat setempat dalam berbagai kegiatan yang menunjang usaha agrowisata. Dengan keikutsertaan masyarakat di dalam pengembangan agrowisata diharapkan dapat ditumbuhkembangkan interaksi positif dalam bentuk rasa ikut memiliki untuk menjaga eksistensi obyek. Peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui: 1. Masyarakat desa yang memiliki lahan di dalam kawasan yang dibangun agar tetap dapat mengolah lahannya sehingga menunjang peningkatan hasil produk pertanian yang menjadi daya tarik agrowisata dan di sisi lain akan mendorong rasa memiliki dan tanggungjawab di dalam pengelolaan kawasan secara keseluruhan. 2. Melibatkan masyarakat desa setempat di dalam kegiatan perusahaan secara langsung sebagai tenaga kerja, baik untuk pertanian maupun untuk pelayanan
49
wisata, pemandu dan lain-lain. Untuk itu pihak pengelola perlu melakukan langkah-langkah dan upaya utnuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja khusus yang berasal dari masyarakat. 3. Menyediakan fasilitas dan tempat penjualan hasil pertanian, kerajinan dan cendera mata bagi masyarakat desa di sekitar kawasan, sehingga dapat memperkenalkan khas setempat sekaligus untuk meningkatkan penghasilan. Disamping itu, dapat pula diikutsertakan di dalam penampilan atraksi seni dan budaya setempat untuk disajikan kepada wisatawan. Pada hakekatnya pengembangan agrowisata mempunyai tujuan ganda termasuk promosi produk pertanian Indonesia, meningkatkan volume penjualan, membantu meningkatkan perolehan devisa, membantu meningkatkan pendapatan petani nelayan dan masyarakat sekitar, disamping untuk meningkatkan jenis dan variasi produk pariwisata Indonesia. Obyek agrowisata harus mencerminkan pola pertanian Indonesia baik tradisional ataupun modern guna memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Wisatawan. Di lokasi atau di sekitar lokasi dapat diadakan berbagai jenis atraksi atau kegiatan pariwisata sesuai dengan potensi sumber daya pertanian dan kebudayaan setempat. Sampai saat ini, berbagai obyek agrowisata yang potensial relatif belum banyak menarik pengunjung, antara lain karena terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia serta kurangnya promosi dan pemasaran kepada masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri.
Untuk itu perlu ditempuh suatu koordinasi promosi antara pengelola dengan berbagai pihak yang berkecimpung dalam bidang promosi dan pemasaran obyek-obyek agrowisata, baik instansi pemerintah maupun biro-biro perjalanan wisata. Hal ini mengingat agrowisata merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri karena mempunyai lingkup yang luas dan keterkaitan dengan tugas serta wewenang berbagai instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen atau Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan instansi terkait lainnya, kalangan usaha serta masyarakat pada umumnya. Di dalam melakukan pemasarannya perlu dilakukan pendekatan dengan berbagai pihak yang terkait secara terkoordinasi, mulai dari tingkat perencanaan, pengembangan, pengelolaan, pemasaran sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Ditingkat perumusan kebijaksanaan dan pengendalian perlu ditingkatkan peranan panitia kerja agro pusat dan daerah sehingga pelaksanaannya sejalan dengan kebijaksanaan pengembangan sector pertanian dan pariwisata, baik dari aspek lokasi, kawasan kegiatan, maupun penyediaan sarana dan prasarana.
50
Berikut model ideal pengembangan agrowisata dengan konsep 4A+CI (attraction, amenity, accessibelity, ancilary, community involment)
Investor (kualitas profit)
Aksesibelitas (transportasi) + masyarakat lokal
Amenitas (penginapan, hotel, dsb) + masyarakat lokal
Atraksi (agrowisata) + masyarakat lokal
Wisatawan (kualitas wisata)
Ansilari (organisasi pengatur Wisata) + masyarakat lokal
Masyarakat Lokal (Kualitas hidup)
Gambar Model Ideal Pengembangan Agrowisata Dimodifikasi dari Postma, 2006
Dalam model, lingkaran daam adalah agrowisata yang merupakan atraksi yang akan ditawarkan, sementara amenitas, ansilari, aksesibelitas adalah pendukung dan pembentuk totalitas dari produk agrowisata. Semua factor pembentuk totalitas produk wisata tersebut harus melibatkan masyarakat lokal dalam berbagai lini. Ada tiga pihak yang berkepentingan terhadap kualitas totalitas produk wisata tersebut, diantaranya: masyarakat sepakat membangun agrowisata untuk meningkatkan kualitas hidupnya, sementara wisatawan berhak mendapatkan kualitas wisata yang diharapkannya, sementara investor (pemerintah maupun swasta) berkepentingan mendapatkan profit yang berkualitas.
51
BAB X FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DINAMIKA AGROWISATA Upaya pengembangan Agrowisata secara garis besar mencakup aspek pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, promosi, dukungan sarana dan kelembagaan (http://database.deptan.go.id). Selanjutnya aspek-aspek tersebut dapat dirinci sebagai berikut: a) Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia mulai dari pengelola sampai kepada masyarakat berperan penting dalam keberhasilan pengembangan Agrowisata. Kemampuan pengelola Agrowisata dalam menetapkan target sasaran dan menyediakan, mengemas, menyajikan paket-paket wisata serta promosi yang terus menerus sesuai dengan potensi yang dimiliki sangat menentukan keberhasilan dalam mendatangkan wisatawan. Dalam hal ini keberadaan/peran pemandu wisata dinilai sangat penting. Kemampuan pemandu wisata yang memiliki pengetahuan ilmu dan keterampilan menjual produk wisata sangat menentukan. Pengetahuan pemandu wisata seringkali tidak hanya terbatas kepada produk dari objek wisata yang dijual tetapi juga pengetahuan umum terutama hal-hal yang lebih mendalam berkaitan dengan produk wisata tersebut. Ketersediaan dan upaya penyiapan tenaga pemandu Agrowisata saat ini dinilai masih terbatas. Pada jenjang pendidikan formal seperti pendidikan pariwisata, mata ajaran Agrowisata dinilai belum memadai sesuai dengan potensi Agrowisata di Indonesia. Sebaliknya pada pendidikan pertanian, mata ajaran kepariwisataan juga praktis belum diajarkan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut pemandu Agrowisata dapat dibina dari pensiunan dan atau tenaga yang masih produktif dengan latar belakang pendidikan pertanian atau pariwisata dengan tambahan kursus singkat pada bidang yang belum dikuasainya. b) Promosi Kegiatan promosi merupakan kunci dalam mendorong kegiatan Agrowisata. Informasi dan pesan promosi dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti melalui leaflet, booklet, pameran, cinderamata, mass media (dalam bentuk iklan atau media audiovisual), serta penyediaan informasi pada tempat public (hotel, restoran, bandara dan lainnya). Dalam kaitan ini kerjasama antara objek Agrowisata dengan Biro Perjalanan, Perhotelan, dan
52
Jasa Angkutan sangat berperan. Salah satu metoda promosi yang dinilai efektif dalam mempromosikan objek Agrowisata adalah metoda "tasting", yaitu memberi kesempatan kepada calon konsumen/wisatawan untuk datang dan menentukan pilihan konsumsi dan menikmati produk tanpa pengawasan berlebihan sehingga wisatawan merasa betah. Kesan yang dialami promosi ini akan menciptakan promosi tahap kedua dan berantai dengan sendirinya. c) Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sebagai bagian dari usaha pertanian, usaha Agrowisata sangat mengandalkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Sumberdaya alam dan lingkungan tersebut mencakup sumberdaya objek wisata yang dijual serta lingkungan sekitar termasuk masyarakat. Untuk itu upaya mempertahankan kelestraian dan keasrian sumberdaya alam dan lingkungan yang dijual sangat menentukan keberlanjutan usaha Agrowisata. Kondisi lingkungan masyarakat sekitar sangat menentukan minat wisatawan untuk berkunjung. Sebaik apapun objek wisata yang ditawarkan namun apabila berada di tengah masyarakat tidak menerima kehadirannya akan menyulitkan dalam pemasaran objek wisata. Antara usaha Agrowisata dengan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Usaha Agrowisata berkelanjutan membutuhkan terbinanya sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, sebaliknya dari usaha bisnis yang dihasilkannya dapat diciptakan sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari. Usaha Agrowisata bersifat jangka panjang dan hampir tidak mungkin sebagai usaha jangka pendek, untuk itu segala usaha perlu dilakukan dalam perspektif jangka panjang. Sekali konsumen/wisatawan mendapatkan kesan buruknya kondisi sumberdaya wisata dan lingkungan, dapat berdampak jangka panjang untuk mengembalikannya. Dapat dikemukakan bahwa Agrowisata merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan semua aspek. d) Dukungan Sarana dan Prasarana Kehadiran konsumen/wisatawan juga ditentukan oleh kemudahankemudahan yang diciptakan, mulai dari pelayanan yang baik, kemudahan akomodasi dan transportasi sampai kepada kesadaran masyarakat sekitarnya. Upaya menghilangkan hal-hal yang bersifat formal, kaku dan menciptakan suasana santai serta kesan bersih dan aman merupakan aspek penting yang perlu diciptakan. e) Kelembagaan Pengembangan Agrowisata memerlukan dukungan semua pihak pemerintah, swasta terutama pengusaha Agrowisata, lembaga yang terkait
53
seperti perjalanan wisata, perhotelan dan lainnya, perguruan tinggi serta masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dalam mendukung berkembangnya Agrowisata dalam bentuk kemudahan perijinan dan lainnya. Intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan agar tidak terjadi iklim usaha yang saling mematikan. Untuk itu kerjasama baik antara pengusaha objek Agrowisata, maupun antara objek Agrowisata dengan lembaga pendukung (perjalanan wisata, perhotelan dan lainnya) sangat penting. Terobosan kegiatan bersama dalam rangka lebih mengembangkan usaha agro diperlukan.
Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan suatu agrowisata dalam kaitannya dengan atraksi yang ditawarkan sebagai objek wisata, Syamsu dkk, (2001) mengindentifikasikan faktor-faktor tersebut sebagai berikut: a) Kelangkaan Jika wisatawan melakukan wisata di suatu kawasan agrowisata, wisatawan mengharapkan suguhan hamparan perkebunan atau taman yang mengandung unsur kelangkaan karena tanaman tersebut sangat jarang ditemukan pada saat ini. b) Kealamiahan Kealamaiahan atraksi agrowisata, juga akan sangat menentukan keberlanjutan dari agrowisata yang dikembangkan. Jika objek wisata tersebut telah tercemar atau penuh dengan kepalsuan, pastilah wisatawan akan merasa sangat tertipu dan tidak mungkin berkunjung kembali. c) Keunikan Keunikan dalam hal ini adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan objek wisata yang ada. Keunikan dapat saja berupa budaya, tradisi, dan teknologi lokal dimana objek wisata tersebut dikembangkan. d) Pelibatan Tenaga Kerja Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat melibatkan tenaga kerja setempat, setidak-tidaknya meminimalkan tergusurnya masyarakat lokal akibat pengembangan objek wisata tersebut. e) Optimalisasi Penggunaan Lahan Lahan-lahan pertanian atau perkebunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal, jika objek agrowisata ini dapat berfungsi dengan baik. Tidak ditemukan lagi lahan tidur, namun pengembangan agrowisata ini berdampak positif terhadap pengelolaan lahan, jangan juga dieksploitasi dengan semena-mena. f) Keadilan dan Pertimbangan Pemerataan Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat menggerakkan perekonomian masyarakat secara keseluruhan, baik masyarakat petani/desa, penanam
54
modal/investor, regulator. Dengan melakukan koordinasi didalam pengembangan secara detail dari input-input yang ada. g) Penataan Kawasan Agrowisata pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang mengintegrasikan sistem pertanian dan sistem pariwisata sehingga membentuk objek wisata yang menarik. Sedangkan menurut Spillane, (1994) untuk dapat mengembangkan suatu kawasan menjadi kawasan pariwisata (termasuk juga agrowisata) ada lima unsur yang harus dipenuhi seperti dibawah ini: a) Attractions Dalam konteks pengembangan agrowisata, atraksi yang dimaksud adalah, hamparan kebun/lahan pertanian, keindahan alam, keindahan taman, budaya petani tersebut serta segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas pertanian tersebut. b) Facilities Fasilitas yang diperlukan mungkin penambahan sarana umum, telekomunikasi, hotel dan restoran pada sentra-sentra pasar. c) Infrastructure Infrastruktur yang dimaksud dalam bentuk Sistem pengairan, Jaringan komunikasi, fasilitas kesehatan, terminal pengangkutan, sumber listrik dan energi, system pembuangan kotoran/pembungan air, jalan raya dan system keamanan. d) Transportation Transportasi umum, Bis-Terminal, system keamanan penumpang, system Informasi perjalanan, tenaga Kerja, kepastian tariff, peta kota/objek wisata. e) Hospitality Keramah-tamahan masyarakat akan menjadi cerminan keberhasilan sebuah system pariwisata yang baik. Sedangkan untuk pemilihan lokasi wilayah pertanian yang akan dijadikan objek agrowisata perlu dipertimbangkan, di antaranya mempertimbangkan kemudahan mencapai lokasi, karakteristik alam, sentra produksi pertanian, dan adanya kegiatan agroindustri. Pemilihan lokasi juga dapat dilihat berdasarkan karakteristik alam, apakah merupakan dataran rendah atau dataran tinggi, pantai, dan danau/waduk. Pemilihan juga dapat dilakukan dengan melihat potensi daerah seperti sentra produksi pertanian, letak daerah yang strategis, sejarah dan budaya ataupun pemilihan dilakukan dengan melihat potensi agroindustri suatu wilayah (http://lampungpost.com)
55
Dataran rendah biasanya memiliki karakteristik iklim kering dan biasanya terdapat padang rumput yang luas (stepa) yang cocok untuk dikembangkan usaha peternakan, sedangkan dataran tinggi biasanya memiliki topografi yang berbukitbukit atau berupa kawasan pegunungan yang sambung-menyambung. Umumnya daerah pegunungan memiliki tanah yang subur dan suhu relatif rendah, sehingga cocok bagi pertumbuhan berbagai jenis tanaman bunga dan sayuran. Untuk wilayah yang memiliki kawasan pantai yang sangat luas dapat dimanfaatkan untuk usaha budi daya perikanan laut dan tambak atau rumput laut. Untuk kawasan yang memiliki danau atau waduk untuk usaha teknik budi daya ikan air tawar dengan menyediakan sarana pemancingan (http://lampungpost.com)
56
BAB XI SISI POSITIF DAN SISI NEGATIF AGROWISATA
Sisis positif pengembangan agrowisata adalah sebuah keuntungan, agrowisata berpeluang terhadap perluasan kesempatan berusaha bagi masyarakat lokal (diversification of lokal community), kesempatan investasi kesadaran akan konservasi lingkungan. Lebih lanjut sisi positif dari pengembangan agrowisata dapat dijabarkan sebagai berikut (Deptan, 2005): Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang mengharapkan kedatangan konsumen secara langsung ditempat wisata yang diselenggarakan. Aset yang penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam. Oleh sebab itu, faktor kualitas lingkungan menjadi modal penting yang harus disediakan, terutama pada wilayah-wilayah yang dimanfaatkan untuk dijelajahi para wisatawan. Menyadari pentingnya nilai kualitas lingkungan tersebut, masyarakat atau petani setempat harus diajak untuk selalu menjaga keaslian, kenyamanan, dan kelestarian lingkungannya. Karena agrowisata termasuk ke dalam wisata ekologi (eco-tourism), yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan. Oleh karena itu, pengelolaannya harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a) Pengaturan dasar alaminya, yang meliputi kultur atau sejarah yang menarik, keunikan sumber daya biofisik alaminya, konservasi sumber daya alam ataupun kultur budaya masyarakat. b) Nilai pendidikan, yaitu interpretasi yang baik untuk program pendidikan dari areal, termasuk lingkungan alaminya dan upaya konservasinya. c) Partisipasi masyarakat dan pemanfaatannya. Masyarakat hendaknya melindungi dan menjaga fasilitas atraksi yang digemari wisatawan, serta dapat berpartisipasi sebagai pemandu serta penyedia akomodasi dan makanan. d) Dorongan meningkatkan upaya konservasi. Wisata ekologi biasanya tanggap dan berperan aktif dalam upaya melindungi area, seperti mengidentifikasi burung dan satwa liar, memperbaiki lingkungan, serta memberikan penghargaan atau fasilitas kepada pihak yang membantu melingdungi lingkungan.
57
Keunikan teknologi lokal yang merupakan hasil seleksi alam merupakan aset atraksi agrowisata yang patut dibanggakan. Bahkan teknologi lokal ini dapat dikemas dan ditawarkan untuk dijual kepada pihak lain. Dengan demikian, teknologi lokal yang merupakan indigenous knowleadge itu dapat dilestarikan. Sistem irigasi tradisional Bali yang masih lestari dari turun temurun merupakan salah satu contoh yang bisa ditawarkan untuk agrowisata. Selain memberikan nilai kenyamanan, keindahan ataupun pengetahuan, atraksi wisata juga dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta masyarakat di sekitarnya. Wisatawan yang berkunjung akan menjadi konsumen produk pertanian yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil menjadi lebih efisien. Selain itu, dengan adanya kesadaran petani akan arti petingnya kelestarian sumber daya, maka kelanggengan produksi menjadi lebih terjaga yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat sekitar, dengan banyaknya kunjungan wisatawan, mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha dengan menyediakan jasa dan menjual produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Atraksi wisata pertanian juga dapat menarik pihak lain untuk belajar atau magang dalam pelaksanaan kegiatan budi daya ataupun atraksi-atraksi lainnya, sehingga dapat menambah pendapatan petani, sekaligus sebagai wahana alih teknologi kepada pihak lain. Hal seperti ini telah dilakukan oleh petani di Desa Cinagara, Sukabumi dengan "Karya Nyata Training Centre". Pada kegiatan magang ini, seluruh petani dilibatkan secara langsung, baik petani ikan, padi sawah, hortikultura, peternakan, maupun perkebunan (http://database.deptan.go.id) Jika Agrowisata dikembangkan dengan benar, harapan petani untuk dapat meningkat kesejahteraannya bisa terwujud, apa saja harapan petani tersebut? Mosher (dalam Sutjipta, 2001) merinci sebagai berikut: Pemasaran Hasil Pertanian: diharapkan dengan perkembangnya pariwisata hasil pertanian dapat terserap pada sektor ini. Teknologi yang dinamis: dengan berkembangnya pariwisata berkembang pula teknologi pertanian yang ada karena tuntutan dunia pariwisata. Tersedianya sarana produksi Perangsang produksi pertanian, dengan berkembangnya pariwisata harga produk pertanian diharapkan dapat dihargai cukup layak sehingga gairah petani untuk bekerja semakin meningkat. Pengangkutan, Insfrastruktur yang dibangun untuk pariwisata juga dapat dimanfaatkan oleh sektor pertanian.
