20
HASIL DAN BAHASAN Hasil penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah hasil percobaan tahap 1 meliputi nisbah kelamin, bobot individu dan sintasan benih ikan nila sampai umur 95 hari setelah menetas. Bagian kedua adalah hasil percobaan tahap 2 meliputi bobot dan panjang individu, keragaman ukuran karakter bobot, sintasan, FCR dan bobot panen serta perkembangan organ reproduksi sampai benih berumur 215 hari setelah menetas.
Percobaan 1. Pengaruh pe mberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai akhir tahap pendederan. Persentase jumlah individu berkelamin jantan, bobot individu rata-rata dan sintasan pada masing-masing genotipe dan perlakuan disajikan pada Tabel 1. Analisis dilakukan pada akhir tahap pendederan, yaitu pada saat benih beumur 95 hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa genotipe dan perlakuan maupun interaksi antara genotipe dan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase ikan nila berkelamin jantan (lampiran 2). Pemberian imidazole sebagai bahan penghambat sekresi enzim aromatase secara nyata meningkatkan persentase individu berkelamin jantan pada genotipe XX, dari 7,55% menjadi 82,44%. Penambahan imidazole pada genotipe YY secara nyata juga meningkatkan persentase kelamin jantan dari 83,01% menjadi 97,12%. Pada genotipe XY, pember ian imidazole tidak berpengaruh terhadap persentase kelamin jantan populasi tersebut. Semua populasi, kecuali genotipe XX tanpa perlakuan, secara nyata mempunyai persentase kelamin jantan lebih tinggi daripada populasi campuran XX-XY. Secara umum, genotipe XX dan XY mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibanding genotipe YY pada semua perlakuan maupun populasi campuran XX-XY (lampiran 3). Pada percobaan ini, genotipe YY mempunyai bobot individu rata-rata paling kecil dibandingkan genotipe lainnya. Selain itu, genotipe YY pada semua perlakuan secara nyata juga mempunyai tingkat sintasan paling rendah dibandingkan dengan genotipe lainnya (lampiran 4).
21
Tabel 1 Persentase kelamin jantan, bobot individu rata-rata dan sintasan benih ikan nila sampai akhir tahap pendederan Genotipe
XX
XY
YY*
XX-XY
Perlakuan
Persentase jantan (%)
Bobot (g)
Sintasan (%)
Imidazole
82,44±8,67c
20,93±2,26c
93,30±3,42c
Kontrol (+)
82,42±2,29c
18,23±2,12c
94,20±3,27c
Kontrol (-)
7,55±2,83a
18,69±2,12c
93,60±2,17c
Imidazole
82,03±6,29c
20,44±2,45c
95,50±3,63c
Kontrol (+)
85,13±8,24c
20,78±2,54c
93,60±4,88c
Kontrol (-)
79,81±1,66c
18,63±2,29c
86,65±502b
Imidazole
97,12d
9,43±4,73a
87,20b
Kontrol (+)
99,10d
9,70±4,54a
77,20a
Kontrol (-)
83,01c
9,21±3,93a
76,80a
56,56±2,30b
14,74±2,46b
92,40±3,12c
--
Keterangan : XX : hasil perkawinan induk jantan XX dengan betina XX, XY : hasil perkawinan induk jantan YY dangan betina XX, YY : hasil perkawinan induk jantan YY dengan betina YY, XX-XY : hasil perkawinan induk jantan XY dengan betina XX. Kontrol (+) : pakan dengan penambahan hormon 17a-mt, kontrol (-) : pakan tanpa penambahan bahan apapun. Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata, P>0,05. Tanda * : Semua perlakuan genotipe YY dilakukan tanpa ulangan karena keterbatasan jumlah individu.
Sebagai
data
pendukung,
dilakukan
analisis
kualitas
air
media
pemeliharaan di akuarium dan di kolam pendederan. Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan di akuarium dan di kolam pendederan ikan nila Parameter
Akuarium
Kolam pendederan
24,45 – 26,60
28,23 – 29,75
O2 terlarut (mg/l)
3,64 – 7,34
1,23 – 4,00
pH
7,91 – 8,22
7,26 – 7,33
NO (mg/l)
0,03 – 0,13
0,04 – 0,05
NH3 (mg/l)
0,00 – 0,23
0,13 – 0,29
Suhu (ºC)
2
22
Bahasan Diferensiasi kelamin ikan dipengaruhi oleh faktor internal (genetik), eksternal (lingkungan) maupun interaksi antara keduanya. Faktor genetik yang mempengaruhi arah diferensiasi kelamin antara lain sistem hormonal (endokrin) dan aksi gen pada kromosom maupun autosom. Sedangkan pengaruh lingkungan antara lain penambahan bahan-bahan tertentu seperti hormon (exogenous hormone) dan bahan kimia lainnya serta kondisi fisiko-kimia media pemeliharaan ikan selama periode labil kelamin (Devlin & Nagahama 2002). Pengaruh penambahan suatu bahan pada organisme dalam diferensiasi kelamin dapat dilihat melalui beberapa parameter antara lain nisbah jenis kelamin, pertumbuhan dan sintasan. Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa tingkat keberhasilan suatu bahan dalam mempengaruhi pengarahan pembentukan jenis kelamin dipengaruhi oleh umur organisme, waktu pemberian, lama waktu pemberian dan dosis pemberian serta faktor lingkungan. Ditambahkan oleh Hunter dan Donaldson (1983) bahwa keberhasilan pemberian bahan tambahan sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh bahan tersebut. Menurut Yamazaki (1983), usaha pengubahan jenis kelamin setiap spesies harus dilakukan pada waktu yang tepat dan jangka waktu yang tepat pula. Hal ini berkaitan dengan diferensiasi yang bersifat khas pada setiap spesies. Pemberian bahan tertentu yang berakhir sebelum masa diferensiasi kelamin hasilnya tidak efektif. Hal ini karena sel-sel germinal sebelum masa diferensiasi kelamin tidak memberikan respon terhadap bahan tertentu tersebut. Demikian juga pemberian perlakuan yang dimulai setelah masa diferensiasi kelamin. Yamamoto (1969) menyatakan bahwa pengubahan kelamin akan sempurna jika perlakuan mulai diberikan pada saat dimulainya diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai periode diferensiasi kelamin berakhir. Penambahan imidazole sebagai bahan penghambat sekresi enzim aromatase pada populasi ikan nila genotipe XX menghasilkan persentase individu berkelamin jantan sebesar 82,44%. Jika dibandingkan dengan populasi kontrol (-) genotipe XX yang mempunyai persentase individu berkelamin jantan sebesar 7,55%, hasil ini menunjukkan bahwa pemberian imidazole dengan dosis 25 mg/kg
