DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………….. HALAMAN PRASYARAT GELAR MAGISTER ………………………… LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………… HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN TESIS ……………………… SURAT PERNYATAAN ……………………………………………………… UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………………… ABSTRAK……………………………………………………………………… ABSTRACT…………………………………………………………………….. RINGKASAN…………………………………………………………………… DAFTAR ISI………………………………………………………………….…
i ii iii iv v vi ix x xi xiv
BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................
16
1.3. Ruang Lingkup Masalah ......................................................................
16
1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................................
16
1.
Tujuan Umum ..................................................................................
16
2.
Tujuan Khusus ................................................................................
17
1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................................
17
1. Manfaat Teoritis .................................................................................
17
2. Manfaat Praktis ...................................................................................
17
1.6.
Orisinalitas Penelitian .............................................................................
18
1.7.
Landasan Teoritis ....................................................................................
20
1.8.
Metode Penelitian ...................................................................................
42
1. Jenis Penelitian ...................................................................................
42
2. Jenis Pendekatan Masalah ...................................................................
42
xiv
BAB II
3. Sumber Bahan Hukum .......................................................................
43
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ....................................................
44
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum .................................
44
: TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK DAERAH. 2.1. Pengetian Pajak dan Pajak Daerah......................................................
47
2.2. Prinsi-Prinsip Umum Pajak Daerah ...................................................
54
2.3. Fungsi Pajak Daerah ..........................................................................
55
2.4. Perbedaan Pajak Dengan Retribusi ..................................................
58
2.5. Obyek, Subyek, Wajib Pajak Hotel .................................................
64
BAB III : PENGATURAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE DI KOTA DENPASAR. 3.1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem Online …..
66
3.2. Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem Online ..........
82
3.3.Pihak-Pihak Yang Turut Serta Dalam Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem Online ....................................................
93
BAB IV : KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE. 4.1. Hirarkhi Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah …......
98
4.2. Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem Online …………………………………………
114
4.3. Akibat Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem Online ............................................................................. xv
126
BAB V : PENUTUP 5.1.Kesimpulan ........................................................................................
131
5.2. Saran...................................................................................................
133
DAFTAR PUSTAKA
xvi
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 24 DESEMBER 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.MS.
Dr. I Nyoman Suyatna, SH,MH.
NIP. 19461231 197403 1 025
NIP. 19590923 198601 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH.M.Hum,LLM NIP. 19611101 198601 2 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 24 DESEMBER 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor 3308 / UN 144/HK/2013 Tanggal 4 November 2013
Ketua
:
Prof. Dr.I Made Pasek Diantha, SH.MS
Sekretaris
:
Dr. I Nyoman Suyatna,SH.MH.
Anggota
:
Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.MH
Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.MH.
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM.
iv
TESIS INI TELAH DIREVISI
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor 3308 / UN 144/HK/2013 Tanggal 4 November 2013
Ketua
:
Prof. Dr.I Made Pasek Diantha, SH.MS
(_________________)
Sekretaris
:
Dr. I Nyoman Suyatna,SH.MH.
(__________________)
Anggota
:
Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.MH
(_________________)
Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.MH.
(__________________)
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM. (__________________)
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini : Nama
:
I Komang Agus Budiyasa
Program Studi
:
Ilmu Hukum
Judul Tesis
:
Aspek Hukum Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem Online Pada Pemerintah Kota Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar,
Januari 2014
Yang Menyatakan,
I Komang Agus Budiyasa
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan jalan, sehingga penulisan tesis yang berjudul “ ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE PADA PEMERINTAH KOTA DENPASAR“ telah dapat diselesaikan. Selesainya penyusunan dan pembuatan tesis ini, tidak lepas berkat dorongan, bimbingan, arahan, dan bantuan semua pihak, yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan S-2 pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pemerintahan Universitas Udayana. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini penulias menyampaikan ucapan terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD sebagai Rektor Universitas Udayana. 2. Bapak Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS sebagai Pembimbing I maupun sebagai Dosen penulis selama mengikuti pendidikan di S2 di Universitas Udayana. 3. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH sebagai Pembimbing II maupun sebagai Dosen penulis selama mengikuti pendidikan di S2 di Universitas Udayana. 4. Bapak Walikota Denpasar melalui Bapak Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kota Denpasar yang telah memberikan izin untuk mengikuti mengikuti pendidikan S-2 pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentarsi Hukum Pemerintahan Universitas Udayana. vi
5. Ibu Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp S (K) sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. 6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH, M.Hum, LLM Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. 7. Bapak I Made Toya, SH.,MH sebagai Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Denpasar yang telah memberikan izin dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. 8. I Nyoman Rai Budiarsa, SH dan Komang Lestari Kusuma Dewi, SH., MH sebagai rekan Kasubag pada Bagian Hukum Setda Kota Denpasar yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 9. Seluruh Staf pada Bagian Hukum Setda Kota Denpasar yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 10. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana atas bimbingan dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan. 11. Kedua Orang Tua I Made Parka, SH dan Ni Made Kondriani yang telah memberikan dorongan dan semangat sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 12. Istri tercinta Putu Ayu Sudariasih, SH.,MH yang dengan kesabaran selalu memberikan semangat dan dorongan, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 13. Anakku yang tercinta I Putu Gede Pradnyana Budiyasa yang banyak memberikan inspirasi dan semangat kepada penulis.
vii
Penulis menyadari tesis ini dibuat masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Besar harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan keselamatan dan bimbingan kepada kita semua.
Denpasar, Januari 2014
Penulis
viii
TESIS ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE PADA PEMERINTAH KOTA DENPASAR
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KOMANG AGUS BUDIYASA NIM 1090561030
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
TESIS
ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE PADA PEMERINTAH KOTA DENPASAR
OLEH : I KOMANG AGUS BUDIYASA NIM 1090561030 KONSENTRASI PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ABSTRAK Penelitian ini berjudul Aspek Hukum Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar. Dimana dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah” Sebagai tindaklanjutnya Pemerintah Kota Denpasar telah menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel sebagai dasar pemungutan Pajak Hotel di Kota Denpasar. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak memuat tentang Ketentuan Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak berlaku Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel. Rumusan masalahnya adalah bagaimanakah Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar dan bagaimanakah kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sisten online. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar serta untuk mengetahui kedudukan hukum dari Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online. Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih khusus sebagai berikut Untuk menganalisa mengenai Pangaturan pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar serta untuk menganalisa kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online. Kajian ini adalah mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode Pengumpulan bahan dilakukan dengan studi dokumen dan Studi lapangan bersaranakan sarana wawancara. Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang kemudian untuk di Kota Denpasar tindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, disamping dasar yang dipakai adalah Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali). yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian bersama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali). Dilihat dari aspek prosedur penyusunan dan materi/substansi yang diatur dalam perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, dapat disetarakan dengan produk hukum yang bersifat pengaturan yang berbentuk Peraturan Bersama Kepala Daerah. Untuk menghindari adanya kekosongan norma hukum, maka Pemerintah Kota Denpasar perlu segera menerbitkan Peraturan Walikota tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran, dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagai tindak lanjut dari Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel. Kata Kunci : pemungutan, sistem pajak online.
ix
RINGKASAN Desentralisasi sistem perpajakan merupakan pelimpahan kewenangan perpajakan dan penggunaan dana bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sistem perpajakan bertujuan agar daerah mampu mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dari penerimaaan pajak. Desentralisasi sistem perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik sehingga masyarakat dapat langsung merasakan manfaat dari pajak yang mereka bayarkan, dalam bentuk pelayanan publik yang mereka terima. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah dengan Peraturan Daerah. Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Sebagai tindak lanjut dari amanat ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut, Pemerintah Kota Denpasar telah menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak memuat tentang Ketentuan Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak berlaku Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel. Disisi lain terkait dengan pelaksanaan pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar serta dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak daerah khususnya terhadap pemungutan pajak xi
hotel, maka Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Pendapatan Kota Denpasar memulai pengembangan sistem pemungutan pajak daerah khususnya pajak hotel dengan sistem online. Selain memudahkan wajib pajak daerah, pemungutan secara online juga memberikan manfaat langsung kepada Pemerintah Kota Denpasar khususnya Dinas Pendapatan Kota Denpasar. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, pemungutan pajak melalui Bank yang telah ditunjuk akan mengurangi interaksi antara wajib pajak dengan petugas pajak, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan kecurangan. Kedua, dengan semakin banyaknya wajib pajak daerah khususnya wajib pajak hotel yang memanfaatkan fasilitas pemungutan secara online, maka akan tersedia lebih banyak waktu bagi petugas pajak pada Dinas Pendapatan Kota Denpasar untuk melaksanakan tugas-tugas lain yang terkait dengan perpajakan daerah. Manfaat kedua tersebut akan semakin terasa dengan semakin banyaknya jenis pajak daerah dan jumlah wajib pajak daerah yang harus ditangani oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar. Pada BAB I akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teori dan metode penelitian. Selanjutnya di dalam BAB II akan diuraikan mengenai tinjauan umum tentang pajak daerah yang antara lain berisi tentang pengertian pajak dan pajak daerah, prinsip-prinsip umum pajak daerah,fungsi pajak daerah, perbedaan antara pajak daerah dengan retribusi daerah, obyek dan subyek wajib pajak hotel. Selanjutnya pada BAB III berisi tentang pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online di Kota Denpasar yang meliputi dasar hukum pemungutan hotel dengan sistem online, pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online, pihak-pihak yang turut serta dalam perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online. Pada BAB IV berisi tentang kedudukan hukum perjanjian
xii
kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online yang meliputi hierarkhi peraturan perundang-undangan tingkat daerah, kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, akibat hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online. Pada BAB V diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil pembahasan dan juga saran yang disampaikan berdasarkan hasil kesimpulan yang didapat dari penelitian tesis ini.
xiii
ABSTRACT This writing shall be entitled as “Online Hotel Taxation Collecting System within local Denpasar Governmental”. Pursuant to Article 95 (1) Law 28 of 2009 concerning Regional Tax and Retribution which declares, “Tax shall be resolved by the enactment of Regional Regulation”. As an implication, the Government of Denpasar had enacted Regional Regulation No 5 of 2011 concerning Hotel Taxation as legal basis in collecting hotel tax within Denpasar jurisidiction. Problems arise shall be the mechanism applied through the on line system and the legal status of the existing agreement regarding the online mechanism applied. This writing general aim shall be the analysis of Hotel Tax Collecting Mechanism through online system along with the related agreement legal status which had been the ground of the mechanism in prior. It is also expected that through this writing, the analysis towards the regulatory aspect of the online collecting system and the legal status agreement shall be accomplished. This writing shall utilize normative legal research. It shall use several approaches, namely statutotry approach, and conceptual approach. Legal materials used shall vary from the primary, secondary, and informative sources of law. Data collectinf method used shall be through bibliographical approach and field survey-interview. It shal also apply descriptive, interpretative, systematization, argumentative, and evaluation technique in analyzing the sources of law. Legal aspect of Hotel Tax Collecting through online Mechanism shall be upon the enactment of Government Regulation as stipulated within Article 2 (2) Law 28 of 2009 concerning Local Tax and Retribution, which later be operated through the enactment of Denpasar Local Regulation No 5 of 2011 concerning Hotel Tax, added to that, shall be the Memorandum of Understanding among the party of Denpasar Government and the party of PT Bank Pembangunan Daerah Bali (hereinafter shall be abbreviated as “BPD Bali”) which later operated through common agreement among Denpasar Revenue Bureau and BPD Bali. As it is observed from the procedural perspective of the legal product, the respective common agreement shall be classified among the equal hierarchy as Common Regulation of Heads of Region considering from substances and materials regulated within. In order to avoid the absence of law, it is expected that the Government of Denpasar to enact Municipal Regulation concerning Payment, Admission, Place of Payment, Installment, and Delayment of Hotel Tax Proceduredue to the enactment of Denpasar Local Regulation No 5 of 2011 concerning Hotel Tax. Keyword : collecting, online taxation system.
x
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan berlakunya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2
4438),
maka
penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
dilakukan
dengan
memberikan kewenangan yang seluas - luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut ditentukan Pajak Daerah yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Mengenai perpajakan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Pelaksanaan otonomi daerah dipandang sebagai suatu strategi yang bertujuan untuk mencapai tuntutan masyarakat daerah terhadap permasalahanpermasalahan yang dihadapi seperti distribusi pendapatan dan pembagian kewenangan. Disamping itu dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional menghadapi era globalisasi. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersediannya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak daerah dan mendapatkan bagi
3
hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada didaerah dan dana perimbangan lainnya. Prinsip otonomi daerah pada dasarnya dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
“Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Dalam hal ini daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Dalam
pelaksanaan otonomi tersebut, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat
yang
bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian dan evaluasi. Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom adalah urusan yang berskala provinsi atau yang bersifat lintas kabupaten / kota. Sejalan dengan itu, kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota adalah urusan pemerintahan yang berskala
4
kabupaten / kota. Perbedaan kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten / Kota akan ditemukan pada sifat dan wilayah berlakunya urusan pemerintahan. Prinsip otonomi seluas-luasnya selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat (5) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
Pemerintah
Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten /Kota
dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya diarahkan untuk dapat mewujudkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Pembagian kewenangan
antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
selanjutnya
ditentukan
dalam
Peraturan
Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, kemandirian daerah menjadi sangat penting, baik dari sisi pendapatan (revenue assignment) maupun dari sisi pengeluaran (expenditure assignment). Untuk mendorong terwujudnya kemandirian dimaksud daerah diberikan kewenangan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
5
tentang Pemerintahan Daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, yang tata cara dan substansinya diatur dalam Undang-Undang. Banyak kalangan berpendapat bahwa sumber pendanaan daerah tidak menjadi persoalan sepanjang kebutuhan pendanaan daerah dapat dipenuhi. Penganut pendapat ini sangat mendukung sistem pendanaan daerah yang saat ini berlangsung dimana sebagian besar sumber pendanaan daerah berasal dari dana transfer dari pusat. Pendapat ini sekaligus mendukung penguasaan pusat atas sumber-sumber pajak.1 Dalam banyak hal, sistem pendanaan daerah yang sebagian besar bersumber dari dana transfer kurang mendukung akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Untuk menjamin akuntabilitas penggunaan dana daerah idealnya masyarakat lokal harus memiliki posisi tawar yang kuat dalam pembayaran pajak daerah dan retribusi daerah. Selain itu, pusat memiliki keterbatasan untuk mendesain dana transfer yang dapat memenuhi kebutuhan pendanaan daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan dapat menutup kekurangan dana tersebut. Secara umum, pendapatan asli daerah dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu ; dan (2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan. 2
1
Anonim, 2007, Pedoman Nasional Pajak Daerah & Retribusi Daerah, Jakarta, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Dirjen Perimbangan Keuangan. hal. 7 2 Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal Politik Perubahan Kebijakan 19742004. Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 125.
6
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksanana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pembagian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselarasakan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan menjadi sumber keuangan daerah. Salah satu komponen utama pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal (pembiayaan otonomi daerah)3. Dewasa ini penerapan desentralisasi sebagai suatu sistem perpajakan dalam bidang kebijakan fiskal disamping kebijakan moneter merupakan kebijakan yang tengah dilaksanakan oleh banyak negara. Dimana dalam hal ini, kebijakan pemungutan perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi dan stabilitasi. Desentralisasi sistem perpajakan merupakan pelimpahan kewenangan perpajakan dan penggunaan dana bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sistem perpajakan bertujuan agar daerah mampu mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dari penerimaaan pajak. Desentralisasi sistem perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kualitas
3
Tjip Ismail , 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Jakarta, Yellow, Printing,
hal.12.
7
pelayanan publik sehingga masyarakat dapat langsung merasakan manfaat dari pajak yang mereka bayarkan, dalam bentuk pelayanan publik yang mereka terima. Pajak sebagai sumber penerimaan negara telah dipungut di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Pungutan terhadap pajak bersifat memaksa dan terutang oleh wajib pajak dengan tidak mendapat prestasi kembali secara langsung, hasil dari pungutan pajak dapat digunakan membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan4 Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam masyarakat. Masyarakat terdiri dari individu, individu mempunyai hidup sendiri dan kepentingan sendiri, yang dapat dibedakan dari hidup masyarakat dan kepentingan masyarakat. Negara adalah masyarakat yang mempunyai tujuan tertentu. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup masyarakat dan kepentingan masyarakat. Untuk kelangsungan hidup masing-masing diperlukan biaya. Biaya hidup individu, menjadi beban dari individu yang bersangkutan dan berasal dari penghasilan sendiri. Biaya hidup negara adalah untuk kelangsungan alat-alat negara, administrasi negara, lembaga negara dan seterusnya serta dibiayai dari penghasilan negara5. Penghasilan negara adalah berasal dari rakyat yang salah satunya berasal dari pungutan pajak dan/ atau dari hasil kekayaan alam yang ada dalam negara (natural resources). Pungutan Pajak mengurangi penghasilan/kekayaan individu tetapi
sebaliknya
merupakan
penghasilan
masyarakat
yang
kemudian
dikembalikan kepada masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan 4
Marihot P. Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 7 5 Erly Suandy, 2000, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hal. 5
8
pengeluaran-pengeluaran pembangunan yang akhirnya kembali lagi kepada masyarakat. Pembagian jenis pajak berdasarkan pada lembaga pemungut pajak di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah (yang terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota). Pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan pembangunan. Pajak pusat dipungut
oleh
pemerintah
pusat
yang
penyelenggaraan
pemungutannya
dilakanakan oleh Kementrian Keuangan. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah dengan Peraturan Daerah. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Pasal 2 ditentukan bahwa : (1) Jenis Pajak Provinsi terdiri atas : a. b. c. d. e.
Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan;dan Pajak Rokok.
9
(2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Pajak Hotel; Pajak Restoran: Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Secara normatif pengertian Pajak daerah dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) bahwa : Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, secara konseptual dalam pajak daerah terdapat ciriciri,yakni: 1. Imbalan yang tidak langsung dari pihak pemerintah daerah; 2. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif; dan 3. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan. Unsur utama dari pengertian pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah kontribusi
10
wajib, yang berbeda dengan unsur utama dari pengertian Retribusi Daerah, yakni pungutan Daerah. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Penggunaan istilah atau tanda yang berbeda untuk menandai pajak daerah dan retribusi daerah menunjukan: (1) retibusi daerah adalah pungutan, sedangkan pajak daerah bukanlah pungutan; dan (2) retribusi daerah tidak bersifat memaksa, sedangkan pajak daerah bersifat memaksa. Pembedaan ini tidak koheren dengan karakter pungutan yang bersifat memaksa dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Berdasarkan karakter konstitusional ini, maka pemahamannya adalah: 1. Pajak Daerah (sebagai spesies pajak) adalah pungutan yang bersifat memaksa. Pemahaman ini diperoleh dengan menafsirkan teks “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa”, yang maknanya pungutan yang bersifat memaksa terdiri dari pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa. Jadi, pajak daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa. 2. Retribusi Daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa, yang dalam konteks Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, termasuk dalam “pungutan lain yang bersifat memaksa”.
11
Pembedaan pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan pungutan yang bersifat memaksa dan dipungut oleh Daerah adalah pada imbalan. Pada pajak daerah, imbalannya tidak langsung, sedangkan pada retribusi daerah, imbalannya langsung berupa jasa atau izin tertentu. Sekalipun ditemukan pengertian pajak daerah tidak ada hubungannya dengan karakter yang terdapat dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, namun dalam rangka pembentukan peraturan daerah pengertian tersebut tetap digunakan. Pembentukan Peraturan Daerah pada prinsipnya adalah pelaksanaan undang-undang dan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Dalam Pasal ini dinyatakan bahwa pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk negara hanya boleh terjadi berdasarkan undangundang. Hal itu dapat dipahami dalam kerangka implementasi kebijakan publik, yang salah satu aktivitasnya adalah interpretasi (interpretation), yakni aktivitas menjabarkan substansi kebijakan agar menjadi rencana dan pengarahan yang diterima dan dilaksanakan.6 Aktivitas interpretasi dalam implementasi kebijakan publik adalah menjabarkan sebuah kebijakan publik yang masih bersifat umum ke dalam kebijakan publik yang lebih operasional, atau pembuatan kebijakan pelaksanaan. Pembuatan kebijakan publik, termasuk kebijakan pelaksanaan, dalam bentuknya yang positif hakekatnya merupakan perumusan norma hukum ke
6
Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 296.
12
dalam aturan hukum.7 Dalam konteks ini, kebijakan pelaksanaan dari kebijakan pajak daerah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) tersebut adalah Peraturan Daerah, yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan pengganti dari UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dilihat secara yuridis khususnya prinsip dasar dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 21 huruf e, terlihat daerah mempunyai hak untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, dimana pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah, menurut ketentuan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri dari : a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ; yaitu 1) 2) 3) 4)
Hasil pajak daerah Hasil retribusi daerah Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Lain-lain PAD yang sah
b. Dana perimbangan
7
Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HAIV/AIDS dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, Lokakarya Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia, diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu 11-14 Juni di Bandung, hal. 2-4.
13
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Sebagai implementasi dari otonomi daerah maka daerah dapat memungut pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam tatanan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah maka yang memiliki prosedur pembuatan yang sama dengan Undang-Undang adalah Peraturan Daerah. Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan : “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah” Sebagai tindak lanjut dari amanat ketentuan Pasal 95 ayat (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut, Pemerintah Kota Denpasar telah menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 5) sebagai dasar pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak memuat tentang Ketentuan Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak berlaku Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel. Dalam Pasal 14 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, ditentukan: (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Walikota. Sampai saat ini Peraturan Walikota yang berkaitan dengan tata cara
pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan
14
pembayaran pajak belum diterbitkan, sehingga dapat dikatakan sebagai ketentuan norma kosong. Disisi lain, terkait dengan pelaksanaan pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar serta dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak daerah khususnya terhadap pemungutan pajak hotel, maka Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Pendapatan Kota Denpasar memulai pengembangan sistem pemungutan pajak daerah khususnya pajak hotel dengan sistem on line. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut di atas, Pemerintah Kota Denpasar telah melakukan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali) Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010 0006/107/110/2012.2 tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara On Line, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali) Nomor : 973/139/DPKD/2012 0016.10.2012.2 tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line. Dengan sistem pemungutan secara online ini, maka wajib pajak daerah khususnya pajak hotel tidak perlu datang lagi ke kantor Dinas Pendapatan untuk melakukan pembayaran pajak karena pembayaran dapat dilakukan melalui bank yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Kota Denpasar. Melalui pemungutan secara
15
online ini diharapkan akan semakin meningkatkan ketaatan wajib pajak daerah khususnya pajak hotel dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain memudahkan wajib pajak daerah, pemungutan secara online juga memberikan manfaat langsung kepada Pemerintah Kota Denpasar khususnya Dinas Pendapatan Kota Denpasar. Adapun manfaat tersebut adalah Pertama, pemungutan pajak melalui Bank yang telah ditunjuk akan mengurangi interaksi antara wajib pajak dengan petugas pajak, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan kecurangan. Kedua, dengan semakin banyaknya wajib pajak daerah khususnya wajib pajak hotel yang memanfaatkan fasilitas pemungutan secara online, maka akan tersedia lebih banyak waktu bagi petugas pajak pada Dinas Pendatan Kota Denpasar untuk melaksanakan tugas-tugas lain yang terkait dengan perpajakan daerah. Manfaat kedua akan semakin terasa dengan semakin banyaknya jenis pajak daerah dan jumlah wajib pajak daerah yang harus ditangani oleh Dinas Pendapatan Daerah. 8 Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa pelaksanaan pemungutan pajak hotel dengan sistem online di Kota Denpasar telah dilakukan, namun secara yuridis belum jelas substansi hukum pengaturan pemungutan pajak hotel secara online. Bertitik tolak dari pengaturan pajak hotel sebagai pajak daerah yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049), dikaitkan dengan sistem pemungutan pajak hotel dengan sistem online yang dilakukan oleh 8
Dinas Pendapatan Kota Denpasar 2012, Kerangka Acuan Kerja Penyusunan Dan Pembuatan Aplikasi Sistem Pembayaran Pajak Daerah, hal.1
16
Pemerintah Kota Denpasar, maka menjadi sangat menarik untuk dikaji dalam penelitian tesis, yang berjudul ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE PADA PEMERINTAH KOTA DENPASAR.
I.2. Rumusan masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumusan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar ? 2. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online ? I.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk memudahkan dalam menelaah permasalahan dan tidak melebar ke permasalahan lain, maka perlu diadakan pembatasan masalah.Penulisan karya ilmiah ini meliputi masalah-masalah antara lain dasar hukum pemungutan pajak hotel dengan sistem online, pengaturan pemungutan pajak dengan sistem online, pihak-pihak yang turut serta dalam perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, hierarkhi peraturan perundang-undangan tingkat daerah, kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan system online, akibat hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan system online. I.4. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pengaturan pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar
17
serta untuk mengetahui kedudukan hukum dari Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online. 2. Tujuan Khusus Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih khusus sebagai berikut : 1. Untuk menganalisa mengenai Pangaturan pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar. 2. Untuk
menganalisa
kedudukan
hukum
perjanjian
kerjasama
pemungutan pajak hotel dengan sistem online. I.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan yang bersifat teoritis terutama bagi kalangan akademis dan berguna untuk kepentingan yang bersifat praktis terutama bagi para pengambil kebijakan/kepentingan pemerintah Kota Denpasar, yang dijabarkan sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran guna memberikan landasan teoritis dan yuridis bagi pemungut khususnya berkaitan dengan pemungutan hukum pajak hotel yang dipungut dengan sistem online. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Denpasar dalam kaitannya dengan Pengaturan pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online.
18
I.6. Orisinalitas Penelitian. Pemungungatan pajak hotel harus dilaksanakan secara efisien dan efektif berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas, tujuan pemungutan pajak hotel merupakan salah satu sumber pendapatan daerah Kota Denpasar yang penting guna membiayai pelaksanaan pembangunan di Kota Denpasar, maka dari itu pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistiem online merupakan topik yang menarik untuk dijadikan obyek penelitian. Penelitian sejenis yang terkait dengan pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online, telah dilakukan penelusuran diantaranya sebagai berikut : Pertama, menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada Tahun 2007, atas nama Ida Ayu Ary Utami berjudul “ Pengaturan Pengelolaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagai Pajak Daerah “ dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah dasar kewenangan Pemerintah Provinsi dalam menentukan besar kecilnya pembagian hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/Kota. 2. Pembagian Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Tesis ini menekankan pada dasar kewenangan Pemerintah Provinsi dalam menentukan Besar Kecilnya Pembagian Hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Dalam penulisan tesis ini berisi pula materi tentang Pembagian Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan dasar pengenaan, tarif, dan cara perhitungan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
19
Kedua, menemukan tesis di Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2009 atas nama Rona Rositawati berjudul “ Sistem Pemungutan Pajak Daerah Dalam Era Otonomi Daerah ( Studi Kasus di Kabupaten Bogor)”, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah ? 2. Bagaimana sistem pemungutan pajak dalam era otonomi daerah ? 3. Bagaimana konsistensi antara peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah ? Penulisan tesis ini menekankan pada dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah dan sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah di Kabupaten Bogor. Dalam tesis ini dimuat juga tentang konsistensi antara Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundang-undangan dibidang pajak daerah. Ketiga, menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada tahun 2011, atas nama Ni Putu Diah Siswandari dengan judul “ Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor “ dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
kewenangan
Pemerintah
Provinsi
Bali
dalam
pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor ? 2. Bagaimanakah tata cara pemungutan pajak Kendaraan Bermotor di Pronsi Bali ?
20
Penulisan tesis ini menekankan pada kewenangan pemungutan pajak yang merupakan kewenangan dari Pemerintah Provinsi yaitu kewenangan pemungutan pajak kendaraan bermotor di Provinsi Bali dan dalam penulisan tesis ini berisi pula materi tentang tata cara pemungutan pajak kendaraan bermotor di Provinsi Bali serta tesis ini memuat juga bagi hasil pajak kendaraan bermotor kepada kabupaten/kota. Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan tampaklah perbedaanperbedaan yang spesifik. Penekanan pada penelitian ini dititik beratkan pada pengaturan pemungutan pajak yang merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu khususnya mengenai pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online. Pada penelitian ini melakukan pembahasan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam penelitian terdahulu, baik di Universitas Udayana maupun Universitas lainnya sepanjang penulis ketahui, penekanan pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan obyek penelitian dalam tesisi ini. I.7. Landasan Teoritis Dalam rangka membahas permasalahan penelitian tentang Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar, maka digunakan beberapa teori, konsep, dan asas-asas yang relevan dengan
21
kewenangan Pemerintah Kota Denpasar dalam pemungutan pajak hotel serta dilengkapi dengan pandangan-pandangan sarjana yang terkemuka. a. Teori Negara Hukum
Negara Indonesia ialah Negara hukum (rechtstaat) berdasarkan Pancasila9. Negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian formal ,namun negara hukum dalam artian material yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan atau negara kemakmuran. Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara berdasarkan asas hukum yaitu 10: a. Semua tindakan harus berdasarkan hokum b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat . d Adanya pembagian kekuasaan. Istilah negara hukum berasal dari istilah rechtstaat. Penggunaan istilah negara hukum selain rechtstaat juga The Rule Of Law di Inggris dan Government of law,but not of man11. Philipus M.Hadjon tidak menyetujui istilah negara hukum disamakan dengan rechtstaat ataupun The Rule Of Law12. Ia membedakan istilah itu berdasarkan latar belakang dan sistem hukum rechtstaat sistem hukum civil law dari hasil perjuangan menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner
9
Sjahran Basah,1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di Indonesia,Alumni Bandung, hal. 2 10 Bagir Manan,1994,Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945,Makalah Ilmiah Disampaikan Kepada Mahasiswa Pasca Sarjana UNPAD,hal 19 11 Ni Matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, hal 73. 12 Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 25.(selanjutnya disebut Philipus M Hadjon I)
22
dan The Rule Of Law sistem hukum Common Law berkembang secara evolusioner. Konsep tentang negara hukum sudah dicetuskan sejak abad ke 17 dan 18 untuk menentang kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa. Para pemikir mencoba menjawab persoalan yang berkaitan dengan hakekat,asal dan tujuan negara. Khususnya adalah berkaitan dengan dari mana negara mendapat kekuasaan, karena itulah muncul 2 teori besar tentang negara dan hukum yaitu Teori Kedaulatan ( Souverenete) dan Teori Asal Mula Negara ,yang menghasilkan 2 pola negara yaitu negara kekuasaan (machstaats) dan negara hukum (rechstaat)13. Huge Krabbe (1857-1936) dalam bukunya berjudul Die Lehre der Rechtssouveenitet beliau mengajarkan bahwa sumber hukum adalah keadilan, hukum menurutnya bukan yang secara formal diundangkan oleh badan legislatif, hukum bersumber pada peranan anggota masyarakat. Negara tidaklah berdaulat mutlak, karena perasaan hukum membatasi dan menentukan isi hukum bukan negara tetapi hukumlah yang berdaulat. Karena itu teori Krabe dikenal sebagai Teori Kedaulatan Hukum, yang menimbulkan bentuk negara hukum yaitu negara yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga segala kekuasaan dari alat pemerintah didasarkan atas ketentuan hukum dan segenap warga negara harus tunduk pada hukum14. Ide negara hukum muncul kembali dalam aliran liberal dengan cara pandang yang individualistic, yang melahirkan Negara Hukum Liberal, atau lebih dikenal dengan nama “negara jaga malam” (Nacht 13 14
Mukthi Fajar, 2004, Type Negara Hukum, Bayu Media Publihsing, Malang , hal. 11. Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka cipta, hal. 112.
23
Wakerstaat), tugas pokok pemerintah adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi golongan rulling Claass15, Menurut Dicey di negara dengan sistem Anglo Saxon konsep the rule of law,unsur-unsur negara hukum adalah terdiri dari :supremacy of law, equality before the law, dan the constitution based on indifidual rights. Sedangkan menurut International Commission of Jurist, dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, merumuskan syarat-syarat pemerintahan demokratis adalah : 1.Perlindungan konstitusional; 2.Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak 3.Pemilu yang bebas; 4.Kebebasan menyatakan pendapat. 5.Kebebasan berserikat dan beroposisi; 6.Pendidikan civil. Dalam negara hukum tentunya apa yang menjadi dasar pembentukan suatu Pemerintahan didasarkan atas hukum yang berlaku. Dalam kaitannya dengan Pemerintahan Daerah. Sampai saat ini ada dua cara yang dapat dipergunakan untuk menelusuri suatu negara dikatakan sebagai negara hukum, yaitu Pertama, melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan. Artinya apakah konstitusi yang dimaksud memuat ketentuan tentang negara hukum. Kedua, berdasarkan pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan unsur-unsur/ciri-ciri dari suatu negara hukum.
15
Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang peraturan Pengganti Undangundang, Universitas Muhamadyah, Malang, hal. 12.
24
Philipus M Hadjon16 mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum yakni: rechtstaat, the rule of law dan negara hukum Pancasila. Secara konseptual ide negara hukum lahir pada abad ke 19 dan abad ke 20 yang ditandai dengan dikemukakannya istilah Rechts Staat (negara hukum), oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental atau oleh kalangan ahli Anglo Saxon menyebutnya dengan istilah Rule Of Law ( negara berdasarkan kekuasaan hukum ). Burkens mengemukakan suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (rechts staat) apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 17 1. Asas Legalitas, setiap tindak pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formal merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. 2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. 3. Hak-hak dasar (gronddrechten), merupakan sasaran perlindungan dari pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang-Undang 4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat. Sesuai dengan persyaratan-persyaratan tersebut, syarat pertama dan ketiga yang relevan dengan objek penelitian. Syarat pertama menunjukkan bahwa dasar kewenangan dari pemerintah daerah dalam pemungutan pajak hotel dengan sistem online harus ada dasar hukumnya, yang merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. Asas legalitas ini diwujudkan dalam bentuk UndangUndang dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk memberikan kepastian hukum dalam pemungutan pajak hotel dengan sistem online kepada masyarakat.
16
Philipus M. Hadjon I, op.cit. hal. 69. Yohanes Usfunan, 1999, Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Disertasi, Surabaya, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, hal.111 17
25
Syarat ketiga menunjukkan bahwa disamping memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, juga sasarannya agar tindakan sewenangwenang pemerintah dalam pemungutan pajak hotel dengan sistem online dapat dicegah. Sejalan dengan Burkens, Carl Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Barat Kontinental sebagaimana dikutip oleh Moh.Mahfud MD, memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut 18 : a. b. c. d.
