IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Rendemen Rendemen tepung dan pati dihitung berdasarkan bobot umbi segar yang telah dikupas (Lampiran 1). Ubi jalar Cilembu menghasilkan tepung dengan rendemen sebesar 15.94%, sedangkan ubi jalar ungu adalah sebesar 21.99%. Hal ini menunjukkan ubi jalar ungu lebih potensial untuk dikembangkan menjadi tepung dibandingkan ubi jalar Cilembu. Rendemen tepung ubi jalar dapat mencapai 20-30% tergantung pada varietas ubi jalar (Heriyanto, et al. 2001). Komponen utama dari tepung adalah karbohidrat, sehingga faktor utama yang mempengaruhi rendemennya adalah kadar karbohidratnya. Hasil penelitian (Tabel 10) menunjukkan bahwa kadar karbohidrat tepung ubi jalar Cilembu lebih tinggi dibandingkan ubi jalar ungu. Akan tetapi, tingginya karbohidrat pada tepung ubi jalar Cilembu tidak mengakibatkan rendemennya lebih tinggi. Sebaliknya, rendemen tepung ubi jalar Cilembu lebih rendah dibandingkan tepung ubi jalar ungu. Hal ini dapat disebabkan oleh kadar air tepung ubi jalar ungu yang lebih tinggi dan lebih banyaknya kandungan gula pada tepung ubi jalar Cilembu. Berkurangnya rendemen tepung ubi jalar juga dapat disebabkan oleh sawutan ubi yang tersisa pada alat dan hilangnya partikel-partikel tepung saat penggilingan.
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 9. (a) Tepung ubi jalar Cilembu (b) Tepung ubi jalar ungu (c) Pati ubi jalar Cilembu (d) Pati ubi jalar ungu Selanjutnya, rendemen pati ubi Cilembu (12.14%) lebih rendah dibandingkan rendemen pati ubi ungu (18.71%). Hal ini dikarenakan ubi jalar Cilembu merupakan ubi jalar yang mengalami masa penyimpanan setelah pemanenan, sehingga sebagian patinya telah berubah menjadi gula (sukrosa, glukosa, dan fruktosa). Menurut Onggo (2006), kadar sukrosa pada ubi Cilembu lebih tinggi dibanding glukosa dan sukrosa, yaitu sekitar 8-9% setelah penyimpanan 5
minggu. Berkurangnya kadar pati dapat disebabkan oleh matriks tempat pati berada tidak hancur secara keseluruhan saat proses pemarutan, sehingga masih ada pati yang tersisa di dalamnya (<20%) (Sriroth et al. 2000). Selain itu, hilangnya pati selama pencucian dan penggilingan kering juga dapat mengurangi rendemen pati. Dilihat dari hasil rendemennya, ubi jalar ungu lebih potensial dibandingkan ubi jalar Cilembu untuk dikembangkan menjadi pati.
B. Karakteristik Fisik 1. Densitas kamba Nilai densitas dari berbagai makanan berbentuk bubuk atau tepung-tepungan umumnya berkisar antara 0.3-0.8 g/ml (Wirakartakusumah et al. 1992) atau sekitar 0.449 g/ml (Lewis 1996). Uji t (Lampiran 21) menunjukkan bahwa densitas kamba ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu, baik tepung (0.4522 g/ml berbanding 0.5026 g/ml) maupun patinya (0.5957 g/ml berbanding 0.6132 g/ml) tidak berbeda nyata (P>0.05). Menurut Limonu (2008), densitas kamba memberikan informasi tentang porositas suatu bahan yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel bahan. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu memiliki porositas yang sama, demikian pula dengan patinya. Menurut Ainah (2004), densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air dimana ukuran bahan akan mempengaruhi porositas dan kadar air akan meningkatkan densitas. Ukuran bahan keempat bahan ini sama, yaitu lolos pengayakan 100 mesh, sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya terhadap densitas kamba. Kemudian kadar air tepung dan pati kedua ubi jalar ini (Tabel 10 dan 11) menunjukkan perbedaan nyata. Akan tetapi, perbedaan kadar air pada keempat bahan ini tidak menghasilkan perbedaan densitas kamba karena geometri, sifatsifat permukaan partikel, serta sistem secara keseluruhan juga dapat mempengaruhi nilai densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992). Dari nilai densitas kamba dapat disimpulkan bahwa tepung dan pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu membutuhkan ruang yang sama selama penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan serta biaya produksi yang hampir setara karena jumlah bahan yang akan dikonsumsi hampir sama. 2. Derajat putih Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya dari suatu bahan dibandingkan dengan standar MgO. Uji t (Lampiran 25) menunjukkan bahwa pati ubi jalar Cilembu memiliki nilai derajat putih lebih tinggi (87.13%) dibandingkan pati ubi jalar ungu (78.37%) (P<0.05). Pigmen antosianin yang dominan pada ubi jalar ungu menyebabkannya masih terbawa pada pati yang telah diekstrak. Selain itu, menurut Schoch (1945) di dalam Ropiq (1988), adanya protein dan lemak dapat menyebabkan granula pati berwarna lebih gelap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Tabel 11) dimana kadar protein pati ubi ungu lebih tinggi dari pati ubi Cilembu. Akan tetapi, kadar lemak kedua pati ini tidak berbeda nyata sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya terhadap derajat putih. Dibandingkan data derajat putih tepung terigu yang dilaporkan oleh Antarlina (2003) yaitu sebesar 82.17%, dapat dilihat bahwa pati ubi Cilembu memiliki warna yang lebih putih, sedangkan pati ubi jalar ungu memiliki warna yang lebih gelap. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pati ubi jalar ungu sebagai substitusi tepung terigu akan mempengaruhi penampakan akhir produk. Damayanthi et al. (2001) melaporkan bahwa penggunaan tepung bekatul dengan nilai derajat putih yang rendah (43.5%) pada pembuatan produk makanan
28
jajanan pasar akan mempengaruhi penampakan akhir produk dan menurunkan penerimaan konsumen. 3. Warna Menurut uji t (Lampiran 7), nilai L, a, dan b tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu berbeda signifikan (P<0.05). Tepung ubi Jalar Cilembu lebih cerah (L = 59.20) dibandingkan dengan tepung ubi jalar ungu (L = 45.84). Unsur warna merah (a) lebih dominan pada tepung ubi jalar ungu (+7.46 berbanding +1.02). Selanjutnya, tepung ubi jalar Cilembu mengandung unsur warna kuning lebih tinggi dibandingkan ubi jalar ungu (+13.67 berbanding +4.10). Warna kuning dan merah dari kedua tepung ini disebabkan oleh adanya pigmen karotenoid dan antosianin (Winarno 1995). Menurut Ningrum (1999), jumlah karotenoid dan antosianin menurun drastis pada suhu 180-220oC. Oleh karena itu, suhu proses pengolahan harus diperhatikan untuk mempertahankan warna kedua tepung ubi jalar ini pada produk akhir. Suhu pengeringan pada pembuatan kedua tepung ubi jalar ini sekitar 60oC sehingga warna dari pigmen karotenoid dan antosianinnya masih bertahan. 4. Bentuk dan ukuran granula pati Di bawah mikroskop granula pati akan merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola ‘maltose cross’ (pola silang) yang terkenal dengan sifat birefringence (Taggart 2004). Pola ini juga menghasilkan warna biru-kuning yang menunjukkan indeks refraksi dari granula pati. Menurut French (1984), indeks refraksi granula pati dipengaruhi oleh struktur heliks amilosa yang dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Macam-macam bentuk granula pati pada umumnya adalah bulat, lonjong (bulat telur), ataupun bersegi banyak (Kerr 1950, Yoslyn 1970). Bentuk granula pati kedua ubi jalar ini sama, yaitu bulat dan bersegi banyak (poligonal).
