Formulasi Legal Drafting Perda Berbasis Lingkungan Dalam Rangka Pengembangan Praktik-Praktik Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Di Daerah (Sebuah Konsep) I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani Fakultas Hukum-Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract The purpose of this study is to formulate legal drafting a model policy formulation Regional Regulation based Green Legislation in order to develop the practices of good governance in the region through strengthening the role of the executive (such as the leading sector of legal department Sector, BLH, Central Java Regional Environment and Parliament through strategies, mechanisms, and empowerment potential, and improving procedures for preparing regulations for environment conservation attention. This study is a juridical non-doctrinal, with a qualitative approach. The method will be used through the stages of: mapping the existing condition into the formulation of legal drafting which has been used, mapping of potential executive (leading sector) and the Parliament, to evaluate regulations that have been generated during this (Year I), identify and evaluate the constraints faced in the policy formulation stage, identify opportunities and strategies and formulate a model formulation that can be developed (Year II), prepare guidelines and standard operating procedures, provide training, mentoring and monitoring for the executive (leading sector) and Parliament (Year III) The emphasis in the context of formulation of legal drafting by the Government to produce a green-based regulation legislation. Keywords: formulation, legal drafting regulations, good governance A. PENDAHULUAN Dalam kondisi saat ini, dimana ancaman krisis daya dukung ekosistem dan lingkungan hidup yang dihadapi Indonesia sangat nyata, maka legislasi norma hukum lingkungan di tingkat daerah baik kota, kabupaten dan provinsi sangat diperlukan seiring dengan ikhtiar di tingkat nasional maupun dunia internasional untuk memperkuat demokrasi dan negara hukum, serta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah Daerah
dalam hal ini Eksekutif dan DPRD memegang peranan penting dan startegis dalam menghasilkan Perda-Perda yang pro terhadap lingkungan, tidak tumpang tindih dan harmoni antar perda maupun dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Dalam kenyataanya terdapat banyak peraturan daerah yang tidak harmonis dan tumpang tindih bahkan justru tidak melindungi fungsi lingkungan hidup (tidak berbasis pada green legislation). Bahkan banyak perda yang dibatalkan dan berten-
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
1
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
tangan dengan Undang-Undang. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan dan pemahaman aparatur pemerintah daerah dan DPRD tentang legal drafting produk hukum daerah, budaya copy paste perda daerah lain, dan keterbatasan anggaran. Di sisi lain, selain istilah ini termasuk baru, pemahaman dan kepekaan aparatur sendiri tentang green legislation sangat terbatas, prosedur penyusunan peraturan daerah yang tidak responsif terhadap pentingnya fungsi lingkungan di masa yang akan datang. Hal yang sangat penting adalah bahwa kondisi satu daerah dengan daerah lain berbeda sehingga akan sangat berpengaruh pada produk hukum yang dihasilkan nantinya, apakah sudah good norm dan good process serta sesuai dengan kondisi daerahnya. Oleh karena itu diperlukan formulasi untuk membangun dan menciptakan Peraturan Daerah agar berbasis pada green legislation dan tercipta praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah merumuskan model kebijakan formulasi legal drafting Peraturan Daerah (Perda) berbasis Green Legislation dalam rangka pengembangan praktik-praktik tata kelola pemerintahan yang baik di daerah melalui penguatan peran eksekutif (leading sector seperti bagian hukum, badan lingkungan hidup, Pusat Regional Jawa Kementrian LH) dan pimpinan serta anggota DPRD melalui strategi, mekanisme, dan pemberdayaan potensi, serta perbaikan prosedur penyusunan peraturan daerah agar memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Target khusus yang ingin dicapai adalah optimalisasi pemerintah daerah dan DPRD dalam rangka memformulasikan dan selanjutnya menghasilkan perda yang berbasis pada green legislation. Tidak hanya Perda di bidang lingkungan tetapi mendasari pembuatan Perda pada umumnya, sehingga tidak semata-mata membuat Perda tanpa mempedulikan keberlanjutan fungsi lingkungan terutama jika dikaitkan 2
dengan Peningkatan Asli Daerah, tetapi Perda yang good norm dan good process serta green. Berkembangnya tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro-lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku-kepentingan (stakeholders). Law enforcement menjadi sangat penting saat ini, seperti dikatakan Teinzor (1998) ... If one agrees that varying enforcement styles are also related to cultural differences the shift in the US from traditional command and control to a more lexible system of industry self regulation could therefore be a dangerous journey... Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai lingkungan hidup. Menurut data sampai dengan bulan September 2006 terdapat 5550 Perda yang disampaikan ke Departemen alam Negeri, dari jumlah tersebut terdapat 4088 perda yang layak untuk dilaksanakan, 201 perda dilakukan revisi, 1291 perda layak dibatalkan dan 42 perda masih dalam taraf evalusi. Saat ini sudah diterbitkan 600 Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda dan 619 perda masih dalam proses pembatalan ( Media Praja Depdagri, 2006). Dari perspektif yuridis baik secara implisit maupun eksplisit landasan hukum untuk membuat green policy semakin menguat. Atas dorongan kesadaran yang semakin luas di seluruh dunia mengenai pentingnya upaya melindungi lingkungan hidup dari ancaman pencemaran dan perusakan, kebijakan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara resmi. Dengan demikian, timbul gelombang di seluruh dunia, yaitu gelombang legalisasi atau legislasi kebijakan lingkungan hidup. Setelah ditetapkannya begitu banyak peraturan-