58
Dalam kaitannya dengan pengembangan agrowisata sebagai kerangka pengembangan masyarakat petani pada kehidupan yang lebih baik, maka diperlukan gerakan serentak (Sutjipta, 2001) yang berupa: Menjaga kelestarian lingkungan: Pengembangan Pariwisata harus memperhatikan kelestarian lingkungan karena jika lingkungan rusak mustahil pariwisata bisa terus berkembang. Pemanfaatan sumberdaya daya alam secara bijaksana: Sumberdaya alam yang ada bukan untuk dinikmati oleh generasi sekarang saja tetapi untuk anak cucu kita juga, dari sinilah diharapkan kita tidak melakukan exploitasi alam dengan semena-mena. Keseimbangan antara konsumsi dan produksi: Berproduksi sesuai dengan permintaan pasar, bukan melakukan penawaran secara berlebihan sehingga tercipta kondisi over suplay, jika kondisi ini terjadi maka segala sesuai akan bernilai rendah. Peningkatan Sumber daya manusia: Jika sumberdaya manusia tidak cakap, maka ada potensi dalam waktu panjang SDM yang ada akan tergusur oleh SDM global yang lebih potensi dan kompeten, disinilah diperlukan pengembangan SDM secara terus menerus. pemberantasan kemiskinan: Program-program yang ditawarkan oleh pemerintah sebaiknya tidak hanya memberikan kemudahan bagi kapitalis tetapi juga sebaiknya memperhatikan masyarakat petani yang sebagian besar tergolong miskin bahkan melarat. Sebaliknya, kerugian yang ditimbulkan, antara lain penurunan kualitas lingkungan, terjadinya kesenjangan ekonomi serta perubahan sosial budaya yang negatif. Untuk menilai dampak potensial kegiatan pariwisata, Gree dan Hunter, 1993 (dalam Aryanto, 2003) meneliti tentang dampak negatif pada lingkungan budaya yang dibagi dalam 6 komponen lingkungan yang akan rusak atau berubah, yaitu : (1) nilai dan kepercayaan, (2) moral, (3) perilaku, (4) seni dan kerajinan, (5) hukum dan ketertiban, dan (6) sejarah. Hartanto (1997), menambahkan daftar dampak negatif lainnya yang akan terjadi pada Lingkungan Binaan dan Lingkungan Alam, yaitu pada: (1) flora dan fauna, (2) polusi, (3) erosi, (4) sumber daya alam, (5) pemandangan. Agrowisata memungkinkan terhadap kegiatan pariwisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman intelektual dan budaya masyarakat lokal, dan ini yang akan menjadi ancaman berupa pengambilan secara ilegal pengetahuan tentang sumber daya lokal. Oleh karenanya, perlu upaya perlindungan melalui pemberdayaan masyarakat dalam hal antara lain hak untuk menolak atas pengembangan
59
pariwisata di daerahnya yang tidak berkelanjutan; hak akses atas informasi baik negatif maupun positif; dan akses serta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Untuk mengantisipasi dampak negatif pariwisata, perlu pendekatan daya dukung dalam pengelolaan pariwisata sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima. Daya dukung pariwisata dipengaruhi faktor motivasi wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata. Perspektif daya dukung pariwisata tidak hanya terbatas pada jumlah kunjungan, namun juga meliputi aspek-aspek lainnya seperti kapasitas ekologi (kemampuan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan), kapasitas fisik (kemampuan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan wisatawan), kapasitas sosial (kemampuan daerah tujuan untuk menyerap pariwisata tanpa menimbulkan dampak negatif pada masyarakat lokal), dan kapasitas ekonomi (kemampuan daerah tujuan untuk menyerap usaha-usaha komersial namun tetap mewadahi kepentingan ekonomi lokal).
60
BAB XII POTENSI PENGEMBANGAN AGROWISATA DI INDONESIA Menurut Afandhi (2005), Kebijakan umum Departemen Pertanian dalam membangun pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Untuk tujuan tersebut, usaha diversifikasi perlu dilanjutkan disertai dengan rehabilitasi yang harus dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan merata disesuaikan dengan kondisi tanah, air dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat setempat. Sejalan dengan kebijaksanaan umum di atas, terlihat bahwa antara pariwisata dan pertanian dapat saling mengisi dan menunjang dalam meningkatkan daya saing produk pariwisata dan produk pertanian Indonesia dalam rangka meningkatkan perolehan devisa dari komoditi ekspor non migas. Sebagai negara agraris, sector pertanian merupakan sector yang dominan dan merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan dan penganekaragaman usaha pertanian terus ditingkatkan secara intensif dan terencana, baik yang secara tradisional maupun modern merupakan potensi kuat yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara. Potensi budidaya pertanian yang dapat dijadikan agrowisata antara lain: 1) Lahan Perkebunan Suatu kawasan perkebunan yang ideal untuk dapat dimanfaatkan sebagai objek dan daya tarik agrowisata adalah kawasan perkebunan yang kegiatannya merupakan kesatuan yang utuh mulai dari pembibitan sampai dengan pengolahan hasilnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa setiap kegiatan dan proses pengusahaan perkebunan dapat dijadikan daya tarik atau atraksi yang menarik bagi wisatawan mulai dari pembibitan, penanaman, pengolahan ataupun pengepakan hasil produksinya. Perkebunan sebagai objek agrowisata terdiri dari perkebunan kelapa sawit, karet, teh kopi, kakao, tebu, dan lain-lain. Pada dasarnya luas suatu perkebunan ada batasnya, namun perkebunan yang dijadikan sebagai objek agrowisata luasnya tidak dibatasi, dengan kata lain luasnya sesuai izin atau persyaratan objek agrowisata yang diberikan. Untuk menunjukkan kepada wisatawan suatu perkebunan yang baik dan benar, semestinya dalam objek dilengkapi dengan unit pengolahan, laboratorium, pengepakan hasil, sarana dan prasarana.
61
2) Tanaman pangan dan Hortikultura Daya tarik tanaman pangan dan hortikultura sebagai objek agrowisata antara lain dapat berupa kebun bunga, kebun buah-buahan, kebun sayur-sayuran, kebun tanaman obat-obatan. 3) Peternakan Potensi peternakan sebagai sumber daya wisata antara lain cara tradisional dalam pemeliharaan ternak, aspek keunikan pengelolaan, produksi ternak, atraksi peternakan dan peternakan khusus seperti bekisar dan burung puyuh misalnya. 4) Perikanan Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari perairan dengan potensi sumber daya ikan yang jenis maupun jumlahnya cukup besar, kegiatan perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai obyek agrowisata. Secara garis besar, kegiatan perikanan dibagi menjadi kegiatan penangkapan serta kegiatan budidaya, dan kegiatan tersebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi obyek agrowisata seperti budidaya ikan air tawar, budidaya tambak, budidaya laut seperti kerang, rumput laut, kakap merah, dan mutiara. Jika melihat perkembangan pada dekade terakhir, pembangunan pariwisata di Indonesia maupun di manca negara menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Konsumsi jasa dalam bentuk komoditas wisata bagi sebagian masyarakat negara maju dan masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu kebutuhan sebagal akibat meningkatnya pendapatan, aspirasi dan kesejahteraannya. Preferensi dan motivasi wisatawan juga berkembang secara dinamis. Kecenderungan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan ini merupakan signal tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik.
Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan hortikultura disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentang kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.
62
Menurut perspektif pariwisata, objek agrowisata tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan yang luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Salah satu contohnya, cara-cara bertanam tebu, acara panen tebu, pembuatan gula pasir tebu, serta cara cara penciptaan varietas baru tebu merupakan salah satu contoh objek yang kaya dengan muatan pendidikan. Cara pembuatan gula merah kelapa juga merupakan salah satu contoh lain dari kegiatan yang dapat dijual kepada wisatawan yang disamping mengandung muatan budaya dan pendidikan juga dapat menjadi media promosi, karena dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang dihasilkan pengrajin. Dengan datangnya masyarakat mendatangi objek wisata juga terbuka peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek agrowisata yang bersangkutan, namun pasar dan segala kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, melalui Agrowisata bukan semata merupakan bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi pemenuhan konsumen akan pemandangan yang indah dan udara yang segar, namun juga dapat berperan sebagai media promosi produk pertanian, menjadi media pendidikan masyarakat, memberikan signal bagi peluang pengembangan diversifikasi produk agribisnis dan berarti pula dapat menjadi kawasan pertumbuhan baru wilayah. Dengan demikian maka Agrowisata dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru deerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional. Potensi Agrowisata yang sangat tinggi ini belum sepenuhnya dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dirumuskan langkah-langkah kebijakan yang konkrit dan operasional guna tercapainya kemantapan pengelolaan Objek Agrowisata di era globalisasi dan otonomi daerah. Sesuai dengan keunikan kekayaan spesifik lokasi yang dimiliki, setiap daerah dan setiap objek wisata dapat menentukan sasaran dan bidang garapan pasar yang dapat dituju. Dalam pengembangan Agrowisata dibutuhkan kerjasama sinergis diantara pelaku yang teribat dalam pengelolaan Agrowisata, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah. Brahmantyo, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang potensi dan peluang dalam pengembangan pariwisata Gunung Salak Endah, menemukan beberapa potensi alam dapat dimanfaatkan sebagai atraksi objek wisata. Potensi tersebut adalah, Air Terjun Curug Ciumpet, areal perkemahan, lahan pertanian sebagai objek agrowisata, kolam air deras, arena pancing (perikanan darat), peternakan lebah, peternakan kuda, wisata perhutanan dan perkebunan, dan wisata industri pengolahan hasil tanaman kopi. “Bali Potensi pengembangan Agrowisata namun masih sepi pengunjung, di mana salahnya?”
