Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
HARMONISASI KEBIJAKAN PANGAN NASIONAL DAN DAERAH Hermanto
PENDAHULUAN Sebagai negara agraris dan maritim yang besar, Indonesia mempunyai sumber daya pangan yang besar, sehingga secara normatif sebenarnya tidak perlu ada kendala dalam menuhi penyediaan pangan bagi seluruh rakyatnya. Namun pada kenyataanya, dewasa ini Indonesia masih dihadapkan oleh berbagai masalah dan tantangan dalam menyediaakan pangan bagi seluruh rakyatnya. Dalam era globalisasi ekonomi dan perdagangan, serta dalam proses desentralisasi ekonomi yang sedang berjalan, di satu sisi Indonesia mengahadapi masalah dan tantangan, baik yang berasal dari luar negeri, maupun yang berasal dari dalam negeri. Namun di sisi lain, Indonesia juga mempunyai potensi dan peluang untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dan berdaulat, bahkan dapat berkontribusi bagi ketahanan pangan dunia. Mengingat bahwa pangan merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia, maka penyediaan pangan yang cukup dan berkelanjutan bagi segenap rakyat Indonesia yang pada tahun 2014 berjumlah sekitar 252 juta jiwa, dan tumbuh dengan laju 1,38 persen per tahun (BPS. 2013) bukan merupakan masalah yang mudah dan sederhana. Di lingkungan global, Indonesia menghadapi ancaman krisis pangan yang mungkin akan terjadi secara berulang di masa yang akan datang. Di lingkup nasional, Indonesia juga dihadapkan pada masalah terbatasnya kapasitas produksi pangan, dan masalah kebutuhan pangan yang selalu meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, dan perubahan pola permintaan pangan masyarakat. Sebagai payung hukum bagi pembangunan pangan nasional, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan (selanjutnya ditulis UU 18/2012) mengamanatkan agar ketahanan pangan nasional dibangun berdasarkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Menurut UU 18/2012 yang dimaksud dengan kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Adapun pengertian kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan yang cukup sampai ditingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Sedangkan pengertian tentang ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
341
Harmonisasi Kebijakan Pangan Nasional dan Daerah
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berekelanjutan. Dari pengertian tentang kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan dalam UU 18/2012 tersebut dapat diketahui bahwa kedaulatan dan kemandirian pangan dapat dipandang sebagai landasan filosofis bagi politik dan kebijakan pangan nasional. Kedaulatan pangan memberikan arahan bagi politik pangan nasional, serta pemihakan politik pangan kepada masyarakat, baik selaku konsumen maupun sebagai produsen. Adapun, kemandirian pangan pangan merupakan arah dari kebijakan pangan nasional, yang lebih mengutamakan pada pemanfaatan sumber daya pangan yang beragam dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia. Sedangkan ketahanan pangan dapat dipandang sebagai output dan outcome, yang merupakan perwujudan dari politik dan kebijakan pangan nasional. Undang-Undang No 18/2012 juga merupakan acuan bagi penyelenggaraan pangan nasional. Secara umum undang-undang ini sudah mengatur peran masingmasing tingkat pemerintahan dalam pembangunan ketahanan pangan nasional. Dalam hal ini Pemerintah Pusat (selanjutnya disebut dengan Pemerintah), Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sesuai dengan tugas, tanggung jawab dan kewenangan masing-masing melaksanakan pengaturan penyelenggaraan pangan yang meliputi berbagai bidang urusan sebagai berikut: perencanaan pangan, ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, keamanan pangan, label dan iklan pangan, sistem informasi pangan, penelitian dan pengembangan pangan, kelembagaan pangan, peran serta masyarakat, pengawasan dan penyidikan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang berdaulat dan mandiri, serta menghadapi kompleksnya permasalahan pangan yang dihadapi, dan besarnya tantangan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya pangan nasional bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, maka diperlukan suatu kebijakan pangan nasional yang komprehensif dan terintegrasi dengan kebijakan sektoral terkait. Kebijakan pangan nasional tersebut juga perlu didukung oleh kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, agar dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tulisan ini merupakan suatu kajian analitik berdasarkan literatur yang bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai kendala dan permasalahan, serta potensi dan peluang dalam pembangunan pangan nasional. Adapun pokok bahasan dalam pemecahan masalah akan difokuskan pada analisis kebijakan pangan, dalam perspektif keterkaitan antara kebijakan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten /Kota, di dalam era globalisasi ekonomi dan otonomi daerah. Dari kajian ini diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi untuk melakukan harmonisasi kebijakan pangan antara pusat dan daerah. Kebijakan pangan nasional yang komprehensif dan terintegrasi antar sektor, serta tersinkronisasi antara pusat dan daerah, diperlukan dalam rangka membangun ketahanan pangan nasional yang berdaulat dan mandiri.