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
Formulasi Legal Drafting Perda
peraturan itu tidak efektif untuk mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Guningham dan Grabosky “there is not just one optimal instruments to reach environmental goals at the lowest cost. The strength and weaknesses of particular institutional features of a particular legal system may play a large role in that respect” (1998). Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dikatakan bahwa hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik, merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, UUD 1945 jelas Sangat pro-lingkungan hidup, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution). Dengan demikian, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu. Tidak boleh ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang pro-lingkungan ini. Apalagi, Indonesia sendiri merupakan satu negara kepulauan yang sangat rentan dan rawan bencana alam. Jika lingkungan hidup tidak dilindungi, pada saatnya kerusakan alam yang terjadi justru akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Mulai dari ranah konstitusi (UUD 1945), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan mengatur dengan jelas betapa pentingnya ilosoi nilai-nilai hijau mutlak diperlukan dalam legal drafting UndangUndang termasuk Peraturan Daerah.. Oleh karena itu untuk mengawal kebijakan yang berwawasan lingkungan hijau, menjadi urgen menyusun Model Formulasi Legal Drafting Peraturan Daerah (Perda) Berbasis Green Legislation Dalam Rangka Pengembangan Praktik-Praktik Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik di Daerah.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana penyusunan Legal Drafting Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (ekskutif dan DPRD) selama ini? 2. Apakah Perda yang dihasilkan oleh eksekutif dan DPR selama ini sudah disertai dengan Naskah Akademik dan mengikutsertakan peranserta masyarakat dalam rangka tata kelola pemerintahan yang baik di daerah? 3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi eksekutif dan legislatif dalam tahap fomulasi kebijakan? C. Landasan Teori 1. Praktik-Praktik Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Di Daerah Menurut UNDP (1997) “Governance” dideinisikan sebagai “pelaksanaan otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan sebuah negara, termasuk di dalamnya mekanisme yang kompleks serta proses yang terkait, lembaga-lembaga yang dapat menyuarakan kepentingan, baik perorangan maupun kelompok masyarakat dalam mendapatkan haknya dan melakukan tanggung jawabnya, serta menyelesaikan segala perselisihan yang muncul di antara mereka. Dikatakan lebih lanjut bahwa ‘governance’ berada dalam keadaan yang baik apabila terdapat pengelolaan sumber-sumber alam yang mempertimbangkan kepentingan sosial, lingkungan dan ekonomi secara selaras, serasi dan seimbang. Adapun ciri-ciri minimal sebagai prasyarat untuk mencapai ‘good governance’ adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektiitas dan eisiensi, dan keadilan (UNDP, 1997). Good Governance menuntut pula komitmen terhadap pelaksanaan rule of law. Konsep rule of law paling tidak harus memenuhi karakter-karakter antara lain (a) supremasi hukum; (b) kepastian hukum; (c) hukum yang responsif; (d) penegakan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif dan (e) keberadaan
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
3
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
independensi peradilan. Lebih jauh Mas Ahmad Santosa menguraikan bahwa untuk memperkuat good governance di Indonesia paling tidak mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: a. Lembaga perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (effective representative system); b. Pengadilan yang independen, mandiri, bersih, dan profesional; c. Aparatur pemerintah (birokrasi) yang profesional dan memiliki integritas yang kokoh (strong, professional and reliable bureaucracy); d. Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi kontrol publik (strong and participatory civil society); dan e. Desentralisasi dan lembaga perwakilan di daerah yang kuat (democratic decentralization). Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah : asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berikut pengertian dari masing-masing asas tersebut menurut Pasal l3 UU No. 28 Tahun 1999 : 1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggaraan Negara 3. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyeleng4
gara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara 4. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara 5. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 6. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang mengutamakan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemerintah yang bersih dan berwibawa dapat terwujud apabila pemerintah melaksanakan AAUPB sebagai pedoman bertindak. AAUPB merupakana prinsip hukum tak tertulis yang menjadi pedoman bertindak sekaligus menjadi tolok ukur untuk menguji keabsahan (rechtsmatigheid) perbuatan tata usaha negara dan untuk menguji segi kebijaksanaan / kemanfaatan (doelmatigheid) perbuatan tata usaha negara. 2. Formulasi Legal Drafting Peraturan Daerah (Perda) Jimly Asshiddiqie dalam buku ”Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” menyatakan bahwa fungsi legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu, pertama, prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); kedua, pembahasan rancangan undang-undang (law making process); ketiga, persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval); dan empat, pemberian persetujuan pengikatan atau ratiikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international law agreement and treaties or other legal binding documents).
