38
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Mulsa Terhadap Sifat Fisik Tanah 4.1.1. Bobot Isi Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap bobot isi tanah adalah seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa. Perlakuan Tanpa Mulsa (M0)
Bobot Isi (g/cm3) 1.01 a
Dosis 1 ton/ha (M1)
1.04 a
Dosis 2 ton/ha (M2)
1.00 a
Dosis 3 ton/ha (M3)
0.99 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan sampai dengan 3 ton/ha tidak berpengaruh terhadap bobot isi tanah (Tabel 2). Hal ini dikarenakan sisa tanaman yang diberikan sebagai bahan organik dalam waktu singkat belum melapuk secara sempurna, sehingga belum dapat menciptakan kondisi lepas dan sarang yang dapat menyebabkan penurunan bobot isi. Selain itu penggunaan mulsa dalam waktu singkat belum dapat menurunkan bobot isi karena mulsa yang diberikan dengan cara disebar di permukaan tanah hanya mempengaruhi ataupun merubah lapisan atas tanah saja. Agar mulsa dapat berpengaruh terhadap bobot isi tanah, perlu pemberian mulsa dua atau tiga musim tanam lagi. Bobot isi yang ada sudah bagus yaitu 1.01 g/cm 3. Menurut Foth (1978) bobot isi 1.0 g/cm3 atau kurang, bagus untuk perkembangan akar tanaman dalam menembus tanah. Bobot isi tanah merupakan faktor kritis dalam penentuan produktivitas tanah, sebab dapat menggambarkan tingkat kepadatan tanah yang akan mempengaruhi daya tembus akar tanaman, air dalam tanah, dan aerasi tanah (Haridjaja, 1980). Semakin kecil bobot isi tanah maka semakin sarang tanah tersebut sehingga mudah untuk dapat meneruskan air dan ditembus oleh akar.
39 15
Sebaliknya semakin besar bobot isi semakin padat tanah tersebut sehingga akan sulit meneruskan air dan sulit ditembus oleh akar (Hardjowigeno, 1985).
4.1.2. Porositas Tanah Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap porositas tanah adalah seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Porositas tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa Perlakuan
Porosital Total (%)
Tanpa Mulsa (M0) Dosis 1 ton/ha (M1)
60.59 a 60.16 a
Dosis 2 ton/ha (M2)
63.55 a
Dosis 3 ton/ha (M3)
62.17 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan sampai dengan 3 ton/ha tidak berpengaruh terhadap nilai porositas tanah (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena sisa tanaman jagung yang diberikan dalam waktu singkat belum terdekomposisi, sehingga belum dapat menciptakan kondisi yang sesuai bagi organisme tanah untuk dapat membentuk rongga-rongga dalam tanah yang dapat meningkatkan porositas. Menurut Kohnke dan Bertrand (1959) penggunaan mulsa mempengaruhi kehidupan fauna secara tidak langsung, yaitu melalui perubahan lingkungan berupa kelembaban, suhu, dan unsur hara. Seperti halnya bobot isi, mulsa yang disebar dipermukaan tanah hanya memperbaiki porositas lapisan atas tanah saja sehingga tidak menyebabkan terjadinya proses agregasi di dalam tanah yang dapat meningkatkan porositas tanah. Untuk dapat terjadi proses agregasi di dalam tanah, maka mulsa harus dicampur dengan tanah. Mulsa yang masih tertinggal setelah satu musim tanam akan tercampur dengan tanah karena adanya pengolahan tanah sebelum penanaman. Mulsa yang telah tercampur dengan lapisan olah tanah dapat merangsang perkembangan organisme tanah yang akan menyebabkan terjadinya proses agregasi yang dapat membentuk pori-pori dalam tanah sehingga dapat
40 16
meningkatkan porositas tanah. Oleh karena itu penggunaan mulsa perlu lebih dari satu musim tanam. Porositas tanah penting dalam penyimpanan dan pergerakan udara dan air tanah, serta perkembangan sistem perakaran, sehingga porositas merupakan indikator drainase dan aerasi tanah. Porositas tanah yang baik yaitu apabila terdapat jumlah ruang pori yang cukup dan distribusi ukuran pori yang baik yang dapat menentukan tingkat kesuburan fisik tanaman (Suwardjo, 1981).
