HOMESCHOOLING: SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF Diposkan oleh deja undefined undefined, undefined
HOMESCHOOLING: SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF Oleh Pormadi Simbolon, SS Pengantar Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk “menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning. Latar Belakang Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan. Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan. Homeschooling Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat. Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (bdk. Sumardiono, 2007:4).
Peran dan komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas, 13/3/2005). Dalam Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2). Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1). Berdasarkan definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejarah Singkat Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21). Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling. Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal. Di Indonesia Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006). Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang harus banyak belajar. Demikian juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas, 13/3/2005). Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Morning Star Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat. Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya. Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling
•
Kegagalan sekolah formal
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.
•
Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial. Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak. (Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).
•
Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya. Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
•
Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual). Homeschooling vs Sekolah Umum Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai. Namun bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif. Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Sistem di sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.
Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga. Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi. Penutup Homeschooling merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di sisi lain, ada sekolah umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum secara terpusat dan seragam, sesuai dengan harapan dan kebutuhan anak. Baik homeschooling maupun sekolah umum (pendidikan formal) sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas keduanya, semua diserahkan pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi keluarga. http://www.pendidikanluarsekolah.co.cc/2011/03/homeschooling-sebuah-pendidikan.html http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=1728
Parents take education by the horns Novia D. Rulistia, The Jakarta Post, Jakarta | Thu, 09/29/2011 8:00 AM For 10-year-old Yudhistira Gowo Sumiaji, the freedom he gained by planning his own school schedule helped him learn to love school. “I usually start my day at 8 a.m. and finish at around 11 a.m. I study math, English or draw a comic strip on my computer and edit some pictures with Photoshop,” he said. His other subjects include cooking, arts and tutorial sessions from the Internet.
Every day, five days a week, he has seven sessions that he schedules himself. “What’s good about this is that I can get up at any time in the morning without worrying that I will be late for school … home is my school,” he said. Yudhistira’s father, Sumardiono, said he chose homeschooling because conventional school was too rigid for his son, and its punishing schedule was too much for a 10-year-old. “I’m afraid that will only cause our children to miss opportunities to know and explore their interests,” the father of three said. Sumardiono said that most conventional schools turned a blind eye to student diversity, assuming that all students have the same capabilities and skills. “Besides, through homeschooling, we can avoid bullying, peer pressure and brawls,” he added. Sumardiono and his wife teach their children by themselves, using guidance from various homeschooling materials provided on the Internet. “We want them to think critically, to be active and not be afraid to question many issues,” he said. They track the progress of their son, posting it on the family website, and have set up a blog for Yudhistira to post his test results and essays. To assess Yudhistira’s progress and competence, Sumardiono said that he uses regular textbooks as reference materials and lesson sources. “Yudhistira has passed the equivalence test for the final examinations for sixth grade,” he said. Yayah Komariah, another parent, said that her kids have more fun learning. “We can learn about many things anywhere — at the park, on the street, in the kitchen, anytime. It’s more fun,” she said. Yayah may use curriculum from the Education Ministry as a reference point, but she tries to keep the lessons flexible and fun. “That way, they have more time to explore their passions, and the desire to learn comes naturally from them, not because we, the parents, force them,” Yayah, a former teacher, said. Seto Mulyadi, chairman of the Home Schooling and Alternative Education Association (ASAH PENA) said that homeschooling should not only mean studying at home, but also involve an alternative education in which children can study in a friendly environment free from stress.
“More parents today teach their children by themselves, hire tutors, or enroll them in schools that use the ‘at home’ approach,” he said. He said parents began to realize that, with homeschooling, their children could still attend college and would have the same opportunities as those who attended formal schools. “Homeschoolers can take the equivalence examinations for each level of education,” he said, adding that many homeschoolers even went on to medical, law and business schools. The 2003 Education Law, which regulates homeschooling as an alternative form of education, recognizes three forms of education: formal, non-formal and informal. Those partaking in nonformal and informal educations can take three equivalent tests: package A for sixth grade, package B for ninth grade and package C for 12th grade. However, Seto said parents of children embarking on homeschooling should also take their children’s social lives into consideration. “They should be creative enough in finding ways that will allow their kids to interact with other kids,” he said. He added that enrolling children in various types of courses or community programs could help homeschoolers connect with other people. Sumber: The Jakarta Post
http://rumahinspirasi.com/homeschooling-indonesia-di-jakarta-post
Pengertian Homeschooling Indonesia Rabu, 18 November 2009 · 06:24 WIB
Di Indonesia homeschooling sudah ada sejak lama. Sedangkan pengertian Homeschooling (HS) sendiri adalah model alternatif belajar selain di sekolah. Tak ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling. Selain homeschooling, ada istilah “home education”, atau “home-based learning” yang digunakan untuk maksud yang kurang lebih sama.
