HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA MARGA CABANG CAWANG TOMANG CENGKARENG TAHUN 2016
SKRIPSI Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh: OFIN ANDINA PERMATA SARI NIM: 1112101000028
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2016 M
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA MARGA CABANG CAWANG TOMANG CENGKARENG TAHUN 2016
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
Ofin Andina Permata Sari NIM. 1112101000028
Jakarta,
Desember 2016
Mengetahui
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2016 M
i
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta,
Desember 2016
Penguji I
Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, S.KM, M.KKK
Penguji II
Dr. Ela Laelasari, S.KM, M.Kes NIP. 19721002 200604 2 001
Penguji III
Ir. Rulyenzi Rasyid, M.KKK
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2016 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN PLAGIASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
iii
Desember 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Desember 2016 OFIN ANDINA PERMATA SARI, NIM : 1112101000028 Hubungan Lingkungan Kerja Fisik Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 xviii + 156 halaman, 15 tabel, 8 gambar, 4 bagan, 6 lampiran ABSTRAK Kelelahan kerja merupakan kondisi dimana seseorang sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas kerjanya. Kelelahan kerja dapat terjadi karena adanya pengaruh dari lingkungan kerja yang tidak menunjang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara lingkungan kerja fisik (kebisingan, pencahayaan, suhu & kelembaban, dan shift kerja) dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi berjumlah 93 pekerja dengan sampel sebanyak 42 pekerja (menggunakan teknik random sampling). Instrumen yang digunakan adalah kuesioner subjective self ratting test dan pengukuran menggunakan sound level meter, digital lux meter, dan thermohygrometer. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan uji tindependent dan chi-square dengan α = 0,05). Hasil dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara kebisingan (p = 0.182), pencahayaan (p = 0.491), kelembaban (p = 0.144) dan shift kerja (p = 0.115) dengan kelelahan kerja (p > 0.05). Sedangkan pada variabel suhu (p = 0.036) terdapat hubungan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng (p < 0.05). Saran yang diberikan kepada karyawan yaitu diharapkan setiap karyawan yang merasakan kelelahan kerja untuk segera melakukan istirahat untuk pemulihan, diharapkan karyawan selalu menggunakan alat pelindung diri yang telah diberikan dan diharapkan karyawan dapat mengenali penyebab timbulnya kelelahan kerja. Untuk perusahaan yaitu diperlukannya pengendalian bahaya lingkungan kerja baik pada management maupun pada karyawan, dan diharapkan perusahaan melakukan pemberian tanaman pada setiap ruang kerja kolektor untuk penyerapan CO2 yang dihasilkan kendaraan melintas yang dapat membahayakan karyawan. Kata Kunci
: Kelelahan Kerja, Lingkungan Kerja (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu & Kelembaban, dan Shift Kerja), Kolektor Gerbang Tol Daftar bacaan : 89 (1969-2016)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY Undergraduated Thesis, Desember 2016 OFIN ANDINA PERMATA SARI, NIM : 1112101000028 Relations Between the Physical Work Environment with Fatigue on the Collector of Cililitan Toll Gate PT Jasa Marga Branch Cawang Tomang Cengkareng Year 2016 xviii + 156 pages, 15 tables, 8 pictures, 4 bagans, 6 attachments ABSTRACT Fatigue is a condition where a person is no longer able to perform their work activities. Fatigue may occur due to the influence of the working environment is not supportive. The purpose of this study was to investigate the relations between physical work environment (noise, lighting, temperature and humidity, and work shift) with fatigue on the collector of Cililitan toll gate PT Jasa Marga Branch Cawang Tomang Cengkareng year 2016. This type of research was observational analytic research with cross sectional approach. Population of the research was 93 workers with 42 workers as the sample (used random sampling technique). The instrument used was a questionnaire subjective self ratting test and sound level meter, digital lux meter, thermohygrometer. Data analysis was performed by used univariate and bivariate (used test t-independent and chi-square with α = 0.05). The result of this study was there was a not relationship between the noise (p=0.182), lighting (p=0.491), humidity (0.144) and work shift (p=0.115) with work fatigue (p > 0.05). While, in temperature (0.036) variable there is correlation with fatigue at the collector of Cililitan toll gate PT Jasa Marga Branch Cawang Tomang Cengkareng (p < 0.05). A suggestion to the workers was they should expected of every workers who feels fatigue to immediately make a break for recovery, workers always use personal protective equipment that has been given and it is expected that worker can identify the causes of fatigue. For companies that need for control of hazards in the working environment both management and worker, and the company is expected to undertake the provision of crops in each workspace collector for the absorption of the CO2 produced by passing vehicles that may endanger employees.
Keyword
: Fatigue, Physical Work Environment (Noise, Lighting, Temperature & Humidity, and Work Shift) Collector of Toll Gate Bibliography : 89 (1969-2016)
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PERSONAL Nama
: Ofin Andina Permata Sari
Tempat Lahir
: Bogor
Tanggal Lahir
: 24 Mei 1994
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Perumahan Graha Nirwana Blok B5, Cileungsi-Kabupaten Bogor
No. Handphone
: 081297711220 (WA/ Line: ofinandina)
Email
:
[email protected]
PENDIDIKAN FORMAL 1999-2000
: TK Cerdas Umat Bojonggede
2000-2006
: SD Negeri 06 Bojonggede
2006-2009
: SMP Negeri 2 Cibinong
2009-2012
: SMA Negeri 2 Bogor
2012-2016
: Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI 2004-2005
Ketua Ekstrakulikuler Pramuka SDN 06 Bojonggede
2004-2005
Ketua Ekstrakulikuner Pasukan Pengibar Bendera SDN 06 Bojonggede
2005-2006
Ketua Ekstrakulkuler Dokter Kecil SDN 06 Bojonggede
2006-2007
Anggota PMR SMP Negeri 2 Cibinong
2007-2008
Sekretaris PMR SMP Negeri 2 Cibinong
2009-2010
Anggota PMR SMA Negeri 2 Bogor
2011-2012
Wakil Ketua PMR SMA Negeri 2 Bogor
2013-2014
Bendahara Departemen Finance Forum Studi K3 Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
Anggota Departemen Kesenian dan Olahraga Badan Eksekutif Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-2015
Ketua Departemen Kesenian dan Olahraga Badan Eksekutif Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2015-sekarang Ketua Club Futsal Putri Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Anggota Departemen Public Relations Forum Studi K3 Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ketua
Departemen
Kesenian
dan
Olahraga
Himpunan
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ketua Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta PELATIHAN
Peserta Orientasi Akademik dan Kebangsaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012
Peserta Seminar Profesi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Safety Riding dengan Tema “Safety Riding: Aku dan Ojek Online Peduli Keselamatan” tahun 2015
Training SMK3 Based on OHSAS 18001 dan PP No. 50 Tahun 2012 oleh Synergy Solusi
Workshop “Ergonomics In The Work Place” oleh PJK3 Fairuz Artha Sejahtera Tahun 2014
Workshop “Safety In The Process Industries” oleh PJK3 Fairuz Artha Sejahtera Tahun 2014
Workshop “Risk Management and Lost Control” oleh PJK3 Fairuz Artha Sejahtera Tahun 2015
Workshop “Ventilation Of Industries” oleh PJK3 Fairuz Artha Sejahtera Tahun 2015
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim Alhamdulillah, puji dan syukur saya ucapkan kepada Illahi Rabbi yang selalu memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita semua. Atas segala kekuatan dan rahmat- Nya, saya berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul "HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA MARGA CABANG CAWANG TOMANG CENGKARENG TAHUN 2016". Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Jurusan Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti saat ini. Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni hasil usaha penulis sendiri melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalamdalamnya kepada : 1. Orang tua tercinta Bapak Ditung Nirnoto dan Ibu Nurma Sari, serta keluarga tercinta terima kasih untuk semua dukungan dan doanya yang tidak pernah henti. 2. Ibu Catur Rosidati, SKM., MKM. selaku dosen pembimbing I dan Ibu Izzatu Millah, SKM, MKKK Sebagai pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan yang berharga dan saran-saran yang mendidik. 3. Ibu dr. Iting Shofwati ST., MKKK selaku dosen penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang memberikan saran serta ilmu yang luas terkait dunia kerja. Terima kasih ibu atas waktu dan saransarannya atas nasihat dalam penelitian. 4. Kak Nur Najmi, SKM, MKKK selaku laboran peminatan keselamatan dan kesehatan kerja yang sangat membantu dan mendampingi selama sebelum dan selama penelitian berlangsung. Ibu Imah selaku administrasi Program Studi yang telah membantu penulis dalam kelancaran proses administrasi. 5. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku ketua program studi dan Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku sekretaris program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan serta toleransinya kepada penulis dan para dosen Kesehatan Masyarakat atas semua ilmu yang telah diajarkan. 6. Dosen Penguji yaitu Ibu Siti Rahmah H. L, MKKK., Ibu Dr. Ela Laelasari, M.Kes., dan Bapak Ir. Rulyenzi Rasyid, MKKK. Yang telah menguji dan memberikan saran serta bimbingan unutuk melengkapi skripsi ini.
viii
7.
Departement HRD, Bapak Engkos, Departement Kepala Bagian Tol Cililitan, Kepala shift tol Cililitan, Departemen Paramedic dan seluruh karyawan kolektor gerbang tol Cililitan yang berperan penting dalam membantu pelaksanaan penelitian, baik dalam hal perizinan maupun pengukuran. 8. Kak Rois Solichin dan Elsya Ristia yang telah membantu dalam masa turun lapangan, terimakasih banyak atas waktunya yang digunakan dan waktu berdiskusinya. 9. Abdul Fattah Muzakkir yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi selama penulis menjalankan penelitian dan penyusunan skripsi. 10. Tantri Permadani, Ukhty, Elsya Ristia, Annisa Sayyidatul Ulfah, Putri Ayuni S, Astrid Karolina, Cory Selviana dan Mursalina yang sudah mengijinkan penulis untuk singgah beberapa waktu dikosan kalian. 11. Sahabat-sahabat penulis atas nama Elsya Ristia, Bestie (Karina, Adel, Anita, Ditta, Aldi, Zahra), Muthia Ulfa, Eyang Tirta Corp (Devi, April, Ois, Elys, Aul, Tita, Richki, Aditya, Aziola, Tito, Ogi, Dika), Cibengers (Astrid, Cesil, Rico, Agin, Nova, Cory, Silmi, Widy, Tsabit, Nizar, Tyo, Lale), Ika Nur Syafitryani, yang mendukung untuk terus semangat dalam penyusunan skripsi ini. 12. Teman peminatan K3, Kesehatan Masyarakat 2012 UIN Jakarta, BEMJ/HMPS Kesehatan Masyarakat, Club Futsal Putri Kesmas, KPU UIN Jakarta 2015, KPPS FKIK 2015, Pejuang Bimbingan Bu Catur yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Demikian yang dapat penulis sampaikan, dengan doa dan harapan bahwa segala kebaikan yang mereka berikan dapat bermanfaat bagi penulis. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat berbagai kekurangan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kelak dapat menjadi lebih baik. Semoga skripi ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan bermanfaat bagi seluruh pembacanya, Aamiin. Terimakasih. Jakarta,
Desember 2016
Ofin Andina Permata Sari
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iii ABSTRAK......................................................................................................... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................................................... x DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xviii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .............................................................................. 9
1.3
Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 10
1.4
Tujuan Penelitian .............................................................................. 11 1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................. 11 1.4.2 Tujuan Khusus.................................................................................. 11
1.5
Manfaat Penelitian ............................................................................ 12 1.5.1 Manfaat Bagi Perusahaan ................................................................. 12 1.5.2 Manfaat Bagi Fakultas ...................................................................... 13 1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti ....................................................................... 13
1.6
Ruang Lingkup Penelitian................................................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 15 x
2.1
Kelelahan Kerja ................................................................................ 15 2.2.1 Definisi Kelelahan Kerja .................................................................. 15 2.2.2 Jenis Kelelahan Kerja ....................................................................... 17 2.2.3 Gejala Kelelahan Kerja ..................................................................... 19 2.2.4 Mekanisme Kelelahan ...................................................................... 19 2.2.7 Metode Pengukuran Kelelahan Kerja ................................................ 24
2.2
Faktor Lingkungan Kerja Fisik Yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja ......................................................................................................... 26 2.2.1 Kebisingan ....................................................................................... 28 2.2.2 Pencahayaaan ................................................................................... 34 2.2.3 Iklim Kerja ....................................................................................... 41 2.2.4 Sirkulasi Udara ................................................................................. 49 2.2.5 Suhu dan Kelembaban Udara ............................................................ 49 2.2.6 Getaran Mekanis............................................................................... 54 2.2.7 Bau-Bauan........................................................................................ 55 2.2.8 Warna ............................................................................................... 55
2.3
Shift Kerja ........................................................................................ 56
2.4
Kerangka Teori ................................................................................. 63
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ..................................................................................................... 65 3.1
Kerangka Konsep ............................................................................. 65
3.2
Definisi Operasional ......................................................................... 67
3.3
Hipotesis Penelitian .......................................................................... 69
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 71 4.1
Desain Penelitian .............................................................................. 71
4.2
Lokasi dan Waktu ............................................................................. 71
4.3
Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................ 72
4.4
Pengumpulan Data............................................................................ 75
4.4.1
Data Primer ...................................................................................... 75
4.4.2
Data Sekunder .................................................................................. 76
4.5
Uji Validitas dan Reabilitas .............................................................. 76
xi
4.6
Instrumen Penelitian ......................................................................... 78
4.7
Pengolahan Data ............................................................................... 87
4.8
Analisis Data .................................................................................... 89
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................ 92 5.1
Gambaran Lokasi Penelitian ............................................................. 92
5.1.1
PT Jasa Marga (Persero) Tbk ............................................................ 92
5.1.2 Visi dan Misi PT Jasa Marga ............................................................ 93 5.1.3 Aktifitas Usaha PT Jasa Marga ......................................................... 93 5.1.4 PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng ...................... 95 5.1.5 Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja..... 98 5.2
Hasil Analisis Univariat .................................................................. 100 5.2.1 Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol .. 100 5.2.2 Gambaran Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban, dan Shift Kerja) Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol ................................................................................... 101
5.3
Hasil Analisis Bivariat .................................................................... 103 5.3.1 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol ................................................................................... 104 5.3.2 Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol ..................................................................... 105 5.3.3 Hubungan Antara Suhu Ruangan dan Kelembaban Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol ................................................... 106 5.3.4 Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol ................................................................................... 108
BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................. 110 6.1
Keterbatasan Penelitian................................................................... 110
6.2
Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol. 111
6.3
Faktor Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara, dan Shift Kerja) Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol ..................................................................... 118 6.3.1 Kebisingan ..................................................................................... 118 6.3.2 Pencahayaan ................................................................................... 124 6.3.3 Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara ........................................... 130
xii
6.3.4 Shift Kerja ...................................................................................... 137 BAB VII PENUTUP ...................................................................................... 145 7.1
Simpulan ........................................................................................ 145
7.2
Saran .............................................................................................. 146 7.2.1 Saran Bagi Perusahaan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Gerbang Tol Cililitan .................................................. 146 7.2.2 Saran Bagi Karyawan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Gerbang Tol Cililitan .................................................. 149 7.2.3 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ........................................................ 150
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 151 LAMPIRAN ................................................................................................... 157
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Intensitas Kebisingan yang Diperbolehkan Berdasarkan Waktu Pemaparan dalam Satu Hari .............................................................. 30 Tabel 2.2 Kondisi Suara/Bunyi dengan Batas Dengar Tertinggi ....................... 33 Tabel 2.3 Standar Tingkat Pencahayaan Lingkungan Kerja .............................. 40 Tabel 2.4 NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang Diperkenankan ................................................................................. 43 Tabel 2.5 Perkiraan Beban Kerja Menurut Kebutuhan Energi........................... 45 Tabel 3.1 Definisi Operasional ......................................................................... 68 Tabel 5.1 Distribusi Kelelahan Kerja (Subjective Self Ratting Test) Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 100 Tabel 5.2 Distribusi Intensitas Kebisingan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 . 101 Tabel 5.3 Distribusi Intensitas Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara, dan Shift Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 .............. 102 Tabel 5.4 Hasil Uji Normalitas Data............................................................... 104 Tabel 5.5 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Kebisingan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 105 Tabel 5.6 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Pencahayaan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 106 Tabel 5.7 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Suhu Ruangan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................................. 107 Tabel 5.8 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Kelembaban Udara Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................... 108
xiv
Tabel 5.9 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Shift Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 ................................................................. 109
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas kurang dari 10m2 ...................................................................................... 38 Gambar 2.2 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas antara 10m2 sampai 100m2 ...................................................................... 38 Gambar 2.3 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas>dari 100m2 ........................................................................................... 39 Gambar 4.1 Sound Level Meter Krisbow .......................................................... 81 Gambar 4.2 Digital Luxmeter DL 204 ............................................................... 84 Gambar 4.3 Denah Ruang Kerja Kolektor Gerbang Tol .................................... 85 Gambar 4.4 Thermohygrometer ........................................................................ 87 Gambar 5.1 Peta Wilayah Jaringan Jalan Tol Jakarta dan Sekitarnya ................. 95
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori ................................................................................ 65 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 67 Bagan 5.1 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Dalam Kota Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata Per Hari/kr ............ 96 Bagan 5.2 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Prof. Dr. Ir. Sedyatmo Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata Per Hari/kr ......................................................................................................... 98
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 KUESIONER KELELAHAN KERJA DAN OBSERVASI LAMPIRAN 2 LEMBAAR PENGUKURAN KEBISINGAN, PENCAHAYAAN, SUHU & KELEMBABAN LAMPIRAN 3 HASIL PENGUKURAN PENELITIAN LINGKUNGAN KERJA LAMPIRAN 4 HASIL OUTPUT ANALISIS DATA LAMPIRAN 5 SURAT-SURAT PENELITIAN LAMPIRAN 6 DOKUMENTASI
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Tingginya arus globalisasi akan banyak mempengaruhi berbagai sektor
dan salah satunya adalah sektor perusahaan pengembang jalan tol. Peningkatan pengguna fasilitas jalan tol ini tentunya menuntut banyak kinerja positif dari berbagai sumber daya yang ada yaitu kolektor gerbang tol. Kolektor gerbang tol merupakan karyawan yang berperan penting dan memiliki beban kerja dalam pengoperasian jalan tol karena membutuhkan konsentrasi kerja yang non stop selama menjalankan pekerjaannya karena lalu lintas kendaraan di jalan tol selalu ramai terutama pada jam-jam tertentu sehingga tidak memungkinkan penjaga tol untuk beristirahat. Frekuensi pertumbuhan volume kendaraan roda empat mengalami penaikan sebesar 9% per tahun, sedangkan penambahan panjang jalan dilakukan hanya sebesar 0,01% per tahun, kondisi ini menjadi pemicu terjadinya masalah kemacetan lalu lintas (Sunito, 2010). Selain itu jumlah volume kendaraan roda empat di gerbang tol Cililitan setiap harinya pada seluruh shift yaitu kurang lebih mencapai 23.109/hari. Gerbang tol Cililitan merupakan gerbang tol yang berada pada jalur cabang Cawang Tomang Cengkareng. Cabang tersebut adalah cabang yang memiliki jalur sepanjang 37.85 Km dan dapat dinyatakan bahwa cabang CTC adalah jalur terpanjang kedua setelah Jagorawi serta mendapati aktivitas volume kendaraan tertinggi dibanding Jagorawi dan 4 jalur Jabodetabek lainnya.
1
2
Pada survei di USA, kelelahan merupakan problem yang besar. Ditemukan sebanyak 24% dari seluruh orang dewasa yang datang ke poliklinik menderita kelelahan kronis. Data yang hampir sama terlihat dalam komunitas yang dilaksanakan oleh Kendel di Inggris yang menyebutkan bahwa 25% wanita dan 20% pria selalu mengeluh lelah (Setyawati, 1994). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja Jepang terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan 65% pekerja mengeluhkan kelelahan fisik akibat kerja rutin, 28% mengeluhkan kelelahan mental dan sekitar 7% pekerja mengeluh stress berat dan merasa tersisihkan (Hidayat, 2003). Miranti (2008) mengutarakan hasil penelitian yang dilakukan pada salah satu perusahaan di Indonesia khususnya pada bagian produksi mengatakan rata-rata pekerja mengalami kelelahan dengan mengalami gejala sakit di kepala, nyeri di punggung, pening dan kekakuan di bahu. Berdasarkan beberapa definisi menurut Grandjean (1995), Suma’mur (2009), Tarwaka (2010) dan Nurmianto (2003) disimpulkan kelelahan akan menunjukkan keadaan yang berbeda-beda pada setiap individu, namun dari semua keadaan kelelahan akan berakibat pada pengurangan kapasitas kerja baik motivasi kerja maupun produktivitas kerja, ketahanan tubuh dan melemahnya kekuatan fisik maupun psikis yang dapat menggannggu kesiagaan, ketelitian serta mempengaruhi kesehatan. Gejala yang dialami bagi yang merasakan kelelahan kerja yaitu berupa gangguan kesehatan seperti perasaan lesu, menguap, mengantuk, pusing, sulit
berpikir, kurang
3
berkonsenterasi, kurang waspada, persepsi yang buruk dan lambat, kaku dan canggung dalam gerakan, gairah bekerja kurang, tidak seimbang dalam berdiri, tremor pada anggota badan, tidak dapat mengontrol sikap, dan menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Kroemer dan Grandjean, 1997; Tarwaka, 2013). Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kelelahan kerja, menurut Setyawati (2010), faktor penyebab kelelahan antara lain faktor individu, faktor pekerjaan, faktor lingkungan dan faktor psikologis. Suasana kerja yang tidak ditunjang dengan kondisi lingkungan yang sehat, nyaman dan selamat akan memicu terjadinya kelelahan kerja. Menurut McCunney (1988), tenaga kerja akan dapat dan mampu bekerja, efisien dan produktif apabila lingkungan tempat kerja nyaman. Sebaliknya kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman dapat menyebabkan kelelahan tenaga kerja sehingga produktivitas tenaga kerja menurun. Setyawati (1994) menyatakan bahwa kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan fisik di tempat kerja antara lain oleh suhu, pencahayaan dan kebisingan. Menurut Nurmianto (2003) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan dalam beraktifitas, salah satunya adalah kualitas lingkungan kerja fisik yang diantaranya terdiri atas intensitas penerangan, suhu dan kelembaban udara, dan tingkat kebisingan. Masalah lingkungan kerja disini dapat diartikan tingkat kebisingan, tingkat pencahayaan ruang kerja, dan iklim kerja tempat kerja (Budiono, dkk, 2003). Pada jenis pekerjaan seperti karyawan kolektor gerbang tol dituntut untuk selalu memiliki motivasi dan tenaga kerja yang optimal pada saat bekerja terutama pada saat volume kendaraan yang sedang tinggi.
4
Tingginya volume kendaraan dijalan tol akan menimbulkan kebisingan yang lebih tinggi pula selaras dengan teori Suma’mur (2009), mengatakan bahwa kebisingan dapat mempengaruhi faal tubuh seperti gangguan pada saraf otonom yang ditandai dengan bertambahnya metabolisme, bertambahnya tegangan otot sehingga mempercepat kelelahan. Karyawan gerbang tol sangat membutuhkan pencahayaan yang cukup karena pekerjaan yang dilakukan membutuhkan ketelitian yang tinggi untuk melakukan transaksi pembayaran tol layaknya aktivitas administrasi. Pencahayaan yang baik adalah pencahayaan yang memungkinkan seseorang tenaga kerja melihat pekerjaannya dengan teliti, cepat, dan upaya tidak perlu serta
membantu
menciptakan
lingkungan
kerja
yang
nikmat
dan
menyenangkan (Suma’mur, 1996). Idealistina (1991) menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktifitas kerja. Pada keadaan lingkungan yang panas atau dingin akan mempengaruhi kinerja aktivitas karyawan kolektor gerbang tol dengan atau tidaknya dilengkapi pedingin ruangan setiap ruangan akan mempengaruhi suhu yang diterima oleh karyawan karena jendela ruangan terbuka untuk melakukan transaksi. Efisiensi kerja sangat di pengaruhi oleh cuaca kerja dalam daerah nikmat kerja, jadi tidak dingin dan kepanasan (Suma’mur, 2009). Bagi orang Indonesia suhu ruangan perkantoran ditempat kerja dirasakan nyaman antara 18° C - 28 °C (Kepmekes RI. No. 1405/Menkes/SK/XI, 2002). Terdapat beberapa penelitian terkait pengaruh lingkungan kerja fisik terhadap kelelahan kerja diantaranya menunjukkan bahwa kebisingan
5
memiliki hubungan dengan kelelahan kerja salah satunya penelitian menurut Sari (2010), berdasarkan uji Chi-Square untuk menguji pengaruh intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja diperoleh pvalue 0,001 (p ≤ 0,01) berarti ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap kelelahan kerja secara sangat signifikan pada tenaga kerja bagian screening CV. Mekar Sari Wonosari Klaten. Sedangkan pada penelitian Septiana, dkk (2013) tentang kelelahan kerja yang dipengaruhi pencahayaan pada operator scarfing didapatkan hasil berupa hubungan pencahayaan dengan kelelahan kerja mendapat nilai korelasi pearson sebesar 0.15>α (0.05) artinya kelelahan kerja operator scarfing sangat dipengaruhi oleh pencahayaan. Kelelahan kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja juga dapat dipengaruhi dengan intensitas shift kerja. Menurut Grandjean (1995), secara alamiah manusia dilahirkan untuk menjadi makhluk siang hari, artinya mereka bangun pada siang hari dan tidur atau beristirahat pada malam hari. Kehidupan seperti itu mengikuti suatu pola jam biologik yang disebut dengan circadian rhythm yang berdaur selama 24 jam. Lamanya waktu yang dipergunakan untuk tidur di siang hari relatif kecil dari yang seharusnya, mengakibatkan mengantuk. Hal ini disebabkan gangguan suasana siang hari seperti kebisingan, suhu, dan keadaan terang (Suma’mur, 1993). Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa adanya hubungan antara kelelahan kerja dengan shift kerja. Pada penelitian Basri (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik Chi-Square, diketahui terdapat hubungan yang kuat antara shift kerja malam dengan tingkat kelelahan operator produksi di PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu tahun 2014.
6
Adapun berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada bulan Agustus dari 6 karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga (Persero) Tbk, diketahui bahwa 3 karyawan mengalami kelelahan berat pada shift siang, 1 karyawan mengalami kelelahan berat pada shift malam dan telah merasakan kelelahan secara terus menerus pada 3-4 jam pertama dari awal tugas pertukaran shift, sedangkan karyawan mengalami kelelahan ringan yaitu 2 karyawan pada shift malam. Hal ini disebabkan karena rutinitas kegiatan masyarakat dalam menggunakan jalan tol dilihat dari meningkatnya volume kendaraan lebih banyak saat shift siang dan sore yaitu 8.296 kendaraan, dibandingkan dengan shift malam yaitu 3.641 kendaraan, selain itu juga disebabkan oleh jenis pekerjaan yang tingkat beban kerjanya berbeda-beda dalam pekerjaan ini tergolong beban kerja sedang. Pekerja juga merasakan beberapa gejala seperti sakit kepala, sulit berkomunikasi, ketenangan bekerja terganggu, konsentrasi terganggu, mengantuk, dan tingkat kewaspadaan terganggu. gejala tersebut dirasakan karena adanya dukungan dari kondisi lingkungan kerja kebisingan, pencahayaan dan suhu kelembaban. Untuk studi pendahuluan hasil pengukuran pada kolektor gerbang tol Cililitan 2 pada shift siang dan malam didapatkan hasil pengukuran intensitas kebisingan di 3 gerbang tol Cililitan 2 pada durasi kerja 8 jam yang diterima pekerja mencapai 78-87 dB, jika dibandingkan dengan Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 bahwa standar NAB kebisingan ditempat kerja yang telah ditetapkan adalah 85 dB. Selanjutnya, hasil pengukuran pencahayaan pada ruang kerja kolektor gerbang tol Cililitan 2 didapatkan hasil yang bervariasi setiap gerbang dan keadaan cuaca yang berubah-ubah saat pengukuran yaitu
7
didapatkan hasil berkisar 39.36 – 96.16 lux yang bila dibandingkan dengan NAB pada Kepmenkes RI No. 1405 Tahun 2002 yaitu 300 lux untuk standar ruangan administrasi dengan pekerjaan rutin maka pencahayaan yang didapatkan pekerja dibawah standar. Terdapat hasil ukur suhu yaitu 21.7331.16 ˚C dan
kelembaban udara yaitu 66.86%-80.55% pada ruang kerja
karyawan kolektor gerbang tol dan dibandingkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405/MENKES/SK/XI (2002) sebaiknya ruang kerja perkantoran memiliki suhu 18-28˚C dan
kelembaban 40%-60% maka
dinyatakan bahwa hasil ukur berada diatas standar yang telah ditentukan. Selain itu, kondisi lingkungan kerja seperti sirkulasi udara yang ada diruang kerja sudah baik karena adanya ventilasi udara untuk perputaran udara baik udara yang masuk maupun udara yang keluar, tidak adanya sumber getaran dalam melakukan pekerjaan dan untuk bau-bauan dan warna pada ruang kerja tidak pernah ada bau-bauan menyengat ataupun warna cat yang mengganggu pekerja saat melakukan aktivitas pekerjaan. Untuk kondisi lingkungan kerja secara langsung seperti sarana maupun prasarana di ruang kerja semua dikategorikan dalam kondisi yang baik karena meja kerja yang digunakan tidak membuat para pekerja kesulitan dalam menggunakannya baik pada luas meja, permukaan meja maupun warna meja tidak mengganggu. Sedangkan, pada kursi kerja yang ada juga memudahkan para pekerja dalam mengatur tinggi rendah kursi, kursi kerja yang ada memiliki sandaran untuk pekerja duduk dalam posisi tegak dan dapat meregangkan otot punggung, kursi kerja juga tidak menyulitkan pekerja bergerak bebas pada lengannya serta bagi para pekerja kursi yang digunakan
8
sudah tergolong nyaman. Ruang kerja yang hanya berukuran 2 x 2 meter tersebut membuat pekerja memiliki keterbatasan gerak dan hanya cukup untuk disinggahi 2-3 orang demi kenyamanan ruang kerja, dalam hal ini kondisi ruang kerja dan sarana prasarananya masih tergolong baik dan tidak mengganggu pekerja dalam melakukan aktivitas kerjanya dalam kata lain sarana dan prasarana yang disediakan tidak menunggu pekerja untuk dapat beradaptasi melainkan disediakan untuk memudahkan para pekerja kolektor gerbang tol, pernyataan diatas tersebut berdasarkan penilaian observasi (Quible, 2001; Gie, 2000; dan Nurmianto, 2003). Hal tersebut
juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) yang
menyatakan bahwa apabila antara sarana, prasarana atau peralatan kerja dengan pekerja sudah cocok, maka kelelahan dapat dicegah sehingga proses kerja akan lebih efisien dan berdampak pada produktivitas tinggi. Studi pendahuluan yang dilakukan telah menggambarkan baik pada faktor lingkungan langsung maupun tidak langsung yang telah mengganggu kenyamanan pekerja kolektor gerbang tol yaitu kelelahan kerja terjadi akibat faktor lingkungan tidak langsung melainkan adanya pajanan seperti kebisingan, pencahayaan dan suhu kelembaban ruang kerja. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Lingkungan Kerja Fisik Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016.