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
Formulasi Legal Drafting Perda
Peraturan Perundang-undangan merupakan salah satu produk hukum, maka agar dapat mengikat secara umum dan memiliki efektivitas dalam hal pengenaan sanksi, dalam pembentukannya harus memperhatikan beberapa persyaratan yuridis. Persyaratan seperti inilah yang dapat dipergunakan sebagai landasan yuridis dari suatu Peraturan Perundang-undangan. Persyaratan yuridis yang dimaksud di sini adalah : 1) Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang. Artinya suatu Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh pejabat atau badan yang mempunyai wewenang untuk itu. Kalau persyaratan ini tidak diindahkan maka menjadikan suatu Peraturan Perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Adanya kesesuaian bentuk/jenis Peraturan Perundang-undangan dengan materi muatan yang akan diatur. Ketidaksesuaian bentuk/jenis ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud. Misalnya kalau di dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegasakan bahwa suatu ketentuan akan dilaksanakan dengan Undang-Undang, maka hanya dalam bentuk Undang-Undang-lah itu harus diatur. 2) Adanya prosedur dan atata cara pembentukan yang telah ditentukan. Pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan harus melalui prosedur dan tata cara yang telah ditentukan. Misalnya suatu Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam rangka pengundangannya juga harus ditentukan tata caranya, misalnya Undang-Undang diundangkan dalam Lembaran Negara, agar mempunyai kekuatan mengikat. 3) Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih ting-
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
gi tingkatannya. Sesuai dengan pandangan stufenbau theory, Peraturan Perundangundangan mengandung norma-norma hukum yang sifatnya hirarkhis. Artinya suatu Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya merupakan grundnorm (norma dasar) bagi Peraturan Perundangundangan yang lebih rendah tingkatannya. Oleh sebab itu Peraturan Perundangundangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh melanggar kaidah hukum yang terdapat di dalam Perauran Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain landasan ilosois, sosiologis dan yuridis masih terdapat landasan lain, yaitu landasan teknik perancangan. Landasan yang terakhir ini tidak boleh diabaikan dalam membuat Peraturan Perundang-undangan yang baik karena berkaitan erat dengan hal-hal yang menyangkut kejelasan perumusan, konsistensi dalam mempergunakan peristilahan atau sistematika dan penggunaan bahasa yang jelas. Penggunaan landasan ini diarahkan kepada kemampuan person atau lembaga dalam merepresentasikan tuntutan dan dukungan ke dalam produk hukum yang tertulis, yakni Peraturan Perundang-undangan. 3. Asas-Asas Umum Peraturan Perundang-Undangan. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan enam asas Undang-Undang, yaitu : a. Undang-Undang tidak berlaku surut. b. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. c. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis). d. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undangyang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori). e. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat, dan
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
5
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
f. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas Welvaarstaat). Di dalam ketentuan Bab II Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, asasasas Peraturan Perundang-undangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni pertama; asas yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan, kedua; asas yang berkaitan dengan materi muatan Peraturan Perundang-undangan. Asas yang berkaitan dengan pembentukan Peratuan Perundang-Undangan terdapat dalam ketentuan Pasal 5 UndangUndang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal ini menegaskan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi : a. Kejelasan tujuan maksudnya adalah setiap Pembentukan Peratudan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Asas yang demikian ini selaras dengan prinsip yang dikembangkan oleh aliran utilitarianisme yang menegaskan bahwa setiap pembentukan hukum akan selalu mengandung tujuan yang hendak dicapai. Apakah tujuan itu menyangkut kebahagiaan pribadi (individual utilitarianise) ataukah kebahagiaan sosial masyarakat (social utilitarianisme). b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, maksudnya adalah setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi mua6
tan, maksudnya adalah dalam Pembentukan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundangundangan. d. Dapat dilaksanakan, artinya setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektiitas di dalam masyarakat, baik secara ilosois, yuridis maupun sosiologis. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, artinya setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Kejelasan rumusan, artinya setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata ata terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan, artinya dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-Undangan. Asas yang demikian ini diimplementasikan di dalam ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Sedangkan asas yang berkaitan dengan materi muatan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tenang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni :
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
Formulasi Legal Drafting Perda
