HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Pakan Ransum yang digunakan pada penelitian merupakan campuran atara hijauan dan konsentrat dengan perbandingan antara hijauan (rumput gajah) : konsentrat (60:40 BK). Kandungan nutrien ransum yang digunakan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 . Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan 100% Bahan Kering (%) Nutrien K
RG
K:RG=40:60
AT
DKS
Bahan Kering
87,89
14,31
47,03
10,58
22,42
Kadar Abu
14,65
6,43
9,72
14,28
10,48
Protein Kasar
15,43
14,58
14,92
22,28
14,91
Lemak Kasar
8,57
2,64
5,01
1,76
2,73
Serat Kasar
6,49
25,37
17,82
16,78
13,43
Beta-N
54,86
50,98
52,53
44,90
58,45
1)
76,67
61,91
67,81
69,04
68,29
TDN
Keterangan: 1) K=Konsentrat, RG= Rumput Gajah, AT= Ampas Teh, DKS= Daun Kembang Sepatu 2) Analisa proksimat Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Dramaga Bogor (2011). 3) Perhitungan TDN dengan rumus (Hartadi,1980) Rumus TDN = 92,464 - (3,338 x SK) - (6,945 x LK) - (0,762 x Beta-N) + (1,115 x PK) + (0,031 x SK2) - (0,133 x LK2) + (0,036 x SK x Beta-N) + (0,207 x LK x Beta-N) + (0,1 x LK x PK) (0,022 x LK x PK)
Rumput gajah atau dalam bahasa latin disebut Pennisetum purpureum yang digunakan sebagai sumber hijauan dalam ransum mengandung serat kasar 25,37% BK. Sementara itu, kandungan protein rumput gajah (14,58% BK) yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan Santoso et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan protein pada rumput gajah sebesar 12,23%. Menurut Anindita (2009), rumput gajah yang dipanen pada musim penghujan akan memiliki kandungan PK 12,65% lebih tinggi dibanding dengan rumput yang dipanen pada saat kemarau. Perbedaan nilai-nilai ini diduga akibat perbedaan lokasi penanaman yang berhubungan dengan ketersediaan N di dalam tanah. Hasil analisis proksimat ampas teh yang digunakan sebagai suplemen menunjukkan bahwa kandungan serat kasar sebesar 16,78%. Rohayati (1994) 24
menyatakan kandungan serat kasar pada ampas teh mencapai 32,30%. Penelitian Kondo et al. (2004) menunjukkan bahwa kadungan NDF sebagai bagian pakan yang tidak terlarut dalam larutan deterjen netral pada ampas teh hijau dan teh hitam adalah 31,0% dan 41,2%. Tingginya kandungan serat pada ampas teh berasal dari struktur daun tumbuhan teh sendiri, ditambah dengan proses pengeringan serta penyeduhan saat proses pembuatan teh kemasan menyebabkan larutnya sebagian besar karbohidrat mudah larut yang akhirnya menyisakan karbohidrat tidak mdah larut pada ampas tehnya (Nurcahyani, 2005). Kandungan serat dan protein memberi pengaruh terhadap keadaan mikroba rumen dalam mencerna bahan pakan. McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa pakan hijauan dengan kandungan serat kasar tinggi akan meningkatkan proporsi asetat dalam produksi VFA total, sedangkan konsentrat akan meningkatkan proporsi propionat. Penggunaan bahan pakan berbahan dasar karbohidrat di dalam rumen akan didegradasi dan sebagian lagi masuk ke dalam usus halus. Protein dalam pakan diduga akan dicerna secara