Hak-hak asasi manusia Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia itu yang biasa dikenal dengan Trias Politika Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) Peradilan Administrasi dalam perselisihan
Dari pendapat Carl Friedrich Julius Stahl yang dikutip oleh Moh.Mahfud MD, ciri-ciri yang relevan dengan penelitian tesis ini adalah hak-hak asasi manusia dan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada saat yang bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo-saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut : 1. Supremasi aturan-aturan hukum ( supremacy of the law ), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang ( absence of arbitrary power ) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. 2. kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum ( equality infore the law ). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (dinegara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan). 19
18
Moh.Mahfud. MD. 2001, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, PT. Rineka Cipta, hal.28 19 Ibid, hal.4
26
Dalam kaitannya dengan objek penelitian maka unsur pertama, kedua, dan ketiga relevan dengan penelitian tesis ini, dimana mensyaratkan setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum, kedudukan yang sama di depan hukum dan diatur oleh peraturan perundang-undangan. Konsep negara hukum Pancasila yang merupakan penegasan Indonesia sebagai negara hukum itu sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan penegasan yang demikian, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Bertolak dari teori negara hukum yang demikian, maka sesungguhnya penyelenggaraan pemerintah semestinya harus tetap mengacu pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menjadi instrumen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun di tingkat daerah agar setiap tindakan pemerintah termasuk pungutan pajak hotel tetap dengan sistem online mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Teori Kewenangan Negara
Indonesia
ialah
Negara
hukum
(rechtstaat)
berdasarkan
Pancasila20. Negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian formal ,namun negara hukum dalam artian material yang juga diistilahkan dengan
20
Sjahran Basah, op. cit , hal 2
27
negara kesejahteraan atau negara kemakmuran. Sjahran Basah21 mengemukakan bahwa kewenangan seseorang atau badan hukum pemerintah untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas dasar penugasan (mandate). Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D.Van Wijk dan Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan atas 3 (tiga) cara antara lain: : a. Atributie: Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuurorgaan,atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. b. Delegatie : Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan aan een ander atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya c. Mandate : een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen door een ander, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya22. Selanjutnya
dengan
menekankan
kepada
ada tidaknya
peralihan
kewenangan, F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara perolehan wewenang pada hakekatnya melalui cara atribusi dan delegasi terkait dengan pandangan di atas, maka dapat disimak bahwa atribusi adalah pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi pada atribusi terjadi pemberian
21 22
Sjachran Basah, Ibid , hal.7 Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara,UII.Press Yogyakarta,hal. 45.
28
wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat (dalam arti material kepada organ administrasi negara badan hukum). Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya23. Mengacu pada Bagir Manan 24dan A.Hamid S Attamimi25 teori wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan delegasi, pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur : 1.Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundangundangan ; 2.Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUD atau pembentuk UU kepada suatu lembaga; 3.Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut.
23
Indroharto,1991,Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Sinar Harapan, hal .66 24 Bagir Manan dan Kuntana Magnar ,1997,Kedudukan dan Fungsi Keputusan Presiden Sistem Perundang-undangan dan peranannya dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi,Penerbit Alumni, hal 206-214. 25 Hamid S Atamimi,1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV disertasi, Jakarta Pasca sarjana UI.hal 347-352
29
Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur- unsur : 1.Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan; 2.Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris);dan 3 Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut. Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang itu. Perbedaannya adalah (1) pada delegasi selalu harus didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang mendahului dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada delegasi terjadi penyerahan wewenang26, perbedaan ini dapat lebih dipahami dengan menyimak konstatasi E.Utrecht : Delegasi tidak memuat inisiatif membuat peraturan mengenai pokokpokok yang baru, inisiatif untuk membuat peraturan mengenai pokokpokok semacam tadi tetap dalam tangan yang mendeegasi,delegasi,yaitu “menyelenggarakan “’tidak lain dari pada mengatur untuk selanjutnya 27. Dalam kaitan dengan kewenangan menjalankan prinsip negara hukum baik kewenangan atribusi, delegasi maupun mandate akan melahirkan pemberlakuan asas dalam hukum Pemda baik asas desentralisasi, asas dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan. Dalam desentralisasi yang merupakan penyerahan kewenangan kepada daerah otonom dimana daerah otonom adalah hasil dari 26
SF.Marbun,2004, Mandat,Delegasi,Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia,UII Press Yogyakarta,hal 109-120 27 Utrecht,E,1966, Pengantar dalam Hukum Indonesia,Edisi Potografi, Jakarta, hal. 339
30
pelimpahan kewenangan desentralisasi. Menurut Ateng Syaruddin istilah otonomi mempuyai makna kebebasan atas kemandirian Zelfstandigheid tetapi bukan kemerdekaaan atau onafhakelijkheid kebebasan yang terbatas /kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Menginggat administrasi adalah pemerintahan atau badan eksekutif seperti dikemukakan oleh Berlinfante (1981) yang juga dilihat sebagai ragkaian tugas penguasa ( overheads taak)28. Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara.29 Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alatalat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de taak). 30 Pelimpahan wewenang Pusat kepada Daerah, didasarkan kepada Teori Kewenangan, yaitu pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie oleh lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan. Setelah 28
Ateng Syarudin,1993,Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah,Mandar Maju Bandung, hal. 1 29 Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegheid) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, hal. 90 (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II) 30 Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Bina Aksara, hal.30.
31
menerima kewenangan attributie (diatur dalam Undang-Undang Dasar), kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan melalui dua cara, yaitu delegatie dan mandaat. Pada delegatie hanya boleh di Sub Delegatie, dan tidak ada Sub-sub Delegatie. Mengapa demikian, karena jabatan kenegaraan dalam setiap sistem pemerintahan, wajib dipertanggungjawabkan, sesuai dengan prinsip pembagiannya. Untuk menentukan batas dan tanggung jawab dari masingmasing lembaga negara ditentukan beberapa prinsip, yaitu : 1. Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan 2. Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk setiap penerima kekuasaan 3. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada saat menerima kekuasaan 4. Tiap Kekuasaan ditentukan batasnya dengan teori kewenangan. 31 Sehubungan dengan kewenangan Philipus M. Hadjon, mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh kewenangan yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan, Philipus M. Hadjon secara tegas mengatakan bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu ”atribusi dan delegasi”.32 c. Teori Hierarkhi Peraturan Perundang-undangan. Hans Kelsen mendefinisikan, “ A Law is a despsychogized command, a command which does not imply a will in a psychological sense of the term –
31
Ibrahim R, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di Indonesia. Denpasar, Makalah. Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan PusatDaerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Denpasar 5 – 7 Februari 2009, hal.7 32 Philipus M. Hadjon,dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet.I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.64. (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon III)
32
a rule expressing the fact thar somebody ought to act in a certain way, without implying that anybody really ”wants” the person to act in the way”33 Lebih lanjut Hans Kelsen dalam Teori Stufenbau mengatakan bahwa: Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis, dimana norma yang dibawah berlaku bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada akhirnya berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar Groundnorm atau Basic Right atau Fundamental norm yang tidak dapat kita telusuri lagi siapa membentuknya dan dari mana asalnya34. Selanjutnya Groundnorm menurut Hans Kelsen : ............ the basic norm must be formulated as follows : coercive acts sought to be performed under the conditions and in the manner which the historically first constitution and in the manner which the historically first constitution, and the norms created according to it, prescribe. (In short: one ought to behave as the constitution prescribes) (Pure Theory of Law, transl. M. Knight, pp 200-1)35 Maria Farida Indrati Soeprapto menjelaskan pula : Norma-norma yang ada dan berlaku mempunyai kaitan antara norma yang satu dengan norma yang lainnya.Hal tersebut disebabkan karena norma yang terendah mempunyai daya laku dan bersumber pada norma yang paling tinggi itu tidak dapat ditelusuri lagi asal dan sumbernya oleh karena telah ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat36. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan di atas telah dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
33
Hari Chand, 1994, Modern Yurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur, hal. 92. 34 Hans Kelsen,1995,Teori Hukum Murni,Rimdi Press,hal 126-127 35 Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, 1996, Jurisprudence, Blacstone Press Limited, London, hal. 138. 36 Maria Farida Indrati Seoprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar Pembentukannya ,Kanisius, Yogyakarta,hal 9
33
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Ketetapan Majels Permusyawaratan Rakyat. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Peraturan pemerintah. Peraturan Presiden. Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Segala peraturan perundang-undangan antara yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan. Terkait dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jika direplikasikan dengan teori “Stufenbau Des Rechat” nampak produk hukum tersebut berada dalam tingkatan lebih rendah dari UUD NKRI 1945, oleh karena itu bila ternyata ada Undang-Undang dan Peraturan Presiden bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Undan-Undang dan Peraturan Presiden tersebut menjadi tidak berlaku . Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan tiga landasan yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Selain ketiga landasan perundang-undangan hendaknya pembuat peraturan perundang-undangan
memperhatikan
asas
perundang-undangan.
Purnadi
34
Purbacaraka dan Soerjono Soekamto merinci asas-asas perundang-undangan sebagai berikut : a. Undang-Undang tidak berlaku surut. b. Undang-undang yang dibuat Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. c. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan UndangUndang yang bersifat umum ( lex specialis derogate lex generalis). d. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan UndangUndang yang berlaku terdahulu ( lex postiore derogate lex priori). e. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat. f.
Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu,melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welfarestaat)37
Apabila
suatu
peraturan
perundang-undangan
yang
dibuat
tidak
memperhatikan syarat-syarat perundang-undangan, maka peraturan perundangundangan tersebut akan mengalami kekurangan (gebreken). Kekurangan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat menjadi sebab perundang-undangan itu tidak sah (nietrechtsgelding).
37
Rosjidi Ranggawijaya,1998, Pengantar Ilmu perundang-undangan, Mandar Maju Bandung,hal 46
35
d.
Teori Pemungutan Pajak Dalam sistem perpajakan, pungutan pajak dalam masyarakat dapat
dibenarkan atau tidak, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa teori, yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Teori Asuransi Teori Daya Pikul Teori Kepentingan Teori Daya Beli Teori Kewajiban Pajak Mutlak. Teori Pembenaran Pajak menurut Pancasila 38
Penjelasannya : 1. Menurut teori asuransi ini mengatakan bahwa pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini tidak mempunyai banyak pendukung karena tidak sesuai dengan kenyataan dan juga tidak sesuai dengan sifat-sifat pajak, sehingga teori ini ditinggal orang. 2. Menurut teori daya pikul ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul maksudnya kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya. 3. Menurut teori kepentingan ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi lebih besar
38
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan I, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 28 – 34.
36
kepentingan yang dilindungi maka lebih besar pula pajak yang harus dibayar. Teori ini tidak sesuai dengan sifat pajak, sebab justru pajak sifatnya adalah suatu pembayaran yang tidak ada imbalannya secara langsung dapat ditunjuk dan menurut teori ini pajak harus sesuai dengan kepentingan masing-masing. 4. Menurut teori daya beli ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi sebenarnya uang yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, sehingga pada hakikatnya pajak tidak merugikan rakyat, oleh sebab itu maka pungutan pajak dapat dibenarkan. 5. Menurut teori kewajiban pajak mutlak ini negara itu merupakan satu kesatuan yang didalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa adanya organ atau lembaga itu individu tidak mungkin dapat hidup. Lembaga tersebut oleh karena memberi hidup kepada warganya dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban yang antara lain kewajiban mambayar pajak, berdasarkan pemikiran tersebut maka pemungutan pajak walaupun membebani individu dapat dibenarkan. 6. Menurut teori Pembenaran Pajak menurut Pancasila ini Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong adalah usaha yang dilakukan secara bersama, tanpa diberi imbalan yang ditujukan untuk
kepentingan
umum
atau
kepentingan
bersama,
sedangkan
kekeluargaan yang merupakan sifat Pancasila mengandung arti bahwa
37
setiap anggota keluarga berdasarkan hakikat kekeluargaan mempunyai kewajiban untuk ikut membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga da menjaga nama baik keluarga tanpa suatu imbalan, melainkan hanya melakukan pengorbanan saja. Pembayaran pajak dalam rangka pemikiran
ini
merupakan
sesuatu
yang
tidak
sukar
diberikan
pembenarannya. Jadi berdasarkan Pancasila, pungutan pajak dapat dibenarkan karena pembayaran pajak dipandang sebagai uang yang tidak keluar dari lingkungan masyarakat tempat wajib pajak hidup. Dari keenam teori pemungutan pajak tersebut di atas, yang sesuai dengan sistem pemungutan pajak di Indonesia dan juga mendukung penulisan tesis ini adalah teori daya beli, teori kewajiban pajak mutlak dan teori pembenaran pajak menurut Pancasila. e.
Konsep Desentralisasi Susunan
negara
kesatuan
dalam
pengorganisasian
negara
pada
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diikuti Undang-Undang organik dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan Pasal 18 tersebut masih bersifat umum, tetapi mengenai bentuk dan susunan Pemerintah Daerah itu belumlah diketahui, karena segala sesuatunya akan diatur lebih lanjut dengan UndangUndang. 39 Pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tidak didapati ketentuan atau keterangan yang secara tersurat menyatakan negara 39
Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintah Daerah Otonom dan Wilayah Administratif, CV. Armico, Bandung hal. 24.
38
kesatuan dengan desentralisasi Indonesia menganut asas desentralisasi dan dekonsentrasi, dilengkapi tugas pembantuan. Namun Pasal 18 menunjukan secara tersirat negara kesatuan Indonesia menganut asas desentralisasi yang ditunjukkan dengan adanya daerah-daerah yang bersifat otonom dengan wujud otonomi daerah dalam bentuk daerah otonom, dan menganut asas dekonsentrasi yang ditunjukkan dengan adanya wilayah yang bersifat administratif dengan wujud wilayah administratif dalam bentuk wilayah administrasi, secara tersirat dilengkapi asas tugas
pembantuan
yang
terkandung
dalam
adanya
daerah
Indonesia
diorganisasikan dalam daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi diorganisasikan lagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil. Soehino mengemukakan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pemerintah diwajibkan melaksanakan asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan, yang semuanya diatur dengan UU organik. 40 Menurut Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam ketentuan Pasal 18 UUD
1945
terdapat
empat
unsur
susunan
negara
kesatuan
dalam
pengorganisasian negara pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu : 41 1. Daerah Indonesia diorganisasikan dalam daerah besar dan kecil yang merupakan wilayah administrasi dan daerah otonom. 2. Setiap daerah mempunyai susunan dan bentuk pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang. 3. Dasar permusyawaratan / perwakilan diberlakukan di daerah-daerah otonum yang berarti daerah-daerah mempunyai badan perwakilan daerah; serta 40
Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, hal.16 41 Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti, hal. 259-260.
39
4. Negara menghormati kedudukan daerah-daerah yang bersifat istimewa dan hak-hak asal usul daerah. Undang-Undang organik pengaturan mengenai otonomi daerah di Indonesia didasarkan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut adalah dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat pada era reformasi untuk terwujudnya Pemerintahan Daerah yang demokratis, partisipatif, transparan dan akuntabel ( Clean Government and Good Governance ). Danny Burn, et.all, mengemukakan bahwa otonomi daerah dengan sistem desentralisasi mempunyai fungsi strategis dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pandangan para penulis ini dikemukakan : “Decentralisation offers an attractive alternative to market models because it has the potential not only to provide responsive, high quality services, but also a range of possibilities for strengthening citizen involvement in the governing process” 42 (Desentralisasi memberikan suatu alternatif yang cukup menarik untuk model pemasaran, oleh karena tidak saja bersifat responsif, mampu memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, akan tetapi sangat memungkinkan memperkuat peran serta rakyat dalam proses pemerintahan). Pendapat di atas menunjukkan bahwa melalui desentralisasi atau penyerahan sebagian urusan kewenangan pemerintahan pada daerah akan diciptakan pemerintahan yang responsif, mampu memberikan pelayanan yang baik serta membuka partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan. Dalam konteks negara kesatuan dalam hal ini negara kesatuan dengan desentralisasi, otonomi bukan asas melainkan wujud dari asas desentralisasi. Otonomi daerah ialah wujud dari desentralisasi yang menyangkut hak, wewenang,
42
Danny Burn, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, “The Politics of Decentralisation, Revitalising Local, Democracy”, The Macmillan Pres Ltd. London, hal.XIV
40
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut inisiatif / prakarsa sendiri dengan memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam wadah negara kesatuan dengan desentralisasi. Isi otonomi daerah ialah urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah yang kemudian menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan otonomi dengan prinsip desentralisasi di Indonesia terkait dengan pola pembagian urusan yang menjadi kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
karena di dalam penyelenggaraan
desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan. f.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) Dalam melakukan tindakan pemerintahan khususnya dalam kaitan dengan
pengaturan
pajak
daerah
khususnya
pajak
hotel,
pada
pemerintah
Kabupaten/Kota, selain berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, juga harus mengacu dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, H.A. Muin Fahmal mengemukakan bahwa awalnya asas-asas umum pemerintahan yang baik terdapat dalam Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur yang dikemukakan
41
De’Monchy yang diajukan dalam Parlemen Belanda pada tahun 195043. Kemudian oleh Komisi Vander Grinten pada tahun 1952 oleh Crince Le Roy menyebutkan sembilan asas dan diakomodasikan dalam yurisprudensi Belanda tahun 1975 menjadi sepuluh asas. Menurut Crince Le Roy dasar-dasar / asas-asas umum pemerintah yang baik (general prinsiple of good administration) adalah sebagai berikut : 44 1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security) 2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality) 3. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan Pengreh (principle of equality) 4. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness) 5. Asas Motivasi untuk setiap keputusan Pengarah (principle of motovation) 6. Asas Jangan Mencampuradukkan Kewenangan (principle of non misuse of competence). 7. Asas permainan yang layak (principle of fair play) 8. Asas Keadilan atau Kewajaran (principle of reasonable or prohittion of arbitrariness) 9. Asas Menanggapi Penghargaan Yang Wajar (principle of meeting raised expectation) 10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of indoing the consequences of an anmuled decision) 11. Asas Perlindungan Atas Pandangan (Cara) Hidup Pribadi (principle of protecting the personal way of life) Dalam perkembangan selanjutnya, Kuntjoro Purbopranoto menambahkan dua asas yaitu : 1. Asas Kebijaksanaan (principle of sapientia) 2. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service)45
43
Muin Fahmal, H.A. 2006, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, , UII Press, Yogyakarta, hal. 49. 44 Ibid, hal. 279 45 Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Tentang Hukum Tata Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, hal. 13
42
Dari tiga belas asas yang dikemukakan tersebut, yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Asas kepastian hukum, dimana sisi formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan-ketetapan yang memberatkan dan ketentuan-ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang menguntungkan. 2. Asas bertindak cermat, asas kecermatan mensyaratkan, agar badan pemerintahan sebelum mengambil suatu ketetapan, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan kedalam pertimbangannya. 3. Asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak46 I.8. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian. Kajian ini adalah mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahanbahan hukum primer ( primary sources or authorities) dan bahan-bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities )47 2. Jenis Pendekatan Masalah. Dalam penelitian hukum normatif ada beberapa metode pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan konsep (conceptual approach ), pendekatan analitis ( analytical approach ), pendekatan perbandingan ( comparative approach ), pendekatan historis (historical approach) pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan pendekatan kasus
46
(case
Ridwan HR, op. cit, hal.207 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni Bandung, hal 134. 47
43
approach)48. Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ). Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ) dilakukan dengan menelaah pandangan-pandangan mengenai pajak hotel sesuai dengan penelitian ini.49 3. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer bahan dan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum,dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait dengan Pajak Hotel.