1. Asas pengayoman. 2. Asas kemanusiaan. 3. Asas kebangsaan. 4. Asas kekeluargaan. 5. Asas kenusantaraan. 6. Asas Bhineka Tunggal Ika. 7. Asas keadilan. 8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. 9. Asas ketertiban dan kepastian hukum. 10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 4. Teori Perundang-Undangan Dalam Kerangka Konsep Teori-teori Hukum. Hamid S. Attamimi mengemukakan bahwa secara umum dan abstrak kata teori dapat juga diartikan sistem dari tata hubungan yang logik dan deinitorik di antara pemahaman-pemahaman. Atau lebih konkrit ialah sistem pernyataan-pernyataan, pendapat-pendapat, dan pemahaman-pemahaman yang logik dan saling berkaitan mengenai suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memungkinkan penarikan hipotesa-hipotesa yang dapat diuji padanya. Menurut Soerjono Soekanto, ada beberapa kriteria ideal dari teori yang mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Suatu teori secara logis harus konsisten, artinya tidak ada hal-hal yang saling bertentangan dalam kerangka yang bersangkuran 2. Suatu teori terdiri dari pertanyaan-pertanyaan mengenai gejala-gejala tertetnu, pertanyaan-pertanyaan mana mempunyai interelasi yang serasi 3. Pertanyaan-pertanyaan dalam suatu teori, harus dapat mencakup semua unsur gejala yang menjadi ruang lingkupnya, dan masing-masing bersifat tuntas 4. Tidak ada pengulangan atau duplikasi dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut 5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian. Mengenai hal ini ada asumsiasumsi tertentu, yang membatasi diri pada
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
pernyataan bahwa pengujian tersebut senantiasa harus bersifat empiris. Dengan demikian dapat ditarik garis pemahaman, bahwa teori pada prinsipnya adalah serangkaian pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat dari suatu kenyataan (realitas) yang tersusun secara sistematis, logik dan konkrit yang melalui serangkaian pengujian telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan masih membutuhkan serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan pemahaman tentang suatu hal. Oleh sebab itu Teori lebih luas cakupannya ketimbang pendapat maupun cara. Yang dimaksud dengan Teori Perundang-undangan adalah serangkaian pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat yang tersusun secara sistematis, logis dan konkrit tentang hakekat keberadaan setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam mengatur tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku mengikat umum, agar diperoleh kejelasan dan kejernihan yang bersifat kognitif. Prioritas pembentukan hukum di negara yang struktur masyarakatnya plural lebih mengarah kepada persoalan-persoalan hukum yang ”netral” terlebih dahulu disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu : 1) Untuk mempercepat proses uniikasi dan kodiikasi. Artinya dengan mendahulukan persoalan hukum yang ”netral” maka resistensi (penolakan) terhadap produk hukum yang tertulis (Peraturan Perundang-undangan) sebagai akibat pertentangan wacana yang berkembang di dalam masyarakat karena adanya perbedaan pandangan hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat sejatinya yang ditinjau dari aspak spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim. Sehingga proses percepatan uniikasi dan kodiikasi dapat dilakukan. 2) Untuk memperkuat penegakan hukum. Artinya dengan mengedepankan persoalanpersoalan hukum yang ”netral”, khususnya
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
7
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
dalam rangka pembentukan hukum tertulis melalui Peraturan Perundang-undangan, maka penegakan hukum dapat dilaksanakan secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralisasi persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan. 3) Membangun budaya mengandung dua dimensi. Dimensi pertama; dimaknai sebagai perilaku dan cara pandang masyarakat terhadap hukum. Dimensi kedua; dimaknai sebagai hasil cipta karya dan karsa masyarakat di bidang hukum. Persoalan hukum yang ”netral” lebih dikedepankan dalam rangka merumuskan hukum yang tertulis (Peraturan Perundang-undangna) karena budaya hukum di lingkungan negara yang masyarakatnya plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandangan, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum tertulis melalui Peratuan Perundang-undangan menjadi tidak terelakkan. 4) Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap Peraturan Perundang-undangan. Artinya bahwa setiap orang akan menafsirkan suatu ketentuan yang ada di dalam Peraturan Perundang-undangan berdasarkan perspektif individu. Walaupun teori tentang penafsiran hukum itu telah berkembang sedemikian pesat, namun secara empirik penafsiran terhadap suatu ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif 8
dari sanga penafsir Peraturan Perundangundangan. Bahkan Teori-teori penafsiran hukum (Peraturan Perundang-undangan) bisa jadi akan dipergunakan oleh sang penafsir untuk memperkuat argumentasinya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jikalau setiap muncul suatu Peraturan Perundang-undangan baru ribuan ”pengamat hukum” – baik orang-orang yang memang mengerti hukum, maupun yang seolah-olah mengerti hukum – mulai bermunculan laksana jamur dimusim hujan dan memberikan berbagai argumentasi untuk menafsirkan Peraturan Perundang-undangan bari itu. Karena sifatnya subyektiitas penafsiran hukum ini sangat tinggi, maka pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas sang penafsir pasti mempengaruhi cara dan perspektif sang penafsir tersebut terhadap suatu Peraturan Perundang-undangan. Nah dengan mengedepankan persoalan-perosalan hukum yang ”netral” inilah multiinterprestasi sautu Peraturan Perundang-undangan dicoba untuk diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum berusaha untuk dikembalikan kepada interpretasi hukum yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifanya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok dari sang penafsir. 5) Untuk memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masayarakatnya plural. Artinya dengan mengedepankan persoalan-persoalan hukum yang netral, maka pembentukan hukum, melalui Peraturan Perundang-undangan justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayakngkan seandainya pembentuk Peraturan Perundang-undangan itu terus menerus hanya merumuskan dan menghasilkan Peraturan Perundangundangan yang sarat dengan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat. Inilat arti pentingnya membangun sistem hukum melalui hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan)
