567
Evaluasi pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi ... (Didik Ariyanto)
EVALUASI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Didik Ariyanto*), Komar Sumantadinata**), dan Agus Oman Sudrajat**) Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. Jl. Raya Sukamandi No. 2, Subang 41256 E-mail:
[email protected] **) Dept. Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB *)
ABSTRAK Keberhasilan pembentukan ikan nila genotipe YY dan XX memungkinkan dilakukannya produksi massal benih dengan genotipe yang dikehendaki, misalnya XX, XY, maupun YY. Genotipe XX merupakan hasil persilangan antara induk jantan XX dengan betina XX, genotipe XY merupakan hasil persilangan induk jantan YY dengan betina XX sedangkan genotipe YY merupakan hasil persilangan induk jantan YY dengan betina YY. Penelitian ini bertujuan mengetahui laju pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi tiga genotipe ikan nila, yaitu XX, XY, dan YY pada tahap pembesaran. Benih ikan nila berumur 95 hari dengan kisaran bobot individu antara 15-20 g dipelihara selama 120 hari di dalam 12 unit jaring ukuran 4 m x 4 m yang ditempatkan di tiga buah kolam tanah ukuran 400 m2. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan pelet dengan kandungan protein kasar sebesar 28%-30% sebanyak 5%-3% dari biomassa ikan per hari. Evaluasi bobot dan panjang individu serta sintasan dilakukan pada akhir kegiatan. Jumlah sampel untuk analisis bobot dan panjang individu sebanyak 30 ekor setiap ulangan. Evaluasi perkembangan organ reproduksi dilakukan dengan menganalisis nilai indeks gonad somatik (IGS) dan analisis histologis. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 5 ekor setiap genotipe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila genotipe XY mempunyai pertumbuhan paling cepat sedangkan genotipe YY mempunyai pertumbuhan dan sintasan paling rendah. Secara umum, organ reproduksi semua genotipe berkembang normal. Perkembangan organ reproduksi genotipe campuran XX-XY lebih cepat dibanding genotipe tunggal.
KATA KUNCI:
ikan nila, genotipe, pertumbuhan, perkembangan organ reproduksi
PENDAHULUAN Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan tilapia yang indigeneous di Benua Afrika. Namun demikian, pada saat ini ikan nila telah menyebar di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia (Popma & Lovshin, 1995). Secara global, ikan tilapia merupakan salah satu komoditas penting dengan produksi dan kebutuhan yang semakin meningkat (Fitzsimmons, 2008). Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga menempatkan ikan nila sebagai salah satu ikan budidaya air tawar yang mempunyai nilai ekonomis penting dan merupakan salah satu dari 10 komoditas utama kegiatan budidaya. Secara alamiah, ikan nila jantan mempunyai genotipe XY sedangkan ikan nila betina mempunyai genotipe XX. Namun demikian, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan dilakukannya rekayasa genetik. Salah satu contoh hasil perekayasaan genetik pada ikan nila yang sudah berkembang adalah keberhasilan pembentukan ikan nila genotipe YY. Keberhasilan ini membuka peluang untuk dilakukannya produksi massal benih ikan nila dengan genotipe yang dikehendaki, misalnya genotipe XX, XY, maupun YY. Pembentukan genotipe tertentu pada ikan nila sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan benih dan induk unggul dalam kegiatan budidaya maupun untuk kajian-kajian tertentu dalam kegiatan penelitian. Dalam kegiatan budidaya, laju pertumbuhan ikan nila jantan (genotipe XY) lebih cepat dibandingkan dengan ikan nila betina (genotipe XX) (Popma & Masser, 1999). Data-data empiris pada budidaya ikan nila menunjukkan penggunaan populasi tunggal kelamin (mono-seks) jantan akan memberikan produksi lebih baik dibandingkan populasi campuran (mixed-seks) (Rakocy & McGinty, 1989; Tave, 1993 & 1996; Chapman, 2000; Dunham, 2004; Gustiano, 2006). Dalam kegiatan riset, pembentukan genotipe tertentu pada ikan nila dapat digunakan untuk kajian-kajian bioteknologi yang berkaitan dengan jenis kelamin ikan baik secara genotipe maupun fenotipe, misalnya pada kegiatan sex reversal.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