23
pakan cukup efektif mempengaruhi proses diferensiasi kelamin ikan nila. Mengacu kepada beberapa teori diatas, hasil percobaan ini menunjukkan bahwa waktu awal perlakuan benih ikan nila yaitu pada umur 7 hari setelah menetas sudah tepat. Pada umur 7 hari setelah menetas, benih mulai mengalami proses diferensiasi kelamin, tetapi belum terjadi pembentukan organ kelamin secara definitif. Demikian juga lama waktu pemberian imidazole dalam percobaan ini relatif sesuai dalam mempengaruhi terbentuknya kelamin jantan. Hasil percobaan ini sesuai dengan pernyataan Brodie (1991) bahwasanya pada ikan tilapia, sel yang memproduksi aromatase positif terdapat pada gonad XX benih umur 7 hari setelah menetas. Selanjutnya aromatase diekspresikan pada gonad XX pada saat 10 hari sampai dengan 2 minggu sebelum diferensiasi ovari. Seperti telah diketahui bahwa aromatase merupakan enzim yang bertanggung jawab pada sintesis estrogen dari androgen. Pemberian aromatase inhibitor dalam pakan benih memberikan pengaruh terhadap pembentukan jenis kelamin, karena bahan ini menghambat kerja enzim aromatase di otak dalam bio-sintesis estrogen (proses aromatisasi) dari androgen. Mekanismenya adalah dengan cara menghambat proses transkripsi dari gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk. Ketiadaan mRNA aromatase berakibat pada tidak berlangsungnya proses translasi dalam rangka pembentukan enzim aromatase. Hal ini mengakibatkan laju konversi androgen menjadi estrogen menurun sehingga terjadi penurunan konsentrasi estrogen dibanding androgen. Penurunan konsentrasi estrogen ini selanjutnya mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever et al. 1999). Penelitian Ankley et al. (2002) pada fathead minnow (Pimephales promelas) menunjukkan bahwa pemberian aromatase inhibitor secara nyata menurunkan aktivitas aromatase otak sehingga mengakibatkan sintesis estradiol dan produksi vitelogenin menurun. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Lee et al. (2002) pada ikan protandi black porgy (Acanthopagrus schlegeli) yang menunjukkan bahwa pemberian bahan aromatase inhibitor secara nyata menurunkan tingkat aktivitas aromatase otak serta meningkatkan konsentrasi plasma 11-ketotestosterone dan LH yang merupakan produk hormon karakteristik pada individu jantan. Fenomena yang sama diduga terjadi pada percobaan ini. Penurunan aktivitas aromatase akan mengakibatkan penurunan
24
rasio estrogen terhadap androgen. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder. Penambahan
hormon
17a-mt sebagai
kontrol
(+)
juga berhasil
meningkatkan persentase individu berkelamin jantan genotipe XX sebesar 82,42%. Menurut Phelps dan Popma (2000), hormon 17a-mt yang merupakan hormon sintetis berperan sebagai hormon androgenik yang mengarahkan perkembangan gonad ke pembentukan kelamin jantan. Penambahan hormon androgen yang diberikan bersama pakan pada percobaan ini diduga meningkatkan level testosterone dalam tubuh ikan nila sehingga mempengaruhi proses diferensiasi ke arah terbentuknya kelamin jantan. Hasil percobaan ini menunjukan bahwa penambahan imidazole dengan dosis 25 mg/kg pakan dapat meningkatkan persentase individu berkelamin jantan pada ikan nila setara dengan penambahan 60 mg hormon 17a-mt/kg pakan. Pemberian imidazole pada genotipe XY menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 82,03%. Nilai ini tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (-) genotipe XY sebesar 79,81%. Pemberian imidazole sebagai penghambat sekresi enzim aromatase pada genotipe XY diduga tidak terlalu berpengaruh terhadap aktivitas enzim aromatase. Hasil penelitian D’Cotta et al. (2001) menunjukkan bahwa penurunan aktifitas aromatase di otak ikan nila genotipe XY yang dipelihara pada suhu tinggi tidak sebesar penurunan aktivitas aromatase ikan nila genotipe XX yang dipelihara pada suhu yang sama. Aktivitas aromatase pada genetipe XX pada perlakuan tersebut mencapai 1/3 kali kondisi normal sedangkan pada genotipe XY pada perlakuan yang sama menghasilkan aktivitas aromatase sebesar 2/3 kali kondisi normal. Penelitian Lee et al. (2002) juga menunjukkan bahwa pemberian beberapa jenis aromatase inhibitor pada ikan black porgy betina secara signifikan menurunkan aktifitas aromatase, tetapi pemberian bahan yang sama pada populasi jantan tidak mengakibatkan penurunan aktivitas aromatase secara signifikan. Hal yang sama diduga terjadi pada percobaan ini. Rendahnya pengaruh imidazole terhadap aktivitas enzim aromatase pada genotipe XY menyebabkan proses diferensiasi kelamin berlangsung seperti pada populasi normal (kontrol (-) genotipe XX). Kondisi ini menghasilkan persentase kelamin
25