9
1.2.
Rumusan Masalah PT Jasa Marga (Persero) Tbk merupakan perusahaan yang berperan
sebagai pengembang sekaligus operator jalan tol yang beroperasi selama 24 jam untuk melayani masyarakat, dengan pertumbuhan volume kendaraan yang terus meningkat setiap harinya menuntut kolektor gerbang tol untuk kerja ekstra dan merasakan kelelahan saat bekerja. Berdasarkan studi pendahuluan bulan Agustus pada kolektor gerbang tol Cililitan 2 didapatkan hasil pengukuran intensitas kebisingan yang diterima pekerja bervariasi mencapai diatas NAB yang telah ditetapkan yaitu 85 dB, pengukuran pencahayaan pada ruang kerja didapatkan hasil yang bervariasi yaitu dibawah standar yang ditetapkan yaitu 300 lux untuk jenis pekerjaan administrasi rutin, sedangkan pengukuran suhu dan kelembaban didapatkan hasil melebihi standar yang diperkenankan yaitu sebesar 18-28 ˚C untuk suhu dan 40%-60% untuk kelembaban. Hasil pengukuran kelelahan menggunakan kuesioner Subjective Self Ratting Test dari 6 karyawan kolektor gerbang tol Cililitan, diketahui bahwa 4 karyawan kelelahan berat, dan 2 karyawan kelelahan ringan. Selain itu perbedaan tingkatan kelelahan kerja antar shift siang dan malam yaitu pekerja shift siang lebih lelah dibanding dengan pekerja shift malam. Untuk itu perlu dilakukannya penelitian terkait hubungan lingkungan kerja fisik dengan kelelahan kerja dan mempertimbangkan shift kerja di PT Jasa Marga.
10
1.3.
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran tingkat kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016? 2. Bagaimana gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016? 3. Bagaimana gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016? 4. Bagaimana gambaran suhu dan kelembaban ruangan di tempat kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-TomangCengkareng Tahun 2016? 5. Bagaimana gambaran sistem shift pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016? 6. Apakah ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016? 7. Apakah ada hubungan pencahayaan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016?
11
8. Apakah ada hubungan suhu dan kelembaban ruangan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016? 9. Apakah ada hubungan shift kerja dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016? 1.4.
Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan lingkungan kerja fisik dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran tingkat kelelahan kerja di tempat kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016. 2. Diketahuinya gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016. 3. Diketahuinya gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016.
12
4. Diketahuinya gambaran suhu dan kelembaban ruangan di tempat kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016. 5. Diketahuinya gambaran sistem shift pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016. 6. Diketahuinya hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016. 7. Diketahuinya hubungan pencahayaan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016. 8. Diketahuinya hubungan suhu dan kelembaban ruangan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016. 9. Diketahuinya hubungan shift kerja dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng Tahun 2016? 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Bagi Perusahaan Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi perusahaan sehingga perusahaan dapat membuat suatu program atau kebijakan terkait dengan upaya pencegahan terjadinya kelelahan kerja
13
pada pekerja. Selain itu dapat meningkatkan kinerja (produktifitas) dan efisiensi pekerjaan, meningkatkan moral dan kepuasan pekerja sehingga mengurangi angka kecelakaan, kesakitan, hilangnya hari kerja, menurunkan turn over rate serta absenteeism (loss time), menghindari terjadinya kehilangan tenaga kerja yang terampil dan skilled, membangun komitmen untuk selalu bersama-sama memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja. 1.5.2 Manfaat Bagi Fakultas Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan dapat dijadikan referensi dibidang keselamatan dan kesehatan kerja bagi civitas akademika. 1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan wawasan tentang perbedaan tingkat kelelahan kerja tenaga kerja berdasarkan sistem shift pagi, siang dan malam, dan mengetahui hubungan kelelahan dengan lingkungan kerja serta sebagai penerapan ilmu yang telah didapat selama dibangku perkuliahan. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan kerja fisik (kebisingan, pencahayaan dan suhu kelembaban) dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional dan pengambilan sampel dengan menggunakan simple random sampling yang dilakukan pada bulan Oktober
14
2016 dengan lokasi PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng di gerbang tol Cililitan. Populasi penelitian adalah kolektor gerbang tol Cililitan I dan II berjumlah 93 karyawan pada 7 gardu yang bekerja pada shift pagi, siang dan malam dan untuk sampel yang diambil adalah 42 karyawan. Data yang diperoleh adalah data sekunder yang di dapat dari perusahaan dan data primer yang didapat dengan menggunakan instrumen penelitian yaitu wawancara dengan menggunakan kuesioner alat ukur tingkat kelelahan kerja yaitu Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Industrial Fatigue Research Comitte Japan (IFRC Jepang), selanjutnya pengukuran dengan menggunakan Sound Level Meter untuk kebisingan, Lux Meter untuk pencahayaan dan Thermohygrometer untuk suhu dan kelembaban ruangan. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui frekuensi dan distribusi dari variabel yang diteliti. Analisis bivariat (Uji T-Independent) dan (Uji Chi-Square) digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelelahan Kerja 2.1.1 Definisi Kelelahan Kerja Kelelahan mengandung 3 pengertian yaitu terdapatnya penurunan hasil kerja secara fisiologik, adanya perasaan lelah dan merasa bosan bekerja. Semua jenis pekerjaan akan menghasilkan kelelahan kerja. Lelah bagi setiap orang akan mempunyai arti tersendiri dan bersifat subjektif. Lelah merupakan suatu perasaan. Kelelahan kerja adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja, yang dapat disebabkan oleh: a. Kelelahan yang sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual) b. Kelelahan fisik umum c. Kelelahan syaraf d. Kelelahan oleh lingkungan yang monoton e. Kelelahan oleh lingkungan kronis terus-menerus sebagai faktor secara menetap (Suma’mur, 2009). Kelelahan bagi setiap orang memiliki arti tersendiri dan bersifat subjektif. Lelah adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan kerja dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Menurut Nurmianto (2003), kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja.
15
16
Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statis pun (static muscular loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan RSI (Repetition Strain Injuries), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive). Selain itu karakteristik kelelahan akan meningkat dengan
semakin
lamanya
pekerjaan
yang
dilakukan,
sedangkan
menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapat dengan memberikan istirahat yang cukup. Kelelahan berbeda dengan kejemuan, sekalipun kejemuan adalah suatu faktor dari kelelahan (Suma’mur, 1999). Menurut Tarwaka, dkk (2004) kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan setelah istirahat. Kelelahan kerja adalah suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja (Budiono, 2003). Jadi dapat disimpulkan bahwa kelelahan kerja bisa menyebabkan penurunan kinerja yang dapat berakibat pada peningkatan kesalahan kerja, gangguan kesehatan pekerja dan kecelakaan kerja. Menurut Suma’mur (1996) terdapat empat kelompok sebab kelelahan yaitu: keadaan monoton, beban pekerjaan baik fisik maupun mental, keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan, keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, kekhawatiran atau konflik, penyakit atau perasaan sakit.
17
2.1.2 Jenis Kelelahan Kerja Kelelahan dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
berdasarkan proses dan waktu terjadinya kelelahan. a. Berdasarkan proses, meliputi: 1. Kelelahan otot (muscular fatigue) Kelelahan otot menurut Suma’mur (1999) adalah suatu keadaan yang terjadi setelah kontraksi otot yang kuat dan lama , dimana otot tidak mampu lagi berkontraksi dalam jangka waktu tertentu. Kelelahan otot menunjuk pada suatu proses yang mendekati definisi fisiologik yang sebenarnya yaitu berkurangnya respons terhadap stimulasi yang sama. Kelelahan otot secara umum dapat dinilai berdasarkan persentase penurunan kekuatan otot, waktu pemulihan kelelahan otot, serta waktu yang diperlukan sampai terjadi kelelahan. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot secara fisiologis, dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan (Budiono. 2003). 2. Kelelahan Umum Pendapat Grandjean (1995) dalam Tarwaka, dkk (2004), biasanya kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja, yang sebabnya adalah pekerjaan yang monoton, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-
18
sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi. Secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik. Pengaruh-pengaruh ini seperti berkumpul didalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah (Suma’mur, 2009). Menurut Budiono (2003), gejala umum kelelahan adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya terasa berat dan merasa mengantuk. b. Berdasar waktu terjadi kelelahan, meliputi: 1. Kelelahan akut, yaitu disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh organ tubuh secara berlebihan dan datangnya secara tibatiba. 2. Kelelahan kronis merupakan kelelahan yang terjadi sepanjang hari dalam jangka waktu yang lama dan kadang-kadang terjadi sebelum melakukan
pekerjaan,
seperti
perasaan
“kebencian”
yang
bersumber dari terganggunya emosi. Selain itu timbulnya keluhan psikosomatis seperti meningkatnya ketidakstabilan jiwa, kelesuan umum, meningkatnya sejumlah penyakit fisik seperti sakit kepala, perasaan pusing, sulit tidur, masalah pencernaan, detak jantung yang tidak normal, dan lain-lain (Budiono, 2003).
19
2.1.3 Gejala Kelelahan Kerja Menurut Gilmer (1966) dan Cameron (1973), ada beberapa gejala akibat kelelahan kerja antara lain: a. Menurun kesiagaan dan perhatian. b. Penurunan dan hambatan persepsi. c. Cara berpikir atau perbuatan anti sosial. d. Tidak cocok dengan lingkungan. e. Depresi, kurang tenaga, dan kehilangan inisiatif. f. Gejala umum (sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi paru dan jantung, kehilangan nafsu makan, gangguan pencemaan, kecemasan, perubahan tingkah laku, kegelisahan, dan kesukaran tidur). Jika menderita lelah berat secara terus menerus maka akan mengakibatkan kelelahan kronis dengan gejala lelah sebelum bekerja. Jika terus berlanjut dan menimbulkan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya maka kelelahan itu dinamakan lelah klinis yang akan mengakibatkan malas bekerja (Sedarmayanti, 2009). 2.1.4 Mekanisme Kelelahan Proses metabolisme tubuh ketika melakukan aktivitas yang lebih berat membuat tubuh tidak bisa lagi hanya mengandalkan pasokan oksigen tapi juga proses biokimia. Proses biokimia ini menghasilkan asam laktat yang kemudian memasuki aliran darah. Penumpukan asam laktat ini akan membuat tubuh merasa lelah. Proses biokimia yang terjadi antara kelelahan otot dan kelelahan umum sangat berbeda.
20
a. Mekanisme Kelelahan Otot Dengan Proses Biokimia Ketika sebuah otot berkontraksi, dibutuhkan energi untuk melakukan kontraksi itu. Energi yang dibutuhkan berasal dari sumber kimia. Dalam hal ini ATP diubah menjadi ADP, sehingga secara demikian dibebaskan energi untuk kontraksi otot. Setelah energi tadi terpakai, maka tenaga yang telah dipakai tadi akan diganti dengan cadangan tenaga yang diperoleh dari perubahan glikogen dalam otot menjadi asam laktat. Pada peristiwa ini dibebaskan energi, yang kemudian digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP lagi. 1/5 dari asam laktat akan dibakar secara aerob untuk menghasilkan energi yang akan digunakan untuk mengubah sisa dari asam laktat (4/5 bagian lainnya) menjadi glikogen otot lagi. Proses glikogen diubah menjadi asam laktat terjadi dalam keadaan anaerob. Peristiwa ini dikenal juga dengan sebutan proses Embden-Meyerhoff. Faktor- Faktor Penyebab Kelelahan Otot: 1.) Penumpukan asam laktat Terjadinya
kelelahan
otot
yang
disebabkan
oleh
penumpukan asam laktat telah lama dicurigai. Penumpukan asam laktat pada intramuscular dengan menurunnya puncak tegangan (ukuran dari kelelahan apabila rasio asam laktat pada otot merah dan otot putih meningkat, puncak tegangan otot menurun. Jadi bisa diartikan bahwa besarnya kelelahan pada serabut-serabut otot putih berhubungan
dengan
besarnya
kemampuan
mereka
untuk
membentuk asam laktat. Pendapat bahwa penumpukan asam laktat
21
menyertai didalam proses kelelahan selanjutnya diperkuat oleh fakta dimana dua mekanisme secara fisiologi yang karenanya asam laktat menghalang-halangi fungsi otot. Kedua mekanisme tersebut tergantung kepada efek asam laktat pada pH intra selular atau konsentrasi ion hydrogen (H). Dengan meningkatnya asam laktat, konsentrasi H meningkat, dan pH menurun. Di pihak lain, peningkatan konsentrasi ion H menghalangi proses rangkaian eksitasi, oleh menurunnya sejumlah Ca yang dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma dan gangguan kapasitas mengikattroponin. Peningkatan konsentrasi ion H juga menghambat kegiatan fosfofruktokinase, enzim kunci yang terlibat di dalamanaerobic glikolisis. Demikian lambatnya hambatan glikolisis, mengurangi penyediaan ATP untuk energi. 2.) Pengosongan penyimpanan ATP dan PC Karena ATP merupakan sumber energi secara langsung untuk kontraksi otot, dan PC dipergunakan untuk Resintesa ATP secepatnya, pengosongan Fosfagen intraseluler mengakibatkan kelelahan. Bahwa kelelahan tidak berasal dari rendahnya fosfagen didalam otot . Penelitian terhadap otot katak yang dipotong pada otrot sartoriusnya. Sebagai contoh, telah diingatkan bahwa selama kegiatan kontraksi, konsentrasi ATP didaerah miofibril mungkin lebih berkurang daripadadalam otot keseluruhan. Oleh karena itu, ATP menjadi terbatas didalam mekanisme kontraktil, walaupun hanya terjadi penurunan yang moderat dari jumlah total ATP
22
didalam otot. Kemungkinan yang lain adalah bahwa hasil energi didalam pemecahan ATP lebih sedikit dari jumlah ATP yang tersedia didalam batas-batas untuk kontreaksi otot. Alasan dari penurunan
ini
konsentrasi
mungkin
ion
didalamintraseluler,
H
dihubungkan
dalam dan
jumlah
merupakan
dengan kecil
peningkatan
sampai
penyebab
besar
utama
dari
penumpukan asam laktat. 3.) Pengosongan Simpanan Glikogen Otot Seperti halnya dengan asam laktat dan kelelahan , hubungan sebab akibat antara pengosongan glikogen ototdan kelelahan otot tidak dapat ditentukan dengan tegas . Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kelelahan selama periode latihan yang
lama.
Rendahnya
tingkatan/level
glukosa
darah,
menyebabkan pengosongan cadangan glikogen hati. Kelelahan otot lokal disebabkan karena pengosongan cadangan glikogen otot. b. Mekanisme Kelelahan Umum Dengan Proses Biokimia Kelelahan umum dapat berhubungan erat dengan gula darah. Selain itu lelah dapat menjadi salah satu gejala bagi suatu penyakit karena menurunnya kadar gula darah seseorang, yang dikenal dengan hipoglikemia. Dalam ilmu kedokteran, gula darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalam darah. Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh. Glukosa yang dialirkan melalui darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh.
23
Tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh. Level glukosa di dalam darah diatur oleh pankreas. Bila konsentrasi glukosa menurun, karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, pankreas melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel di lever (hati). Kemudian sel-sel ini mengubah glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis). Glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga meningkatkan level gula darah. Apabila level gula darah meningkat, hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang terdapat di dalam pankreas. Hormon ini, yang disebut insulin, menyebabkan hati mengubah lebih banyak glukosa menjadi glikogen. Proses ini disebut glikogenosis, yang mengurangi level gula darah. Umumnya seseorang yang sedang mengalami capek atau lelah akan mengantuk. Mengantuk disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen pada otak. Hal ini disebabkan karena penurunan insulin yang menyebabkan tingginya kadar glukosa dalam darah. Tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) akan mengakibatkan viskositas darah meningkat. Peningkatan viskositas (kekentalan)darah akan menyebabkan penurunan volume plasma. Penurunan volume plasma ini juga berarti bahwa volume darah yang dipompa oleh jantung menurun. Hal ini berdampak pada kurangnya transpor darah ke otak sehingga otak tidak mendapatkan cukup oksigen. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya rasa kantuk. Faktor Penyebab Kelelahan umum (general fatigue): Tidak cukup tidur, Kekurangan energi,
24
Anemia, Depresi, Kebanyakan kafein, Penyakit jantung, Diabetes, Dehidrasi. 2.1.5 Metode Pengukuran Kelelahan Kerja Menurut Tarwaka, dkk (2004) untuk mengetahui kelelahan seperti ini dapat diukur dengan menggunakan : a. Waktu reaksi (Psychomotor test) Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu dan denting suara serta sentuhan kulit atau goyangan badan sebagai stimuli. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk adanya pelambatan pada proses faal syaraf dan otot. b. Uji mental (Bourdon Wiersma test) Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan. Bourdon Wiersma test, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian dan konstansi.
Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin lelah
seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma tes lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental.
25
c. Uji hilangnya kelipan (Flicker Fusion Test) Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara 2 kelipan. Uji kelipan dapat digunakan untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja. d. Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Namun demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti; target produksi; faktor sosial; dan perilaku psikologis dalam kerja. Sedangkan kualitas output (kerusakan produk,
penolakan
produk)
atau
frekuensi
kecelakaan
dapat
menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor tersebut bukanlah merupakan kausal faktor. e. Perasaan kelelahan secara subjektif (Subjective Self Rating Test of Fatigue) Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat mengukur tingkat kelelahan subjektif. Sinclair (1992) menjelaskan beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengukuran subjektif. Metode antara lain: ranking methods, rating methods, questionnaire methods,interview dan checklists. Gejala atau perasaan atau tanda yang ada hubunganya dengan kelelahan adalah:
26
1. Perasaan berat dikepala
16. Cenderung untuk lupa
2. Menjadi lelah diseluruh badan
17. Kurang kepercayaan diri
3. Kaki merasa berat
18. Cemas terhadap sesuatu
4. Menguap
19. Tidak dapat mengontrol sikap
5. Merasa kacau pikiran
20. Tidak dapat tekun dalam melakukan
6. Mengantuk
pekerjaan
7. Merasa berat pada mata
21. Sakit kepala
8. Kaku dan canggung dalam
22. Kekakuan dibahu
gerakan
23. Merasa nyeri dipunggung
9. Tidak seimbang dalam berdiri
24. Merasa pernafasan tertekan
10. Mau berbaring
25. Merasa haus
11. Merasa susah berfikir
26. Suara serak
12. Lelah bicara
27. Pusing
13. Gugup
28. Spasme kelopak mata
14. Tidak dapat berkonsentrasi
29. Tremor pada anggota badan
15. Tidak dapat memfokuskan
30. Merasa kurang sehat.
perhatian terhadap sesuatu Gejala perasaan atau tanda 1-10 menunjukan melemahnya kegiatan,
11-20
menunjukan
melemahnya
motivasi,
dan
20-30
menunjukan kelelahan fisik sebagai akibat dari keadaan umum yang melelahkan (Tarwaka, 2004). 2.2 Faktor Lingkungan Kerja Fisik Yang Mempengaruhi Kelelahan Kerja Menurut Sedarmayanti (2009) lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi. Kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang
27
baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien. Secara umum lingkungan dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Lingkungan Fisik Lingkungan yang terdapat disekitar manusia, lingkungan fisik contohnya: cuaca, musim, keadaan geografis, dan struktur geologi dan lain-lain. b. Lingkungan Non Fisik Lingkungan non fisik adalah lingkungan yang muncul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, misalnya: sosial budaya, norma, adat istiadat, dan lain-lain. Ditempat kerja lingkungan fisik merupakan arti semua keadaan yang terdapat disekitar tempat kerja, akan mempengaruhi pekerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan kerja merupakan keseluruh alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja,
metode
kerjanya,
serta
pengaturan
kerjanya
baik
sebagai
perseorangan maupun sebagai kelompok (Sedarmayanti, 2009). Lingkungan fisik dapat dibagi menjadi dua kategori antara lain: a. Lingkungan yang berhubungan langsung dengan pekerja, misalnya: pusat kerja, kursi, meja, alat kerja dan lainnya. b. Lingkungan perantara disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperature atau tekanan panas, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna dan lain-lain (Sedarmayanti, 2009).
28
Lingkungan fisik kerja merupakan faktor eksternal dari penyebab kelelahan kerja yang terdapat disekitar tempat kerja meliputi temperature atau tekanan panas, kelembaban udara, sirkulasi udaram pencahayaan, kebisingan, getaran mekanik, bau-bauan, warna, dan lain-lain. Dalam hal ini akan berpengaruh signifikan terhadap hasil kerja manusia (Wignjosoebroto, 2003). Dengan kata lain kondisi fisik di lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kelelahan kerja, meliputi: 2.2.1 Kebisingan Bunyi didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getarangetaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukkan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut hertz (Hz) dan intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam decibel (dB) (Suma’mur, 1996). Kebisingan
adalah
suara
yang
tidak
dikehendaki
(unwanted/undesired sound). Spooner mendefinisikan bising sebagai suara yang tidak mempunyai kualitas musik. Nilai Ambang Batas (NAB) di Indonesia kebisingan adalah 85 decibel (Permenakertrans No. 13, 2011). Jika lamanya shift lebih dari 8 jam kerja, maka tingkat kebisingan yang harus diturunkan. Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertans No.13, 2011). Selain itu, kebisingan merupakan suara
29
atau bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga karena dalam jangka panjang dapat mengganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi, bahkan kebisingan yang serius dapat menyebabkan kematian (Sedarmayanti, 2009). Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu komunikasi, mengurangi konsentrasi (Budiono, dkk, 2003), sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas. Kebisingan
yang
tidak
terkendalikan
dengan
baik,
juga
dapat
menimbulkan efek lain yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan kerja (Suma’mur,1996). Selain
itu, tenaga kerja
yang terpapar
kebisingan dapat
menyebabkan kelelahan kerja karena denyut nadinya akan naik, tekanan darah naik, dan mempersempit pembuluh darah yang akan menggangu komunikasi serta menganggu konsentrasi dan kemampuan berpikir pekerja sehingga menyebabkan kelelahan kerja (Suma’mur, 1996; Syukri, 1996; Soeripto, 1996). Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kebisingan memiliki hubungan dengan kelelahan kerja salah satunya penelitian menurut Sari (2010), berdasarkan uji Chi-Square untuk menguji pengaruh intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja diperoleh p value 0,001 (p ≤ 0,01) berarti ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap kelelahan kerja secara sangat signifikan pada tenaga kerja bagian screening CV. Mekar Sari Wonosari Klaten.
30
NAB yang diperbolehkan untuk kebisingan selama 8 jam bekerja adalah sebesar 85 dBA. Namun, untuk kebisingan lebih dari 140 dBA tidak diperbolehkan
terpajan
walaupun
sesaat.
Berikut
ini
NAB
yang
diperbolehkan berdasarkan waktu pemaparan yang diperbolehkan: Tabel 2.1 Intensitas Kebisingan yang Diperbolehkan Berdasarkan Waktu Pemaparan dalam Satu Hari Waktu Pemaparan dalam Satu Hari 8 4 2 1 30 15 7.5 3.75 1.88 0.94
Intensitas (dBA)
Kebisingan
Jam
85 88 91 94
Menit
97 100 103 106 109 112
28.12 14.06 7.03 3.52 1.76 Detik 0.88 0.44 0.22 0.11 Sumber: Permenakertrans No. 13, 2011
115 118 121 124 127 130 133 136 139
Tingkat kebisingan yang berlebihan memberikan dampak negatif pada tenaga kerja. Pengaruh utama bising adalah kerusakan pada indera pendengar, yang dapat menyebabkan tuli progresif dan lama kelamaan menyebabkan tuli yang bersifat menetap bila terus berada di ruang bising tersebut. Efek kebisingan pada daya kerja adalah timbulnya gangguan
31
komunikasi serta gangguan konsentrasi sehingga dapat menyebabkan kelelahan (Suma’mur, 1994). Hasil penelitian Soeripto (1996) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang terpapar kebisingan akan menyebabkan kelelahan. Terpapar kebisingan yang berlebihan berdampak negatif pada tenaga kerja. Tenaga kerja yang terpapar kebisingan denyut nadinya akan naik, tekanan darah naik, dan mempersempit pembuluh darah sehingga cepat merasa lelah. Syukri
(1996)
menyatakan
kebisingan
menggangu
konsentrasi,
komunikasi, dan kemampuan berpikir. Menurut Suma’mur (1996) dan Buchari (2007), kebisingan dibagi dalam 5 jenis yaitu : 1. Kebisingan continue dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya : mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar. 2. Kebisingan continue dengan spektrum frekuensi yang sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas. 3. Kebisingan terputus–putus (intermittent), misalnya suara lalu lintas, suara pesawat terbang. 4. Kebisingan impulsive berulang, misalnya mesin tempa, pandai besi. 5. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise),misalnya : ledakan, pukulan, tembakan bedil, meriam. Sumber-sumber bising pada dasarnya ada 2 macam yang dilihat dari bentuk sumber suara, yaitu sumber bising titik/bola/lingkaran, dan sumber bising garis. Kebisingan yang diakibatkan lalu lintas adalah
32
kebisingan garis (Suroto, 2010). Bunyi yang ditimbulkan oleh lalu lintas adalah bunyi yang tidak konstan tingkat suaranya. Tingkat gangguan kebisingan yang berasal dari bunyi lalu lintas dipengaruhi oleh tingkat suaranya, seberapa sering terjadi dalam satu satuan waktu, serta frekuensi bunyi yang dihasilkannya (Magrab, 1982). Kebisingan lalu lintas berasal dari suara yang dihasilkan dari kendaraan bermotor, terutama dari mesin kendaraan, knalpot, serta akibat interaksi antara roda dengan jalan. Kendaraan berat (truk, bus) dan mobil penumpang merupakan sumber kebisingan utama di jalan raya. Berikut perbedaan sumber bising titik dengan sumber bising garis: a. Sumber kebisingan titik atau sumber statis; kebisingan ini dihasilkan dari benda tidak bergerak. Suara yang dihasilkan pada sumber ini berbentuk titik-titik dan akan menyebar melalui udara dengan kecepatan suara 340 meter/detik dengan pola penyebaran berbentuk lingkaran dengan sumber kebisingan sebagai pusatnya. Contoh : Mobil sedang berhenti dengan mesin hidup. b. Sumber kebisingan garis atau sumber dinamis; yaitu kebisingan yang dihasilkan oleh sumber bergerak atau alat transportasi. Suara yang dihasilkan dari sumber ini akan menyebar melalui udara dengan pola yang berbentuk selinder yang memanjang dengan sumber kebisingan sebagi sumber utama. Contoh : Suara lalu lintas, kerta api, pesawat udara dll.
33
Sumber-sumber kebisingan menurut Prasetio (1992) dapat bersumber dari: a. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alatalat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung. b. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas, transportasi, industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat-tempat pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lain-lain di luar ruangan atau gedung. Pada sumber lain menyatakan bahwa terdapat kondisi suara atau bunyi yang dapat diterima oleh suatu jenis pekerjaan sampai dengan batas dengar tertinggi sesuai dengan kondisi lingkungannya sebagai berikut: Tabel 2.2 Kondisi Suara/Bunyi dengan Batas Dengar Tertinggi Batas Dengar Tertinggi Menulikan
Desibel (dB) 120 110 100
Sangat Hiruk Pikuk
90 70
Kuat
70 60
Sedang
50 40
Tenang
30 20
Sangat Tenang
10 0 Sumber: Wignjosoebroto, 2003.
Kondisi Suara/Bunyi Halilintar Meriam Mesin Uap Jalan hiruk pikuk Perusahaan sangat gaduh Pluit Polisi Kantor gaduh Jalan pada umumnya Radio Perusahaan Kantor pada umumnya Percakapan kuat dan Radio perlahan Rumah tenang Kantor pribadi Percakapan Suara daun-daun Berbisik dan batas terendah
34
Instrumen pengukuran kebisingan ini menggunakan pencatatan otomatis yang ada pada alat sound level meter serta dengan pencatatan manual tiap menit dengan cara melihat angka-angka yang ditampilkan oleh sound level meter. Alat ini digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan antara 30-130 dBA dan dari frekuensi 20Hz-20.000Hz. Alat ini memiliki bentuk yang didesain secara dinamis dan dapat meminimalisir gangguan terhadap medan suara yang sedang dilakukan pengukuran. Alat ini dilengkapi dengan layar grafis, yang dapat memerlihatkan hasil pengukuran kebisingan dengan lebih besar, sehingga memungkinkan pengukuran seketika dengan mudah. Data yang didapat dari hasil pengukuran dapat disimpan pada kartu memori Secure Digital untuk selanjutnya dilakukan proses posting dan analisis. SLM merupakan alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan di tempat kerja. 2.2.2 Pencahayaaan Intensitas pencahayaan di tempat kerja dimaksudkan untuk menberikan pencahayaan kepada benda-benda yang merupakan objek kerja, peralatan atau mesin dan proses produksi serta lingkungan kerja. Untuk itu diperlukan intensitas pencahayaan yang optimal. Selain menerangi objek kerja, pencahayaan juga diharapkan cukup memadai menerangi keadaan sekelilingnya (SNI 16-7062, 2004). Pencahayaan ditempat kerja merupakan salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda ditempat kerja. Pencahayaan yang baik adalah pencahayaan yang memungkinkan tenaga kerja melihat pekerjaan dengan teliti, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu serta membantu
35
menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan (Herry dan Eram, 2005). Pencahayaan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama bekerja. Pengaruh dari pencahayaan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja, kelelahan mental, keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala disekitar mata, kerusakan indra mata. Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara pada penurunan performansi kerja (Abidin dan Widagdo, 2009). Akibat dari mata yang melelahkan menjadi sebab kelelahan mental pada pekerja. Gejalanya meliputi sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, daya konsentrasi dan kecepatan berpikir. Lebih dari itu, apabila pekerja mencoba mendekatkan matanya terhadap objek untuk memperbesar ukuran benda, maka akomodasi lebih dipaksa, dan mungkin terjadi pengelihatan rangkap atau kabur. Pencegahan dari terjadinya kelelahan mental oleh upaya mata yang berlebihan, perlu diusahakan sebagai berikut: a. Perbaikan kontras: cara ini termudah dan sederhana serta dilakukan dengan memilih latar pengelihatan yang tepat. b. Meninggikan pencahayaan: biasanya pencahayaan harus sekurangkurangnya dua kali dibesarkan. Dalam berbagai hal, masih perlu dipakai lampu-lampu didaerah kerja untuk lebih memudahkan pengelihatan.