4.1.3. Pori Air Tersedia Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap pori air tersedia adalah seperti tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Pori air tersedia pada berbagai dosis pemberian mulsa. Perlakuan
Pori Air Tersedia (% vol)
Tanpa Mulsa (M0) Dosis 1 ton/ha (M1)
13.95 a 11.07 a
Dosis 2 ton/ha (M2)
9.59 a
Dosis 3 ton/ha (M3)
10.00 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan sampai dengan 3 ton/ha tidak berpengaruh terhadap nilai pori air tersedia (Tabel 4). Mulsa yang diberikan dalam waktu singkat belum melapuk secara sempurna sehingga belum dapat menyumbangkan bahan organik tanah yang cukup untuk dapat memperbaiki struktur tanah yang dapat menciptakan pori air tersedia. Mulsa yang diberikan dengan cara disebar di permukaan tanah hanya dapat memperbaiki lapisan atas tanah saja dan sulit untuk memperbaiki lapisan tanah dibawahnya. Akibatnya pemberian mulsa yang hanya berlangsung dalam satu musim belum mampu menciptakan proses agregasi di dalam tanah, sehingga pori air tersedia tidak terbentuk. Menurut Stallings (1957) kondisi agregasi tanah ditentukan oleh jumlah dan kualitas suplai hasil dekomposisi bahan organik yang ada. Jika suplai bahan organik memadai, tanah akan berada pada kondisi agregat baik. Menurut
41 17
Komalasari (1992) untuk dapat membentuk pori dalam tanah perlu dua atau tiga musim lagi agar dapat terjadi proses agregasi di dalam tanah yang dapat menciptakan keadaan sarang. Pori air tersedia merupakan selisih dari kadar air pada pF 2.54 (tekanan 0.33 bar) yaitu kadar air kapasitas lapang yang merupakan kondisi di mana air gravitasi sudah tidak menetes lagi, dengan kadar air pada pF 4.2 (tekanan 15 bar) yaitu kadar air titik layu permanen yang merupakan kondisi dimana tanaman sudah tidak dapat menyerap air lagi. Pori air tersedia berukuran 0.2 – 25 μm (Oades, 1986). Pori air tersedia yang ada (Tabel 4) menurut Stallings (1959) berkriteria sedang, sehingga perlu dosis mulsa yang melebihi dari dosis di atas untuk menaikkan kelas pori air tersedia yang ada. Pada hasil penelitian Masnang (1995) pemberian mulsa jerami padi dengan dosis 5.79 ton/ha dapat meningkatkan pori air tersedia dari 9.1% menjadi 15.4% dimana terjadi peningkatan sebesar 6.3%, dan penambahan mulsa jerami jagung dengan dosis 11.67 ton/ha dapat meningkatkan pori air tersedia dari 9.1% menjadi 14.5% dimana terjadi peningkatan sebesar 5.4%.