(a) (b) Gambar 10. Bentuk granula pati (a) Ubi jalar Cilembu (b) Ubi jalar ungu Pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu juga memiliki ukuran granula pati yang sama, yaitu sekitar 10-80μm. Ukuran granula pati mempunyai peranan yang sangat penting dalam penerapannya di industri pangan. Sebagai contoh, granula pati yang mempunyai ukuran diameter 2.0μm dapat digunakan untuk subtitusi lemak karena mempunyai ukuran yang sama dengan micell dari lipid (Kearsley and Dziedzic 1995). Ukuran granula pati berkaitan dengan suhu gelatinisasi. Menurut Inatsu et al. (1983) dan Kearsley and Dziedzic (1995), pati dengan ukuran granula kecil mempunyai suhu awal gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pati ukuran granula besar.
29
C. Karakteristik Kimia 1. Proksimat a. Kadar air Uji t (Lampiran 11) menunjukkan bahwa kadar air tepung ubi jalar Cilembu (5.76%bb) lebih rendah dibandingkan kadar air tepung ubi jalar ungu (11.76%bb) (P<0.05). Kadar air pati dari ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu juga menunjukkan perbedaan signifikan (P<0.05). Pati ubi jalar Cilembu lebih tinggi (8.52%bb) dibandingkan pati ubi jalar ungu (7.18%bb). Perbedaan kadar air ini dipengaruhi oleh derajat keterikatan air yang bervariasi bergantung pada sumber bahan (Fennema 1976). Kadar air dan aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan yang pada akhirnya berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan produk pangan selama penyimpanan (deMan 2007). Oleh karena itu, tepung ubi ungu dan pati ubi Cilembu dapat diprediksi akan memiliki umur simpan yang lebih singkat. Kadar air tepung ubi Cilembu dan ungu relatif lebih rendah dibandingkan persyaratan kadar air tepung terigu komersil. Menurut SII 0074-86 yang dikutip dalam Anonim (1986), persyaratan kadar air maksimum untuk tepung terigu adalah sebesar 14%. Hal ini menunjukkan kadar air tepung ubi Cilembu dan ubi ungu telah sesuai dengan standar persyaratan kadar air tepung SII. Demikian pula dengan pati kedua ubi jalar ini yang tidak lebih tinggi dari kadar air tapioka (15%bb) sesuai SNI. b. Kadar abu Uji t (Lampiran 12) menunjukkan bahwa kadar abu tepung ubi jalar Cilembu (2.44%bk) lebih tinggi dibandingkan kadar abu tepung ubi jalar ungu (1.92%bk) (P<0.05), artinya total mineral pada tepung ubi jalar Cilembu lebih tinggi dari tepung ubi jalar ungu. Nilai kadar abu kedua tepung ubi jalar ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu tepung terigu untuk bahan makanan yang disyaratkan oleh SNI 01-3751-1995 yaitu maksimal 0.6% (bb). Kandungan mineral dalam ubi jalar pada umumnya cukup tinggi, yaitu sekitar 0.95%. Mineral-mineral yang terdapat dalam tepung ubi jalar per 100 g bahan adalah kalsium (152 mg), fosfor (150 mg), dan zat besi (2.4 mg) (Woolfe 1999). Kadar abu pati ubi Cilembu dan ubi ungu tidak berbeda nyata (0.28%bk berbanding 0.38%bk) (P>0.05). Kadar abu yang dianalisis menunjukkan bahwa jumlah mineral dan garam organik yang terkandung dalam pati Cilembu dan ungu tidak jauh berbeda. Mineral yang terkandung dalam pati adalah komponen fosfor dalam jumlah kecil dalam bentuk fosfat esterifikasi dan phospholipid (Hizukuri et al. 2006). Kadar abu kedua pati ubi jalar ini lebih rendah dibandingkan kadar abu tapioka sesuai SNI (0.6%bb). Perbedaan kadar abu dapat disebabkan oleh faktor genetis dan faktor lingkungan seperti kondisi tanah dan penambahan pupuk. Selain itu, adanya mineral-mineral kontaminan air atau yang berasal dari tanah dapat menimbulkan perbedaan kadar abu. Kadar abu pada pati juga dapat berkurang karena adanya mineral larut air yang ikut terbuang selama pemisahan endapan pati. Tingginya kadar abu pada bahan menunjukkan tingginya kandungan mineral, tetapi dapat juga disebabkan adanya reaksi enzimatis (browning enzymatic) (Suarni et al. 2005). Menurut Ginting dan Suprapto (2005), kadar abu yang tinggi pada bahan tepung kurang disukai karena cenderung memberikan warna
30
gelap pada produk. Semakin rendah kadar abu pada produk tepung maka semakin baik karena selain mempengaruhi penampakan akhir produk juga dapat mempengaruhi kestabilan adonan. c. Kadar lemak Uji t (Lampiran 13) menunjukkan bahwa kadar lemak tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu tidak berbeda nyata (0.95%bk berbanding 1.18%bk) (P>0.05). Kadar lemak kedua tepung ubi jalar ini lebih tinggi dibandingkan kadar lemak tepung ubi jalar di Indonesia yang rata-rata mencapai 0.75% (Ambarsari dan Choliq 2009). Lebih tingginya kadar lemak tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu kurang menguntungkan dalam proses penyimpanan karena lebih mudah tengik. Selanjutnya, kadar lemak pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu juga tidak berbeda nyata (0.48%bk berbanding 0.27%bk) (P>0.05). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa pati kedua ubi jalar ini sudah memenuhi syarat untuk disuplai ke industri pangan (biasanya mengandung kurang dari 1% lemak) (Luallen 2004). Apabila kadar lemak pati belum memenuhi syarat yang ditetapkan, pelarut hidrofobik dapat digunakan untuk menghilangkan lemak yang berlebihan (Hodge, Osman 1976). Akan tetapi, hal ini akan mengubah profil gelatinisasinya karena lemak dapat berikatan kompleks dengan amilosa membentuk heliks pada saat gelatinisasi pati, sehingga mempengaruhi viskositasnya (Ilminingtyas dan Kartikawati 2009). d. Kadar protein Hasil uji t (Lampiran 14) menunjukkan bahwa kadar protein tepung dan pati ubi jalar Cilembu menghasilkan perbedaan signifikan terhadap tepung dan pati ubi jalar ungu (P<0.05). Kadar protein tepung ubi jalar Cilembu (4.77%bk) lebih tinggi dibandingkan tepung ubi jalar ungu (3.26%bk). Kadar protein pati ubi jalar Cilembu (1.63%bk) lebih tinggi dibandingkan kadar protein pati ubi jalar ungu (0.71%bk). Berkurangnya kadar protein diduga disebabkan oleh pengupasan yang berlebihan. Hal ini dikarenakan kandungan protein tertinggi pada ubi jalar terdapat pada bagian terluar umbi yang berdekatan dengan kulit luar (Woolfe 1999). Secara umum, tepung mengandung protein lebih tinggi dibanding pati karena proses ekstraksi