568
Fenotipe merupakan ekspresi dari genotipe. Namun demikian, kondisi lingkungan tertentu juga berpengaruh terhadap ekspresi yang muncul secara fenotipe. Genotipe yang berbeda pada suatu populasi, khususnya ikan nila, diduga akan menghasilkan ekspresi fenotipe yang berbeda pula. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan ekspresi fenotipe, khususnya laju pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi pada ikan nila genotipe XX, XY, dan YY yang dipelihara secara terpisah. Selain itu, kegiatan ini juga untuk mengevaluasi keragaan ikan nila yang dipelihara secara bersama antara genotipe XX (betina) dan XY (jantan) pada karakter yang sama. BAHAN DAN METODE Bahan utama percobaan berupa larva ikan nila genotipe XX diperoleh dengan mengawinkan induk ikan nila jantan genotipe XX dengan induk betina normal. Larva ikan nila genotipe XY diperoleh dengan mengawinkan induk ikan nila jantan genotipe YY varietas GESIT dengan induk betina normal, sedangkan larva genotipe YY diperoleh dengan mengawinkan induk ikan nila jantan genotipe YY varietas GESIT dengan induk betina genotipe YY. Induk ikan nila jantan genotipe YY dan nila jantan genotipe XX berasal dari BBPBAT Sukabumi, sedangkan induk betina yang digunakan adalah varietas NIRWANA (Nila Ras Wanayasa) yang berasal dari BPBI Wanayasa. Khusus larva genotipe YY diperoleh dari BBPBAT, Sukabumi. Hal ini karena induk betina genotipe YY hanya tersedia di institusi tersebut dan tidak diperjualbelikan. Sebagai populasi pembanding digunakan populasi larva ikan nila genotipe campuran XX dan XY, diperoleh dengan mengawinkan induk jantan normal dengan induk betina normal. Induk jantan dan betina yang digunakan dalam perkawinan normal ini adalah ikan nila varietas NIRWANA. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan faktor uji berupa genotipe ikan nila yaitu genotipe XX, XY, YY, dan campuran XX-XY. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan 4 kali. Sebelum pemijahan, dilakukan pemilihan induk dari masing-masing genotipe dan dipelihara secara terpisah antara jantan dan betina. Setelah melalui masa conditioning selama 2 minggu, induk jantan dan betina dimasukkan ke kolam pemijahan ukuran 4 m x 4 m x 0,75 m. Jumlah induk yang dipijahkan untuk masing-masing kombinasi sebanyak 10 jantan dengan 20 betina. Setelah 10 hari di kolam pemijahan, dilakukan pengecekan induk betina. Telur yang terdapat di dalam mulut induk-induk betina yang memijah diambil dan ditampung dalam wadah berisi air yang diaerasi. Selanjutnya telur hasil koleksi dimasukkan ke dalam bak penetasan dengan kepadatan 3.000 butir/bak. Jumlah bak penetasan yang digunakan untuk masing-masing kombinasi pemijahan sebanyak 2 unit. Selanjutnya larva hasil penetasan telur ditampung dalam bak fiber volume 500 L secara terpisah untuk masingmasing genotipe. Pada hari ke-5 setelah menetas, larva ditebar dalam akuarium ukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm yang diisi 75 L air dan diaerasi. Padat tebar yang digunakan adalah 4 ekor/L atau setara dengan 300 ekor per akuarium. Jumlah akuarium yang digunakan sebanyak 4 genotipe x 4 ulangan = 16 buah. Selanjutnya 4 populasi benih ikan nila