4.1.4. Pori Drainase Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap pori drainase tanah adalah seperti tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Pori drainase tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa. Perlakuan Tanpa Mulsa (M0) Dosis 1 ton/ha (M1) Dosis 2 ton/ha (M2) Dosis 3 ton/ha (M3)
Pori Drainase Pori Drainase Cepat Lambat ----------(% vol)---------5.00 a 3.34 a 3.23 a 3.66 a 3.20 a 5.27 a 4.14 a 5.15 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan sampai dengan 3 ton/ha tidak berpengaruh terhadap pori drainase (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena mulsa belum melapuk secara sempurna sehingga aktivitas organisme tanah belum optimum untuk dapat
42 18
membentuk rongga-rongga dalam tanah. Mulsa yang diberikan juga terlalu sedikit sehingga belum dapat menyumbangkan bahan organik ke dalam tanah. Mulsa yang diberikan dengan cara disebar di permukaan tanah hanya memperbaiki lapisan atas tanah saja dan sulit untuk memperbaiki yang ada di lapisan di bawahnya. Akibatnya tidak terjadi proses agregasi di dalam tanah, sehingga pori drainase tidak terbentuk. Perlu lebih dari satu musim tanam agar mulsa dapat melapuk yang dapat meningkatkan pori drainase. Pori drainase tanah memiliki arti yang penting dalam hal kemampuan tanah untuk menunjang pertumbuhan tanaman, serta penting dalam penyimpanan air dan udara di dalam tanah. Pori drainase cepat merupakan selisih dari kadar air pada pF 1 (tekanan 0.01 bar) dengan kadar air pada pF 2 (tekanan 0.1 bar). Pori drainase cepat berukuran > 100 μm (Oades, 1986). Pori drainase cepat daya pegangnya terhadap air sangat lemah sehingga sulit untuk menahan air. Kondisi ini menyebabkan air mudah keluar dan hanya sedikit air yang tertahan. Sedangkan pori drainase lambat merupakan selisih dari kadar air pada pF 2 (tekanan 0.1 bar) dengan kadar air pada pF 2.54 (tekanan 0.33 bar). Pori drainase lambat berukuran 25 – 100 μm (Oades, 1986). Pada pori drainase lambat air mudah diambil oleh tanaman. Pori drainase cepat dan pori drainase lambat yang ada (Tabel 5) menurut Stallings (1959) sangat rendah, sehingga perlu dosis mulsa yang lebih tinggi lagi untuk menaikkan kelas pori drainase yang ada. Pada penelitian Masnang (1995), penambahan mulsa jerami padi dengan dosis 5.79 ton/ha dapat meningkatkan pori drainase cepat dari 9.2% menjadi 13% dimana terjadi peningkatan sebesar 3.8%. Sedangkan untuk pori drainase lambat, penelitian Sumitra (1993) menunjukkan bahwa penambahan mulsa jerami padi dengan dosis 3 ton/ha dapat meningkatkan pori drainase lambat.
4.2. Pengaruh Mulsa Terhadap Sifat Biologi Tanah 4.2.1. Jumlah Makrofauna Tanah Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap jumlah makrofauna tanah adalah seperti tertera pada Tabel 6.
19 43
Tabel 6. Jumlah makro fauna tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa. Perlakuan Tanpa Mulsa (M0) Dosis 1 ton/ha (M1) Dosis 2 ton/ha (M2) Dosis 3 ton/ha (M3)
Semut Cacing Rayap ----------(ekor/100 g tanah)--------46 b 6b 8b 58 ab 9 ab 10 a 59 ab 10 ab 15 ab 68 a 13 a 18 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Jenis makrofauna tanah yang dijumpai meliputi cacing, rayap, semut, larva, kaki seribu. Semut, cacing, dan rayap merupakan makrofauna yang paling dominan dibandingkan jenis yang lainnya. Analisis statistik menunjukkan bahwa mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan dengan dosis minimum 3 ton/ha berpengaruh meningkatkan jumlah makrofauna tanah yaitu semut, cacing, dan rayap (Tabel 6). Populasi makrofauna semut, cacing, dan rayap tertinggi terdapat pada perlakuan M3. Dengan demikian semakin tinggi dosis mulsa yang diberikan, maka semakin banyak populasi fauna yang ada. Mulsa yang diberikan merupakan sumber energi bagi fauna tanah sehingga penambahan mulsa dapat menyebabkan jumlah makrofauna tanah meningkat. Mulsa yang disebar di atas permukaan tanah memberi kondisi yang sesuai bagi makrofauna tanah untuk berkembang, karena mulsa dapat mengurangi fluktuasi suhu dan menjaga kelembaban tanah. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Kohnke dan Bertrand (1959), bahwa penggunaan mulsa mempengaruhi kehidupan fauna secara tidak langsung, yaitu melalui perubahan lingkungan yang meliputi aerasi, kelembaban, suhu, dan unsur hara. Ekosistem yang banyak dihuni makrofauna, menyebabkan pembentukkan agregat-agregat tanah sehingga konsistensi tanah menjadi gembur dan porositas tinggi. Mulsa berupa sisa tanaman merupakan bahan makanan cacing yang cocok untuk perkembangannya. Ini berarti aktivitas cacing tanah yang meningkat pada tanah yang diberi mulsa sangat membantu terjadinya perbaikan sifat fisik tanah. Sedangkan lubang yang dibuat didalam tanah oleh rayap dan semut berpengaruh baik terhadap aerasi dan drainase tanah (Suwardjo, 1981).