342
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
MASALAH DAN PELUANG PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN Lingkungan Global Selama dua dasa warsa terakhir ini, paling tidak sudah terjadi tiga kali krisis pangan dunia dengan penyebab yang berbeda-beda. Pada tahun 1998 terjadi krisis pangan dunia dengan penyebab utama adalah faktor perubahan iklim global. Krisis pangan global terjadi kembali pada tahun 2008 dengan penyebab yang lebih kompleks. Pada tahun 2012 harga pangan dunia kembali melonjak dengan penyebab utama krisis finansial di Amerika Serikat. Pada tahun 1997-1998, harga pangan di pasar regional Asia Tenggara, khususnya harga beras yang merupakan makanan pokok bagi penduduk di wilayah ini, melonjak dengan tajam seiring dengan jatuhnya nilai tukar mata uang Indonesia, Korea dan Thailand, terhadap nilai dollar Amerika Serikat. Dampak negatif dari krisis moneter, dikombinasikan dengan dampak negatif dari kekeringan yang meluas akibat terjadinya El Nino, sangat menekan pendapatan dan daya beli penduduk miskin di perkotraan dan petani kecil di pedesaan (Barrett and Sahn. 2001). Lonjakan harga pangan dunia pada tahun 2008 disebabkan oleh gabungan pengaruh beberapa faktor. Dalam jangka panjang terjadi peningkatan permintaan pangan karena laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Keadaan ini dipicu oleh terjadinya kekeringan, terlambatnya respons penyediaan (supply), jatuhnya nilai tukar dollar Amerika Serikat, melambungnya harga energi yang mendorong kenaikan permintaan biofuel. Disamping itu, gejolak harga pangan dunia tidak lepas dari pengaruh spekulasi para investor yang melakukan diversifikasi portofolio investasinya ke pasar komoditas pangan. Namun demikian, faktor penentu penyebab terjadinya krisis pangan dunia sebenarnya adalah menurunnya kapasitas produksi pangan dunia karena kurangnya insentif dan dukungan terhadap sektor pertanian (Panitchpakdi. 2008). Chandrasekhar and Ghosh (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan pangan dalam jangka pendek pada saat krisis pangan dunia adalah konversi lahan pertanian dan diversifikasi produksi pangan untuk produksi biofuel. Penyediaan pangan dalam jangka menengah juga dipengaruhi oleh meningkatnya biaya produksi, turunnya produktivitas karena penurunan kualitas tanah, kurangnya investasi pemerintah untuk penelitian dan pengembangan, serta dampak negatif dari perubahan iklim global. Disamping itu, deregulasi di bursa komoditas yang terjadi pada tahun 2000, menyebabkan masuknya investor baru, termasuk para pialang dana, pengelola dana pensiun,dan bank investor ke bursa komoditas, tanpa adanya batasan jumlah dana yang diinvestasikan, tanpa adanya pengaturan dan pengawasan yang ketat. Keadaan ini memicu terjadinya spekulasi di bursa komoditas pangan.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
343
Harmonisasi Kebijakan Pangan Nasional dan Daerah
Khusus untuk beras, karena pasar beras dunia merupakan pasar yang “tipis”, dalam arti volumenya relatif kecil dibandingkan total produksi dan kebutuhan beras dunia, maka gejolak harga dan pasokan beras di pasar beras dunia juga rentan terhadap kebijakan pemerintah, baik oleh negara pengekspor maupun negara pengimpor beras. Dawe and Slayton (2011) menyatakan bahwa intervensi pemerintah, baik oleh negara pengekspor, maupun pengimpor beras, secara kumulatif dapat memicu ketidakpastian di pasar beras dunia, sehingga menimbulkan kepanikan di pihak pemerintah, petani produsen, pedagang, dan konsumen. Menurut perkembangan indeks harga pangan dunia (FAO. 2014), harga nominal pangan dunia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, walaupun sudah ada gejala penurunan harga pangan setelah harga nominal pangan dunia mencapai puncaknya pada tahun 2012. Dengan melihat kecenderungan indeks harga nominal pangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa harga pangan dunia akan terus meningkat, dengan potensi adanya gejolak harga pangan yang diakibatkan oleh adanya goncangan yang terjadi di sisi penyediaan dan permintaan pangan, serta faktor-faktor lainnya yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan penyediaan dan permintaan pangan di pasar dunia, seperti gejolak harga energi dan krisis