tersebut dipindahkan ke dalam 16 unit hapa pendederan ukuran 2 m x 2 m x 1 m yang ditempatkan di kolam tanah ukuran 400 m2. Jarak antar masing-masing hapa adalah 0,5 m. Kepadatan benih yang ditebar sebanyak 250 ekor/hapa. Selama 60 hari masa pendederan, benih diberi pakan komersial dengan kandungan protein 32% secara adsatiasi dengan frekuensi 3 kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Pada tahap pembesaran, 4 populasi benih ikan nila ditebar dalam 16 unit waring pembesaran ukuran 4 m x 4 m x 1,5 m yang ditempatkan di kolam tanah ukuran 400 m2. Padat penebaran benih yang digunakan sebanyak 5 ekor/m2 sehingga jumlah benih di dalam masing-masing waring sebanyak 80 ekor. Selama 120 hari pemeliharaan, benih diberi pakan buatan komersial berbentuk pelet dengan kandungan protein 30%-32%. Jumlah pakan yang diberikan pada 30 hari pertama sampai keempat secara berturut sebanyak 10%; 7,5%; 5%; dan 2,5% dari biomassa ikan per hari. Pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Koleksi data meliputi bobot dan panjang individu, sintasan serta indeks gonad somatik (IGS). Bobot individu ditimbang menggunakan alat timbang digital dengan ketelitian 0,01 g sedangkan panjang diukur menggunakan mistar dengan ketelitian 0,1 cm. Jumlah sampel sebanyak 30 ekor setiap perlakuan dan setiap ulangan. Sintasan dihitung berdasarkan jumlah individu yang mampu
569
Evaluasi pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi ... (Didik Ariyanto)
bertahan hidup sampai batas akhir percobaan. Perkembangan organ reproduksi diamati pada akhir percobaan yaitu dengan menghitung indeks gonad somatik (IGS) dan melakukan analisis histologis. Jumlah sample yang dibedah sebanyak 5 ekor setiap ulangan. Sample diambil secara acak pada waktu panen. Sebagai data pendukung dilakukan analisis kualitas air media pemeliharaan meliputi suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, amonia, dan nitrit. Pengamatan menggunakan alat ukur digital dan dilakukan setiap 2 minggu sekali. Pengukuran dilakukan pada kedalaman ± 40 cm dari permukaan air. Bobot dan panjang individu, sintasan, dan GSI dianalisis menggunakan prosedur analysis of variance (ANOVA). Jika hasilnya berbeda nyata, maka untuk membedakan nilai tengah antar semua genotipe dan perlakuan digunakan uji wilayah ganda Duncan (Duncan’s multiple range test) pada taraf kepercayaan 95%. Tabulasi dan analisis data di komputer dilakukan menggunakan program Excell 2007 dan SPSS versi 12. Data kualitas air dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan referensi yang tersedia. HASIL DAN BAHASAN Hasil penghitungan bobot dan panjang individu, sintasan, dan indeks gonad somatik masingmasing populasi ikan nila pada akhir percobaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Bobot dan panjang, sintasan, dan indeks gonad somatik (IGS) ikan nila pada akhir percobaan Genotipe
Bobot (g)
Panjang (cm)
Sintasan (%)
IGS (%)
XX XY YY XX-XY
200,73±22,37a 238,86±24,72a 140,99±3,00b 174,58±3,62c
21,53±2,28ab 24,38±1,61a 19,66±1,26b 19,52±1,76b
94,06±4,49a 90,00±8,29a 50,63±6,19b 91,88±9,49a
3,33±0,28a 1,95±0,49a 1,55±0,35a 1,90±0,85a 3,65±0,21b
Nilai yang diikuti superscript yang sama tidak berbeda nyata