36
c. Pemindahan tenaga kerja dengan visual yang lebih baik setingitingginya. Kerja malam harus dikerjakan oleh tenaga kerja berusia muda, yang apabila usianya bertambah dapat dipindahkan kepada pekerjaan yang kurang diperlukan ketelitian (Suma’mur, 1996). Pencahayaan tempat kerja yang memadai (Good Lighting), baik alami atau buatan, memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan, keselamatan dan produktivitas tenaga kerja. Baik tidaknya pencahayaan disuatu tempat selain ditentukan oleh kuantitas
atau tingkat iluminansi yang
menyebabkan objek dan sekitarnya terlihat dengan jelas, tetapi juga oleh kulitas dari pencahayaan tersebut yang diantaranya menyangkut arah penyebaran atau distribusi cahaya, tipe dan tingkat kesilauan. Demikian pula dengan dekorasi tempat kerja khususnya pada warna-warna dinding, lagit-langit, peralatan kerja dan lain-lain ikut menentukan tingkat pencahayaan ditempat kerja (Siswanto, 1991). Siswanto (1991) menyatakan bahwa pencahayaan terbagi atas buatan dan alami, sedangkan pencahayaan buatan yang digunakan dalam perusahaan ataupun perkantoran dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu: a. Pencahayaan Umum Pencahayaan yang diharapkan dapat menerangi seluruh ruangan secara merata. Pencahayaan harus menghasilkan iluminansi yang merata pada bidang kerja, dimana bidang kerja ini biasanya terletak pada ketinggian 30-36 inci diatas lantai. Iluminansi maksimum dan minimum pada titik
37
ukur hendaknya tidak lebih atau kurang 1/6 kali pencahayaan rata-rata suatu ruang kerja. b. Pencahayaan Lokal Tipe pencahayaan ini diperlukan apabila intensitas pencahayaan yang merata tidak diperlukan untuk semua tempat kerja, tetapi hanya tempat tertentu yang membutuhkan tingkat pencahayaan yang lebih dari daerah sekitarnya, maka lampu tambahan dapat dipenuhi. c. Pencahayaan Tambahan Sistem pencahayaan yang diperlukan khususnya untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian yang tinggi atau membedakan benda halus atau untuk memeriksa keadaan suatu mesin. Kerugian dari sistem pencahayaan ini adalah menyebabkan kesilauan. Untuk mengatasi maka sistem pencahayaan perlu dikoordinasikan dengan sistem pencahayaan umum. Menurut SNI 16-7062-2004, untuk menentukan titik pengukuran jarak tertentu dapat dibedakan berdasarkan luas ruangan sebagai berikut : 1.) Luas ruangan kurang dari 10 meter² : titik potong horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap satu meter. Contoh daerah pengukuran intensitas pencahayaan umum untuk luas ruangan kurang dari 10 meter² seperti Gambar 2.1 berikut ini.
38
1m
1m
1m
1m
1 meter
1 meter
1 meter
Gambar 2.1 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas kurang dari 10m2 Sumber: SNI. 2004. 2.) Luas ruangan antara 10m2 sampai 100m2 : titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3 meter. Contoh daerah pengukuran intensitas pencahayaan umum untuk luas ruangan antara 10m2 sampai 100m2 seperti pada Gambar 2.2 berikut ini. 3m
3m
3m
3m
3 meter
3 meter 3 meter
Gambar 2.2 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas antara 10m2 sampai 100m2 Sumber: SNI. 2004. 3.) Luas ruangan lebih dari 100 meter² : titik potong horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak 6 meter. Contoh daerah pengukuran intensitas pencahayaan umum untuk luas ruangan lebih dari 100 meter² seperti Gambar 2.3 berikut ini.
39
6m
6m
6m
6m
6 meter
6 meter
6 meter
Gambar 2.3 Penentuan titik pengukuran pencahayaan umum dengan luas>dari 100m2 Sumber:SNI. 2004. Alat yang digunakan saat pengukuran pencahayaan adalah Lux Meter LX-204. Digital Lux Meter adalah merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur kuat atau lemahnya cahaya yang terdapat pada suatu ruangan atau tempat tertentu. Berbagai jenis cahaya yang masuk pada lux meter baik itu cahaya alami ataupun buatan akan mendapatkan respon yang berbeda dari sensor. Berbagai warna yang diukur akan menghasilkan suhu warna yang berbeda dan panjang gelombang yang berbeda pula. Sensor pada alat menangkap cahaya. Energi cahaya yang menyinari sel foto diteruskan oleh sel foto menjadi energi arus listrik. Hasil dari pengukuran yang dilakukan akan ditampilkan pada layar panel. Pembacaan hasil yang ditampilkan oleh layar panel adalah kombinasi dari efek panjang gelombang yang ditangkap oleh sensor. Apabila kita telah mengetahui intensitas cahaya pada suatu ruangan, kita dapat menentukan lampu yang tepat untuk dipasang pada setiap ruangan. Sehingga, dihasilkan tingkat pencahayaan yang sesuai standar, agar tingkat
40
pencahayaan ruangan sesuai dengan fungsi ruangan. Fungsi ruangan yang dimaksud adalah jenis aktifitas yang dilakukan di dalam ruangan tersebut. Biasanya alat ini banyak digunakan pada arsitektur, penelitian, fotografi, dan lain-lain. Setelah nanti dilakukan pengukuran, evaluasi pencahayaan harus dilakukan untuk menentukan tingkatan cahaya yang diterima telah termasuk ke dalam standar tingkat pencahayaan minimal. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri, intensitas cahaya di ruang kerja, dijelaskan dalam tabel 2.3 Tingkat Pencahayaan Lingkungan Kerja sebagai berikut: Tabel 2.3 Standar Tingkat Pencahayaan Lingkungan Kerja Jenis Kegiatan Pekerjaan kasar dan tidak terus – menerus Pekerjaan kasar dan terus – menerus Pekerjaan rutin
Tingkat Pencahayaan Minimal (Lux) 100 200 300
Pekerjaan agak halus 500 Pekerjaan halus 1000 Pekerjaan amat halus
Pekerjaan terinci
1500 Tidak menimbulkan bayangan 3000
Keterangan Ruang penyimpanan & ruang peralatan/instalasi yang memerlukan pekerjaan yang kontinyu Pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasar Ruang administrasi, ruang kontrol, pekerjaan mesin & perakitan/penyusun Pembuatan gambar atau bekerja dengan mesin kantor, pekerjaan pemeriksaan atau pekerjaan dengan mesin Pemilihan warna, pemrosesan tekstil, pekerjaan mesin halus & perakitan halus Mengukir dengan tangan, pemeriksaan pekerjaan mesin dan perakitan yang sangat halus Pemeriksaan
pekerjaan,
perakitan
41
Tingkat Pencahayaan Keterangan Minimal (Lux) Tidak sangat halus menimbulkan bayangan Sumber: Kepmenke RI. No. 1405/Menkes/SK/XI/02 Jenis Kegiatan
2.2.3 Iklim Kerja Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya, yang dimaksudkan
dalam
peraturan
ini
adalah
iklim
kerja
panas
(Permenakertans No.13, 2011). Tekanan panas merupakan salah satu faktor fisik yang terdapat dilingkungan kerja, disebabkan oleh dua kemungkinan : aliran udara dalam ruang kerja yang kurang baik atau sistem ventilasi yang kurang sempurna; adanya sumber panas yang ada di lingkungan kerja, misalnya mesin uap, mesin diesel, mesin pengecor dan lain-lain (Budiono, 2003). Suhu dingin mengurangi effisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi kerja pikir, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan untuk dirangsang (Suma’mur, 1996). Pekerja akan dapat dan mampu bekerja dengan sebaik-baiknya apabila kondisi lingkungan kerja yang nyaman dan terdapat temperatur yang hampir sama antara metabolisme tubuh dan lingkungan sekitarnya
42
(Soewito, 1985). Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivias kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24°-27 °C (Wignjosoebroto, 2003). Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20 % untuk kondisi panas dan 35 % untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh. (Hardi, 2006). Syukri (1996) menyatakan bahwa lingkungan fisik kerja yang terlalu panas mengakibatkan tenaga kerja cepat lelah karena kehilangan cairan dan garam. Bila produksi panas tidak seimbang dengan panas yang dikeluarkan tubuh, akan menghasilkan kondisi kerja yang tidak nyaman. Suhu tempat kerja yang melebihi 30 °C akan mempercepat kelelahan tenaga kerja (Suma’mur, 1994). Menurut Grandjean, bahwa kondisi lingkungan kerja yang panas akan dapat menyebabkan rasa letih dan kantuk, selain itu mengalami kelelahan panas atau heat exhaustion dapat mengurangi kestabilan dan meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja (Tarwaka, dkk, 2004). Nilai Ambang Batas untuk cuaca (iklim) kerja menurut Suma’mur (1996) adalah 21° C- 30° C suhu basah. Iklim kerja yang
tidak
tepat
dapat
menimbulkan
gangguan
kesehatan
dan
mengakibatkan kelelahan, yang pada akhirnya akan menurunkan
43
produktifitas kerja. Berdasarkan hasil penelitian Sulistioningsih (2013) di bagian Food Production 1 (FP1)/Masako Packing PT. Ajinomoto Indonesia Mojokerto diperoleh bahwa suhu tertinggi yaitu 30° C dan suhu terendah yaitu 26° C. Dari hasil statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara suhu ekstrim dengan kelelahan kerja. Hal ini dapat dilihat dari nilai P = 0,006 yang lebih kecil dari 0.05. Ada 2 (dua) jenis rumus perhitungan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) menurut Permenakertrans No. 13 (2011), yaitu: a. Rumus untuk pengukuran dengan memperhitungkan radiasi sinar matahari, yaitu tempat kerja diluar ruangan yang terkena radiasi sinar matahari secara langsung: ISSB = 0.7 Suhu Basah Alami + 0.2 Suhu Bola + 0.1 Suhu Kering b. Rumus untuk pengukuran tempat kerja di dalam atau diluar ruangan tanpa pengaruh radiasi sinar matahari: ISBB = 0.7 Suhu Basah Alami + 0.3 Suhu Bola Dari hasil pengukuran ISBB tersebut selanjutnya disesuaikan dengan beban kerja yang diterima oleh pekerja, kemudian dilanjutkan pengaturan waktu kerja-waktu istirahat yang tetap dapat bekerja dengan aman dan sehat. Berikut ini NAB iklim kerja ISBB yang diperkenankan: Tabel 2.4 NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang Diperkenankan ISBB (°C) Beban Kerja Pengaturan Waktu Kerja Setiap Jam Ringan Sedang Berat 75% - 100% 31.0 28.0 50% - 75% 31.0 29.0 27.5 25% - 50% 32.0 30.0 29.0 0% - 25% 32.2 31.1 30.5 Sumber: Permenakertrans No. 13, 2011
44
Pengukuran tekanan panas dengan Quest Thermal Environmental Monitor, perlu mempertimbangkan beban kerja sesuai dengan klasifikasi beban kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 dan mengukur waktu kerja tenaga kerja: a. Beban Kerja Beban kerja adalah suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi. Beban kerja merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara tuntutan tugas-tugas lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja, keterampilan perilaku dan persepsi dari pekerja (Tarwaka, 2013). Setiap tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Apabila beban kerja lebih besar daripada kemampuan tubuh maka akan terjadi rasa tidak nyaman, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan produktivitas menurun (Santoso, 2004). Berdasarkan hasil penelitian dari Ihsan dan Rachmatiah (2015) pada pekerja di bagian Divisi Stamping PT.X bahwa terdapat hasil analisis statistik diperoleh adanya hubungan antara kelelahan kerja dengan beban kerja (p=0,000) di Divisi Stamping PT.X Permenakertrans No 13 (2011) mengelompokkan beban kerja menjadi beban kerja ringan, sedang dan berat. Penetapan beban kerja tersebut sampai saat ini selalu dikaitkan dengan konsumsi energi atau jumlah kalori yang dikeluarkan pekerja. Perhitungan beban kerja dapat dilanjutkan untuk dihitung dengan memperhatikan aktivitas kerja sebagai berikut:
45
1. Pengamatan pada setiap aktivitas tenaga kerja (kategori jenis pekerjaan dan posisi badan), sekurang-kurangnya 4 jam kerja dalam satu hari kerja dan diambil rerata setiap jam. 2. Hitung dan catat waktu aktivitas tenaga kerja menggunakan stopwatch. 3. Beban kerja setiap aktivitas kerja tenaga kerja dinilai dengan menggunakan tabel perkiraan beban kerja menurut kebutuhan energi sebagai berikut: Tabel 2.5 Perkiraan Beban Kerja Menurut Kebutuhan Energi
1 No
1
2
3
Pekerjaan
Pekerjaan dengan tangan Kategori I (contoh: menulis, merajut) (0,30) Kategori II (contoh: menyetrika) (0,70) Kategori III (contoh: mengetik) (1,10) Pekerjaan dengan satu tangan Kategori I (contoh: menyapu lantai) (0,90) Kategori II (contoh: menggergaji) (1,60) Kategori III (contoh: memukul palu) (2,30) Pekerjaan dengan dua lengan Kategori I (contoh: menambal logam, mengemas barang dalam dus) (1,25) Kategori II (contoh: memompa, menempa besi) (2,25) Kategori III (contoh: mendorong kereta bermuatan) (3,25)
Posisi Badan 2 3
Duduk Berdiri Berjalan (0,3) (0,6) (3,0)
4 Berjalan Mendaki (3,8)
0,60
0,90
3,30
4,10
1,00
1,30
3,70
4,50
1,40
1,70
4,10
4,90
1,20
1,50
3,90
4,70
1,90
2,20
4,60
5,40
2,60
2,90
5,30
6,10
1,55
1,85
4,25
5,05
2,55
2,85
5,25
6,05
3,55
3,85
6,25
7,05
46
1 No
Pekerjaan
Posisi Badan 2 3
Duduk Berdiri Berjalan (0,3) (0,6) (3,0)
4 Berjalan Mendaki (3,8)
Pekerjaan dengan menggunakan gerakan tangan Kategori I (contoh: pekerjaan 4,05 4,35 6,75 7,55 administrasi) 4 (3,75) Kategori II (contoh: membersihkan 9,05 9,35 11,75 12,55 karpet, mengepel) (8,75) Kategori III (contoh: menggali lobang, 14,05 14,35 16,75 17,55 menebang pohon) (13,75) Keterangan: Aktivitas Kerja = Kategori pekerjaan + posisi badan Contoh: Kategori 1.1 (pekerjaan dengan tangan pada posisi badan duduk, maka aktivitas kerja= (0,3) + (0,3) = 0,6 Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI) 7269:2009 4. Hitung rerata beban kerja berdasarkan tingkat kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi dengan menggunakan rumus dengan langkah sebagai berikut: Rata-rata Beban Kerja: ((BK1 x T1) + …(BKn x Tn) / (T1 +…Tn)) x 60 kkal per jam
Metabolisme Basal untuk laki-laki = berat badan dalam kg x 1 kkal per jam Metabolisme Basal untuk perempuan = berat badan dalam kg x 0.9 kkal per jam
Total Beban Kerja = Rata-rata BK + MB 5. Klasifikasikan beban kerja sesuai standar sebagi berikut: a.) Beban kerja ringan membutuhkan kalori <200 Kkal/jam b.) Beban kerja sedang membutuhkan kalori >200-350 Kkal/jam c.) Beban kerja berat membutuhkan kalori >350-500 Kkal/jam
47
b. Jam Kerja Seorang pekerja bekerja maksimal 40 jam per minggu atau 8 jam sehari. Setelah 4 jam kerja seorang pekerja akan merasa cepat lelah karena pengaruh lingkungan kerja yang tidak nyaman (Budiono, dkk, 2003). Waktu kerja bagi seorang pekerja menentukan efisiensi dan produktivitasnya. Lamanya seorang pekerja bekerja sehari di Indonesia telah ditetapkan yaitu 8 jam dan sisanya untuk istirahat, kehidupan dalam berkeluarga dan masyarakat, tidur dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan kerja (Suma’mur, 1996 dan Tarwaka, dkk, 2004). c. Pengukuran Iklim Kerja Pengukuran dari suatu panas ambien yang merupakan faktor dalam mempengaruhi
kecepatan
udara
dan
kelembaban
relatif
untuk
mengestimasikan risiko pekerja terpapar penyakit kelelahan kerja. Alat yang digunakan untuk pengukuran ini adalah Quest Thermal Environmental Monitor yaitu, alat untuk mengukur temperatur lingkungan seperti suhu bola basah, bola kering, termometer globe yang digunakan untuk menilai heat stress pada tubuh manusia. Alat Ini menggunakan metode yang mudah diterima untuk pengukuran efek suhu, kelembaban,dan aliran udara pada subjek manusia. d. Dalam pengukuran temperatur lingkungan, diperhatikan: 1. Sampel/titik pengukuran
48
Untuk menentukan apakah suatu area atau lokasi kerja merupakan titik pengukuran temperatur lingkungan, maka beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: a.) Pada area yang dijadikan titik sampling diduga secara kualitatif atau penilaian secara profesional (professional judgment) mengindikasikan adanya kemungkinan terjadinya tekanan panas karena adanya sumber panas atau terpajan panas. b.) Adanya keluhan subjektif yang terkait dengan kondisi panas di tempat kerja. c.) Pada area tersebut terdapat pekerja yang melaksanakan pekerjaan dan berpotensi mengalami tekanan panas 2. Lama pengukuran Berdasarkan SNI- 16-7061-2004 tentang Pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter indeks suhu basah dan bola tidak dijelaskan berapa pengukuran dilakukan pada setiap titik pengukuran. SNI-16-70612004 hanya menyatakan bahwa pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali selama 8 jam kerja, yaitu pada awal shift, tengah shift, dan di akhir shift. Menurut OSHA Technical Manual lama pengukuran indeks WBGT dapat dilakukan secara kontinyu (selama 8 jam kerja) atau hanya pada waktuwaktu paparan tertentu. Pengukuran seharusnya dilakukan dengan periode waktu minimal 60 menit. Sedangkan untuk pajanan yang terputus-putus minimal selama 120 menit.
49
2.2.4 Sirkulasi Udara Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolisme. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah bercampur dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sumber utama adanya udara segar adalah adanya tanaman di sekitar tempat kerja. Tanaman merupakan penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan cukupnya oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh secara psikologis akibat adanya tanaman di sekitar tempat kerja, keduanya akan memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk dan segar selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan tubuh akibat lelah setelah bekerja (Sedarmayanti, 2009). 2.2.5 Suhu dan Kelembaban Udara Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena tubuh manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan maskuler. Namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan. Pada suhu udara yang panas dan lembab, makin tinggi kecepatan aliran udara malah akan makin membebani tenaga kerja. Pada tempat kerja dengan suhu udara yang panas maka akan menyebabkan proses pemerasan keringat. Beberapa hal buruk berkaitan dengan kondisi demikian dapat dialami oleh tenaga kerja. Suhu panas dapat mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan
50
keputusan., mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris. Sedangkan suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. (Suma’mur, 1996). Suhu dingin mengurangi effisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi kerja pikir, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan untuk dirangsang (Suma’mur, 1996). Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20 % untuk kondisi panas dan 35 % untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh. (Hardi, 2006). Suhu tempat kerja yang melebihi 28 °C akan mempercepat kelelahan tenaga kerja begitupun sebaliknya suhu tempat kerja yang kurang dari 18°C akan mempercepat kelelahan tenaga kerja karena suhu terlalu dingin dan metabolime tubuh lebih lambat mengeluarkan keringat (Suma’mur, 1994).
51
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara, biasa dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udara, dan secara bersama-sama antara temperatur, kelembaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi panas dari udara tersebut akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan dengan temperatur udara sangat panas dan kelembaban tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran, karena sistem penguapan. Pengaruh lain adalah makin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antar panas tubuh dengan suhu disekitarnya (Sedarmayanti, 2009). Besaran yang sering dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah kelembaban nisbi yang diukur dengan psikometer atau hygrometer. Kelembaban nisbi berubah sesuai tempat dan waktu. Pada siang hari kelembaban nisbi berangsur-angsur turun kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi bertambah besar. Menurut Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405 Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri menyatakan bahwa standar minimal suhu ruangan dan kelembaban ruangan perkantoran adalah 18-28 ˚C dan 40%-60%. Kelembaban yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Mukono,
52
2005). Apabila suhu lingkungan tinggi (lebih tinggi daripada suhu tubuh normal), maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh karena tubuh menerima panas dari lingkungan. Sedangkan hal yang sebaliknya terjadi, yaitu bila suhu lingkungan rendah (lebih rendah daripada suhu tubuh normal), maka panas tubuh akan keluar melalui evaporasi dan ekspirasi sehingga tubuh dapat mengalami kehilangan panas (Hendra, 2009). Daerah musim panas/tropis, untuk kondisi ruang yang tidak memakai AC suhu udara di dalam ruang direkomendasikan antara 20˚C sampai dengan 27˚C, sedangkan untuk ruang yang memakai AC adalah 24˚C. Kelembaban nisbi yang nyaman pada daerah tropis atau musim panas adalah antara 40% sampai dengan 60% (Grandjean, 1995). Pada kejadian ini suhu dapat berkaitan dengan status hidrasi seseorang. Penurunan asupan cairan dapat terjadi pada pekerja yang bekerja terus menerus tanpa disadari bahwa mereka kehilangan cairan tubuh. Kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan elektrolit
dalam
jumlah
proporsional,
terutama
natrium
dapat
mengakibatkan dehidrasi (Triyana, 2012). Kebiasaan minum air yang baik dapat mencegah terjadinya dehidrasi tubuh setelah terpapar panas dalam kurun waktu tertentu. Kebiasaan minum air yang tidak dilakukan dalam kurun waktu yang sering tetap memungkinkan terjadinya dehidrasi, meskipun jumlahnya cukup. Secara fisiologis, manusia sudah dibekali dengan respon untuk memasukkan cairan kedalam tubuh. Respon haus merupakan reflex yang
53
secara otomatis menjadi perintah kepada tubuh memasukkan cairan (Apriyani, 2014). Pekerja yang mengonsumsi cairan dalam jumlah cukup atau sesuai dengan kebutuhan tubuh maka akan memiliki status hidrasi baik, sedangkan pekerja yang asupan cairannya tidak memenuhi kebutuhan dapat mengalami dehidrasi (Lawrence, 2007; Shirreffs, 2003). Dehidrasi adalah kehilangan cairan tubuh yang berlebih karena penggantian cairan yang tidak cukup akibat asupan cairan yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh ataupun karena peningkatan pengeluaran cairan baik melalui urin, keringat, dan proses pernapasan (Tarwaka, dkk, 2004; Hardinsyah, 2009; Lawrence, 2007; Clap, dkk, 2002). Saat suhu lingkungan meningkat, maka suhu tubuh akan meningkat, kelenjar hipotalamus akan mengaktifkan mekanisme regulasi panas tubuh dengan memberikan reaksi untuk memelihara panas yang konstan dengan menyeimbangkan panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh melalui proses penguapan yaitu pernapasan dan keringat (Suma’mur, 2009; Tarwaka, dkk, 2004; Hardinsyah, 2009). Penguapan terbanyak terjadi Dehidrasi pada pekerja dapat menurunkan kemampuan kognitif seperti penurunan konsentrasi dan daya ingat sesaat, mempengaruhi suasana hati dan semangat kerja, serta menurunkan kapasitas kerja fisik akibat kelelahan, lemas, atau pusing (Budi, dkk, 2011; Robert, dkk, 2007; Graham, 2008). Hal tersebut dapat
54
menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan risiko kecelakaan kerja dan ketidakhadiran karena sakit (Suma’mur, 2009). 2.2.6 Getaran Mekanis Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis, yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh karyawan dan dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada umumnya sangat mengganggu tubuh karena ketidak teraturannya, baik tidak teratur dalam intensitas maupun frekuensinya. Gangguan terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh terdapat apabila frekuensi alat mini beresonansi dengan frekuensi dari getaran mekanis. Secara umum getaran mekanis dapat mengganggu tubuh dalam hal : a. Konsentrasi bekerja b. Datangnya kelelahan c. Timbulnya beberapa penyakit, diantaranya karena gangguan terhadap : mata,
syaraf,
peredaran
darah,
otot,
tulang,
dan
lain-lain
(Sedarmayanti, 2009). Selain itu menurut Permenakertrans No. 13 Tahun 2011, getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan seimbang. Getaran dapat dibedakan menjadi Whole Body Vibration (WBV) dan Hand Arm Vibration (HAV). WBV atau yang dikenal getaran pada seluruh tubuh dapat menyebabkan kelelahan pada pekerja yang mana hal ini disebabkan adanya kenaaikan denyut jantung, penarikan oksigen dan kecepatan pernapasan meningkat.
55
2.2.7 Bau-Bauan Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran, karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan baubauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian “air condition” yang tepat merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau-bauan yang mengganggu di sekitar tempat kerja (Sedarmayanti, 2009). 2.2.8 Warna Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan dengan sebaik-baiknya. Pada kenyataannya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dan lain-lain, karena dalam sifat warna dapat merangsang perasaan dan emosional manusia. Memberikan pewarnaan yang lembut pada ruangan kerja akan mempengaruhi semangat dan kegairahan kerja para karyawannya. Dalam lingkungan kerjas harus diperhatikan tentang masalah warna sebab warna mempengaruhi jiwa seseorang yang ada disekitarnya. Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan dengan sebaik-baiknya. Pada kenyataannya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dan lain-lain, karena dalam sifat warna
56
dapat merangsang perasaan manusia (Sedarmayanti, 2009). Keuntungan penggunaan warna yang baik adalah: 1.) Memungkinkan kantor menjadi tampak menyenangkan dan menarik pemandangan. 2.) Mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap produktivitas karyawan. 2.3 Shift Kerja Waktu Kerja Normal menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004. Untuk 6 hari kerja: Waktu Kerja 7 jam/hari (hari ke1-5), 5 jam/hari (hari ke-6) , 40 jam/minggu. Untuk 5 hari kerja : Waktu Kerja 8 jam/hari, 40 jam/minggu.
Hal tersebut menuntut
perusahaan atau industri yang beroperasi 24 jam untuk memberlakukan sistem shift pada pekerja yang melakukan pekerjaannya agar tidak melebihi waktu kerja yang telah ditentukan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja para pekerjanya. 2.3.1 Kinerja Karyawan Terhadap Shift Kerja Bekerja secara shift berbeda dengan bekerja hari normal. Bekerja dalam waktu 24 jam akan menyebabkan suatu kelelahan kerja yang dapat menyebabkan performansi kerja para karyawan tersebut menurun. Waktu efektif untuk bekerja adalah sekitar 8jam selama 5 atau 6 hari dalam seminggu. Waktu kerja yang lama tersebut maka pihak manajemen memberikan sistem shift dalam bekerja. Pengaturan shift kerja baru merupakan rekomendasi perbaikan yang meliputi perubahan dalam panjangnya rotasi. Pengaturan shift dilakukan dengan merotasi sejumlah karyawan yang terbagi ke dalam kelompok atau group. Pengaturan sistem
57
shift kerja baru meningkatkan performance kerja karyawan dan mengurangi
tingkat
keluhan
karyawan.
Perputaran
shift
kerja
meningkatkan rasa tanggung jawab dan kerja sama sebagai suatu team kerja. Perputaran shift kerja mengurangi keluhan karyawan terhadap kelelahan yang di alami karena kodisi lingkungan kerja yang monoton. Setiap karyawan di berikan kelonggaran waktu untuk keperluan yang bersifat pribadi dan untuk melepaskan lelah. Jumlah dari waktu longgar untuk kebutuhan karyawan yang diperlukan akan bervariasi tergantung pada individu karyawan. Sedangkan kelonggaran dari waktu untuk melepaskan lelah (Fatigue Allowance) tergantung pada individu karyawan dan atas kesepakatan dengan atasan. Karakteristik kelelahan kerja akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan sedangkan menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapat dengan memberikan istirahat yang cukup (Fajarwati, dkk, 2011) 2.3.2 Keadaan Biologis Kebiasaan Tubuh Terhadap Shift Kerja Pengaturan sistem shift (kerja bergilir) harus dilakukan dengan cermat dan tepat dalam arti lain harus diupayakan agar terjadi interaksi yang seimbang antara tuntutan tugas, lingkungan kerja, dan kemampuan pekerja sehingga terjadinya overstress dapat dihindari. Untuk mengurangi keluhan karyawan tersebut maka pihak manajemen mengadakan sistem shift pada karyawan. Karyawan yang bekerja pada shift pagi akan bekerja optimal karena pada siang hari seluruh bagian tubuh akan aktif bekerja dan pada saat itu juga terjadi peningkatan denyut nadi dan tekanan darah mendorong adanya peningkatan aktivitas ini, sedangkan karyawan yang
58
bekerja pada malam akan cepat merasa lelah karena pada saat itu terjadi penurunan fungsi tubuh sehingga akan menimbulkan rasa kantuk. Sistem shift ini merupakan faktor yang berpengaruh terhadap performance karyawan. Menjadi dasar dalam pengaturan sistem shift yang dapat meminimalkan keluhan (Fajarwati, dkk, 2011). Namun pada kondisi yang ada keadaan biologis tubuh dengan mengadaptasi shift pada pekerjaan membuat tubuh menerjemahkan kondisi pekerjaan yang berbeda-beda. Karakteristik pekerjaan yang berbeda-beda akan mempengaruhi kebiasaan tubuh menerima aktivitas kerja yang dilakukan baik dalam keadaan sedang meningkat maupun dalam keadaan sedang menurun. Menurut Kromer dan Grandjean (1997) waktu kerja dapat dibedakan dalam waktu kerja shift dan non shift. Kerja shift (bergilir) akan mengganggu irama sirkadian tubuh. Gangguan ini akan berakibat terjadinya gangguan tidur pada pekerja shift malam. Dalam keadaan yang terjadi secara terus-menerus tanpa disertai perbaikan kondisi yang memadai akan berakibat terjadinya kelelahan kronis. 2.3.3 Cara
Mengendalikan Shift Kerja Berdasarkan Karakteristik dan
Kriteria Shift 1. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk manajemen kerja shift adalah sebagai berikut : a. Pengurangan jam kerja pada shift malam tanpa mengurangi benefit lainnya jika memungkinkan. b. Pengurangan pekerja pada shift malam untuk mengurangi jumlah hari kerja pekerja shift malam.
