Homeschooling Jakarta RAIH MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK BERSAMA KAMI
PERKEMBANGAN “HOME SCHOOL” DI INDONESIA
Sebuah kemajuan yang telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdikbud, bahwa Ujian Negara untuk homeschooling sejak tahun 2011 diselenggarakan langsung di bawah Departemen Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah telah memberikan perhatian lebih dengan menempatkan homeschooling di bawah payung divisi pendidikan formal, bukan nonformal seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Perubahan aturan pada sekolah formal untuk memasukkan nilai raport sebagai bagian dari nilai Ujian Nasional, juga diterapkan pada homeschooling. Demikian pula dengan pembuatan soal-soal Ujian Kesetaraan, telah disusun oleh divisi formal dengan standar yang sama dengan Ujian Nasional. Saat ini, lembaga yang masih berada di bawah divisi pendidikan non-formal adalah lembaga-lembaga kursus dan pelatihan, maupun lembaga pra-sekolah. Berdasarkan hal tersebut, homeschooling secara berangsur akan mengalami perubahan, dengan kemungkinan akan diakui menjadi sebuah lembaga formal di masa yang akan datang. Namun proses ini tidaklah mudah, karena setiap homeschooling akan dituntut memiliki kemampuan yang sama dengan lembaga formal. Bahkan penulis telah mendapatkan ada homeschooling yang telah menerapkan standar internasional dalam pendidikan siswanya. Namun biaya yang dikenakan relatif mahal, karena membutuhkan guru-guru yang menguasai bahasa asing. Selain mengikuti ujian negara, mereka juga mengikuti ujian lain dari Cambride College, misalnya.
Sejarah HomeSchooling Sejarah munculnya homeschooling sebagai pemicu faktor lahirnya lembaga alternatif yang pertama. Filosof berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosof tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moore melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa masuknya anakanak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007:21). Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orang tua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama:Growing Without Schooling. Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan.
Selain karena alasan, keyakinan pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal. Di Indonesia Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun, jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktikan homeschooling, seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006). Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya, Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang homeschooling. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah pada tahun 2000 (Kompas, 13/03/2005). Di Indonesia, baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschooling, seperti Moring Star Academy, dan lembaga pemerintah, yakni Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Moring Star Academy merupakan lembaga pendidikan Kristen yang berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya. Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggaraan PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (setingkat SD), Paket B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya Tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anaknya. Di negeri kita ini, konsep sekolah rumah sudah diterapkan lama oleh sebagian kecil masyarakat kita. Tenggok saja di pondok-pondok pesantren, para Kiai secara khusus telah mendidik anak-anaknya sendiri karena merasa lebih megena dan puas bisa mengajarkan ilmu pada putranya sendiri, daripada sekadar mempercayakan pada orang lain. Tokoh-tokoh terkenal, seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka juga mengembangkan cara belajar dengan system persekolahan di rumah. Metode ini dijalankan bukan hanya sekedar agar anak didik lulus ujian kemudian mendapat ijazah, namun agar lebih mencintai dan punya semangat yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang dipelajari.
Homeschooling Semakin Meluas Homeschooling atau sekolah rumah kini mulai muncul menjadi alternatif. Sudah berapa banyak jumlahnya dan bagaimana aturan perundangan mengakomodasinya? Berikut wawancara dengan Ella Yulaenawati, direktur Pendidikan Keseteraan Departemen Pendidikan Nasional: Bagaimana perkembangan homeschooling di Indonesia? Termasuk pesat. Sekarang homeschooling mulai diketahui lebih luas dan mencakup lebih banyak kalangan. Tapi sebenarnya homeschooling itu sudah lama ada di Indonesia. Saat kita tertekan pada zaman penjajahan, banyak orang terdidik mendidik sendiri anaknya. Misalnya KH Agus Salim, Buya Hamka, Ki Hajar Dewantara. Tapi dulu disebutnya otodidak, belajar mandiri. Karena homeschooling belum tersosialisasi dengan baik, tanggal 31 Januari ini Depdiknas akan bekerja sama dengan PGRI untuk menyosialisasikannya. Saat ini sudah berapa banyak jumlah homeschooling? Sekitar 10-20 persen dari seluruh pendidikan alternatif di Indonesia. Jumlahnya di seluruh Indonesia sekitar seribu sampai 1.500, karena beberapa pesantren dan padepokan pencaksilat pun bisa dikategorikan sebagai homeschooling. Misalnya Qoriyah Thoyyibah di Gunung Merbabu yang