optimal dikarenakan adanya senyawa tanin yang dapat mengikat senyawa protein dan melindunginya hingga pasca rumen. Amonia di dalam cairan rumen adalah kunci dari degradasi oleh mikroba dan sintesis protein mikroba. Apabila ransum pakan yang diberikan kekurangan sumber protein maka akan menurunkan konsentrasi NH3 dan menyebabkan pertumbuhan mikroba rumen melambat yang akan berakibat proses degradasi karbohidrat oleh mikroba menjadi tidak optimal (McDonald et al., 1995). Senyawa Bioaktif Ampas Teh, Daun Kembang Sepatu dan Minyak Cengkeh Kandungan senyawa bioaktif digunakan untuk rumen
karena
meningkatkan
efisiensi
penggunaan
memodifikasi fermentasi pakan
sehingga
dapat
meningkatkan aktivitas fermentasinya. Tanin merupakan senyawa aktif dari limbah hasil olahan teh. Tanin merupakan komponen polifenol yang mampu berikatan dengan protein pakan, sehingga mampu menghambat transport nutrien ke dalam mikroorganisme (McSweeney et al., 2001). Pada ternak ruminansia, penggunaan tanin dapat meningkatkan efisiensi dari protein yang dikonsumsi dan meningkatkan daya tahan ternak terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan alat pencernaan. 25
Senyawa aktif saponin yang berasal dari daun kembang sepatu diketahui berfungsi sebagai agen defaunasi protozoa. Penghambatan protozoa dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri karena telah diketahui bahwa protozoa yang memangsa bakteri. Penekanan pertumbuhan protozoa menyebabkan meningkatnya protein asal bakteri pada duodenum sebanyak 25% dan fungsi protozoa sebagai pendegradasi polisakarida digantikan oleh fungi (McDonald et al.,1995). Kandungan saponin yang terdapat dalam daun kembang sepatu berhasil mengurangi jumlah protozoa rumen sebanyak 55% (Jalaludin, 1994). Minyak atsiri merupakan senyawa sekunder tanaman yang memiliki warna dan bau berasal dari tanaman dan rempah-rempah yang berfungsi sebagai antibakteri, antijamur, dan antioksidan sehingga sering dimanfaatkan sebagai bahan aditif alami (Castillejos et al., 2006; Davidson dan Naidu, 2000). Busquet et al. (2006) melaporkan penambahan minyak cengkeh pada level 30 mg/L cenderung menurunkan VFA total, meningkatkan proporsi propionat serta konsentrasi NH3. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan pemberian level 30 mg/L dapat memperbaiki fermentasi rumen, dilihat dari peningkatan propionat yang dapat mengurangi proporsi pembentukan gas metan serta penggunaan protein dari bahan pakan. Kandungan senyawa aktif dari ketiga bahan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Senyawa Aktif Tanin, Saponin, dan Eugenol yang Terdapat pada Ampas Teh, Kembang Sepatu, dan Minyak Daun Cengkeh Bahan
Tanin (%)
Saponin (%)
Eugenol (%)
Ampas Teh*
0,27
1,01
-
Tepung Daun Kembang Sepatu*
0,5
8,5
-
Ekstrak Kembang Sepatu ** -
- Batang
0,11
16,47
-
-
- Daun
0,28
23,33
-
-
- Bunga
1,14
21,57
-
-
-
55,14
Minyak Daun Cengkeh ***
Keterangan: * Laboratorium Balai Penelitian Ternak, 2011 ** Fitri et al., 2010 *** Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, 2011.
