Penentuan Konsentrasi Kromium Heksavalen Larutan Limbah Tekstil Dengan Metode Penambahan Standar Larutan standar Cr6+ sebanyak 12,5 ml dengan variasi konsentrasi Cr6+ 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, dan 0.75 ppm masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur. Ke dalam setiap labu ukur ditambahkan limbah proses pewarnaan tekstil sebanyak 12,5 ml. Prosedur selanjutnya sama dengan prosedur penentuan konsentrasi kromium heksavalen. Pengukuran juga dilakukan pada larutan blanko. Kemudian dibuat kurva hubungan antara konsentrasi dan serapan. Larutan standar Cr6+ sebanyak 12,5 ml dengan variasi konsentrasi Cr6+ 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, dan 0.75 ppm masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur. Ke dalam setiap labu ukur ditambahkan limbah akhir tekstil sebanyak 12,5 ml. Prosedur selanjutnya sama dengan prosedur penentuan konsentrasi kromium heksavalen . Pengukuran juga dilakukan pada larutan blanko. Kemudian dibuat kurva hubungan antara konsentrasi dan serapan. Pengendapan Kromium Heksavalen Larutan Limbah Tekstil Dengan Serbuk Besi Larutan limbah proses pewarnaan tekstil sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 ml kemudian ditambahkan serbuk besi sebanyak 5 g. Setelah itu disesuaikan pH-nya menjadi 3 dengan cara menambahkan 0,5 M HNO3 atau 0,5 M NaOH. Campuran lalu dikocok dengan pengocok pada kecepatan 450 rpm selama 10 menit. Prosedur selanjutnya sama dengan prosedur penentuan pengaruh pH. Larutan limbah akhir tekstil sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer 200 ml kemudian ditambahkan serbuk besi sebanyak 5 g. Setelah itu disesuaikan pH-nya menjadi 3 dengan cara menambahkan 0,5 M HNO3 atau 0,5 M NaOH. Campuran lalu dikocok dengan pengocok pada kecepatan 450 rpm selama 10 menit. Prosedur selanjutnya sama dengan prosedur penentuan pengaruh pH.
HASIL DAN PEMBAHASAN Panjang Gelombang Maksimum Pengukuran serapan larutan kompleks DPC-kromium heksavalen 1.2 ppm pada berbagai panjang gelombang memberikan hasil serapan maksimum (λ maks) pada 540 nm. Serapan pada 540 nm untuk larutan kompleks DPC-kromium heksavalen 1.2 ppm adalah sebesar 0.873 (Lampiran 2). Kurva
hubungan serapan pada berbagai panjang gelombang tertera pada Gambar 2.
Gambar 2 Hubungan panjang gelombang dengan serapan larutan kompleks DPCCr(VI). Pengukuran serapan larutan kompleks DPC-kromium heksavalen 1.2 ppm dengan penambahan larutan Ce(IV) pada berbagai panjang gelombang memberikan hasil λ maks sebesar 540 nm. Serapan pada 540 nm untuk larutan kompleks DPC-kromium heksavalen 1.2 ppm dengan penambahan larutan Ce(IV) adalah sebesar 0.555 (Lampiran 3). Kurva hubungan serapan pada berbagai panjang gelombang tertera pada Gambar 3.
Gambar 3 Hubungan panjang gelombang dengan serapan larutan kompleks DPC-Cr(VI) dengan penambahan Ce(IV) Pengukuran larutan kromium heksavalen selanjutnya hanya dilakukan pada panjang gelombang 540 nm. Pengukuran serapan larutan pada panjang gelombang maksimum memiliki ketelitian yang tinggi dan dapat mengurangi kesalahan pengukuran dalam menentukan konsentrasi suatu senyawa secara spektrofotometri karena pengukuran pada panjang gelombang maksimum akan meningkatkan kepekaan analisis. Penambahan Ce(IV) menyebabkan terjadinya perbedaan nilai serapan antara larutan kompleks DPC-kromium tanpa penambahan larutan Ce(IV) dan larutan kompleks DPC-kromium dengan penambahan larutan Ce(IV) . Hal ini terjadi karena larutan Ce(IV) mempunyai warna kuning yang menyerap sinar pada wilayah panjang gelombang 400-480 nm (Gambar 4), sehingga
menganggu pengukuran serapan larutan kompleks DPC-kromium heksavalen yang berwarna ungu dan penyerapan warnanya berada pada wilayah panjang gelombang 500560 nm (Day & Underwood 2002). Namun penambahan Ce(IV) tidak menggeser panjang gelombang serapan maksimum karena warna larutan tetap menjadi ungu sehingga panjang gelombang 540 nm juga dipakai untuk penentuan konsentrasi kromium heksavalen total.