jantan pada kedua populasi tersebut tidak berbeda. Kontrol (+) genotipe XY pada percobaan ini menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 85,13%. Meskipun peningkatan persentase kelamin jantan yang dihasilkan lebih tinggi tetapi secara statistik tidak berbeda. Pada genotipe YY, pemberian imidazole sebagai aromatase inhibitor berpengaruh nyata dalam meningkatkan persentase individu berkelamin jantan. Pemberian imidazole pada populasi hasil persilangan YY supermale dengan betina YY ini menghasilkan persentase kelamin jantan sebesar 97,12%. Jika dibandingkan dengan kontrol (-) genotipe YY sebesar 83,01% menunjukkan bahwa imidazole efektif dalam mempengaruhi nisbah kelamin ikan nila genotipe YY. Selain adanya reduksi aktifitas aromatase sebagai akibat pemberian imidazole, peningkatan persentase individu berkelamin jantan pada populasi genotipe YY diduga dipengaruhi oleh aksi gen yang secara langsung linked dengan kromosom Y. Pada genotipe yang mempunyai kromosom homogamet, diduga aksi gen ini bersifat epistasi (Tave, 1993). Kondisi yang sama juga terjadi pada genotipe XX, dimana pemberian imidazole mempunyai pengaruh yang nyata terhadap peningkatan jumlah individu berkelamin jantan. Pada genotipe XY yang notabene mempunyai kromosom heterogamet, aksi gen yang terjadi tidak bersifat epistasi sehingga pemberian imidazole tidak terlalu berdampak terhadap peningkatan individu berkelamin jantan. Pemberian bahan aromatase inhibitor pada genotipe YY yang menghasilkan hampir 100% individu berkelamin jantan ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena tujuan utama dari pembentukan YY supermale adalah untuk pembentukan induk jantan yang diharapkan dapat menghasilkan populasi anakan tunggal kelamin jantan. Persentase kelamin jantan pada semua genotipe dan perlakuan pada percobaan ini tidak mencapai 100%. Seperti telah disampaikan di depan, selain ditentukan oleh faktor internal, diferensiasi kelamin ikan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh kuat terhadap arah diferensiasi kelamin ikan tilapia adalah suhu (Baroiller et al. 1999). Pemeliharaan ikan nila selama tahap diferensiasi kelamin pada suhu rendah cenderung akan menghasilkan persentase individu berkelamin betina lebih banyak. Selain suhu rendah, suhu yang berfluktusi juga cenderung menghasilkan individu berkelamin
26
betina lebih banyak. Dijelaskan oleh Phelps dan Popma (2000) bahwa sex reversal ikan nila yang dilakukan pada suhu kurang dari 24°C akan mengurangi keberhasilan pembentukan individu berkelamin jantan dan juga akan berpengaruh terhadap penurunan laju pertumbuhan. Penelitian Varadaraj et al. ( 1994), diacu dalam Phelps dan Popma (2000) juga menunjukkan bahwa populasi ikan O. mossambicus yang dipelihara pada suhu rendah dan berfluktuasi antara 23-25 °C mempunyai jumlah individu betina lebih banyak dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu lebih tinggi dan stabil. Hasil analisis kualitas air pemeliharaan larva di akuarium selama percobaan relatif rendah dan berfluktuasi antara 24,45-26,60°C.
Rendah dan relatif berfluktuasinya suhu pada media
pemeliharaan tersebut diduga kuat menjadi salah satu faktor penyebab tidak tercapainya 100% individu yang berkelamin jantan pada percobaan ini. Selain suhu, beberapa faktor lingkungan media pemeliharaan larva yang diduga juga mempengaruhi proses diferensiasi kelamin antara lain pH (Rubin 1985), kepadatan (Olivier & Kaiser 1997), polusi (Andersson et al. 1999; Harries et al. 1999) dan interaksi sosial lainnya (Toguyeni et al. 1997). Selain nisbah kelamin pada ketiga genotipe ikan nila yang diuji, pengamatan juga dilakukan terhadap karakter bobot individu dan sintasan. Pada percobaan ini, genotipe dan perlakuan maupun interaksi antara keduanya tidak mempengaruhi bobot ikan nila sampai akhir tahap pendederan kecuali pada genotipe YY. Genotipe YY mempunyai bobot individu rata-rata paling rendah dibandingkan semua populasi, berkisar antara 9,21-9,70 gram/ekor. Hasil ini berbeda dengan penelitian Saputra (2007) yang menerangkan bahwa sampai akhir masa pendederan, populasi benih ikan nila genotipe YY mempunyai bobot individu rata-rata tidak berbeda nyata dibandingkan benih ikan nila jantan hasil sex reversal maupun GMT (Genetically Male Tilapia). Penelitian yang dilakukan Saputra (2007) di BBPBAT, Sukabumi menggunakan larva ikan nila yang diduga semuanya berasal dari sumber induk betina yang sama. Sedangkan pada percobaan ini, semua bahan percobaan berupa larva ikan nila didapatkan dari induk betina varietas Nirwana kecuali larva genotipe YY yang berasal dari BBPBAT, Sukabumi. Perbedaan sumber induk betina yang digunakan ini ditengarai sebagai penyebab perbedaan hasil antara kedua penelitian tersebut.
27
Selain itu, rendahnya bobot ikan nila genotipe YY pada percobaan ini diduga disebabkan adanya fenomena inbreeding. Inbreeding pada populasi genotipe YY terjadi karena keterbatasan jumlah individu terseleksi pada saat awal pembentukan induk jantan super genotipe YY maupun pada saat produksi masal induk jantan super genotipe YY pada tahap selanjutnya. Produksi masal induk jantan super genotipe YY dilakukan dengan menyilangkan induk jantan super genotipe YY dengan induk betina genotipe YY. Kedua induk bergenotipe YY ini berasal dari populasi yang sama sehingga peluang terjadinya inbreeding sangat tinggi. Namun demikian, rendahnya laju pertumbuhan ikan nila genotipe YY bukan menjadi masalah yang utama karena tujuan utama pembentukan ikan nila YY supermale adalah untuk menghasilkan induk ikan nila yang secara genotipe mampu menghasilkan keturunan 100% berkelamin jantan, bukan menghasilkan ikan nila dengan laju pertumbuhan yang cepat. Secara umum, populasi ikan nila genotipe XY dan XX mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibandingkan dengan populasi campuran genotipe XX-XY. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya sharing energi untuk perkembangan gonad dan juga adanya pengaruh interaksi sosial. Meskipun masih relatif muda, ikan nila yang dipelihara secara campuran antara jantan dan betina diduga mempunyai perkembangan gonad lebih cepat dibandingkan populasi tunggal kelamin. Pada umur 95 hari setelah menetas, diameter oosit pada goand betina yang berasal dari populasi tunggal kelamin betina XX maupun campuran XX-XY relatif sama, yaitu sekitar 500-875 µm. Menurut Popma dan Masser (1999) bahwa ikan nila yang dipelihara di kolam akan mencapai kematangan gonad pada umur 5-6 bulan dengan bobot berkisar antara 150-200 gram. Selain itu, berdasarkan SNI No. 6138-2009 tentang induk ikan nila, disebutkan bahwa ikan nila matang gonad pada ukuran diameter oosit = 2.500 µm. Berdasarkan hal tersebut, mestinya populasi tunggal kelamin betina XX dan populasi campuran XX-XY mempunyai kondisi yang relatif sama. Namun demikian, meskipun diameter oosit antara kedua populasi tersebut relatif sama, hasil analisis histologis gonad ikan nila betina yang berasal dari populasi tunggal kelamin betina XX dan populasi campuran XX-XY menunjukkan adanya perbedaan. Oosit tertua pada ovari ikan yang berasal dari populasi tunggal kelamin betina XX baru mencapai