20 44
4.3. Pengaruh Mulsa Terhadap Tanaman Jagung 4.3.1. Tinggi Tanaman Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap tinggi tanaman jagung adalah seperti tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Tinggi tanaman jagung pada berbagai dosis pemberian mulsa. Pengukuran Tinggi Tanaman (cm)
Perlakuan Tanpa Mulsa (M0) Dosis 1 ton/ha (M1) Dosis 2 ton/ha (M2) Dosis 3 ton/ha (M3)
3 MST 66.17 a 76.67 a 104.63 a 94.20 a
6 MST 158.20 a 164.27 a 172.17 a 183.90 a
9 MST 185.70 a 183.53 a 188.23 a 200.50 a
12 MST 189.03 a 183.50 a 191.96 a 206.03 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Tinggi tanaman digunakan sebagai parameter uji efektifitas pemberian mulsa pada dosis yang berbeda-beda. Seperti halnya pengaruh mulsa terhadap bobot isi dan distribusi pori tanah, analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan sampai dengan 3 ton/ha tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman jagung (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena mulsa yang diberikan belum melapuk secara sempurna, sehingga tanaman belum mendapatkan unsur hara yang cukup dari pemberian mulsa. Selain itu, karena pemberian mulsa tidak berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik tanah yang ada (Tabel 2, 3, 4, dan 5), maka pemberian mulsa juga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sifat-sifat fisik tanah sangat menentukan dan menunjang pertumbuhan tanaman seperti kemampuan penetrasi akar, pergerakan air dalam tanah, aerasi tanah, dan ketersediaan hara bagi tanaman.
Mulsa yang disebar dipermukaan tanah hanya mempengaruhi kondisi lapisan tanah atas saja, sehingga mulsa belum dapat menciptakan kondisi tanah yang lebih baik untuk perkembangan akar tanaman dalam memanfaatkan unsur hara dan air dari tanah. Bahan organik yang diberikan berupa mulsa sisa tanaman mengandung
berbagai
macam
senyawa
yang
dapat
diuraikan
oleh
mikroorganisme yang membantu melekatkan partikel-partikel tanah membentuk agregat, sehingga tanah menjadi berpori-pori, gembur, dapat menyimpan dan mengalirkan udara dan air. Kondisi ini dapat tercapai bila mulsa diberikan lebih
45 21
dari satu musim tanam, atau mulsa diberikan dengan cara dicampur dengan tanah. Kondisi tanah seperti itu diperlukan tanaman untuk mengembangkan akarnya dan menyerap air dan unsur hara yang terlarut di dalamnya (Foth, 1978).
4.3.2. Jumlah Daun Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap jumlah daun adalah seperti tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah daun pada berbagai dosis pemberian mulsa. Jumlah Daun
Perlakuan Tanpa Mulsa (M0) Dosis 1 ton/ha (M1) Dosis 2 ton/ha (M2) Dosis 3 ton/ha (M3)
3 MST 5.2 a 4.4 a 4.6 a 4.5 a
6 MST 7.2 a 6.8 a 6.2 a 6.7 a
9 MST 11.2 a 10.6 a 10.6 a 11.1 a
12 MST 11.9 a 11.8 a 11.5 a 12 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Jumlah daun digunakan sebagai parameter uji efektifitas pemberian mulsa pada dosis yang berbeda-beda. Seperti halnya pengaruh mulsa terhadap tinggi tanaman jagung, analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan sampai dengan 3 ton/ha tidak berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman jagung (Tabel 8). Bahan organik yang diberikan berupa mulsa yang disebar di atas permukaan tanah hanya mempengaruhi lapisan atas tanah saja sehingga belum dapat memberikan sumber energi dan lingkungan yang sesuai bagi organisme tanah yang dapat memberikan kontribusi terhadap perakaran dan pergerakan udara dan air dalam tanah. Pemberian bahan organik juga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam hubungannya sebagai penyedia hara. Selain itu, karena pemberian mulsa tidak berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik tanah yang ada (Tabel 2, 3, 4, dan 5), maka pemberian mulsa juga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sifat-sifat fisik tersebut sangat menentukan dan menunjang pertumbuhan tanaman seperti kemampuan penetrasi akar, pergerakan air dalam tanah, aerasi tanah, dan ketersediaan hara bagi tanaman.