26
Kandungan tanin dalam teh hijau dan teh hitam diketahui sekitar 25 dan 18% (Nasution et al., 1985). Perbedaan kandungan tanin yang terdapat di dalam teh disebabkan adanya perbedaan proses pembuatan dari teh itu sendiri. Teh hijau merupakan teh yang tidak mengalami fermentasi, sedangkan teh hitam merupakan teh yang dalam proses pembuatannya mengalami proses fermentasi penuh. Ampas teh yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah ampas teh yang berasal dari campuran kedua jenis teh di atas, namun diketahui lebih banyak mengandung teh hitam yang mengalami proses fermentasi secara penuh, sehingga kandungan nutrien yang terkandung dalam ampas teh tersebut rendah dan lebih banyak mengandung serat. Galleher et al. (1993) melaporkan bahwa ampas teh merupakan sisa dari teh yang telah mengalami proses pelarutan air, sehingga serat yang tertinggal lebih dominan serat tidak larut. Tanin dalam jumlah kecil menguntungkan ruminansia karena dapat mencegah degradasi protein berlebih oleh mikroorganisme rumen sehingga protein asal rumen lebih banyak tersedia untuk proses pencernaan enzimatik pasca rumen. Penggunaan ampas teh dinilai menguntungkan karena selain dapat mengurangi sisa produk industri juga dapat memberikan efek yang menyebabkan proses pencernaan pada ruminan berjalan lebih efisien. Aktivitas tanin dimulai dari pencernaan bahan pakan di dalam mulut, senyawa tanin akan mengikat protein pakan dan dilanjutkan hingga ke usus halus yang kemudian akan terdigesti sebanyak 78% (Makkar, 2003; McSweeney et al., 2001). Menurut uji fitokimia Ayeni dan Yahaya (2010) menyatakan bahwa kandungan tanin dan saponin dari daun kembang sepatu masing-masing 8,40% dan 1,99%. Tepung buah lerak mengandung saponin sebesar 3,87% dan ekstraksi lerak dengan methanol sebesar 81,50% (Suharti et al., 2009) sehingga pada konsentrasi 1%, ekstrak metanol tepung Lerak dapat menurunkan populasi protozoa sebesar 96,4% sedangkan ekstrak air tepung Lerak dapat menurunkan populasi protozoa sebesar 77,9% dalam waktu 30 menit. Pada penelitian ini digunakan saponin yang berasal dari tepung daun kembang sepatu dengan kandungan saponin 7,68%. Perbedaan hasil analisis dari batang, daun, dan bunga pada kembang sepatu dipengaruhi oleh ikatan senyawa glikosida yang terdapat dalam bagian - bagian tersebut. Francis et al. (2002) menyebutkan besarnya kompleksitas struktur saponin 27
berasal dari variabilitas struktur aglikon. Diketahui saponin terdiri atas gula yang mengandung glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa, rhamnosa atau methylpentosa. Kadar eugenol setelah minyak cengkeh yang digunakan dalam penelitian adalah 55,14%. Lingkungan dan metode penyulingan dari tanaman cengkeh mempengaruhi kadar eugenol yang tersedia. Selain itu, minyak cengkeh dapat disuling dari bunga, batang, dan daun yang memiliki kadar eugenol yang berbeda. Pada bunga (10%-20%), tangkai (5%-10%), dan daun (1%-4%) (Nurdjannah, 2004). Penambahan minyak daun cengkeh pada kombinasi ampas teh dan daun kembang sepatu dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan yang dihasilkan dari interaksi ikatan hidrosil dalam eugenol dengan membran sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa eugenol dikenal sebagai antiseptik dan antimikroba yaitu mempengaruhi aktivitas bakteri gram positif dan gram negatif (Dorman dan Deans, 2000; Walsh et al., 2003). Eugenol merupakan golongan phenylpropanoids dengan ikatan hirophobik pada rantai hidroksilnya sehingga dengan mudah akan menempel pada lapisan membran bakteri (menempati ruang antara ikatan asam lemak). Penggunaaan minyak ditujukan untuk menekan pertumbuhan bakteri metanogen berupa bakteri penghasil asetat serta butirat yang diketahui dapat mengurangi efisiensi pakan karena kehilangan energi berlebih. Penggunaan minyak atsiri memiliki pengaruh positif pada fermentasi rumen diantaranya adalah meningkatkan VFA total, menurunkan proporsi asetat serta meningkatkan proporsi propionat dan menurunkan konsentrasi ammonia. Konsentrasi Amonia (NH3) dan Nilai