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
Formulasi Legal Drafting Perda
yang lebih mengedepankan persoalanperosalan hukum yang ”netral” terlebih dahulu. Hindari pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang justru menimbulkan konlik horizontal di tingkatan masyarakat. ”Khan Peraturan Perundangundangan dibuat itu untuk menciptakan ketertiban dan keamanan. Bukan malah untuk menciptakan keonaran”. Berdasarkan konsep teori inilah, maka keberadaan teori perundang-undangan di Indonesia menduduki posisi yang sangat strategis bagi pembangunan hukum nasional. Karena sesuai dengan sistem hukum Indonesia, social engineering dilakukan melalui Peraturan Perundang-undangan (khususnya Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden bersama-sama dengan DPR). 5. Green Legislation Dari hasil studi data sekunder dan kajian pustaka yang ada diketahui bahwa: Penelitian mengenai Model Formulasi Legal Drafting Peraturan Daerah (Perda) berbasis Green Legislation Dalam Rangka Pengembangan Praktik-Praktik Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik di Daerah, belum pernah dilakukan. Menurut Jimmly Asshidique (2009) Wacana dan peristilahan “green Constitution” tidak dapat disangkal memang merupakan fenomena baru, baik di dalam dunia praktik maupun dunia akademis, termasuk juga di kalangan para ahli hukum dan konstitusi. Persoalan tentang lemahnya peran pemerintah daerah dan DPRD dalam penyusunan Perda berbasis lingkungan selama ini disebabkan oleh rendahnya pemahaman dan kemampuan mereka dalam memperjuangkan Perda berbasis lingkungan. Oleh karena itu peningkatan kualitas melalui penyusunan model formulasi legal drafting komprehensif tersebut dilakukan dengan tahapan pemetaan existing condition potensi eksekutif dan DPRD, mengevaluasi Perda yang telah dihasilkan (Tahun I), mengidentiika-
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
si dan mengevaluasi kendala-kendala yang dihadapi, mengidentiikasi peluang dan strategi dan model yang dapat dikembangkan (Tahun II), menyusun pedoman dan standar prosedur operasional, memberikan pelatihan, pendampingan serta monitoring bagi eksekutif (pemerintah daerah) dan anggota DPRD (Tahun III) dalam rangka penguatan peran mereka untuk menghasilkan perda yang berbasis lingkungan. D. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan sebagai berikut. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metode yuridis empiris atau non doktrinal yang dimaksudkan sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Pendekatan yang digunakan bersifat sosiologis/empiris menggunakan pendekatan non positivistik dan menggunakan analisis bersifat kualitatif (Peter Mahmud, 2006). Adapun sifat penelitiannya deskriptif developmental yang memberikan gambaran secara sistematis terhadap obyek yang akan diteliti, selanjutnya disusun model yang dapat dikembangkan untuk mengatasi problema di lapangan. Metode yang akan dipakai melalui tahapan-tahapan berupa : pemetaan existing condition formulasi legal drafting yang selama ini digunakan, pemetaan terhadap potensi eksekutif (leading sector) dan DPRD, mengevaluasi Perda yang sudah dihasilkan selama ini (Tahun I), mengidentiikasi dan mengevaluasi kendala-kendala yang dihadapi dalam tahap formulasi kebijakan, mengidentiikasi peluang dan strategi serta merumuskan model formulasi yang dapat dikembangkan (Tahun II), menyusun pedoman dan standar prosedur operasional, memberikan pelatihan, pendampingan serta monitoring bagi eksekutif (leading sector) dan anggota DPRD (Tahun
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
9
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
III) Penekanan dalam rangka formulasi legal drafting yang dilakukan eksekutif dan DPRD agar menghasilkan perda yang berbasis green legislation. Tidak hanya Perda di bidang lingkungan tetapi mendasari pembuatan Perda pada umumnya, sehingga tidak semata-mata membuat Perda tanpa mempedulikan keberlanjutan fungsi lingkungan terutama jika dikaitkan dengan Peningkatan Asli Daerah, tetapi Perda yang good norm dan good process serta green. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dengan mengutip pendapat dari Denzin dan Lincoln (Lexy Moleong, 2005: 5) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. 3. Lokasi dan waktu penelitian Lokasi penelitian meliputi Kabupaten Sragen (Propinsi Jawa Tengah) Kabupaten Ngawi dan Magetan (Jawa Timur). Lokasi tersebut diambil dengan pertimbangan di daerah tersebut sangat dinamis, dan memiliki Perda di bidang Lingkungan dan mewakili wilayah kabupaten dari propinsi yang berbeda. 4. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang diperlukan meliputi data primer maupun data sekunder. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber data langsung atau tangan pertama, terutama yang menyangkut aspek perilaku, persepsi, sikap, dan motivasi eksekutif dan legislatif dalam penyusunan Perda. Data Sekunder, yaitu data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti (Marzuki, 2002: 56). Data sekunder dapat berupa majalah, laporan, hasil penelitian terdahulu, peraturan perundang-undangan serta publikasi lainnya. Sumber data sekunder meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. 5. Instrumen Pengumpul Data 10