63
Bali itu merupakan daerah yang kaya akan alamnya dan indah bila dipandang secara kasat mata. Nuansa dan panorama indahnya alam Bali itu, mungkin akan semakin menyentak pemandangan para pengunjung bila melintasi wilayah Tabanan yang terkenal dengan bentangan sawah yang berterasering atau ke kawasan Swiss-nya Bali, Bedugul, atau terus ke Utara di Singaraja menyaksikan hamparan pepohonan cengkeh milik petani-petani dengan diselingi nyiur dan tetumbuhan kopi Robusta dan Arabica (Moruk, 2005) Bila wisatawan menyisir perjalanan dari Gianyar dengan Tampak Siringnya, terus ke utara ke Bangli yang terkenal dengan bukit Kintamani-nya. Di sana pasti disuguhkan sebuah potret alam asri dan asli dengan gunung dan danau Batur-nya yang sangat menawan. Wisatawan dapat berpetualang menyaksikan kawasan hutan Salak Gula Pasir yang terhampar di wilayah Kabupaten Karangasem di Bali Timur. Itulah sentra-sentra yang dapat dikembangkan menjadi objek terhandal bagi para wisatawan pencinta agrowisata. Agrowisata sebenarnya merupakan lahan atau produk terbaru dalam sektor kepariwisataan Indonesia guna memenuhi keperluan wisatawan yang mencintai keindahan alam pertanian, perdesaan, informasi dan teknologi, barang dan jasa yang terbuat dari produk pertanian. Dengan demikian, sangat jelas bahwa agrowisata itu ditunjang penuh oleh eksotiknya keindahan alam, kesuburan tanah, kesejahteraan petani, kebersihan lingkungan sekitar. Makin indah alamnya, subur tanahnya, sejahtera petaninya dengan keberhasilan menerapkan pembangunan pertanian, justru semakin menjadikan suatu kawasan atau daerah sebagai obyek agrowisata yang handal dan berkualitas (Moruk, 2005) Lebih lanjut, Sudibya (2002) mengindentifikasikan, ecotourism potensial dikembangkan di Bali. Kabupaten Jembrana potensial untuk pengembangan berbagai jenis wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Bali Barat, camping dan trekking dikombinasikan dengan snorkeling di Pulau Menjangan. Kabupaten Buleleng potensial untuk pengembangan berbagai agrowisata mengingat daerah ini memiliki kawasan pertanian yang luas. Berbagai tanaman industri seperti jeruk keprok, tembakau, anggur dan holtikultura bisa dibudidayakan di kabupaten ini. Di Kabupaten Tabanan dapat diintensifkan pengembangan holtikultura dan kebun bunga untuk keperluan hotel dan restoran serta masyarakat umum. Kebun Raya Eka Karya Bali juga dapat ditingkatkan pemanfaatannya, baik untuk atraksi wisata maupun untuk penelitian dan pendidikan. Kabupaten Bangli potensial untuk pengembangan peternakan sapi, terutama penggemukan (fattening) dan unggas untuk pasokan daging ke hotel dan restoran. Danau Batur dikembangkan sebagai tempat perikanan air tawar, baik untuk keperluan industri pariwisata maupun konsummsi lokal. Pulau Nusa Penida
64
potensial untuk pengembangan penggemukan sapi untuk menghasilkan daging yang berkualitas. Pada prinsfnya, alam Bali memiliki potensi yang begitu besar untuk dikembangkan menjadi ecotourism. Sudibya (2002) juga menjelaskan, saat ini di Bali sudah ada atraksi wisata yang erat hubungannya dengan prinsip ecotourism, seperti misalnya, arung jeram (whitewater rafting), cruising/sailing, taman burung, taman gajah, taman reptil, taman kupu-kupu, taman anggrek, dan wisata berkuda (horse riding). Dalam rangka mempercepat penyeimbangan dan keselarasan pembangunan antar wilayah seperti kawasan Badung Utara dan Badung Selatan telah diupayakan penataan kawasan pertanian khususnya perkebunan yang sangat potensial di wilayah Badung Utara menjadi suatu kawasan agrowisata yang akhirnya dapat menjadi pembangunan industri dan agrobisnis. Untuk mewujudkan hal itu telah pula dilakukan kerja sama dengan beberapa BUMN seperti BTDC untuk mengembangkan tanaman hias dan bunga di wilayah Badung Utara.
Foto Kebun Kopi Bali Sumber: http://sskurniawan.blogspot.com
Sementara untuk merangsang pembangunan sektor pertanian telah diberikan berbagai stimulan baik berupa benih, subsidi pupuk, pemberdayaan lembaga pangan, dan pemberdayaan kelompok wanita tani. Yang lebih mendidik lagi dengan adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk membebaskan atau memberi subsidi pajak terhadap PKD, pelaba pura dan tanah masyarakat yang terkena jalur hijau. (Bisnis Bali Online, 2003)
65
Foto Kebun Salak Sibetan Bali Sumber: http://bliketut.com
Beberapa kawasan yang telah berkembang dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan agrowisata di Bali (Bapeda Bali, 1995) adalah sebagai berikut: a) Kawasan Pertanian Hortikultural di Baturiti Tabanan dan Pancasari Buleleng b) Kawasan Perkebunan Rakyat Salak Bali di Sibetan Karangasem c) Kawasan Terasering Sawah Jatiluwih Tabanan d) Kawasan Perkebunan Kopi di Pupuan Tabanan e) Kawasan Petang Badung f) Kawasan Kintamani Bangli g) Kawasan Peternakan Ayam di Tiingan, Tegak, dan Pempatan h) Kawasan Peternakan Sapi Putih di Taro Gianyar i) Kawasan Perkebunan Anggur di Seririt dan Grokgak Buleleng, dan j) Beberapa Kawasan Perkebunan Milik PD Prov Bali yang berada di Jembrana.
66
BAB XIII AGROWISATA ADALAH BENTUK PARIWISATA YANG BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam, budaya, flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah perairan dan pulau di Indonesia (Gunawan, 1997). Indonesia tercatat mendapatkan ranking ke-enam pada Top Twenty Tourism Destinations in East dan The Pasific (WTO,1999). Dalam paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan pariwisata massal, yaitu yang bercirikan jumlah wisatawan yang besar atau berkelompok dan paket wisata yang seragam (Faulkner, 1997), dan sekarang telah bergerak menjadi pariwisata baru, (Baldwin dan Brodess, 1993), yaitu wisatawan yang lebih canggih, berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tinggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli. Dalam usaha pengembangannya Indonesia wajib memperhatikan dampakdampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah sektor ekowisata termasuk juga agrowisata sebagai pariwisata alternatif yang oleh Eadington dan Smith (1995) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Low Choy dan Heillbronn, 1996 (dalam Aryanto, 2003), merumuskan lima faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu : a) Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum tercemar b) Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada masyarakat. c) Pendidikan dan Pengalaman; Ekotourism harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki d) Berkelanjutan; Ekotourism dapat memberikan sumbangan positip bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang. e) Manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasai mendatang. Karena Agrowisata menganut falsafah dari Ekowisata, maka sangat beralasan, agrowisata dikatakan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas.