finansial (Gambar 1.) Gambar 1 juga menunjukkan dinamika harga riil pangan di pasar dunia. Dari dinamika harga riil pangan dunia tersebut, perkembangan harga riil pangan dapat dibedakan atas tiga periode. Pertama adalah periode dimana harga pangan relatif stabil pada harga yang tinggi, yaitu perkembangan harga riil pangan yang terjadi selama periode tahun 1960 – 1970. Kedua adalah periode dimana harga riil pangan dunia relatif stabil pada harga yang rendah, seperti ditunjukkan oleh perkembangan harga riil pangan dunia selama periode tahun 1980 – 2005. Ketiga adalah periode dimana terjadi gejolak harga riil pangan dunia, yaitu yang terjadi pada saat terjadinya
Gambar 1. Perkembangan Indeks Harga Nominal dan Harga Riil Pangan Dunia (FAO, 2014).
344
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
krisis pangan dunia, seperti yang terjadi di sekitar tahun 1975, 1998, 2008 dan 2012. Setelah tahun 2013, harga riil pangan dunia cenderung ke pada era di mana terjadi perkembangan harga pangan yang relatif satbil pada harga riil yang tinggi seperti yang terjadi pada periode tahun 1960 – 1970. Harga pangan dunia yang tinggi dan cenderung meningkat, secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi harga pangan di dalam negeri. Di satu sisi, harga pangan dunia yang tinggi dan bergejolak sudah barang tentu dapat merupakan ancaman bagi ketahanan pangan nasional, karena dapat mengurangi daya beli dan akses pangan, terutama bagi golongan masyarakat miskin, yang pada gilirannya akan menimbulkan kerawanan pangan dan gizi. Di sisi lain, harga pangan yang cenderung meningkat, justru merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor pangannya. Indonesia merupakan negera pengekspor beberapa komoditas perkebunan, sperti minyak sawit (CPO), kakao, kopi, dan teh. Selain itu Indonesia juga merupakan negara pengekspor komoditas perikanan, seperti udang, tuna, cakalang, dan rumput laut.
Lingkup Nasional Walaupun sebagai negara agraris dan negara maritim yang kaya akan sumber daya alamnya, Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan pangan pada lingkup nasional. Berbagai permasalahan tersebut secara garis besarnya dapat dibedakan atas permasalahan ketersediaan pangan, distribusi pangan, penggunaan pangan, dan pengelolaan pangan. Suryana (2012) menyatakan beberapa masalah ketahanan pangan nasional, yaitu: (a) masalah ketersediaan pangan, yang disebabkan oleh konversi lahan pertanian yang masih tinggi dan tidak terkendali (sekitar 65.000 ha/th), kompetisi pemanfaatan dan degradasi sumberdaya air semakin meningkat, dan infrastruktur pertanian/perdesaan masih kurang memadai (jaringan irigasi yang rusak sekitar 52%), (b) masalah distribusi pangan, yang terkait dengan belum memadainya prasarana dan sarana transportasi sehingga meningkatkan biaya distribusi/ pemasaran pangan dan sebaran produklsi pangan yang tidak menentu, baik antar waktu (panen raya dan paceklik) ataupun antar daerah (di Jawa surplus dan di Papua defisit), (c) masalah penggunaan pangan, karena laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi (periode 2000-2010 = 1,49 % per tahun), dengan jumlah penduduk yang besar, jumlah penduduk rawan pangan yang masih relatif tinggi (+ 13 % dari total penduduk), dan ketergantungan konsumsi beras dalam konsumsi pangan yang masih tinggi (konsumsi beras 139,15 kg/th/kapita), (d) masalah pengelolaan pangan, yanng ditunjukan oleh beberapa daerah di Indonesia rawan bencana alam, yang menyulitkan bagi pengembangan ketahanan pangan yang berkelanjutan serta (e) masalah penyelenggaraan pangan kaitannya dengan otonomi daerah. Sebaran produksi padi, jagung dan ubikayu menurut wilayah masing-masing dapat dilihat pada Gambar 2, 3, dan 4. Dari pola sebaran produksi padi, jagung, dan ubi kayu tersebut dapat diketahui, bahwa sampai dengan saat ini, produksi beberapa komoditas pangan strategis masih terkonsentrasi di Jawa. Permasalahannya adalah
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
345
Harmonisasi Kebijakan Pangan Nasional dan Daerah
bahwa konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian terbesar terjadi di Jawa. Perlu adanya lahan pengganti di luar Jawa untuk mengkompensasi kehilangan potensi produksi tanaman pangan di Jawa.