dan pencucian akan menghilangkan kadar protein. Kadar protein pada tepung diharapkan tinggi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan tepung, apabila tepung berkadar protein tinggi maka dalam aplikasinya tidak memerlukan bahan substitusi lagi. Kadar protein tepung ubi jalar ungu telah memenuhi kisaran kadar protein rata-rata tepung ubi jalar yang dihasilkan di Indonesia (2.11%-4.46%) (Ambarsari dan Choliq 2009). Kadar protein yang rendah pada tepung ubi jalar Cilembu cocok untuk dijadikan bahan baku pada pembuatan produk yang tidak membutuhkan pengembangan besar. Protein dapat membentuk kompleks dengan amilosa dan menyelimuti granula sehingga akan mengalami penghambatan pada proses pengembangannya (Kilara 2006). Data menunjukkan bahwa pati Cilembu lebih sulit mengalami gelatinisasi (waktu awal gelatinisasi lebih lama) dibandingkan pati ubi ungu (5.2 menit berbanding 5.0 menit) karena mengandung lebih banyak protein yang dapat menghambat pengembangan granula. Interaksi antara protein dan pati ini merupakan interkasi muatan (Pomeranz 1985, Kilara 2006) dan juga kompleks yang dibentuk selama gelatinisasi pati. Reaksi kompleks pati dan
31
protein akan meningkat selama pemanasan. Perubahan panas menyebabkan protein terdenaturasi dan granula pati mengembang, larut, dan membentuk jaringan gel sehingga protein dan pati mengalami kontak, membentuk matriks protein-pati yang stabil melalui ikatan hidrogen, ikatan kovalen, ataupun ikatan ionik (Kilara 2006). Kemudian jika dilihat dari waktu granula pecah (6.84 menit berbanding 6.1 menit), tingginya kadar protein menyebabkan pati ubi Cilembu memiliki resistensi pengadukan yang tinggi dibandingkan pati ubi ungu, karena granula pati ubi Cilembu tidak mudah pecah akibat pengadukan. Perbedaan kadar protein pada tepung ubi Cilembu dan ungu tidak mengakibatkan perbedaan waktu awal gelatinisasi keduanya (Tabel 12). Lebih tingginya kadar protein pada tepung ubi Cilembu tidak meningkatkan waktu awal gelatinisasinya jika dibandingkan dengan tepung ubi ungu. Protein merupakan senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya. Kandungan gula yang tinggi pada ubi jalar Cilembu diduga dapat berikatan dengan sebagian protein sehingga menurunkan efek penghambatan protein terhadap gelatinisasi. Hal ini juga berakibat pada granula patinya yang lebih mudah pecah dibandingkan granula pati ubi ungu (5.64 menit berbanding 6.13 menit). Dengan demikian, tepung ubi jalar ungu lebih resisten terhadap pengadukan. Kadar protein pada tepung diharapkan tinggi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan tepung, apabila tepung berkadar protein tinggi maka dalam aplikasinya tidak memerlukan bahan substitusi lagi. Kadar protein tepung ubi jalar ungu telah memenuhi kisaran kadar protein rata-rata tepung ubi jalar yang dihasilkan di Indonesia (2.11%-4.46%) (Ambarsari dan Choliq 2009). Leach (1965) menyatakan bahwa protein dan pati akan membentuk kompleks dengan permukaan granula dan menyebabkan viskositas pati menjadi turun, dan berakibat pada rendahnya kekuatan gel. Hal ini kurang diharapkan karena pada aplikasinya, pati banyak digunakan sebagai thickening agents. Data menunjukkan bahwa pati ubi jalar ungu mengandung protein lebih rendah sehingga diduga lebih baik digunakan sebagai thickening agent. e. Kadar karbohidrat Hasil uji t (Lampiran 15) menunjukkan bahwa kadar karbohidrat tepung ubi jalar Cilembu (91.83%bk) lebih rendah dibandingkan dengan kadar karbohidrat tepung ubi jalar ungu (93.64%bk) (P<0.05). Selanjutnya, pati ubi jalar Cilembu mengandung kadar karbohidrat (97.60%bk) lebih rendah dibandingkan dengan kadar karbohidrat dari pati ubi jalar ungu (98.63%bk) (P<0.05). Menurut Winarno (2002), kadar karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik suatu bahan makanan, baik rasa, warna, tekstur, dan lain sebagainya. Kadar karbohidrat tepung dan pati dari ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu menunjukkan potensi untuk dijadikan bahan pangan yang berkontribusi sebagai sumber karbohidrat yang menyumbang 4 kalori per gram melalui pemanfaatannya pada berbagai pangan olahan.
32
Tabel 10. Komposisi kimia tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki Komposisi kimia (%bk)
Tepung Ubi Cilembu
Tepung Ubi Ungu
Kadar air
6.11
13.32
Kadar abu
2.44
1.92
Kadar lemak
0.95
1.18
Kadar protein
4.77
3.26
Kadar karbohidrat
91.83
93.64
kadar pati
75.28
83.08
kadar amilosa
11.60
13.16
kadar amilopektin
63.68
69.92
Tabel 11. Komposisi kimia pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki Komposisi kimia (%bk)
Pati Ubi Cilembu
Pati Ubi Ungu
Kadar air
9.32
7.73
Kadar abu
0.28
0.39
Kadar lemak
0.48
0.27
Kadar protein
1.63
0.71
Kadar karbohidrat
97.60
98.63
kadar pati
88.96
93.29
kadar amilosa
24.55
26.02
kadar amilopektin
62.00
65.25
2. pH Menurut uji t (Lampiran 5), pH dari tepung ubi jalar Cilembu dan ungu tidak berbeda signifikan (6.26 berbanding 6.3) (P>0.05). Demikian pula dengan patinya, ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu tidak menunjukkan perbedaan signifikan (4.83 berbanding 4.37) (P>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pati Cilembu dan pati ungu dapat membentuk gel dengan baik. Pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno 1992). Tepung yang digunakan untuk pembuatan bakery harus dapat menghasilkan adonan roti yang memiliki pH pada kisaran yang tepat agar enzim dapat bekerja secara optimum saat proses fermentasi. Sebagai contoh pada pembuatan roti, agar mikroba Saccharomyces cerevisiae dapat beraktivitas secara optimal, maka pH harus diatur berkisar 2.0-4.5. Oleh karena itu, tepung ubi jalar Cilembu dan ungu tidak dapat menghasilkan pengembangan maksimum jika diaplikasikan pada roti. Keasaman pada pati dan tepung disebabkan oleh hasil metabolisme tanaman (ubi jalar), yaitu siklus TCA atau glikosida yang terakumulasi pada vakuola tanaman. Selain itu, keasaman pada pati juga dihasilkan dari proses pengendapan yang berjam-jam dimana mikroba akan melakukan proses fermentasi yang menghasilkan asam-asam organik dan mempengaruhi pH (Fennema 1996).