67
Pembangunan berkelanjutan pada umumnya mempunyai sasaran memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengurangi manfaat bagi generasi mendatang. Charles Birch dalam Erari (1999) membandingkan dunia sekarang ibarat kapal titanic dengan gunung es yang terlihat sebanyak lima pucuk yang merupakan ancaman bagi kehidupan manusia antara lain : 1) ledakan penduduk, 2) krisis pangan 3) terkurasnya sumberdaya alam diperbaharui 4) pengrusakan lingkungan hidup dan 5) perang. Selanjutnya disebutkan bahwa suatu tuntutan akan perlunya masyarakat yang berkelanjutan, dan panggilan kemanusiaan untuk bertindak sedemikian rupa agar kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya menikmati hidup berkelanjutan di tengah keterbatasan dunia. Hal ini menunjukkan walaupun dunia yang diibaratkan tersebut maka peranan masyarakat untuk memelihara lingkungan demi kehidupan masa mendatang. Dengan demikian bahwa pariwisata berkelanjutan harus bertitik tolak dari kepentingan dan partisipatif masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan wisatawan atau pengunjung sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan kata lain bahwa pengelolaan sumberdaya agrowisata dilakukan sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi dengan memelihara integritas cultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan. Agar agrowisata dapat berkelanjutan maka produk agrowisata yang ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik. Dengan demikian masyarakat akan peduli terhadap sumberadaya wisata karena memberikan manfaat sehingga masyarakat merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan dalam kehidupannya. Cernea, 1991 (dalam Lindberg and Hawkins, 1995) mengemukakan bahwa partisipasi lokal memberikan banyak peluang secara efektif dalam kegiatan pembangunan dimana hal ini berarti bahwa memberi wewenang atau kekuasaan pada masyarakat sebagai pemeran sosial dan bukan subjek pasif untuk mengelola sumberdaya membuat keputusan dan melakukan control terhadap kegiatan– kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan kemampuan mereka. Adanya kegiatan agrowisata haruslah menjamin kelestarian lingkungannya terutama yang terkait dengan sumberdaya hayati renewable maupun non renewable sehingga dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. Dari sisi kebutuhan pariwisata, pendidikan dan pelatihan harus dilakukan untuk melakukan alih teknologi, menghadapi persaingan demi terwujudnya prinsip pariwisata berkelanjutan. Keberhasilan pariwisata berkelanjutan sangat ditentukan tingkat pendidikan masyarakat lokal. Oleh karenanya peningkatan akses dan mutu
68
pendidikan bagi masyarakat lokal menjadi sasaran dan tujuan yang sangat utama. (Ardiwidjaja: 2003) Promosi merupakan kesatuan kegiatan yang meliputi: memperkenalkan, menyosialisasikan, dan mengampanyekan. Produk diperkenalkan; peraturan disosialisasikan; prinsip-prinsip keberlanjutan dan nilai-nilai lokal dikampanyekan. Promosi pariwisata berkelanjutan bertujuan meningkatkan kesadaran stakeholder. Menguatkan informasi tentang pariwisata berkelanjutan dapat meningkatkan kesadaran atas seluruh rangkaian kegiatan pariwisata serta dampaknya terhadap lingkungan alam serta budaya. Instrumen yang dapat digunakan antara lain melalui penerapan peraturan serta sanksi-sanksi, promosi melalui media, pemantauan dan menyusun kode etik, serta penyebaran informasi, penelitian serta pendidikan dan pelatihan. (Ardiwidjaja: 2003) Secara garis besar, indikator yang dapat dijabarkan dari karakteristik berkelanjutan antara lain adalah lingkungan. Artinya industri pariwisata harus peka terhadap kerusakan lingkungan, misalnya pencemaran limbah, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan pemandangan yang diakibatkan pembalakan hutan, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah. Dengan kata lain aspek lingkungan lebih menekankan pada kelestarian ekosistem dan biodiversitas, pengelolaan limbah, penggunaan lahan, konservasi sumber daya air, proteksi atmosfer, dan minimalisasi kebisingan dan gangguan visual. Selain lingkungan, sosial budaya pun menjadi aspek yang penting diperhatikan. Interaksi dan mobilitas masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan persentuhan antarbudaya yang juga semakin intensif. Pariwisata merupakan salah satu kegiatan yang memberi kontribusi persentuhan budaya dan antaretnik serta antarbangsa. Oleh karenanya penekanan dalam sosial budaya lebih kepada ketahanan budaya, integrasi sosial, kepuasan penduduk lokal, keamanan dan keselamatan, kesehatan publik. Aspek terakhir adalah ekonomi. Penekanan aspek ekonomi lebih kepada Pemerataan Usaha dan Kesempatan Kerja, Keberlanjutan Usaha, Persaingan Usaha, Keuntungan Usaha dan Pajak, Untung-Rugi Pertukaran Internasional, Proporsi Kepemilikan Lokal, Akuntabilitas. (Ardiwidjaja: 2003) Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi tema yang kuat dan kontroversial. Kuat karena hampir semua negara di dunia menyetujui tema ini, kontroversial karena tema ini seolah-olah menjadi retorika belaka bagi negara- negara dunia maju. Lawrence, 1994 (dalam Aryanto, 2003) menuliskan pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai jika dampak sosial dan dampak lingkungan seimbang dengan tujuan ekonomi yang diharapkan. Dalam hal pariwisata, tidak adanya dampak (zero impact) sebagai akibat dari wisatawan berupa level pencapaian minimum dari dampak negatif perlu direncanakan. Pendekatan
69
manajemen pariwisata berkelanjutan, sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan, haruslah didasarkan pula pada prinsip- prinsip global dari pembangunan berkelanjutan. Semua kegiatan pengaturan suatu daerah tujuan seharusnya mempertimbangkan (merupakan) bagian dari nilai pembangunan berkelanjutan. National Geograpic Online dalam The Global Development Research Center (2002) mendifinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) Pariwisata yang memberikan penerangan. Wisatawan tidak hanya belajar tentang kunjungan (Negara atau daerah yang dikunjungi) tetapi juga belajar bagaimana menyokong kelangsungan karakter (negara atau daerah yang dikunjungi) selama dalam perjalanan mereka. Sehingga masyarakat yang dikunjungi dapat belajar (mengetahui) bahwa kebiasaan dan sesuatu yang sudah biasa dapat menarik dan dihargai oleh wisatawan; (2) Pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari tempat tujuan. Pengunjung memahami dan mencari usaha yang dapat menegaskan karakter tempat tujuan wisata mengenai hal arsitektur, masakan, warisan, estetika dan ekologinya; (3) Pariwisata yang menguntungkan masyarakat setempat. Pengusaha pariwisata melakukan kegiatan yang terbaik untuk mempekerjakan dan melatih masyarakat lokal, membeli persediaan-persediaan lokal, dan menggunakan jasa-jasa yang dihasilkan dari masyarakat lokal; (4) Pariwisata yang melindungi sumber daya alam. Dalam pariwisata ini wisatawan menyadari dan berusaha untuk meminimalisasi polusi, konsumsi energi, penggunaan air, bahan kimia dan penerangan di malam hari; (5) Pariwisata yang menghormati budaya dan tradisi. Wisatawan belajar dan melihat tata cara lokal termasuk menggunakan sedikit katakata sopan dari bahasa lokal. Masyarakat lokal belajar bagaimana memperlakukan/ menghadapi harapan wisatawan yang mungkin berbeda dari harapan yang mereka punya; (6) Pariwisata ini tidak menyalahgunakan produk. Stakeholder mengantisipasi tekanan pembangunan (pariwisata) dan mengaplikasikan batasbatas dan teknik-teknik manajemen untuk mencegah sindrom kehancuran (loved to death) dari lokasi wisata. Stakeholder bekerjasama untuk menjaga habitat alami dari tempat tempat warisan budaya, pemandangan yang menarik dan budaya lokal; (7) Pariwisata ini menekankan pada kualitas, bukan kuantitas (jumlah). Masyarakat menilai kesuksesan sector pariwisata ini tidak dari jumlah kunjungan belaka tetapi dari lama tinggal, jumlah uang yang dibelanjakan, dan kualitas pengalaman yang diperoleh wisatawan; (8) Pariwisata ini merupakan perjalanan yang mengesankan. Kepuasan, kegembiraan pengunjung dibawa pulang (ke daerahnya) untuk kemudian disampaikan kepada teman-teman dan kerabatnya, sehingga mereka tertarik untuk memperoleh hal yang sama- hal ini secara terus menerus akan menyediakan kegiatan di lokasi tujuan wisata. Sedangkan Jamieson dan Noble (2000) menuliskan beberapa prinsip penting dari pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) Pariwisata tersebut
70
mempunyai prakarsa untuk membantu masyarakat agar dapat mempertahankan control atau pengawasan terhadap perkembangan pariwisata tersebut; (2) Pariwisata ini mampu menyediakan tenaga kerja yang berkualitas kepada dan dari masyarakat setempat dan terdapat pertalian yang erat (yang harus dijaga) antara usaha lokal dan pariwisata; (3) Terdapat peraturan tentang perilaku yang disusun untuk wisatawan pada semua tingkatan (nasional, regional dan setempat) yang didasarkan pada standar kesepakatan internasional. Pedoman tentang operasi pariwisata, taksiran penilaian dampak pariwisata, pengawasan dari dampak komulatif pariwisata, dan ambang batas perubahan yang dapat diterima merupakan contoh peraturan yang harus disusun; (4) Terdapat program-program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan serta menjaga warisan budaya dan sumber daya alam yang ada. Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Pariwisata yang bersifat multisektoral merupakan fenomena yang sangat kompleks dan sulit didefinisikan secara baku untuk diterima secara universal. Sehingga menimbulkan berbagai persepsi pemahaman terhadap pariwisata, baik sebagai industri, sebagai aktivitas, atau sebagai sistem. Pariwisata yang melibatkan antara lain pelaku, proses penyelenggaraan, kebijakan, supply dan demand, politik, sosial budaya yang saling berinteraksi dengan eratnya, akan lebih realistis bila dilihat sebagai sistem dengan berbagai subsistem yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Dalam kerangka kesisteman tersebut, pendekatan terhadap fungsi dan peran pelaku, dampak lingkungan, peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, serta kesetaraan dalam proses penyelenggaraan menjadi semakin penting. Kecenderungan yang berkembang dalam sektor kepariwisataan maupun pembangunan melahirkan konsep pariwisata yang tepat dan secara aktif membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan apa yang disebut sebagai pilar dari pariwisata berkelanjutan yaitu ekonomi masyarakat, lingkungan dan sosial budaya. Pembangunan pariwisata berkelanjutan, dapat dikatakan sebagai pembangunan yang mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Untuk itu maka perlu diperhatikan bahwa faktor yang menjadi penentu keberhasilan penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif secara seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selanjutnya berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan di atas, pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai: pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan
71
kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian dan memberi peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. Ketiga pilar pariwisata berkelanjutan tersebut harus dijabarkan ke dalam prinsip-prinsip operasionalisasi yang disepakati oleh para pelaku (stakeholder) dari berbagai sektor (multisektor). Dengan harapan, kesepakatan dan kesamaan pandang tersebut dapat mewujudkan orientasi pengembangan pembangunan kepariwisataan yang juga sama dan terpadu. Prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang dimaksud adalah ”Berbasis Masyarakat”. Tentu saja prinsipprinsip tersebut paling kental pada agrowisata, selain secara geografis berada di pedesaan juga secara system, langsung menyentuh lapisan masyarakat pada level paling bawah (petani kecil) baik secara langsung maupun tidak langsung. Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung, terhadap seluruh kegiatan pembangunan pariwisata dari mulai perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Masyarakat diletakkan sebagai faktor utama, yang memiliki kepentingan berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi serta pemanfaatan sumber daya alam dengan dilandaskan pada opsi pemilikan sendiri sarana dan prasarana pariwisata oleh masyarakat setempat, kemitraan dengan pihak swasta dan sewa lahan atau sumber daya lainnya baik oleh masyarakat maupun kerja sama dengan swasta.