Gambar 2. Pangsa Produksi Padi Th 2000-2012
Gambar 3. Pangsa Produksi Jagung Th 2000-2012
Sumber: BPS (data diolah) Gambar 4. Pangsa Produksi Ubi Kayu Th 2000-2012
346
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Masalah lain yang juga dihadapi oleh Indonesia dalam rangka membangun ketahanan pangan nasional yang berdaulat dan mandiri di dalam era globalisasi ekonomi ini adalah lemahnya daya saing produksi pangan nasional. Husen (2013) menyatakan bahwa lemahnya daya saing produksi pangan nasional antara lain disebabkan oleh: (a) masih lemahnya dukungan hasil litbang khususnya di bidang pasca panen, pengolahan dan informasi pasar, (b) hasil inovasi dan teknologi relatif belum terpublikasikan secara luas dan dan disadari oleh pengguna potensial, termasuk dunia usaha, dan (c) Kurangnya dukungan infrastruktur yang memadai (irigasi, jalan, pelabuhan, gudang dsb).
MASALAH DAN POTENSI OTONOMI DAERAH DALAM PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah Dalam kaitannya dengan proses desentralisasi ekonomi nasional, Indonesia telah memasuki era reformasi sejak tahun 1998. Selama kurang lebih 16 (enam belas) tahun ini banyak terjadi perubahan dalam tata kepemerintahan. Salah satu perubahan mendasar dalam tata kepemerintahan nasional adalah perubahan dari sistem kepemerintahan yang lebih bersifat sentralistik, menjadi sistem kepemerintahan yang lebih terdesentralisasi, yang ditandai dengan diimplementasikannya sistem kepemerintahan otonomi daerah. Pencanangan sistem otonomi daerah di era reformasi ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hingga saat ini UU 22/1999 sudah mengalami dua kali revisi, yaitu menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan perubahan terakhir direvisi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kaitannya dengan sistem ketahanan pangan nasional, UU 32/2004 mempunyai peran strategis dalam meletakkan dasar tentang pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Ada dua kewenangan Pemerintah Daerah yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan ketahanan pangan, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman kepada standard pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah dan dilaksanakan secara bertahap. Adapun urusan pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Suryana (2012) menyatakan bahwa pembangunan ketahanan pangan adalah tanggung jawab kolektif yang dilaksanakan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
347
Harmonisasi Kebijakan Pangan Nasional dan Daerah
dasar manusia dan keberlanjutan ketahanan pangan suatu bangsa. Selanjutnya, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemeritahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, ketahanan pangan merupakan urusan wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan pertanian menurut peraturan pemerintah ini merupakan urusan pilihan.