48
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Interpratama Offset, Jakarta, hal
93-137. 49
Ibid, hal. 19.
44
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Data Penunjang yaitu berupa informasi dari lembaga atau pejabat, baik dari lingkungan Pemerintah Daerah Kota Denpasar maupun dengan para pihak terkait yang membidangi tentang pemungutan Pajak Hotel. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Metode Pengumpulan bahan dilakukan dengan studi dokumen dan Studi lapangan bersaranakan sarana wawancara. Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Untuk mendukung bahan hukum tersebut dilakukan studi lapangan. Studi lapangan bersaranakan sarana wawancara dilakukan terhadap informan yang terkait seperti dengan SKPD ( Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar. Masukan yang diperoleh digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasikan bahan hukum sekunder. 5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi. Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa teknik deskripsi adalah
45
mencakup isi maupun struktur hukum positif.50 Pada tahap deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang dikaji . Dengan demikian pada tahapan ini hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan51. Lebih lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan: The relation between a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.52 (terjemahan bebas: Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. Teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu sama lain). Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I Dewa Gede Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi:53 1. Penafsiran otentik; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan (biasanya sebagai lampiran). Penafsiran otentik ini mengikat umum ; 2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ; 3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum; merupakan penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang.
50
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember, hal. 33. (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon IV) 51 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz, hal. 16. 52 Alf Ross, 1959, On Law And Justice, , University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles, hal. 111. 53 I Dewa Gede Atmadja, 1996, “Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, hal. 14 .
46
Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Atmadja di atas, maka untuk membahas persoalan hukum yang dikaji, akan dipergunakan penafsiran otentik dan penafsiran gramatikal. Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan perundang-undangan yang lain. Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum, khususnya aturan hukum yang berkaitan dengan Pajak Hotel.
47
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK DAERAH 2.1. Pengertian Pajak dan Pajak Daerah Pajak merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara yang merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan perundang-undangan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.54 Dalam beberapa literatur ditemukan beberapa definisi pajak menurut pendapat beberapa sarjana, antara lain : 1. Soemohamidjojo mengatakan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma huikum, guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.55 2. Rochmat Soemitro mengatakan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tiada mendapat jasa timbal ( tegen pretatie ) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.(publiekuitgaven) dan digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan”.56 Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsurunsur :
54
Santoso Brotodihardjo, R, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT. Eresco ,
hal. 2 55
Josef Riwu Kaho, 2005, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,hal. 144 56 Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung, PT. Eresco, hal. 22
48
a. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 57 3. P.J.A. Adriani memberikan definisi pajak adalah iuran pada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak ada prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 58 4. Secara normatif pengertian pajak dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sebagai perbandingan, berikut disajikan beberapa definisi pajak dari sarjana asing N.J. Feldmann, dalam bukunya De overheidsmiddelen van Indonesia, Leiden, 1949, memberikan definisi mengenai pajak adalah sebagai berikut : Belastingen zijn aan de overhead (Volgens algemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare pretties, waar geentegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot decking van publieke uitgaven. (Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaranpengeluaran umum). 59 57
Mardiasmo, MBA, 2008, Perpajakan edisi Revisi 2008, Yogyakarta, Penerbit Andi Yogyakarta, hal. 1. 58 Bohari, 2002, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 23 59 Santoso Brotodihardjo R, op. cit, hal.4
49
M.J.H. Smeets, dalam bukunya De Economische Betekenis der Belastingen, 1951, mendefinisi pajak sebagai berikut yaitu : “ Pajak adalah Prestasi kepada pemerintah yang terhutang menurut norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.” 60 Hampir di semua Negara kekuasaan pengenaan pajak oleh Negara secara tegas dicantumkan dalam konstitusinya (Undang-Undang Dasar). Sebagai contoh, di Belgia diatur dalam Pasal 170, Meksiko dalam Pasal 31, Italia dalam Pasal 23, Prancis dalam Pasal 34, Portugal dalam Pasal 107, dan Spanyol dalam Pasal 133.61 Di Indonesia, ketentuan konstitusional pengenaan pajak oleh Negara diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, yang menentukan: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Artinya, ada 2 (dua) macam pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, yakni pajak dan pungutan lain (selain pajak). Frase “diatur dengan undang-undang” menunjukan politik hukum62 pembatasan kekuasaan pemerintah dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara, baik pajak maupun pungutan lain (selain pajak). Sebab, diatur dengan undangundang bermakna adanya keterlibatan rakyat baik melalui mekanisme perwakilan melalui Dewan Perwakilan Rakyat maupun mekanisme partisipasi publik,
60
Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-Dasar Perpajakan, Surabaya, Usaha Nasional, hal. 13 61 Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal. 2. 62 Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hal. 6 dan 15.
50
sehingga pemerintah mengenakan pungutan tersebut berdasarkan kehendaknya sendiri. Dari beberapa pengertian pajak tersebut di atas lebih banyak bercorak ekonomis, yaitu adanya peralihan kekayaan dan biaya/pengeluaran negara untuk penyelenggaraan kepentingan umum (masyarakat). Pajak sebenarnya adalah hutang, yaitu hutang anggota masyarakat kepada masyarakat. Hutang menurut pengertian hukum adalah perikatan (verbintenis) yang didahului dengan adanya perjanjian, namun perikatan dalam hukum pajak tidak didasarkan atas perjanjian tetapi atas ketentuan undang-undang. Pajak bila dilihat dari segi hukum merupakan perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang (tatbestand), untuk membayar sejumlah uang kepada negara (kas negara) yang pelaksanaannya dapat dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat/sarana untuk mencapai tujuan-tujuan negara / pemerintah di luar bidang keuangan. Tatbestand itu sendiri artinya sebagai suatu keadaan, perbuatan maupun peristiwa yang memberikan kedudukan hukum tertentu pada seseorang berkaitan dengan hak dan kewajiban sehingga dapat menimbulkan hutang pajak.
51
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat ditentukan mengenai unsur-unsur pajak, adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut 63 : 1. Adanya masyarakat; 2. Adanya undang-undang yang mencerminkan adanya asas demokrasi, perwakilan rakyat, musyawarah dan keadilan sosial; 3. Adanya pemungut pajak (penguasa); 4. Adanya subyek pajak (wajib pajak); 5. Adanya obyek pajak/Tatbestand (keadaan, perbuatan, peristiwa); 6. Adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP), namun sifatnya fakultatif. Berkaitan dengan unsur-unsur tersebut di atas dapat dikemukakan ciri-ciri pajak yang membedakan antara pajak dengan pungutan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut 64 : 1. Merupakan peralihan kekayaan dari orang/badan ke sektor pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah); 2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dalam artian bahwa pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari masyarakat, mempunyai dasar hukum yang jelas, serta pelaksanaannya dapat dipaksakan bagi setiap orang yang melanggarnya; 3. Tanpa adanya imbalan langsung yang dapat ditunjuk (tidak ada kontraprestasi individual); 4. Pajak diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran umum/pemerintah, bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai publik investment; 5. Pajak dapat pula mempunyai fungsi di luar fungsi budgeter, yaitu fungsi mengatur Definisi pajak daerah dapat ditelusuri melalui pendapat beberapa ahli yaitu 1. Rochmat Soemitro merumuskan pajak daerah sebagai berikut : pajak daerah adalah sebagai berikut : “Pajak lokal atau pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra, seperti provinsi, kotapraja, kabupaten dan sebagainya”. 65
63
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung, PT. Eresco, Cet. Ketiga, hal. 1. 64 Santoso Brotodihardjo, op.cit, hal.7.
52
2. A. Siagian merumuskan pajak daerah sebagai berikut: Siagian merumuskan pengertian pajak daerah adalah sebagai berikut “Pajak daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah dengan undang-undang”. 66 3. Definisi Pajak Daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 10: Pajak adalah Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Bertitik tolak dari definisi, terdapat beberapa unsur penting dalam suatu pajak daerah, yaitu : 1. Pajak Daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah. Pajak daerah harus ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Ketentuan ini merupakan suatu hal yang mutlak karena pemungutan pajak tidak dapat dilakukan secara sembarangan melainkan harus dengan persetujuan DPRD. Selain itu peraturan daerah yang mendasari suatu pungutan harus diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas, untuk digunakan sebagai pegangan dan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan suatu pungutan daerah. Hal ini merupakan landasan berpikir mengenai keharusan pengundangan peraturan daerah dalam lembaran daerah.
65
Josef Riwu Kaho, 2002, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia (Identifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi penyelenggaraannya), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Cet. VI, hal. 5 66 A. Siagian, Pajak Daerah Sebagai Sumber Keuangan Daerah, Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, hal. 64.
53
2. Pengenaan pajak daerah dapat dipaksakan. Salah satu hal yang membedakan pajak dengan pungutan daerah lainnya adalah sifat memaksa yang melekat didalamnya. Dalam memungut pajak daerah pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pemaksaan agar wajib pajak/pembayar pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karenja itu pajak daerah yang terutang menurut peraturan daerah dapat dipaksakan. 3. Pembayar pajak daerah tidak memperoleh imbalan langsung Salah satu kriteria yang membedakan antara pajak daerah dengan puingutan daerah lainnya (seperti retribusi daerah atau sumbangan) adalah wajib pajak sebagai pembayar pajak tidak memperoleh imbalan atau kontraprestasi langsung secara individu atas pembayaran yang dilakukan. 4. Penerimaan pajak daerah digunakan untuk menjalankan fungsi Pemerintahan daerah. Salah satu instrumen yang digunakan negara untuk menjalankan fungsinya secara baik adalah pajak daerah. Pajak daerah dipungut dengan tujuan untuk membiayai pengadaan pelayanan publik didaerah. Disamping itu, pajak daerah dapat juga dipungut untuk mencapai tujuan. Dalam sistem pemerintahan negara yang membagi kekuasaan kepada tingkat pemerintahan bawahan (pemerintah daerah) maka untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah, daerah juga diberikan sumber-sumber penerimaan yang salah satunya adalah dalam bentuk pajak daerah.
54
2.2. Prinsip-Prinsip Umum Pajak Daerah Ada beberapa prinsip umum dalam pajak dan prinsip-prinsip tersebut juga dapat diterapkan dalam sistem pemungutan pajak daerah, yaitu : 1. Prinsip Keadilan (Equity) Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan kemampuan masing-masing subjek pajak. Yang dimaksud dengan keseimbangan atas kemampuan subjek pajak adalah hendaknya dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminatif diantara sesama wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama. Pemungutan pajak yang dilakukan terhadap semua subyek pajak harus sesuai dengan batas kemampuan masing-masing, sehingga dalam prinsi equity ini setiap masyarakat yang dengan kemampuan yang sama harus dikenai pajak yang sama dan masyarakat yang memiliki kemampuan berbeda memberikan kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuannya masing-masing. 2. Prinsip Kepastian (Certainty) Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Kepastian pajak antara lain mencakup dasar hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek pajak, kepastian mengenai objek pajak, dan kepastian mengenai tata cara pemungutannya. Adanya kepastian akan menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam menjalankan kewajiban membayar pajak, karena segala sesuatunya diatur secara jelas.
55
3.
Prinsip Kemudahan (Convenience) Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Pelaksanaan pemungutan pajak sebaiknya pada saat wajib pajak menerima penghasilan dan penghasilan yang diterima harus diatas kebutuhan pokok untuk hidup.
4.
Prinsip Efisiensi (Efficiency) Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam prinsip ini
terkandung
pengertian
bahwa
pemungutan
pajak
sebaiknya
memperhatikan mekanisme yang dapat mendatangkan pemasukan pajak yang sebesar-besarnya dan biaya yang sekecil-kecilnya. Prinsip-prinsip tersebut diatas seyogyanya tergambar dalam suatu peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah sehingga pemungutannya dapat dilakukan secara efisien dan efektif. 2.3. Fungsi Pajak Daerah Pajak daerah mempunyai peran penting dalam pelaksanaan fungsi negara/pemerintahan, baik dalam fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan regulasi maupun kombinasi antara keempatnya. Adapun fungsi pajak daerah dapat dikelompokan sebagai berikut:
56
1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Disebut juga fungsi fiskal, yaitu fungsi untuk mengunpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Fungsi Budgetair ialah fungsi pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara
yang
digunakan
untuk
membiayai
kegiatan
pemerintahan
dan
pembangunan. Fungsi pajak sebagai Budgetair yang merupakan fungsi utama pajak dan fungsi fiskal ialah suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal ke kas Negara dan ke kas daerah (pajak daerah) berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku Maksud dari memasukan kas secara optimal ialah sebagai berikut : 1. Jangan sampai ada wajib pajak/subyek pajak yang tidak membayar kewajiban pajaknya. 2. Jangan sampai wajib pajak tidak melaporkan objek pajak kepada fiskus. 3. Jangan sampai ada obyek pajak dari pengamatan dan perhitungan fiskus yang terlepas. 4. Optimalisasi pemasukan dana ke kas Negara/kas daerah (pajak daerah) tercipta atas usaha wajib pajak dan fiskus. 5. Pajak yang dipergunakan unruk membiayai pengeluaran umum pemerintahan dapat dipaksakan. 67 Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) PajakPajak Daerah juga nampak fungsinya sebagai fungsi penerimaan/budgteair. Pajak Daerah yang merupakan kewenangan pemerintah daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
67
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Pajak Dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor,
hal. 49.
57
Pajak daerah sebagai komponen terbesar dari Pendapatan Asli daerah (PAD) merupakan pendapatan yang bersumber dari daerah yang bersangkutan. Penggunaan Pendapatan Asli daerah (PAD) untuk membiayai kegiatan pemerintahan daerah dipandang lebih fleksibel karena memberikan keleluasaan kepada daerah dalam penggunaannya. Fungsi yang paling utama atau disebut juga fungsi penerimaan dari pajak adalah untuk mengisi kas negara. Fungsi budgetair dari pajak secara sederhana dapat dikatakan bahwa pajak adalah sebagai alat pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk berbagai kepentingan pembiayaan pembangunan negara. Fungsi ini juga tercermin dalam prinsip efisiensi yang menghendaki pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan perpajakan. 2. Fungsi Pengaturan (Regulerend) Fungsi lain dari pajak daerah adalah untuk mengatur atau regulerend. Dalam hal ini pajak digunakan oleh pemerintah daerah dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan yang letaknya diluar bidang keuangan, untuk mendorong investasi dan sebagai alat redistribusi ( mengadakan perubahan terhadap tarif). Dalam hal ini pengenaan pajak dapat dilakukan untuk mempengaruhi konsumsi dari barang dan jasa tertentu. Pengenaan cukai untuk minuman beralkohol, rokok atau “sin-tax” atau “ sumptuary tax “ secara teoritis dikenakan pada tingkat yang dapat mengurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi terhadap barang tersebut akan membantu konsumen menjadi lebih sehat sehingga dapat mengurangi aliran dana ke sistem pelayanan kesehatan. Pajak ini
58
dimaksudkan untuk meningkatkan biaya produksi yang cukup untuk melarang masyarakat membeli barang tersebut. Efektifitas penggunaan pajak tersebut tentunya sangat tergantung pada responsifitas yang ada saat ini biasanya tidak memadai untuk mengurangi penggunaan barang tersebut, walaupun beberapa studi menunjukkan pajak atas rokok sangat berkaitan erat dengan penurunan konsumsinya. Dengan demikian pajak merupakan instrument pendapatan yang memiliki fungsi yang luas yaitu redistribusi pendapatan, alokasi, dan insentif kegiatan ekonomi. Kebijakan pemerintah tercermin dalam kebijakan pajak, baik dari sisi penarikan maupun belanja pemerintah. Sebagai kebijakan yang penting instrument kebijakan pajak seyogyanya melibatkan publik yang diwakili oleh DPRD.68 3. Fungsi Demokrasi Fungsi demokrasi ialah fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud system gortong royong termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak seseorang untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah. 4. Fungsi Distribusi Fungsi distribusi ialah fungsi yang menekankan pada pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. 2.4. Perbedaan antara Pajak Daerah dengan Retribusi Daerah Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu dan (2) Pajak yang
68
Ibid, hal. 50
59
dipungut tanpa kompensasi layanan.69 Pada retribusi daerah terdapat suatu tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah.70 Secara argumentum a contrario, pada pajak daerah tidak terdapat pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah. Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak lansung merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimana tampak pada pendapat berikut.