memenuhi syarat komunitas homeschooling. Kalau di Jakarta ada sekitar 600-an. Homeschooling tunggal sekitar 100, 500 lainnya homeschooling majemuk dan komunitas. Homeschooling tunggal tak banyak karena orang tua perlu kemampuan tinggi dalam hal pengetahuan, pendidikan, dan tanggung jawab. Apalagi, selain orang tua mengajar sendiri, kadang juga harus memanggil tutor. Biayanya besar. Lulusannya sudah berapa banyak? Jumlah pastinya tidak diketahui, karena ini mirip fenomena gunung es. Lulusan homeschooling yang cukup banyak itu terjadi Mei 2006 lalu, terutama dari Morning Star Academy. Jumlahnya sekitar 50-an orang. Bagaimana aturan perundangan mengakomodasi homeschooling? Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 2/1989 sampai No 20/2003 telah menghargai proses belajar mandiri. Kalau sekarang menjadi lebih marak, itu karena pebelajar mandiri atau homeschooler meminta pengakuan pendidikan kesetaraan lewat ujian nasional (UN). Kemudahan juga dilakukan dengan kebijakan Alih Kredit Kompetensi (AKK). Lewat AKK, homeschooler dihargai kesetaraannya melalui tes penempatan atau tes pengakuan. Tapi ini hanya berlaku bagi homeschooler yang tidak punya dokumen. Bagi yang punya dokumen semacam buku raport dan transkrip nilai, proses pembelajarannya tinggal dikonversi dan langsung berhak ikut ujian kesetaraan. Bagaimana Depdiknas mengawasi kualitas homeschooling, misalnya soal kurikulum dan kompetensi pengajarnya? Kami sulit mengawasi, karena penyelenggara homeschooling sampai saat ini memang tidak mau diawasi. Saat mau didata saja, mereka selalu bilang 'kok kayaknya pemerintah mau mengawasi kami?' Seharusnya mereka tak perlu khawatir, karena tujuan kami bukan mengawasi melainkan membantu. Misalnya kami ingin menginformasikan standar isi kurikulum, jumlah jam pelajaran yang standar, dan lain-lain agar langsung bisa dikonversi bila nanti sudah saatnya homeschooler ikut ujian kesetaraan. Ada lima pelajaran wajib yang tak bisa ditinggalkan oleh homeschooling, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, IPS, IPA, dan Bahasa Inggris. Yang lain boleh dikembangkan dan sesuaikan sesuai potensi dan kebutuhan. Selain itu, untuk homeschooling Paket A, peserta didiknya juga harus memiliki keterampilan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Paket B memiliki keterampilan memenuhi kebutuhan dunia kerja, dan Paket C memiliki keterampilan berwirausaha. Pendataan itu terkait juga dengn rencana penyaluran dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP)? Ya. Memang sih banyak homeschooling yang tidak perlu bantuan biaya karena banyak penyelenggaranya keluarga the have, middle-up. Tapi, beberapa orang tua juga mengaku menyelenggarakan homeschooling justru karena nggak punya biaya menyekolahkan anaknya ke sekolah formal. Jadi jangan salah paham seolah-olah kami ingin mengatur. Justru kami ini ingin melayani untuk memperluas akses pendidikan. Pendidikan itu kan tanggung jawab bersama. Toh mereka juga kan menghendaki pengakuan dan legitimasi. Kalau didata saja sulit, bagaimana Depdiknas mengontrol kualitasnya? Kami bisa mengontrolnya lewat ujian kesetaraan. Karena yang namanya pendidikan informal dan nonformal itu memang baru dianggap setara dengan pendidikan formal bila telah melalui proses penyetaraan lewat ujian kesetaraan yang diselenggarakan lembaga yang ditunjuk pemerintah.
makalah : HOMESCHOOLING MODEL PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN BAB PENDAHULUAN
I
1.1
Latar
Mulyadi
(2008)
Belakang
mengemukakan
sebagai
berikut.
Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (homeschooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala
kegiatan
belajar
yang
telah
dilakukannya.
Sistem ini terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Belakang ini banyak orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal sehingga menjadikan homeschooling sebagai alternatif proses belajar mengajar dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Selain itu, perhatian secara
personal
pada
1.2
anak,
kurang
diperhatikan.
Rumusan
1.2.1
Bagaimana
1.2.2
Bagaimana
1.2.3
Masalah
sejarah
singkat
perkembangan
Bagaimana
homeschooling?
homeschooling
proses
di
pembelajaran
Indonesia? homeschooling?
1.2.4
Apa
kelebihan
homeschooling
?
1.2.5
Apa
kelemahan
homeschooling
?
1.