dan terlihat lebih bening dibandingkan pada pH lainnya. Ini menunjukkan bahwa pada pH 3, konsentrasi kromium heksavalen yang tersisa paling kecil. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Junyapoon & Weerapong (2006) yaitu nilai pH optimum pengendapan kromium heksavalen dengan serbuk besi adalah pada pH 3.
Gambar 5 Hubungan pH larutan dengan konsentrasi kromium heksavalen Gambar 4 Hubungan panjang gelombang dengan serapan larutan Ce (IV) Pengaruh pH Kondisi keasaman memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap reaksi reduksi Cr(VI) oleh Fe(0). Menurut persamaan (2), reduksi Cr(VI) dapat terjadi pada suasana asam, yaitu pada pH rendah. Bertambahnya jumlah H+ akan menggeser kesetimbangan reaksi reduksi Cr (VI) ke arah kanan sehingga jumlah Cr(VI) yang tereduksi bertambah banyak (Junyapoon & Weerapong 2006). Nilai serapan pada larutan kromium heksavalen yang telah direaksikan dengan sebuk besi menunjukkan jumlah kromium heksavalen yang tersisa pada larutan. Semakin kecil nilai serapan, maka konsentrasi kromium heksavalen yang tersisa semakin kecil. Nilai pH optimum adalah nilai pH yang menunjukkan konsentrasi terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai konsentrasi terkecil diberikan oleh larutan yang memiliki pH 2, yaitu sebesar 0.483 ppm (Gambar 5 dan Lampiran 6). Namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa pH 2 adalah pH yang optimum karena secara fisik dapat terlihat bahwa pada pH 2 larutan menjadi keruh setelah direaksikan dengan serbuk besi, sedangkan warna larutan kromium heksavalen pada pH yang lainnya adalah jingga. Seiring dengan kenaikan pH, warna jingga larutan semakin pudar. Pada pH 3, warna jingga larutan menjadi sangat pudar
Nilai konsentrasi yang kecil pada pH 2 disebabkan oleh kekeruhan larutan. Kekeruhan tersebut mengganggu pembentukan warna ungu kompleks DPCkromium heksavalen. Kekeruhan tersebut disebabkan oleh pH larutan yang terlalu rendah yang berakibat pada proses pengkaratan besi yang meningkat dengan sangat cepat (Junyapoon & Weerapong 2006). Tidak terbentuknya warna jingga pada pH 2 dapat disebabkan oleh karena tidak adanya kesetimbangan ion kromiumat-dikromiumat sehingga yang ada pada larutan tersebut hanyalah ion-ion kromiumat (HCrO4-) yang tidak menghasilkan warna jingga (Cotton & Wilkinson 1989). Pengaruh Kecepatan Pengocokan Produk reaksi akan terbentuk jika: molekul-molekul reaktan saling bertumbukan, tumbukan tersebut memiliki cukup energi, dan molekul-molekul tersebut bertumbukan pada orientasi yang tepat (Kotz et al. 2006). Salah satu cara agar molekul-molekul reaktan dapat bertumbukan adalah dengan melakukan pengocokan. Variasi pengocokan pada larutan kromium heksavalen yang telah ditambahkan dengan besi menunjukkan nilai serapan yang berbeda. Pada pengocokan dengan kecepatan 150 rpm, nilai konsentrasi kromium heksavalen yang tersisa adalah sebesar 21.63 ppm. Nilai konsentrasi kromium heksavalen menurun menjadi 20.52 ppm pada kecepatan
pengocokan 300 rpm. Nilai konsentrasi kromium heksavalen kembali meningkat pada kecepatan 450 rpm, yaitu sebesar 24.97 ppm. Nilai tersebut menurun pada kecepatan 600 rpm, yaitu sebesar 15.96 ppm (Gambar 6 dan Lampiran 7).