59
c. Lamanya kerja shift tidak melebihi 8 jam. d. Tiap shift siang atau malam sebaiknya diikuti dengan paling sedikit 24 jam libur dan tiap shift malam dengan paling sedikit 2 hari libur, sehingga pekerja dapat mengatur kebiasaaan tidur mereka. e. Melakukan interaksi sosial dengan teman kerja. f. Jika memungkinkan menyediakan musik yang tidak monoton selama bekerja shift malam sangat berguna. 2. Ada lima kriteria dalam mendesain suatu shift kerja, antara lain: a. Ada jarak, setidaknya 11 jam antara permulaan dua shift yang berurutan b. Sebaiknya tidak bekerja selama tujuh hari berturut-turut (seharusnya 5 hari kerja, 2 hari libur) c. Usahakan memberikan waktu libur di akhir pekan (sebaiknya 2 hari) d. Rotasi shift mengikuti rotasi matahari e. Jadwal yang dibuat sebaiknya sederhana dan mudah diingat. 2.3.4 Perputaran dan Rekomendasi Shift Kerja 1. Merancang perputaran shift perlu dilakukan beberapa pertimbangan, ada hal-hal yang harus diperhatikan dan diingat menurut Suma’mur (1999), yaitu: a. Desain jadwal Mengoptimalkan desain perlu dipertimbangkan untuk benar-benar efektif sesuai dengan kebutuhan pekerja dan beban kerja. Penggunaan shift tetap dengan baik, 8-jam atau 10-jam akan memunculkan kebutuhan jumlah pekerja.
60
b. Panjang periode rotasi Panjang periode rotasi akan mempengaruhi keseimbangan karyawan akan beban kerja yang ada. Rotasi perubahan dua hingga tiga hari dapat mengurangi gangguan ritme tubuh dan memungkingkan cyrchardian ritme untuk menyesuaikan diri. Cyrchardian ritme merupakan pengaturan berbagai macam fungsi tubuh dalam sehari yang meliputi pengaturan dalam tidur, bekerja dan semua proses otonomi vegetativ yang meliputi metabolime, temperatur tubuh, detak jantung, denyut nadi, tekanan darah dan pelepasan hormone (Kromer dan Grandjean, 1997). c. Arah rotasi Disarankan agar menggunakan arah rotasi maju yaitu dari sore ke malam, karena cyrchardian ritme dapat menyesuaikan lebih baik dengan rotasi maju. d. Panjang istirahat antar shift Waktu istirahat yang baik minimal 24 jam setelah shift malam. Jika shift malam berturut-turut sebaiknya ada waktu pemenuhan istirahat yang cukup sebelumnya. e. On-off work Pola kerja on-off akan menggambarkan jam efektif kerja dan jumlah jam tidak kerja. 2. Teori Grandjean (1986) yang menyebutkan bahwa ada beberapa saran yang harus diperhatikan dalam penyusunan jadwal shift kerja, yaitu : a. Pekerja shift idealnya berumur 25-50 tahun
61
b. Pekerja yang mempunyai masalah perut dan usus, serta emosi yang tidak stabil disarankan untuk tidak ditempatkan di shift malam c. Pekerja yang tempat tinggal dan tempat kerja mempunyai jarak yang jauh atau berada di lingkungan yang ramai sebaiknya tidak ditempatkan pada shift. d. Sistem shift dengan 3 rotasi yang menggunakan waktu ganti pada pukul 6-14-22 lebih baik diganti pada pukul 7-15-23 atau 8-16-24 e. Rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan disarankan untuk menghindari kerja malam secara terus menerus f. Pola rotasi kerja yang baik adalah 2-2-2 (metropolitan pola) atau 2-2-3 (continental pola). g. Kerja malam 3 hari secara berturut-turut seharusnya diikuti istirahat paling sedikit 24 jam. h. Perancangan shift perlu mempertimbangkan waktu libur 2 hari berurutan baik pada akhir pekan maupun sebagai ganti akhir pekan. i.
Perencanaa shift dsarankan memenuhi satu kali istirahat yang cukup untuk makan.
3. Menurut Suma’mur (1999), shift kerja merupakan pola waktu kerja yang diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan dan biasanya dibagi atas kerja pagi, siang, malam. Sistem shift kerja ada 2 macam yaitu:
62
a. Shift Permanen Tenaga kerja bekerja pada shift yang tetap setiap harinya. Tenaga kerja yang bekerja pada shift malam yang tetap adalah orangorang yang bersedia bekerja pada malam hari dan tidur pada siang hari. b. Shift Rotasi Tenaga kerja bekerja terus-menerus ditempatkan pada shift yang tetap. Shift rotasi adalah shift paling mengganggu terhadap irama circadian dibanging dengan shift permanen bila berlangsung dalam jangka waktu panjang. Pergantian shift yang normal 8 jam/shift. Shift kerja dilaksanakan 24 jam termasuk hari minggu dan hari libur yang memerlukan 4 regu kerja. Regu kerja tersebut dikenal dengan regu kerja terus menerus yaitu 3x8. Berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan kerja pada shift pagi, siang dan malam dan dinyatakan bahwa adanya hubungan antara kelelahan kerja dengan shift kerja. Menurut penelitian Suciningtias, Tarwaka, Suwaji (2013) menunjukan tingkat kelelahan kerja shift pagi mengalami kelelahan ringan sebanyak 33,33%, dan mengalami kelelahan kerja sedang sebanyak 66,67%. Sedangkan shift kerja malam mengalami kelelahan sedang 26,67%, dan 73,33% mengalami kelelahan kerja berat. Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan tingkat kelelahan kerja yang signifikan yaitu (p=0.003<0.05) antara shift pagi dengan shift malam, dimana shift malam lebih melelahkan dari pada shift pagi. Sedangkan, pada penelitian Basri (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik Chi-Square, diketahui terdapat hubungan yang kuat antara shift kerja
63
malam dengan tingkat kelelahan operator produksi di PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu tahun 2014. 2.4 Kerangka Teori Suatu perusahaan didalam kegiatan pencapaian tujuannya, karyawan merupakan sumber utama dalam menjalankan perusahaan faktor modal, produksi, peralatan tidak dapat digunakan secara efektif dan efisien jika tidak dijalankan oleh manusia (karyawan). Seorang karyawan tidak dapat bekerja secara maksimal apabila keselamatan dan kesehatan kerjanya tidak terjamin, oleh karena itu para karyawan dan perusahaan perlu memperhatikan kondisi fisik dan mental melalui pelakasanaan program keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam hal ini karyawan sering merasakan kelelahan kerja pada saat aktivitas kerja berlangsung secara terus-menerus dan melakukan pergerakan berulang-ulang yang membuat pekerja merasakan kelelahan kerja dan didukung oleh lingkungan kerja fisik yang membuat karyawan tidak nyaman serta tidak menyenangkan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kelelahan kerja dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Setyawati (1994) menyatakan bahwa kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan fisik di tempat kerja antara lain oleh suhu, pencahayaan dan kebisingan. Menurut Budiono (2003) dan Sedarmayanti (2009) guna mengurangi dan menghilangkan kelelahan kerja perlu memperhatikan faktor lingkungan fisik untuk menunjang suasana kerja yang menyenangkan, diantaranya dalam hal: kebisingan, temperature atau tekanan panas, dan pencahayaan. Kroemer dan Grandjean (1997), Tarwaka (2013) dan Suma’mur (1999) menyebutkan penyebab kelelahan kerja antara lain faktor
64
lingkungan seperti intensitas kebisingan, instensitas pencahayaan, dan iklim kerja (tekanan panas) dengan mempertimbangkan beban kerja, jam kerja. Lingkungan fisik kerja merupakan faktor eksternal dari penyebab kelelahan kerja yang terdapat disekitar tempat kerja meliputi iklim kerja atau tekanan panas, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, warna, dan lain-lain. Dalam hal ini akan berpengaruh signifikan terhadap hasil kerja manusia (Wignjosoebroto, 2003, Sedarmayanti, 2009). Mengacu pada teori tersebut dan disesuaikan dengan tujuan penelitian maka kerangka teori dalam penelitian ini yaitu:
65
Bagan 2.1 Kerangka Teori Intensitas Kebisingan
Intensitas Pencahayaan Iklim Kerja Shift Kerja
Kelelahan Kerja
Sirkulasi Udara Suhu dan Kelembaban Udara Getaran Mekanik
Bau-bauan Warna
Sumber: Setyawati (1994), Budiono (2003),
Sedarmayanti (2009), Tarwaka
(2013), Suma’mur (1999), Kroemer dan Grandjean (1997), (Wignjosoebroto, 2003).
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hubungan lingkungan kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Kerangka konsep ini mengacu kepada teori dari beberapa sumber yang menyebutkan bahwa kelelahan kerja dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Setyawati (1994), Kroemer dan Grandjean (1997), Tarwaka (2013), Suma’mur (1999), Budiono (2003) dan Sedarmayanti (2009) menyebutkan penyebab kelelahan kerja antara lain faktor lingkungan fisik idak langsung seperti intensitas kebisingan, instensitas pencahayaan, suhu & kelembaban dan shift kerja, guna mengurangi dan menghilangkan kelelahan kerja perlu memperhatikan faktor lingkungan untuk menunjang suasana kerja yang menyenangkan. Terdapat beberapa variabel lingkungan kerja yang tidak diteliti berdasarkan acuan kerangka teori diantaranya: 1. Variabel iklim kerja, tidak diteliti karena berdasarkan studi pendahuluan bahwa iklim kerja yang didapati oleh karyawan tidak melebihi NAB dan hasilnya homogen dibawah NAB, tidak terdapatnya sumber panas yang sangat menggangu dan kondisi lingkunganya sudah dimodifikasi dengan disamaratakannya penggunaan AC atau pendingin ruangan pada setiap ruang kerja kolektor gerbang tol.
65
66
2. Variabel sirkulasi udara, tidak diteliti karena berdasarkan studi pendahuluan ruang kerja karyawan kolektor gerbang tol memiliki sirkulasi udara yang cukup baik dan ruangan tersebut memiliki ventilasi udara untuk perputaran udara baik udara yang masuk maupun udara yang keluar. 3. Variabel getaran mekanis, tidak diteliti karena berdasarkan studi pendahuluan pada pekerjaan karyawan kolektor gerbang tol tidak ditemukannya sumber getaran yang berarti di lingkungan kerja yang memapar baik dari aktivitas kerja yang dikerjakan maupun dari mesin yang digunakan. 4. Variabel bau-bauan, tidak diteliti karena berdasarkan wawancara bahwa karyawan kolektor gerbang tol tidak pernah mengeluh akan bau-bauan yang ada disebabkan ventilasi udara yang dimiliki baik. 5. Variabel warna, tidak diteliti karena berdasarkan wawancara bahwa ruang kerja memiliki pewarnaan yang tidak mengganggu pandangan serta aktivitas pekerja. Untuk kondisi sarana maupun prasarana di ruang kerja, dalam hal ini kondisi ruang kerja dan sarana prasarananya masih tergolong baik dan tidak mengganggu pekerja dalam melakukan aktivitas kerjanya dalam kata lain sarana dan prasarana yang disediakan tidak menunggu pekerja untuk dapat beradaptasi melainkan disediakan untuk memudahkan para pekerja kolektor gerbang tol. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa apabila antara sarana, prasarana atau peralatan kerja dengan pekerja sudah cocok, maka kelelahan dapat dicegah
67
sehingga proses kerja akan lebih efisien dan berdampak pada produktivitas tinggi. Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan, kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol dan variabel independen yaitu instensitas kebisingan, intensitas pencahayaan, suhu & kelembaban, dan shift kerja. Maka kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagan 3.1 Kerangka Konsep Intensitas Kebisingan
Intensitas Pencahayaan Kelelahan Kerja Suhu dan Kelembaban
Shift Kerja
3.2 Definisi Operasional Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Definisi operasional variabel dependen dan independen dalam penelitian ini sebagai berikut:
68
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No.
Variabel
1.
Kelelahan Kerja
1.
Intensitas Kebisingan
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Variabel Dependen Keadaan Kuesioner Kuesioner melemahnya Kelelahan kekuatan fisik tubuh, SSRT motivasi dan kegiatan (Subjective karyawan kolektor Self Rating gerbang tol yang Test) dilihat dari adanya dari penurunan kesiagaan, IFRC ketelitian, penurunan (Industial kapasitas kerja serta Fatigue ketahan tubuh. Research Committee) Variabel Independen Intensitas suara yang Sound Level Pengukuran tidak dikehendaki Meter bersumber dari (SLM) aktivitas kendaraan yang melelaui gerbang tol yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada pekerja.
2.
Intensitas Pencahayaan
Jumlah penyinaran pada ruang kerja karyawan kolektor gerbang tol yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif.
Digital Lux Meter
Pengukuran
3.
Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara
Suhu ruangan dan Thermohygr kandungan uap air ometer dalam ruangan pada ruang kerja karyawan kolektor gerbang tol yang sesuai untuk melaksanakan kegiatan secara efektif.
Pengukuran
Hasil Ukur
Skala Ukur
1. >60 (Kelelahan Berat) 2. ≤60 (Kelelahan Ringan) (Research Committee On Industial Fatigue, 1969)
Ordinal
dBA
Rasio
(Permenakertrans No 13, 2011)
1. < 300 Lux (Pencahayaan Tidak Terpenuhi) 2. ≥ 300 Lux (Pencahayaan Terpenuhi) (Kepmenkes RI. No. 1405/Menkes/SK/ XI/2002) 1. < 18 atau > 28 ˚C (Suhu Tidak Sesuai) 2. 18-28 ˚C (Suhu Sesuai) 1. < 40% atau > 60% (Kelembaban
Ordinal
Ordinal
69
No.
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Tidak Sesuai) 2. 40% -60% (Kelembaban Sesuai) (Kepmenkes RI. No. 1405/Menkes/SK /XI/2002) 4.
Shift Kerja
Pola kerja yang diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan dan dibagi atas kerja pagi, siang dan malam.
Wawancara
Kuesioner
1 Shift Pagi: Pukul 05.0013.00 WIB 2 Shift Siang: Pukul 13.0020.00 3 Shift Malam: Pukul 20.0005.00 WIB (Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/V I/2004)
3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan dugaan sementara yang dibuat oleh peneliti terkait dengan penelitian ini. Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ada hubungan antara kebisingan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016. 2. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016.
Ordinal
70
3. Ada hubungan antara suhu ruangan dan kelembaban udara dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016. 4. Ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Merga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Tahun 2016
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode analitik dengan desain penelitian cross sectional, karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan masing-masing variabel yang diteliti yaitu variabel independen lingkungan kerja dan variabel dependen kelelahan kerja. Pengambilan data pada penelitian ini langsung dilakukan di lapangan dan dalam satu kali pengamatan atau yang akan diamati pada waktu (periode) yang sama. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada PT Jasa Marga Cabang CawangTomang-Cengkareng gerbang tol Cililitan pada bulan Oktober 2016. Peneliti melaksanakan turun lapangan untuk melakukan pengukuran pada Rabu, 19 Oktober 2016 s/d Sabtu, 22 Oktober 2016 pada pukul 07.00-24.00 WIB. Pada saat dilakukan pengukuran bulan tersebut termasuk musim hujan namun pada saat peneliti melakukan pengukuran pada minggu tersebut tidak turun hujan setiap hari. Kondisi cuaca pada saat pagi dan siang hari cerah dan terdapat cahaya matahari yang terik. Peneliti memilih lokasi tersebut dikarenakan gerbang tol Cililitan merupakan gerbang tol yang memiliki frekuensi volume kendaraan paling tinggi diantara Cabang Cawang Tomang Cengkareng serta 4 jalur Jabodetabek lainnya dan Cabang tersebut merupakan rute terpanjang
71
72
kedua di jalur Jabodetabek. Spesifikasi lokasi penelitian bertempat di PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Plaza Tol Cililitan Besar Jakarta. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan dilakukan (Hastono & Sabari, 2001). Populasi penelitian adalah karyawan kolektor gerbang tol PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng pada gerbang tol Cililitan. Total populasi karyawan kolektor gerbang tol Cililitan I dan II dari 7 gerbang tol sebanyak 93 karyawan. b. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya diukur (Hastono & Sabari, 2001). Sampel dalam penelitian ini yaitu karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng. Untuk pengambilan sampel peneliti menggunakan teknik simple random sampling, dan peneliti menggunakan rumus jumlah sampel uji hipotesis beda dua proprosi karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menguji hipotesis. Rumus besar sampel dan uji hipotesis beda dua proprosi adalah sebagai berikut (Lemeshow, dkk, 1990):
Keterangan: n
= Besar sampel minimum yang dibutuhkan oleh peneliti = Nilai Z dari derajat kepercayaan 95% (1,96) dengan α = 5%
73
= Nilai Z dari kekuatan uji 80% (0,84) P1 P2
= Rata-rata proporsi pada populasi = Proporsi pada kategori terpapar tekanan panas yang mengalami kelelahan kerja = Proporsi pada kategori tidak terpapar tekanan panas mengalami kelelahan kerja Penentuan besar sampel minimal dilihat berdasarkan
perhitungan besar sampel pada tiap-tiap variabel yang diteliti. Perhitungan besar sampel menggunakan nilai P1 dan P2 dari hasil penelitian sebelumnya. Setelah melakukan perbandingan sampel P1 dan P2 dengan penelitian sebelumnya, didapatkan hasil bahwa P1 = 0.762 dan P2 = 0.273 maka N = 16 karyawan. Berdasarkan hasil perhitungan sampel, jumlah yang akan diambil adalah 16 orang karyawan (P1: Proporsi pada kategori terpapar suhu panas yang mengalami kelelahan kerja dan P2: Proporsi pada kategori tidak terpapar suhu panas mengalami kelelahan kerja pada α = 5% dan B = 80%). Dari hasil tersebut, kemudian dilakukan perhitungan sampel minimal dengan menggunakan perbandingan dari hasil penelitian Umyati (2010) yaitu prevalensi dari responden yang tidak mengalami kelelahan kerja sebesar 46% adalah: N′ = N ˉˉˉˉˉ P Keterangan: N′ = Sampel minimum N = Hasil perhitungan sampel dengan rumus uji hipotesis dua proporsi P = Proporsi responden tidak lelah N′ = 16 ˉˉˉˉˉ
74
46% N′ = 35 karyawan Namun, untuk menghindari adanya drop out atau missing data dari jawaban karyawan dan agar memenuhi 1:10 setiap variabel maka peneliti membulatkan jumlah sampel penelitian yaitu sampel minimal menjadi 40 karyawan. Peneliti menentukan responden berdasarkan teknik simple random sampling, pada teknik tersebut digunakan dengan membuat frame sampling yang diambil dari jadwal shift kerja yaitu shift pagi, siang dan malam kolektor gerbang tol Cililitan dan memilih sampel dengan cara undian dengan menuliskan nomor absen semua pekerja sesuai shift yang ada pada secarik kertas dan menggulung kertas tersebut kemudian memasukannya dalam sebuah kotak dan mengocok gulungan kertas tersebut. Setelah dikocok, gulungan kertas akan diambil satu persatu sampai pada gulungan kertas yang ke empat puluh. Berdasarkan pembagian antar shift masing-masing 14 orang yang dilakukan pengocokkan agar sampel terbagi secara merata maka terdapat 42 karyawan yang menjadi responden. Adapun sampel yang akan dipilih oleh peneliti mempunyai persamaan dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut: 1. Kriteria Inklusi a. Pekerja adalah karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng. b. Pekerja adalah karyawan tetap dengan masa kerja lebih dari 15 tahun.
75
c. Pekerja adalah karyawan yang memiliki umur lebih dari 30 tahun. d. Pekerja adalah karyawan utama yang sedang bekerja pada shift pagi, siang dan malam. 2. Kriteria Eksklusi a. Tidak bersedia menjadi objek penelitian atau sample penelitian. b. Pekerja merupakan karyawan outsourcing. c. Pekerja adalah karyawan pengganti shift. 4.4 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 4.4.1 Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dengan cara wawancara menggunakan lembaran kuesioner, pengamatan atau observasional, dan pengukuran langsung kepada karyawan kolektor gerbang tol. Data yang diperoleh dari wawancara menggunakan lembar kuesioner diantaranya data diri karyawan dan 30 pertanyaan terkait kelelahan kerja. Selain itu, data yang diperoleh dari pengamatan atau observasional dan pengukuran langsung lingkungan kerja antara lain intensitas kebisingan, intensitas pencahayaan, dan tekanan panas yang memperhatikan beban kerja dan jam kerja. Pengukuran dilakukan berdasarkan shift kerja yang terbagi atas shift pagi, siang dan malam.
76
4.4.2 Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data perusahaan seperti populasi pekerja dan profil perusahaan. 4.5 Uji Validitas dan Reabilitas Pengujian validitas dan reabilitas dilakukan kepada subjek yang memiliki karakteristik pola pikir, karakteristik umur dan pekerjaan hampir sama dengan populasi karyawan kolektor gerbang tol dan pada penelitian ini tidak dilakukannya uji validitas dan reabilitas melainkan menggunakan nilai uji validitas dan reabilitas penelitian sebelumnya. 1. Uji Validitas Validitas adalah suatu ukuran untuk melihat seberapa besar tingkat ketepatan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2011). Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui item kuesioner yang valid maupun tidak valid yang berpengaruh pada dapat atau tidaknya item kuesioner tersebut digunakan dalam penelitian. Pengujian validitas dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan dengan rumus korelasi Product Moment kemudian membandingkan antara nilai korelasi atau r hitung dari variabel penelitian dengan r tabel. Jika r hitung > r tabel maka Ho ditolak, berarti variabel valid. Namun, jika r hitung < r tabel maka Ho gagal ditolak, berarti variabel tidak valid. Item kuesioner yang tidak valid dapat ditanggulangi dengan melakukan modifikasi item untuk memperjelas makna pada item kuesioner atau membuang item jika item kuesioner tidak penting.
77
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Zuhriyah (2007) pada karyawan bagian penjahitan perusahaan konveksi, terkait kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Insdutrial Fatigue Research Comitte Japan untuk mengukur kelelahan kerja didapatkan hasil uji validitas sebagai berikut; perhitungan uji validitas dan uji reabilitas menggunakan tingkat signifikan (α) = 5% dengan 30 orang responden, maka nilai koefisien korelasi (r tabel) sebesar 0.361 sehingga hasil perhitungan
harus
lebih
besar.
Untuk
menguji
validitas
maka
menggunakan rumus Pearson Product Moment:
Keterangan: r hitung
= koefisien validitas item yang dicari
n
= jumlah responden
x
= skor yang diperoleh subjek dalam setiap item
y
= skor total keseluruhan
Maka berdasarkan perhitungan pada rumus r hitung, didapatkan hasil r = 0.584 dan terlihat bahwa r hitung semua indikator dalam kuesioner pada responden sudah valid karena r hitung (0.584) > r tabel (0.361). 2. Uji Reabilitas Uji reabilitas dilakukan setelah item kuesioner sudah valid. Menurut Arifin (2012) uji reabilitas dilakukan untuk melihat sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat terlihat konsisten bila dilakukan berulang
78
kali dalam suatu instrumen. Pengujian reabilitas dapat dilakukan menggunakan rumus statistik cronbach alpha keseluruhan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil (nilai alpha). Apabila r alpha > r tabel maka kuesioner tersebut dinyatakan reliable. Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Insdutrial Fatigue Research Comitte Japan untuk mengukur kelelahan kerja telah diketahui nilai reliabelnya adalah 0.816.
Keterangan: r
= reabilitas
n
= jumlah item pertanyaan yang diuji
σx²
= varians skor tiap item
σy²
= varians total Dari perhitungan rumus reabilitas maka didapat hasil nilai
cronbach’s alpha pada tabel reability statistik sebesar 0.816, artinya secara keseluruhan indikator pada kuesioner responden sudah reliabel karena nilai 0.816 lebih besar dari nilai standar yaitu 0.6. 4.6 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk memperoleh / mengumpulkan
data
(Notoatmodjo,
2010).
Dalam
penelitian
ini
menggunakan instrumen penelitian yaitu wawancara dan kuesioner dengan menggunakan kuesioner alat ukur tingkat kelelahan kerja yaitu Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Industrial Fatigue Research Comitte Japan (IFRC Jepang).
79
Selain itu untuk melakukan pengukuran terhadap lingkungan kerja maka digunakan alat ukur Sound Level Meter (SLM) untuk kebisingan, Digital Lux Meter untuk pencahayaan dan Thermohygrometer untuk suhu dan kelembaban dan pengukuran dilakukan berdasarkan sistem shift pagi, siang dan malam. 1. Kuesioner Kelelahan Kerja Peneliti juga mewawancara responden menggunakan metode pengukuran kelelahan secara subjektif atau Subjective Self Ratting Test (SSRT) yang diadopsi dari Industrial Fatigue Research Committee of Japanese Association Industrial Health (IFRC Jepang). Kuesioner yang digunakan untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif dan pengukuran secara objektif yaitu observasi untuk mendukung pengukuran subjektif dapat dilihat pada saat wawancara. Kuesioner pengujian kelelahan subjektif ini telah terpublikasi dan menilai kelelahan secara umum, mencakup 30 gejala kelelahan yang terbagi atas 3 kelompok yang dialami pekerja yaitu pelemahan kegiatan, pelemahan motivasi dan pelemahan secara fisik. Peneliti melakukan pengukuran kelelahan kerja pada saat karyawan melakukan pekerjaan tanpa mengganggu kondisi pekerjaan karyawan, hal tersebut dilakukan agar karyawan telah melakukan pekerjaannya dan diduga kelelahan yang dirasakan karena telah melakukan pekerjaan dan belum melakukan recovery atau pemulihan dari rasa lelah yang dirasakan. Berikut rincian gejala dari kelelahan: 1. Perasaan berat dikepala
16. Cenderung untuk lupa
2. Menjadi lelah diseluruh badan
17. Kurang kepercayaan diri
3. Kaki merasa berat
18. Cemas terhadap sesuatu
80
4. Menguap
19. Tidak dapat mengontrol sikap
5. Merasa kacau pikiran
20. Tidak
6. Mengantuk
dan
tekun
dalam
melakukan pekerjaan
7. Merasa berat pada mata 8. Kaku
dapat
canggung
21. Sakit kepala dalam
gerakan
22. Kekakuan dibahu 23. Merasa nyeri dipunggung
9. Tidak seimbang dalam berdiri
24. Merasa pernafasan tertekan
10. Mau berbaring
25. Merasa haus
11. Merasa susah berfikir
26. Suara serak
12. Lelah bicara
27. Pusing
13. Gugup
28. Spasme kelopak mata
14. Tidak dapat berkonsentrasi
29. Tremor pada anggota badan
15. Tidak
30. Merasa kurang sehat.
dapat
memfokuskan
perhatian terhadap sesuatu Jawaban untuk kuesioner IFRC tersebut terbagi menjadi 4 kategori, yaitu Sangat Sering (SS) dengan diberi nilai 4, Sering (S) dengan diberi nilai 3, Kadang-Kadang (K) dengan diberi nilai 2, dan Tidak Pernah (TP) dengan diberi nilai 1. Dalam menentukan kategori golongan kelelahan, jawaban tiap pertanyaan dijumlahkan kemudian disesuaikan dengan kategori tertentu. Kategori diberikan antara lain: Nilai < 60
= Kelelahan Ringan
Nilai > 60
= Kelelahan Berat
Pengukuran dengan metode ini bersifat subjektif sesuai dengan masing-masing responden maka sangat bergantung dari jawaban responden yang diteliti. 2. Sound Level Meter Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan selama 4 hari pada shift
pagi pukul 07.00-12.00 WIB, pada shift siang pukul 15.00-20.00
81
WIB dan pada shift malam pukul 21.00-24.00 WIB. Pengukuran dilakukan pada 2 tempat yaitu gerbang tol Cililitan 1 dan gerbang tol Cililitan 2. Pengukuran intensitas kebisingan pada karyawan gerbang tol dilakukan satu kali selama 15 menit, pada shift pagi, siang, dan malam dengan menggunakan alat Sound Level Meter jenis Krisbow Multi Function Environment Meter. Luas dari ruang kerja karyawan gerbang tol rata-rata kurang dari 10 m², maka pengukuran dilakukan pada 1 titik pada setiap ruangan yaitu pada jendela dekat pekerja melakukan interaksi dengan pengguna tol. Hal tersebut bertujuan dapat menggambarkan keadaan lingkungan dan kondisi kebisingan yang sebenarnya diterima pekerja karena ingin diketahui kebisingan yang mempengaruhi pekerja saat melakukan aktivitas.
Gambar 4.1 Sound Level Meter Krisbow Metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja dapat dilihat pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 7231 tahun 2009. Peneliti melakukan pengukuran dengan memperhatikan selang waktu yang mewakili 24 jam maka terdapat 7 waktu pengukuran yang dapat dipilih pada shift pagi, siang dan malam yaitu: diambil pada jam 07.00 mewakili jam 06.00 – 09.00, diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 – 11.00,
82
diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 – 17.00, diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00 – 22.00 , diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 – 24.00, diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 – 03.00, diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 – 06.00, namun peneliti hanya menggunakan 5 selang waktu karena perusahaan hanya mengijinkan peneliti melakukan pengukuran hingga pukul 24.00 WIB. Hal tersebut dilakukan peneliti untuk mengakumulasikan waktu tingkat aktivitas yang mewakili selama 24 jam. Peneliti melakukan pengukuran kebisingan yang terpapar pada karyawan dengan menentukan titik terdekat dengan karyawan yaitu tepat disamping kanan belakang telinga karyawan dan sangat dekat dengan sumber bising yaitu kendaraan bermotor. Saat dilakukannya pengukuran, aktifitas kendaraan sedang tinggi dan kadang sedang lowong serta kondisi cuaca saat pengukuran cerah serta hujan pada saat sore hari. Selanjutnya terdapat beberapa langkah yang dilakukan peneliti saat memulai pengukuran yaitu memasang baterai pada tempatnya, ditekan tombol power pada alat (ditekan dan ditahan tombol On/Off selama 1 detik untuk dinyalakan dan alat pengukur akan merespon dengan menampilkan layar untuk memulai), dicek garis tanda pada monitor untuk mengetahui baterai dalam keadaan baik atau tidak. Selanjutnya dilakukan setup pada instrument mengubah sesuai dengan keperluan, dengan menekan tombol select lalu pilih bentuk pengukuran menggunakan Hi untuk mengukur intensitas kebisingan dengan range 65-130 dB dan atur pengukuran penyaringan dengan
83
memilih A yang mendekati pada ukuran frekuensi pendengaran manusia. Peneliti melakukan pengukuran selama 15 menit karena kebisingan tergolong jenis kebisingan sumber bergerak atau kebisingan terputus-putus (intermittent). Peneliti memposisikan mikrofon alat ukur setinggi posisi telinga manusia yang ada di tempat kerja. Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang sumber bunyi. Diarahkan mikrofon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan karakteristik mikrofon (mikrofon tegak lurus dengan sumber bunyi, 70° sampai 80° dari sumber bunyi). Maka dicatat hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar pengukuran data sampling. 3. Digital Lux Meter Pengukuran intensitas penerangan dilakukan selama 4 hari pada shift pagi pukul 07.00-13.00 WIB, pada shift siang pukul 14.00-19.00 WIB dan pada shift malam pukul 21.00-24.00 WIB. Pengukuran dilakukan pada 2 tempat yaitu gerbang tol Cililitan 1 dan gerbang tol Cililitan 2. Pengukuran intensitas pencahayaan yang dilakukan pada karyawan gerbang tol yaitu termasuk dalam kategori pengukuran pencahayaan setempat dengan ketetuan pegukuran pada objek kerja, berupa meja kerja maupun peralatan dengan menggunakan alat Digital Luxmeter DL 204. Objek berupa meja kerja, maka pengukuran dapat dilakukan di atas meja yang ada. Pengukuran intensitas pencahayaan dilakukan satu kali selama 5 menit (didapat nilai angka yang stabil), tepatnya pada shift pagi, siang dan malam. Luas dari ruang kerja karyawan gerbang tol rata-rata kurang dari 10 m², maka pengukuran dilakukan pada setiap 1×1 m. Hal tersebut
84
bertujuan dapat menggambarkan keadaan lingkungan dan kondisi yang sebenarnya karena ingin diketahui pencahayaan yang mempengaruhi pekerja saat melakukan aktivitas. Peneliti melakukan pengukuran pada kondisi
ruangan
sesuai
kenyamanan
bekerja
karyawan
tanpa
menambahkan atau mengurangi kenyamanan tersebut. Pada saat pengukuran berlangsung sumber pencahayaan alami yaitu cahaya matahari membantu karyawan dalam melakukan pekerjaannya dan hal tersebut berlaku pada shift pagi dan siang serta kondisi cuaca saat pengukuran tidak hujan dan tidak mendung untuk shift pagi dan siang sedangkan untuk shift malam tidak ada pencahayaan tambahan selain pencahayaan ruangan yang ada.