Pajak
Daerah,
di
dalamnya
harus
pula
terdapat
unsur
imbalan/kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah. faktor yang membedakan, pada pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah kontraprestasinya langsung kepada pembayar retribusi.71 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi kontribusi atas jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi pembayarannya tidak menerima konstraprestasi langsung yang dapat dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau dibuat untuk itu.72 Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang publik, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu barang privat, yakni 69
Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik PerubahanKebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta, hal. 125. 70 R. Soedargo, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung, hal.29. 71 Tjip Ismail, op. cit., hal. 56. 72 Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press, Yogyakarta, hal. 35.
60
barang/jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan pungutannya adalah retribusi.73 Pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, dari segi kewenangan pengenaannya, dibedakan menjadi dua, yakni (1) yang dikenakan oleh Pemerintah Pusat; dan (2) yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah. Untuk jenis pungutan yang kedua ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang ini menentukan jenis pungutan yang bersifat memaksa menjadi pajak daerah dan retribusi daerah, sebagai bentuk dari pungutan lain yang bersifat memaksa. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Unsur utama dari pengertian pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi adalah kontribusi wajib, yang berbeda dengan unsur utama dari pengertian Retribusi Daerah, yakni pungutan Daerah. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
73
Ibid., hal. 36.
61
Penggunaan istilah atau tanda yang berbeda untuk menandai pajak daerah dan retribusi daerah menunjukan: (1) retibusi daerah adalah pungutan, sedangkan pajak daerah bukanlah pungutan; dan (2) retribusi daerah tidak bersifat memaksa, sedangkan pajak daerah bersifat memaksa. Pembedaan ini tidak koheren dengan karakter pungutan yang bersifat memaksa dalam Pasal 23A UUD 1945. Berdasarkan karakter konstitusional ini, maka pemahamannya adalah: 1.
Pajak Daerah (sebagai spesies pajak) adalah pungutan yang bersifat memaksa. Pemahaman ini diperoleh dengan menafsirkan teks “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa”, yang maknanya pungutan yang bersifat memaksa terdiri dari pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa. Jadi, pajak daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa.
2.
Retribusi Daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa, yang dalam konteks Pasal 23A UUD 1945 termasuk dalam “pungutan lain yang bersifat memaksa”. Pembedaan pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan pungutan
yang bersifat memaksa dan dipungut oleh Daerah adalah pada imbalan. Pada pajak daerah, imbalannya tidak langsung, sedangkan pada retribusi daerah, imbalannya langsung berupa jasa atau izin tertentu. Sekali pun ditemukan pengertian pajak daerah tidak ada koherensi dengan karakter yang terdapat dalam Pasal 23A
UUD 1945, namun dalam rangka
pembentukan peraturan daerah pengertian tersebut tetap digunakan. Oleh karena, pembentukan peraturan daerah pada prinsipnya adalah pelaksanaan undangundang.
62
Hal itu dapat dipahami dalam kerangka implementasi kebijakan publik, yang salah satu aktivitasnya adalah interpretasi (interpretation), yakni aktivitas menjabarkan substansi kebijakan agar menjadi rencana dan pengarahan yang diterima dan dilaksanakan.74 Dapat dipahami, aktivitas interpretasi dalam implementasi kebijakan publik adalah menjabarkan sebuah kebijakan publik yang masih bersifat umum ke dalam kebijakan publik yang lebih operasional, atau pembuatan kebijakan pelaksanaan. Pembuatan kebijakan publik, termasuk kebijakan pelaksanaan, dalam bentuknya yang positif hakekatnya merupakan perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum.75 Dalam konteks ini, kebijakan pelaksanaan dari kebijakan pajak daerah yang dituangkan dalam UU PDRD 2009 tersebut adalah Peraturan Daerah, yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum. Pajak daerah adalah pajak yang ditetapkan serta dipungut oleh pemerintah daerah (daerah otonom) provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan atas kewenangan yang dimiliki. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah “Kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan dipergunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah otonom untuk dipungut berdasarkan 74
Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 296. 75 Marhaendra Wija Atmaja, op. cit . 2-4.
63
peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaranpengeluaran daerah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Berdasarkan pengertian pajak daerah tersebut di atas, maka dapat diuraikan ciriciri dari pajak daerah sebagai berikut : 1. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak; 2. Penyerahan berdasarkan undang-undang; 3. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undangundang dan/ peraturan hukum lainnya; 4. Hasil pemungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik. 76 Retribusi Daerah, dibandingkan dengan pajak daerah, maka pada retribusi daerah terdapat suatu tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah.77 Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang publik, yakni barang / jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu barang privat, yakni barang / jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan pungutannya adalah retribusi. 78 Unsur pengembalian jasa yang langsung dan tidak langsung sebagai pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimana tampak pada pendapat berikut. Pajak Daerah di dalamnya harus pula terdapat unsur imbalan/ kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah. Perbedaan imbalan/ 76
Marhaendra Wija Atmaja, Ibid, hal.131. Soedargo. R, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bandung,
77
hal.29 78
Ibid, hal. 36
N.V. Eresco,
64
kontraprestasi keduanya adalah bahwa pada pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan,
sedangkan
kontraprestasinya
langsung
kepada
pembayar
retribusi.79 Menurut Kesit Bambang Prakosa, mengatakan bahwa: Setiap pembayaran pajak memberi kontribusi atas jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi pembayarannya tidak menerima kontraprestasi langsung yang dapat dinikmati, setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau dibuat untuk itu .80 2.5.
Objek, Subjek, dan Wajib Pajak Hotel Dalam Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah secara tegas disebutkan tentang Objek, Subjek dan Wajib Pajak Hotel Ketentuan mengenai Obyek, Subjek dan Wajib Pajak hotel tersebut diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 32 berbunyi : (1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang sediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. (2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, Faxsimile, teleks, internet, fotocopy, pelayanan cuci, setrika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. (3) Tidak termasuk objek hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. jasa tempat tinggal asrama yang diseleneggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; 79
Tjip Ismail, op. cit, hal. 56 Kesit Bambang Prakosa, op. cit hal.37
80
65
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya; c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan; d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;dan e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dimanfaatkan oleh umum. Pasal 33 berbunyi (1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. (2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Pada Pajak Hotel yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Secara sederhana yang menjadi subjek adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sementara yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha hotel yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha dibidang penginapan. Dengan demikian subjek pajak dan wajib pajak pada Pajak Hotel tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan hotel merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha hotel bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak) dan melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya.
66
BAB III PENGATURAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ON LINE DI KOTA DENPASAR 3.1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem On Line Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut
untuk
memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.81 Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan kegunaan sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan
81
agar dalam masyarakat
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal.19.
67
terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.82 Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh W. Friedmann. Gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bias formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yakni keadilan. Tetapi, keadilan sebagai suatu cita adalah yang sama harus diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum. Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau kepastian lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan oleh sistem politik masing-masing.83 Masalah ini biasanya dibicarakan dalam hubungannya dengan kesahan berlaku hukum. Validitas norma hukum dari Radbruch, sebagaimana dipaparkan baik oleh Satjipto Rahardjo maupun W. Friedman, adalah dalam pengertian kualitas hukum atau dunia seharusnya” (das sollen). Pada intinya, pandangan ini adalah bahwa hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum mencerminkan
82
Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 18-19. W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II), 1990, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (dari judul asli: Legal Theory), Penerbit CV Rajawali. Jakarta, hal. 43. 83
68
nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian hukum. Senada dengan pandangan tersebut, Bagir Manan mengemukakan, agar hukum ditaati, maka hukum harus mempunyai dasar-dasar berlaku yang baik. Biasanya ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis. Dengan demikian peraturan perundang-undangan sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secra wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang. 84 Selanjutnya dikemukakan, dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding) mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. 2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. 3) keharusan tidak bertentangan
dengan
tingkatannya.
dan
4)
peraturan keharusan
perundang-undangan mengikuti
tata
yang cara
lebih
tinggi
tertentu
dalam
pembentukannya. Dasar berlaku secara sosiologis (sociologische gelding) berarti mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Dengan dasar sosiologis ini diharapkan peraturan 84
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IndHill.Co, Jakarta, , hal. 14-17.
69
perundang-undangan akan diterima oleh masyarakat, sehingga tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Dasar berlaku secara filosofis (filosofiische gelding) berarti mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Jimly Asshiddiqie mengemukakan adanya 5 (lima) landasan keberlakuan, yakni landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan politis, landasan yuridis, dan landasan administratif. Berikut dikemukan pengertian landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Pertama, landasan filosofis harus mencerminkan cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan atau nilai-nilai filosofis yang dianut negara. Kedua, landasan sosiologis harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan yuridis terpenuhi apabila suatu norma hukum ditetapkan berdasarkan norma yang lebih tinggi, ditetapkan menurut prosedur yang berlaku oleh lembaga yang berwenang.85 Makna “sosiologis” dalam pengertian validitas sosiologis adalah untuk mendapatkan data mengenai kebutuhan hukum masyarakat, sehingga peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat memenuhi nilai kegunaan. Pengaturan Pajak Hotel mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filosofis, yuridis, dan sosiologis. Landasan Filosofis yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik 85
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hal.170-
172.
70
Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya. Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara. Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu
71
dilakukan perluasan objek pajak daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis pengaturan Pajak Hotel adalah bahwa Pajak Hotel merupakan sumber pendapatan daerah yang
penting
guna
membiayai
pelaksanaan
pemerintahan
daerah
dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan Pajak Hotel berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat,
dan akuntabilitas. Adapun
tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum pemungutan Pajak Hotel, yang merupakan salah satu sumber pendapatan Kota Denpasar yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kota Denpasar. Landasan Yuridis yaitu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
72
Pengaturan perpajakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam Pasal 23A, yang menegaskan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan-ketentuan
konstitusional
tersebut
menegaskan,
bahwa
pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang yaitu UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jenis Pajak kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbusi Daerah terdiri dari: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menegaskan di dalam Pasal 95 ayat (1), pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 95 ayat (3) ditentukan Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a. nama, objek, dan Subjek Pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c. wilayah pemungutan;
73
d. Masa Pajak; e. penetapan; f. tata cara pembayaran dan penagihan; g. kedaluwarsa; h. sanksi administratif; dan i. tanggal mulai berlakunya. Berikutnya dalam 95 ayat (4) ditentukan Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional. Uraian tersebut menegaskan landasan yuridis pengaturan Pajak Hotel adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 158 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang
74
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan Pajak Daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan amanat Pasal 95 ayat (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) tersebut, Pemerintah Kota Denpasar telah menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, sebagai dasar pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar. Tujuan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel dapat dilihat dalam konsidran menimbang Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, adapun tujuannya adalah sebagai berikut: 1.
Memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, dan berapa besaran yang harus dibayar dan bagaimana cara membayarnya.
2.
Memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kota Denpasar melakukan pungutan Pajak Hotel, sehingga Pajak Hotel dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
75
Tujuan pemungutan pajak sebagai sumber pendapatan asli daerah atau menambah kas daerah secara teoritik dapat dibenarkan. Ini terkait dengan teori tentang fungsi pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni fungsi penerimaan (bubgetair) dan fungsi pengaturan (regulerend). Fungsi Penerimaan adalah pajak sebagai instrumen untuk mengisi kas Negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Fungsi Pengaturan adalah pajak digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.86 Misalnya pajak rokok dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi rokok, sehingga konsumen dapat hidup sehat.87 Pengaturan Pajak Hotel dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar. Rancangan dapat berasal dari Walikota atau dari DPRD, dalam hal ini rancangan berasal dari Walikota. Pungutan pajak daerah, termasuk Pajak Hotel harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel mengacu pada Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu: aspek filosofis, aspek sosiologis, dan aspek yuridis.
86
Anggito Abimanyu, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Jakarta, hlm. 34. 87 H. Mustaqiem, 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta ,hal. 55-70.
76
Aspek filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan Pajak Hotel adanya jaminan kepastian dalam pengenaan Pajak Hotel, aspek yuridis yakni materi/substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan aspek sosiologis yakni pengaturan Pajak Hotel memang dapat memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah Kota Denpasar maupun bagi masyarakat. Selain itu, pembentukan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan harus memperhatikan asas-asas: Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan sepanjang pengaturan Pajak Hotel memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan Pajak Hotel memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib Pajak Hotel sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas. Kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan pembentukan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Hotel yang menjamin kepastian. Keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk
77
memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Kota untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Kota memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan. Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.88 Demikian pula dalam penyusunan norma hukum Pajak Hotel adalah dimaksudkan untuk berlaku umum (untuk setiap wajib pajak dan dikenakan untuk setiap objek pajak). Agar mendapatkan rumusan norma hukum Pajak Hotel yang sesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Berdasarkan asas ini materi muatan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel tidak berisi ketentuanketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya.89 Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti. Pertama, kepastian hukum dalam arti kepastian 88
Franz Magnis-Suseno, 1987, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, Gramedia, Jakarta, hal. 81. 89 Ibid., hal. 116.
78
pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kedua, kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya. Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan kewajibannya.90 Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti yakni norma hukum Pajak Hotel harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan Pajak Hotel. Termasuk di sini, adalah norma hukum pajak dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh berlaku surut. Dalam konteks penyusunan norma hukum Pajak Hotel harus ada keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban membayar pajak dengan hak yang didapatkannya dengan membayar pajak. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara aparatur dan wajib pajak ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.91 Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam pengaturan tentang Pajak Hotel berkaitan dengan kriteria umum tentang perpajakan daerah, yakni:
90
Ibid., hal. 79-80. H. Lauddin Marsuni, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 113. 91
79
1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat. 2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak. 3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi wajib pajak. 4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. 5. non-distorsi terhadap perekonomian, implikasi pajak atau pungutan yang
hanya
menimbulkan
pengaruh
minimal
terhadap
perekonomian. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan yang berlebihan, sehingga akan menimbulkan kerugian pada masyarakat.92 Selain itu, berkaitan dengan prinsip yang diperkenalkan oleh Adam Smith sebagai “The Four Maxims” untuk dipertimbangkan dalam merumuskan suatu kebijakan perpajakan, temasuk Pajak Hotel yakni: 1. Prinsip keadilan (Equty). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak, yakni dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di antara sesame wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama.
92
Tjip Ismail, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002, hal. 115-143.
80
2. Prinsip kepastian (Certainty). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat, antara lain mencakup dasar hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek pajak, kepastian mengenai objek pajak, dan kepastian mengenai tata cara pemungutannya. 3. Prinsip kemudahan (Convenience). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Pelaksanaan pemungutan pajak sebaiknya pada saat wajib pajak menerima penghasilan dan penghasilan yang diterimanya di atas kebutuhan pokok untuk hidup. 4. Prinsip efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut.93 Dasar hukum pemungutan Pajak hotel merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa : (2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Pajak Hotel; Pajak Restoran: Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Disamping itu dasar hukum yang dipakai adalah ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyebutkan Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan Dasar hukum pemungutan Pajak hotel dengan sistem 93
Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t.,Pedoman Nasional Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keungan RI, Jakarta hal. 13-14.
81
online di Kota Denpasar dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel. Seperti yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. Namun sampai saat ini Peraturan Walikota yang berkaitan dengan tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak belum diterbitkan. Peraturan Walikota ini diperlukan sebagai dasar hukum dalam melakukan teknis pemungutan pajak hotel. Ada dua cara untuk merumuskan teknis pemungutan pajak hotel secara online, yaitu dapat dirumuskan langsung dalam Peraturan Walikota atau dirumuskan bahwa teknis pemungutan pajak hotel dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Dari kedua cara diatas jika pemungutan pajak hotel dengan sistem online dirumuskan langsung dalam Peraturan Walikota, maka Pemerintah Kota Denpasar harus menyediakan sarana dan prasarana terkait dengan teknis pemungutan pajak hotel dengan sistem online. Apabila terjadi perubahan sistem pemungutan pajak maka Peraturan Walikota juga harus diubah. Sedangkan kalau pemungutan pajak hotel dengan sistem online dirumuskan dengan cara dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga maka tidak ada kewajiban bagi Pemerintah Kota Denpasar untuk menyediakan sarana dan prasarana terkait dengan teknis pemungutan pajak hotel secara online karena sudah disediakan oleh Pihak Ketiga. Apabila terjadi perubahan sistem
82
pemungutan pajak maka tidak perlu mengubah Peraturan Walikota, karena yang perlu diubah hanyalah Perjanjian Kerjasama dengan Pihak Ketiga yang berkaitan dengan sistem pemungutan pajak hotel. Dari kedua cara diatas setelah dilakukan analisis, lebih efektif bagi Pemerintah Kota Denpasar merumuskan teknis pemungutan pajak hotel dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga. Dengan argumentasi bahwa Pemerintah Kota Denpasar tidak mempunyai kewajiban untuk memikul beban perangkat lunak dan peranghkat keras yang berkaitan teknis pemungutan pajak hotel secara online. 3.2. Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem Online. Berdasarkan penelusuran beberapa kajian literatur pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sisten online sejalan dengan prinsip E-Government. E-Government merupakan penggunaan internet yang dimaksudkan untuk melaksanakan urusan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik, cepat, dan tepat sehingga pada hakikatnya adalah suatu cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dengan demikian, mengenai tujuan yang ingin dicapai dari implementasi E-Government adalah untuk menciptakan customer online dan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai institusi publik. Selain itu E-Government juga bertujuan untuk mendukung good governance, dengan mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi, serta mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. E-Government diharapkan dapat memperluas partisipasi publik dengan
memungkinkan
masyarakat
terlibat
aktif
dalam
pengambilan
83
keputusan/kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. E-Government juga diharapkan dapat memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat.