Analisis statistik menunjukkan bahwa genotipe yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot akhir individu ikan nila. Secara umum, genotipe XY mempunyai bobot individu rata-rata lebih baik dibandingkan genotipe lainnya. Semua genotipe, kecuali YY mempunyai bobot individu ratarata lebih baik dibanding populasi campuran XX-XY. Nilai sintasan pada percobaan ini juga dipengaruhi oleh genotipe. Genotipe YY mempunyai nilai sintasan lebih rendah (50,92%-79,50%), berbeda nyata dengan genotipe XX dan XY maupun populasi campuran XX-XY. Genotipe yang berbeda juga berpengaruh nyata terhadap indeks gonad somatik (IGS) ikan nila pada percobaan ini. Nilai IGS populasi betina pada genotipe campuran XY-XX secara nyata lebih tinggi dibanding populasi betina pada genotipe XX. Hal ini karena pada gonad betina yang berasal dari populasi campuran terdapat banyak oosit yang berukuran besar dan sudah mencapai kematangan tahap akhir (Gambar 1d). Hasil penelitian Mair et al . (1995) menunjukkan bahwa pada pembesaran ikan nila, laju pertumbuhan populasi campuran lebih lambat dibandingkan populasi tunggal kelamin jantan hasil sex reversal maupun GMT. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh sexual dimorphism, kematangan kelamin lebih dini, dan hadirnya anakan yang tidak dikehendaki pada populasi campuran. Pada percobaan ini, bobot individu pada genotipe XY (jantan) lebih baik dibandingkan dengan genotipe lainnya. Bobot individu seberat 238,86 g ini lebih tinggi 18,99%; 69,41%; dan 36,82% dibandingkan dengan bobot individu rata-rata pada populasi XX, YY, dan campuran XX-XY. Hal yang cukup menarik pada percobaan ini adalah bobot individu pada populasi tunggal kelamin betina genotipe XX jika dibandingkan dengan karakter yang sama pada populasi campuran XX-XY. Bobot individu rata-rata ulangan yang dihasilkan pada genotipe XX (betina) seberat 200,73 g. Bobot ini lebih tinggi 15,00% dibanding populasi campuran XX-XY yang hanya menghasilkan 174,58 g. Selain karena adanya sexual dimorphism, perbedaan laju pertumbuhan populasi diduga juga
570
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
A
B
C
D
Gambar 1. Hasil analisis histologi gonad ikan nila. a: genotipe XX, b: XY, c: YY, dan d: betina pada genotipe campuran XX-XY. A : tahap kromatin nukleolar, B : tahap perinukleolar, C : tahap vesikula kuning telur, D : tahap alveoli korteks, E : tahap granula kuning telur dan tanda anak panah adalah oogonia disebabkan oleh perbedaan perilaku reproduksi. Perbedaan laju pertumbuhan antara populasi genotipe XX (betina) dengan populasi campuran XX-XY diduga lebih banyak disebabkan oleh perbedaan perilaku reproduksi. Perbedaan bobot individu rata-rata antara kedua populasi terjadi mulai bulan ke-5-6 atau pada saat benih berumur antara 155-185 hari. Perbedaan bobot individu rata-rata ini akan semakin terlihat pada akhir bulan ke-7 (benih umur 215 hari). Pada umur tersebut, sebagian individu pada populasi campuran XX-XY terlihat telah mengalami kematangan gonad. Hasil analisis histologis gonad pada akhir percobaan menunjukkan bahwa ikan nila betina dari populasi campuran XX-XY telah mencapai tingkat kematangan gonad tahap IV (TKG IV) dan diameter oosit telah mencapai 5002.500 μm (Gambar 1d). Selain berdasarkan ukuran diameter oosit, TKG IV pada populasi ikan tersebut ditunjukkan dengan ditemuinya oosit yang berada dalam tahap granula kuning telur. Ikan nila betina dari populasi tunggal kelamin betina XX masih dalam tingkat kematangan gonad tahap III (TKG III) dengan diameter oosit relatif lebih kecil dan bervariasi antara 200-2.000 μm (Gambar 1a). Tahapan oosit tertua yang ditemukan pada populasi ini baru mencapai tahap vesikula kuning telur, satu tahap lebih muda dibanding tahap granula kuning telur. Selain itu juga, terdapat oosit-oosit pada tahap perkembangan yang lebih muda yaitu tahap perinukleolar, kromatin nukleolar, dan oogonia. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan gonad ikan nila betina pada populasi tunggal kelamin betina XX relatif lebih lambat dibanding populasi campuran XX-XY. Selain berdasarkan hasil analisis histologis, kematangan gonad pada populasi campuran XX-XY juga dibuktikan dengan ditemukannya individu-individu betina yang sedang mengerami telur di dalam mulutnya pada akhir percobaan. Proses pematangan gonad pada populasi campuran berimplikasi terhadap laju pertumbuhan. Hal ini karena energi yang didapatkan melalui metabolisme pakan tidak semuanya digunakan untuk pertumbuhan badan, tetapi terbagi untuk proses pematangan gonad. Mair et al. (1995) menjelaskan bahwa selain disebabkan adanya pembagian energi hasil metabolisme pakan untuk perkembangan pematangan gonad, lambatnya laju pertumbuhan populasi benih ikan nila campuran kelamin jantan dan betina juga disebabkan oleh berkurangnya konsumsi
571
Evaluasi pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi ... (Didik Ariyanto)
pakan terutama pada induk betina yang harus mengerami telur di dalam mulutnya. Selain itu, adanya anakan yang tidak dikehendaki pada populasi kelamin campuran juga mengakibatkan energi yang harus dikeluarkan dalam rangka kompetisi mencari makan semakin besar. Kondisi tersebut diduga terjadi pada percobaan ini sehingga produktivitas populasi genotipe campuran XX-XY lebih rendah dibanding populasi genotype XX. Genotipe YY mempunyai laju pertumbuhan dan sintasan paling rendah jika dibandingkan dengan genotipe lainnya. Rendahnya laju pertumbuhan genotipe YY sampai akhir percobaan dapat disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pertama adalah dugaan perbedaan sumber genetik induk betina yang digunakan dalam pemijahan. Larva ikan nila genotipe YY didapatkan dari BBPBAT, Sukabumi sedangkan genotipe lainnya diproduksi di LRPTBPAT, Sukamandi. Dugaan ini muncul karena berdasarkan hasil penelitian Saputra (2007), menunjukkan bahwa populasi benih ikan nila genotipe YY mempunyai bobot individu rata-rata tidak berbeda nyata dibandingkan benih ikan nila jantan hasil sex reversal maupun GMT (Genetically Male Tilapia). Penelitian yang dilakukan Saputra (2007) di BBPBAT, Sukabumi menggunakan larva ikan nila yang semuanya berasal dari sumber induk betina yang sama. Sedangkan pada percobaan ini, semua bahan percobaan berupa larva ikan nila didapatkan dari induk betina varietas Nirwana kecuali larva genotipe YY. Selain itu, rendahnya bobot individu ikan nila genotipe YY pada percobaan ini diduga disebabkan adanya fenomena inbreeding. Inbreeding pada populasi genotipe YY terjadi karena keterbatasan jumlah individu terseleksi pada saat awal pembentukan induk jantan super genotipe YY maupun pada saat produksi massal induk jantan super genotipe YY pada tahap selanjutnya. Produksi massal induk jantan super genotipe YY dilakukan dengan menyilangkan induk jantan super genotipe YY dengan induk betina genotipe YY. Kedua induk bergenotipe YY ini berasal dari populasi yang sama sehingga peluang terjadinya inbreeding sangat tinggi. Menurut Tave (1993), depresi inbreeding pada suatu populasi ikan dapat mengakibatkan pertumbuhan lambat, abnormalitas tinggi, asimetrisme tinggi, kematangan kelamin dini, menurunkan fitness, dan tingkat sintasan. Selain mengakibatkan rendahnya laju pertumbuhan, dugaan tingginya tingkat inbreeding populasi genotipe YY juga ditengarai dengan rendahnya sintasan pada populasi tersebut. Hal ini karena populasi inbred mempunyai kemampuan homeostasis yang rendah. Rendahnya tingkat homeostasis pada populasi inbred berdampak terhadap penurunan fitness populasi. Rendahnya tingkat kebugaran pada populasi genotipe YY diduga mengakibatkan sintasan pada populasi tersebut lebih rendah dibanding genotipe lainnya. Data pendukung berupa kualitas air rata-rata media pemeliharaan ikan nila selama percobaan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan ikan nila selama percobaan Parameter Suhu (°C) O2 (mg/L) pH NO2 (mg/L) NH3 (mg/L)