pH Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian minyak cengkeh tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi produksi amonia (NH3) (Tabel 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa suplementasi minyak cengkeh dengan level 0,02 dan 0,04 mg/ml tidak mempengaruhi produksi amonia. Demikian juga dengan keadaan pH, berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa penambahan suplementasi minyak cengkeh tidak nyata mempengaruhi (P>0,05) pH cairan rumen (Tabel 4). Senyawa eugenol minyak cengkeh diduga mempengaruhi penurunan konsentrasi NH3 di dalam rumen. Selain itu, proteksi protein dengan adanya senyawa tanin asal 28
ampas teh juga dapat menyebabkan penurunan ketersediaan protein bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al., 1994). Hal tersebut mempengaruhi kinerja dari bakteri penghasil amonia yang masih terdapat di dalam rumen. Aktivitas tanin dimulai dari pencernaan bahan pakan di dalam mulut, senyawa tanin akan mengikat protein pakan dan dilanjutkan hingga ke usus halus yang kemudian akan terdigesti sebanyak 78% (Makkar, 2003; McSweeney et al., 2001). Beberapa bakteri pemecah protein sehingga menjadi asam amino antara lain : Butyrivibrio, Succinivibrio, Selenomonas lactilytica, Borrrelia, Bacteriobes sp., dan Clostridium lochhiadii (Hungate, 1966). Bakteri penghasil amonia memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas deaminasi, namun populasi di dalam rumen hanya sekitar 1% diantara populasi bakteri yang ada (Wallace, 2002). Minyak daun cengkeh
mengandung
senyawa
eugenol
yang
merupakan
bagian
dari
phenylpropanoids yang diduga dapat menghambat pertumbuhan bakteri melalui interaksi membran (Griffin et al., 1999; Davidson dan Naidu, 2000; Dorman dan Deans, 2000). Penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan Castillejos et al.. (2006) bahwa pemberian eugenol 50 mg/L (0,05 mg/ml) memberikan hasil yang tidak berbeda dengan kontrolnya. Konsentrasi NH3 yang dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 6,928,07 mM dan nilai tersebut masih optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam rumen berkisar antara 6-21 mM. Pada perlakuan dengan penambahan hanya menggunakan AT serta DKS menghasilkan konsentrasi NH3 yang meningkat yaitu 8,07 mM lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang hanya 6,93 mM. Hal ini diduga disebabkan bakteri penghasil amonia dapat bekerja karena tidak adanya senyawa eugenol pada perlakuan. Hal ini dinilai menguntungkan ternak karena dapat meningkatkan amonia dalam rumen sehingga dapat dimanfaatkan untuk produksi sel mikroba dan sintesis protein mikroba. Pemberian minyak cengkeh dengan level 0,02 dan 0,04 mg/ml tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap pH, namun masih dalam taraf normal yang berkisar antara 6,51-6,55. Menurut Sutardi (1977) faktor yang diperlukan untuk kelangsungan proses fermentasi oleh mikroba rumen adalah kondisi mendekati anaerob dengan pH pada 6-7, sedangkan McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa pH normal cairan 29
rumen pada kisaran 5,5-6 dengan phospat dan bicarbonat pada saliva sebagai buffer. Apabila pH menurun dapat diartikan akan terjadi peningkatan suplai H2 yang merupakan produk samping fermentasi rumen. Hal ini juga mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan aktivitas fermentasi rumen. Busquet et al. (2006) dan Castillejos et al. (2006) menyebutkan bahwa peningkatan pH akan menyebabkan penurunan pada produksi VFA total, dikarenakan pH yang tidak netral akan menekan pertumbuhan bakteri pendegradasi sehingga pencernaan berjalan lambat. Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap NH3 (mM) dan pH Perlakuan
NH3 (mM)
pH
A1
6,93± 2,44
6,54±0,03
A2
8,07± 2,98
6,55±0,03
A3
6,92± 1,91
6,51±0,02
A4
7,03± 1,15
6,53±0,03
Keterangan : Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan (P>0,05). A1= 60% rumput lapang + 30% konsentrat (K), A2 = K + 1 mg/ml ampas teh + 0,3 mg/ml tepung daun kembang sepatu (SI), A3 = K + SI + 0,02 mg/ml minyak daun cengkeh (MC), A4 = K + SI + 0,04 mg/ml MC.