Gambar 4.2 Digital Luxmeter DL 204 Peneliti melakukan pengukuran pencahayaan pada ruangan kerja karyawan dengan menentukan titik yaitu satu titik pengukuran karena pencahayaan yang digunakan adalah pencahayaan lokal. Metode pengukuran intensitas pencahayaan berdasarkan SNI 16-7062 tahun 2004 dengan menggunakan luxmeter. Sebelum melakukan pengukuran peneliti menyiapkan denah yang telah dibuat sebelumnya agar mempermudah saat pengukuran. Luas ruangan gerbang tol 2 x 2 meter adalah 4 m² < 10 m². Maka denah ruang kerja:
85
2 x 2 meter
Pekerja
(Titik pengukuran pencahayaan) Gambar 4.3 Denah Ruang Kerja Kolektor Gerbang Tol Selanjutnya, peneliti menyiapkan alat lux meter, pastikan alat lux meter berfungsi dengan baik. Dicek kelengkapan alat seperti baterai, pastikan terdapat baterai cadangan yang disiapkan. Kemudian dipasang baterai pada tempatnya dan ditekan tombol power ON/OFF, maka alat akan menunjukkan angka 0.00, artinya alat sudah dapat digunakan. Selanjutnya peneliti membuka penutup sensor cahaya, meletakkan sensor cahaya di tempat yang akan dilakukan pengukuran pencahayaan tepatnya pada posisi pekerja melakukan pekerjaannya. Banyaknya titik pengukuran juga dapat ditentukan sesuai luas ruangan. Peneliti menggunakan range yang dijadikan standar pengukuran adalah 300 lux untuk standar ruang kerja administrasi. Menekan tombol Lux/Fc untuk merubah satuan pengukuran dalam Lux atau Fc. Pada saat awal pengukuran display tidak menunjukkan tanda “OL” yang muncul, hal tersebut mengindikasikan cahaya yang terdapat dilokasi pengukuran tidak Overload, maka lanjutkan untuk tetap pengukuran tanpa mengganti range yang ada. Diletakkan alat di tempat ruangan kerja sesuai posisi pekerja dengan tinggi kurang lebih 100 cm atau 1 meter dari lantai. Peneliti
86
mengarahkan sensor cahaya pada permukaan daerah yang akan diukur kuat atau frekuensi pencahayaannya. Lalu ditunggu hingga angka di display stabil, setelah stabil dibaca angka yang tertera pada layar panel. Peneliti melakukan hal tersebut sebanyak 3 kali pada setiap titik dan mencari rata-rata dari intensitas pencahayaan yang ada. Ditekan tombol D/H untuk menghentikan angka saat pengukuran, fungsi dari tombol tersebut sebagai tombol stop atau pause. Dilakukan hal tersebut sebanyak 3 kali pada setiap titik. Jika sudah selesai pengukuran, tutup kembali sensor cahaya. Matikan alat dengan menekan tombol ON/OFF. 4. Thermohygrometer Pengukuran suhu ruangan dan kelembaban udara dilakukan selama 4 hari pada shift pagi pukul 07.00-13.00 WIB, pada shift siang pukul 14.00-19.00 WIB dan pada shift malam pukul 21.00-24.00 WIB. Pengukuran dilakukan pada 2 tempat yaitu gerbang tol Cililitan 1 dan gerbang tol Cililitan 2. Pengukuran suhu ruangan dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan metode pembacaan langsung dan menggunakan alat pengukuran
Thermohygrometer.
Kondisi ruang kerja
saat
setiap shift berbeda-beda, terdapat beberapa pendingin
ruangan yang dinyalakan sangat dingin dibawah 18˚C dan beberapa dinyalakan pada tingkatan normal 24-26 ˚C serta beberapa pendingin ruangan tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan kondisi cuaca saat pengukuran tidak turun hujan dan kadang mendung di sore hari. Peneliti menempatkan alat ukur dengan jarak 1 meter dari karyawan agar suhu
87
yang diterima karyawan dapat tergambar. Alat tersebut diletakkan tepat diatas meja kerja karyawan tanpa mengganggu pekerjaan karyawan.
Gambar 4.4 Thermohygrometer Thermohygrometer terdiri dari dua pengukuran yaitu pengukuran kelembaban relatif (RH) dan suhu ruangan. Peneliti menempatkan alat tersebut di tempat yang akan diukur suhu dan kelembabannya selama 10 menit waktu adaptasi dan pengukuran dilakukan hingga angka pada layar alat menunjukkan angka stabil. Selanjutnya untuk ruangan yang diukur terdapat pekerja, pada hal tersebut karyawan kolektor duduk maka tempatkan alat setinggi 0,6 m. Peneliti menyalakan alat ukur dan dilakukan pengukuran lalu dibaca angka suhu dan kelembaban yang didapat pada alat thermohygrometer. Dicatat dan disimpulkan. 4.7 Pengolahan Data Seluruh data yang terkumpul akan diolah secara statistik. Pengolahan data terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum dilakukannya uji, analisis, dan interpretasi. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut: 1. Editing Editing merupakan kegiatan peneliti menyuting data yang telah terkumpul dengan cara memeriksa isian kuesioner. Hal ini dilakukan peneliti guna memeriksa kelengkapan, kesinambungan, dan keseragaman
88
data sehingga data yang meragukan dan tidak lengkap dapat dilengkapi kembali kepada responden. 2. Coding Coding
merupakan kegiatan peneliti mengklasifikasikan data dan
memberi kode pada jawaban responden yang ada untuk mempermudah dalam proses pengelompokkan dan pengolahan dengan komputer untuk melakukan analisa data. Coding dilakukan peneliti baik pada variabel dependen maupun variabel independen. Pada penelitian ini data yang di coding sebagai berikut: a.
Kelelahan Kerja
a. ≥
60
(Kelelahan [1]
Berat) b. <
60
(Kelelahan [2]
Ringan)
b.
Intensitas Pencahayaan
a. <
300
Lux [1]
(Pencahayaan Tidak Terpenuhi) b. ≥
300
Lux [2]
(Pencahayaan Terpenuhi) c.
Suhu dan Kelembaban
a. < 18˚C atau > 28˚C [1] Suhu Tidak Sesuai dan >60%
<40%
atau
Kelembaban [2]
Tidak Sesuai b. 18˚C-28˚C
Suhu
Sesuai dan 40%-60% Kelembaban Sesuai d.
Shift Kerja
a. Shift
Pagi:
Pukul [1]
89
05.00-13.00 WIB b. Shift Siang: Pukul [2] 13.00-20.00 c. Shift Malam: Pukul [3] 20.00-05.00 WIB 3. Entry Peneliti memasukan data yang telah dikode tersebut kedalam program komputer untuk selanjutnya akan diolah menggunakan aplikasi program data statistik dan dianalisis. 4. Cleaning Cleaning merupakan kegiatan peneliti melakukan pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis. Cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai
kelogisannya. Tahapan
cleaning data terdiri dari mengetahui missing data, mengetahui variasi data, dan mengetahui konsistensi data. 4.8 Analisis Data a. Analisis Univariat Analisis
Univariat
yaitu
analisis
yang
digunakan
untuk
memperoleh gambaran distribusi masing-masing variabel kelelahan kerja pada karyawan gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dan variabel lingkungan kerja (kebisingan, pencahayaan dan suhu & kelembaban) serta shift kerja pada karyawan gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng.
90
b. Analisi bivariat Analisis Bivariat yaitu analisis yang dilakukan setelah memperoleh data. Pada penelitian ini analisis yang digunakan secara kuantitatif analitik yaitu menggunakan uji T-Independent Test dan uji Chi-Square (X2) untuk memperoleh hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Untuk mencari hubungan antara variabel independen kebisingan dengan variabel dependen kelelahan kerja menggunakan uji TIndependent Test, karena variabel tersebut merupakan variabel numerik. Setelah dilakukan uji normalitas data maka dapat ditentukan uji tindependent yang digunakan, jika data berdistribusi dengan normal maka digunakan uji T-Test dan untuk data yang berdistribusi tidak normal maka digunakan uji Non-Parametric. Sedangkan uji chi-square dilakukan untuk mengetahui hubungan antara data kategorik variabael independen pencahayaan, suhu ruangan dan kelembaban udara, dan shift kerja dengan data ketegorik variabel dependen kelelahan kerja pada karyawan gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng. Adakah hubungan yang bermakna kuat antara variabel dependen dengan variabel independen. Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan uji statistik T-Independent dan Chi-Square Test dengan menggunakan program statistik, dengan tingkat signifikan 5%, maka interpretasi hasil sebagai berikut: 1. Jika p value < 0.05 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan. 2. Jika p value > 0.01 tetapi < 0.05 maka hasil uji dinyatakan signifikan.
91
3. Jika p value > 0.05 maka uji dinyatakan tidak signifikan (Riwikdikdo, 2008).
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian 5.1.1 PT Jasa Marga (Persero) Tbk Jasa Marga berdiri dengan nama PT Jasa Marga (Indonesia Highway Corporation) berdasarkan Akta No. 1 pada tanggal 1 Maret 1978, kemudian berubah menjadi PT Jasa Marga (Persero) berdasarkan Akta Nomor 187 pada tanggal 19 Mei 1981 di hadapan notaris Kartini Muljadi, SH. Pendirian Jasa Marga telah sesuai dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1969, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-undang, Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jasa Marga (Persero) dan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1978 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia dalam Pendirian Perusahaan Jasa Marga (Persero) di bidang Pengelolaan, Pemeliharaan dan Pengadaan Jaringan Jalan Tol serta Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 90/KMK 06/1978 tanggal 27 Februari 1978 tentang Penetapan Modal Perusahaan Perseroan PT Jasa Marga (Persero) di bidang jalan tol (www.jasamarga.com, 2016). Untuk mendukung gerak pertumbuhan ekonomi, Indonesia membutuhkan jaringan jalan yang handal. Melalui Peraturan Pemerintah No. 04 Tahun 1978, pada tanggal 01 Maret 1978 Pemerintah mendirikan serta sarana kelengkapannya agar jalan tol dapat berfungsi sebagai
92
93
jalan bebas hambatan yang memberikan manfaat lebih tinggi daripada jalan umum bukan tol (www.jasamarga.com, 2016). 5.1.2 Visi dan Misi PT Jasa Marga a. Visi 2017: Menjadi Perusahaan Pengembang dan Operator Jalan Tol Terkemuka di Indonesia . b. Visi 2022: Menjadi Salah Satu Perusahaan Terkemuka di Indonesia. c. Misi 1. Mewujudkan Percepatan Pembangunan Jalan Tol. 2. Menyediakan Jalan Tol yang Efisien dan Andal. 3. Meningkatkan kelancaran Distribusi Barang dan Jasa. 5.1.3 Aktifitas Usaha PT Jasa Marga Bidang usaha Jasa Marga adalah membangun dan menyediakan jasa pelayanan jalan tol. Untuk itu Jasa Marga melakukan aktifitas usaha sebagai berikut: a. Melakukan investasi dengan membangun jalan tol baru. b. Mengoperasikan dan memelihara jalan tol. c. Mengembangkan usaha lain, seperti tempat istirahat, iklan, jaringan serat optik dan lain-lain, untuk meningkatkan pelayanan kepada pemakai jalan dan meningkatkan hasil usaha perusahaan. d. Mengembangkan usaha lain dalam koridor jalan tol. e. Saat ini Jasa Marga mengelola dan mengoperasikan 13 hak pengusahaan (konsesi) jalan tol melalui sembilan kantor cabang dan satu anak perusahaan yaitu : 1. Jalan tol Jagorawi
94
2. Jalan Tol Jakarta-Tangerang 3. Jalan Tol Jakarta- Cikampek 4. Jalan Tol Dalam Kota Jakarta 5. Jalan Tol Prof. Dr.Ir. Sedyatmo 6. Jalan Tol Serpong-Pondok Aren (dioperasikan oleh JLJ) 7. Jalan Tol Cikampek -Purwakarta-Cileunyi 8. Jalan Tol Padalarang –Cileunyi 9. Jalan Tol Palimanan-Kanci 10. Jalan Tol Semarang 11. Jalan Tol Surabaya Gempol 12. Jalan Tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa 13. Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (dioperasikan oleh JLJ)
95
Gambar 5.1 Peta Wilayah Jaringan Jalan Tol Jakarta dan Sekitarnya
Sumber: (www.jasamarga.com, 2016) 5.1.4 PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Jalan Tol Dalam Kota atau Jakarta Intra Urban Tollways, mulai dioperasikan oleh Jasa Marga secara bertahap semenjak tahun 1987, melalui ruas Cawang-Semanggi. Jalan Tol ini dibangun seiring dengan
96
pertumbuhan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis, dimana mobilitas orang dan barang makin meningkat pula. Jalan Tol sepanjang ini menghubungkan wilayah Timur Jakarta yaitu Cawang hingga wilayah Barat Kota Jakarta hingga Pluit. Jalan Tol sepanjang 23,55 Km ini saat ini terintegrasi dengan 4 (empat ) jalan tol yang menuju ke berbagai wilayah yaitu, Jalan Tol Jagorawi, Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Jalan Tol Tangerang-Merak, Serta Jalan Tol Prof Dr. Ir. Sedyatmo. Sementara itu pada tahun 1996 saat selesainya pembangunan ruas Grogol-Pluit, Jalan tol ini menjadi sebuah lingkaran yang tak berujung bersamaan bersama ruas Cawang-Tanjung Priuk-Pluit yang dioperasikan oleh PT Citra Marga Nushapala Persada. Dengan demikian jalan tol ini menjadi salah satu infrastruktur penting Nasional dan menjadi urat nadi trasportasi yang penting menghubungkan dari wilayah Tangerang menuju Cikampek serta kota-kota lain di Pantai Utara Jawa (Pantura). Sehingga Jalan tol ini yang memiliki 3 x 2 jalur ini kerap dipadati oleh lalu lintas pada jam-jam tertentu. Bagan 5.1 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Dalam Kota Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata Per Hari/kr
Sumber: (www.jasamarga.com, 2016)
97
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa pertumbuhan volume lalu lintas kendaraan ruas dalam kota setiap tahunnya meningkat dengan ratarata per harinya mencapai 568.863/hari pada tahun 2013. Hal tersebut menunjukkan bahwa ruas tol dalam kota termasuk aktivitas pengguna jalan tol yang padat. Selain itu, terdapat jalan tol yang dibangun untuk melengkapi pembangunan Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng. Jalan tol sepanjang 14,30 km mulai dioperasikan pada tahun 1987. Keistimewaan Jalan tol ini adalah diterapkannya kontruksi Cakar Ayam sebagai pondasi Jalan. Teknologi ini ditemukan oleh Prof. Dr.Ir. Sedyatmo yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama jalan tol ini. Saat ini jalan tol Sedyatmo telah mengalami penambahan lajur elevated di kiri dan kanan jalan utama, hal ini untuk menghindari risiko banjir yang kerap merendam badan jalan tol yang disebabkan perkembangan wilayah sekitar jalan tol tersebut. Jalan Tol Prof.Dr.Ir. Sedyatmo saat ini selain tersambung dengan jalan tol Dalam Kota, juga tersambung dengan jalan tol JORR W1 Ke dua ruas jalan tol ini diopersikan oleh Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng Pertumbuhan Volume Lalu Lintas.
98
Bagan 5.2 Pertumbuhan Volume Lalu Lintas Kendaraan Ruas Prof. Dr. Ir. Sedyatmo Cabang Cawang Tomang Cengkareng Rata-Rata Per Hari/kr
Sumber: (www.jasamarga.com, 2016) Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa pertumbuhan volume lalu lintas kendaraan ruas Prof. Dr. Ir. Sedyatmo mengalami peningkatan dengan rata-rata per harinya mencapai 204.338/hari pada tahun 2013. 5.1.5 Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bagi Perseroan, sumber daya manusia adalah aset yang sangat berharga yang harus terus dijaga dan diberdayakan. Pemberdayaan dan perhatian yang tinggi terhadap SDM Perseroan dilakukan dengan menciptakan lingkungan kerja yang aman, nyaman dan menyehatkan dengan menerapkan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang tinggi pada setiap level operasional Perseroan. Didalam penerapan program K3, Perseroan secara rutin melakukan inspeksi
terhadap
menyebabkan
faktor-faktor
cedera,sakit
atau
atau hazards yang kecelakan,
berpotensi
mengidentifikasi
ketidakfungsian peralatan, memonitor kondisi lingkungan yang berpotensi
99
menimbulkan masalah K3, serta tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP). Selain hal-hal preventif diatas, Unit K3 Perseroan juga secara periodik melakukan analisis keselamatan kerja untuk meninjau ulang metode dan mengidentifikasi praktek pekerjaan yang tidak selamat yang selanjutnya dilakukan suatu tindakan korektif. Dalam Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen Perseroan. Perseroan telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Pembentukan Organisasi Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja b. Sertifikasi OHSAS 18001:2008 dan Sertifikasi SMK3 c. Kebijakan Mutu 1. Mengusahakan jasa pelayanan yang bermutu tinggi untuk memenuhi kelancaran, keamanan dan kenyamanan pelanggan. 2. Mendorong
seluruh
karyawan
untuk
selalu
meningkatkan
keterampilan dan keahlian serta selalu bertanggung jawab dan tertib dalam menjalankan tugas melayani pelanggan. 3. Terus menerus menyempurnakan sistem dan lingkungan kerja ke arah yang lebih efektif dan efisien untuk mendukung tercapainya mutu pelayanan.
100
5.2 Hasil Analisis Univariat 5.2.1 Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol Pada penelitian ini kelelahan kerja merupakan dampak dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Biasanya kelelahan kerja bersumber dari aktivitas pekerja yang dilakukan dan kemudian dapat menghilang setelah dilakukan pemulihan dengan mengistirahatkan individu. Kelelahan kerja yang diukur menggunakan kuesioner Subjective Self Ratting Test (SSRT) dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) sebagai indikator kelelahan kerja. Adapun hasil penelitian tentang gambaran kelelahan kerja berdasarkan kuesioner Subjective Self Rating Test pada pekerja gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1 Distribusi Kelelahan Kerja (Subjective Self Ratting Test) Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Berat Kelelahan Ringan
n 28 14
% 66.7 33.3
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa distribusi kelelahan kerja dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang mengalami kategori kelelahan berat dengan jumlah yaitu 28 (66.7%) karyawan, dengan demikian kelelahan kerja yang dirasakan karyawan kolektor gerbang tol paling banyak dialami karyawan pada kategori kelelahan berat.
101
5.2.2 Gambaran Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban, dan Shift
Kerja) Pada Karyawan
Kolektor Gerbang Tol Data tingkat kebisingan di tempat kerja diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan Sound Level Meter. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan pada setiap titik gardu tol yaitu setiap ruang kerja kolektor gerbang tol. Kemudian, data tingkat pencahayaan di tempat kerja diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan Digital Lux Meter. Pengukuran tingkat pencahayaan dilakukan pada satu titik setiap ruang kerja kolektor gerbang tol dimana tiap titik pengukuran dilakukan sampai angka pada display lux meter stabil. Selanjutnya data suhu ruangan dan kelembaban udara
di tempat kerja diperoleh dari hasil pengukuran
menggunakan Hygrometer. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan pada setiap titik ruang kerja sampai mendapatkan angka pada display stabil. Semua pengukuran dilakukan pada satu titik setiap ruang kerja namun tidak mengganggu proses kerja. Hasil penelitian mengenai gambaran hasil pengukuran tingkat kebisingan di tempat kerja pada karyawan kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Distribusi Intensitas Kebisingan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel Mean 95% CI SD Min-Max Intensitas 80.35 – 82.53 3.48 75.30-88.70 Kebisingan Berdasarkan hasil pengukuran pada tabel 5.2 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang
102
Tomang Cengkareng didapatkan mean 95% CI intensitas kebisingan ditempat kerja sebesar 80.35 – 82.53 dBA dengan Standar Deviasi (SD) 3.48. Intensitas kebisingan terendah sebesar 75.30 dBA dan intensitas kebisingan tertinggi sebesar 88.70 dBA. Selanjutnya hasil penelitian mengenai gambaran hasil pengukuran intensitas pencahayaan, suhu ruangan dan kelembaban udara, dan shift kerja di tempat kerja pada karyawan kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Distribusi Intensitas Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara, dan Shift Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel Intensitas Pencahayaan Suhu Ruangan Kelembaban Udara Shift Kerja
Kategori Pencahyaan Tidak Terpenuhi (<300 Lux) Pencahayaan Terpenuhi (≥300 Lux) Suhu Ruangan Tidak Sesuai (>18˚C atau >28˚C) Suhu Ruangan Sesuai (18-28 ˚C) Kelembaban Tidak Sesuai (> atau < 40%-60%) Kelembaban Sesuai (40%-60%) Shift Pagi Shift Siang Shift Malam
N 30 12
% 71.4 28.6
14
33.3
28 26 16 14 14 14
66.7 61.9 38.1 33.3 33.3 33.3
Berdasarkan hasil pengukuran pada tabel 5.3 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang pencahayaannya tidak terpenuhi yaitu sebanyak 30 (71.4%) karyawan. Variabel suhu ruangan pada tabel 5.3 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang
103
Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang suhu ruangannya tidak sesuai yaitu sebanyak 14 (33.3%) karyawan. Variabel kelembaban udara pada tabel 5.3 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang kelembaban udaranya tidak sesuai yaitu sebanyak 26 (61.9%) karyawan. Untuk variabel sistem shift kerja pada tabel 5.3 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol didapat masing-masing 14 karyawan pada shift pagi, siang dan malam. 5.3 Hasil Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Dalam penelitian ini menggunakan uji t-independent test dan uji chi-square. Uji t-independent test dilakukan untuk mencari hubungan antara variabel kebisingan dengan kelelahan kerja, sedangkan uji chi-square dilakukan untuk mencari hubungan antara variabel pencahayaan, suhu ruangan dan kelembaban udara, dan shift kerja dengan kelelahan kerja, dengan derajat kemaknaan pvalue < 0.05 berarti ada hubungan yang sangat signifikan secara statistik, apabila pvalue > 0.01 tetapi < 0.05 berarti ada hubungan yang signifikan secara statistik dan pvalue > 0.05 berarti tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik. 5.3.1 Uji Normalitas Data Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah variabel yang diteliti memiliki distribusi normal atau
104
tidak. Uji normalitas ini menggunakan Shapiro Wilk Test karena pada penelitian ini memiliki sampel kecil (kurang dari 50) yaitu 42 karyawan kolektor gerbang tol. Variabel tersebut dikatakan normal jika p-value ≥ 0,05. Dari hasil analisis, jika data hasil penelitian tersebut berdistribusi normal maka menggunakan uji statistik T-Independent Test sedangkan jika data hasil penelitian tidak berdistribusi normal maka menggunakan uji statistik Non-Parametric yaitu uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney adalah uji statistik Non-Parametric untuk menguji perbedaan atau hubungan antara dua sampel yang independen yang mewakili dua populasi atau dua kelompok. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 5.4 dibawah ini. Tabel 5.4 Hasil Uji Normalitas Data Variabel Kebisingan
Pvalue 0.002
Berdasarkan hasil statistik tersebut, dapat dilihat bahwa variabel kebisingan berdistribusi tidak normal dengan p-value sebesar 0.002, (<0.05) maka menggunakan uji Non-Parametric. 5.3.2 Hubungan Antara Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Hubungan intensitas kebisingan di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini:
105
Tabel 5.5 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Kebisingan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel
N
Mean
Kelelahan Berat
28
81.44
Kelelahan Ringan
14
81.44
Pvalue 0.182
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa rata-rata kebisingan pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng yang mengalami kelelahan berat adalah 81.44 pada 28 karyawan sedangkan pada karyawan yang mengalami kelelahan ringan memiliki rata-rata kebisingan adalah 81.44 pada 14 karyawan. Hasil analisis menggunakan uji statistik Mann-Whitney pada variabel kebisingan diketahui bahwa diperoleh nilai p-value sebesar 0,182, menunjukkan bahwa variabel kebisingan memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. 5.3.3 Hubungan Antara Pencahayaan Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Hubungan
instensitas pencahayaan di tempat kerja terhadap
kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.6 dibawah ini:
106
Tabel 5.6 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Intensitas Pencahayaan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel
Kelelahan Kerja Kelelahan Kelelahan Berat Ringan
Total
Pvalue
Pencahayaan 21 70.0% 9 30.0% 30 100% Tidak Terpenuhi 0.491 Pencahayaan 7 58.3% 5 41.7% 12 100% Terpenuhi Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa ruang kerja karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang pencahayaannya tidak terpenuhi mengalami kelelahan berat terdapat 21 (70.0%) karyawan sedangkan karyawan yang pencahayaannya terpenuhi mengalami kelelahan berat terdapat 7 (58.3%) karyawan. Hasil analisis menggunakan uji statistik chi-square pada variabel pencahayaan diketahui bahwa diperoleh nilai p-value sebesar 0,491, menunjukkan bahwa variabel pencahayaan memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. 5.3.4 Hubungan
Antara Suhu
Ruangan
dan Kelembaban
Dengan
Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Hubungan suhu ruangan di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.7 dibawah ini:
107
Tabel 5.7 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Suhu Ruangan Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel
Kelelahan Kerja Kelelahan Kelelahan Berat Ringan
Total
Pvalue
Suhu Ruangan 6 42.9% 8 57.1% 14 100% Tidak Sesuai 0.036 Suhu Ruangan 22 78.6% 6 21.4% 28 100% Sesuai Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang suhu ruangannya tidak sesuai mengalami kelelahan berat terdapat 6 (42.9%) karyawan sedangkan karyawan yang suhu ruangannya sesuai mengalami kelelahan berat terdapat 22 (78.6%) karyawan. Hasil analisis menggunakan uji statistik chi-square pada variabel suhu ruangan diketahui bahwa diperoleh nilai pvalue sebesar 0,036, menunjukkan bahwa variabel suhu ruangan memiliki pvalue < dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara suhu rungan dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Hubungan kelembaban udara di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.8 dibawah ini:
108
Tabel 5.8 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Kelembaban Udara Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel Kelembaban Tidak Sesuai Kelembaban Sesuai
Kelelahan Kerja Kelelahan Kelelahan Berat Ringan 20
76.9%
6
23.1%
Total 26
Pvalue
100.0% 0.144
8
50.0%
8
50.0%
16
100.0%
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol yang kelembaban udaranya tidak sesuai mengalami kelelahan berat terdapat 20 (76.9%) karyawan sedangkan karyawan yang kelembaban udaranya sesuai mengalami kelelahan berat terdapat 8 (50.0%) karyawan. Hasil analisis menggunakan uji statistik chi-square pada variabel kelembaban udara diketahui bahwa diperoleh nilai p-value sebesar 0,144, menunjukkan bahwa variabel kelembaban udara memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. 5.3.5 Hubungan Antara Shift Kerja Dengan Kelelahan Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Hubungan shift kerja di tempat kerja terhadap kelelahan kerja pada kolektor gerbang tol dapat dilihat pada tabel 5.9 dibawah ini:
109
Tabel 5.9 Gambaran Kelelahan Kerja Berdasarkan Shift Kerja Pada Kolektor Gerbang Tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 Variabel Shift Pagi Shift Siang Shift Malam
Kelelahan Kerja Kelelahan Kelelahan Berat Ringan 9 64.3% 5 35.7% 7 50.0% 7 50.0% 12 85.7% 2 33.3%
Total 14 14 14
100.0% 100.0% 100.0%
Pvalue
0.115
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng dari 42 orang karyawan kolektor gerbang tol dengan shift pagi yang mengalami kelelahan berat terdapat 9 (64.9%) karyawan, sedangkan pada karyawan dengan shift siang yang mengalami kelelahan berat terdapat 7 (50.0%) karyawan dan pada karyawan dengan shift malam yang mengalami kelelahan
berat
terdapat
12
(85.7%)
karyawan.
Hasil
analisis
menggunakan uji statistik chi-square pada variabel shift diketahui bahwa diperoleh nilai p-value sebesar 0,115, menunjukkan bahwa variabel shift memiliki pvalue > dari 0.05 (α = 5%) maka dinyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menyadari terdapat keterbatasan dan kelemahan penelitian. Dengan keterbatasan ini, diharapkan dapat dilakukan perbaikan untuk penelitian yang akan datang. Keterbatasan dan kelemahan penelitian ini sebagai berikut: 1. Alat yang digunakan tidak dapat menyimpan otomatis sehingga perlu dicatat secara manual masing-maisng alat, ada yang perlu dicatat setiap 5 detik sekali yaitu pengukuran kebisingan hal tersebut dapat mempengaruhi pencatatan hasil akhir pengukuran, selain itu tidak diketahuinya grafik peningkatan atau penurunan intensitas pengukurannya. 2. Pengukuran pada pencahayaan tidak memperhatikan aspek kondisi fisik pencahayaan (Lampu) sehingga memungkinkan mempengaruhi hasil pengukuran. 3. Ruang kerja kolektor gerbang tol yang sempit, membuat peneliti memiliki sedikit ruang untuk menempatkan alat ukur lingkungan kerja dan sedikit ruang untuk bergerak contohnya alat pengukuran kebisingan yang diletakkan dibelakang telinga karyawan tidak tepat disamping telinga karyawan karena dapat menggangu aktivitas karyawan.