Dalam bahasa Indonesia, ada yang menggunakan istilah “sekolah rumah”. Ada juga orangtua yang secara pribadi lebih suka mengartikan homeschooling dengan istilah “sekolah mandiri”. Tapi nama bukanlah sebuah isu. Disebut apapun, yang terpenting adalah esensinya.
Salah satu pengertian umum homeschooling adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Pada homeschooling, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak; sementara pada sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah.
Walaupun orang tua menjadi penanggung jawab utama homeschooling, tetapi pendidikan homeschooling tidak hanya dan tidak harus dilakukan oleh orang tua. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, melibatkan anak-anak pada proses magang (internship), dan sebagainya.
Sesuai namanya, proses homeschooling memang berpusat di rumah. Tetapi, proses homeschooling umumnya tidak hanya mengambil lokasi di rumah. Para orang tua homeschooling dapat menggunakan sarana apa saja dan di mana saja untuk pendidikan homeschooling anaknya.
Keberadaan homeschooling Indonesia telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (10) yang berbunyi:
“Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”
Dalam praktek homeschooling tidak harus memenuhi penyetaraan pendidikan. Pendidikan kesetaraan adalah hak dan bersifat opsional. Jika praktisi homeschooling menginginkannya, mereka dapat menempuhnya. Jika tidak, mereka tetap dapat memilih dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tetapi Penyetaraan ini digunakan untuk dapat dihargai dan setara dengan hasil pendidikan formal, tentu setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Penyetaraan dalam praktek homeschooling yaitu penyetaraan ujian, penilaian, penyelenggaraan, dan tujuan pendidikan. Pendidikan kesetaraan dalam ujian nasional meliputi program Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA.
Kelebihan homeschooling:
•
Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga.
•
Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum.
•
Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah.
•
Lebih siap untuk terjun di dunia nyata (real world) karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya.
•
Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, drug, konsumerisme, pornografi, mencontek, dsb).
•
Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur (vertical socialization).
•
Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua
Kekurangan homeschooling:
•
Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua
•
Sosialisasi seumur (peer-group socialization) relatif rendah. Anak relatif tidak terekspos dengan pergaulan yang heterogen secara sosial.
•
Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan kepemimpinan.
•
Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.
Semua sistem pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Satu sistem sesuai untuk kondisi tertentu dan sistem yang lain lebih sesuai untuk kondisi yang berbeda. Daripada mencari sistem yang super, lebih baik mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan kondisi kita.
Sistem pendidikan anak melalui sekolah memang umum dan sudah dipraktekkan selama bertahun-tahun lamanya. Saat ini, pendidikan melalui sekolah menjadi pilihan hampir seluruh masyarakat.
Tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikannya. Sekolah hanyalah salah satu cara bagi anak untuk belajar dan memperoleh pendidikannya. Sebagai sebuah institusi/sistem belajar, sekolah tidaklah sempurna. Itulah sebabnya, selalu ada peluang pembaruan untuk memperbaiki sistem pendidikan; baik di level filosofi, insitusi, approach, dan sebagainya.
Sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk mengantarkan anak-anak pada masa depannya, orang tua memiliki tanggung jawab sekaligus pilihan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Homeschooling menjadi alternatif pendidikan yang rasional bagi orang tua; memiliki kelebihan dan kekurangan inheren di dalam sistemnya.