Konsentrasi VFA Total dan Parsial Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan minyak cengkeh 0,04 mg/ml pada kombinasi AT dan DKS sangat nyata (p<0,01) meningkatkan VFA total sebesar 35,6% dari kontrol (Tabel 6). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan fermentasi pakan yang terjadi di dalam rumen dengan pemberian minyak cengkeh, ampas teh dan daun kembang sepatu. Peningkatan VFA total mencerminkan peningkatan sumber protein dan karbohidrat yang mudah tercerna (bahan organik) di dalam ransum. Hal ini dikarenakan oleh pemecahan sumber pati berjalan dengan baik. Adanya penambahan senyawa tanin yang bisa melindungi protein sehingga dapat bertahan dengan sedikit degradasi hingga pasca rumen, ditambah dengan kemampuan saponin sebagai defaunasi protozoa menghasilkan peningkatan aktivitas dari bakteri pemecah karbohidrat. Hal ini ditandai dengan meningkatkan populasi bakteri amilolitik pada penelitian Wiristya et al. (data belum dipublikasi) pada penambahan level 0,04 mg/ml mampu meningkatkan populasi sebesar 10,5% dibandingkan kontrol. 30
Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Profil VFA Total dan VFA Parsial Perlakuan Parameter VFA Total (mM)
A1
A2
A3
A4
58,66 ± 11,04a
59,19 ± 12,88a
60,67 ± 14,18ab
79,54 ± 22,91b
Proporsi molar (mol/100 mol) : - Asetat
64,33± 2,95a
65,32 ± 2,89ab
64,28 ± 2,69a
66,76 ± 3,75b
- Propionat
23,62 ± 3,35b
23,41 ± 2,92b
23,45 ± 3,19b
21,78 ± 2,42a
- Butirat
10,97 ± 2,54
10,22 ± 1,18
10,98 ± 0,85
10,26 ± 1,65
- Valerat
1,08 ± 0,13
1,05 ± 0,19
1,29 ± 0,52
1,19 ± 0,52
Keterangan : Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) untuk VFA total serta (P<0,1) untuk asetat, propionat, butirat, dan valerat. A1= 60% rumput lapang + 30% konsentrat (K), A2 = K + 1 mg/ml ampas teh + 0,3 mg/ml tepung daun kembang sepatu (SI), A3 = K + SI + 0,02 mg/ml minyak daun cengkeh (MC), A4 = K + SI + 0,04 mg/ml MC.
Penambahan minyak cengkeh 0,04 mg/ml juga cenderung meningkatkan (P<0,1) proporsi molar asetat sebesar 2,43%. Hal ini diduga akibat adanya penambahan ampas teh yang ikut berkontribusi dalam penambahan serat kasar ransum sehingga menyebabkan asetat meningkat. Ampas teh yang digunakan terdiri dari bagian besar serat (SK 16,78% dari BK) hasil sisa dari fermentasi dan pembuatan teh kemasan. Penambahan minyak cengkeh
pada level 0,04 mg/ml
cenderung menurunkan (P<0,1) pembentukan propionat, namun tidak nyata menurunkan produksi butirat dan valerat. Hasil ini berbeda dengan Busquet et al. (2006) yang menyatakan penggunaan minyak cengkeh dan eugenol murni (98%) pada level 30 mg/L cairan rumen berhasil meningkatkan pH dan proporsi propionat. Hal ini diduga akibat adanya perbedaan rasio pakan yang digunakaan pada saat penelitian. Pada penelitian ini digunakan rasio rumput gajah dan konsentrat 60:40 sehingga kandungan pati sebagai penghasil propionat menjadi berkurang. McDonald et al. (1995) menyatakan penambahan konsentrat pada pakan hijauan akan meningkatkan proporsi propionat terhadap asetat, hal ini terjadi apabila konsentrat mencapai 60% dari pakan. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan minyak cengkeh hingga level 0,04 mg/ml pada kombinasi AT dan DKS
sangat nyata (P<0,01) 31
menurunkan KCBK dan KCBO ransum (Tabel 6). Pada penambahan kombinasi AT dan DKS saja menurunkan kecernahan bahan dan kecernaan organik sebesar 8,96% dan 12,01% dibandingkan kontrol. Hal ini diduga akibat adanya tanin dan saponin yang terdapat dalam bahan tersebut. Tanin mampu membentuk senyawa kompleks dengan protein dan berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen. Hal ini menyebabkan protein dengan kualitas pakan tinggi diproteksi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pasca rumen. Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Perlakuan
KCBK (%)
KCBO (%)
A1
66,31±6,17b
69,74±4,72b
A2
57,35±5,62a
57,73±4,95a
A3
58,92±6,34a
60,28±4,79a
A4
58,44±5,77a
58,03±4,58a
Keterangan : Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) A1= 60% rumput lapang + 30% konsentrat (K), A2 = K + 1 mg/ml ampas teh + 0,3 mg/ml tepung daun kembang sepatu (SI), A3 = K + SI + 0,02 mg/ml minyak daun cengkeh (MC), A4 = K + SI + 0,04 mg/ml MC.
Penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik diduga akibat pengaruh rasio ransum basal yang digunakan yaitu rumput gajah : konsentrat (60:40), selain itu suplementasi ampas teh yang mengandung serat tinggi (16,78% BK) turut mempengaruhi proses degradasi serat. Populasi protozoa yang menurun diduga dapat mengurangi daya cerna bahan pakan yang terjadi di dalam rumen. Menurut Wiristya et al. (data belum dipublikasi), diketahui populasi protozoa nyata menurun (P<0,05) pada penambahan level DKS 0,3 mg/ml cairan rumen. Penelitian Fitri et al. (2010) bahwa dengan pemberian 1% ekstrak kembang sepatu berhasil menurunkan (P<0,05) sebesar 1,27 x 104/ml populasi protozoa dan menurunkan kecernaan bahan kering serta organik masing-masing 8,98% dan 11,35%. Pada penggunaan ekstrak lerak dengan metanol pada level pemberian 3% (w/v) berhasil menurunkan protozoa (Suharti et al., 2010). Protozoa merupakan fauna yang hidup di dalam rumen dan memiliki populasi sekitar 106 per ml lebih kecil dan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan populasi bakteri. Protozoa di dalam rumen bertindak sebagai pencerna serat sama dengan fungi, namun 32
protozoa juga memangsa bakteri yang yang ukurannya lebih kecil (McDonald et al., 1995). Produksi Gas Total Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan minyak cengkeh pada pakan yang telah memperoleh suplementasi AT dan DKS setiap perlakuan nyata menurunkan (P<0,05) produksi gas total pada 48 jam inkubasi (Tabel 7). Gas yang dihasilkan pada metode ini berasal dari fermentasi substrat secara langsung (CO2 dan CH4) dan berasal dari produksi gas secara tidak langsung melalui mekanisme buffering VFA yakni berupa gas CO2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat yang diproduksi selama proses fermentasi (Getachew et al., 1998). Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba di dalam rumen. Produksi VFA total yang dihasilkan juga sangat nyata (P<0,01) meningkat. Namun pada VFA parsialnya hanya berhasil meningkatkan proporsi asetat saja tanpa diimbangi dengan peningkatan propionat. Hal ini dikarenakan ransum basal yang digunakan pada penelitian ini adalah berupa rumput gajah : konsentrat (60:40), hal ini secara langsung akan mempengaruhi produksi propionat yang diketahui hasil dari fermentasi konsentrat (McDonald et al., 1995). Penambahan minyak cengkeh pada level 0,02 mg/ml MC hingga level 0,04 mg/ml MC menurun sekitar 16,7%;16,6% pada 2 jam pertama dan 16,6%; 24,4% pada 4 jam inkubasi. Waktu ini merupakan saat dimana pertama kali bahan pakan masuk, sehingga masih banyak zat makanan yang dapat didegradasi oleh mikroba. Pada inkubasi 6, 8 dan 12 jam pemberian 0,02 mg/ml MC menurunkan produksi gas sebesar 12,3%; 13,15% dan 12,0% dari kontrol. Pada pemberian 0,04 mg/ml MC menghasilkan produksi gas total yang menurun sebesar 18,2%; 18,3% dan 17% dari kontrol. Penurunan yang terjadi dengan penambahan minyak cengkeh diduga karena adanya senyawa phenolik di dalam minyak cengkeh yang menghambat proses fermentasi dengan mengikat bakteri (antibakteri) (Griffin et al., 1999; Davidson dan Naidu, 2000; Dorman dan Deans, 2000). Sehingga proses pencernaan bahan pakan oleh bakteri menurun. Selain itu, penambahan tanin mengakibatkan protein dalam pakan terlindungi dari degradasi sehingga secara langsung akan menghambat produksi gas yang merupakan hasil samping dari proses fermentasi nutrien pakan. Makkar et al. (2003) menyatakan keberadaan tanin dapat 33