28
tahap perinukleolar (Gambar 3), sedangkan pada ovari ikan yang berasal dari populasi campuran XX-XY telah ditemukan oosit yang berada pada tahap vesikula kuning telur (Gambar 4), yaitu satu tahap lebih lanjut dibandingkan tahap perinukleolar. Bedasarkan hasil tersebut, meskipun pada umur 95 hari ikan nila belum mencapai tahap pematangan telur, tetapi perkembangan organ reproduksi pada populasi campuran XX-XY yang relatif lebih cepat diduga mempengaruhi laju pertumbuhan. Namun demikian, hasil percobaan sampai tahap pendederan ini belum bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya terjadi pada genotipegenotipe ikan nila yang diuji. Untuk mengklarifikasi hal ini, kegiatan dilanjutkan dengan percobaan 2, yaitu evaluasi performansi benih ikan nila pada tahap pembesaran di kolam. Secara umum, kualitas air media pemeliharaan ikan di dalam akuarium maupun kolam pendederan relatif sesuai dengan kebutuhan hidup ikan. Hal ini berdampak terhadap relatif tingginya nilai sintasan ikan nila yaitu antara 76,8095,50%. Relatif lebih rendahnya sintasan ikan nila genotipe YY pada percobaan ini mendukung hasil penelitian Saputra (2007) yang menunjukkan bahwa populasi nila YY mempunyai tingkat sintasan lebih rendah dibanding populasi nila hasil sex reversal maupun GMT.
CN P
P
Gambar 3 Hasil analisis histologis ovari ikan nila dari populasi tunggal kelamin betina XX, umur 95 hari. CN : tahap kromatin nukleolar, P : perinukleolar.
29
Gambar 4 Hasil analisis histologis ovari ikan nila dari populasi campuran XXXY, umur 95 hari. CN : tahap kromatin nukleolar, P : perinukleolar, YV : vesikula kuning telur.
Percobaan 2. Performansi tiga genotipe ikan nila yang diberi bahan aromatase inhibitor pada tahap pembesaran. Benih terpilih pada masing-masing genotipe dan perlakuan dipelihara dalam waring ukuran 4x4x1,5 m yang ditempatkan di kolam pembesaran ukuran 400 m2 selama 120 hari. Hasil penghitungan bobot dan panjang individu serta sintasan masing-masing populasi ikan nila pada akhir percobaan disajikan pada Tabel 3. Analisis statistik menunjukkan bahwa masing-masing genotipe, perlakuan dan interaksi antara genotipe dan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot akhir individu ikan nila (lampiran 5). Secara umum, genotipe XY pada masing-masing perlakuan mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibandingkan genotipe lainnya pada perlakuan yang sama. Perlakuan pemberian imidazole sebagai bahan aromatase inhibitor pada genotipe XY berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ikan nila sehingga menghasilkan bobot akhir lebih baik dibandingkan populasi kontrol (-) genotipe XY. Semua populasi, kecuali genotipe YY pada semua perlakuan mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibanding populasi campuran XX-XY. Nilai sintasan pada percobaan
30
ini lebih dipengaruhi oleh genotipe daripada perlakuan yang diberikan, terutama pada genotipe YY yang mempunyai nilai sintasan lebih rendah (50,92-79,50%), berbeda nyata dengan genotipe XX dan XY pada semua perlakuan maupun populasi campuran XX-XY (lampiran 7). Tabel 3 Bobot dan panjang akhir individu serta sintasan ikan nila pada akhir tahap pembesaran Genotipe
XX
XY
YY
XX-XY Keterangan
Perlakuan
Jenis kelamin
Bobot (g)
Panjang (cm)
Sintasan (%)
Imidazole
Jantan
215,75±52,72cd
21,84±1,89bc
90,94±9,43d
Kontrol (+)
Jantan
248,09±55,30ef
22,36±2,01c
88,81±2,70cd
Kontrol (-)
Betina
200,73±55,83c
21,53±2,28bc
94,06±4,49d
Imidazole
Jantan
266,51±65,62f
25,94±1,82e
93,75±7,29d
Kontrol (+)
Jantan
310,20±49,32g
26,23±1,91e
84,06±8,19cd
Kontrol (-)
Jantan
238,86±42,66de
24,38±1,61d
90,00±8,29cd
Imidazole
Jantan
142,88±48,94a
20,77±1,55ab
63,75±8,84b
Kontrol (+)
Jantan
150,50±49,46ab
21,22±1,62bd
79,38±0,88c
Kontrol (-)
Jantan
140,99±44,10a
19,66±1,26a
50,63±6,19a
--
50% jantan
174,58±61,25b
19,52±1,76a
91,88±9,49d
: XX : hasil perkawinan induk jantan XX dengan betina XX, XY : hasil perkawinan induk jantan YY dangan betina XX, YY : hasil perkawinan induk jantan YY dengan betina YY, XX-XY : hasil perkawinan induk jantan XY dengan betina XX. Kontrol (+) : pakan dengan penambahan hormon 17a-mt, Kontrol (-) : pakan tanpa penambahan bahan apapun. Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata, P>0,05.
Berdasarkan hasil pengukuran bobot individu, selanjutnya dilakukan analisis keragaman ukuran terutama untuk karakter bobot individu. Analisis keragaman ukuran dilakukan dengan menghitung nilai coefficient of variance karakter bobot individu rata-rata pada masing-masing ulangan. Selain analisis keragaman ukuran bobot individu, juga dilakukan analisis food conversion ratios dan analisis bobot panen. Hasil analisis coefficient of variance (CV), food conversion ratios (FCR) dan bobot panen disajikan pada Tabel 4.