3
1.3.1
Tujuan
Mengetahui
1.3.2
Mengetahui
1.3.3
sejarah perkembangan
Mengetahui
1.3.4
Penulisan singkat
homeschooling.
homeschooling
proses
di
pembelajaran
Mengetahui
Indonesia. homeschooling.
kelebihan
homeschooling.
1.3.5 Mengetahui kelemahan homeschooling. BAB
II
PEMBAHASAN 2.1
Sejarah
Homeschooling
Dalam bukunya How Children Fail, John Cadlwell Holt (1964) menyatakan “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar. Kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya”. Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tidak efektif, tetapi berakibat buruk bagi anak-anak,
khususnya
anak-anak
laki-laki
karena
keterlambatan
kedewasaan
mereka.
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah
yang
diberi
nama
Growing
Without
Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena
alasan
keyakinan
(beliefs),
pertumbuhan
homeschooling
juga
banyak
dipicu
oleh
ketidakpuasan 2.2
atas
sistem
Perkembangan
pendidikan
di
Homeschooling
sekolah
formal.
di
Indonesia
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun menurut Seto Mulyadi ( 2006) jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka. Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Morning Star Academy, lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002. Selain bertujuan memberikan Pusat
edukasi
Kegiatan
yang
Belajar
bertaraf
internasional,
Masyarakat
(PKBM)
juga
membentuk
merupakan
program
karakter
siswanya.
pemerintah
yang
menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan terdapat sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah murid. Murid harus mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum adalah PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat. Saat ini perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka sehingga orang tua semakin memiliki banyak pilihan untuk pendidikan anakanaknya. 2.3
Proses
Pembelajaran
Homeschooling
“Homeschooling merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai
dengan
potensi
diri
mereka
masing-masing”
(Daryono,
2008).
Secara etimologis, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah. Meski disebut homeschoooling, tidak berarti anak terus menerus belajar di rumah, tetapi anak-anak bisa belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti
layaknya
berada
dirumah.
Homeschooling lebih mengacu pada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan dan hobbi individu. Serta fleksibilitas metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu secara formal dan dapat menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dalam homeschooling guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan minat siswa pada mata pelajaran yang diminati. Dalam hal ini siswalah yang menjadi subjek kurikulum bukan menjadi objek. Jam belajar lebih lentur karena mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali. Pemerintah sementara ini hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Homeschooling termasuk model pendidikan yang digunakan sebagai alternatif institusi sekolah yang menempatkan anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan di rumah dan berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas RI. Bagi peserta didik homeschooling bisa memiliki sertifikat ijazah dengan mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) paket A (kesetaraan SD), paket B (SMP) dan paket C (SMA) sesuai dengan tingkat Ada 1.
kemampuan beberapa
klasifikasi
format
Homeschooling
pendidikannya homeschooling,
yaitu: tunggal
Homeschooling tunggal dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan
keluarga
lainnya
karena
hal
2.
tertentu
atau
lokasi
yang
berjauhan.
Homeschooling
majemuk
Homeschooling majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya: terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlit
tennis),
keahlian
musik/seni,
3.
kegiatan
sosial
dan
kegiatan
Komunitas
Komunitas
homeschooling
merupakan
agama
homeschooling
gabungan
beberapa
homeschooling
majemuk
yang
menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olah raga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara
orang
tua
dan
komunitasnya
kurang
lebih
50:50.
Sedangkan metode homeschool adalah sebagai berikut: 1.
Metode
Homeschooling
Charlotte
Mason
Dalam metode Charlotte Mason, anak membaca buku kemudian menceritakannya kembali dengan bahasanya
sendiri.
Hal
1.
ini
memastikan
bahwa
mereka
Metode
mengerti
apa
yag
dibacanya.
Homeschool
Klasik
Metode ini terdiri atas konsep grammar, logic dan rhetoric atau dapat juga diartikan pengetahuan, pengertian
dan
kebijakan.
Tahapan grammar (sampai usia 12) adalah saat anak menerima dan mengumpulkan informasi dan pengetahuan. Anak belajar menerima fakta walaupun belum memahaminya namun sejalan dengan bertambahnya
usia,
mereka
mulai
mencerna
fakta
tersebut.
Tahapan logic (usia 13 – 15) adalah saat pemahaman anak mulai matang. Mereka mulai mengerti sebab
akibat
dan
pengetahuan
tentang
logika.
Tahapan rhetoric (usia 16 – 18) adalah saat anak bisa menggunakan pengetahuan dan logika untuk berkomunikasi, menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dan berdiskusi serta berdebat
tentang
Komunitas
homeschooling
kebijakan.