Perlu lebih dari satu musim tanam agar terlihat pengaruh pemberian mulsa sisa
46 22
tanaman untuk dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pengolahan tanah pasca panen juga perlu dilakukan agar bahan organik berupa sisa tanaman dapat tercampur dengan lapisan olah tanah. Menurut Foth (1978) bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah mengandung berbagai macam senyawa meliputi lemak, karbohidrat, protein, dan lignin. Penambahan senyawa organik itu merangsang aktivitas organisme tanah dalam proses dekomposisi. Hasil dekomposisi bahan organik tersebut berupa unsur hara yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. 4.3.3. Produksi Produksi tanaman jagung yang diamati adalah bobot jagung dengan klobot, jagung tanpa klobot, dan pipilan. Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap produksi jagung adalah seperti tertera pada Tabel 9.
Tabel 9. Bobot jagung pada berbagai dosis pemberian mulsa. Perlakuan Tanpa Mulsa (M0) Dosis 1 ton/ha (M1) Dosis 2 ton/ha (M2) Dosis 3 ton/ha (M3)
Bobot Jagung Dengan Klobot Tanpa Klobot ----------(ton/ha)---------11.20 a 8.34 a 11.23 a 8.66 a 11.36 a 8.50 a 11.92 a 9.00 a
Pipilan 4.34 a 4.61 a 4.86 a 5.14 a
Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan mulsa sisa tanaman jagung yang diberikan sampai dengan 3 ton/ha tidak berpengaruh terhadap produksi jagung (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena mulsa yang diberikan belum melapuk secara sempurna sehingga belum dapat menyumbangkan bahan organik yang cukup untuk dapat meningkatkan produksi tanaman. Perlu lebih dari satu musim tanam dan dosis yang lebih dari perlakuan diatas untuk dapat meningkatkan produksi tanaman. Menurut Sinukaban (1990), jangka waktu satu musim tanam mulsa belum nyata meningkatkan produksi. Sedangkan pada hasil penelitian Suwardjo (1981), pada musim tanam pertama pemberian mulsa padi maupun jagung sebanyak 6 ton/ha belum nyata meningkatkan produksi polong
47 23
atau biji kacang tanah. Namun pada musim ketiga, perbedaan produksi sangat nyata pada produksi kacang hijau yaitu dari 0.38 ton/ha menjadi 1.11 ton/ha. Dari hasil data penelitian menunjukan (Tabel 9), untuk produksi jagung tertinggi baik dengan klobot, tanpa klobot, ataupun pipilan dicapai oleh perlakuan M3. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pemberian dosis mulsa sejalan dengan meningkatnya produksi jagung. Bila dibandingkan dengan potensi produksi jagung hibrida normal yang semua syarat tumbuhnya terpenuhi, jagung varietas Hawai yang digunakan mampu berproduksi sampai 15 ton/ha. Mulsa yang disebar dipermukaan tanah hanya mempengaruhi lapisan atas tanah saja sehingga belum dapat memperbaiki lapisan tanah bagian bawah. Agar mulsa dapat berpengaruh terhadap lapisan tanah di bawah permukaan, maka perlu pengolahan tanah pasca panen untuk mencampur mulsa dengan tanah agar dapat menciptakan kondisi tanah yang baik untuk perkembangan akar tanaman. Untuk mencapai kondisi mulsa melapuk secara sempurna memerlukan waktu yang cukup lama. Perlu dua atau tiga musim tanam lagi untuk dapat melihat keefektifan pengaruh penggunaan mulsa terhadap produksi tanaman. Menurut Suwardjo (1981) sisa tanaman yang diberikan lambat laun akan terdekomposisi (terjadi mineralisasi), yaitu perubahan bentuk organik menjadi anorganik, sehingga unsur hara yang dilepaskan akan menjadi tersedia untuk tanaman.