33
3.
Kadar Pati Hasil penelitian (Lampiran 16) menunjukkan bahwa kadar pati dari tepung ubi jalar Cilembu dan ungu berbeda nyata (P<0.05). Kadar pati tepung ubi jalar Cilembu (75.28%bk) lebih rendah dibandingkan tepung ubi jalar ungu (83.08%bk). Kadar pati kedua tepung ubi jalar ini lebih tinggi dibandingkan tepung ubi jalar berdaging putih yang diteliti oleh Hamed et a. (1973), yaitu sekitar 66.7-70.7% (bk). Selanjutnya, kadar pati dari pati ubi jalar Cilembu (88.96%bk) dan pati ubi jalar ungu sebesar (93.29%bk) tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil ini sesuai dengan Moorthy (2004) yang menyatakan bahwa kadar pati dari pati ubi jalar adalah sekitar 88.1-99.8% (bk). Menurut Luallen (2004), pati hampir merupakan karbohidrat murni, sehingga nilainya harus sebanding atau mendekati nilai kadar karbohidrat. Hasil penelitian (tabel 10 dan 11) menunjukkan bahwa kadar pati dari tepung dan pati dari ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu mendekati nilai kadar karbohidratnya. Karbohidrat berbentuk polimer seperti pati, memiliki ukuran molekul yang sangat besar dan kompleks serta memiliki satuan monomer berbagai jenis, sehingga menyebabkan karbohidrat (pati) sulit ditentukan dalam jumlah yang sebenarnya. Proses ekstraksi yang kurang sempurna akan menyebabkan penyimpangan pada nilai kadar pati. Rendahnya kadar pati juga dapat disebabkan oleh adanya pengotor (Gunaratne, Hoover 2002). Selain itu, hidrolisis asam yang kurang sempurna juga menyebabkan berkurangnya kadar pati. Hidrolisis asam yang belum optimal mengakibatkan pemotongan rantai glikosida tidak teratur dan menghasilkan campuran dekstrin, maltosa, dan glukosa. Karena belum semua pati berubah menjadi glukosa, maka kadar pati yang dihasilkan akan lebih rendah (Tjokroadikoesoemo 1986). Kadar pati mempengaruhi karakteristik produk karena akan menentukan rasio amilosa dan amilopektin.
4.
Kadar Amilosa dan Amilopektin Amilosa dan amilopektin berperan dalam proses gelatinisasi, retrogradasi, dan menentukan sifat pasta pati (Jane et al 1999). Menurut Mboungeng et al. (2008) rasio antara amilosa dan amilopektin sangat mempengaruhi karakteristik fungsional tepung dan pati. Oleh karena itu, jumlah kandungan amilosa dan amilopektin dalam pati perlu diketahui untuk menentukan aplikasi dan kualitas tepung yang dihasilkan. Hasil uji t (Lampiran 17) menunjukkan bahwa kadar amilosa pati (24.55%bk berbanding 26.02%bk) dan tepung (11.60%bk berbanding 13.16%bk) dari ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu tidak berbeda nyata (P>0.05). Selanjutnya, kadar amilopektin (Lampiran 18) kedua ubi jalar ini juga tidak berbeda nyata (P>0.05), baik pati (62.13 %bk berbanding 65.25%bk) maupun tepungnya (63.68%bk berbanding 69.92%bk). Kadar amilosa dan amilopektin dipengaruhi oleh kompleksitas dari biosintesis pati itu sendiri (Copeland et al. 2009). Biosintesis setiap jenis pati berbeda-beda bergantung pada faktor-faktor tertentu seperti faktor genetik berbagai enzim dan kondisi lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio amilopektin pada pati dan tepung kedua ubi jalar ini relatif lebih tinggi. Tepung dan pati dengan kadar amilopektin tinggi ini sangat sesuai untuk bahan roti dan kue karena sifat amilopektin yang sangat berpengaruh terhadap swelling properties (sifat mengembang pada pati). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio
34
amilopektin pada pati dan tepung kedua ubi jalar ini relatif lebih tinggi. Tepung dan pati dengan kadar amilopektin tinggi ini sangat sesuai untuk bahan roti dan kue karena sifat amilopektin yang sangat berpengaruh terhadap swelling properties (sifat mengembang pada pati).
D. Karakteristik Fungsional 1. Sifat Gelatinisasi a. Suhu gelatinisasi Menurut Leach (1965) di dalam Goldsworth (1999) yang dimaksud dengan suhu gelatinisasi atau suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemanasan terhadap suspensi pati dan tepung sampai pada suhu di bawah 73oC tidak menyebabkan perubahan viskositas. Pada suhu sekitar 74-75oC mulai terjadi peningkatan viskositas. Dari hasil uji t (Lampiran 27) dapat dilihat bahwa suhu gelatinisasi pati ubi jalar Cilembu lebih tinggi dibandingkan pati ubi jalar ungu (75.32oC berbanding 74.52oC) (P<0.05). Suhu gelatinisasi tepung ubi jalar Cilembu (74.9oC) dan tepung ubi jalar ungu (75.28oC) tidak berbeda nyata (P>0.05). Andarwulan et al. (1997) melaporkan semakin tinggi kandungan amilosa talas yang disuplementasi dengan tepung beras maka kebutuhan panas untuk proses gelatinisasi akan lebih rendah. Lebih rendahnya kebutuhan panas tersebut terutama bekaitan dengan daya absorbsi air komponen amilosa yang relatif lebih tinggi. Kadar amilosa tepung ubi Cilembu dan tepung ubi ungu tidak berbeda nyata, sehingga tidak mengakibatkan perbedaan kebutuhan panas untuk proses gelatinisasinya. Kebutuhan panas yang sama untuk gelatinisasi pada tepung ubi jalar Cilembu dan ungu dapat dilihat dari suhu gelatinisasinya yang tidak berbeda nyata. Lebih tingginya kisaran suhu gelatinisasi, yaitu pada pati Cilembu (75.32-85.5oC) dan tepung ubi jalar ungu (75.28-82oC), menunjukkan bahwa kedua bahan ini memiliki ketahanan panas yang lebih tinggi selama proses pengolahan. Kisaran suhu gelatinisasi dapat digunakan untuk memprediksi suhu pemasakan yang sesuai untuk digunakan. Jika suhu yang digunakan di bawah suhu awal gelatinisasi, maka dapat menghemat suhu pemasakan. Namun, adonan yang dihasilkan kurang elastis dan teksturnya kurang kompak atrau mudah patah karena belum terjadi gelatinisasi. Jika suhu yang digunakan di atas suhu awal gelatinisasi atau di atas suhu puncak gelatinisasi, granula pati akan melebur dan terbentuk matriks yang seragam sehingga mempengaruhi tekstur produk. Amilopektin dengan struktur kristalinnya dapat meningkatkan swelling power karena lebih lebih reaktif mengikat air sehingga lebih mudah mengembang (Li dan Yeh 2001). Swelling power yang tinggi dapat menurunkan suhu gelatinisasi (Gonzalez dan Perez 1996). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa swelling power pati ubi ungu lebih tinggi dibandingkan pati ubi Cilembu (Gambar 13), sehingga suhu gelatinisasinya lebih rendah. Kadar protein pati ubi Cilembu lebih tinggi dari pati ubi jalar ungu (1.63%bk berbanding 0.71%bk). Selaras dengan pernyataan Glicksman (1969) bahwa protein merupakan penghambat gelatinisasi, pati ubi Cilembu memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi.