Tugas kita sebagai orang tua adalah memastikan bahwa kita telah memberikan yang maksimal untuk anak-anak kita, dengan segala batasan (constraint) yang kita miliki. http://www.psikologizone.com/pengertian-homeschoolingindonesia/06511347
Mendiknas: "Homeschooling" Itu Lebih Baik
BOGOR, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh
mengatakan, ada beberapa metode untuk pembelajaran di luar sekolah formal. Pada kasus-kasus tertentu metode pembelajaran bisa juga dilakukan di luar sekolah baik itu dalam bentuk parenting, homeschooling maupun metode pembelajaran lainnya. Menurut Nuh, homeschooling adalah sebuah metode pembelajaran yang legal. Selain itu, ia menilai, homeschooling diterapkan ketika anak-anak memerlukan perhatian khusus. Misalnya, karena menderita sakit dan harus dirawat ataupun ada masalah-masalah tertentu yang membuat anak-anak memang harus menjalani pendidikan secara homeschooling. Hal-hal khusus itulah yang kemudian dianggapnya sebagai indiktor yang wajar terkait mahalnya biaya homeschooling. "Beberapa metode pembelajaran bisa dilakukan di luar sekolah. Misalnya, karena memang si anak memerlukan perhatian yang agak khusus. Oleh karena itu, homeschooling semakin dikenal dan itu boleh. Wajar jika kemudian menjadi mahal, karena homeschooling sangat privat. Ibarat pakaian, ada yang di butik dan ada juga yang di pasar," kata Nuh, saat ditemui Kompas.com, akhir pekan lalu di Karang Tengah, Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat. Nuh mengungkapkan, agar homeschooling tidak kehilangan esensinya sebagai pendidikan alternatif, maka masyarakat dapat memilih cara lain, seperti memilih homeschooling dengan biaya yang masih dapat dijangkau. Ia menjelaskan, para orangtua yang menerapkan homeschooling kepada anak-anaknya tidak perlu khawatir. Anak-anak homeschooling dapat menggunakan jalur ujian Paket A, B dan Paket C untuk memeroleh ijazah guna melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, dimungkinkan juga di suatu saat anak-anak homeschooling dapat ikut ujian bergabung bersama dengan pendidikan formal. "Homeschooling bisa menggunakan ujian tersebut untuk ujian kelulusannya. Bisa juga ikut ujian bergabung dengan pendidikan formal. Itu boleh, yang tidak boleh itu jika anak-anak tidak sekolah dan tidak belajar," ujarnya. Mengenai standar kurikulum dalam homeschooling, Nuh menegaskan, homeschooling tetap harus memiliki kurikulum dasar. Tetapi, pengembangan dan pendekatannya diserahkan secara penuh kepada sang pendamping atau sang pembimbing homeschooling. "Kurikulum dasar harus ada aturannya, tetapi kan bisa disesuaikan. Yang penting materinya harus ada, kalau enggak ada patokannya maka akan sulit saat mereka ujian nanti. Intinya, homeschooling itu boleh dan lebih baik daripada si anak tidak bersekolah," kata Nuh. Sumber: Kompas http://igi.or.id/3-view.php?subaction=showfull&id=1313074175&archive=&start_from=&ucat=1&
Home Schooling, Metode Pendidikan Efisien Kiky Published 05/25/2007 - 6:40 p.m. GMT Rate This Article:
10
ABOUT THE AUTHOR Kiky Email: Click To Contact Author
PERKEMBANGAN pendidikan di Indonesia saat ini sedang marak dengan hadirnya tren belajar di rumah (Home schooling). Saat ini home schooling sedang marak dibahas oleh media, meskipun metode pendidikan efisien yang bersifat kekeluargaan ini sudah muncul sejak lama. Apakah yang ada di benak anda tentang home schooling? Bukan berarti anak-anak Indonesia menjadi seorang pemalas atau sekadar santai belajar di rumah. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pendidikan, ada beberapa metode pembelajaran yang dapat ditempuh secara efi sien bahkan praktis. Salah satunya home schooling. Tapi apakah home schooling juga berpengaruh baik untuk mental anak-anak? Biasanya bagi yang menjalankan sistem home schooling, mereka mempunyai komunitas sendiri, dan dapat saling bersosialisasi. Meskipun menggunakan istilah home schooling, tidak melulu sang anak harus belajar di rumah. Peran orangtua memang berpengaruh khususnya dalam bidang pendidikan anaknya. Beberapa alternatif yang dapat ditempuh, misalnya kursus bahasa asing, kumon, dan sempoa. Kendala yang ada dan belum mendapat jawaban yang akurat adalah mengenai pengesahan ijazah dan sosialisasi. Apakah home schooling sudah diakui di Indonesia? Home schooling berarti tidak pergi ke sekolah dalam arti institusi (sekolah konvensional), namun materinya adalah yang diajarkan di sekolah konvensional. Begitu pun orangtua bisa memilih materi untuk pengajaran bagi anak-anaknya. Jadi tidak semua bahan pelajaran diberikan ke anak. Orangtua juga bisa ambil bagian, yaitu menjadi guru untuk sang anak, namun bisa juga memanggil guru dari luar untuk mengajar dan sebagainya. Mereka yang memutuskan untuk menjadi home schooler biasanya sebagian besar orang-orang yang menerapkan sistem ini adalah orang orang yang pernah lama mengikuti pendidikan di luar negeri. Hal ini dilakukan karena kalau meneruskan sekolah di Indonesia biasanya membuat mereka turun kelas.