31
Tabel 4 Hasil analisis coefficient of variance (CV) bobot, food corversion ratios (FCR) dan bobot panen ikan nila pada akhir tahap pembesaran Genotipe
XX
XY
YY
XX-XY
Perlakuan
Jenis kelamin
CV (%)
FCR
Bobot panen (kg)
Imidazole
Jantan
20,91±4,88a
2,49±0,15ab
15,61±0,79de
Kontrol (+)
Jantan
23,46±3,22ab
2,21±0,43ab
17,66±2,86ef
Kontrol (-)
Betina
24,48±7,18abc
2,42±0,22ab
15,06±1,31cd
Imidazole
Jantan
22,60±5,56ab
2,10±0,12a
19,96±1,08fg
Kontrol (+)
Jantan
18,09±2,50a
2,36±0,23ab
20,98±1,81g
Kontrol (-)
Jantan
19,27±2,52a
2,51±0,33ab
17,71±2,37ef
Imidazole
Jantan
34,19±3,54d
2,42±0,11ab
7,25±0,42ab
Kontrol (+)
Jantan
28,56±0,37bcd
2,18±0,50a
9,57±2,24b
Kontrol (-)
Jantan
30,65±4,65cd
3,06±0,69c
5,75±1,37a
50% jantan
24,13±4,53ab
2,81±0,35bc
12,82±1,14c
--
Keterangan : XX : hasil perkawinan induk jantan XX dengan betina XX, XY : hasil perkawinan induk jantan YY dangan betina XX, YY : hasil perkawinan induk jantan YY dengan betina YY, XX-XY : hasil perkawinan induk jantan XY dengan betina XX. Kontrol (+) : pakan dengan penambahan hormon 17a-mt, Kontrol (-) : pakan tanpa penambahan bahan apapun. Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata, P>0,05.
Analisis
statistik
menunjukkan
bahwa
genotipe
yang
berbeda
mempengaruhi keragaman ukuran bobot individu, khususnya antara genotipe YY dengan genotipe XX dan XY (P<0,05) (lampiran 8). Pada analisis efisiensi pakan, genotipe maupun perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap nilai FCR, namun interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang nyata (lampiran 9). Hal ini terlihat pada genotipe YY tanpa perlakuan yang mempunyi nilai FCR lebih tinggi dibanding genotipe YY yang mendapat penambahan imidazole dan hormon 17a-mt maupun dengan genotipe lainnya. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, populasi genotipe campuran XX-XY mempunyai tingkat efisiensi pemanfaatan pakan yang lebih rendah dibanding genotipe XX maupun XY. Berdasarkan hasil analisis bobot panen, penggunaan populasi benih tunggal kelamin jantan, baik genotipe XY maupun hasil pengalihan kelamin genotipe XX secara nyata lebih baik dibandingkan dengan populasi campuran (P<0,05) (lampiran 10), sedangkan populasi tunggal kelamin betina XX, meskipun mampu
32
menghasilkan produksi panen yang relatif baik, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan populasi campuran XX-XY. Pada percobaan ini, genotipe YY mempunyai bobot panen paling rendah dibandingkan dengan populasi lainnya. Pola pertumbuhan benih ikan nila genotipe XX, XY dan YY serta pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor (imidazole) dan hormon 17a-mt dari awal percobaan 1 sampai akhir percobaan 2 disajikan pada Gambar 5. Pada Gambar 5 terlihat bahwa ukuran dan bobot benih ikan nila genotipe YY lebih kecil dibandingkan dengan genotipe lainnya sejak awal penebaran sampai akhir percobaan. Pertumbuhan populasi benih ikan nila genotipe XX dan XY sampai akhir masa pendederan (umur 95 hari) belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun demikian, pada akhir bulan ke 4, bobot rata-rata individu pada populasi XY sudah mulai menunjukkan perbedaan. Genotipe XY mempunyai laju pertumbuhan lebih baik dibandingkan genotipe lainnya, sedangkan genotipe XX mempunyai pola pertumbuhan relatif sama dengan genotipe campuran XX-XY. Namun, pada awal bulan keenam populasi campuran XY-XX mengalami penurunan laju pertumbuhan sehingga bobot individu rata-rata yang dicapai pada akhir percobaan menjadi lebih rendah. Secara umum, pemberian bahan aromatase inhibitor (imidazole) meningkatkan laju pertumbuhan terutama pada genotipe XY sedangkan penambahan hormon 17a-mt secara nyata meningkatkan laju pertumbuhan populasi sehingga menghasilkan bobot individu lebih baik pada semua genotipe. Pada akhir percobaan dilakukan pengamatan terhadap organ reproduksi masing-masing populasi. Pengamatan organ reproduksi meliputi analisis indeks gonad somatik (IGS) dan analisis histologis. Hasil analisis indeks gonad somatik disajikan pada Tabel 5, sedangkan visualisasi hasil analisis histologis sampel ikan nila pada masing-masing genotipe dan perlakuan disajikan pada Gambar 6-15.
33
350 300
Bobot (g)
250
XY XX YY XY-XX
200 150 100 50 0 350 300
Bobot (g)
250
XY-MT
200
XX-MT
150
YY-MT XY-XX
100 50 0 350 300
Bobot (g)
250 200
XY-AI
150
XX-AI
100
YY-AI XY-XX
50 0 5
35
65
95
125
155
185 215
Waktu (hari)
Gambar 5 Pola pertumbuhan populasi ikan nila genotipe XX, XY dan YY tanpa perlakuan (atas), penambahan hormon 17a-mt (tengah) serta pemberian imidazole (bawah).