Permasalahan Pembangunan Ketahanan Pangan Peneyelenggaraan pangan dalam era otonomi daerah sudah mempunyai landasan hukum dan peraturan perundang-undangan yang cukup kuat dan komprehensif, bahkan dalam hal ini sudah dilengkapi dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 65/Permentan/OT.140/ 12/2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten Kota. Namun demikian dalam pelaksanaanya, penyelenggaraan pangan di Indonesia masih menemui berbagai permasalahan dan kendala. Boytenjuri (2012) menyatakan bahwa program pembangunan yang selama ini dilaksanakan belum menjangkau ke seluruh wilayah tanah air. Masih terjadi ketidak seimbangan tingkat pembangunan antar daerah dan kawasan. Di era otonomi daerah, penyelengaraan pemerintahan belum sepenuhnya menerapkan kaidah good governance. Masih didapati kurangnya kemauan politik di daerah dalam mengelola sumber kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya sarana dan prasarana, serta masih rendahnya penguasaan teknologi. Masih lemahnya penegakan hukum dan serta adanya peraturan yang masih tumpang tindih, mengakibatkan pemerintahan daerah belum berjalan secara efektif dan efisien. Suryana (2011) menyatakan bahwa permasalahan fundamental yang dihadapi daerah otonom dalam membangun ketahanan pangan di wilayahnya, antara lain adalah: 1.
Kurangnya pemahaman daerah terhadap pentingnya ketahanan pangan, dimana daerah lebih mementingkan kebijakan untuk meningkatkan PAD-nya daripada kebijakan ketahanan pangan.
2.
Kurangnya pemahanan daerah dalam melaksanakan peruntukan lahan, sehingga berdampak semakin berkurangnya lahan-lahan produktif untuk pertanian.
3.
Kondisi obyektif di masing-masing daerah menunjukkan bahwa tidak semua daerah mempunyai lahan yang cocok untuk pertanian.
4.
Penurunan intensitas dukungan dan pelayanan terhadap masyarakat khususnya terhadap pelaku usaha di bidang pangan.
5.
Penyediaan prasarana usaha pertanian di pedesaan, pelayanan sarana produksi, pengembangan teknologi, dukungan permodalan dan pemasaram kurang menjadi prioritas daerah.
348
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Pada tataran operasional, pembangunan ketahanan pangan di era desentralisasi, masih menghadapi beberapa kendala, antara lain adalah (Sarjana, 2010): 1.
Masih kurangnya saling tukar informasi dan konsultasi antara Pemerintah Daerah dan masyarakat.
2.
Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam program-program Pemerintah Daerah.
3.
Pemanfaatan anggaran Pemerintah Daerah untuk ketahanan pangan yang masih belum efektif dan efisien.
4.
Masih kurangnya tatalaksana kepemerintahan dalam pembangunan ketahanan pangan karena masih kurangnya koordinasi antara dinas dan lembaga terkait di daerah.
5.
Masih kurangnya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan, karena beberapa program masih bersifat jangka pendek dan sering menciptakan ketergantungan masyarakat kepada program-program Pemerintah Daerah.
Potensi Daerah Dalam Membangun Ketahanan Pangan Salah satu dampak positif dari sistem densetralisasi kepemerintahan, adalah bahwa Pemerintah Daerah dapat mengidentifikasi dan menghargai ketahanan pangan sebagai salah satu agenda politik yang vital di daerahnya (Sarjana 2010). Berikut adalah beberapa contoh dampak positif dari otonomi daerah di bidang ketahanan pangan: 1.
Beberapa Pemerintah Daerah telah menunjukkan kemauan politiknya untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memasukan ketahanan pangan sebagai salah satu program prioritas pembangunan daerah.
2.
Beberapa Pemerintah Daerah telah mencoba untuk lebih responsif terhadap permasalahan dan kondisi ketahanan pangan penduduk setempat, serta menjadikannya sebagai basis bagi pembanguanan ketahanan pangan daerah.
Suryana (2011) menyatakan bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan dalam menetapkan prioritas pembangunan masing-masing daerah. Peran daerah dalam pembangunan ketahanan pangan haruslah memperhatikan: 1.
Mengembangkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing daerah sesuai dengan potensi sumberdaya spesifik yang dimilikinya, serta disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya setempat.
2.
Menerapkan kebijakan yang terbuka dalam arti menselaraskan kebijakan ketahanan pangan daerah dengan kebijakan ketahanan pangan nasional.
3.
Meningkatkan stok pangan lokal bagi pemenuhan pangan penduduknya.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
349
Harmonisasi Kebijakan Pangan Nasional dan Daerah
4.
Mendorong terjadinya perdagangan antar daerah.
5.
Mendorong terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan.