72
BAB. XIV POTENSI AGROWISATA SEBUAH STUDI KASUS DESA-DESA DI BALI
1. Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali Hasil observasi dan analisis SWOT terhadap sumberdaya desa Bayung Gede, ternyata desa ini layak disebut desa wisata berbasis agrowisata. Adapun keunikan yang dimiliki oleh desa ini adalah penduduk desa Bayung Gede memiliki kekeluaragaan yang erat serta memiliki aktivitas keagamaan dan menjungjung nilainilai spritualitas yang cukup kental. Keunikan yang paling menarik adalah tradisi masyarakat setempat yakni kuburan ari ari yang hanya dapat ditemukan di desa Bayung Gede saja (Utama, 2007).
Foto Kuburan Ari-ari di Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali Sumber Utama, 2007 Desa Bayung Gede memiliki perkebunan rakyat berupa perkebunan jeruk Bali yang cukup memiliki kekhususan rasa yang manis dan buah yang cukp besar. Selain perkebunan Jeruk, penduduk desa Bayung Gede juga ada yang bercocok tanam
73
sayur mayor baik untuk konsumsi masyarakat lokal maupun untuk pendukung industri pariwisata di Bali.
Foto Perkebunan Jeruk milik penduduk Desa Bayung Gede, Kintamani Bali Sumber Utama, 2007 Desa Bayung Gede terletak cukup strategis karena berdekatan dengan objek wisata danau Batur Kintamani yang sudah terkenal, artinya kekuatan objek wisata alam Kintamani dapat menjadi peluang bagi Desa Bayung Gede untuk menjadi desa wisata ataupun agrowisata. Anggapan Warga Desa Bayung Gede tentang Agrowisata Agrowisata dianggap dapat memberikan peluang untuk meningkatkan pendapatan keeeluarga, agrowisata juga dianggap dapat memunculkan peluang bisnis baru yang dapat dilakukan oleh warga desa, tentu saja agrowisata dapat meningkatkan status sosial dari desa mereka. (hasil wawancara dengan beberapa warga desa, 2007).
74
“Agrowisata Bayung Gede” Semboyan “Jangan Pulang sebelum membeli Jeruk!” Produk
Atraksi
Ameniti
Atribut Kuburan Ari-ari Kebun Jeruk Kebun Sayur Tradisi Budaya
Kondisi Lestari Terawat baik Musiman Musiman Tarian, Gamelan
Penginapan Restoran Fasilitas umum Visitor Center Jarak dari Bandara
Belum tertata Belum tertata Terbatas Belum tertata 60 km
Jarak dari Kota Kabupaten Bus besar Bus Kecil
10 km
Terakses Terakses
Belum tertata
Belum terbentuk
Kerjasama dengan Travel agent Komite Pariwisata Desa Guide lokal /desa
Belum terbentuk
Keramahtamahan
Belum terintegrasi
Keterlibatan
Belum terintegrasi
Danau Batur
Lestari
Desa Truyan
Lestari
Akses Ansileri
Community Involment Objek Wisata Terdekat
Kemasan Makna Unik Non olahan Organik Event rutin Seka/group Milik swasta Milik swasta Milik umum Belum tertata Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri Paket Tour Paket Tour/Mandiri Belum terbentuk Belum terbentuk Belum terbentuk Belum terintegrasi Belum terintegrasi Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
Sumber: Hasil observasi, 2007 Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa atau wilayah.
75
2. Desa Candikuning, Baturiti , Tabanan, Bali Desa Candikuning merupakan desa penyangga kawasan wisata Bedugul, yang memiliki tiga objek wisata yang sudah dikenal luas, yakni Kebun Raya Bali, Pura Ulun Danu, dan Danau Beratan.
Foto Kebun Raya Bali Sumber: Observasi, 2007
Kebun Raya Bali telah menjadi inspirator berkembangnya kawasan wisata Bedugul khususnya yang berkaitan dengan pengembangan agrowisata rakyat di sekitar kawasan Bedugul. Selain Kebun Raya Bali, kawasan bedugul memang memiliki pemandangan alam yang cukup menawan. Produk pertanian yang potensial untuk dikemas menjadi icon agrowisata seperti strawberry, sayur sayuran, kentang, Jagung, dan bunga-bunga yang biasanya digunakan untuk keperluan keagamaan di Bali.
76
Foto Pasar Tradisional di kawasan Bedugul, Bali Sumber: Observasi, 2007 Di antara pengunjung yang sempat diwawancarai, mereka berpendapat jika berwisata ke Bedugul tanpa membawa oleh-oleh, katanya belum ke Bedugul. Sebelum sempat makan jagung dan membeli strawberry rasanya belum lengkap artinya Strawberry dan sayur-sayuran secara otomatis telah menjadi icon dari kawasan Bedugul khususnya untuk desa Candikuning sebagai agrowisata di kawasan ini.
Anggapan Warga Desa Candikuning tentang Agrowisata Senada dengan warga desa Bayung Gede, warga desa Candikuning juga memiliki anggapan yang sama bahwa agrowisata dapat memberikan peluang untuk meningkatkan pendapatan keluarga, berpeluang memunculkan bisnis baru terkait pariwisata, dan meningkatkan status desanya (hasil wawancara dengan beberapa warga desa, 2007)
77
“Agrowisata Candikuning” Semboyan “Jangan Pulang sebelum menikmati jagung rebus dan membeli strawberry!” Produk
Atraksi
Ameniti
Atribut Kebun Strawberry Kebun Raya Bali
Kondisi Terawat baik Terawat baik
Kebun Sayur Tradisi Budaya
Musiman Musiman Tarian, Gamelan
Penginapan Restoran Fasilitas umum Visitor Center Jarak dari Bandara
Tertata baik Tertata baik Terbatas bak Belum tertata 40 km
Jarak dari Kota Kabupaten Bus besar Bus Kecil
15 km
Terakses Terakses
Telah dikenal
Belum terbentuk
Kerjasama dengan Travel agent Komite Pariwisata Desa Guide lokal /desa
Belum terbentuk
Keramahtamahan
Belum terintegrasi
Keterlibatan
Belum terintegrasi
Kebun Raya Bali
Lestari
Danau Bratan
Lestari
Pura Ulun Danu
Lestari
Agrowisata Pancasari
Belum Tertata
Akses Ansileri
Community Involment` Objek Wisata Terdekat
Kemasan Non olahan Milik LIPI Botanical Organik Event rutin Seka/group Milik swasta Milik swasta Milik umum Belum tertata Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri Paket Tour Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri Belum terbentuk Belum terbentuk Belum terintegrasi Belum terintegrasi Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
78
Sumber: Hasil observasi, 2007 Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa atau wilayah.
3. Desa Wisata Blimbingsari, Jembrana, Bali Desa Blimbingsari telah dinyatakan sebagai desa wisata di kabupaten Jembrana. Desa yang hanya berpenduduk 200 KK ini memiliki keunikan dan tradisi yang secara turun temurun tetap dilestarikan. Di tengah lingkaran desa Blimbingsari terbangun sebuah Gereja dengan arsitektur Bali dengan daya tamping lebih dari 300 orang. Hampir mirip dengan desa tetangganya yakni desa Palasari juga memiliki keunikan yang hampir sama. Kedua desa tersebut menjadi tujuan berlibur pada hari-hari libur khususnya bagi kaum urban asal kedua desa tersebut. Dengan penataan dan bloking desa ala kawasan jaman Belanda, kedua desa tersebut terlihat sangat kontras dengan desa-desa lainnya disekitarnya.