34
Tabel 5 Indeks gonad somatik (IGS) ikan nila pada akhir tahap pembesaran Genotipe
XX
XY
YY
Perlakuan
IGS
Keterangan b
Imidazole
Jantan
2,28±0,19
1/20 sample hermaprodit
Kontrol (+)
Jantan
1,78±0,17ab
Normal
Kontrol (-)
Betina
a
3,33±0,28
Normal, ukuran oosit tidak seragam (200 – 2.000 µm)
Imidazole
Jantan
1,83±0,28ab
Normal
Jantan
ab
Normal
ab
Normal
Kontrol (+)
1,60±0,16
Kontrol (-)
Jantan
1,95±0,49
Imidazole
Jantan
1,55±0,21a
Normal
Jantan
a
Normal
a
Kontrol (+) Kontrol (-)
XY-XX
Jenis kelamin
--
1,40±0,28
Jantan
1,55±0,35
Normal
50% jantan 50% betina
1,90±0,85ab 3,65±0,21b
Ukuran oosit 500 – 2.500 µm dan sebagian sudah memijah
Keterangan : XX : hasil perkawinan induk jantan XX dengan betina XX, XY : hasil perkawinan induk jantan YY dangan betina XX, YY : hasil perkawinan induk jantan YY dengan betina YY, XY-XX : hasil perkawinan induk jantan XY dengan betina XX. Kontrol (+) : pakan dengan penambahan hormon 17a-mt, Kontrol (-) : pakan tanpa penambahan bahan apapun. Nilai yang diikuti huruf superscript yang sama dengan warna yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata, P>0,05.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa genotipe yang berbeda, pemberian
perlakuan
maupun
interaksi
antara
genotipe
dan
perlakuan
berpengaruh nyata terhadap indeks gonad somatik (IGS) ikan nila (lampiran 11). Nilai IGS terlihat berbeda nyata antara genotipe XX yang diberi imidazole dengan genotipe YY pada semua perlakuan. Secara umum, organ reproduksi ikan nila jantan genotipe XY dan YY yang diberi perlakuan maupun tidak berkembang dengan normal (Gambar 9, 10, 11, 12, 13 dan 14). Ikan jantan hasil sex reversal genotipe XX juga mempunyai organ reproduksi yang berkembang normal (Gambar 6 dan 7). Namun demikian, pada populasi hasil sex reversal menggunakan imidazole sebesar 25 mg/kg pakan, terdapat sample ikan yang tidak sempurna perubahan organ reproduksinya. Meskipun secara fenotipe berkelamin jantan tetapi setelah dilakukan analisis histologis, pada organ testis terdapat oosit
35
meskipun dalam jumlah sedikit (intersex). Jumlah individu hermaprodit pada populasi ini sekitar 5% atau 1 dari 20 ekor sample yang diambil. Penambahan hormon 17a-mt sebagai kontrol (+) pada semua genotipe mengakibatkan perkembangan bobot badan relatif lebih cepat daripada perkembangan bobot gonad. Hal ini berdampak pada nila i IGS populasi yang diberi penambahan hormon steroid tersebut relatif lebih kecil dibanding populasi kontrol (-). Nilai IGS populasi betina pada genotipe campuran XY-XX secara nyata lebih tinggi dibanding populasi betina pada genotipe tinggal kelamin betina. Hal ini karena pada gonad betina yang berasal dari populasi campuran terdapat banyak oosit yang berukuran besar dan sudah mencapai kematangan tahap akhir (Gambar 15).
Gambar 6
Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe XX yang diberi imidazole.
36
Gambar 7
Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe XX yang diberi hormon 17a-mt.
A C
C
B
B
Gambar 8
Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe XX pada populasi tunggal kelamin betina. A : tahap kromatin nukleolar, B : tahap perinukleolar dan C : tahap vesikula kuning telur. Tanda anak panah adalah oogonia.
37
Gambar 9
Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe XY yang diberi imidazole.
Gambar 10 Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe XY yang diberi hormon 17a-mt.
38
Gambar 11 Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe XY.
Gambar 12 Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe YY yang diberi imidazole.
39
Gambar 13 Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe YY yang diberi hormon 17a-mt.
Gambar 14 Hasil analisis histologi gonad ikan nila genotipe YY.
40
Gambar 15
Hasil analisis histologi gonad ikan nila betina pada populasi campuran. A : tahap kromatin nukleolar, B : tahap perinukleolar, C : tahap vesikula kuning telur, D : tahap alveoli korteks, E : tahap granula kuning telur dan tanda anak panah adalah oogonia.
Sebagai
data
pendukung
dilakukan
analisis
kualitas
air
media
pemeliharaan ikan nila setiap 2 minggu sekali meliputi suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, nitrit dan amoniak. Hasil analisis kualitas air di kolam pembesaran selama percobaan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan ikan nila selama tahap pembesaran Parameter
Nilai
Referensi*
Suhu (ºC)
28,3 – 30,0
25,0 – 32,0
O2 (mg/L)
1,67 – 5,48
>5
pH
7,29 – 7,80
6,5 – 9,0
NO2 (mg/L)
0,04 – 0,07
< 0,5
NH3 (mg/L)
0,10 – 0,29
< 1,0
Ket. * Kebutuhan ikan dalam media budidaya (Boyd 1990)
Secara umum, kualitas air media pemeliharaan ikan memenuhi standar kebutuhan budidaya ikan. Rendahnya oksigen terlarut yang mencapai 1,67 mg/l
41
biasanya terjadi pada pagi hari, yaitu pada pukul 05.00 sampai 05.30. Namun demikian, kondisi tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi ikan nila yang dipelihara karena mempunyai daya toleransi tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan pemeliharaan, termasuk fluktuasi kadar oksigen terlarut dalam perairan. Popma dan Masser (1999) mengatakan bahwa ikan tilapia dapat bertahan hidup pada kondisi oksigen terlarut kurang dari 0,3 mg/l. Namun sangat disarankan untuk mempertahankan jumlah oksigen terlarut pada budidaya ikan nila minimal sebesar 1 mg/l.
Bahasan Populasi jantan hasil sex reversal genotipe XX mempunyai laju pertumbuhan relatif cepat. Populasi ini mencapai bobot individu rata-rata 215,75 g dalam waktu 120 hari. Jika dibandingkan dengan bobot individu rata-rata pada populasi kontrol (-) genotipe XX sebesar 200,73 g, bobot akhir ini tidak berbeda nyata. Namun demikian, bobot akhir ini berbeda nyata dengan bobot individu pada populasi kontrol (+) genotipe XX sebesar 248,09 g. Perbedaan laju pertumbuhan ini disebabkan karena adanya penambahan hormon 17a-mt yang notabene merupakan hormon anabolik-steroid ke dalam tubuh ikan. Penambahan hormon ini memacu pelepasan hormon pertumbuhan dari somatotrop pituitari ikan (Higgs et al. 1976). Yamazaki (1976) juga menyatakan bahwa hormon 17a-mt dapat meningkatkan nila i kecernaan serta laju penyerapan pakan sehingga menghasilkan pertambahan bobot tubuh yang lebih baik. Ditambahkan oleh Lone dan Matty (1981) bahwasanya penambahan hormon 17a-mt dapat meningkatkan aktivitas enzim proteolitik pada saluran pencernaan ikan mirror carp sehingga meningkatkan laju penyerapan pakan yang selanjutnya berdampak terhadap peningkatan laju pertumbuhan. Kondisi tersebut dipertegas oleh Phelps dan Popma (2000) yang menyatakan bahwa selain sebagai hormon androgen, 17a-mt juga dapat berfungsi sebagai zat yang bersifat anabolik steorid. Zat ini memacu bio-sintesis protein dalam tubuh sehingga mempercepat perkembangan otot dan tulang. Jika dibandingkan dengan benih ikan nila genotipe campuran, ikan nila genotipe XX yang diberi imidazole mempunyai bobot akhir yang lebih baik.