mengurangi produksi gas dalam sistem fermentasi in vitro karena interaksi tanin dengan komponen-komponen pakan yang berkontribusi terhadap produksi gas, khususnya protein dan serat. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan Terhadap Gas Total Pengamatan
Perlakuan
Jam Ke-
A1
A2
A3
A4
2
4,96±0,48b
4,02±0,67ab
4,13±1,14ab
3,78±0,93a
4
8,03±0,73b
6,83±0,92ab
6,70±0,93ab
6,07±1,28a
6
10,55±0,98b
9.12±1,40ab
9,25±1,24ab
8,63±2,09a
8
12,85±1,39 b
11,16±1,67ab
11,16±1,82ab
10,50±2,29a
12
16,55±1,69 b
15,02±1,63ab
14,56±1,75ab
13,74±2,63a
24
27,94±6,12 b
25,91±4,50ab
24,28±2,70ab
20,99±1,16a
48
26,47±14,37
26,41±11,44
26,75±7,20
23,96±7,24
Keterangan : Perbedaan Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada jam ke 6, 8 dan 24 (P<0,05), dan sangat nyata pada jam ke 2 dan 4 (P<0,01), serta kecenderung pada jam ke jam 12 dan 48 (P<0,1). A1= 60% rumput lapang + 30% konsentrat (K), A2 = K + 1 mg/ml ampas teh + 0,3 mg/ml tepung daun kembang sepatu (SI), A3 = K + SI + 0,02 mg/ml minyak daun cengkeh (MC), A4 = K + SI + 0,04 mg/ml MC.
Pada waktu inkubasi 24 jam pemberian level 0,02 mg/ml MC dan 0,04 mg/ml MC menghasilkan penurunan 13,1% dan 24,9% sedangkan pada jam inkubasi 48 jam menghasilkan peningkatan yaitu 1,2% dan menurun kembali pada level 0,04 mg/ml MC sebesar 9,5% dibandingkan dengan kontrol. Pada inkubasi 24 dan 48 jam terjadi fluktuasi produksi gas, dikarenakan jumlah bahan pakan yang tercerna semakin berkurang. Penghambatan bakteri yang terjadi akibat penggunaan minyak cengkeh turut mempengaruhi hal ini. Menurut Dewi (2007) bakteri selulolitik yang masih mampu bertahan hidup setelah 24 jam inkubasi, karena fase pertumbuhan bakteri ini lebih lambat dibandingkan dengan bakteri amilolitik dan proteolitik. Metode gas in vitro dapat digunakan untuk mengukur dan memprediksi nilai kecernaan bahan pakan, pengaruh bahan pakan terhadap fermentasi di dalam rumen dan pengaruh bahan pakan terhadap pertumbuhan mikroba rumen (Kurniawati, 2007). Selaras dengan McDonald et al. (1995) melaporkan bahwa produksi gas menunjukkan terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba rumen, yaitu 34
menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakrida dan disakarida yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak terbang.
35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan minyak cengkeh 0,04 mg/ml pada ampas teh 2 mg/ml dan daun kembang sepatu 0,3 mg/ml dapat memodifikasi fermentasi rumen yaitu meningkatkan produksi VFA total dan proporsi molar asetat. Penambahan minyak cengkeh 0,04 mg/ml tidak nyata mempengaruhi konsentrasi amonia (NH3), menurunkan KCBK dan KCBO serta produksi gas total. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan level ampas teh, daun kembang sepatu untuk melihat pengaruhnya
pada penggunaannya sebagai
bahan pakan ternak ruminansia.
36