HARMONISASI KEBIJAKAN PUSAT DAN DAERAH Kebijakan ekonomi makro merupakan elemen kunci bagi kebijakan ketahanan pangan dan memberikan lingkungan strategis bagi implementasi kebijakan pangan di daerah. Kebijakan katahanan pangan nasional dapat dipandang sebagai spektrum yang kontinyu yang menghubungkan perpektif kesejahteraan individu ditingkat mikro, dengan perspektif ketersediaan pangan yang berkelanjutan ditingkat lokal, regional dan nasional (DAI, 2002). Oleh karena itu, dalam rangka pembangunan ketahanan pangan yang berdaulat dan mandiri, kebijakan ketahanan pangan nasional perlu diintegrasikan dengan pembangunan ekonomi makro nasional. Selain itu, agar kebijakan ketahanan pangan nasional dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien di daerah, maka perlu adanya harmonisasi kebijakan pemerintah daerah yang terkait dengan ketahanan pangan dengan kebijakan ketahanan pangan nasional. Sarjana (2010) menyatakan bahwa ketahanan pangan dikelola melalui jejaring kerja yang kompleks mulai dari tingkat global, regional, nasional, sampai ke tingkat lokal. Masing-masing tingkatan mempunyai tata kepemerintahan dan kelembaganaan sendiri-sendiri. Dalam konteks desentralisasi, perlu adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya, perlu adanya peningkatan peran Dewan Ketahanan Pangan, yang merupakan forum koordinasi antar instansi dan lembaga di masing-masing tingkatan, mulai dari tingkat lokal sampai ke tingkat Pusat. Untuk mengatasi berbagai permasalahan fundamental pembanguanan ketahanan pangan pada daerah otonom, maka strategi yang perlu dijalankan oleh pemerintah daerah, yaitu (Suryana, 2011): 1.
Memperlancar pasokan dan memfasilitasi keterjangkauan masyarakat terhadap pangan
2.
Memproteksi sitem ekonomi dalam negeri/daerah dari persaingan yang kurang menguntungkan khususnya tekanan perdagangan global
3.
Mengembangkan strategi dengan justifikasi yang tepat sehingga tidak bertentangan dengan kaidah organisasi perdagangan internasional yang telah disepakati
Dalam rangka pemantapan pembangunan ketahanan pangan di daerah, Rusastra et al. (2008) menyatakan perlunya memperluas dan melengkapi kebijakan pemabangunan pertanian dan perdesaan, dengan menpertimbangkan berbagai aspek sebagai berikut:
350
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
1.
Meningkatkan kapasitas produksi, serta meningkatkan infrastruktur pertanian dan perdesaan.
2.
Meningkatkan ketersediaan dan distribusi aset produktif, serta meningkatkan akses petani, terutama akses petani kecil terhadap lahan.
3.
Meningkatkan produktivitas dan mengembangkan sistem pemasaran.
4.
Meningkatkan diversifikasi usaha meningkatkan kesempatan kerja.
5.
Memfasilitasi sektor swasta dalam penelitian dan pengembangan, pengembangan infrastruktur, serta peningkatan efisiensi pemasaran.
6.
Mempercepat transformasi struktural melalui penyeimbangan investasi dan pembangunan di desa dan kota, menuju peningkatan produktivitas pertanian dan non pertanian.
pertanian
dan
non
pertanian,
serta
Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah, hendaknya kebijakan ketahanan pangan dapat menjangkau petani kecil melalui pasar dengan (DAI, 2002): a) mengembangkan efektivitas pasar di pedesaan, dan b) mengembangkan pasar pedesaan yang efisien. Selanjutnya, DAI (2002) juga menyarankan untuk meningkatkan investasi pertanian di pedesaan guna meningkatkan produktivitas petani kecil, antara lain melalui: 1.
Pembangunan infrastruktur publik
2.
Pembangunan prasarana irigasi
3.
Pengembangan sistem penelitian dan penyuluhan
4.
Stabilisasi harga pangan
5.
Peningkatan kompetensi kepemerintahan dalam manajemen ekonomi
Mayrowani (2012) mengemukakan beberapa alternatif kebijakan untuk pengembangan pertanian pada era otonomi daerah sebagai berikut: 1.