42
Perbedaan pertumbuhan antara kedua populasi tersebut merupakan efek tidak langsung perlakuan penambahan imidazole dalam pakan. Penambahan imidazole sebagai bahan aromatase inhibitor mempengaruhi proses diferensiasi kelamin ke arah pembentukan kelamin jantan. Tingginya persentase kelamin jantan akan berdampak lebih lanjut terhadap pertumbuhan populasi ikan. Pada percobaan ini, populasi yang diberi imidazole terdiri atas individu berkelamin jantan semua sedangkan populasi genotipe campuran terdiri atas 50% individu jantan dan 50% betina. Hasil penelitian Mair et al. (1995) menunjukkan bahwa pada pembesaran ikan nila, laju pertumbuhan populasi campuran lebih lambat dibandingkan populasi tunggal kelamin jantan hasil sex reversal maupun GMT. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh sexual dimorphism, kematangan kelamin lebih dini dan hadirnya anakan yang tidak dikehendaki pada populasi campuran. Berdasarkan bobot akhir yang dicapai, populasi jantan hasil sex reversal dengan imidazole pada ikan nila genotipe XX mempunyai laju pertumbuhan 23,58% lebih baik dibanding populasi campuran XX-XY. Hal yang cukup menarik pada percobaan ini adalah bobot individu dan bobot panen pada populasi tunggal kelamin betina genotipe XX jika dibandingkan dengan karakter yang sama pada populasi campuran XX-XY. Bobot individu dan produksi panen rata-rata ulangan yang dihasilkan pada populasi tunggal kelamin betina genotipe XX sebesar 200,73 g dan 15,06 kg. Bobot ini setara dengan 15,00% dan 17,47% lebih baik dibanding populasi campuran XX-XY yang hanya menghasilkan 174,58 g dan 12,82 kg pada karakter yang sama. Selain karena adanya sexual dimorphism, perbedaan laju pertumbuhan populasi juga disebabkan oleh perbedaan perilaku reproduksi. Perbedaan laju pertumbuhan antara populasi tunggal kelamin betina dengan populasi campuran diduga lebih banyak disebabkan oleh perbedaan perilaku reproduksi. Perbedaan bobot individu ratarata antara kedua populasi terjadi mulai bulan ke 2-3 atau pada saat benih berumur antara 155-185 hari. Perbedaan bobot individu rata-rata ini akan semakin terlihat pada akhir bulan ke 4 (benih umur 215 hari). Pada umur tersebut, sebagian individu pada populasi campuran XX-XY terlihat telah mengalami kematangan gonad. Hasil analisis histologis gonad pada akhir percobaan menunjukkan bahwa ikan nila betina dari populasi campuran XX-XY telah mencapai tingkat
43
kematangan gonad tahap IV (TKG IV) dan diameter oosit telah mencapai 5002.500 µm (Tabel 6). Selain berdasarkan ukuran diameter oosit, TKG IV pada populasi ikan tersebut ditunjukkan dengan dit emuinya oosit yang berada dalam tahap granula kuning telur (Gambar 15). Sedangkan ikan nila betina dari populasi tunggal kelamin betina XX masih dalam tingkat kematangan gonad tahap III (TKG III) dan diameter oosit relatif lebih kecil dan bervariasi antara 200-2.000 µm (Tabel 6). Tahapan oosit tertua yang ditemukan pada populasi ini baru mencapai tahap vesikula kuning telur, satu tahap lebih muda dibanding tahap granula kuning telur. Selain itu juga terdapat oosit-oosit pada tahap perkembangan yang lebih muda yaitu tahap perinukleolar, kromatin nukleolar dan oogonia (Gambar 8). Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan gonad ikan nila betina pada populasi tunggal kelamin betina XX relatif lebih lambat dibanding populasi campuran XX-XY. Selain berdasarkan hasil analisis histologis, kematangan gonad pada populasi campuran XX-XY juga ditandai dengan ditemukannya individu-individu betina yang sedang mengerami telur di dalam mulutnya (Gambar 16).