Dengan
demikian,
E-Government berupaya menciptakan interaksi yang ramah, nyaman, transparan, dan murah antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah dan perusahaan bisnis, serta antar pemerintah itu sendiri. Di Indonesia, E-Government telah diperkenalkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tanggal 24 April 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) jo. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi.
E-Government
wajib
diperkenalkan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan termasuk juga dalam pemerintahan daerah. Kebijakan seperti itu dikembangkan tidak terlepas dari keunggulan E-Government yang mampu menyediakan pelayanan melalui internet, seperti di bidang perpajakan berupa penyediaan informasi, interaksi satu arah, dan interaksi dua arah antar para pihak Pemerintah dengan wajib pajak, Interaksi satu arah, antara lain dapat berupa fasilitas men-download formulir yang dibutuhkan dalam kegiatan perpajakan. Sementara itu, pemrosesan/pengumpulan formulir di bidang informasi perpajakan secara online merupakan contoh interaksi dua arah. Keunggulan yang ditawarkan oleh E-Government tersebut juga telah mendorong amendemen Paket UU Perpajakan 2000 yang terdiri dari UU
84
Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disertai dengan penggunaan sistem teknologi informasi. Sebagai contoh dapat disimak ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan : (1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (1a) Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (1b) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pada bagian penjelasan Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa pengertian dari
“mengisi
Surat
Pemberitahuan”
adalah
mengisi
formulir
Surat
Pemberitahuan dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selanjutnya
85
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menetapkan bahwa “Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikemukakan bahwa “Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan
Surat
Pemberitahuannya,
misalnya
disampaikan
secara
elektronik”. Kedua rumusan di atas menunjukkan bahwa cara elektronik merupakan salah satu instrumen perpajakan yang dapat dikembangkan dalam pelayanan pajak di Indonesia, tentunya termasuk juga dalam pelayanan dan pemungutan Pajak Hotel. Pengaturan lebih lanjut di tingkat pusat dari amanat ketetuan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terkait dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan di Indonesia secara elektronik dapat dijumpai pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 383/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran, Setoran
Pajak Melalui
Sistem
Pembayaran
On-Line dan
Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Digital, Keputusan Direktur
86
Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) pada Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-88/PJ./2004 tentang Penyampaian SPT secara elektronik melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP), Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-88/PJ/2004 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP05/PJ./2005 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik (E-filling) melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-88/PJ./2004 menetapkan : (1) Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dapat dilakukan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu. (2) Standar waktu yang digunakan untuk menentukan saat diterimanya Surat Pemberitahuan secara elektronik adalah Waktu Indonesia Bagian Barat. (3) Surat Pemberitahuan yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu. Selanjutnya pada Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP05/PJ./2005 ditegaskan mengenai pengertian dari Surat Pemberitahuan secara elektronik pada hakikatnya adalah Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunnan dikenal dengan E-filling yang berbentuk formulir elektronik dalam media komputer (e-SPT). Lebih lanjut ditetapkan bahwa Surat Pemberitahuan secara elektronik (E-filling) adalah suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem on-line yang real time. Pada pihak lain dengan mengkaji judul peraturan pelaksanaan seperti di atas, maka
87
penghitungan, pelaporan, dan pembayaran pajak yang terutang secara on-line oleh wajib pajak secara mandiri atau melalui jasa pihak ketiga. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) merupakan surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, Obyek Pajak dan/atau bukan Obyek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. Sehubungan dengan potensi dilakukannya proses penghitungan, pelaporan, dan pembayaran pajak daerah termasuk juga Pajak Hotel dengan sistem on-line melalui kerjasama dengan pihak ketiga, pengaturannya dapat dijumpai pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 beserta penjelasannya. Ketentuan Pasal 6 menetapkan “Pemungutan pajak tidak dapat diborongkan”. Selanjutnya pada bagian penjelasan ditetapkan sebagai berikut : Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain, percetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data Obyek Pajak dan Subyek Pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak. Menyimak rumusan ketentuan di atas, maka kegiatan dalam pemungutan pajak yang dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga pada hakikatnya berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk penghitungan besarnya pajak terutang. Sedangkan kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan pelayanan pajak secara online, adapun kegiatan yang menjadi ruang lingkup penyediaan
88
sarana dan prasarana antara lain berkaitan dengan pengadaan perangkat komputer, penyediaan jaringan, maupun pembinaan sumber daya manusia pengguna perangkat komputer bersangkutan. Kecenderungan
penyelenggaraan
pemerintahan
dewasa
ini
telah
mengalami pergeseran paradigma yaitu dari paradigma state oriented menuju civilize oriented. Hal ini sejalan dengan derasnya tuntutan peran serta masyarakat dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan. Gelombang demokrasi partisipatif yang bercirikan otonomi daerah terus bergulir menuju terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, damai, dan sejahtera. Adalah wajar, kalau semua pemerintahan daerah dengan “otonomi daerah“ yang dimilikinya berada dalam tekanan untuk dapat bekerja lebih baik, efektif, efisien, ekonomis (to maximize results and minimize costs). Upaya-upaya yang dilakukan seperti reinventing, reengineering, horizontal administration, responsive government dan lain sebagainya adalah agar pemerintahan daerah dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien. Tantangan ini telah merubah fungsi Pemerintah Daerah dari sekedar memberikan pelayanan rutin seadanya menjadi pelayanan masyarakat yang terencana dengan mengutamakan mutu yang tinggi (high quality services). Konsekuensinya, semua pemerintahan daerah berupaya untuk menggagas inisiatif baru dalam meningkatkan standar kinerja pelayanannya agar dapat memenuhi dan kalau bisa melebihi keinginan dan harapan masyarakat. Kesuksesan Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan publik (public services) merupakan kunci
89
utamanya, mengingat Pemerintah Daerah merupakan aparatur pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di daerah. Pembayaran pajak daerah merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan pembangunan daerah. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu daerah menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan daerah. Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi
dalam
bentuk
peran
serta
terhadap
pembiayaan
negara,
pembangunan nasional, maupun pembangunan daerah. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan tersebut berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment
90
yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Sementara itu, Pemerintah dalam hal ini perangkat Pemerintahan Daerah di bidang perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perpajakan yang sederhana, murah, cepat, dan transparan. Hal tersebut menunjukkan sistem perpajakan yang baru dengan menggunakan sistem elektronik (e-system) diharapkan dapat menghilangkan persekongkolan antara wajib pajak dan petugas pajak penyampaian SPT pajak secara elektronik. Dengan cara yang baru ini para wajib pajak akan lebih mudah menunaikan kewajibannya. Mereka tidak perlu lagi antre di kantor-kantor pelayanan pajak, sehingga kesan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dapat dihilangkan. Melalui sistem perpajakan daerah secara online ini maka proses perpajakan dapat lebih dipercepat, efektif, dan efisien. Sistem ini juga idealnya mampu
mencegah
segala
kecurangan,
kebocoran,
dan
penyimpangan.
Dikemukakan idealnya, karena sistem itu merupakan suatu intrumen semata sehingga keberhasilannya sangat tergantung dari mental, kesadaran, dan dedikasi aparat Pemerintah Daerah dan Wajib Pajak Daerah itu sendiri. Dengan kata lain, pada satu sisi perlu dibangun perilaku birokrasi yang tunduk pada sistem yang dibangun dalam penyerahan SPT secara online yang disebut E-filling. Sedangkan pada sisi lainnya, E-filling yang dibangun harus pula mampu meminimalisir kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pelayanan perpajakan daerah. E-filling ini pada hakikatnya sejalan dan mendukung self-assesment sistem dalam perpajakan nasional maupun daerah yang memberikan hak kepada wajib
91
pajak menghitung, melaporkan, dan membayar sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Data pajak yang dimasukkan dengan E-filling benar-benar data dari wajib pajak tanpa ada campur tangan dari pihak petugas pajak. yang dilaksanakan dengan jujur dan sistematis akan mengurangi kontak fisik antar fiskus dengan wajib pajak. Pemanfaatan teknologi informasi seperti E-filling dalam bidang perpajakan daerah akan mampu mengurangi interaksi langsung antara petugas pajak dan wajib pajak yang sering dianggap sebagai 'celah' terjadinya praktek KKN di bidang perpajakan daerah. Sistem online yang dikembangkan bukanlah dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan wajib pajak tetapi untuk menjamin bahwa wajib pajak membayar pajak sesuai kewajibannya dalam meningkatkan penerimaan daerah dari sektor Pajak Hotel. Namun demikian, penerapan pola online itu tidaklah dilakukan serta merta kepada semua wajib pajak. Penerapannya memerlukan pengkajian ilmiah lebih dalam terkait wajib pajak yang diwajibkan lebih awal, mekanisme pelaporan, pelaksanaan fungsi pengawasan dan pengendaliannya, sanksi hukum yang dapat diterapkan atas pelanggaran yang terjadi, beserta payung hukum dalam mendukung sistem online dalam pemungutan Pajak Hotel. Pengaturan pemungutan pajak dengan sistem online dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel sebagai dasar hukum pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar, Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak memuat tentang Ketentuan Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak berlaku Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak
92
Hotel. Namun sampai saat ini Peraturan Walikota sebagai tindak lanjut dari Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel yang berkaitan dengan tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak belum diterbitkan, sehingga dapat dikatakan sebagai ketentuan norma kosong. Disisi lain untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak daerah Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar telah melakukan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali) Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010 0006/107/110/2012.2 tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara On Line, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali) Nomor : 973/139/DPKD/2012 0016.10.2012.2 tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line. Selain itu landasan hukum yang dipakai sebagai acuan dalam perjanjian kerjasama kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online adalah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dimana dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah menyebutkan bahwa Obyek
93
kerja sama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. 3.3. Pihak-Pihak
Yang
Turut
Serta
Dalam
Perjanjian
Kerjasama
Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem On Line. Pihak-Pihak yang turut serta dalam Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem online di Pemerintah Kota Denpasar, yaitu : a. PT. Bank Pembangunan Daerah Bali Bank Pembangunan Daerah Bali didirikan pada tanggal 5 Juni 1962 dengan Akta Notaris Ida Bagus Ketut Rurus Nomor 131. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Pokok Bank Pembangunan Daerah Bali maka akta notaris tersebut dibatalkan dan selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6/DPR.DGR/1965 Tanggal 9 Februari 1965 didirikanlah Bank Pembangunan Daerah Bali dengan bentuk hukum Perusahaan Daerah. Perubahan bentuk badan hukum Bank Pembangunan Daerah Bali menjadi Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan Akta Pendirian Nomor 7 tanggal 12 Mei 2004 yang dibuat dihadapan Ida Bagus Alit Sudiatmika, SH, Notaris di Denpasar yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan No. C-12858HT.01.01.TH 2004 tanggal 21 Mei 2004, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 50 tanggal 22 Juni 2004, dan telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Akta Nomor 25 tanggal 8 Agustus 2008 yang dibuat oleh I Made Widiada,SH, Notaris di Denpasar yang disahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI berdasarkan Surat Keputusan Nomor
94
AHU-63398.AH.01.02. Tahun 2008 tanggal 15 September 2008, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 81 tanggal 7 Oktober 2008; dan telah mengalami beberapa kali perubahan dengan perubahan terakhir Akta Nomor 19 tentang Berita Acara Rapat Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Pembangunan Daerah Bali tanggal 8 Mei 2012 yang dibuat oleh I Made Widiada, Sarjana Hukum, Notaris di Denpasar. PT. Bank Pembangunan Daerah Bali yang didirikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor 7 Tahun 2004 yang dibuat dihadapan Ida Bagus Alit Sudiatmika, Sarjana Hukum, Notaris di Denpasar yang dasarnya telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 6004 Tahun 2004 dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 50 tanggal 22 Juni 2004 dan telah disesuaikan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dengan Akta Nomor 25 tanggal 8 Agustus 2008 yang dibuat dihadapan I Made Widiada, Sarjana Hukum, Notaris di Denpasar yang telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 Oktober 2008 Nomorn 81 dan perubahan terakhir dengan Akta Nomor 13 tanggal 7 Desember 2012 tentang Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Bank Pembangunan Daerah Bali yang dibuat oleh I Made Widiada, SH Notaris di Denpasar yang berkedudukan di Denpasar dan berkantor di Jalan Raya Puputan, Niti Mandala Renon, Denpasar . Pada tahun 2004 aktivitas PT. Bank Pembangunan Daerah Bali ditingkatkan dari Bank Umum menjadi Bank Umum Devisa berdasarkan
95
persetujuan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Nomor 6/32/KEP.DGS/2004 tanggal 11 Nopember 2004. Untuk meningkatkan kegiatan usaha PT. Bank Pembangunan Daerah Bali modal dasar awal pendirian adalah Rp.75.000.000.000,00 ditingkatkan menjadi Rp. 250.000.000.000,00. Modal dasar tersebut kemudian ditingkatkan menjadi Rp 1.000.000.000.000,00 (Satu Triliun Rupiah) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS - LB) tahun 2004 yang dikukuhkan dengan Akta Nomor 49 tanggal 31 Agustus 2004. Adapun Visi dan Misi dari PT. Bank Pembangunan Daerah Bali adalah :
Visi Menjadikan Bank Terkemuka dalam Melayani UMKM untuk Mendorong Pertumbuhan Perekonomian Bali.
Misi Meningkatkan Kinerja Organisasi, Daya Saing, Program Kemitraan dan Kontribusi pada Daerah serta Kepedulian Lingkungan. b. DINAS PENDAPATAN KOTA DENPASAR Dinas Pendapatan Kota Denpasar dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Denpasar yang telah diubah beberapa kali terkahir dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2012 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 15)
96
Dinas Pendapatan Kota Denpasar merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Lingkungan Pemerintah Kota Denpasar, yang mempunyai tugas pokok dan fungsi mengkoordinasikan target penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana perimbangan yang berasal dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak serta merealisasikannya bersama-sama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
terkait lainnya sesuai dengan tahapan yang telah
ditetapkan agar dapat dipergunakan untuk membiayai rencana kegiatan yang telah ditetapkan. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut Dinas Pendapatan Kota Denpasar berpedoman pada Visi yang telah ditetapkan yaitu menjadikan Kemampuan Keuangan daerah Sendiri (KKDS) sebagai sumber pendanaan yang utama dalam menunjang pembangunan Kota Denpasar yang krearif berwawasan budaya dalam kesimbangan menuju keharmonisan. Untuk mencapai Visi tersebut dilakukan melalaui tahapan Misi sebagai berikut: 1.
Menjaga hubungan yang positif dengan wajib pajak selaku mitra kerja pemerintah dalam pemungutan pajak.
2.
Mewujudkan penegakkan Peraturan Daerah serta sanksi hukum yang tegas.
3.
Mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat.
4.
Menggali sumber-sumber pendapatan.
5.
Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
97
Untuk mewujudkan Misi yang telah ditetapkan tersebut, maka disusunlah Program-Program Strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), antara lain : 1.
Peningkatan sarana prasarana seperti penataan kantor sehingga memberi suasana sejuk untuk melayani masyarakat wajib pajak.
2.
Pelatihan Sumber Daya Manusia yaitu dengan mengadakan pelatihan akuntansi dan pelatihan lainnya untuk menunjang kompetensi pelaksanaan tugas-tugas pelayanan.
3.
Pelayanan Porporasi Bill secara gratis.
4.
Pemungutan pajak dengan jemput bola.
98
BAB IV KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE
4.1.
Hirarkhi Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara
adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat. Sebagai suatu wacana untuk melaksanakan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan adanya suatu peraturan yang dapat dijadikan pedoman dan acuan bagi para pihak yang berhubungan dengan pembentukan peraturan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Proses atau tata cara pembentukan undang-undang merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undang-undang. Proses diawali dari prakarsa (inisiatif) mengajukan rancangan undang-undang yang dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang disusun berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas). Rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah Rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, perimbangan keuangan pusat dan daerah. Rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga non kementrian sesuai lingkup tugas dan tanggungjawabnya. Pengharmonisan,
99
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Rancangan Undang-undang (RUU) yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk disahkan menjadi undang-undang. Setelah disahkan menjadi Undang-undang kemudian Undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Pengundangan peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar setiap orang mengetahui berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi : a. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang b. Peeraturan Pemerintah. Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sedangkan untuk pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama Gubernur atau Bupati/Walikota yang terlebih dahulu disusun dalam program legislasi daerah (prolegda) yang memuat rencana dan prioritas pembentukan Peraturan Daerah untuk kurun waktu 1 tahun, prioritas ditentukan dengan : a. Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. b. Rencana pembangunan daerah.