Setiap mata pelajaran mempunyai 3 tahapan tersebut. Peserta didik menerima fakta, belajar mengerti,
dan
diuji
dalam
pemahaman
mereka.
2.
Eclectic
Metode ini melakukan hal-hal yang disukai dari berbagai kurikulum yang ada dengan menggunakan sumber-sumber informasi dari internet, perpustakaan atau menciptakan kurikulum sendiri. 3.
Metode
Homeschooling
Montessori
Maria Montessori menyatakan bahwa anak mempunyai kemampuan untuk belajar. Orang dewasa hanya perlu mengatur lingkungan anak agak mendukung proses anak belajar. Orang dewasa tidak perlu mengatur anak, tetapi cukup dengan membantu anak belajar dari lingkungannya dalam situasi
natural
maupun
kelompok
yang
tidak
dibatasi
4.
oleh
umur.
Unschooling
Anak belajar materi yang mereka sukai. Unschooling sangat tidak terstruktur tapi sering cocok untuk
sebagian
anak,
5.
terutama
anak
kecil.
Unit
studies
Semua mata pelajaran terpadu menjadi satu tema. Sebagai contoh dari sebuah buku anak dapat belajar sejarah, seni, ilmu pengetahuan alam, matematika, semua melalui buku tersebut. 6.
Belajar
7.
jarak
Metode
jauh
homeschooling
Waldorf
Konsep pengajaran Waldorf bertumpu pada anak secara keseluruhan (the whole child) yang meliputi kepala, hati dan tangan. Metode ini menekankan dongeng (storytelling) and seni (art). Metode
ini
tidak
berusaha
untuk
menanamkan
materi
intelektual
kepada
anak,
tetapi
membangkitkan kemampuan anak untuk mencari pengetahuan dan menikmati proses belajar. 2.4
Kelebihan
Homeschooling
Huzaifah Hamid (2008) mengemukakan beberapa keunggulan homeschooling sebagai pendidikan alternatif
sebagai
berikut.
Sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu. 2.5
Kelemahan
Homeschooling
Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman
berharga
untuk
belajar
hidup
di
masyarakat.
Faktor tingginya biaya homeschooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan homeschooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formal di sekolah umum. BAB
III
PENUTUP 3.1
Kesimpulan
Homeschooling muncul atas filososi John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964) karena alasan ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal yang kemudian didukung Ray dan Dorothy Moor dengan melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa memasukkan anakanak
pada
sekolah
formal
sebelum
usia
8-12
tahun
tidak
efektif.
Belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangan homeschooling di Indonesia. Saat ini perkembangannya dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka sehingga orang
tua
semakin
memiliki
banyak
pilihan
untuk
pendidikan
anak-anaknya.
Proses pembelajaran homeschooling menggunakan metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu secara formal. Guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan minat siswa pada mata pelajaran yang diminati. Dalam hal ini siswalah yang menjadi subjek kurikulum bukan
menjadi
objek.
Kelebihan homeschooling adalah menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik serta menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini memberikan keterampilan khusus
yang
menuntut
pembelajaran
dalam
waktu
yang
lama.
Kelemahan homeschooling antara lain membtuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan dan proteksi berlebihan dari 3.2
orang
tua. Saran
Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuhan dan kemampuan anak dan dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara nasional. Perlu adanya dukungan yang lebih luas dari pemerintah yang sementara ini hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga)
HOMESCHOOLING: SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF Oleh Pormadi Simbolon, SS Pengantar Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk “menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home educationatau home based learning. Latar Belakang Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan. Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.
Homeschooling Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat. Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (bdk. Sumardiono, 2007:4). Peran dan komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas, 13/3/2005).
Dalam Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolahrumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar
isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2). Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1). Berdasarkan definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejarah Singkat Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21). Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling. Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal. Di Indonesia Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006). Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang harus banyak belajar. Demikian juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil
keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas, 13/3/2005). Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Morning Star Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat. Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya. Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling
Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.
Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial. Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak. (Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).
Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya. Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
Tersedianya aneka sarana Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas
itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).
Homeschooling vs Sekolah Umum
Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai. Namun bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif. Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.
Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain:adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis,biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga. Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.
Penutup Homeschooling merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di sisi lain, ada sekolah umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum secara terpusat dan seragam, sesuai dengan harapan dan kebutuhan anak. Baik homeschooling maupun sekolah umum (pendidikan formal) sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas keduanya, semua diserahkan pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi keluarga. Penulis adalah pemerhati pendidikan anak, tinggal di Jakarta.