35
Pati Cilembu Pati Ungu Gambar 11. Profil gelatinisasi pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki
Tepung Cilembu Tepung Ungu Gambar 12. Profil gelatinisasi tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki
36
Tabel 12. Profil gelatinisasi tepung dan pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki Ubi Jalar Cilembu
Parameter yang diamati
Tepung
waktu awal gelatinisasi (menit) o
suhu gelatinisasi ( C) viskositas maksimum (cP) waktu granula pecah (menit)
Pati
Tepung
Pati
4.5
5.2±0
4.5
5.0±0
74.9±0 377±4 5.64±0.04
75.32±0.02 6218±74 6.84±0.04
75.28±0.02 2029±30 6.13±0
74.52±0.02 6103±26 6.1±0.03
78±0
85.5±0.5
82±0
81±0
45±1
3241±51
536.5±23.5
2519.5±20.5
53±1 332±5 8±0
4816±33 2977±23 1575±18
777±34 1492.5±6.5 240.5±10.5
3811±0 3583.5±5.5 1291.5±20.5
suhu puncak gelatinisasi (oC) viskositas pada suhu 95oC setelah holding (cP) viskositas pada suhu 50oC setelah holding (cP) viskositas breakdown (cP) viskositas setback (cP)
Ubi Jalar Ungu
b. Viskositas maksimum Viskositas maksimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Suhu dimana viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi (suhu puncak gelatinisasi). Berdasarkan uji t (Lampiran 28), viskositas maksimum tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu berbeda signifikan (P<0.05). Sedangkan, viskositas maksimum pati ubi jalar Cilembu (6218 cP) dan pati ubi jalar ungu (6103 cP) tidak berbeda signifikan (P>0.05). Tepung ubi ungu memiliki nilai viskositas maksimum yang jauh lebih tinggi dibandingkan tepung ubi jalar Cilembu (2029 cP berbanding 377 cP). Viskositas puncak tepung ubi jalar Cilembu tersebut tercapai pada suhu yang lebih rendah dibandingkan tepung ubi jalar ungu (78oC berbanding 82oC). Hal ini menunjukkan bahwa dibandingkan tepung ubi Cilembu, tepung ubi ungu dapat mencapai puncak viskositas yang lebih tinggi pada suhu yang lebih tinggi. Lebih tingginya nilai viskositas maksimum dan suhu puncak gelatinisasi tepung ubi ungu menunjukkan bahwa bahan ini memerlukan energi yang lebih besar untuk pengembangan granula patinya. Menurut Aboubacar et al. (1999), perbedaan kebutuhan energi ini disebabkan oleh perbedaan derajat asosiasi pada bagian amorf yang berkaitan dengan kadar amilosanya. Komponen lemak dapat membatasi pengembangan granula pati (Schoch 1969). Akan tetapi, kadar amilosa dan kadar lemak tepung kedua ubi jalar ini tidak berbeda nyata, sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya. Untuk mencapai viskositas maksimum yang relatif sama, pati ubi Cilembu membutuhkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan pati ubi ungu (85.5oC berbanding 81oC). Artinya, granula pati ubi Cilembu lebih resisten terhadap pemanasan karena tidak mudah pecah. Lebih kuatnya struktur granula pada pati ubi Cilembu diduga disebabkan oleh kadar proteinnya yang lebih tinggi dibandingkan pati ubi ungu. Protein dapat menyelubungi granula sehingga menghambat pengembangannya. Viskositas juga berkaitan dengan gelatinisasi dan tingkat hidrasi. Viskositas yang tinggi menunjukkan sifat alir sistem yang rendah karena air bebas dalam sistem kurang (de Man 1980). Berkurangnya air bebas dalam sistem karena terperangkap dalam granula yang
37
membesar akibat proses gelatinisasi. Dengan kata lain, tingginya viskositas tepung dalam air yang dipanaskan menunjukkan tingginya kebutuhan air untuk mencapai tingkat gelatinisasi yang dapat dicapai. Tepung ubi Cilembu memiliki tingkat hidrasi yang lebih rendah dibandingkan tepung ubi ungu. Pati ubi Cilembu dan ungu memiliki tingkat hidrasi yang sama. Biaya produksi pembuatan produk pangan dengan bahan baku tepung ubi ungu dapat ditekan karena dapat digunakan dalam jumlah yang sedikit. Viskositas maksimum yang tinggi pada tepung ubi jalar ungu juga berkaitan dengan mutu produk karena menunjukkan water binding capacity yang tinggi dan resistensi granula pati untuk pecah tinggi (membebaskan amilosa dan amilopektin). Selain itu, viskositas maksimum yang tinggi mengartikan semakin tingginya resistensi pasta terhadap pengadukan. c. Viskositas breakdown Viskositas breakdown merupakan nilai penurunan viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95oC selama 5 menit. Berdasarkan uji t (Lampiran 29) viskositas breakdown tepung ubi jalar ungu dan tepung ubi jalar Cilembu berbeda signifikan (P<0.05). Viskositas breakdown tepung ubi jalar ungu (1492 cP) lebih tinggi dibandingkan tepung ubi jalar Cilembu (332 cP). Demikian pula dengan pati ubi jalar ungu dan pati ubi jalar Cilembu yang menghasilkan perbedaan signifikan (P<0.05). Viskositas breakdown pati ubi jalar ungu (3583.5 cP) lebih tinggi dibandingkan pati ubi jalar Cilembu (2977 cP). Lebih tingginya viskositas breakdown tepung dan pati ubi jalar ungu menunjukkan kedua bahan ini kurang stabil selama kondisi pemanasan. Sebaliknya, tepung dan pati ubi jalar Cilembu lebih stabil tehadap panas. Penurunan nilai viskositas pada suhu 95oC setelah holding secara relatif terhadap nilai viskositas maksimum, menggambarkan peningkatan fragmentasi atau disintegrasi dari granula yang tergelatinisasi. Makin tinggi penurunan viskositas maka makin progresif tingkat fragmentasi dan pelarutan granula yang terjadi (Greenwood dan Munro 1979, Damardjati 1983). Peningkatan kandungan amilosa menyebabkan makin banyak molekul amilosa yang larut dan pemutusan ikatan glikosida semakin meningkat. Hal ini menyebabkan tingginya viskositas breakdown karena viskositas pada suhu 95oC setelah holding menurun lebih tajam. Akan tetapi, kadar amilosa tepung dan pati kedua ubi jalar