110
111
6.2 Gambaran Kelelahan Kerja Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol Kelelahan merupakan keadaan yang berbeda-beda pada setiap individu, namun dari semua keadaan kelelahan akan berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Secara teori keadaan lelah meliputi aspek fisiologis maupun aspek psikologis dan bersifat subjektif dimana ditandai dengan penurunan kinerja fisik, perasaan lelah, penurunan motivasi, dan penurunan produktivitas kerja yang akan mempengaruhi kesehatan pekerja. Kelelahan merupakan keadaan melemahnya kekuatan fisik maupun psikis
seseorang yang dapat mengganggu kesiagaan, ketelitian,
penurunan kapasitas ketahanan tubuh dan akan mempengaruhi kesehatan seseorang (Grandjean, 1995; Suma’mur, 2009; Budiono, dkk, 2003; dan Tarwaka, 2010). Maka kelelahan dapat diartikan dimana keadaan seseorang sudah tidak mampu melakukan suatu aktivitas karena merasa pekerjaan yang dilakukan adalah suatu beban yang harus dipulihkan. Kelelahan kerja dapat menurunkan konsentrasi kerja dan kesalahan dalam melakukan pekerjaan karena dari itu perlu adanya pemulihan baik pemulihan psikis maupun fisik pada pekerja, apabila tidak segera dilakukan pemulihan akan mengakibatkan penurunan produktivitas. Penurunan produktivitas kerja dapat menghambat perusahaan dalam menggerakkan aktivitasnya karena pekerja yang menjadi penggerak tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Pada penelitian ini, kelelahan kerja diukur menggunakan Kuesioner Subjective Self Ratting Test (SSRT) yang diadopsi dari Industrial Fatigue Research Committee of Japanese Association Industrial Health (IFRC
112
Jepang). Kuesioner SSRT dari IFRC adalah kuesioner khusus digunakan untuk menilai perasaan kelelahan subjektif secara umum. Pengukuran dengan metode ini bersifat subjektif sesuai dengan masing-masing responden maka sangat bergantung dari jawaban responden yang diteliti. Berdasarkan hasil pengukuran kelelahan kerja secara subjektif pada 42 karyawan kolektor gerbang tol menggunakan kuesioner SSRT, diperoleh hasil bahwa karyawan kolektor gerbang tol paling banyak merasakan kelelahan pada kategori kelelahan berat. Kelelahan berat yang dirasakan oleh karyawan disebabkan karena beban kerja karyawan tergolong beban kerja sedang dengan melakukan pekerjaan secara konstan dan berulang melakukan transaksi pada pengguna tol yang kadang aktivitas pengguna tol meningkat dengan cepat dan menurun juga dengan sendirinya dan selain itu juga didukung oleh lingkungan kerja yang menjadi pajanan karyawan kolektor gerbang tol. Pada kolektor gerbang tol yang mengalami kelelahan ringan dalam penelitian ini, bisa dianggap mereka bekerja dalam keadaan yang normal, seperti yang terdapat pada teori yang dikemukakan oleh Tarwaka (2004) yaitu kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan setelah istirahat sehingga pada pengumpul tol yang mengalami kelelahan tingkat ringan belum diperlukan adanya tindakan perbaikan karena dapat diatasi dengan melakukan istirahat sejenak. Pernyataan tersebut sesuai dengan Tarwaka (2013) yang menyatakan bahwa kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Sehingga tingkatan kelelahan yang mulai perlu
113
dilakukan tindakan perbaikan lebih lanjut adalah pengumpul tol yang mengalami kelelahan berat. Jika menderita lelah berat secara terus menerus maka akan mengakibatkan kelelahan kronis dengan gejala lelah sebelum bekerja. Jika terus berlanjut dan menimbulkan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya maka kelelahan itu dinamakan lelah klinis yang akan mengakibatkan malas bekerja (Sedarmayanti, 2009). Namun kelelahan kerja yang normal atau ringan dapat dikaitkan dengan beban kerja dan waktu istirahat. Kelelahan kerja juga terkait dengan waktu istirahat. Waktu istirahat yang cukup dapat memberikan pemulihan (recovery) dan penyegaran kembali bagi tenaga kerja. Sedangkan, secara teori waktu istirahat berfungsi untuk memberikan pemulihan, yaitu memberikan kesempatan kepada otot untuk merubah asam laktat yang terakumulasi menjadi glikogen dengan pasokan oksigen yang memadai, jika hal itu dihubungkan dengan kelelahan kerja fisiologis. Jika dihubungkan dengan kelelahan kerja psikologis, waktu pemulihan memberikan perasaan nyaman dan relaksasi bagi otak untuk menurunkan kebosanan (kelelahan) dan akhirnya mendorong tenaga kerja untuk mempertahankan kinerja mendekati output yang maksimum (Morgeson dan Garza, 2013). Jika dianalisis berdasarkan pengelompokkan gejala kelelahan kerja di kuesioner SSRT menggambarkan bahwa karyawan kolektor gerbang tol paling banyak mengalami pelemahan fisik dengan presentase 45.2% sedangkan pelemahan kegiatan dengan presentase 38.1% dan pelemahan motivasi 16.7%, berdasarkan presentase tersebut menunjukkan karyawan membutuhkan bentuk
114
penanggulangan dan pencegahan yang berbeda beda berdasarkan jenis pelemahannya. Dalam gejala pelemahan kegiatan yang dirasakan karyawan sebagian besar ingin segera menyelesaikan pekerjaan dan melakukan istirahat melakukan peregangan seperti berbaring, tidur, dan menenangkan pikiran. Fasilitas ruangan istirahat telah disediakan oleh perusahaan untuk tujuan dapat membantu karyawan melakukan pemulihan setelah bekerja. Sedangkan dalam gejala pelemahan motivasi karyawan sebagian besar merasa kecemasan sangat sering dalam melakukan pekerjaan karena ditakutkan ada kesalahan dalam bekerja seperti salah menghitung uang kembalian, salah memberikan uang, kekurangan uang transaksi dan adanya pengguna yang tidak bayar transaksi. Hal tersebut dirasakan karena tanggung jawab karyawan sangat besar dalam melakukan pekerjaannya, segala macam aktivitas dipantau oleh kepala shift dibagian kantor menggunakan CCTV dan karyawan memiliki kekhawatiran akan aktivitas kerjanya karena kadang kecenderungan untuk lupa yang terjadi pada pekerjaan kerap terjadi. Namun karyawan memiliki motivasi yang cukup tinggi untuk mendedikasikan pekerjaannya dengan selalu meningkatkan produktivitasnya dan hal tersebut akan meenguntungkan untuk perusahaan karena keuntungan pada perusahaan juga akan meningkat. Untuk gejala pelemahan fisik yang dirasakan karyawan sebagian besar karyawan mengeluh sering merasa haus dan nyeri dibagian bahu karena harus terus menerus melakukan transaksi pada jam kerjanya. Pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus dan dapat dikatakan konstan atau tetap
115
gerakannya membuat karyawan merasakan kelelahan akan fisik yang melakukan gerakkan berulang tersebut. Hal ini menujukkan bahwa dari 3 pelemahan tersebut karyawan membutuhkan beberapa penanggulangan dan pencegahan yang diantaranya telah dilakukan perusahaan seperti sudah diberikannya fasilitas berupa ruang istirahat dengan dilengkapi matras, televisi, dan lainnya untuk menanggulangi pelemahan kegiatannya namun tanpa disadari perusahaan perlu memberikan inovasi baru berupa inovasi kegiatan dalam transaksi agar karyawan tidak merasakan kejenuhan akan kegiatan yang monoton setiap melakukan aktivitas pekerjaannya. Pernyataan tersebut didukukng oleh pernyataan Suma’mur (1996) terdapat empat kelompok sebab kelelahan yaitu: keadaan monoton, beban pekerjaan baik fisik maupun mental, keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan, keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, kekhawatiran atau konflik, penyakit atau perasaan sakit. Selain itu perusahaan juga perlu memberikan motivasi lebih kepada karyawan dapat dilakukan dengan mennyediakan rewards untuk karyawan yang mendedikasikan pekerjaannya dengan baik secara berlaka atau dapat juga dilakukan promosi jabatan kepada karyawan yang memiliki karir pekerjaan yang selalu meningkat produktivitasnya. Sedangkan hal lainnya dalam menanggapi pelemahan fisik perusahan dapat melakukan inovasi baru untuk selalu mengingatkan karyawan melakukan senam peregangan pada tubuhnya saat merasakan kelelahan fisik. Kelelahan kerja kategori kelelahan berat yang timbul dirasakan karyawan merupakan hasil dari adanya berbagai penyebab kelelahan salah
116
satunya berasal dari lingkungan. Berdasarkan waktu terjadinya kelelahan yang dirasakan karyawan kolektor gerbang tol termasuk kelelahan kronis karena sebagian karyawan telah merasakan kelelahan sebelum melakukan pekerjaan atau diawal melakukan pekerjaan dan pernyataan tersebut didukung oleh teori Budiono (2003) yaitu kelelahan kronis merupakan kelelahan yang terjadi sepanjang hari dalam jangka waktu yang lama dan kadang-kadang terjadi sebelum melakukan pekerjaan. Penyebab kelelahan tersebut juga didapati oleh lingkungan kerja karyawan kolekor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 dimana kelelahan yang dirasakan karyawan berasal dari lingkungan kerja yaitu meliputi kebisingan, pencahayaaan, suhu ruangan dan kelemababan udara dan shift kerja. Kelelahan kerja merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada pekerja, dimana pekerja tidak sanggup lagi untuk melakukan pekerjaan (Sedarmayanti, 2009). Oleh karena itu diperlukan tindakan untuk mencegah terjadinya kelelahan kerja. Diperlukannya upaya untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab-penyebab
kelelahan
kerja
yaitu
dengan
cara
memberikan
pelatihan/informasi secara lebih mendalam mengenai kelelahan, penyebab kelelahan, dampak dan cara menanggulangi kelelahan akibat kerja untuk karyawan. Selain itu diperlukan adanya pengendalian bahaya di lingkungan kerja seperti pengendalian kebisingan, pencahayaan, suhu ruangan dan kelemababan udara, shift kerja agar karyawan menyadari dan dapat meminimalkan kondisi kelelahan dalam bekerja sehingga tidak terjadi
117
penurunan
produktivitas
kerjadalam
melakukan
pekerjaan.
Perlunya
mengurangi tingkat kelelahan dengan menghindari sikap kerja yang statis dan merubahnya menjadi sikap kerja yang lebih bervariasi atau dinamis, sehingga sirkulasi darah dan oksigen dapat berjalan normal keseluruh anggota tubuh. Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor, yang terpenting adalah bagaimana menangani setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi kronis. Agar dapat menangani kelelahan dengan tepat, maka harus diketahui apa penyebab dari kelelahan tersebut (Tarwaka, 2004). Untuk mencegah terjadinya kelelahan kerja, berdasarkan teori yang dikemukaan Lerman et al (2012), ILO (1998), Budiono (2003) dan Sedarmayanti (2009) bahwa untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab-penyebab kelelahan yaitu dengan cara menyeimbangkan antara beban kerja dengan jumlah pekerja sehingga tidak ada pekerja yang mendapat beban kerja melebihi kapasitas kerja yan sanggup dikerjakan, mengatur jam kerja dengan waktu istirahat yang cukup dan bergantian pekerjaan saat merasa sudah tidak nyaman, dan mengendalikan bahaya ditempat kerja dengan cara mendesain tempat kerja yang aman dan sehat, adanya masa–masa libur dan rekreasi, penggunaan warna yang lembut, dekorasi, dan musik di tempat kerja, merubah metoda kerja menjadi lebih efisien dan efektif, menciptakan suasana lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman terutama disebabkan oleh faktor fisik, kimia, dan psikologi serta penerapan ergonomi, memperhatikan faktor lingkungan guna menunjang suasana kerja yang menyenangkan, diantaranya dalam hal: kebisingan temperature atau tekanan panas, sirkulasi udara, pencahayaan, dekorasi dan tata warna, latihan fisik membantu kelancaran fungsi organ tubuh agar dapat
118
melakukan pekerjaan lebih kuat, cekatan dan efisien., penyediaan sarana dan fasilitas tempat istirahat yang nyaman, ruang makan, dan kantin. 6.3 Faktor Lingkungan Kerja Fisik (Kebisingan, Pencahayaan, Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara, dan Shift Kerja) Pada Karyawan Kolektor Gerbang Tol 6.3.1 Kebisingan Terpapar kebisingan dapat menyebabkan kelelahan kerja karena denyut nadinya akan naik, tekanan darah naik, dan mempersempit pembuluh darah yang akan menggangu komunikasi serta menganggu konsentrasi dan kemampuan berpikir pekerja sehingga menyebabkan kelelahan kerja (Suma’mur, 1996; Syukri, 1996; Soeripto, 1996). Berdasarkan
hasil
penelitian
didapatkan
bahwa
intensitas
kebisingan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Hal tersebut menggambarkan bahwa karyawan kolektor gerbang tol yang mengalami kelelahan kerja bukan sepenuhnya disebabkan oleh paparan kebisingan. Berdasarkan hasil observasi tempat kerja, kebisingan yang terdapat di tempat kerja berasal dari knalpot kendaraan pengguna jalan tol terutama pengguna jalan tol yang menggunakan kendaraan besar seperti truk atau bis dan pengguna jalan tol yang menggunakan knalpot racing. Selain itu, sumber kebisingan didapat dari sumber lain yaitu audio musik diruang kerja masing-masing kolektor gerbang tol, sebagian dari kolektor gerbang tol menyalakan audio musik hingga volume tinggi dengan tujuan untuk
119
menghibur diri sendiri namun tidak dipungkiri suara audio tersebut menjadi salah satu pajanan sumber kebisingan di tempat kerja. Menurut Munandar (2008) benar adannya apabila musik diperdengarkan dalam suatu lingkungan kerja akan dapat menimbulkan suasana gembira dan mengurangi kelelahan kerja serta musik dalam bekerja memiliki pengaruh yang baik pada pekerjaan-pekerjaan yang sederhana, rutin dan monoton, sedangkan pada pekerjaan yang lebih majemuk dan memerlukan konsentrasi yang tinggi pada pekerjaan pengaruhnya dapat menjadi sangat negatif. Musik dapat menjadi suara yang bising dan mengganggu. Asumsinya semakin tinggi kebisingan disuatu tempat kerja, maka seseorang akan semakin sulit untuk berkonsentrasi dan pikiran mudah stress sehingga dapat memicu munculnya kelelahan. Namun, hasil yang didapatkan penelitian ini tidak sesuai (tidak berhubungan) dengan asumsi dan teori yang dikemukakan oleh beberapa sumber seperti Tarwaka (2004) menyatakan bahwa beberapa akibat pemaparan kebisingan salah satunya adalah kelelahan. Selain itu pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan Suma’mur (2009) bahwa kebisingan akan mempengaruhi faal tubuh seperti gangguan pada saraf otonom yang ditandai dengan bertambahnya metabolisme, bertambahnya tegangan otot sehingga mempercepat kelelahan. Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengganggu komunikasi, mengurangi konsentrasi (Budiono, dkk, 2003), sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban dan keengganan
untuk
melakukan
aktivitas.
Kebisingan
yang
tidak
120
terkendalikan dengan baik, juga dapat menimbulkan efek lain yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan kerja (Suma’mur,1996). Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Suara keras, berlebihan atau berkepanjangan dapat merusak jaringan saraf sensitif di telinga, menyebabkan kehilangan pendengaran sementara atau permanen. Hal ini sering diabaikan sebagai masalah kesehatan, tapi itu adalah salah satu bahaya fisik utama (ILO, 2013) Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kebisingan memiliki hubungan dengan kelelahan kerja dan mendukung teori diatas salah satunya penelitian menurut Sari (2010) terdapat pengaruh intensitas kebisingan terhadap kelelahan kerja secara sangat signifikan pada tenaga kerja bagian screening CV. Mekar Sari Wonosari Klaten. Selain itu hasil penelitian kelelahan yang menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan perasaan kelelahan kerja pada tenaga kerja (Yusri, 2006). Pada penelitian Marif (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan kelelahan pada pekerja pembuatan menara tambat leper pantai di proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri Tahun 2013. Berdasarkan 3 penelitian sebelumnya terkait intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian tersebut tidak sejalan atau tidak sesuai karena subjek penelitian dengan lingkungan kerja juga yang berbeda pada penelitian ini. Pada penelitian ini pekerjaan kolektor gerbang tol termasuk
121
pekerjaan rutin layaknya ruang administrasi dengan pajanan kebisingan yang terputus-putus (intermittent), namun untuk pekerjaan pada subjek penelitian Sari (2010) merupakan subjek yang berhubungan langsung dengan mesin yang berproses selama 24 jam maka dari itu sumber kebisingan yang didapatkan konstan dari mesin, sedangkan menurut 2 penelitian lainnya menunjukkan subjek yang bekerja di lapangan outdoor dan berhubungan dengan mesin mendapatkan sumber kebisingan yang konstan serta intensitas yang didapat akan berbeda pula sesuai dengan mesin masing-masing. Sedangkan penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa kebisingan tidak berhubungan dengan kelelahan antara lain penelitian menurut Dirgayudha (2014) didapatkan hasil yang menunjukkan tingkat kebisingan di tempat kerja tidak berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014. Selain itu menurut penelitian Umyati (2010) menyatakan bahwa hasil penelitiannya tidak terdapat hubungan antara kebisingan dengan kelelahan kerja, karena nilai kebisingan yang ada masih tergolong aman. Menurut penelitian Faiz (2014) berdasarkan uji statistik dihasilkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kebisingan dengan kelelahan kerja pada pekerja operator SPBU Kecamatan Ciputat Tahun 2014. Dari ketiga sumber penelitian sebelumnya menggambarkan bahwa pekerja yang bekerja dilapangan baik pada sumber kebisingan yang didapatkan dari mesin maupun dari
122
lingkungan outdoor tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kelelahan kerja. Berdasarkan 3 penelitian sebelumnya tersebut sesuai dengan penelitian ini yang hasilnya tidak terdapat hubungan yang signifikan karena sumber kebisingan yang didapatkan adalah kebisingan intermittent atau kebisingan terputus-putus yang didapatkan dari kendaraan bermotor pernyataan tersebut diperkuat oleh teori Suma’mur (1996) dan Buchari (2007) dan kebisingan yang ada tergolong ke dalam jenis sumber kebisingan garis atau sumber dinamis pernyataan tersebut diperkuat oleh Suroto (2010) yang menyatakan kebisingan yang diakibatkan lalu lintas adalah kebisingan garis. Tingkat gangguan kebisingan yang berasal dari bunyi lalu lintas dipengaruhi oleh tingkat suaranya, seberapa sering terjadi dalam satu satuan waktu, serta frekuensi bunyi yang dihasilkannya (Magrab, 1982). Intensitas kebisingan yang tidak memiliki hubungan signifikan dengan kelelahan kerja dapat terjadi karena sebagian besar kolektor gerbang tol terpapar kebisingan berkisar 81-83 dB. Dimana paparan kebisingan tersebut termasuk paparan kebisingan dibawah NAB. Kondisi tempat kerja yang dilalui oleh aktivitas kendaraan besar maupun kecil sebagai sumber bising membuat hasil pengukuran yang bervariasi sehingga intensitas kebisingan yang diterima masih cenderung normal, hanya saja terdapat perbedaan pada kendaraan yang tergolong besar seperti bus dan truk pada gerbang tol Cililitan 2 akan memiliki intensitas kebisingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan yang
123
tergolong kecil seperti mobil pribadi. Hal ini yang memungkinkan bahwa kebisingan di gerbang tol Cililitan tidak ada hubungan dengan kelelahan yang dialami oleh karyawan kolektor gerbang tol. Paparan kebisingan dibawah NAB juga dapat menyebabkan terjadinya kelelahan karena adanya rasa tidak nyaman dalam menerima paparan kebisingan ditempat kerja. Hal ini berkaitan dengan sensitifitas masing-masing kolektor gerbang tol dan lamanya paparan kebisingan di tempat kerja. Namun, tidak bisa dipungkiri juga kolektor gerbang tol sangat membutuhkan konsentrasi khusus karena harus berhadapan langsung dengan pengguna jalan tol, sementara kebisingan dapat mengganggu kolektor gerbang tol yang membutuhkan perhatian dan konsentrasi secara terus-menerus. Maka dari itu dalam paparan kebisingan yang diterima oleh karyawan juga perlu dikendalikan sehingga tidak dikemudian hari menjadi diatas standar NAB yang telah ditentukan. Analisis ini diperkuat oleh beberapa teori yang menyatakan bahwa pekerja yang terpapar kebisingan untuk jangka waktu yang panjang dapat menghasilkan perasaan tidak nyaman dan peningkatan kelelahan kerja (Lerman et al, 2012). Semakin lama seorang pekerja bekerja maka semakin lama pula pekerja terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk, 2003). Sebagaimana disebutkan dalam Permenakertrans No 13 Tahun 2011 dimana semakin tinggi kebisingan semakin sedikit waktu kerja yang diperlukan pada tempat kerja tersebut. Dari hasil penelitian dan hasil pengukuran kebisingan diatas, paparan kebisingan yang diterima karyawan kolektor gerbang tol dan lama
124
kerja telah sesuai dengan waktu kerja yang telah ditetapkan oleh standar yang ada yaitu intensitas kebisingan ≤85 dBA diperbolehkan selama 8 jam/hari kerja. Walaupun dalam penelitian ini intesitas kebisingan di tempat kerja tidak memiliki hubungan terhadap terjadinya kelelahan kerja, namun perlu adanya pencegahan paparan kebisingan yang dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas karyawan kolektor gerbang tol seperti pengendalian kebisingan dengan tidak menyalakan audio terlalu tinggi volumenya, membuat ruang kerja menyerap kebisingan dengan menambahkan peredam seperti busa atau karet penyerap suara. Adapun upaya perusahaan dalam mengurangi kebisingan yaitu dengan melakukan pengecekkan secara berkala terhadap pajanan bising yang ada. Selain itun perusahaan telah memberikan alat pelindung telinga berupa ear plug untuk mereduksi kebisingan yang diterima oleh karyawan, namun berdasarkan observasi masih terdapat karyawan yang tidak menggunakan alat pelindung telinga yang disediakan. Ear plug yang telah diberikan kepada karyawan sebaiknya juga diberikan pengawasan intensif terhadap penggunaan Alat Pelindung Telinga tersebut dan perlu adanya sanksi bagi yang tidak menggunakan agar menurunkan angka keterpaparan kebisingan terhadap karyawan kolektor gerbang tol. 6.3.2 Pencahayaan Pencahayaan merupakan salah satu sumber terjadinya kelelahan kerja yang terdapat di lingkungan kerja. tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata,
125
kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan pengelihatan, ketegangan dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 42 karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng yang pencahayaannya tidak terpenuhi dan mengalami kelelahan berat lebih banyak dibandingkan dengan karyawan yang pencahayaannya terpenuhi mengalami kelelahan berat dan intensitas pencahayaan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Hal tersebut menggambarkan
bahwa
karyawan
kolektor
gerbang
tol
yang
pencahayaannya tidak terpenuhi dengan yang pencahayaannya terpenuhi memiliki risiko besar untuk terjadinya kelelahan kerja karena sebagian besar ruang kerja karyawan pencahayaannya tidak terpenuhi. Berdasarkan observasi, para karyawan yang sedang bekerja, maka dilakukan pengukuran pencahayaan di ruang kerja masing-masing sehingga setiap pekerja memiliki pencahayaan yang berbeda-beda sesuai dengan pencahayaan yang tersedia diruang kerjanya masing-masing dan sesuai dengan kondisi cuaca saat pengukuran berlangsung. Kondisi cuaca saat pengukuran bervariasi seperti adanya cahaya alami dari matahari pada siang hari, keadaan mendung saat akan turun hujan, keadaan saat turun hujan maupun keadaan gelap saat malam hari. Sumber pencahayaan yang
126
ada didapatkan dari sumber alami yaitu matahari yang didapat langsung dari kaca depan ruang kerja dan juga sumber buatan yaitu lampu yang didapat dalam ruang kerja. Pencahayaan yang ada diruang kerja menggunakan pencahayaan lokal atau pencahayaan yang diperlukan untuk ruang kerja tersebut saja. Terdapat beberapa karyawan pada pagi dan siang hari tidak menyalakan lampu karena merasa sudah cukup dengan pencahayaan alami yang didapat dari matahari bahkan pada kondisi saat mendung pun karyawan masih merasa cukup dengan pencahayaan alami namun perasaan cukup tersebut tidak sesuai dengan hasil pengukuran yang ada. Menurut SNI 16-7062 (2004) intensitas pencahayaan di tempat kerja dimaksudkan untuk memberikan pencahayaan kepada benda-benda yang merupakan objek kerja, peralatan atau mesin dan proses produksi serta lingkungan kerja. Untuk itu diperlukan intensitas pencahayaan yang optimal. Selain menerangi objek kerja, pencahayaan juga diharapkan cukup memadai menerangi keadaan sekelilingnya. Pengaruh dari pencahayaan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja, kelelahan mental, keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala disekitar mata, kerusakan indra mata. Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara pada penurunan performansi kerja (Abidin dan Widagdo, 2009). Dampak dari pencahayaan yang tidak memadai itu adalah kelelahan pada mata, namun itu pun bersifat reversible. Maksudnya, jika mata mengalami kelelahan, maka dengan melakukan istirahat yang
127
cukup/beristirahat sepulang kerja maka pagi harinya mata akan pulih kembali (Departemen Kesehatan, 2008). Penerangan di setiap tempat kerja harus memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan. Penerangan yang sesuai sangat penting untuk peningkatan kualitas dan produktivitas karyawan. Sebagai contoh, pekerjaan perakitan benda kecil membutuhkan tingkat penerangan lebih tinggi, misalnya mengemas kotak. Pada suatu studi menunjukkan bahwa perbaikan penerangan, hasilnya terlihat langsung dalam peningkatan produktivitas dan pengurangan kesalahan. Bila penerangan kurang sesuai, para pekerja terpaksa membungkuk dan mencoba untuk memfokuskan penglihatan mereka, sehingga tidak nyaman dan dapat menyebabkan masalah pada punggung dan mata pada jangka panjang dan dapat memperlambat pekerjaan mereka (ILO, 2013). Pernyataan teori diatas tidak sesuai dengan penelitian ini karena hasil penelitian ini menyatakan bahwa intesitas pencahayaan yang ada pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng tidak ada hubungan yang signifikan terhadap kelelahan kerja, hal ini dengan demikian pencahayaan ditempat kerja ini tidak sesuai juga dengan standar Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu 300 Lux untuk pekerjaan rutin dan ruang administrasi. Teori tersebut sesuai dengan hasil penelitian Septiana, dkk (2013) tentang kelelahan kerja yang dipengaruhi pencahayaan pada operator scarfing didapatkan hasil berupa terdapat hubungan pencahayaan dengan
128
kelelahan kerja. Hal tersebut dapat terjadi karena subjek penelitian tersebut mendapatkan intensitas pencahayaan unum tidak sebanding dengan subjek penelitian ini yang mendapatkan intensitas pencahayaannya yaitu pencahayaan lokal hanya diperuntukan ruang kerja kolektor gerbang tol dan diperuntukan untuk 1 pekerja. Dalam penelitian ini, intensitas pencahayaan di tempat kerja juga tidak memiliki hubungan dengan kelelahan kerja. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kemungkinan karyawan kolektor gerbang tol sudah terbiasa dan berpengalaman melakukan pekerjaannya baik dengan maupun tanpa tingkat pencahayaan yang ideal (300 lux). Hal ini berkaitan dengan lamanya karyawan telah bekerja sehingga membuat karyawan cekatan dan sigap serta sudah terbiasa beradaptasi dengan jenis pekerjaan seperti itu dalam pekerjaannya yang terbilang selalu melakukan pergerakkan transaksi dengan pengguna jalan tol. Pengalaman yang dimiliki karyawan kolektor gerbang tol sehingga membuat karyawan mampu bekerja secara efisien menggunakan besarnya tenaga sehingga kelelahan kerja tidak terjadi akibat tingkat pencahayaan yang tidak terpenuhi di ruang kerja gerbang tol. Analisa ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik pengaruh positif maupun negatif. Adapun pengaruh positif yang berhubungan dengan analisa tersebut yaitu bila semakin lama seorang pekerja bekerja maka akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya (Budiono, dkk, 2003).
129
Karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng sebagian besar menerima pencahyaan yang tidak terpenuhi dan tidak dalam tingkatan yang normal sesuai NAB. Kondisi tempat kerja yang mendapati pencahayaan hanya bersumber dari pencahayaan alami itupun tidak secara langsung karena terhalang oleh kaca dan atap ruang kerja gerbang tol dan bersumber dari pencahayaan lampu yang hanya berjumlah satu tepat diatas karyawan dan hanya berintensitas dengan mean 139 Lux membuat karyawan kolektor gerbang tol mendapatkan pencahayaan yang tidak seharusnya. Selain itu kondisi fisik pencahayaan seperti debu pada lampu dan posisi pengukuran pencahayaan juga dapat mempengaruhi hasil pengukuran intensitas pencahayaan yang diterima karyawan, namun posisi pengukuran saat turun lapangan disesuaikan dengan posisi kerja karyawan serta tepat didekat mata karyawan agar tidak menimbulkan bayangan dan mengganggu hasil pengukuran. Walaupun dalam penelitian ini intesitas pencahayaan di tempat kerja tidak memiliki hubungan terhadap terjadinya kelelahan kerja, namun perlu adanya pencegahan pencahayaan yang kurang yang dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas karyawan kolektor gerbang tol seperti pengendalian dengan memberikan pencahayaan local dengan baik dan cukup untuk karyawan dalam melakukan aktivitas atau memberikan pencahayaan tambahan di meja kerja jika diperlukan.
130
6.3.3 Suhu Ruangan dan Kelembaban Udara Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 menjelaskan standar NAB yang diperkenankan untuk ruang perkantoran adalah 18-28 ˚C untuk suhu ruangan dan 40% - 60% untuk kelembaban udara. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 42 karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng pada ruang kerja karyawan yang suhu ruangannya tidak sesuai dan mengalami kelelahan berat lebih sedikit dibandingkan dengan karyawan yang suhu ruangannya sesuai mengalamai kelelahan berat dan suhu ruangan terdapat hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Sedangkan untuk kelembaban udara didapatkan bahwa dari 42 karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng pada ruang kerja diketahui bahwa kelembaban yang tidak sesuai dan mengalami kelelahan berat lebih banyak dibandingkan dengan kelelembaban udara yang sesuai mengalami kelelahan berat dan kelembaban udara tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. Hasil tersebut menggambarkan bahwa suhu dan kelembaban pada ruang kerja karyawan berdistribusi hampir sama rata.