Foto Bangunan sebuah Gereja di tengah desa Blimbingsari Sumber: Observasi, 2007. Uniknya lagi, hampir 100% penduduk desa Blimbingsari penganut agama Kristen yang masih memegang teguh nilai—nilai kekristenannya di tengah arus globalisasi. Desa ini menjadi unik karena berbeda dengan desa-desa lainnya di Bali karena
79
perbedaan factor agama penduduknya. Desa Blimbingsari memiliki lahan kebun kelapa dan kakao sekitar 400 hektar yang mengelingi desa ini. Potensi agrowisata bagi desa Blimbingsari adalah buah kelapa yang dapat dinikmati secara langsung. Ada produk lainnya yang cukup popular di desa tersebut yakni produksi gula merah yang berasal dari kelapa. Produk lainnya yang potensial dikembangkan di desa tersebut seperti topi dari anyaman daun kelapa, dan produk olahan lain dari buah kelapa.
Foto Jalan Masuk Menuju desa Blimbingsari Sumber: Observasi, 2007 Anggapan Warga Desa Blimbingsari tentang Agrowisata Masyrakat desa ini sangat antusius dengan agrowisata atau deasa wisata ini, mereka beranggapan bahwa desa wisata dapat mengangkat taraf hidup warga desa menjadi lebih baik, dan tentu saja status desa mereka akan terangkat. Saat ini desa Blimbingsari telah dinyatakan sebagai desa wisata oleh pemerintah daerah Bali. Walaupun demikian pengembangan potensi desa tersebut menjadi desa wisata yang berbasis agro masih dalam tahap pembenahan atau dalam istilah tourist area life cycle disebut tahapan explorasi. Telah mulai ada wisatawan atau pengunjung yang datang ke desa tersebut untuk berlibur, dan biasanya mereka menginap di rumah penduduk yang memang sengaja telah disiapkan untuk penginapan. Desa ini memang unik, hanya di desa ini sajalah wisatawan dapat menginap secara langsung tanpa harus kebingungan mencari hotel (hasil wawancara dengan beberapa warga desa, 2007)
80
“Agrowisata Blimbingsari” Semboyan “Jangan Pulang sebelum memotret gereja Bali serta membawa pulang minyak kelapa dan gula merah!” Produk
Atraksi
Ameniti
Akses Ansileri
Community Involment` Objek Wisata Terdekat
Atribut Kebun Kelapa Kebun Kakao Gula Merah Minyak Kelapa Asli Tradisi/Gereja Kristen Bali Budaya Bali Penginapan Restoran Fasilitas umum Visitor Center Jarak dari Bandara Jarak dari Kota Kabupaten Bus besar Bus Kecil Kerjasama dengan Travel agent Komite Pariwisata Desa Guide lokal /desa Keramahtamahan Keterlibatan Taman Nasional Bali Barat Pura Rambutsiwi Pulau Menjangan Bendungan Palasari
Kondisi Terawat baik Terawat baik Terawat baik Terawat baik Musiman
Tarian, Gamelan Tertata baik Tertata baik Terbatas bak Belum tertata 110 km 15 km
Kemasan Non olahan Non olahan Non olahan Organik non olahan Event rutin (Paskah, Natal, dll) Seka/group Milik Warga Desa Milik Warga Desa Milik umum Balai Desa Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
Terakses Terakses Telah dikenal
Paket Tour Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
Telah terbentuk
Telah terbentuk
Telah terbentuk Telah terintegrasi Telah terintegrasi Lestari
Diatur oleh komite Telah terintegrasi Telah terintegrasi Paket Tour/Mandiri
Lestari Lestari Kurang terawat
Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
Sumber: Hasil observasi, 2007 Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa atau wilayah.
81
4. Desa Pelaga, Badung, Bali Pelaga adalah sebuah kota kecil di bagian tengah Bali yang dikitari oleh pengunungan dan hutan lindung. Sebuah agrowisata telah di bangun oleh seorang warga Bali yang peduli dengan warga desa, tengah gundah dengan bisnis pariwisata yang hanya memusatkan bisnisnya di kawasan perkotaan saja (Astawa, 2007)
Foto Desa Pelaga Sumber Observasi, 2007 Dibangunnya Bagus Agrowisata ini bertujuan untuk objekk wisata yang ramah lingkungan dan produksi pertaniaannya berupa produk organi sebagai produk bahan makanan untuk keperluan industri pariwisata. Produk pertanian dari kawasan ini berupa sayur-sayuran dan buah-buahan. Daya tarik kawasan ini sebagai agrowisata didukung oleh pemandangan alam yang indah dan tentu saja kehidupan masyarakatnya yang cukup damai.
82
Foto Lahan agro strawberry di Pelaga Sumber: Observasi, 2007 Anggapan Warga Desa Pelaga tentang Agrowisata Warga desa beranggapan agrowisata dapat memberikan peluang bisnis kepada para warga khususnya bisnis yang terkait dengan pariwisata. Pengembangan agrowisata di desa tersebut, telah memberi peluang kerja warga desa untuk bekerja dan mendapatkan tambahan pendapatan (hasil wawancara dengan beberapa warga desa, 2007)
“Agrowisata Pelaga” Semboyan “Jangan Pulang sebelum melintasi Jembatan Gantung dan membeli Strawberry atau sayuran!”
83
Produk
Atraksi
Ameniti
Kondisi Terawat baik Terawat baik Terawat baik Terawat baik Musiman Tarian, Gamelan Tertata baik Tertata baik Terbatas bak
Belum tertata 50 km 20 km
Terakses Terakses Telah dikenal
Paket Tour Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
Belum terbentuk
Belum terbentuk
Visitor Center Jarak dari Bandara Jarak dari Kota Kabupaten Bus besar Bus Kecil Kerjasama dengan Travel agent Komite Pariwisata Desa Guide lokal /desa Keramahtamahan
Kemasan Non olahan Non olahan Non olahan Milik umum Event rutin Seka/group Milik Swasta Milik Swasta Milik umum dan swasta Belum tertata Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
Belum terbentuk Belum terintegrasi
Keterlibatan
Belum terintegrasi
Pura Taman Ayun Alas Kedaton Mongkey Forest Sangeh
Belum terbentuk Belum terintegrasi Belum terintegrasi Lestari Lestari Lestari
Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri Paket Tour/Mandiri
Akses Ansileri
Community Involment` Objek Wisata Terdekat
Atribut Kebun Strawberry Kebun Sayur mayor Kebun Agro swasta Jembatan Gantung Tradisi Budaya Bali Penginapan Restoran Fasilitas umum
Sumber: Hasil observasi, 2007 Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa atau wilayah.
84
DAFTAR PUSTAKA About Agritourism Retrieve 12 November 2006 from http://www.farmstop.com/aboutagritourism.asp Afandhi, Aminudin. (2005). Etika Pembangunan dan Pengembangan agrowisata di Indonesia (Ethics of Agrotourism Development in Indonesia). Jakarta: University of Trisakti Indonesia. Agenda 21. 2006. The Travel Tourism Industry; towards Environmentally Sustainable Development, WTTC, WTO, The Earth Council. Agricultural Tourism Small Farm Center and Partners Launch Agricultural Tourism Project, 12 November 2006 from http://www.sfc.ucdavis.edu/agritourism/agritour.html Anonim. 2004. ”Potensi Agrowisata”. Pada http://lampungpost.com/berita.php?id=2004091006350721 Ariyanto. 2003. Ekonomi Pariwisata Jakarta: Pada http://www.geocities.com/ariyanto eks79/home.htm Aryanto, Rudy. 2003. Environmental Marketing Pada Ekowisata Pesisir: Menggerakan Ekonomi Rakyat Daerah Otonom. P062024264 / S3 / PSL / IPB Baldwin P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age Travelers. Asia Travel Trade. Bali Tourism Board. (2006). Official website of the Bali Tourism Board ,Denpasar, Retrieve 22nd May 2007 from http://www.bali-tourism-board.com Bapeda Bali. 1995. pada http://www.bapeda-bali.go.id Barbier, Edward B. (1989). "Cash Crops, Foods Crops, and Sustainability: The Case of Indonesia." World Development, vol. 17, no. 6, pp. 879-895. Becken, S. (2004). How tourists and tourism experts perceive climate change and forest carbon sinks. Journal of Sustainable Tourism. Bisnis Bali Online. 2003. pada http://balipost.com
85
Brahmantyo, dkk . 2001. “Potensi dan Peluang Usaha dalam Pengembangan Pariwisata Gunung Salak Endah”. Jakarta: LP3M STP Tri Sakti, Jurnal Ilmiah, Vol 5. No. 3 Maret 2001. Butler, Richard, and Hall, C. Michael. (2003). Tourism and Recreation in Rural Areas. New York: John Wiley & Sons. Cooper, Chris, at al. (2005). Tourism: Principles and Practice. London: Pearson Education Limited, Third Edition. Cooper, Chris. (2003). Aspects of Tourism: Classic Reviews in Tourism, Sydney: Channel View Publication. Dalem, A. A. G. R. (1999). Birds as a potential tourist attraction at Nusa Dua lagoon, Nusa Dua, Bali, Indonesia. A preliminary study. pp. 159–172. Proceedings of the International Seminar of Sustainable Tourism: The Balinese Perspective in Denpasar, Bali. Deptan, 2005. “Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani” pada http://database.deptan.go.id Eadington, W.R. and Smith, V.L. (1995) Introduction: The emergence of alternative forms of tourism. In V.L. Smith and W.R. Eadington (eds) Tourism Alternatives: Potentials and Problems in the Development of Tourism (pp. 1–12). Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Erari, K.Ph, 1999. Tanah Kita Hidup Kita. Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya Sebagai Persoalan Teologis (Ekotologis Dalam Perspektif Malenesia). Fandeli, Chafid. 2001. Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. (Editorial) Yogyakarta: Liberty Faulkner B. 1997. Tourism development in Indonesia: The “Big Picture” Perspective. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung Gilbert, A.J. (1990). Natural Resource Accounts in drylands management. In Dixon, J.A., D.E. James and P.B. Sherman. Dryland Management: economic case studies.