Nilai
Referensi*
28,3–30,0 1,67–5,48 7,29–7,80 0,04–0,07 0,10–0,29
25,0–32,0 >5 6,5–9,0 < 0,5 < 1,0
* Kebutuhan ikan dalam media budidaya (Boyd, 1990)
Secara umum, kualitas air media pemeliharaan ikan memenuhi standar kebutuhan budidaya ikan. Rendahnya oksigen terlarut yang mencapai 1,67 mg/L biasanya terjadi pada pagi hari, yaitu pada pukul 05.00 sampai 05.30. Namun demikian, kondisi tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi ikan nila yang dipelihara. Hal ini karena ikan nila mempunyai daya toleransi tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan pemeliharaan, termasuk fluktuasi kadar oksigen terlarut dalam perairan. Popma & Masser (1999) mengatakan bahwa ikan tilapia dapat bertahan hidup pada kondisi oksigen terlarut kurang dari 0,3 mg/L. Namun sangat disarankan untuk mempertahankan jumlah oksigen terlarut pada budidaya ikan nila minimal sebesar 1 mg/L. Secara umum, kualitas perairan yang baik
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
572
mendukung untuk berlangsungnya kehidupan suatu organisme. Tingkat sintasan rata-rata populasi ikan nila yang relatif tinggi (86,65%-95,50%) tidak terlepas dari kondisi tersebut. Rendahnya nilai sintasan pada genotipe YY lebih disebabkan karena adanya tekanan inbreeding pada populasi tersebut dan bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas perairan media pemeliharaan. KESIMPULAN DAN SARAN Genotipe XY mempunyai laju pertumbuhan 18,99%; 69,41%; dan 36,82% lebih baik dibandingkan dengan genotipe XX, YY, dan campuran XX-XY. Populasi betina (XX) yang dipelihara secara terpisah mempunyai laju pertumbuhan lebih baik dibanding populasi betina (XX) yang dipelihara secara campuran dengan populasi jantan (XY). Rendahnya laju pertumbuhan dan sintasan genotipe YY disebabkan oleh adanya tekanan inbreeding pada populasi tersebut. Dalam rangka peningkatan produktivitas budidaya ikan nila, disarankan untuk menggunakan populasi tunggal genotipe XY pada setiap kegiatan budidaya. DAFTAR ACUAN Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama: Auburn University Press. Chapman, F.A. 2000. Culture of hybrid tilapia : A reference profile. SIR. 1050. Univ. of Florida, 5 pp. Dunham, R. A. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic Approaches. New York: CABI Publishing. Fitzsimmons, K. 2008. Tilapia production, innovations, and markets. 8th Intl. Symp. on Tilapia in Aquaculture. Cairo, 12-14 October 2008. Gustiano, R. 2006. Perbaikan mutu genetik ikan nila. Makalah Bidang Riset Perikanan Budidaya. Simposium Kelautan dan Perikanan. Jakarta, 8 hlm. Mair, G.C., Abucay, J.S., Beardmore, J.A., & Skibinski, D.O.F. 1995. Growth performance trials of genetically male tilapia (GMT) derived from YY-males in Oreochromis niloticus L.: On station comparisons with mixed sex and reversed male populations. Aquaculture, 137: 313-322. Popma, T.J. & Lovshin, L.L. 1995. Worldwide prospects for commercial production of tilapia. International Center for Aquaculture and Aquatic Environments. Department of Fisheries and Allied Aquacultures. Auburn University, Alabama 36849, 42 pp. Popma, T.J. & Masser, M. 1999. Tilapia : Life history and biology. SRAC Publ., 283: 4. Rakocy, J.E. & McGinty, A.S. 1989. Pond culture of tilapia. SRAC Publ. No. 280, 4 pp. Saputra, A. 2007. Pertumbuhan benih ikan nila hasil sex reversal, benih Genetically Male Tilapia dan benih YY. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tave, D. 1993. Genetic for Fish Hatchery Managers. 2nd ed. New York: AVI Book Publishing. Tave, D. 1996. Selective breeding programmes for medium sized fish farms. Rome: FAO Fish Tech Paper 352.