131
Berdasarkan observasi para karyawan yang sedang bekerja, maka dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban ditempat kerja sehingga setiap karyawan memiliki suhu dan kelembaban ditempat kerja yang berbeda-beda. Suhu dan kelembaban yang ada diruang kerja kolektor gerbang tol didapatkan dari sumber dingin maupun panas walaupun tidak terlalu signifikan perbedaannya. Untuk sumber dingin didapatkan dari pendingin ruangan yang terkadang sangat dingin dan terkadang tidak berfungsi, sedangkan untuk sumber panas didapatkan dari udara panas knalpot kendaraan yang melintas gerbang tol. Kedua suhu tersebut memiliki indikasi untuk membuat karyawan gerbang tol merasakan ketidaknyamanan pada saat bekerja maka dari itu dari hasil pengukuran suhu dan kelembaban dikombinasikankan kedalam parameter Indeks Kenyamanan Bekerja dalam Soemarko (2016) yang didapatkan hasil dari 42 karyawan yang merasakan ruang kerja dalam kategori nyaman sebanyak 11 (26.2%) karyawan, sedangkan karyawan yang merasakan ruang kerja dalam kategori sedikit tidak nyaman sebanyak 15 (35.7%) karyawan dan karyawan yang merasakan ruang kerja dalam kategori sangat tidak nyaman sebanyak 16 (38.1%) karyawan. Hal tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar karyawan merasakan ruang kerja untuk melakukan aktivitas kerjanya masih dalam kategori kurang nyaman maka dari itu perlunya penanganan dari pihak perusahaan karena akan berefek pada kesehatan para karyawan. Suhu dingin mengurangi effisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Suhu panas berakibat menurunnya prestasi
132
kerja pikir, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan untuk dirangsang (Suma’mur, 1996). Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20 % untuk kondisi panas dan 35 % untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh (Hardi, 2006). Dalam penelitian ini karyawan kolektor
gerbang
tol
selalu
berusaha
kenyamanan suhu ruang kerjanya,
mempertahankan
keadaan
kemampuan karyawan dalam
menyesuaikan diri terhadap suhu yang ada sudah terlihat dengan usaha karyawan dalam mengatur tingkat kenyamanannya dalam bekerja dengan mengatur pendingin ruangan yang sesekali
terlalu dingin atau tidak
berfungsi. Asumsinya adalah semakin tidak nyaman suhu di lingkungan tempat kerja maka akan semakin besar peluang terjadinya kelelahan karena kolektor gerbang tol akan mudah merasakan haus, dehidrasi, dan perasaan tidak nyaman. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Grandjean (1995), bahwa kondisi lingkungan kerja yang panas akan dapat
133
menyebabkan rasa letih dan kantuk, selain itu mengalami kelelahan panas atau heat exhaustion dapat mengurangi kestabilan dan meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja. Suhu nyaman untuk orang Indonesia adalah antara 24–26°C, suhu yang terlalu dingin dapat mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot, sedangkan untuk suhu panas dapat mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi, dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf dan motoris, serta memudahkan emosi untuk dirangsang (Suma’mur, 2009). Pada lokasi tempat bekerja kolektor gerbang tol sebenarnya sudah di desain sedemikian rupa nyaman dengan menambahkan pendingin ruangan di dalam masing-masing gardu, lalu memberikan atap yang cukup luas agar matahari tidak langsung masuk dan mengenai kolektor gerbang tol, namun faktor-faktor lain seperti jika pendingin ruangan di dalam gardu rusak dan panas yang bersumber dari knalpot kendaraan juga dapat mempengaruhi
kondisi
suhu
ruang
kerja.
Komplain
tentang
ketidaknyamanan suhu udara dalam ruang kerja sering terjadi pada penghuni gedung-gedung perkantoran. Masalah kualitas udara dalam ruangan tersebut biasanya disebabkan karena, kelembaban dan gerakan udara di luar batas yang dianjurkan (Tarwaka, 2004). Pernyataan teori dan asumsi tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa suhu ruangan kerja kolektor gerbang tol memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya kelelahan kerja, dan didukung dengan penelitian sebelumnya yaitu oleh Karima (2014)
134
yang menyatakan suhu ruangan berhubungan secara signifikan dengan stress kerja dan kelelahan kerja. Menurut Suma’mur (1996), pada suhu udara yang panas dan lembab, makin tinggi kecepatan aliran udara malah akan makin membebani tenaga kerja. Pada tempat kerja dengan suhu udara yang panas maka akan menyebabkan proses pemerasan keringat. Beberapa hal buruk berkaitan dengan kondisi demeikian dapat dialami oleh tenaga kerja, salah satunya kelelahan kerja. Pekerja yang mengalami kondisi demikian, sulit untuk mampu bereproduksi tinggi. Akibat kelelahan kerja tersebut, para pekerja menjadi kurang bergairah kerja, daya tanggap dan rasa tanggung
jawab
menjadi
rendah,
sehingga
seringkali
kurang
memperhatikan kualitas produk kerjanya. Pada kejadian ini suhu dapat berkaitan dengan status hidrasi seseorang. Penurunan asupan cairan dapat terjadi pada pekerja yang
bekerja terus menerus tanpa disadari bahwa mereka kehilangan cairan tubuh. Kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan elektrolit
dalam
jumlah
proporsional,
terutama
natrium
dapat
mengakibatkan dehidrasi (Triyana, 2012). Pekerja yang mengonsumsi cairan dalam jumlah cukup atau sesuai dengan kebutuhan tubuh maka akan memiliki status hidrasi baik, sedangkan pekerja yang asupan cairannya tidak memenuhi kebutuhan dapat mengalami dehidrasi (Lawrence, 2007; Shirreffs, 2003). Pada hal ini karyawan kolektor
gerbang tol memiliki keterbatasan dalam mengkonsumsi air, selain air yang dibawa oleh karyawan dengan botol minuman pribadinya karyawan
135
perlu memesan kepada officeboy yang ada dan harus menunggu beberapa menit untuk mengkonsumsi air tersebut dan masalah lainnya adalah karyawan kolektor gerbang tol memiliki keterbatasan waktu ketika ingin pergi ke toilet sehingga ada kemungkinan beberapa karyawan harus menahan untuk membuang air kecil. Maka dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa karyawan kolektor gerbang tol memiliki status hidrasi yang kurang baik namun untuk mengetahui tingkat hidrasi yang dimiliki karyawan butuh pengukuran lebih lanjut pada pengukuran status hidrasi masing-masing karyawan. Saat suhu lingkungan meningkat, maka suhu tubuh akan meningkat, maka tubuh akan terjadi proses penguapan yaitu pernapasan dan keringat (Suma’mur, 2009; Tarwaka, dkk, 2004; Hardinsyah, 2009). Penguapan terbanyak memicu dehidrasi pada pekerja dapat menurunkan konsentrasi dan daya ingat sesaat, mempengaruhi suasana hati dan semangat kerja, serta menurunkan kapasitas kerja fisik akibat kelelahan, lemas, atau pusing (Budi, dkk, 2011; Robert, dkk, 2007; Graham, 2008).
Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan pekerja yaitu yang dapat dikategorikan nyaman baik nyaman secara subjektif maupun secara kuantitatif atau pengukuran. Kenyamanan terdiri dari kenyamanan psikis dan kenyamanan fisik. Kenyamanan psikis terkait dengan kenyamanan kejiwaan yang terukur secara subjektif. Sedang kenyamanan fisik dapat terukur secara objektif (kuantitatif) yang meliputi kenyamanan spasial, visual, audial dan termal. Kenyamanan termal merupakan salah satu unsur kenyamanan yang sangat penting karena menyangkut kondisi ruangan yang nyaman (Nasrullah, dkk, 2015).
136
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa suhu dan kelembaban ruang kerja dapat menjadi salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi tingkat kelelahan yang terjadi pada kolektor gerbang tol. Pihak perusahaan sebaiknya melakukan pengecekan secara berkala terhadap pendingin ruangan yang ada di setiap gardu tol sehingga apabila ada yang mengalami gangguan bisa langsung dilakukan perbaikan dan tidak berdampak pada rasa kurang nyaman yang dirasakan oleh para kolektor gerbang tol. Pendingin ruangan memiliki efek yang cukup besar untuk mengurangi suhu yang tidak nyaman yang terutama bersumber dari knalpot kendaraan. Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan pengendalian jika suhu dan kelembaban ruang kerja sudah tidak sesuai yaitu sebagai berikut; 1) Mengurangi temperatur dan kelembaban. Cara ini dapat dilakukan melalui ventilasi pengenceran (dilution ventilation) atau pendinginan secara mekanis (mechanical cooling). Cara ini telah terbukti secara dramatis dapat menghemat biaya dan meningkatkan kenyamanan, 2) Meningkatkan pergerakan udara. Peningkatan pergerakan udara melalui fans dimaksudkan untuk memperluas pendinginan evaporasi (to enhance evaporate cooling), tetapi tidak boleh melebihi 2 m/det. Sehingga perlu dipertimbangkan bahwa menambah pergerakan udara pada temperatur yang tinggi (> 40˚C) dapat berakibat kepada peningkatan tekanan panas (Tarwaka 2004). Selain itu, perlu adanya penanaman tumbuhan karena dengan adanya tumbuhan dapat menyerap CO2 yang ada diudara. Dengan adanya tumbuh-tumbuhan di lingkungan kerja akan dapat menurunkan
137
suhu di lingkungan tersebut sehingga lingkungan tempat kerja akan lebih sejuk. 6.3.4 Shift Kerja Bagi seorang pekerja, shift kerja berarti pada lokasi kerja yang sama, baik teratur pada saat yang sama (shift kerja kontinyu) atau shift kerja yang berlainan (shift kerja rotasi). Shift kerja berbeda dengan hari kerja biasa, dimana pada hari kerja biasa pekerjaan dikerjakan secara teratur pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan shift kerja dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk memenuhi jadwal 24 jam/hari. Alasan lain dari shift kerja adalah kebutuhan sosial akan pelayanan. Waktu Kerja Normal menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004. Untuk 6 hari kerja: Waktu Kerja 7 jam/hari (hari ke1-5), 5 jam/hari (hari ke-6) , 40 jam/minggu. Untuk 5 hari kerja : Waktu Kerja 8 jam/hari, 40 jam/minggu. Hal tersebut menuntut perusahaan atau industri yang beroperasi 24 jam untuk memberlakukan sistem shift pada pekerja yang melakukan pekerjaannya agar tidak melebihi waktu kerja yang telah ditentukan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja para pekerjanya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 42 karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng jika dijumlahkan pada shift pagi-siang yang mengalami kelelahan berat lebih banyak dibandingkan dengan shift malam yang mengalami kelelahan berat dan untuk shift kerja tidak terdapat hubungan
138
yang signifikan terhadap kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016.
Hasil
tersebut
menunjukkan
bahwa
shift
kerja
memiliki
kemungkinan mempengaruhi kelelahan kerja. Sedangkan dari hasil observasi hal tersebut terjadi disebabkan karena pertumbuhan aktivitas kendaraan yang sering meningkat dengan cepat pada shift pagi dan siang sedangkan pada shift malam jarang dilalui kendaraan untuk melintas. Untuk shift malam sendiri memiliki waktu istirahat lebih 2 jam dibandingkan shift lain yang diberikan untuk tidur. Asumsinya, semakin tinggi frekuensi kendaraan yang melintas maka semakin merasakan kelelahan kerja pada karyawan shift tersebut. Namun, hasil yang didapatkan penelitian ini tidak sesuai (tidak berhubungan) dengan teori yang dikemukakan bahwa perputaran shift kerja mengurangi keluhan karyawan terhadap kelelahan yang di alami karena kodisi lingkungan kerja yang monoton. Perputaran shift kerja meningkatkan rasa tanggung jawab dan kerja sama sebagai suatu team kerja. Setiap karyawan di berikan kelonggaran waktu untuk keperluan yang bersifat pribadi dan untuk melepaskan lelah. Jumlah dari waktu longgar untuk kebutuhan karyawan yang diperlukan akan bervariasi tergantung pada individu karyawan. Sedangkan kelonggaran dari waktu untuk melepaskan lelah (Fatigue Allowance) tergantung pada individu karyawan dan atas kesepakatan dengan atasan. Karakteristik kelelahan kerja akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan
139
sedangkan menurunnya rasa lelah (recovery) adalah didapat dengan memberikan istirahat yang cukup (Fajarwati, dkk, 2011) Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa shift kerja memiliki hubungan dengan kelelahan kerja dan mendukung teori diatas salah satunya penelitian Susetyo, dkk (2012) tingkat ketelitian shift siang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja shift pagi yang dapat diartikan bahwa shift pagi lebih lelah dibandingkan shift siang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai rerata ketelitian maka semakin rendah rerata kesalahan kerja yang dilakukan, karena shift siang sebelum melakukan aktivitas pekerjaanya ada aktivitas yang sudah dilakukan diluar pekerjaan seperti melakukan pekerjaan rumah terlebih dahulu sehingga membantu tubuh untuk menanggapi pergerakkan yang dilakukan berbanding terbalik dengan shift pagi yang belum melakukan aktivitas apapun diawal hari dan harus melakukan pekerjaanya sejak awal hari. Menurut penelitian Basri (2014) menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistik Chi-Square, diketahui terdapat hubungan yang kuat antara shift kerja malam dengan tingkat kelelahan operator produksi di PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu tahun 2014. Kerja shift merupakan pilihan dalam cara pengorganisasian kerja yang
tercipta
karena
adanya
keinginan
untuk
memaksimalkan
produktivitas kerja sebagai pemenuhan tuntutan pengguna. Pada saat ini sistem kerja shift sudah diaplikasikan secara luas pada berbagai sector baik industri manufaktur maupun industri jasa. Keadaan ini selain memberikan keuntungan dari segi ekonomi, social akan tetapi dapat juga berdampak
140
negative sehingga perlu perhatian. Dampak kerja yang sering dihubungkan dengan kerja shift adalah kelelahan umum yang bila berkepanjangan dapat mengakibatkan
kelelahan
kronis.
Kelelahan
pada
pekerja
dapat
menurunkan kinerja, serta merupakan suatu kondisi yang dapat berakibat meningkatkan risiko terhadap penyakit (Susetyo, dkk, 2012). Dalam penelitian ini, sistem shift kerja di tempat kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kelelahan kerja. Hal ini dapat terjadi karena kolektor gerbang tol menjalani shift kerja yang sudah bervariasi dan tidak monoton serta sesuai dengan teori Grandjean (1986) yaitu sistem shift rotasi pendek lebih baik dibanding rotasi panjang, dengan rotasi pagi-siang malam dan dengan durasi perputaran pada pukul 05.00-13.00 wib untuk shift pagi, pukul 13.00-20.00 untuk shift siang, dan pukul 20.00-05.00 pada shift malam. Pada penyusunan jadwal shift kerja tidak bisa mengabaikan aspekaspek yang mempengaruhinya. Teori Grandjean (1986) yang menyebutkan bahwa ada beberapa saran yang harus diperhatikan dalam penyusunan jadwal shift kerja, yaitu; pekerja shift idealnya berumur 25-50 tahun, pekerja yang mempunyai masalah perut dan usus, serta emosi yang tidak stabil disarankan untuk tidak ditempatkan di shift malam, pekerja yang tempat tinggal dan tempat kerja mempunyai jarak yang jauh atau berada di lingkungan yang ramai sebaiknya tidak ditempatkan pada shift, sistem shift dengan 3 rotasi yang menggunakan waktu ganti pada pukul 6-14-22 lebih baik diganti pada pukul 7-15-23 atau 8-16-24, rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan disarankan untuk menghindari kerja malam
141
secara terus menerus, pola rotasi kerja yang baik adalah 2-2-2 (metropolitan pola) atau 2-2-3 (continental pola), kerja malam 3 hari secara berturut-turut seharusnya diikuti istirahat paling sedikit 24 jam, perancangan shift perlu mempertimbangkan waktu libur 2 hari berurutan baik pada akhir pekan maupun sebagai ganti akhir pekan, prencanaan shift disarankan memenuhi satu kali istirahat yang cukup untuk makan. Hal tersebut menyatakan bahwa sistem shift di PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng sudah dinyatakan baik dan sesuai dengan teori yang ada dan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004 bahwa sisttem shift diberlakukan sesuai rotasi dan jam kerja yang tepat. Namun, tidak bisa dipungkiri juga kolektor gerbang tol sangat membutuhkan istirahat setelah melakukan pekerjaan sesuai shift masing-masing hal ini ditunjukkan pada karyawan kolektor gerbang tol yang melakukan peregangan dan berbaring setelah bekerja ataupun saat waktu istirahat. Maka dari itu diperlukannya ruang khusus untuk beristirahat bagi karyawan kolektor gerbang tol untuk melakukan pemulihan kembali setelah melakukan pekerjaan sesuai shift masing-masing. Perusahaan sudah memberikan ruang khusus istirahat dan ruang kantin bagi karyawan yang merasa kelelahan dan segera ingin melakukan pemulihan. Dalam hal ini perusahaan sudah dikatakan baik dan antisipasi meminimalkan kemungkinan kelelahan akibat shift kerja yang diberlakukan. Analisis ini diperkuat oleh beberapa teori yang menyatakan bahwa penyebab keluhan karyawan terhadap sistem shift kerja yang ada bukan
142
karena kelelahan saat bekerja melainkan sebagai berikut; 1) pekerja merasa tidak punya cukup waktu untuk bermasyarakat, 2) pekerja merasakan ada kerikatan dengan keggiatan social dilingkungannya, 3) tidak punya cukup waktu untuk berkumpul dengan keluarga, khususnya anak, istri atau suami, 4) merasa stress karena tidak bisa mengahadiri acara yang sangat penting dimasyarakat (Susetyo, dkk, 2012). Selain itu ada pernyataan lain oleh Febrina (2011) yang menyatakan bahwa penyebab kelelahan kerja antara lain: pengaturan shift yang terlalu panjang dan tidak tepat, intensitas dan durasi suatu pekerjaan dilaksanakan yang terlalu tinggi, disain pekerjaan tidak tepat, lingkungan kerja yang tidak nyaman, cara kerja yang tidak efektif (ergonomis), dan adanya stres. Karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng sebagian besar mengalami kelelahan berat pada shift risiko (pagi-siang) hal ini masih dalam tingkatan normal karena sesuai dengan hasil observasi bahwa tingkat frekuensi kendaraan yang meningkat pada shift pagi-siang dan pada shift tersebut merupakan jam kerja manusia melakukan aktivitasnya dibandingkan pada shift malam merupakan bukan jam kerja seharusnya dan membutuhkan waktu adaptasi terlebih dahulu agar bisa menyesuaikan pola yang ada. Pernyataan tersebut didukung oleh teori Menurut Schultz (1982) shift kerja malam lebih berpengaruh negatif terhadap kondisi pekerja dibanding shift pagi, karena pola siklus hidup manusia pada malam hari umumnya digunakan untuk istirahat. Namun karena bekerja pada shift malam maka tubuh dipaksa untuk mengikutinya. Hal ini relatif cenderung mengakibatkan terjadinya
143
kesalahan kerja, kecelakaan dan absentism. Pulat (1992) mengatakan bahwa dampak shift kerja malam terutama gangguan irama tubuh yang menyebabkan penurunan kewaspadaan, gangguan fisiologis dan psikologis berupa kurang konsentrasi, nafsu makan menurun, penyakit jantung, tekanan darah, stress dan gangguan gastrointestinal yang dapat meningkatkan resiko terjadi kecelakaan kerja. Pelaksanaan shift kerja yang tidak baik menimbulkan kelelahan kerja yang harus dikendalikan sebaik mungkin mengingat kelelahan dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Sebagian besar kecelakaan kerja ada kaitannya
dengan
kelelahan
kerja,
sehingga
pengusaha
harus
mengupayakan pengendalian kelelahan kerja. bersama pekerja secara berkesinambungan. Pada shift malam, yang memilki waktu istirahat paling sedikit pada malam hari sehingga sebagai kompensasinya pekerja harus istirahat pada pagi dan siang hari yang tentunya akan mengganggu pola aktivitas tubuh, meskipun circadian ritmenya berbeda-beda. Kelelahan ini dapat menyebabkan kesulitan konsentrasi dalam bekerja, meningkatkan resiko kesalahan (human error), berdampak kepada kualitas kerja dan kecepatan kerja, dan akhirnya kecelakaan kerja. Walaupun dalam penelitian ini shift kerja tidak memiliki hubungan terhadap terjadinya kelelahan kerja, namun perlu adanya pencegahan dengan melakukan pengaturan shift kerja sebagai berikut (Suma’mur, 1999): a. Pengurangan jam kerja pada shift malam tanpa mengurangi benefit lainnya jika memungkinkan.
144
b. Pengurangan pekerja pada shift malam untuk mengurangi jumlah hari kerja pekerja shift malam. c. Melakukan interaksi sosial dengan teman kerja. d. Rotasi shift mengikuti rotasi matahari e. Jadwal yang dibuat sebaiknya sederhana dan mudah diingat.
BAB VII PENUTUP
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Kelelahan kerja yang terjadi pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 diketahui bahwa karyawan yang mengalamai kelelahan berat lebih banyak dari kelelahan ringan dengan jumlah 28
(66.7%) karyawan kolektor
gerbang tol. 2. Kebisingan yang diterima oleh karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 memiliki mean 95% CI yaitu 80.35 – 82.53 dBA. 3. Sebagian besar karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 mendapatkan pencahayaan yang tidak terpenuhi dengan presentase 71.4% yaitu 30 karyawan. 4. Sebagian besar karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 pada ruang kerja mendapatkan suhu ruangan yang sesuai dengan presentase 66.7% yaitu 28 karyawan. 5. Sebagian besar karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 pada ruang kerja
145
146
mendapatkan kelembaban yang tidak sesuai dengan presentase 61.9% yaitu 26 karyawan. 6. Karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016 masing-masing 14 karyawan pada shift pagi, siang dan malam. 7. Tidak ada hubungan antara kebisingan, pencahayaan, kelembabann udara dan shift kerja dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. 8. Ada hubungan antara suhu ruangan dengan kelelahan kerja pada karyawan kolektor gerbang tol Cililitan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Tahun 2016. 7.2 Saran Saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil penelitian ini antara lain:
7.2.1 Saran Bagi Perusahaan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Gerbang Tol Cililitan Pada penelitian ini menjukkan bahwa lingkungan kerja yang ada di tempat
kerja tersebut
termasuk kedalam kategori perlu adanya
pengendalian, baik pengendalian dari management maupun dari pekerja sebagai berikut; a. Pengadaan sosialisasi, edukasi serta pelatihan untuk karyawan terkait pajanan lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi keselamatan kesehatan para karyawan dan cara menanggulangi pajanan tersebut sebagai contoh sosialisasi cara mengatasi kelelahan seperti senam
147
peregangan, pelatihan cara penggunaan Alat Pelindung Telinga jenis ear plug pada saat bekerja. b. Pengendalian intensitas kebisingan: 1.) Pengadaan penanaman pohon mahoni, pohon flamboyan, pohon cemara laut, pohon sawo, pohon kaliandra. 2.) Penambahan material pada dinding dan lantai ruang kerja berupa lantai lapis plywood (material kayu atau keramik dengan permukaan kasar), atau dinding lapis plywood dan atau plafond dengan busa polyurethane sebagai upaya menyerap bunyi dan menjadi peredam kebisingan untuk mereduksi kebisingan, pada dasarnya permukaan licin yang dapat memantulkan bunyi. 3.) Meningkatkan pengawasan secara intensif terhadap pemakaian ear plug alat pelindung telinga pada karyawan dan memberikan sanksi bagi yang tidak menggunakannya saat bekerja. c. Pengendalian
intensitas pencahayaan:
1.)
Pemeliharaan dan
pembersihan kondisi fisik lampu. 2.) Modifikasi penerangan dengan cara menaikkan atau menurunkan letak lampu didasarkan pada objek kerja, merubah posisi lampu, menambah jumlah lampu, mengganti jenis lampu yang lebih sesuai seperti mengganti lampu bola/pijar menjadi lampu TL, mengganti tudung atau pelindung lampu, mengganti warna lampu yang digunakan. 3.) Modifikasi ruang kerja seperti pewarnaan ulang pada dinding ruangan dengan warna yang cerah intensitas pencahayaan yang dihasilkan lebih efektif. 4.) Penggunaan lampu LED karena memancarkan cahaya lewat aliran listrik yang relatif tidak menghasilkan banyak panas, lampu LED
148
terasa dingin dipakai karena tidak menambah panas ruangan seperti lampu pijar. Pengendalian dilakukan agar kelelahan kerja yang terjadi akibat pencahayaan dapat dikurangi karena berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 pencahayaan yang sesuai yaitu 300 Lux. d. Pengendalian suhu ruangan dan kelembaban udara: 1.) Diperlukan pengecekkan secara berkala pada pendingin ruangan yang mungkin terlalu dingin atau tidak berfungsi sehingga membuat suhu dan kelembaban diruang kerja tidak sesuai dan tidak nyaman untuk karyawan serta melakukan perawatan terhadap pendingin ruangan agar udara yang teralirkan adalah udara yang bersih dan sehat. 2.) Penyediaan air minum pada ruang kerja agar memudahkan karyawan untuk segera mengganti cairan yang hilang tanpa harus menunggu petugas
kebersihan
mengambilkan.
menambahkan ventilasi setempat
3.)
Menyediakan
atau
guna mengendalikan dengan
menghisap udara panas yang ada sehingga ruang kerja tidak pengap dan selalu ada pertukaran udara yang masuk maupun keluar. 4.) Pengadaan tanaman pada ruang kerja atau area kerja untuk menyegarkan udara oksigen baik untuk suhu dan kelembaban ruang kerja para karyawan dan berguna untuk penyerapan CO² yang bersumber dari knalpot kendaraan yang melintas. 5.) Menganjurkan untuk karyawan selalu meningkatkan konsumsi makanan yang bergizi tinggi untuk meningkatkan ketahan tubuh dalam menghadapi suhu dan kelembaban yang berubah-ubah.
149
e. Pengendalian shift kerja yaitu perlunya dilakukan evaluasi sistem shift rotasi pendek untuk mengetahui keluhan karyawan terhadap sistem yang ada dengan cara pengadaan penilaian pada absensi, penilaian pada prestasi kinerja karyawan, penilaian pada tingkat kesalahan kerja dan tingkat keluhan. 7.2.2 Saran Bagi Karyawan PT Jasa Marga Cabang Cawang Tomang Cengkareng Gerbang Tol Cililitan a. Diharapkan untuk para karyawan yang telah merasakan kelelahan baik kelelahan yang berat maupun ringan disarankan untuk segera melakukan istirahat untuk melakukan pemulihan. Kegiatan yang bisa dilakukan saat beristirahat sejenak seperti berinteraksi sosial sesama karyawan kolektor gerbang tol lainnya atau mengkonsumsi minum dan melakukan peregangan baik perengan ringan maupun berbaring. b. Diharapkan untuk para karyawan selalu menggunakan alat pelindung diri yang telah diberikan oleh pihak perusahaan karena alat pelindung diri dapat membantu mereduksi bahaya lingkungan kerja yang terpapar saat bekerja. c. Diharapkan untuk para karyawan tidak menggunakan audio musik sangat keras karena dapat mengganggu konsentrasi dan pendengaran karyawan baik dalam waktu dekat maupun dalam waktu panjang. d. Diharapkan karyawan untuk dapat mengenali penyebab timbulnya kelelahan dan menghentikan pekerjaan sesaat untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan seperti kecelakaan kerja.