dan (3) atau (4). Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan konsentrasi kromium heksavalen seiring dengan bertambahnya jumlah serbuk besi sampai dengan 5 gram. Pada jumlah serbuk besi lebih dari 5 gram, terjadi kenaikan kembali konsentrasi kromium heksavalen (Gambar 7 dan Lampiran 8). Ini menunjukkan bahwa jumlah optimum serbuk besi pada pengendapan kromium heksavalen dengan serbuk besi adalah sebesar 5 gram.
Gambar 6 Hubungan konsentrasi kromium heksavalen dengan kecepatan pengocokan Ketidakteraturan perubahan nilai konsentrasi kromium heksavalen pada variasivariasi kecepatan pengocokan berkaitan dengan kesetimbangan reaksi. Nilai konsentrasi kromium heksavalen pada kecepatan pengocokan 450 rpm menunjukkan nilai yang tinggi. Hal ini karena pada kecepatan tersebut, reaksi pengendapan berada pada keadaan setimbangnya. Nilai konsentrasi kromium heksavalen pada kecepatan pengocokan 600 rpm menunjukkan nilai yang paling rendah. . Hal ini terjadi karena pada kecepatan tersebut reaksi dapat lebih cepat mencapai tahap kesetimbangannya, sehingga pada saat pengocokan telah selesai, reaksi telah melewati tahap kesetimbangannya. Ketika reaksi telah melewati tahap kesetimbangan, reaksi akan cenderung berbalik arah (Hargis 1998). Hal ini menyebabkan reaksi menjadi berbalik arah menuju pembentukan Cr(VI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan pengocokan optimum pengendapan kromium heksavalen dengan serbuk besi adalah pada kecepatan 450 rpm. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Junyapoon & Weerapong (2006) yang tidak dapat menemukan kondisi optimum kecepatan pengocokan karena peralatan pengocok yang digunakan pada penelitian Junyapoon & Weerapong (2006) memiliki kecepatan pengocokan maksimum pada 250 rpm. Pengaruh Jumlah Serbuk Besi Jumlah serbuk besi akan mempengaruhi konsentrasi kromium heksavalen yang mengendap, menurut persamaan (1) atau (2)
Gambar 7 Hubungan konsentrasi kromium heksavalen dengan jumlah serbuk besi Penurunan konsentrasi kromium heksavalen seiring dengan bertambahnya jumlah serbuk besi sesuai dengan penelitian Junyapoon & Weerapong (2006). Dengan bertambahnya jumlah serbuk besi, maka jumlah sisi aktif reaksi dari serbuk besi akan meningkat sehingga jumlah kromium heksavalen yang bereaksi pun akan meningkat. Namun kenaikan kembali konsentrasi kom heksavalen pada jumlah serbuk besi sebanyak 6 gram tidak sesuai dengan penelitian Junyapoon & Weerapong (2006), yaitu bahwa setelah mencapai jumlah optimum, konsentrasi kromium heksavalen tidak akan meningkat. Hasil penelitian Junyapoon & Weerapong (2006) juga menunjukkan perbedaan pada jumlah optimum serbuk besi, yaitu sebesar 1 gram. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan sumber dan ukuran serbuk besi, dan kondisi peralatan laboratorium yang digunakan. Pengaruh Waktu Pengocokan Pengocokan larutan kromium dengan serbuk besi memerlukan waktu agar kromium heksavalen dapat tereduksi oleh besi. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan penurunan konsentrasi kromium heksavalen seiring bertambahnya waktu pengocokan. Hal ini dapat terjadi karena bertambahnya waktu akan menjaga keberlangsungan reduksi Cr(VI) sampai titik kesetimbangannya
tercapai. Pada waktu pengocokan 10 menit, konsentrasi kromium heksavalen berada pada nilai terendahnya, yaitu 0.14 ppm. Setelah 10 menit, konsentrasi kromium heksavalen kembali meningkat (Gambar 8 dan Lampiran 9). Hal ini dapat disebabkan oleh kesetimbangan reaksi yang telah melewati titik kesetimbangannya sehingga kromium heksavalen akan kembali terbentuk. Ketika reaksi telah melewati tahap kesetimbangan, reaksi akan cenderung berbalik arah (Hargis 1998). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Junyapoon & Weerapong (2006), yaitu bahwa waktu pengocokan optimum pengendapan kromium heksavalen dengan serbuk besi adalah 180 menit. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah serbuk besi yang dipakai. Junyapoon & Weerapong (2006) memakai serbuk besi sebanyak 1 gram, berdasarkan pada jumlah optimum serbuk besi pada penelitian tersebut, sedangkan penelitian ini menggunakan serbuk besi sebanyak 5 gram, berdasarkan pada jumlah optimum serbuk besi pada penelitian ini.