ini tidak berbeda nyata sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya. Faktor lain yang mempengaruhi viskositas adalah pH. Breakdown akan terjadi dalam waktu yang lebih cepat karena adanya asam yang memicu terputusnya ikatan glikosida (Charles et al. 2005). Dilihat dari nilai pHnya, pati ubi Cilembu dan ungu (4.83 dan 4.37) lebih asam dibandingkan dengan tepungnya (6.26 dan 6.3). Keasaman pati yang lebih tinggi membuatnya menghasilkan breakdown yang lebih tinggi. Swelling power yang tinggi akan menyebabkan nilai viskositas maksimum semakin tinggi, sehingga meningkatkan nilai viskositas breakdownnya (Maziya-Dixon et al. 2007). Lebih tingginya viskositas breakdown pati ubi ungu diduga karena pati ubi jalar ungu memiliki nilai swelling power yang lebih tinggi (Gambar 13) dan kadar protein yang lebih rendah dibanding pati ubi Cilembu (1.63%bk berbanding 0.71%bk). Menurut Schoch (1969), penambahan komponen lemak akan membatasi pengembangan dan granula pati akan lebih stabil terhadap breakdown. Akan tetapi, kadar lemak tepung dan pati kedua ubi jalar ini tidak berbeda nyata sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya.
38
d. Viskositas setback Setback merupakan re-asosiasi molekul pati ketika mengalami pendinginan (Charles et al. 2004). Viskositas setback merupakan selisih antara viskositas pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95oC) dengan viskositas pada akhir pendinginan (50oC). Nilai setback ini menunjukkan kecenderungan pati dalam beretrogradasi. Retrogradasi adalah salah satu faktor penurunan mutu produk yang terbuat dari tepung. Berdasarkan uji t (Lampiran 30), viskositas setback tepung dan pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu berbeda signifikan (P<0.05). Viskositas setback pati ubi jalar Cilembu (1575 cP) lebih tinggi dibandingkan pati ubi jalar ungu (1291 cP). Tepung ubi jalar Cilembu (8cP) menghasilkan viskositas setback lebih rendah dibandingkan tepung ubi jalar ungu (240.5 cP). Berdasarkan hasil penelitian, pati ubi Cilembu dan tepung ubi ungu memiliki kecenderungan mengalami retrogradasi yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa molekul-molekul amilosa dalam pati ubi Cilembu dan tepung ubi ungu memiliki kecenderungan yang besar untuk kembali berikatan satu sama lain saat proses pendinginan. Penyebabnya adalah energi kinetik tidak cukup tinggi untuk menahan molekul pati saling berikatan. Saat pemanasan, terjadi pemecahan granula dan jumlah amilosa yang keluar dari granula semakin banyak, sehingga kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi meningkat. Sebaliknya, kemampuan beretrogradasi pati ubi ungu dan tepung ubi Cilembu lebih kecil. Artinya, kemampuan amilosa untuk bersatu kembali rendah, karena energi untuk melepas ikatan hidrogennya rendah. Semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas setback akan semakin tinggi (Charles et al. 2005). Ukuran dan rantai cabang amilopektin akan mengganggu re-asosiasi molekul yang dibutuhkan untuk terjadinya retrogradasi, sehingga semakin tinggi kandungan amilopektin maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk beretrogradasi dibandingkan amilosa. Kadar amilosa dan amilopektin tepung dan pati ubi Cilembu dan ungu tidak berbeda nyata sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya.
2. Daya Kembang (Swelling Power) dan Kelarutan (Solubility Index) Hasil penelitian (Gambar 13) menunjukkan bahwa swelling power pati ubi jalar Cilembu lebih rendah dibandingkan swelling power pati ubi jalar ungu. Amilopektin sangat berperan dalam swelling power karena lebih reaktif mengikat air. Swelling power juga dipengaruhi oleh kadar protein (Woolfe 1992). Kadar protein yang tinggi menyebabkan granula pati menempel dalam matriks protein yang menghambat masuknya air ke dalam pati sehingga menurunkan swelling power. Oleh karena itu, amilopektin yang tinggi dan kadar protein yang rendah akan meningkatkan swelling power. Sebaliknya, amilosa dapat menghambat swelling power karena strukturnya yang linear dapat membentuk jaringan internal yang menghambat penyerapan air saat pemanasan (Leach 1965 di dalam Goldworth 1999). Dari hasil penelitian telah terbukti bahwa kadar protein pati Cilembu yang lebih tinggi menyebabkan swelling powernya lebih rendah. Akan tetapi, kadar amilopektin dan amilosa kedua ubi jalar ini tidak berbeda nyata sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya terhadap swelling power. Selanjutnya, swelling power ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jacguier et al. (2006) bahwa granula pati mulai mengembang dengan cepat saat mencapai suhu gelatinisasi, dimana suhu gelatinisasi pati kedua ubi jalar ini sekitar 73-74oC.
39
Kelarutan pati ubi jalar ungu lebih tinggi dibandingkan pati ubi jalar Cilembu (Gambar 14). Kelarutan pati akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Ketika terjadi pemanasan, maka air akan masuk ke daerah amorf dan molekul-molekul penyusunnya, terutama amilosa, akan larut ke media yang ada di luarnya. Pemanasan ini akan meningkatkan energi kinetik air sehingga dapat masuk ke dalam granula pati dan melarutkan komponen-komponen yang ada di dalamnya. Kelarutan pati ubi jalar ungu yang tinggi menunjukkan kekuatan asosiasi yang lemah dan water binding capacity yang tinggi. Oleh karena itu, pati jenis ini lebih mudah dihidrolisis untuk diproduksi menjadi gula atau sirup. Pati ubi jalar ungu tidak baik diaplikasikan pada pembuatan mie karena kelarutan yang tinggi akan meningkatkan cooking loss dan menghasilkan media pemasakan yang keruh.