150
7.2.3 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya a. Diharapkan
melakukan
penelitian
dengan
menggunakan
cara
pengukuran lain dalam mengukur kelelahan kerja sehingga dapat diperoleh perbandingan gambaran kejadian kelelahan kerja. b. Diharapkan melakukan penelitian dengan mengikutsertakan variabel lain yang diduga berhubungan dengan kelelahan kerja yang tidak diteliti pada penelitian ini, misalnya faktor individu, faktor pekerjaan, faktor psikis dan lain lain. c. Diharapkan melakukan penelitian mendalam terkait variabel yang tidak
berhubungan
pada
penelitian
ini
seperti
kebisingan
pertimbangkan tingkat volume kendaraan dan kecepatan kendaraan, pencahayaan pertimbangkan jenis pencahayaan dan sistem shift kerja.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zaenal dan Widagdo, Suharyo. 2009. Studi Literatur Tentang Lingkungan Kerja Fisik Perkantoran.Yogyakarta. Jurnal. Seminar Nasional V Sdm Teknologi Nuklir ISSN 1978-0176 Apriyani, Annisa, Tarwaka dan Darnoto, Sri. 2014. Pengaruh Iklim Kerja Terhadap Dehidrasi pada Karyawan Unit Workshop PT. Indo Acidatama Tbk, Kemiri, Kebakkramat, Karanganyar. Surakarta. Artikel Penelitian. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, S. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Basri, Sarina, dkk. 2014. Hubungan Shift Kerja Dengan Tingkat Kelelahan Operator Produksi Di PT Pertamina Eksplorasi Dan Produksi (EP) Kecamatan Balongan Kabupaten Indramayu Tahun 2014. Jurnal. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Wiralodra. Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program. USU Repository. Budi Iman S, Hardinsyah, Parlindungan Siregar, Sudung O. Pardede. 2011. Air Bagi Kesehatan. Jakarta: Centra Communications Budiono, dkk. 2003. Kelelahan (Fatigue) Pada Tenaga Kerja. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Edisi Ke-2. Semarang: Universitas Diponegoro. Clap AJ, Bishop PA, Smith JF, Lloyd LK, Wright KE. 2002. A Review of Fluid Replacement for Workers in Hot Jobs. AIHA Journal. Departemen Kesehatan. 2008. Pencahayaan Salah Perburuk Penglihatan. http://www.klikdokter.com/article/detail/401.html. Diakses pada tanggal 15 Desember 2016. Dirgayudha, Dio. 2014. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kelelahan Kerja Pada Pembuat Tahu Di Wilayah Kecamatan Ciputat Dan Ciputat Timur Tahun 2014. Jakarta. Skripsi. Repository Universitas Islam Negeri Jakarta. Faiz, Nurli. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Bagian Operator SPBU Di Kecamatan Ciputat Tahun 2014. Jakarta. Skripsi. Repository Universitas Islam Negeri Jakarta. Fajarwati, Ferisia D., Hidayat, Rachmad dan Agustuna, Fitri. 2011. Pengaturan Sistem Shift Kerja Untuk Meningkatkan Performance Serta Mengurangi Keluhan Karyawan. Universitas Trunojoyo Madura. Jurnal Teknologi Technoscientia, ISSN: 1979-8415, Vol. 4 No. 1 Agustus 2011 Gie, The Liang. 2000. Administrasi Perkantoran. Yokyakarta : Liberty
151
Graham P Bates, John Schneider. 2008. Hydration Status and Physiological Workload of UAE Construction Workers: A Prospective Longitudinal Observational Study. Journal of Occupational Medicine and Toxicology. Grandjean. E. 1986. Fitting The Task To The Man; An Ergonomic Aproach. Taylor and Francis, Londen and Philadelphia. Grandjean E. 1995. Fitting the Task to the Man, 4th ed. A Text Book of Occupational Ergonomic. Taylor & Francis Inc. London. New York. Philadelphia. Hardi, Ikram. 2006. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja di Bagian Produksi PT. Sermani Steel Makassar Tahun 2006. Makassar. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanudin Makasar. Hardinsyah, Dodik Briawan, et al. 2009. Studi Kebiasaan Minum dan Status Hidrasi pada Remaja dan Dewasa di Wilayah Ekologi yang Berbeda. Bogor. Bogor. Jurnal. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia (Persagi), Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB Bogor, Danone Aqua Indonesia. Hastono dan Sabari, 2001. Analisis Data. Jakarta: FKM UI. Herry dan Eram T. P. 2005. Panduan Praktikum Laboratorium Kesehatan dan Kesehatan Kerja. Semarang: UPT UNNES Press. Hendra. 2009. Tekanan Panas dan Metode Pengukurannya di Tempat Kerja. Makalah dipresentasikan pada Semiloka Keterampilan Pengukuran Bahaya Fisik dan Kimia di Tempat Kerja. Jakarta (online). Hidayat. 2003. Bahaya Laten Kelelahan Kerja. Jakarta: Harian Rakyat. Idealistina, F. 1991. Model Termoregulasi Tubuh untuk Penentuan Besaran Kesan Thermal Terbaik dalam kaitannya dengan Kinerja Manusia. Bandung. Thesis Doktor. Institut Teknologi Bandung. Ihsan, Taufiq dan Rachmatiah, Indah. 2015. Hubungan Antara Bahaya Fisik Lingkungan Kerja Dan Beban Kerja Dengan Tingkat Kelelahan Pada Pekerja Di Divisi Stamping PT. X Indonesia. Sumatera. Jurnal Teknik Lingkungan. Universitas Andalas. International Labour Organization. 1998. Encyclopedia of Occupational Health and Safety 4th edition Vol. 1-2-4. Ritcher Peter. Geneva. Switzerland. International Labour Organization. 2013. Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2013 Memperkuat Peran Pekerja Layak dalam Kesetaraan Pertumbuhan. Jakarta. Kantor ILO untuk Indonesia. Karima, Asri. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Stress Kerja Pada Pekerja Di PT. X Tahun 2014. Jakarta. Skripsi. Repository Universitas Islam Negeri Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
152
153
Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi, No. Kep.102/MEN/VI/2004 Kroemer KHE, Grandjean E. 1997. Fitting The Task To The Human: A Textbook Of Occupational Ergonomics. 5th ed. Routledge: Taylor & Francis. Lawrence E. Armstrong. 2007. Assessing Hydration Status: The Elusive Gold Standard. America. Journal Of The American College of Nutrition. Lemeshow,S., Hosmer, D. W., Klar, J., Lwanga, S.K., dan WH. 1990. Adequacy Of Sample Size in Health Studie. New York. John Wiley & Sons. Lerman, E. Steven et al. 2012. Fatigue Risk Management in The Workplace. Washington DC: American College of Occupational and Environmental Medicine. Magrab, E.D. 1982. Environmental Noise Control. McGraw-Hill, Inc. New York. Marif, Amalia. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada Pekerja Pembuatan Pipa Dan Menara Tambat Lepas Pantai (EPC3) Di Proyek Banyu Urip PT Rekayasa Industri, Serang-baten Tahun 2013. Jakarta. Skripsi. Repository Universitas Islam Negeri Jakarta. Morgeson FP, Garza AS, Champion MA. 2013. Work design in handbook of psychology. 2nd ed. New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Mukono H.J. 2005. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan. Surabaya. Airlangga University Press. Munandar, Ashar Sunyoto. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press Nasrullah, dkk. 2015. Temperatur dan Kelembaban Relatif Udara Outdoor. Makassar. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu dan Seni Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurmianto, E. 2003. Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Kedua. Guna Widya : Surabaya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Prasetio, L., Setiawan, S., dan Hien, T. K. 1992. Mengerti Fisika Gelombang. Yogyakarta: Penerbit ANDI Offset. Pulat, BM. 1992. Fundamental Of Industrial Ergonomics. Hall International Englewood Cliffs, New Jersey, USA PT Jasa Marga (Persero) Tbk. 2016. Diakses pada 10 Oktober 2016 link www.jasamarga.com. Quible, Zane K. 2001. Manajemen Administrasi Perkantoran Modern. Ed.7: Prentice hall Riwidikdo, H., 2008. Statistik Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.
154
Research Committee on Industrial Fatigue. 1969. Fatigue Scale by Research Committee on Industrial Fatigue of japan Society For Occupational Health. Japan Society For Occupational Health, Tokyo, (in Japanese) Robert W. Kenefick, Michael N. Sawka. 2007. Review: Hydration at The Work Site. America. Journal of The American College of Nutrition. Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan. Jakarta: Prestasi Pustaka. Sari, Ratih Perwita. 2010. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Bagian Screening CV. Mekar Sari Wonosari Klaten. Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Schultz, DP. 1982. Psychology and Industry Today. An Introduction to Industrial and Organizational Psychology, Third Edition. Macmillan Publishing Inc. New York. Sedarmayanti. 2009. Tata Kerja dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju. Septiana, Tri Asih, dkk. 2013. Pengaruh Tingkat Pencahayaan Terhadap Kelelahan Operator Pada Simulasi Scarfing dengan Reaction Time. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa . Jurnal Teknik Industri, Vol.1, No.2, Juni 2013, pp.152-156 ISSN 2302-495X Setyawati, Lientje. 1994. Kelelahan Kerja Kronis., Kajian terhadap Perasaan Kelelahan Kerja, Penyusunan Alat Ukur. Serta Hubungannya dengan Waktu Reaksi dan Produktivitas Kerja, Disertasi, Program Pascasarjana, UGM. Yogyakarta. Setyawati, L. 2010. Selintas Tentang Kelelahan Kerja. Yogyakarta: Lakassidaya. Shirreffs. 2003. Markers of Hydration Status. European Journal of Clinical Nutrition. Sinclair, M.A. 1992. Subjective Assessment. Dalam: Wilson, J.R & Corlett, E.N. eds. Evaluation of Human Work; A Practical Ergonomics Methodology. Taylor dan Francis Great Britain Siswanto, A. 1991. Ergonomi. Surabaya. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jawa Timur. Departemen Tenaga Kerja. Soeripto. 1996. Teknologi Pengendalian Intensitas Kebisingan. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Pusat Hiperkes dan Keselamatan Kerja Depnaker RI, Jakarta. Soewito. 1985. Dampak Bising terhadap Pendengaran. Naskah Ilmiah Panitia Penyusunan Pedoman. Petunjuk Pengawasan tentang Pencahayaan, Kebisingan, dan Kelembaban, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Soemarko, Dewi. 2016. Bagaimana Mencegah Gangguan Fungsi Ginjal Akibat Pajanan Panas Di Lingkungan Kerja. Komite Independen KK-PAK BPJS Ketenagakerjaan
155
Susetyo, Joko, dkk. 2012. Pengaruh Shift Kerja Terhadap Kelelahan Karyawan Dengan Metode Bourdon Wiersma dan 30 Items Of Rating Scale.Yogyakarta. Jurnal Teknologi, Volume 5 Nomor 1, Hal 32-39. Standar Nasional Indonesia 7269:2009. Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Tingkat Kebutuhan Kalori Menurut Pengeluaran Energi. Jakarta Standar Nasional Indonesia 16-7062-2004. Pengukuran Intensitas Pencahayaan di Tempat Kerja. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Standar Nasional Indonesia SNI 16-7061-2004. Pengukuran Iklim Kerja (Panas) dengan Parameter Indeks Suhu Basah dan Bola. Jakarta. Standar Nasional Indonesia SNI 7231-2009. Metoda Pengukuran Intensitas Kebisingan di Tempat Kerja. Jakarta. Suciningtias, Tawarka, Suwaji. 2013. Komparasi Shift Kerja Pagi Dengan Shift Kerja Malam Terhadap Kelelahan Di Bagian Wrapping “Candy” Pt.Deltomed Laboratories Wonogiri. Surakarta. Alumni Prodi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sulistionigsih, Lilis. 2013. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Di Bagian Food Production 1 (FP1) / Masako Packing (Sebuah Studi Di Pabrik Pt. Ajinomoto Indonesia Mojokerto). Mojokerto. Jurnal. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto. Vol 5. No.1 Suroto, W. 2010. Dampak Kebisingan Lalu Lintas Terhadap Pemukiman Kota (Kasus Kota Surakarta). Jurnal of Rulan and Development. Volume 1, No. 1. Suma’mur. 1993. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta. CV Haji Masagung. Suma’mur PK. 1994. Hiperkes Keselamatan Kerja dan Ergonomi. Jakarta. Dharma Bakti Muara Agung. Suma’mur. 1996. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta. PT. Toko Gunung Agung. Suma’mur. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata. CV Haji Masagung. Suma’mur P.K. 2009. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja Edisi 1. Jakarta. Sagung Seto. Sunito. 2010. Frekuensi Volume Kendaraan. Syukri, Sahab. 1996. Efek Lingkungan Kerja Panas. Majalah Hygiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja, Vol. XXX No. 1: 29–30. Tarwaka, Solichul, B, Lilik S. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Produktivitas. Edisi Ke-1. Surakarta: UNIBA Press. Tarwaka. 2010. Ergonomi Industri: Dasar–Dasar Pengetahuan Ergonomi Dan Aplikasi Di Tempat Kerja. Surakarta-Indonesia. Harapan Press.
156
Tarwaka. 2013. Ergonomi Industri, Dasar-dasar Pengetahuan dan Aplikasi di Tempat Kerja. Edisi Ke-1. Surakarta. Harapan Press Triyana, Yani Firda. 2012. Teknik Prosedural Keperawatan. Yogyakarta. DMedika Umyati. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Penjahit Sektor Usaha Informal di Wilayah Ketapang Cipondoh Tangerang Tahun 2009. Jakarta. Skripsi. Repository Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Jakarta. Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya. PT. Guna Widya. Yusri. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kelelahan Karyawan Produksi Kulkas di PT. LG Electronics Indonesia Tahun 2006. Jakarta. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Zuhriyah, Firtria. 2007. Hubungan Antara Kesesakan Dengan Kelelahan Akibat Kerja Pada Karyawan Bagian Penjahitan Perusahaan Konveksi Pt Mondrian Klaten Jawa Tengah. Semarang. Skripsi. Universitas Diponegoro.
157
LAMPIRAN
158
LAMPIRAN 1 KUESIONER KELELAHAN KERJA FORMULIR
PERSETUJUAN
TERTULIS
MENJADI
RESPONDEN
WAWANCARA Saya yang bertanda tangan dibawah ini: :………………………………....
1. Nama
2. No. HP/Telepon : ……………………………….... 3. Berat Badan
: ……………………………... Kg
4. Shift & Istirahat
: ……………… & ……………..
Bersedia secara sukarela untuk menjadi responden penelitian dengan judul “HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016”. Saya akan memberikan informasi yang benar sesuai dengan yang saya rasakan dan alami. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak manapun. Jakarta,
Tanda Tangan Peneliti
Responden/Yang
2016
Membuat
Peryataan
(……………..………………)
(Tanda Tangan dan Nama Lengkap)
159
No. Responden: …….
LEMBAR KUESIONER KELELAHAN KERJA
Jawaban No.
Pertanyaan
SS
S
K
TP
5.1.6 Pelemahan Kegiatan 1.
Berat di bagian kepala
4
3
2
1
2.
Lelah pada seluruh badan
4
3
2
1
3.
Kaki terasa berat
4
3
2
1
4.
Menguap
4
3
2
1
5.
Pikiran terasa kacau
4
3
2
1
6.
Apakah bapak/ibu merasa mengantuk?
4
3
2
1
7.
Apakah bapak/ibu merasakan ada beban pada mata?
4
3
2
1
8.
Apakah bapak/ibu merasa kaku atau canggung dalam 4
3
2
1
bergerak? 9.
Apakah bapak/ibu merasa sempoyongan ketika berdiri?
4
3
2
1
10.
Apakah ada perasaan ingin berbaring?
4
3
2
1
5.1.7 Pelemahan Motivasi 11.
Apakah bapak/ibu merasa susah berfikir?
4
3
2
1
12.
Apakah bapak/ibu merasa malas untuk bicara?
4
3
2
1
13.
Apakah perasaan bapak/ibu menjadi gugup?
4
3
2
1
14.
Apakah bapak/ibu tidak bisa berkonsentrasi?
4
3
2
1
15.
Apakah bapak/ibu tidak bisa memusatkan perhatian 4
3
2
1
terhadap sesuatu? 16.
Apakah bapak/ibu punya kecenderungan untuk lupa?
4
3
2
1
17.
Apakah bapak/ibu merasa kurang percaya diri?
4
3
2
1
18
Apakah bapak/ibu merasa cemas terhadap sesuatu?
4
3
2
1
19.
Apakah bapak/ibu merasa tidak dapat mengontrol sikap?
4
3
2
1
20.
Apakah bapak/ibu merasa tidak dapat tekun dalam 4
3
2
1
160
pekerjaan? 5.1.8 Kelelahan Fisik 21.
Apakah bapak/ibu merasa sakit kepala?
4
3
2
1
22.
Apakah bapak/ibu merasa kaku di bagian bahu?
4
3
2
1
23.
Apakah bapak/ibu merasakan nyeri di punggung?
4
3
2
1
24.
Apakah nafas bapak/ibu merasa tertekan / sesak?
4
3
2
1
25.
Apakah bapak/ibu merasa haus?
4
3
2
1
26.
Apakah suara bapak/ibu terasa serak?
4
3
2
1
27.
Apakah bapak/ibu merasa pening?
4
3
2
1
28.
Apakah kelopak mata bapak/ibu terasa kejang?
4
3
2
1
29.
Apakah anggota badan bapak/ibu merasa gemetar/tremor?
4
3
2
1
30.
Apakah bapak/ibu merasa kurang sehat?
4
3
2
1
161
LAMPIRAN
2
LEMBAR
PENGUKURAN
PENCAHAYAAN,
KEBISINGAN, SUHU & KELEMBABAN HASIL PENGUKURAN PENCAHAYAAN PENELITIAN “HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016”
NO.
NAMA RESPONDEN
PENGUKURAN PENGUKURAN PENGUKURAN I
II
III
∑
162
HASIL PENGUKURAN KEBISINGAN PENELITIAN “HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016” No. Responden:
Nama
:……………………………………..
No. Tlfn
:……………………………………..
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
163
HASIL PENGUKURAN SUHU RUANGAN DAN KELEMBABAN RELATIF (RH) “HUBUNGAN LINGKUNGAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA KOLEKTOR GERBANG TOL CILILITAN PT JASA MARGA CABANG CAWANG-TOMANG-CENGKARENG TAHUN 2016”
No.
Pengukuran “TA”
Pengukuran “RH”
(Suhu Ruangan)
(Kelembaban Relatif)
Nama Responden
LAMPIRAN 3 HASIL PENGUKURAN PENELITIAN LINGKUNGAN KERJA FISIK No .
Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Kerja
Pencahayaan
Kategori Pencahayaan
Kebisingan
Kategori Kebisingan
Shift Kerja Shift Pagi
29.4
Shift Pagi
30.6
Shift Pagi
28.8
Shift Pagi
29.6
Suhu
1
61.0
Kelelahan Berat
320.6
Pencahayaan Terpenuhi
78.5
Kebisingan Tidak Melebihi NAB
2
60.0
Kelelahan Ringan
313.6
Pencahayaan Terpenuhi
87.9
Kebisingan Melebihi NAB
3
62.0
Kelelahan Berat
328.6
Pencahayaan Terpenuhi
79.2
4
48.0
Kelelahan Ringan
310.8
Pencahayaan Terpenuhi
82.0
5
52.0
Kelelahan Ringan
363.3
Pencahayaan Terpenuhi
85.1
Kebisingan Melebihi NAB
Shift Pagi
28.7
6
60.0
Kelelahan Ringan
319.7
Pencahayaan Terpenuhi
79.5
Kebisingan Tidak Melebihi
Shift Pagi
27.5
Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB
Kategori Suhu Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Sesuai
Kelembaban
Kategori Kelembaban
54.2
Kelembaban Sesuai
53.1
Kelembaban Sesuai
57.0
Kelembaban Sesuai
54.3
Kelembaban Sesuai
59.6
Kelembaban Sesuai
66.8
Kelembaban Tidak Sesuai
164
No .
Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Kerja
Pencahayaan
Kategori Pencahayaan
Kebisingan
Kategori Kebisingan
Shift Kerja
Suhu
Kategori Suhu
Kelembaban
Kategori Kelembaban
60.0
Kelembaban Sesuai
60.0
Kelembaban Sesuai
54.0
Kelembaban Sesuai
57.9
Kelembaban Sesuai
67.3
Kelembaban Tidak Sesuai
NAB 52.0
Kelelahan Ringan
317.6
Pencahayaan Terpenuhi
52.0
Kelelahan Ringan
65.5
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
79.09
46.0
Kelelahan Ringan
77.5
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
79.0
40.0
Kelelahan Ringan
59.0
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
80.43
46.0
Kelelahan Ringan
86.3
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
11
86.3
12
50.0
Kelelahan Ringan
55.9
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
79.7
13
53.0
Kelelahan
51.4
Pencahayaan
86.0
7
8
9
10
86.5
Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan
Shift Pagi
29.7
Shift Siang
29.7
Shift Siang
29.9
Shift Siang
28.9
Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Sesuai
Shift Siang
28.0
Shift Siang
27.6
Suhu Ruangan Sesuai
56.0
Kelembaban Sesuai
Shift
28.7
Suhu
64.8
Kelembaban
165
No .
Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Kerja Ringan
52.5
46.9
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
63.3
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
66.0
Kelelahan Berat
51.6
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
78.7
57.0
Kelelahan Ringan
56.0
Pencahayaan Tidak
80.3
66.0
91.0
Kelelahan Berat
59.0
Kelelahan Ringan
18
19
17
Tidak Terpenuhi
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
Kelelahan Berat
16
Kebisingan
53.2
45.0
15
Kategori Pencahayaan
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
Kelelahan Ringan
14
Pencahayaan
80.3
81.2
78.9
79.2
Kategori Kebisingan
Shift Kerja
Melebihi NAB
Siang
Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak
Suhu
Kategori Suhu
Kelembaban
Kategori Kelembaban
Ruangan Tidak Sesuai
Tidak Sesuai
24.2
Suhu Ruangan Sesuai
72.0
Kelembaban Tidak Sesuai
25.5
Suhu Ruangan Sesuai
77.3
Kelembaban Tidak Sesuai
24.7
Suhu Ruangan Sesuai
68.5
Kelembaban Tidak Sesuai
24.9
Suhu Ruangan Sesuai
71.2
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Malam
25.3
Suhu Ruangan Sesuai
72.0
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Malam
25.3
Suhu Ruangan
71.7
Kelembaban Tidak
Shift Siang
Shift Siang
Shift Malam
Shift Malam
166
No .
Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Kerja
Pencahayaan
Kategori Pencahayaan
Kebisingan
Terpenuhi
20
65.0
Kelelahan Berat
63.0
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
75.3
21
63.0
Kelelahan Berat
83.9
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
77.1
22
81.0
Kelelahan Berat
66.9
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
78.3
23
80.0
Kelelahan Berat
193.2
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
79.1
24
88.0
Kelelahan Berat
348.9
Pencahayaan Terpenuhi
88.7
70.0
Kelelahan Berat
87.8
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
25
79.8
Kategori Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB
Shift Kerja
Suhu
Kategori Suhu
Kelembaban
Sesuai
Kategori Kelembaban Sesuai
Shift Malam
25.4
Suhu Ruangan Sesuai
65.8
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Malam
22.3
Suhu Ruangan Sesuai
68.3
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Malam
22.7
Suhu Ruangan Sesuai
60.0
Kelembaban Sesuai
59.5
Kelembaban Sesuai
67.9
Kelembaban Tidak Sesuai
66.1
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Pagi
28.6
Shift Pagi
26.1
Shift Pagi
25.6
Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Sesuai Suhu Ruangan Sesuai
167
Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Kerja
69.0
Kelelahan Berat
67.0
Kelelahan Berat
28
No .
Pencahayaan
Kategori Pencahayaan
60.6
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
56.8
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
70.0
Kelelahan Berat
329.2
Pencahayaan Terpenuhi
77.7
29
73.0
Kelelahan Berat
40.4
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
85.8
30
79.0
Kelelahan Berat
60.0
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
79.7
31
84.0
Kelelahan Berat
56.5
32
92.0
Kelelahan Berat
64.0
33
63.0
Kelelahan
63.2
26
27
Pencahayaan Tidak Terpenuhi Pencahayaan Tidak Terpenuhi Pencahayaan
Kebisingan
85.5
76.9
85.7
86.6 80.9
Kategori Kebisingan Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan
Shift Kerja
Kelembaban
Kategori Kelembaban
73.9
Kelembaban Tidak Sesuai
25.1
Suhu Ruangan Sesuai
70.1
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Siang
24.7
Suhu Ruangan Sesuai
59.9
Kelembaban Sesuai
Shift Siang
23.9
Suhu Ruangan Sesuai
67.5
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Siang
22.7
Suhu Ruangan Sesuai
73.1
Kelembaban Tidak Sesuai
Shift Siang
22.6
Shift Siang
24.5
Shift
20.9
Shift Pagi Shift Siang
Suhu
Kategori Suhu
24.9
Suhu Ruangan Sesuai
Suhu Ruangan Sesuai Suhu Ruangan Sesuai Suhu
66.9
79.2 69.4
Kelembaban Tidak Sesuai Kelembaban Tidak Sesuai Kelembaban
168
No .
34
35
36
Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Kerja Berat
64.0
Kelelahan Berat
72.0
Kelelahan Berat
94.0
Kelelahan Berat
Pencahayaan
Kebisingan
Tidak Terpenuhi
51.5
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
345.6
Pencahayaan Terpenuhi
301.1
Pencahayaan Terpenuhi
73.0
Kelelahan Berat
38
81.0
Kelelahan Berat
51.1
39
80.0
Kelelahan Berat
52.4
37
Kategori Pencahayaan
328.6
Pencahayaan Terpenuhi Pencahayaan Tidak Terpenuhi Pencahayaan Tidak Terpenuhi
82.4
78.7
87.3
80.9
85.3
81.4
Kategori Kebisingan
Shift Kerja
Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB
Malam
Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi
Shift Malam
Suhu
22.4
Shift Pagi
28.7
Shift Pagi
29.5
Shift Pagi
30.1
Shift Malam
22.5
Shift Malam
22.7
Kategori Suhu
Kelembaban
Kategori Kelembaban
Ruangan Sesuai
Tidak Sesuai
Suhu Ruangan Sesuai
70.7
Kelembaban Tidak Sesuai
59.2
Kelembaban Sesuai
60.0
Kelembaban Sesuai
51.1
Kelembaban Sesuai
Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Tidak Sesuai Suhu Ruangan Sesuai Suhu Ruangan Sesuai
67.7
73.0
Kelembaban Tidak Sesuai Kelembaban Tidak Sesuai
169
No .
40
41
42
Kelelahan Kerja
Kategori Kelelahan Kerja
72.0
Kelelahan Berat
85.0
Kelelahan Berat
72.0
Kelelahan Berat
Pencahayaan
Kategori Pencahayaan
48.1
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
39.4
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
55.8
Pencahayaan Tidak Terpenuhi
Kebisingan
82.2
78.5
79.1
Kategori Kebisingan NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB Kebisingan Tidak Melebihi NAB
Shift Kerja
Shift Malam
Shift Malam
Shift Malam
Suhu
Kategori Suhu
23.0
Suhu Ruangan Sesuai
24.7
Suhu Ruangan Sesuai
22.9
Suhu Ruangan Sesuai
Kelembaban
Kategori Kelembaban
77.8
Kelembaban Tidak Sesuai
78.5
Kelembaban Tidak Sesuai
64.7
Kelembaban Tidak Sesuai
170
171
LAMPIRAN 4 HASIL OUTPUT ANALISIS DATA 1. DISTRIBUSI KELELAHAN KERJA Frequency Table KatkelelahanKerja2 Valid Percent
Frequency Percent Valid Kelelahan Berat
Cumulative Percent
28
66.7
66.7
66.7
Kelelahan Ringan
14
33.3
33.3
100.0
Total
42
100.0
100.0
2. DISTRIBUSI KEBISINGAN, PENCAHAYAAN, SUHU RUANGAN, KELEMBABAN UDARA DAN SHIFT KERJA Frequencies Statistiks Kebisingan Pencahayaan SuhuRuangan Kelembaban N
Valid
42
42
42
42
0
0
0
0
81.4457
139.0786
26.0357
65.4286
.53785
18.97575
.43019
1.16071
Median
80.3000
63.2500
25.3500
66.8500
Std. Deviation
3.48568
122.97688
2.78794
7.52224
Minimum
75.30
39.40
20.90
51.10
Maximum
88.70
363.30
30.60
79.20
Missing Mean Std. Error of Mean
KatPencahayaan Cumulative Frequency Valid
Pencahayaan
Tidak
Percent
Valid Percent
Percent
30
71.4
71.4
71.4
Pencahayaan Terpenuhi
12
28.6
28.6
100.0
Total
42
100.0
100.0
Terpenuhi
172
KatSuhuRuangan2 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Suhu Ruangan Tidak Sesuai
14
33.3
33.3
33.3
Suhu Ruangan Sesuai
28
66.7
66.7
100.0
Total
42
100.0
100.0
KatKelembaban Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Kelembaban Tidak Sesuai
26
61.9
61.9
61.9
Kelembaban Sesuai
16
38.1
38.1
100.0
Total
42
100.0
100.0
Shift P Frequency Valid
Cumulative
ercent
Valid Percent
Percent
Shift Pagi
14
33.3
33.3
33.3
Shift Siang
14
33.3
33.3
66.7
Shift Malam
14
33.3
33.3
100.0
Total
42
100.0
100.0
3. UJI NORMALITAS DATA VARIABEL NUMERIK (KEBISINGAN) Case Processing Summary Cases Valid N Kebisingan
Missing
Percent 42
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 42
100.0%
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistik Kebisingan
.162
df
Sig. 42
a. Lilliefors Significance Correction
.007
Shapiro-Wilk Statistik .908
df
Sig. 42
.002
173
4. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN KEBISINGAN Mann-Whitney Test Ranks KatkelelahanKerj a2
N
Kebisingan Kelelahan Berat
Mean Rank Sum of Ranks 28
19.71
552.00
Kelelahan Ringan
14
25.07
351.00
Total
42
Test Statistiks Kebisingan Mann-Whitney U
146.000
Wilcoxon W
552.000
Z
-1.334
Asymp. Sig. (2-tailed)
.182
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.189a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: KatkelelahanKerja2 5. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN PENCAHAYAAN Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N KatPencahayaan KatkelelahanKerja2
*
Missing Percent
42
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 42
100.0%
174
KatPencahayaan * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation KatkelelahanKerja2 Kelelahan Berat Kelelahan Ringan KatPencahayaan
Pencahayaan
Tidak Count
Terpenuhi
% within KatPencahayaan
Pencahayaan Terpenuhi
21
9
30
70.0%
30.0%
100.0%
7
5
12
58.3%
41.7%
100.0%
28
14
42
66.7%
33.3%
100.0%
Count % within KatPencahayaan
Total
Count % within KatPencahayaan
Total
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
.525a
1
.469
Continuity Correctionb
.131
1
.717
Likelihood Ratio
.515
1
.473
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.491 .512
1
.353
.474
42
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00. b. Computed only for a 2x2 table
6. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN SUHU RUANGAN Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N KatSuhuRuangan2 KatkelelahanKerja2
*
Missing Percent
42
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 42
100.0%
175
KatSuhuRuangan2 * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation KatkelelahanKerja2 Kelelahan Berat Kelelahan Ringan KatSuhuRuangan2
Suhu Ruangan Tidak Sesuai
Count % within KatSuhuRuangan2
Suhu Ruangan Sesuai
6
8
14
42.9%
57.1%
100.0%
22
6
28
78.6%
21.4%
100.0%
28
14
42
66.7%
33.3%
100.0%
Count % within KatSuhuRuangan2
Total
Count % within KatSuhuRuangan2
Total
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Df
5.357a
1
.021
Continuity Correctionb
3.871
1
.049
Likelihood Ratio
5.249
1
.022
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.036
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
5.230
b
1
.026
.022
42
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.67. b. Computed only for a 2x2 table
7. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN KELEMBABAN Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N KatKelembaban KatkelelahanKerja2
*
Missing Percent
42
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 42
100.0%
176
KatKelembaban * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation KatkelelahanKerja2 Kelelahan Berat Kelelahan Ringan KatKelembaban
Kelembaban Tidak Sesuai
Count % within KatKelembaban
Kelembaban Sesuai
20
6
26
76.9%
23.1%
100.0%
8
8
16
50.0%
50.0%
100.0%
28
14
42
66.7%
33.3%
100.0%
Count % within KatKelembaban
Total
Count % within KatKelembaban
Total
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
3.231a
1
.072
2.133
1
.144
3.196
1
.074
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.098 3.154
1
.073
.076
42
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.33. b. Computed only for a 2x2 table
8. HUBUNGAN KELELAHAN DENGAN SHIFT Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Shift * KatkelelahanKerja2
Missing Percent
42
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 42
100.0%
177
Shift * KatkelelahanKerja2 Crosstabulation KatkelelahanKerja2 Kelelahan Berat Kelelahan Ringan Shift
Shift Pagi
Count % within Shift
Shift Siang
Shift Malam
5
14
64.3%
35.7%
100.0%
7
7
14
50.0%
50.0%
100.0%
12
2
14
85.7%
14.3%
100.0%
28
14
42
66.7%
33.3%
100.0%
Count % within Shift
Total
9
Count % within Shift
Count % within Shift Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
4.071a
2
.131
Likelihood Ratio
4.327
2
.115
Linear-by-Linear Association
1.412
1
.235
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
42
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.67.
Total
178
LAMPIRAN 5 SURAT-SURAT PENELITIAN LAMPIRAN 6 DOKUMENTASI
Pengukuran iklim kerja dengan WBGT Pengukuran Kebisingan dengan SLM
Pengukuran Suhu dan Kelembaban dengan Thermohygrometer
Pengukuran Pencahayaan dengan Lux Meter
179
Keadaan saat tidak padat kendaraan yang melintas
Keadaan saat padat kendaraan yang melintas