Melakukan pengawasan yang baik terhadap implementasi kebijakan perpajakan agar iklim investasi di daerah dapat berkembang dengan baik dan selaras dengan kondisi keuangan daerah.
2.
Melakukan identifikasi wilayah pengembangan pertanian yang potensial berdasarkan pemahaman atas kondisi lokal dan memformulasikan strategi pengembangan pertanian yang sepenuhnya mendaya gunakan potensi wilayah tersebut.
3.
Memaksimalkan efisiensi dalam implementasi kebijakan, melalui penyusunan program dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya petani setempat.
4.
Menyelaraskan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
351
Harmonisasi Kebijakan Pangan Nasional dan Daerah
PENUTUP Pangan termasuk kebutuhan dasar yang merupakan hak azasi bagi setiap rakyat Indonesia yang pemenuhannya dijamin oleh undang-undang. Sebagai negara agraris dan maritim, serta sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, maka ketahanan pangan nasional dibangaun berdasarkan azas kedaulatan dan kemandirian. Dalam era globalisasi ekonomi dan perdagangan pangan, perlu adanya kebijakan untuk mengantisipasi terulangnya krisis pangan dunia, serta kebijakan yang mengantisipasi dampak dari kenaikan harga dan lonjakan harga pangan di pasar dunia. Disamping itu perlu adanya kebijakan pangan, yang merupakan bagian dari social safety net, yaitu kebijakan untuk menjaga akses pangan bagi golongan masyarakat miskin, terutama pada saat terjadinya krisis pangan. Dalam jangka menengah dan panjang, perlu adanya kebijakan untuk mengamankan kapasitas produksi pangan dalam negeri secara berkelanjutan, mengingat semakin tingginya permintaan konversi produksi dan sumber daya pangan untuk bio energy. Di samping itu, dalam rangka memanfaatkan peluang pengembangan ekspor produk pangan ke pasar global, perlu adanya kebijakan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan daya saing produksi pangan Indonesia, sehingga dapat bersaing di pasar global. Dalam proses otonomi daerah yang baru berjalan sekitar 16 (enam belas) tahun, sudah barang tentu masih banyak permasalahan yang terkait dengan koordinasi dan harmonisasi kebijakan pangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun demikian, sebenarnya otonomi daerah juga memberi peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatkan sumber pangan lokal, menjadi produk pangan unggulan, baik di tingkat daerah, nasional, maupun di pasar global. Diperlukan beberapa upaya strategis dalam rangka penyelarasan atau harmonisasi antara kebijakan ketahanan pangan nasional dan kebijakan ketahanan daerah, antara lain sebagai berikut: 1.
Perlunya peningkatan pemahaman bagi pimpinan dan aparat Pemerintah Daerah tentang pentingnya ketahanan pangan sebagai urusan wajib untuk dilaksanakan daerah.
2.
Perlu adanya komitmen politik dari pemerintahan daerah untuk memberikan prioritas bagi pembangunan ketahanan pangan di daerah, serta memberikan alokasi sumber daya dan dana yang memadai untuk pembangunan ketahanan pangan di daerah.
3.
Perlunya meningkatkan kapasitas kelembagaan ketahanan pangan, baik di tingkat pusat, tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota agar mampu menjalankan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan ketahan pangan pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
352
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
4.
Perlunya meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan ketahanan pangan daerah, baik secara vertikal maupun secara horizontal, dengan meningkatkan peran kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan sebagai forum koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
5.
Perlunya menjalankan prinsip good governance agar dapat mengimplementasikan kebijakan ketahanan pangan secara efektif dan efisien.
6.
Perlunya melakukan pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah, untuk menjamin agar manfaat dari pembanguanan ketahanan pangan dapat dirasakan oleh segenap rakyat di seluruh wilkayah NKRI.
Berikut adalah beberapa aspek pembanguanan yang perlu mendapatkan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan di daerah: 1.
Meningkatkan kapasitas produksi, serta meningkatkan infrastruktur pertanian dan perdesaan. Khusus bagi Pulau Jawa, perlu dilakukan pencegahan alih fingsi lahan pertanian. Sedangkan di luar Jawa, perlu dilakukan pengembangan infratruktur pertanian mendukung perluasan lahan pertanian pangan.
2.