spektrofotometri karena larutan tersebut memiliki banyak matriks pengotor. Pengotor tersebut dapat mengganggu respon instrumen dalam mengukur analat, atau bahkan dapat menghasilkan respon instrumen sendiri (Harris 2003). Karena itu perlu dilakukan metode penambahan standar. Hasil pengukuran serapan larutan limbah proses pewarnaan tekstil menunjukkan nilai 0.011 (Lampiran 11). Namun nilai tersebut tidak dapat dikatakan akurat karena larutan tersebut sudah berwarna ungu sebelum direaksikan dengan DPC. Hal ini mengganggu pengukuran karena hasil pembentukan kompleks DPC-kromium juga menghasilkan warna ungu. Karena itu perlu dilakukan metode penambahan standar. Konsentrasi Kromium Heksavalen Larutan Limbah Tekstil Dengan Metode Penambahan Standar Kurva penambahan standar larutan limbah proses pewarnaan tekstil mempunyai kemiringan yang berbeda dengan kurva standar (Gambar 9). Ini menunjukkan bahwa matriks dari larutan limbah tersebut mempengaruhi pengukuran sampel.
Gambar 8 Hubungan konsentrasi kromium heksavalen dengan waktu pengocokan Hubungan konsentrasi terhadap berbagai macam kondisi (kecepatan pengocokan, jumlah serbuk besi, pH, dan waktu pengocokan) yang digambarkan ke dalam bentuk plot penyebaran tiga dimensi dapat dilihat pada Lampiran 10. Konsentrasi Kromium Heksavalen Larutan Limbah Tekstil Hasil pengukuran serapan kromium heksavalen larutan limbah akhir tekstil menunjukkan nilai 0.003 (Lampiran 11). Nilai tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi kromium heksavalen pada larutan tersebut sangat kecil. Hal ini karena proses pengolahan limbah pabrik tekstil tempat limbah ini berasal berjalan dengan baik. Namun pengukuran konsentrasi kromium heksavalen yang akurat tidak dapat dilakukan pada larutan tersebut dengan menggunakan metode
Gambar 9 Hubungan konsentrasi kromium heksavalen dengan serapan larutan standar dan larutan limbah proses pewarnaan tekstil dengan penambahan standar Dengan meneruskan kurva hingga menyentuh sumbu x (y=0) maka didapatkan konsentrasi kromium heksavalen larutan limbah proses pewarnaan tekstil, yaitu sebesar 0.42 ppm (Lampiran 14). Hasil ini berbeda dengan hasil pengukuran konsentrasi kromium heksavalen dengan memakai metode AAS, yaitu <0.01 ppm (Lampiran 15). Nilai konsentrasi yang kecil dari hasil metode AAS menunjukkan bahwa konsentrasi kromium heksavalen pada limbah proses pewarnaan
tekstil tersebut tidak melewati ambang batas maksimum kromium heksavalen di dalam air, yaitu sebesar 0.05 ppm (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2001). Sedangkan jika mengacu pada metode penambahan standar, konsentrasi kromium heksavalen pada limbah proses pewarnaan tekstil tersebut telah melewati ambang batas maksimum kromium heksavalen di dalam air. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ketepatan kedua metode tersebut. Kurva penambahan standar larutan limbah akhir tekstil mempunyai kemiringan yang sama dengan kurva standar (Gambar 10). Hal ini juga ditunjukkan oleh slope kedua kurva yang memiliki nilai yang hampir sama, yaitu 0.88 pada kurva standar dan 0.90 pada kurva penambahan standar (Lampiran 16). Ini menunjukkan bahwa matriks pada larutan limbah akhir tekstil tersebut tidak terlalu mengganggu pengukuran konsentrasi kromium heksavalen pada larutan limbah tersebut. Pengukuran konsentrasi kromium heksavalen larutan limbah akhir tekstil dapat dilakukan dengan menggunakan perbandingan kemiringan kurva (Brewer 1980).