Instumen pengumpul data terbagi menjadi dua yakni untuk data primer menggunakan wawancara dan kuesioner. Wawancara ini dilakukan dengan indeepht interview, yaitu metode pengumpulan data melalui wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada sumber data (W.Gulo, 2003: 119). Di samping itu untuk memberikan penajaman dan elaborasi data lebih lanjut dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan pihak-pihak pemangku kepentingan. Adapun untuk data sekunder menggunakan Identiikasi isi dengan metode studi kepustakaan, dimana metode ini digunakan dalam rangka memperoleh data sekunder, yaitu mengumpulkan data berupa buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dokumen-dokumen, peraturan perundangan yang sesuai dan lain sebagainya dengan membaca dan mengkajinya. 6. Analisis Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis kualitatif, mengingat data yang terkumpul sebagian besar merupakan data kualitatif. Teknik ini tepat bagi penelitian yang menghasilkan data yang bersifat kualitatif, yaitu data yang tidak bisa dikategorikan secara statistik kualitatif. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Lexy Moleong, 2005 : 153). Model analisis kualitatif yang digunakan adalah dengan cara mengkaji kinerja kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah langsung yang menjadi obyek penelitian kemudian diproyeksikan pada standar norma-norma hukum / peraturan perundang-undangan yang berlaku ideal yang diharapkan selanjutnya ditafsirkan (diinterpresatsikan) berdasar teori (theor-
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
Formulasi Legal Drafting Perda
itical interpretation) dan untuk kemudian ditarik generalisasi sebagai rumusan yang bersifat ideal (ius constitutum). E. Hasil dan Pembahasan 1. Penyusunan Legal Drafting Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (ekskutif dan DPRD). Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perungdang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan Daerah. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peratuan perundangundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain. Penyusunan formulasi legal drafting Perda yang saat ini dilakukan dapat melalui eksekutif dan legislatif. Tata Cara mempersiapkan Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai suatu manajemen proses pembentukan peraturan daerah dilakukan dengan: 1. Perencanaan. Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004 mengenai Program legislasi daerah merupakan landasan yuridis bagi dibentuknya mekanisme koordinasi baik antara instansi di lingkungan Pemerintah Daerah dalam pemyusunan Peraturan Daerah maupun antara Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Khusus untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pentingnya kedudukan alat perlengkapan Dewan seperti Badan Legislasi DPRD sangat penting, karena badan inilah yang diharapkan dapat menumpang aspirasi baik yang berasal dari komisi-komisi, fraksi-fraksi, maupun dari masyarakat berkaitan dengan masalah peraturan daerah.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
2. Persiapan Pembentukan Perda. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Provinsi, DPRD Kabupaten/DPRD Kota) atau berasal dari gubernur atau Bupati/Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten atau kota. Rancangan peraturan daerah yang berasal dari inisiatif DPRD dapat disampaikan oleh nggota, komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat yang khusus menangani bidang legislasi. Selanjutnya Raperda inisiatif DPRD ini disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota. Agar rancangan peraturan daerah diketahui oleh halayak ramai dan masyarakat dapat memberikan masukan sehubungan dengan ketentuan Pasal 139 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah bahwa masyarakat berhak memberikan masukan lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda, maka rancangan daerah yang berasal dari DPRD harus disebarluaskan yang pelaksanaannya dilakukan oleh secretariat dewan perwakilan rakyat daerah. Salah satu wujud nyata berupa peran DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) Rancangan Undang-Undang tentang Peraturan Daerah bahwa apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan DPRD menyampaikan Raperda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah Raperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/ walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. 3. Pembahasan Raperda di DPRD. Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gunernur atau bupati/walikota. Dalam pembahasan ini gubernur atau bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
11
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
pengambilan keputusan. Pembahasan bersama tersebut dilakukan melalui tingkattingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang l;egislasi dan rapat paripurna. Pada tahap pembahasan ini apabila DPRD atau gubernur atau bupati/walikota akan menarik kembali Raperda yang diajukan, maka harus berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan gubernur atau bupati/walikota. 4. Penetapan. Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau bupati/ walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangga waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Agar segera ada kepastian hukum, penetapan Raperda oleh gubernur atau bupati/walikota ditentukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur atau bupati/walikota. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 dan Pasal 144 (3) UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah, apabila Raperda tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama maka Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. 5. Pengundangan dan Penyebarluasan. Peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Dengan diundangkannya Peraturan Daerah dalam lembaran resmi (lembaran Daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui. 2. Urgensi Naskah Akademik dan Peran 12