Meningkatkan ketersediaan dan distribusi aset produktif, serta meningkatkan akses petani, terutama akses petani kecil terhadap lahan dan sumber daya air.
3.
Meningkatkan produktivitas pangan dan mengembangkan sistem distribusi dan pemasarannya.
4.
Meningkatkan diversifikasi usaha pertanian, serta mengembangkan produksi dan pengolahan pangan lokal, dalam rangka pengembangan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja di pedesaan.
5.
Memfasilitasi peran sektor swasta dalam penelitian dan pengembangan, pengembangan infrastruktur, serta peningkatan efisiensi pemasaran dan distribusi pangan.
6.
Meningkatkan kapasitas dan peran serta masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan di daerah.
7.
Mempercepat transformasi struktural melalui penyeimbangan investasi dan pembangunan di desa dan kota, menuju peningkatan produktivitas pertanian dan non pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Barrett, C.B. and D.E. Sahn. 2001. Food Policy IN Crisis Management. Cornell University. http://dyson.cornell.edu/faculty_sites/cbb2/files/papers/worldbankpaper.pdf Boytenjuri. 2012. Pemahaman Konsepsi Ketahanan Nasional Oleh Aparatur Pemerintah Daerah di Era Otonomi Daerah Dapat Meningkatkan Ketahanan Pangan.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
353
Harmonisasi Kebijakan Pangan Nasional dan Daerah
Essay Bidang Studi Ketahanan Nasional. Program Pendidikan Reguler Angkatan XLVIII. Lembaga Ketahanan Nasional RI. BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 - 2035. Indonesia Population Projection 2010-2035. Badan Perencanaan Dan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United Nations Population Fund. Jakarta. Chandrasekhar, C.P., and J. Ghosh. 2012. Addressing the global food crisis: Causes, implications and policy options. AUGUR Working Paper, March 2012 (WP# 7). http://www.augurproject.eu/IMG/Global_food_markets_GhoshChandra sekhar_March2012. pdf DAI. 2002. Food Security in an Era of Decentralization: Historical Lesson and Policy Implication for Indonesia. Indonesian Food Policy Program. Working Paper No. 7. BAPPENAS/Departemen Pertanian/USAID/DAI Food Policy Advisory Team. http://www.macrofoodpolicy.com Dawe, D. dan T. Slayton. 2011. The world rice market in 2007-2008. In A. Prakash (Ed.). Safeguarding food security in volatile global markets. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. FAO. 2014. World Food Situation. http://www.fao.org/worldfoodsituation/en/ Husen, S. 2013. Prospek Pemberlakuan MEA 2015 Bagi Pelaku Usaha Sektor Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Sumberdaya Lokal Menuju Kemandirian Pangan Menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean 2015 ( MEA 2015 ). Padang 21-22 Oktober 2013”. Mayrowani, H. 2012. Pembangunan Pertanian Pada Era Otonomi Daerah: Kebijakan dan Implementasi. FAE, Volume 30 No. 1, Juli 2012: 31 – 47. Panitchpakdi, S. 2008. The Global Food Crisis: Causes And Policy Response. http://www.mfa.gov.tr/data/Kutuphane/yayinlar/EkonomikSorunlarDergisi /sayi30/journal.pdf Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 65/Permentan/OT.140/12/2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemeritahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Rusastra, I.W., G. Thompson, and T. Botema. 2008. Food Security, Poverty, and Complexity of Rural Development in Indonesia – Achievement and Policy Directions. In Rusastra, I.W., G. Thompson, T. Botema, and R. Baldwin (Eds). Food Security and Poverty in The Era of Decentralization in Indonesia. CAPSA Working Paper No. 102. UNESCAP-CAPSA.
354
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian
Sarjana, I.M.B. 2010. Governance for Food Security. The Case of Indonesia in Decentralization Era. Maastricht University. The Netherlands. Suryana, A. 2011. Perkembangan Misi Ketahanan Pangan dan Kemandirian Pangan di Era Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Acara Seminar Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Suryana, A. 2012. Kebijakan Penyediaan Pangan Dalam Memenuhi Konsumsi Gizi Masyarakat. Makalah disampaikan pada Acara Sosialisasi Gerakan Nasional Sadar Gizi, di Jakarta tanggal 27 Desember 2012. Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
355