Home schooling atau sekolah di rumah ini semakin menjadi perhatian dalam dua tahun terakhir ini. Antara lain sejak begitu banyaknya orangtua yang merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah sering kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Bahkan dari sini muncul berbagai sekolah alternatif. Misalnya sekolah alam, yang mengajak siswanya belajar lebih banyak di alam. Anak tidak terlalu banyak belajar dalam ruangan yang serba kaku dan tertutup, namun lebih banyak berada di alam bebas. Ada pula sekolah alternatif lain yang membebaskan anak untuk belajar apa saja sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya sekolah formal. Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya. Masih banyak sekolah alternatif lain yang memiliki metode pembelajaran masing-masing. Intinya, anak dijadikan sebagai subjek kurikulum, bukan objek. Atau dengan kata lain kurikulum dan sekolah adalah untuk anak, bukan sebaliknya, anak untuk sekolah dan kurikulum! Di sini anak tidak terusmenerus belajar di rumah, namun bisa di mana dan kapan saja asal kondisinya betul-betul menyenangkan dan nyaman seperti suasana di rumah. Maka, jam belajarnya pun sangat lentur, yaitu dari mulai bangun tidur sampai berangkat tidur kembali. Di banyak negara maju, konsep persekolahan di rumah ini sudah mulai banyak dikembangkan. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, sudah banyak disusun kurikulum untuk persekolahan di rumah agar sistem pendidikannya memiliki konsep dan visi yang jelas. Tahun ini ada sekitar 1,8 juta anak di AS yang belajar dengan sistem persekolahan di rumah, dan diperkirakan tahun depan akan meningkat sampai sekitar 2,5 juta anak. Bagaimana dengan Indonesia? Sebetulnya sudah lama bangsa kita mengenal konsep home schooling ini, bahkan jauh sebelum sistem pendidikan Barat datang. Tengok saja di pesantrenpesantren misalnya, para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anakanaknya sendiri. Begitu pula para pendekar, bangsawan, atau seniman tempo dulu. Mereka pun mendidik secara pribadi di rumah atau padepokan masing-masing daripada sekadar mempercayakan kepada orang lain. Tak kurang para tokoh besar semacam KH Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, atau Buya HAMKA juga mengembangkan cara belajar dengan sistem persekolahan di rumah ini. Bukan sekadar agar lulus ujian kemudian memperoleh ijazah, namun agar lebih mencintai dan
Tentang Pendidikan Alternatif: Menurut Jerry Mintz (1994: xi) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu: • Sekolah publik pilihan (public choice) • Sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk) • Sekolah/lembaga pendidikan swasta/independen dan • Pendidikan di rumah (home-based schooling) Sekolah Publik Pilihan adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara (dalam pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri yang menyelenggarakan program belajar dan pembelajaran yang berbeda dengan program regular/konvensional, namun mengikuti sejumlah aturan baku yang telah ditentukan).
Anggapan yang salah jika berpikiran kalau home schooler tidak mempunyai banyak teman dan tidak bisa bersosialisasi. Home schooler tidak ada bedanya dengan mereka yang bersekolah di sekolah umum. Mereka bisa tetap berteman dengan siapa saja, yang sebaya, mereka yang jauh lebih tua, kaya dan miskin. Setiap orang diberikan kemampuan untuk bergaul, tergantung caranya dan bagaimana. Meskipun ada komunitas home schooler, tidak membuat pergaulan antar home schooler dibatasi. Mereka juga diberikan pembelajaran untuk bisa menempatkan diri di lingkungan dan berinteraksi dengan sesama karena adanya makna dari suatu hubungan tersebut. Apakah sekolah umum bisa menjamin keberhasilan? Intinya di sini, menjadi home schooler bisa tetap berinteraksi dengan orang lain. Komunitas Home Schooling
Home schooling tidak hanya untuk anak-anak umum saja, tapi juga tersedia tempat pendidikan bagi anak autis. Di Indonesia terdapat yayasan pengembangan anak Indonesia, “Indriya Foundation” sebuah yayasan yang bergerak di bidang home schooling yang khusus memberikan pendidikan alternatif bagi anak autis dan anak-anak yang sulit berpikir. Yayasan yang kurang lebih sudah lima tahun didirikan ini mempunyai misi untuk tetap memberikan pendidikan yang layak bagi anak autis serta menjadi wadah untuk mereka bersosialisasi seperti anak lainnya. “Meskipun kita tidak bisa berharap lebih dari mereka, minimal di sini mereka bisa mendapatkan ilmu dan lebih ditonjolkan keahliannya,” kata Anita, Sekretaris Indriya Foundation. Ketika ditanya mengenai diakuinya pendidikan home schooling bagi anak autis saat ini, Anita mengatakan, “Memang belum banyak yang mengetahui tentang pendidikan bagi anak autis saat ini, tapi bukan itu yang penting, yang penting adalah mereka mendapatkan suatu wadah di mana mereka bisa berinteraksi dan mendapatkan ilmu,” kata Anita. Di AS, home schooling telah dilaksanakan baik lokal maupun nasional. Organisasi Home Schooling yang bersifat nasional di AS adalah Islamic Home School Association of North America ((IHSANA), Jewish Home Educator’s Network, and National Institute for Christian Home Education.(kiki) (Disarikan dari artikel kuliah; Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, Prof Dr Yusufhadi Miarso, Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 1999)
http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=1728