Pengendapan Kromium Heksavalen Larutan Limbah Tekstil Dengan Serbuk Besi Kondisi yang dipakai untuk pengendapan kromium heksavalen larutan limbah tekstil dengan serbuk besi adalah kondisi optimum yang telah didapatkan melalui penentuan pengaruh pH, penentuan kecepatan pengocokan, penentuan jumlah serbuk besi, dan penentuan waktu pengocokan. Kondisi optimumnya adalah pada pH 3, kecepatan 450 rpm, jumlah besi 5 gram, dan waktu pengocokan 10 menit. Pengukuran serapan setelah pengendapan menghasilkan nilai serapan sebesar 0.002 pada larutan limbah proses pewarnaan tekstil, dan sebesar 0.000 pada larutan limbah akhir tekstil (Lampiran 18). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi optimum yang telah didapatkan sebelumnya dapat dipakai pada larutan limbah tekstil asli.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Gambar 10 Hubungan konsentrasi kromium heksavalen dengan serapan larutan standar dan larutan limbah akhir tekstil dengan penambahan standar Serapan yang terukur pada setiap penambahan standar merupakan jumlah dari serapan standar dan serapan sampel (Brewer 1980). Dari nilai serapan sampel larutan limbah akhir tekstil, dapat diketahui konsentrasi sampel tersebut dengan metode kemiringan kurva, yaitu sebesar 0.04 ppm (Lampiran 17). Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi kromium heksavalen larutan limbah tersebut tidak melebihi ambang batas maksimum kromium heksavalen di dalam air.
Kondisi optimum pH, kecepatan pengocokan, jumlah serbuk besi, dan waktu pengocokan pengendapan kromium heksavalen dengan serbuk besi berturut-turut adalah pH 3, 450 rpm, 5 gram, dan 10 menit yang memberikan nilai konsentrasi kromium heksavalen tersisa berturut-turut sebesar 16.98 ppm, 15.96 ppm, 0.24 ppm, dan 0.14 ppm. Serbuk besi sangat baik digunakan untuk mengendapkan kromium heksavalen dari larutan limbah tekstil karena mampu mengendapkan kromium heksavalen dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Nilai serapan kromium heksavalen larutan limbah tekstil setelah direaksikan dengan serbuk besi pada kondisi optimum adalah sebesar 0.002 untuk larutan limbah proses pewarnaan tekstil, dan sebesar 0.000 untuk larutan limbah akhir tekstil. Saran Sebaiknya digunakan larutan sampel limbah yang lebih banyak mengandung kromium heksavalen daripada limbah yang digunakan pada penelitian ini sehingga efektifitas serbuk besi dalam megendapkan kromium heksavalen dapat ditelaah lebih jauh. Perlu dicari metode pengukuran konsentrasi kromium heksavalen selain metode spektrofotometri yang tidak menghasilkan warna ungu agar pengukuran tidak terganggu