Serta Masyarakat Dalam Penyusunan Perda Dalam Rangka Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik di Daerah. Naskah Akademik merupakan Rancangan Pendahuluan untuk menyusun Draft Raperda dan merupakan hasil kesimpulan dari pekerjaan tim peneliti. Dapat dikatakan bahwa suatu Naskah Akademik sebagai kesimpulan dari laporan penelitian yang telah dilakukan beberapa lama dengan metode tertentu. Idealnya sebuah Laporan Penelitian haruslah memenuhi kaidah-kaidah tata tulis yang telah ditentukan. Dalam penyusunan Perda idealnya didahului dengan Naskah Akademik. Hasil penelitian di tiga lokasi penelitian ternyata tidak semua Perda didahului dengan Naskah Akademik. Untuk Perda Pegelolaan Lingkungan Hidup sudah didahului dengan Naskah Akademik, namun tidak semua Perda didahului dengan Naskah Akademik. Penyusunan Naskah Akademik ini mengacu pada Keputusan Kepala BPHN Departemen Kehakiman RI No. G-159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan PerundangUndangan. Bahwa Naskah Akademik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penyusunan sebuah Rancangan Undang-Undang termasuk Perda karena dimuat gagasan-gagasan pengaturan serta materi muatan perundang-undangan bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistematik holistik dan futurisruk dari berbagai aspek ilmu. Bahwa Naskah Akademik juga merupakan bahan pertimbangan yang dipergunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan RUU/RPP kepada Presiden. Naskah Akademik adalah Naskah awal yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dan materi muatan perundangundangan bidang tertentu disebut Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Naskah Akademik memuat gagasan pengaturan suatu materi perundang-undangan (materi hukum) bidang tertentu yang telah
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
Formulasi Legal Drafting Perda
ditinjau secara-holistik-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu, dilengkapi dengan referensi yang memuat : urgensi, konsepsi, landasan, alas hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan ke dalam bentuk uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara Ilmu Hukum dan sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan. Unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu Naskah akademik adalah urgensi disusunnya pengaturan baru suatu materi hukum yang menggambarkan : 1. Hasil inventarisasi hukum positif: 2. Hasil inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi; 3. Gagasan-gagasan tentang materi hukum yamg akan dituangkan ke dalam Rancangan Perda; 4. Konsepsi landasan, alas hukum dan prinsip yang akan digunakan; 5. Pemikiran tentang norma-normanya yang telah dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal; 6. Gagasan awal naskah Rancangan Perda yang disusun secara sistematis : bab demi bab, serta pasal demi pasal untuk memudahkan dan mempercepat penggarapan Raperda selanjutnya oleh instansi yang berwenang menyusun Raperda tersebut. Pertimbangan lain perlunya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah: 1. bahwa keterlibatan masyarakat merupakan unsur penting dalam membangun dan mengembangkan system pemerintahan yang aspiratif dan demokratis, mampu melayani kepentingan dan kebutuhan masyarakat dengan baik; 2. partisipasi sebagai salah satu prinsip pemerintahan yang baik (good governance) perlu dikembangkan dalam rangka mendorong warga masyarakat menggunakan pikiran dan pendapatnya dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingannya, pelaksanaan dan evaluasi
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan di daerahnya; 3. pelibatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung akan membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama bertanggungjawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. 3. Kendala Yang Dihadapi Eksekutif dan Legislatif dalam Tahap Formulasi Kebijakan. Bila melihat mekanisme pembuatan peraturan perundangan sebagaimana dijelaskan diatas maka tidak dapat dipungkiri terdapat banyak kendala dalam mekanisme penyusunan Perda yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah Daerah. a. Kendala yang pertama adalah keterbatasan masuknya peran serta masyarakat dalam formulasi legal drafting Perda. Kendala tersebut sebenarnya telah dieliminir dengan Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dimana dalam UndangUndang No.10 Tahun 2004, partisipasi masyarakat yang berupa masukan secara lisan dan tertulis sudah diberi kesempatan sejak saat penyiapan Raperda bahkan sampai pada tahap pembahasan. UU No. 10 Tahun 2004 memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk membahas sejak awal persiapan mulai dari Naskah Akademis atau background paper dimana latar belakang, asas, cakupan tujuan dan sasaran Raperda masih diperdebatkan. b. Belum adanya landasan yang kuat dalam Tatib DPRD agar dibuat sebuah Naskah Akademik terlebih dahulu dalam formulasi legal drafting Perda. c. Belum adanya pengkajian dan penyusunan kebijakan yang mengoptimalkan pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam yang didasarkan pada prinsip kelestarian, demokrasi ekonomi, keterbukaan, kemakmuran rakyat, keadilan dan efesiensi yang
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
13
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan meningkatkan kemauan politik pemerintah serta partisipasi masyarakat. d. Keterbatasan dalam kemampuan menilai Perda yang sudah ada misalyna, harus secara konkrit mengisi pasal demi pasal dan bisa menjawab dengan jelas tiap pertanyaan mengenai apa yang ingin diatur, apa targetnya, apa yang ingin dihindari dan akhirnya mengapa semua ini diyakini akan memperbaiki nasib seluruh bangsa secara adil. e. Keterbatasan dalam kemampuan merumuskan kebijakan yang eksplisit, konkret, jelas dan operasional, antara lain merumuskan butir-butir kebijakan yang jelas, konkret, realistis dimana kemudian kebijakan tersebut nantinya menjadi bahan utama dalam merumuskan suatu peraturan Raperda maka perumusannya harus tunduk pada teknik pembuatan perundang-undangan. f. Keterbatasan dalam merumuskan konsep yang jelas mengenai hal yang hendak diatur, oleh karenanya pmerintah harus benar-benar memahami kebijakan, bahan, ide, masalah yang dijadikan dasar untuk merumuskan suatu Raperda. g. Kendala yang lain dalam tahap formulasi adalah merumuskan suatu kebijakan yang nantinya akan dituangkan kedalam perumusan peraturan perundangan yang realistis, konkrit, jelas dan operasional sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, harus dilandaskan pada cita huum. F. Penutup 1. Kesimpulan a. Penyusunan Legal Drafting Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (ekskutif dan DPRD) telah sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No 32 Tahun 2004, namun belum semua Perda menggunakan Naskah Akademik dalam formulasi Legal Drafting Perdanya sehingga belum memenuhi kriteria sistem hukum yang baik. 14