86
Gunawan M.P. 1997. Tourism in Indonesia: Past, Present and Future. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung http://geographyfieldwork.com official website for Barcelona Field Studies Centre offers geography, biology, ecology and environmental field studies programmes throughout the year. Indonesian Agricultural Department. (2002). Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol.24 No.1, 2002, Retrieve 12 November 2006 from http://www.pustaka-deptan.go.id/publ/warta/w2419.htm Indonesian Agricultural Department. (2005). “Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani” 12 November 2006 from http://database.deptan.go.id Jafari, J and Ritchie, J. (1981). Towards a framework for tourism education. Annals of Tourism Research. Jamieson, W. and Noble, A. (2000). A Manual for Community Tourism Destination Management. Canadian Universities Consortium Urban Environmental Management Project Training and Technology Transfer Program, Ca Lindberg, K. 1996. The Economic Impacts of Ecotourism. Retrive 12 November 2006 from http://ecotour.csu.edu.au/ecotour/mar1.htm Lane. (1994). Tourism Management: Profiling segments of tourists in rural areas, needs and wants. Department of Quantitative Methods for the Economy, University of Murcia, Campus de Espinardo, 30100 Murcia, Spain. Lindberg K. dan Hawkins E.D, 1995. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencanaan dan Pengelolaan. The Ecotourism Society. North Benington, Vermont. LIPI. 2005. “Kebun Raya Bogor : Cikal Bakal Perpustakaan Indonesia” pada http://www.lipi.go.id/www/www.cgi?cetak&1111211845 Lobo, R.E., Goldman G.E. and others. 1999. Agricultural Tourism: Agritourism Benefits Agriculture in San Diego County, California Agriculture, University of California. McIntosh and Goeldner. (1990). Tourism. Principles, Practices, and Philosophies (sixth ed.), Grid Publishing, Columbus.
87
Mulyani, A., Wahyunto, and F. Agus. (2003). Land suitability and land use changes in Indonesia. Presented at AMAF+3 Symposium on Research and Development of Sustainable Agriculture. 25-26 Feb. 2003, Phnom Penh, Cambodia. (Unpublished). Nugroho, K., et al. (1997). Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian lahan rawa lebak, rawa pasang surut, dan pantai. Proyek penelitian sumber daya lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. OTA. (1992). Southeastern Rural Mental Health Research Center, University of Virginia, Madison House, 170 Rugby Road, 22903 Charlottesville, Virginia Page, J. Stephen and Getz, Don. (1997). The business of Rural Tourism: international perspective. London: International Thomson Business Press. Pitana, I Gde. 2002. “Pengembangan Ekowisata di Bali”. Makalah Disampaikan pada Seminar Ekowisata di Auditorium Universitas Udayana pada tanggal 29 Juni 2002. Pitana, I Gede. (2005). Sosiologi Pariwisata, Kajian sosiologis terhadap struktur, sistem, dan dampak-dampak pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. Postma, Albert. (2002) An Approach for integrated development of quality tourism. In Flanagan, S., Ruddy, J., Andrews, N. (2002) Innovation tourism planning. Dublin: Dublin Institute of Technology: Sage. Primack, R. B. J., Supriatna, M., Indrawan, and Kramadibrata, P. (1998). Biologi Konservasi. 345pp. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Promoting responsible travel. Missouri Department of Agriculture: Ag Business Development Division 1616 Missouri Boulevard. At www.sustainabletravelinternational.org Pujaastawa, IBG., Wirawan, IGP., Andika, IM. (2005). Pariwisata Terpadu: Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar: Udayana University. (”Alternative Tourism Development for Middle part of Bali). Reynolds. (2005). Consumer demand for. agricultural and on-farm nature tourism. Davis, CA: University of California.
88
Rilla, E. (1999). Bring the City & County Together. California Coast and Ocean. Vol. 15, No. 2. 10p. Schurink, Harrie, J., A. (2000). Agricultural tourism in Indonesia: Development of agricultural tourism in Central Java and Bali and the role of the government in this development.Leeuwarden:Dissertation Master of Arts International Leisure and Tourism Studies. Spillane, James.1994. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta: Kanisius. Statistic Agency of Indonesia/Badan Pusat Statistik. (2006). Tourism and Cultural Department, Retrieve 12 December 2006 from http://www.budpar.go.id Subadra, I Nengah. (2006). Is Ecotourism Ecologically Developed?. Retrieve 7 June 2007 from http://subadra.wordpress.com Sudibya, Bagus. 2002. “Pengembangan Ecotourism di Bali: Kasus Bagus Discovery Group”. Makalah disampaikan pada Ceramah Ecotourism di Kampus STIMPPLP Dhyana Pura, Dalung, Kuta pada tanggal 14 Agustus 2002. Sutjipta, I Nyoman. (2001). Agrowisata.Magister Manajemen Agribisnis: Universitas Udayana. Syamsu dkk. 2001. “Penerapan Etika Perencanaan pada kawasan wisata, studi kasus di kawasan Agrowisata Salak Pondoh, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jakarta: LP3M STP Tri Sakti, Jurnal Ilmiah, Vol 5. No. 3 Maret 2001. Tambunan, Tulus. (2006). Long term trends in the industrial and economic growth in Indonesia, Center for Industry and SME Studies, Faculty of Economics, University of Trisakti Indonesia. The International Ecotourism Society at http://www.ecotourism.org Tjokrowinoto. (2002). Tourism Information System of Indonesia. Yogjakarta, Gajah Mada University UNEP. (2003). UNEP publications that provide information on the tourism industry, Agenda 21- The Role of Lokal Authorities in Sustainable Tourism. Retrieve
89
12th May 2007 from http://www.uneptie.org/pc/tourism/library/home.htm Utama, I Gusti Bagus Rai. (2007) Agrotourism as an alternative form tourism in Bali. CHN Dissertation, Netherlands. Veal, A.J., (1997). Research Methods for Leisure and Tourism: a Practical Guide. London: Pitman. Veer , Marije., and Tuunter, Erik. (2005). Rural tourism in Europe: An exploration of success and failure factors. Raamweg: Stichting Recreatie, Expert and Innovation Centre Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol.24 No.1,2002 pada http://www.pustaka-deptan.go.id/publ/warta/w2419.htm WTO. 2003. World Tourism Organization. (2000).Tourism Trends. Madrid Yuwono, Triwibowo (2011). Membangun Pertanian: Membangun Citra dan Kedaulatan, from Sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=246409&actmenu=39
90
BIODATA PENULIS
I GUSTI BAGUS RAI UTAMA, SE., MMA., MA. Lahir di Lampung Tengah, 10 Oktober 1970
Menamatkan Sarjana Ekonomi (S.E.) dari Universitas Mahasaraswati Denpasar pada tahun 2001. Karna kepeduliannya pada kondisi pertanian yang semakin terdesak akhirnya kemudian melanjutkan pada program pasca sarjana Magister Manajemen Agribisnis (MMA) di Universitas Udayana Bali dan tamat tahun 2005. Pada tahun 2006 mendapat kesempatan melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk mempelajari bidang pariwisata (M.A.) dan tamat pada tahun 2007. Saat buku ini di tulis (2010) sedang melanjutkan studi pada jenjang doktor untuk bidang pariwisata di Universitas Udayana Bali. Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Dhyana Pura Bali. Adapun matakuliah yang diampu adalah: Metodologi Penelitian, Manajemen Strategik, Statistik Bisnis, Pengantar Bisnis, Sistem Informasi Manajemen, Aplikasi Komputer, dan Ekonomi Pariwisata. Pada tahun 2006, pernah melakukan studi lapangan pada beberapa tempat wisata dunia yang berada di negeri Belanda dan Inggris. Pernah Melakukan penelitian tentang Agrotourism. Tahun 2007. Oral Presenter pada Call Paper: the International Conference on Sustainable Development (ICSD), 6 Maret 2012, Sanur Bali, Oral Presenter pada Seminar Nasional yang bertema Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan, 20 Maret 2012. Menghadiri Seminar: Tourism Ethics for Asia and the Pasific, Responsible Tourism and its socio-economic impact on lokal communities, 11 Juni 2011, Nusa Dua Bali. Melakukan Studi Lapangan di Ecotourism Halong Bay, Vietnam, Heritage, Angkor Wat, the Cambodia, Januari 2012. Studi lapangan di Heritage, Prambanan and Borobudur, Yogyakarta and Magelang, 2010 Saat ini, sedang menulis buku Metodologi penelitian pariwisata dan perhotelan, statistik terapan untuk pariwisata dan perhotelan dilengkapi dengan studi kasus serta pembahasannya.
91