Gambar 16 Contoh ikan nila betina yang mengerami telur di dalam mulutnya. Proses pematangan gonad pada populasi campuran berimplikasi terhadap laju pertumbuhan. Hal ini karena energi yang didapatkan melalui metabolisme
44
pakan tidak semuanya digunakan untuk building body block, tetapi terbagi untuk proses pematangan gonad. Mair et al. (1995) menjelaskan bahwa selain disebabkan
adanya
pembagian
energi
hasil
metabolisme
pakan
untuk
perkembangan pematangan gonad, lambatnya laju pertumbuhan populasi benih ikan nila campuran kelamin jantan dan betina juga disebabkan oleh berkurangnya konsumsi pakan terutama pada induk betina yang harus mengerami telur di dalam mulutnya. Selain itu, adanya anakan yang tidak dikehendaki pada populasi kelamin campuran juga mengakibatkan energi yang harus dikeluarkan dalam rangka kompetisi mencari makan semakin besar. Kondisi tersebut diduga terjadi pada percobaan ini sehingga produktivitas populasi kelamin campuran XX-XY lebih rendah dibanding populasi tunggal kelamin betina XX. Secara umum, gonad ikan nila jantan hasil sex reversal genotipe XX maupun nila jantan pada populasi kontrol (+) berkembang dengan normal. Terdapatnya gonad yang intersex pada populasi hasil sex reversal genotipe XX dapat disebabkan karena beberapa alasan antara lain kesempatan memakan pakan yang tidak sama antar individu, adanya proses pencucian (leaching) imidazole yang dicampur dalam pakan ketika diberikan kepada larva ikan dan juga pengaruh lingkungan lainnya seperti suhu media pemeliharaan lava selama periode labil kelamin. Faktor-faktor tersebut diduga menjadi penghambat dalam proses sex reversal sehingga mengakibatkan perubahan dari ovari menjadi testis pada genotipe XX berlangsung kurang sempurna. Pada pembesaran ikan nila genotipe XY, penambahan imidazole mempunyai dampak signifikan terhadap laju pertumbuhan. Bobot dan panjang individu genotipe XY yang diberi imidazole lebih baik dibanding populasi kontrol (-) yaitu genotipe XY tanpa penambahan bahan apapun. Hal ini karena pemberian imidazole menghambat sekresi enzim aromatase sehingga konversi hormon androgen menjadi estrogen menjadi berkurang. Proporsi kadar androgen yang jauh lebih banyak dibanding estrogen ini diduga mengakibatkan pelepasan hormon pertumbuhan (growth hormone) lebih cepat. Jika dibandingkan dengan populasi kontrol (+) genotipe XY, laju pertumbuhan populasi XY yang diberi imidazole lebih lambat. Kondisi ini serupa dengan yang terjadi pada genotipe XX, dimana penambahan hormon steroid 17a-mt diduga memacu pelepasan hormon
45
pertumbuhan serta meningkatkan aktivitas enzim proteolitik pada saluran pencernaan. Hal ini didukung dengan hasil penghitungan nilai food conversion ratio yang menunjukkan bahwa FCR pada populasi kontrol (+) genotipe XY relatif lebih baik dibandingkan kontrol (-) genotipe XY. Perkembangan bobot individu yang relatif lebih cepat pada semua populasi genotipe XY berdampak pada tingginya bobot panen yang dihasilkan pada genotipe tersebut, yaitu sebesar 19,96 kg, 20,98 kg (kontrol (+)) dan 17,71 kg (kontrol (-)). Bobot ini setara dengan 55,69; 63,65 dan 38,14% lebih baik jika dibandingkan dengan karakter yang sama pada populasi campuran XX-XY. Pada genotipe YY, pemberian imidazole sebagai penghambat sekresi enzim aromatase tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan ikan nila. Hal ini berimplikasi terhadap rendahnya bobot panen yang dihasilkan pada akhir percobaan. Jika dibandingkan dengan genotipe lainnya, genotipe YY mempunyai laju pertumbuhan, sintasan dan bobot panen yang paling rendah. Rendahnya laju pertumbuhan genotipe YY sampai akhir percobaan pembesaran konsisten dengan hasil pada percobaan 1. Selain dugaan perbedaan sumber induk betina yang digunakan dalam pemijahan, hal ini juga karena benih YY yang didapatkan melalui persilangan antara YY supermale dengan betina YY diduga merupakan benih dengan tingkat inbreeding tinggi. Inbreeding pada benih ikan nila genotipe YY dapat terjadi melalui beberapa jalur antara lain pada waktu pembentukan induk nila jantan genotipe YY, pembentukan ikan betina genotipe YY dan pada saat produksi masal benih jantan genotipe YY. Ketiga kemungkinan tersebut disebabkan karena keterbatasan jumlah individu dan famili yang terseleksi dalam rangka mendapatkan genotipe dan fenotipe tertentu misalnya genotipe XY dengan fenotipe betina, pada awal pembentukan genotipe YY. Menurut Tave (1993), depresi inbreeding pada suatu populasi ikan dapat mengakibatkan pertumbuhan lambat, abnormalitas tinggi, asimetrisme tinggi, kematangan kelamin dini, menurunkan fitness dan tingkat sintasan. Selain mengakibatkan rendahnya laju pertumbuhan, dugaan tingginya tingkat inbreeding populasi genotipe YY juga ditengarai dengan rendahnya sintasan, baik pada percobaan 1 maupun percobaan 2 serta tingginya nila i keragaman ukuran pada populasi tersebut. Dijelaskan lebih lanjut oleh Tave (1993) bahwa program persilangan (hibridisasi) pada populasi
46
ikan akan menghasilkan populasi yang seragam sedangkan perkawinan antar saudara (inbreeding) akan menghasilkan populasi yang beragam. Secara genetik, inbreeding akan menurunkan tingkat heterosigositas dan secara bersamaan akan meningkatkan tingkat homozigositas. Meskipun tidak mengubah frekuensi allel, peningkatan homozigositas pada setiap generasi ini secara perlahan akan mengubah frekuensi genotipe. Dikarenakan karakter pertumbuhan dikendalikan secara multi gen, maka frekuensi genotipe homozigot akan semakin meningkat. Tingginya keragaman genotipe pada populasi inbreed secara tidak langsung akan mengakibatkan peningkatan keragaman fenotipe. Selain frekuensi genotipe homozigot yang tinggi, populasi inbreed juga mempunyai
kemampuan
homeostasis yang rendah. Hal ini mengakibatkan masing-masing individu pada populasi tersebut mempunyai kemampuan yang beragam menghadapi kondisi lingkungan. Kedua fenomena ini diduga mengakibatkan keragaman ukuran pada populasi benih ikan nila genotipe YY lebih tinggi dibanding populasi lainnya. Selain itu, rendahnya tingkat homeostasis pada populasi inbreed juga berdampak terhadap penurunan fitness populasi. Rendahnya tingkat kebugaran pada populasi genotipe YY diduga mengakibatkan sintasan pada populasi tersebut lebih rendah (50,92-79,50%) dibanding genotipe lainnya. Secara umum tingkat sintasan rata-rata populasi ikan nila relatif tinggi (86,65-95,50%). Hal ini karena kondisi parameter-parameter fisiko-kimia media pemeliharaan berada pada kisaran yang cukup layak bagi pertumbuhan ikan nila. Berdasarkan penelitian-penelitian pada ikan dan udang yang telah dilakukan, dilaporkan bahwa aromatase inhibitor dan hormon 17a-mt yang diberikan, baik melalui pakan maupun perendaman embrio maupun larva tidak berpengaruh terhadap mortalitas ikan uji. Kwon et al. (2000) menyatakan bahwa tidak ada hubungan statistik antara mortalitas dengan pemberian aromatase inhibitor. Hal ini didukung oleh hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Piferrer et al. (1994), Mazida (2002), Nurlaela (2002), Astutik (2004), Muthalib (2004) dan Barmudi (2005). Rendahnya nila i sintasan pada genotipe YY lebih disebabkan karena adanya tekanan inbreeding pada populasi tersebut dan bukan karena adanya penambahan imidazole maupun hormon 17a-mt.