Swelling power (g/g)
25 20 Pati Cilembu
15 10
Pati ungu
5 0 0
20
40
60
80
100
Suhu (oC) Gambar 13. Swelling power pati ubi jalar Cilembu dan pati ubi jalar ungu Ayamurasaki
30
Kelarutan (%)
25 20
Pati Cilembu
15 10
Pati ungu
5 0 0
20
40
60
80
100
Suhu (oC) Gambar 14. Kelarutan pati ubi jalar Cilembu dan pati ubi jalar ungu Ayamurasaki
40
3. Kekuatan Gel Kekuatan gel merupakan gaya yang dibutuhkan untuk melakukan deformasi gel sebelum terjadi pemecahan atau perusakan. Uji t (Lampiran 24) menunjukkan bahwa kekuatan gel pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu tidak berbeda nyata (P>0.05), yaitu 4.10 N dan 4.38 N. Semakin tinggi amilosa maka semakin tinggi konsistensi gelnya. Rantai amilosa yang lurus menyebabkan terbentuknya formasi yang kuat dan lapisan film yang lebih fleksibel (Wurzburg 1968). Menurut Hodge dan Osman (1976), rantai cabang amilopektin menghambat asosiasi intermolekul yang dibutuhkan untuk pembentukan gel. Fraksi amilopektin lebih berperan dalam pembentukan gel. Amilosa dapat memperkuat gel karena rantainya yang tidak bercabang memudahkan dalam membentuk jaringan tiga dimensi atau gel (Suzuki 1981). Semakin besar kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, semakin lekat produk olahannya (Winarno 2002). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kadar amilosa dan amilopektin pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu tidak berbeda nyata, sehingga tidak menimbulkan pebedaan pada kekuatan gelnya. Menurut Febriyanti (1990), kekerasan dan daya tahan gel dipengaruhi oleh sifat retrogradasi yang berkaitan dengan kandungan amilosanya. Semakin kuat retrogradasi akan meningkatkan kekuatan gel. Viskositas setback pati ubi Cilembu lebih tinggi dibandingkan pati ubi ungu (1575 cP berbanding 1291 cP). Dilihat dari viskositas setbacknya, pati ubi Cilembu memiliki kemampuan retrogradasi lebih tinggi yang mengakibatkan kekuatan gelnya lebih tinggi dibandingkan dengan pati ubi ungu. Akan tetapi, menurut hasil penelitian kekuatan gel pati ubi Cilembu dan pati ubi ungu tidak berbeda nyata. Faktor-faktor lain seperti pH, suhu, konsentrasi, dan garam mineral (Suriani 2008) dapat diduga menjadi penyebab dari persamaan kekuatan gel kedua pati ini. Data menunjukkan bahwa nilai pH, suhu gelatinisasi, dan kadar abu pati ubi Cilembu dan ungu tidak berbeda nyata, sehingga tidak mengakibatkan perbedaan pada kekuatan gelnya.
4. Kejernihan Pasta Kejernihan pasta pati ubi jalar Cilembu (86.5%A) dan ubi jalar ungu (86.8%A) tidak berbeda nyata (P>0.05). Semakin tinggi kejernihan pasta pati maka produk yang dihasilkan akan lebih jernih dan transparan. Pati ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu memiliki kejernihan lebih rendah dibandingkan tapioka (23.7%) (Bernadetha 2005). Pati yang jernih dapat diaplikasikan pada edible film, sedangkan yang lebih keruh dapat diaplikasikan untuk salad dressing. Peningkatan kejernihan pasta pati dapat terjadi karena indeks refraksi granula pati mendekati indeks refraksi air. Kejernihan pasta pati dapat menurun akibat adanya insoluble kompleks amilosa-lemak. Kompleks ini juga akan menyebabkan pengendapan pasta pati (Collado dan Corke 2003). Kadar amilosa dan lemak pati ubi Cilembu dan ungu tidak berbeda nyata sehingga tidak dapat diamati pengaruhnya terhadap kejernihan pasta. Pati yang memiliki swelling power yang tinggi dan kecenderungan retrogradasi yang rendah menyebabkan kejernihan pastanya lebih tinggi (Balagopalan et al. 1988). Tingginya swelling power mengartikan pati semakin mudah tergelatinisasi, sehingga semakin banyak komponen amilosa yang larut. Pasta pati yang awalnya keruh akan meningkat kejernihannya ketika mengalami gelatinisasi. Retrogradasi yang rendah menunjukkan komponen-komponen
41
amilosa yang telah larut selama gelatinisasi tidak mudah bersatu kembali. Pasta pati dari amilopektin yang tinggi lebih jernih dan stabil terhadap gelling pada waktu tertentu (Wurzburd 1968). Pati ubi ungu memiliki swelling power yang tinggi (Gambar 13) dan kecenderungan retrogradasi yang rendah dibandingkan pati ubi Cilembu (1291 cP berbanding 1575 cP). Kejernihan pasta pada pati ubi Cilembu dan ungu yang tidak berbeda nyata diduga disebabkan oleh kadar pati, amilosa, dan amilopektin kedua pati ini tidak berbeda nyata.