b. Dalam Tahap formulasi Legal Drafting Perda dalam rangka penyelenggaraan praktik-praktik pemerintahan yang baik, peran serta masyarakat dalam penyusunan Naskah Akademik dan Raperda mutlak diperlukan. Hasil penelitian partisipasi belum berjalan efektif dan belum semua Perda didahului Naskah Akademik. 3. Kendala Yang Dihadapi Eksekutif dan Legislatif dalam Tahap Formulasi Kebijakan: Kendala yang pertama adalah keterbatasan masuknya peran serta masyarakat dalam formulasi legal drafting Perda; Keterbatasan penyusunan konsep penyelamatan lingkungan hidup dengan mencegah pengurasan dan perusakan sumber daya alam, pemborosan penggunaan sumbersumber langka, mendukung kelestarian lingkungan global disesuaikan dengan kemampuan nasional dengan tidak mengorbankan kepentingan rakyat, Belum adanya landasan yang kuat dalam Tatib DPRD agar dibuat sebuah Naskah Akademik terlebih dahulu dalam formulasi legal drafting Perda; Belum adanya pengkajian dan penyusunan kebijakan yang mengoptimalkan pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam yang didasarkan pada prinsip kelestarian, demokrasi ekonomi, keterbukaan, kemakmuran rakyat, keadilan dan efesiensi yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan meningkatkan kemauan politik pemerintah serta partisipasi masyarakat; Keterbatasan dalam kemampuan menilai Perda yang sudah ada; Keterbatasan dalam kemampuan merumuskan kebijakan yang eksplisit, konkret, jelas dan operasional; Keterbatasan dalam merumuskan konsep yang jelas mengenai hal yang hendak diatur, oleh karenanya pmerintah harus benar-benar memahami kebijakan, bahan, ide, masalah yang dijadikan dasar untuk merumuskan suatu Raperda; Kendala yang lain dalam tahap formulasi adalah merumuskan suatu kebijakan yang nantinya akan dituangkan kedalam
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
Formulasi Legal Drafting Perda
perumusan peraturan perundangan yang realistis, konkrit, jelas dan operasional sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, harus dilandaskan pada cita hukum. 2. Saran a. Perlu dilanjutkan penelitian Tahap II untuk mengidentiikasi peluang dan strategi serta merumuskan model formulasi yang dapat dikembangkan, menyusun pedoman dan standar prosedur operasional formulasi legal drafting Perda. b. Perlu ditumbuhkan sense of belonging yaitu tumbuhnya rasa untuk dapat menjaga, mempertahankan, memelihara, dan mempunyai kesadaran serta kepedulian terhadap nasib sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia kepada pemerintah an masyarakat, mempunyai informasi yang memadai untuk masalah-masalah lingkungan hidup yang nantinya akan diaplikasikan dalam semua kebijakan, baik dalam bentuk Perda, penyusunan suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau dalam menyusun suatu rencana, usulan-usulan dan rancangan-rancangan program dan kegiatan. c. Perlu pengaturan Naskah Akademik dalam formulasi legal drafting Perda. d. Membuat satu kebijakan bagi masyarakat sipil supaya dapat berperan secara maksimal dalam mengontrol kebijakan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam e. Legislatif hendaknya membuat suatu kebijakan yang dapat menjaga kualitas lingkungan hidup dan melakukan pengawasan ketat terhadap penyelesaian kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. DAFTAR PUSTAKA Esty, .C. and Porter, M. 2005. National Environmental Performance: An Empirical Analysis of Policy Results and Determinants. Environmental and Development Economics Journal. Vol. 10, p. 391-434.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
Gunningham, N. and Grabosky, P. 1998. Smart Regulation, Designing Environmental Policy, Oxford, Clarendon Press. I Gusti Ayu. 2005. Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Laporan Penelitian MKRI. Fakultas Hukum UNS : Surakarta. I Gusti Ayu. 2006. Urgensi Pengelolaan SDA Pasca Putusan MKRI 2005. Laporan Penelitian MKRI. Fakultas Hukum UNS : Surakarta. I Gusti Ayu. 2007 .Sinkronisai Perda Kota Surakarta no. 2 tahun 2006 tentang Pengendalian LH Terhadap UUPLH Laporan Penelitian DIPA FH UNS. Fakultas Hukum UNS : Surakarta. I Gusti Ayu. 2007. Urgensi Evaluasi Kelembagaan PDAM Kota Surakarta Laporan Penelitian PDAMFH UNS. Fakultas Hukum UNS : Surakarta. I Gusti Ayu. 2007. Harmonisasi Perda dengan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi yang berperspektif Gender Laporan Penelitian Kementerian PP RI. Fakultas Hukum UNS : Surakarta. I Gusti Ayu. 2008. Identiikasi Capaian Program RAN HAM Kota Surakarta Laporan Penelitian P3KHAM UNS. LPPM UNS Surakarta. Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution. Jakarta: Rajagraindo Persada. Lawrence M. Friedman, 1997. The Legal System : A Social Science Perspective. Russel Sage Foundation : New York. Lexy J. Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. Marzuki. 2002. Metodologi Riset. Yogyakarta: BPFE-UII. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011
15
Formulasi Legal Drafting Perda
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
Hukum. Akarta: Kencana Prenada Media Group. Michael G. Faure and Jason S. Johnston. 2009. The Law and Economics of Environmental Federalism: Europe and the United States Compared, Virginia Environmental Law Journal. Vol 27, p. 244-246. Steinzor, R.I. 1998. Reinventing Environmental Regulation: The Dangerous Journey From Command to SelfControl. Harvard Law Review. Vol. 22, p 103-202. W. Gulo. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
16
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 1 | Maret 2011