5. Daya Absorbsi Air dan Minyak Absorbsi air berkaitan dengan kemampuan tepung dalam menyerap air. Menurut uji t (Lampiran 20), daya absorbsi air tepung ubi jalar Cilembu (0.9781 g/g) dan tepung ubi jalar ungu (1.1621 g/g) tidak berbeda nyata (P>0.05). Nilai daya serap air tersebut lebih rendah dibandingkan daya serap tepung terigu (2.5 g/g). Hasil penelitian Damayanthi et al. (2001) menunjukkan bahwa tepung bekatul yang memiliki kadar protein (kandungan grup amino polar) lebih rendah dibandingkan tepung terigu (8.97% berbanding 10.20%) akan memiliki daya serap air yang lebih rendah (1.5 g/g berbanding 2.5 g/g). Hasil pengujian komposisi kimia menunjukkan bahwa tepung ubi jalar memiliki kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan tepung terigu (2-5% berbanding 10.20%), sehingga daya serap air tepung ubi jalar Cilembu dan ungu (0.9781 g/g dan 1.1621 g/g) lebih rendah dibandingkan tepung terigu (2.5 g/g). Berkaitan dengan daya serap air yang rendah, tepung ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu kurang cocok digunakan untuk pengganti tepung terigu dalam pembuatan produk yang membutuhkan pengembangan besar seperti roti. Pati ubi Cilembu menghasilkan daya absorbsi air (1.1876 g/g) yang tidak berbeda nyata dengan pati ubi ungu (1.3116 g/g). Nilai absorbsi air pati ubi jalar Cilembu setara dengan absorbsi air tapioka (1.18 g/g) hasil penelitian Bernadetha (2005) yang dapat diaplikasikan pada produk mie. Semakin tinggi daya serap air maka semakin tinggi kemampuan rehidrasinya. Untuk menghasilkan pengembangan mie yang baik maka diperlukan kemampuan rehidrasi yang tinggi. Daya absorbsi air pada tepung dan pati dipengaruhi oleh komponen penyusunnya. Penyerapan air dalam granula pati dipengaruhi oleh ukuran dan struktur granula pati, dimana granula pati yang lebih kecil akan meningkatkan kelarutan dan penyerapan air (Niba et al. 2002). Setaranya nilai kemampuan penyerapan air pada kedua pati ini diduga disebabkan oleh kadar amilosa, ukuran granula, dan struktur granula patinya. Pati merupakan kumpulan granula pati yang komponen utamanya adalah amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa pati ubi Cilembu dan ungu tidak berbeda nyata. Amilosa yang terkandung dalam daerah amorf membuatnya lebih mudah dimasuki oleh air karena strukturnya yang beraturan. Selanjutnya, ukuran granula kedua pati ini relatif sama. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan kadar protein atau gugus amino polar pada kedua pati ini (1.63 g/g berbanding 0.71 g/g) tidak menimbulkan perbedaan kemampuan penyerapan airnya. Kadar protein yang berbeda pada tepung ubi Cilembu dan ungu (4.77%bk berbanding 3.28%bk) juga tidak mempengaruhi penyerapan airnya. Hal ini diduga disebabkan oleh kadar amilosa dan amilopektin keduanya yang tidak berbeda nyata. Uji t (Lampiran 20) menunjukkan bahwa daya absorbsi minyak ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu tidak berbeda nyata (P>0.05), baik tepung maupun patinya. Daya absorbsi minyak pati ubi Cilembu sebesar 1.4884 g/g dan pati ubi jalar ungu sebesar 1.5091 g/g. Tepung ubi jalar Cilembu memiliki daya serap minyak 1.2024 g/g, sedangkan tepung ubi jalar ungu
42
sebesar 1.4001 g/g. Kemampuan absorbsi minyak dipengaruhi oleh komponen lipofilik yang terkandung dalam tepung maupun pati. Granula pati memiliki sisi hidrofobik yang dapat berikatan dengan komponen lemak dan minyak tambahan. (Adebowalr et al. 2005). Sesuai dengan hasil penelitian, kadar lemak pati ubi Cilembu dan ungu tidak berbeda nyata sehingga kemampuan komponen lipofilik yang ada di dalamnya untuk menyerap minyak sama. Komponen lipofilik yang teranilisis dari kadar lemak adalah tidak hanya lemak yang terhidrolisa, tetapi juga lilin, fosfolipid, sterol, hormon, minyak atsiri, dan pigmen (Zulkhair 2009). Dibandingkan dengan daya serap minyak tapioka (0.8 g/g) (Bernadetha 2005), tepung maupun pati ubi jalar Cilembu dan ungu dapat menyerap minyak lebih tinggi. Jika diaplikasikan sebagai penyalut pada gorengan maka akan menghasilkan produk yang lebih berminyak sehingga menurunkan kualitas produk.
E. Analisis Korelasi Analisis korelasi Pearson digunakan untuk membuktikan adanya hubungan antara karakteristik fisikokimia dan fungsional yang ada. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa hanya ada beberapa karakteristik yang terbukti secara statistik memiliki hubungan (r > ±0.900). Kadar lemak telah terbukti berkorelasi negatif dengan viskositas breakdown (r = -0.9517). Semakin tinggi kadar lemak maka semakin rendah viskositas breakdown karena adanya lemak dapat menyelubungi granula pati sehingga menghambat pengembangan granula. Demikian pula dengan kadar protein yang dapat menghambat pengembangan granula pati memiliki korelasi negatif dengan viskositas breakdown (r = -0.9501) dan viskositas maksimum (r = -0.9709). Gugusgugus amino polar yang hidrofilik pada protein tentunya akan menghambat penyerapan minyak, sehingga terbukti bahwa absorbsi minyak berkorelasi negatif dengan kadar protein (r = -0.9571). Amilosa dan amilopektin merupakan komponen penyusun pati, sehingga ketika terjadi peningkatan pada kadar pati maka rasio amilosa dan amilopektin juga akan meningkat. Oleh karena itu, telah terbukti bahwa kadar amilosa berkorelasi positif dengan kadar pati (r = 0.9208). Kejernihan pasta dipengaruhi oleh komponen lain seperti serat, partikel protein, dan droplet lemak. Adanya komponen-komponen ini akan menghambat gelatinisasi pati karena mencegah migrasi air dan transfer panas. Kemudahan pati dalam mengalami gelatinisasi pati akan meningkatkan kejernihan pasta. Kadar protein telah terbukti memiliki hubungan negatif (r = 0.9748) dengan kejernihan pasta, karena gelatinisasi akan terhambat dengan adanya komponen ini. Densitas kamba dipengaruhi oleh sistem secara keseluruhan. Densitas kamba yang tinggi menunjukkan kepadatan yang tinggi dari tepung tersebut. Tepung dengan kepadatan yang lebih tinggi akan menghasilkan viskositas lebih tinggi jika dilarutkan dalam air, sehingga viskositas maksimum (r = 0.9953) dan viskositas breakdown (r = 0.9780) berkolerasi positif dengan densitas kamba. Kadar amilosa juga berkorelasi positif dengan kelarutan karena ketika terjadi proses gelatinisasi maka daerah amorf akan terhidrasi dan amilosa akan larut. Kadar amilopektin berkorelasi negatif (r = -0.9898) dengan absorbsi minyak. Amilopektin memiliki percabangan yang lebih reaktif terhadap air, sehingga semakin menghambat lemak terserap dalam granulagranula pati. Suhu gelatinisasi terbukti berkorelasi negatif dengan viskositas maksimum (r = -0.9040) dan swelling power (r = -0.9941). Semakin lama suhu gelatinisasi tercapai maka semakin lama granula pati mengalami pembengkakan. Hal ini juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan
43
granula pati dalam menyerap air sehingga viskositas maksimumnya cenderung rendah. Viskositas maksimum berkorelasi positif dengan viskositas breakdown (r = 0.9871). Viskositas breakdown merupakan selisih viskositas maksimum dengan viskositas terendah saat dipanaskan pada suhu 95oC. Dengan demikian, ketika viskositas maksimum menurun maka viskositas breakdown juga akan turun. Selanjutnya, viskositas maksimum yang tinggi juga menunjukkan bahwa pasta pati tersebut memiliki kejernihan yang tinggi (r = 0.9727). Hal ini dikarenakan viskositas maksimum yang tinggi menandakan pati tersebut lebih mudah tergelatinisasi. Pasta pati akan semakin jernih ketika mengalami gelatinisasi. Viskositas breakdown berkorelasi negatif dengan pH (r = -0.9920). Keadaan asam dapat memicu pemutusan ikatan glikosida, sehingga dapat mempercepat breakdown. Swelling power yang tinggi akan menghasilkan kelarutan yang tinggi karena saat terjadi pemanasan granula pati akan menyerap air sehingga mengembang dan komponenkomponen pada daerah amorf akan larut.
44