100
c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan. d. Aspirasi masyarakat daerah. Program Legislasi Daerah (prolegda) manjadi acuan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah dan DPRD dalam menyiapkan ranperda. Program Legislasi Daerah
(prolegda)
menghindari
terjadinya
ketidaksinkronan
dan
ketidakharmonisan peraturan. Setelah itu tahapan yang dilakukan adalah melalui tingkat-tingkat pembicaraan dalam rapat komisi/panitia khusus/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna, sesuai dengan ketentuan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Sekretaris Daerah. Dengan diundangkan Peraturan Daerah dalam lembaran resmi (lembaran daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui peraturan daerah tersebut. Peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum serta memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat (responsive). Peraturan Perundang-undangan yang baik menurut ilmu hukum harus memenuhi syarat yuridis,sosiologis dan filosofis. Persyaratan yuridis “juridische gelding”menurut Solly Lubis
94
berarti
kebijakan yang akan dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan harus
94
Solly Lubis,1997, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,Alumni, Bandung
hal.19
101
mempunyai dasar hukum dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih di atasnya. Syarat sosiologis “sociologiche gelding” sangat tergantung pada seberapa jauh hukum itu mencerminkan kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Syarat filosofis menunjukkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk sesuai dengan pandangan atau ide atau cita-cita sewaktu membentuknya. Di Indonesia dasar filosofis ini dapat ditemukan dalam Pancasila. Secara operasional pendekatan yuridis, sosiologis maupun filosofis dalam merancang peraturan perundang-undangan
yang
baik
dapat
digunakan
pendekatan
ROCCIPI
(Rule,Oportunity,Capacity,Communication,Interest,Process,Ideology)95. Dalam kaitannya dengan politik hukum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) apabila dikaitkan dengan teori ROCCIPI dapat dianalisa dari aspek RULE bahwa dalam kewenangan membentuk undang-undang constitutional dalam kaitannya dengan kewenangan lembaga pembentuk undang-undang, penentuan IA (Implementing Agency) dan penentuan RO (Rule Accupation). Disamping
itu
terkait
dengan
perspektif
normatif
untuk
menghindari
kemungkinan terjadinya konflik norma hukum antara peraturan perundangundangan yang dibuat dengan UUD NRI 1945 mapun secara horizontal bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya . Politik hukum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dimana kewenangan lembaga membentuk undang-undang yang diatur dalam UUD 1945 adalah DPR, Presiden, dan DPD namun dalam Nomor 12 Tahun 2011 95
Yohanes Usfunan,2004,Orasi Ilmiah : Perancangan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Menciptakan Pemerinthan yang Bersih dan Demokrasi,Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar UniversitasUdayana, hal. 27
102
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berwenang adalah DPR dan Presiden. Hal tersebut menunjukkan penggunaan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis dimana undang-undang / peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan UU/ peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Teori Stufenbau dikemukakan oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa : Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis,dimana norma yang dibawah berlaku ,bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi,norma yang lebih tinggi berlaku,bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,demikian seterusnya sampai pada akhirnya berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar Groundnorm atau Basic Right atau Fundamental norm yang tidak dapat kita telusuri lagi siapa pembentuknya dan dari mana asalnya96.
Maria Farida Indrati Soepraptomenjelaskan pula : Norma-norma yang ada dan berlaku mempunyai kaitan antara norma yang satu dengan norma yang lainnya.Hal tersebut disebabkan karena norma yang terendah mempunyai daya laku dan bersumber pada norma yang paling tinggi itu tidak dapat ditelusuri lagi asal dan sumbernya oleh karena telah ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat97. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan di atas dapat mengilhami atau sebagai inspirasi dari pada penyusun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana dalam Pasal 7 menyebutkan jenis dan hierarkhis peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 b. Ketetapan Majelis Permusywaratan Rakyat c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang 96
Hans Kelsen,1995,Teori Hukum Murni,Rimdi Press,hal 126-127 Maria Farida Indrati Seoprapto,2004,Ilmu Perundang-undangan Pembentukannya , Kanisius,Yogyakarta,hal. 9 97
Dasar-Dasar
103
d. e. f. g.
Peraturan pemerintah.. Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi;dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Segala peraturan perundang-undangan antara yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan. Terkait dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jika disesuaikan dengan teori “Stufenbau Des Rechat” nampak produk hukum tersebut berada dalam tingkatan lebih rendah dari UUD NRI 1945. Oleh karena itu bila ternyata ada Undang-Undang dan Peraturan Presiden bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka UU dan Perpres tersebut menjadi tidak berlaku . Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan tiga landasan yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Selain ketiga landasan perundang-undangan hendaknya pembuat peraturan perundang-undangan
memperhatikan
asas
perundang-undangan.
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekamto merinci asas-asas perundang-undangan sebagai berikut : a. Undang-Undang tidak berlaku surut b. Undang-undang yang dibuat Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula c. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan UndangUndang yang bersifat umum ( lex specialis derogate lex generalis) d. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-
104
Undang yang berlaku terdahulu ( lex postiore derogate lex priori) e. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat f.
Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu,melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welfarestaat)98
Apabila suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak memperhatikan syarat-syarat perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan tersebut akan mengalami kekurangan (gebreken). Kekurangan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat menjadi sebab perundang-undangan itu tidak sah (nietrechtsgelding). Menurut Utrecht ,untuk menerima atau tidak suatu peraturan perundangundangan yang mengandung kekurangan sebagai suatu peraturan perundangundangan yang sah (rechtsgelding) tergantung apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu (bestaansvoorwaarde)99. Menurut Hamid.S.Attamimi, peraturan perundang-undangan ( wettelijke regels ) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undangundang baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah. Pengertian peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengertian undang-undang, yang terbagi undang-undang dalam arti formal dan undang98
Rosjidi Ranggawijaya,1998, Pengantar Ilmu perundang-undangan, Mandar Maju Bandung,hal 46 99 Utrecht.E,1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tinta Mas Surabaya,hal 27
105
undang dalam art material, yang merupakan alih bahasa “ wet in formele zin atau formele wet dan wet in materiele zin atau materiele wet yang dikenal di belanda. Dikemukakan oleh A.Hamid S.Attamimi, bahwa wet in formele zin atau formele wet berarti keputusan dalam bentuk wet ( besluit in wetsvorm ) yang ditetapkan oleh pemerintah ( regering ) dan lembaga yang disebut Staten –General bersamasama, terlepas mengenai sisinya. Sedangkan wet in materiele zin atau materiele wet berarti peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat rakyat, biasanya disertai sanksi yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu dan menurut prosedur tertentu pula.100 Selanjutnya tidak tepat apabila wet in formelezin diterjemahkan dengan undang-undang dalam arti formal atau kata-kata wet in materiele zin dengan undang-undang dalam arti material mengingat undang-undang dalam bahasa Indonesia tidak dapat dilepas kaitannya dari konteks pengertian ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 Apabila dilepaskan dari konteks pengertian tersebut, maka akan timbul kerancuan mengenai pemahamannya.101 Berdasarkan uraian Hamid S.Attamimi tersebut, dua hal dapat dicermati. Pertama, pengertian peraturan perundang-undangan sebagai terjemahan wet in materiele zin atau materiele wet adalah peraturan hukum yang belaku umum dan mengikat rakyat, biasanya disertai sanksi, yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu dan menurut prosedur tertentu pula. Kedua keberatan Hamid S.Attamimi atas penerjemahan wet in materiele zin
menjadi undang-undang dalam arti
material oleh karena wet in materiele zin di Belanda mempunyai arti khusus yakni 100 101
Hamid.S.Attamimi , Op.cit, hal. 161. Ibid, hal. 199.
106
meski peraturan tetapi tidak selalu merupakan hasil bentukan regering dan Statengeneral bersama-sama, melainkan dapat juga merupakan produk pembentuk peraturan ( regelgever ) yang lebih rendah seperti raja, mentri, provinsi, kotamadya dan lain-lainnya. Hal yang sama terjadi juga di Indonesia, makna Undang-undang dalam arti material “tidak selalu peraturan hasil bentukan presiden dengan persetujuan DPR melainkan dapat juga produk dari Presiden ( tanpa persetujuan DPR ), Provinsi dan Kabupaten / Kota . Bagir Manan mengartikan undang-undang dalam arti material adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan. Dari uraian ini lanjut Bagir Manan, tidaklah begitu salah kalau orang awam mengatakan bahwa setiap aturan tertulis yang dibuat atau dikeluarkan pejabat yang berwenang adalah undangundang. Hanya undang-undang di sini dalam arti material bukan dalam arti formil. Bagir Manan memberikan pengertian peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.102 Yang dimaksud dengan “yang berwenang“ adalah yang mempunyai fungsi legislative sebagaimana terungkap dalam pengertian peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar,
102
Bagir Manan, 1994, ” Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional ”, makalah disajikan pada pertemuan ilmiah tentang kedudukan Bio Hukum / Unit Kerja Departemen/ LPND dalam Pembangnan Hukum, diselenggarakan Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Jakarta, 19-20 Oktober, hal. 1.
107
bahwa peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat Negara yang mempunyai fungsi legislative sesuai dengan tata cara yang berlaku.103 Dari pengertian peraturan perundang-undangan yang diturunkan dari uraian Hamid.S.Attamimi menggunakan unsur-unsur yakni : 1. Peraturan hukum ; 2. Yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang bersumber pada kekuasaan legislatif berdasarkan kewenangan atribusi ataupun kewenangan delegasi dari undang-undang ; 3. Yang berlaku umum dan mengikat rakyat ; 4. Biasanya disertai sanksi ; 5. Menurut prosedur tertentu pula. Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 angka 2, bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut adalah : 1.
Peraturan tertulis;
2.
Memuat norma dan mengikat secara umum ;
103
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaaan Hukum Nasional, Armico, Bandung, hal. 13.
108
3. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang; 4. Prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sebelumnya, pengertian peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004, Penjelasan Pasal 1 angka 2 yakni : Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam undangundang ini adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum. Pengertian tersebut menujukkan bahwa yang diakui sebagai peraturan perundang-undangan mencakup dan mengandung unsur-unsur : 1. Peraturan yang bersifat mengikat secara umum ; 2. Yang
dikeluarkan
oleh
Badan
Perwakilan
Rakyat
bersama
Pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah ; 3. Keputusan yang bersifat mengikat secara umum ; 4. Yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat maupun di daerah. Ulasan Indroharto, bahwa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pengertian peraturan perundang-undangan itu mencakup pengertian undang-undang dalam arti formal serta Keputusan Tata Usaha Negara yang mengandung pengaturan yang bersifat umum. Baik peraturan yang merupakan produk dari original legislator maupun hasil dari delegated
109
legislator serta Keputusan Tata Usaha Negara merupakan pengaturan yang bersifat umum.104 Peraturan perundang-undangan daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan daerah. Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundangundangan, maka pembentukan peraturan daerah dipahami sebagai berikut : 1. Proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum ; 2. Dilakukan oleh dewan perwakilan Rakyat Dearah dan kepala Daerah ; dan 3. Yang
dasarnya
dimulai
dari
perencanaan,
persiapan,
teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Pembentukan produk hukum dalam bahasa inggris law forming atau rechtsvorming ( bahasa Belanda ) adalah pembentukan peraturan perundangundangan sebagai peraturan tertulis yang mengikat umum. Peraturan perundangundangan disini dimaksudkan peraturan yang dibentuk berdasarkan wewenang legislasi yang bersifat ataribusi atau berdasarkan wewenang regulasi yang bersifat delegasi. Wewenang regulasi dalam peraturan perundanng-undangan menurut doktrin hukum disebut produk delegasi perundang-undangan atau delegated legislation dalam istilah Belanda disebut delegatie van wetgeving.
104
Indroharto, Op.Cit, hal. 104-105.
110
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum. Norma hukum berlaku keluar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintahan maupun bagi rakyat pemerintahan maupun bagi rakyat.105 Dalam kaitannya norma hukum bersifat umum, menurut FR.Bohtlink dan J.H.A.Logeman, mengandung pengertian berhubungan dengan ruang berlaku, yakni berlaku diseluruh wilayah, berhubungan dengan waktu berlaku, yakni berlaku terus menerus, berhubungan dengan subyek hukum yang terkenaan dengan norma hukum, yakni berlaku untuk semua orang, dan berhubungan dengan fakta yang terulang.106 Kriteria yang lazim digunakan adalah dari subyek dan obyek. Dari segi subyek ditunjukkan dengan melihat norma hukum dari segi alamat ( addressat ) atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan atau diperuntukkan. Apabila suatu norma hukum yang ditujukan adalah untuk orang banyak ( addressat umum ) dan tidak tertentu disebut dengan norma hukum umum. Norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau beberapa orang disebut norma hukum individual. Dari segi obyek dalam arti hal yang diatur atau perbuatan tingkah lakunya yang diatur halhal yang tertentu disebut norma hukum kongkrit sedangkan norma hukum mengenai hal-hal yang tidak tertentu disebut norma hukum abstrak. Dari sifatsifat norma hukum yang umum-individual dan norma hukum yang abstrakkonkret, terdapat empat kombinasi yakni : norma hukum umum-abstrak, norma
105 106
Hamid.S.Attamimi, op.cit, hal. 314-315. ibid , hal. 135.
111
hukum umum-konkrit, norma hukum individual-abstrak dan norma hukum individual-konkrit.107 Norma hukum dalam peraturan perundang-undangan mengandung norma hukum yang umum-abstrak atau sekurang-kurangnya yang umum kongkrit, sedangkan norma hukum yang lainnya yaitu yang individual-abstrak dan yang invidual kongkrit lebih mendekati penetapan ( beschiking ) daripada peraturan ( regeling ). Dalam kaitannya keberlakuan suatu norma ditentukan oleh hubungan norma-norma hukum atas dan bawahan atau pertingkatan, norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen : Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu-yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan regressus ( rangkaian proses pembentukan hukum ) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum ini.108 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis juga berkelompok-kelompok. Bila kelompok-kelompok tersebut dalam struktur tata hukum Indonesia adalah : 1. Staatfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945) ; 2. Staatsgrundgezet : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi ketatanegaraan ; 3. Formell gezets: Undang-Undang ; 107
Budiman.N.P.D.Sinaga, 2004, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Yogyakarta, UII Press, hal. 7-13. 108 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari Hans Kelsen General Theory of Law and State ( New York ; Russel and Russel, 1971), Penerbit Nusamedia & penerbit Nuansa, Bandung, hal. 179.
112
4. Verordnung en autonome satzung : Secara hirarkhis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Gubernur dan Peraturan walikota / Bupati.109 Dengan mengutip Hans Nawiasky dan Carl Schmitt110 melihat dari wujud norma hukum norma yang paling abstrak adalah Staatfundamentalnorm. Norma yang lebih kongkrit adalah norma hukum yang lebih rendah lagi adalah formell gezets karena sudah dapat dilengkapi ketentuan mengenai sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Jenis terakhir Verordnung en autonome satzung berupa peraturan pelaksanaan atau peraturan otonomi yang bersifat kongkrit. Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
menyebutkan
“Pembentukan
Peraturan perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau penetapan dan pengundangan”. Pemahaman secara otentik tentang peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembenntukan Peraturan Perundang-undangan dengan pengertian secara teoritik, maka diperoleh pemahaman mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan mengandung unsur-unsur pengertian sebagai berikut : 1. Prosess pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum ; 109
Maria Farida, Op.cit, hal 45-56. Darji Darmodiharja, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filasafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, hal. 224. 110
113
2. Dilakukan oleh pejabat yang berwenang ; dan 3. Yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahaan, pengundangan. Namun perlu juga dicermati tidak semua produk hukum daerah mengikuti tahapan-tahapan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 diatas. Salah satu kewenangan yang sangat penting dari suatu daerah yang berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (legislatieve bevoegdheid,legislative power), Dengan memperhatikan pemahaman dari pembentukan peraturan perundangundangan maka pembentukan peraturan daerah dapat dipahami sebagai berikut : 1. Proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum ; 2. Dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pembahasan rancangan peraturan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama Gubernur atau Bupati/Walikota yang dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang khusus menangani legislasi dan rapat paripurna, sesuai dengan ketentuan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ketentuan Pasal 8 ayat (1) 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
114
Perundang-undangan terdapat 4 (empat) peraturan perundang-undangan di daerah yaitu : 1.
Peraturan Daerah Provinsi;
2.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
3.
Peraturan Kepala Daerah;
4.
Peraturan Desa.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, terdapat 4 (empat) bentuk produk hukum daerah yang terdiri dari : 1. Peraturan Daerah atau sebutan lainnya; 2. Peraturan Kepala Daerah; 3. Peraturan Bersama Kepala Daerah; 4. Keputusan Kepala Daerah. 4.2.
Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama dengan sistem Online Kenyataan
sehari-hari
menunjukan
bahwa
pemerintah
disamping
melaksanakan aktifitas dalam bidang hukum publik juga terlibat dalam lapangan keperdataan. Dalam pergaulan hukum, pemerintah sering tampil dengan “ twee peten ”, dengan dua kepala, sebagai wakil dari jabatan (ambi) yang tunduk pada hukum publik dan wakil dari badan hukum (rechtpersoon) yang tunduk pada hukum privat. Untuk mengetahui kapan administrasi negara terlibat dalam hukum publik dan kapan terlibat dalam pergaulan hukum keperdataan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah melihat lembaga yang diwakili pemerintah, dalam hal ini negara, provinsi atau kabupaten. Untuk mengetahui kedudukan hukum
115
negara, provinsi atau kabupaten mau tidak mau harus melibatkan pembagian dua jenis hukum111 Dalam beberapa literatur, diantaranya
Utrect mengatakan bentuk-
bentuk perbuatan pemerintahan, berdasarkan kelaziman sistematika hukum dibagi dalam dua golngan, yakni dalam hukum privat (sipil) dan hukum publik, maka perbuatan hukum itu ada dua macam yaitu: a. Perbuatan menurut hukum privat (sipil). b. Perbuatan hukum menurut hukum publik. Administrasi negara sering juga mengadakan hubungan-hubungan hukum dengan subjeck hukum lain berdasarkan hukum privat112 Sedangkan Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara, mengemukakan instrumen hukum keperdataan yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya,pemerintah dapat menggunakan perjanjian yang bentuknya yaitu perjanjian perdata biasa, perjanjian perdata dengan syaratsyarat standar, perjanjian mengenai kewenangan publik, perjanjian mengenai kebijaksanaan pemerintahan: 1. Perjanjian Perdata Biasa. Dalam
melakukan
perjanjian
perdata
biasa,pemerintah
disamping
menggunakan instrumen hukum keperdataan sekaligus pula melibatkan diri dalam hubungan hukum keprdataan sehingga kedudukan hukum pemerintah tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. Meskipun perjanjian yang dilakukan pemerintah bersifat biasa, namun selalu didahului
111
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal.72 112
Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Padjadjaran, Cetakan keempat, hal.63.
116
adanya oleh adanya Keputusan Tata Usaha Negara, yang kemudian dianggap keputusan tersebut melebur kedalam tindakan hukum perdata. 2. Perjanjian Perdata dengan Syarat-Syarat Standar.
Pada umumnya perjanjian dengan syarat-syarat standar ini berbentuk konsesi kontrak adhesie , yaitu suatu perjanjian yang seluruhnya telah disiapkan secara sepihak, hingga pihak lawan berkontraknya tidak ada pilihan lain kecuali menerima atau menolaknya. Dalam hal ini pemerintah menentukan sepihak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak swasta atau pihak yang berkepentingan. 3. Perjanjian mengenai kewenangan Publik Perjanjian ini merupakan perjanjian antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat dan yang diperjanjijkan adalah mengenai cara badan atau pejabat tata usaha negara menggunakan wewenang pemerintahnnya. 4. Perjanjian mengenai Kebijaksanaan Pemerintahan Perjanjian
kebijaksanaan
adalah
perbuatan
hukum
yang
menjadikan
kebijaksanaan publik sebagai objek perjanjian, lebih lanjut disebutkan perjanjian ini berkaitan dengan klausul mengenai: a. b. c. d. e.
Kemungkinan-kemungkinan penggunaan maupun pendirian bangunanbangunan(pengaturan tata ruang); Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk pemindahtangan harta kekayaan negara; Syarat-syarat untuk kelestarian lingkungan hidup; Ketentuan-ketentuan yang harus selalu dilaksanakan oleh mereka yang diberi izin melakukan usaha-usaha sosial; Persyaratan untuk pengelolaan parkir kendaraan diseluruh kota, perusahaan pompa bensin dan sebagainya;
117
f.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para developer dari suatu real estate sebelum maupun selama pekerjaan pembangunan dilapangan di kerjakan. 113: Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan di Pemerintah Kota
Denpasar dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 perbuatan pemerintah (administrasi negara),yang didasarkan atas hukum publik dapat dilihat dari tabel dibawah ini. Tabel 1 Perbuatan Pemerintah Kota Denpasar yang didasarkan atas hukum publik No.
Tahun
Nama Perbuatan Hukum
1.
2010
2.
2010
3.
2011
Perbuatan Kontrak Pihak I Sekretaris Daerah tentang Pengelolaan Kota Denpasar Pihak II Kandatel Bali Inkubator Bisnis Mengatur tentang Pengelolaan Inkubator Bisnis Kota Denpasar sebagai Pusat Pengembangan dan Penelitian ekonomi Kreatif Di kota Denpasar Perbuatan Kontrak Pihak I Sekretaris Daerah tentang Program Kota Denpasar Pihak II Fakultas Hukum Legislasi daerah Universitas UdayanaMengatur tentang Program Legislasi Daerah I Walikota Perbuatan Kontrak Pihak Denpasar tentang Pemanfaatan Pihak II Dirut Pelindo III Pelabuhan Benoa (Persero) Mengatur tentang Pemanfaatan Pelabuhan Benoa Di Kota Denpasar
113
Ridwan HR,op.cit. hal..230-237
Para Pihak dan Materi yang Diatur
118
4.
2011
5.
2012
Pihak I Bupati Konawe Selatan Pihak II Walikota Denpasar Mengatur tentang penyelenggaraan Program Transmigrasi Di Desa Arongo Kecamatan Landano Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Perbuatan Kontrak Pihak I Sekretaris Daerah tentang Pelayanan Kota Denpasar Parkir di Tepi Jalan Pihak II Dirut PD Parkir Kota Denpasar Umum Mengatur tentang Perbuatan Kontrak Penyelenggaraan Program Transmigrasi
Perbuatan Kontrak Pihak I Kepala Dinas Kota tentang Bidang Perhubungan Denpasar Perhubungan Laut Pihak II GM PT Pelindo III (Persero) Mengatur tentang Bidang Perhubungan Laut di Pelabuhan Benoa Sumber: Bagian Kerjasama Sekretariat Daerah Kota Denpasar 6.
2012
Tabel 2 Perbuatan Pemerintah Kota Denpasar yang didasarkan atas hukum privat No. Tahun Nama Perbuatan Para Pihak dan Materi Hukum yang Diatur 1.
2012
Perbuatan Menyewa
Sewa Pihak I Pemerintah Kota Denpasar Pihak II Sulianty Gotama Mengatur tentang perjanjian sewa menyewa bangunan/gudang yang dipergunakan untuk gudang tenmpat penyimpanan barangbarang inventaris kantor
119
sewa Pihak I Ni Wayan Suji Pihak II Pemerintah Kota Denpasar Mengatur tentang Perjanjian sewa menyewa tanah dan bangunan yag dipergunakan untuk kantor Kelurahan Renon 3. 2011 Perbuatan Sewa Pihak I Drs. Nyoman Bratajaya, SH menyewa Pihak II Pemerintah Kota Denpasar Mengatur tentang Perjanjian sewa menyewa tanah yang digunakan oleh Dinas PU untuk penempatan bahan/material untuk keperluan kegiatan pemerliharaan jalan di Kota Denpasar Sumber: Bagian Pengelolaan Aset Daerah Sekretariat Daerah Kota Denpasar 2.
2
Perbuatan menyewa
Dari tabel diatas dapat diketahui, Pemerintah Kota Denpasar dalam hal ini Walikota Denpasar, dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum privat, selain perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum publik. Jika dibandingkan perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum publik dan perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum privat yang dilakukan oleh Walikota Denpasar, dapat dengan jelas dilihat suatu perbedaannya seperti pada tabel dibawah ini :
120
Tabel 3 Perbedaan Perbuatan Hukum Pemerintah Kota Denpasar yang didasarkan atas hukum privat dan hukum publik Ditinjau aspek
Kedudukan para pihak
dari
Perbuatan Hukum Walikota Denpasar yang didasarkan atas hukum publik
Perbuatan Hukum Walikota Denpasar yang didasarkan atas hukum privat
Kedudukan Walikota dengan pihakpihak yang diatur dalam perbuatan hukum ini, tidak sejajar, artinya Walikota Denpasar mempunyai kewenangan untuk memerintah dan pihak-pihak yang diatur dalam perbuatan hukum ini berada pada kedudukan diperintah.
Kedudukan Walikota dengan pihak-pihak yang diatur dalam perbuatan hukum privat ini, sejajar, artinya Walikota Denpasar mempunyai kedudukan yang sama dengan pihak-pihak yang diatur dalam perbuatan hukum privat ini.
Contoh: Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/ 10/HK/2011 tentang Penunjukkan
Contoh: Perjanjian Pemerintah Kota Denpasar Nomor 011/80/PAD. Tahun 2013 tentang perjanjian sewa menyewa tanah dan bangunan untuk keperluan Kantor Kelurahan Renon Dalam
contoh
121
Pejabat/Petugas Pengamanan Persandian Daerah Kota Denpasar Dalam contoh diatas, kelihatan sekali Walikota Denpasar mempunyai kewenangan untuk memerintah dan .... sebagai pejabat..... berada pada kedudukan yang diperintah.
Hukum yang mengatur
Hukum yang mengatur perbuatan hukum Walikota Denpasar yang didasarkan atas hukum publik, Contoh Peraturan Walikota Denpasar nomor 25 A Tahun
diatas, paling tidak dalam hal penentuan harga kontrak, lamanya waktu mengontrak harus ada kesepakatan antara Pemerintah Kota Denpasar dengan pihak-pihak yang diatur dalam hukum privat ini, karena harus ada kesepakatan inilah maka dapat dikatakan kedudukan para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum privat ini yang sejajar. Perbuatan Hukum Walikota Denpasar yang didasarkan atas hukum privat, dasar hukum pengaturannya lasimnya bertumpu pada ketentuanketentuan hukum privat atau Hukum Perdata.
122
2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Jika terjadi gugatan
Hukum yang mengatur perbuatan hukum Walikota Denpasar yang didasarkan atas hukum publik, jika terjadi gugatan diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Contoh gugatan tentang HGB Tiara Gosir
Perbuatan Hukum Walikota Denpasar yang didasarkan atas hukum privat, jika terjadi gugatan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri. Contoh Gugatan Edy Harliyanto tentang pembongkaran toko jalan Gajah Mada Denpasar
Sumber: diolah dari berbagai sumber oleh penulis. Berdasarkan uraian diatas, Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem online yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dapat dikaji dari beberapa aspek seperti: 1. Kedudukan Para pihak : para pihak yang melakukan perjanjian kerjasama pemungutan hotel dengan sistem online yaitu dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Denpasar dan Direktur Utama PT. Bank Pembangunan mempunyai kedudukan yang sama / sejajar
123
2. Hukum Yang Mengatur : dilihat dari substansi perjanjian kerjasama pemungutan hotel dengan sistem online tergolong hukum publik, sedangkan
format/bentuk Perbuatan Hukum dalam melakukan
perjanjian kerjasama pemungutan hotel dengan sistem online didasarkan atas hukum privat, dasar hukum pengaturannya lasimnya bertumpu pada ketentuan-ketentuan hukum privat atau Hukum Perdata. 3. Jika Terjadi gugatan : Perbuatan Hukum yang didasarkan atas hukum privat, jika terjadi gugatan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, hal ini dipertegas dalam Pasal 18 ayat (3) perjanjian kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar dengan PT. Bank Pembangunan daerah Bali (BPD Bali) Nomor : 973/139/DPKD/2012 tentang 0016.10.2012.2 Pemanfaatan
Layanan
Jasa
Perbankan
Untuk
Menerima
Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line. yang menyebutkan bahwa apabila cara musyawarah untuk mencapai mufakat tersebut tidak tercapai, maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Pengadilan Negeri Denpasar. Berdasarkan uraian, maka dapat dikatakan kedudukan hukum perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem online yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar, jika dilihat dari substasinya merupakan perbuatan
124
hukum pemerintah yang didasarkan atas hukum publik, akan tetapi jika dilihat dari aspek format/ bentuk hukum pengaturan yang terdapat didalam perjanjian tersebut, dapat dikatakan perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem online yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar tergolong perbuatan hukum pemerintah yang didasarkan atas hukum privat. Sejalan dengan hasil temuan diatas, Johanes Usfunan mengungkapkan ada beberapa pandangan para sarjana mengenai keputusan yang merupakan perbuatan hukum perdata, yang disebut dengan keputusan yang melebur ke dalam perbuatan hukum perdata seperti114: 1. Keputusan yang jangkauannya akan melahirkan atau justru menolak terjadinya suatu perbuatan hukum perdata.Umpamanya, keputusan penolakan untuk menjual suatu rumah dinas seorang pegawai negeri, penolakan pihak Perumtel untuk memberi sambungan telepon. 2. Keputusan yang melebur dalam perbuatan hukum perdata. Contoh. Keputusan tentang menyewa suatu gedung untuk kantor. 3. Keputusan yang menyebabkan dipenuhinya atau justru tidak dipenuhi suatu syarat yang perlu harus ada suatu perbuatan hukum perdata dapat bekerja dengan sah. Contoh Persetujuan Setneg untuk pemborongan suatu pekerjaan. 4. Keputusan yang merupakan pelaksanaan dari perbuatan hukum perdata. Contoh Keputusan memberi izin menghuni suatu rumah yang dibangun atas dasar perjanjian antara Walikota dengan real estate. Jika dilihat dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah ada 2 sifat produk hukum daerah yaitu : a. Produk hukum daerah yang bersifat pengaturan ; b. Produk hukum daerah yang bersifat penetapan. Bentuk produk hukum daerah yang bersifat pengaturan terdiri dari : 114
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Penerbit Djambatan Jakarta, , hal. 44.
125
a. Peraturan Daerah atau nama lainnya; b. Peraturan Kepala Daerah; c. Peraturan Bersama Kepala Daerah. Sedangkan bentuk produk hukum daerah yang bersifat penetapan berupa Keputusan Kepala Daerah. Dikaitkan dengan kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online dapat diklasifikasikan setara atau sederajat dengan Peraturan Bersama Kepala Daerah, hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan: a. Dari aspek prosedur penyusunan perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, dimana draft naskah kerjasama itu berasal dari Pimpinan SKPD teknis terkait yang menangani masalah pemungutan pajak daerah dalam hal ini adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar. Kemudian draft naskah tersebut dilakukan pembahasan oleh Bagian Kerjasama Sekretariat Daerah Kota Denpasar dengan Tim Kerjasama Kota Denpasar, setelah itu draft perjanjian tersebut diharmonisasi dan disinkronisasi dengan SKPD Teknis terkait lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, maka prosedur penyusunan perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online diatas sama dengan prosedur penyusunan Peraturan Bersama Kepala Daerah.
126
b. Dari aspek substansi atau materi yang diatur dalam
perjanjian kerjasama
pemungutan pajak hotel dengan sistem online, sama dengan materi/substansi yang diatur dalam Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Bersama Kepala daerah yang bersifat umum dan mengikat pihak luar yaitu dalam hal ini adalah PT. Bank Pembangunan Daerah Bali. Dilihat dari aspek prosedur penyusunan dan materi/substansi yang diatur dalam perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, dapat disetarakan dengan produk hukum yang bersifat pengaturan yang berbentuk Peraturan Bersama Kepala Daerah. 4.3. Akibat Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem On Line Kekuatan hukum menurut sejarahnya, mula pertama timbul dalam lapangan hukum perdata/privat. Kekuatan hukum dari tindakan pemerintah pada mulanya dibahas oleh van der Pot115. Kekuatan hukum dibedakan atas kekuatan hukum formal dan kekuatan hukum material. Tindakan pemerintahan mempunyai kekuatan hukum formal, apabila kekuatannya tidak dapat ditiadakan lagi oleh organ yang lebih tinggi misalnya banding. Sedangkan Utrcht116 mengatakan kekuatan hukum formal dari tindakan pemerintah apabila ketetapan itu tidak dibantah lagi oleh alat hukum.
115
Philipus M Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan, Djumali Surabaya, , hal. 26. (selanjutnya disebut Philipus M Hadjon V) 116 Utrecht, op.cit, hal.119.
127
Keputusan pemerintah yang telah dilaksanakan atau telah berlaku dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum material117. Namun W.F Prins mengatakan keputusan pemerintah yang telah mempunyai kekuatan hukum material, dapat ditarik kembali dengan memperhatikan asas-asas tertentu, seperti118: a. Keputusan yang dibuat karena yang berkepentingan menggunakan tipuan; b. Suatu ketetapan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan; c. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dengan beberapa syarat tertentu, pada waktu tersebut yang dikenai tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan; d. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh ditarik kembali, setelah lewat jangka waktu tertentu apabila dengan penarikan tersebut keadaan yang layak akibat dari keputusan tersebut menjadi keputusan yang tidak layak. e. Oleh karena suatu keputusan lahirlah suatu keadaan yang tidak layak yang menimbulkan kerugian bagi negara. f. Menarik atau mengubah suatu keputusan harus dilakukan sesuai dengan formalitas pembuatan keputusan. Sedangkan dari sisi hukum privat, suatu perjanjian dikatakan mempunyai kekuatan hukum, apabila telah memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Pasal 1320 KUH perdata Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.
117 118
Utrecht, ibid, hal 127. Utrecht, ibid, hal. 128-129.
128
Pasal 1338 KUH Perdata Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan mempergunakan dasar pemikiran seperti yang diuraikan diatas, apabila ditelusuri substansi Perjanjian Kerjasama Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem online tersebut, memuat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang merupakan akibat hukum dari diberlakukannya Perjanjian Kerjasama Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem online ini. Kekuatan hukum yang terkandung didalam Perjanjian Kerjasama Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem online ini berupa hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sebagai berikut: Adapun Hak dan Kewajiban dari para pihak dalam Perjanjian Kerjasama Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem online adalah sebagai berikut: Pihak Pertama mempunyai hak dan kewajiban : 1. Menyediakan data base pembayaran setoran pajak untuk wajib pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak air tanah untuk dapat diakses oleh Pihak Kedua setiap awal bulan dimulai pada tanggal 10 setiap bulannya 2. Data pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak air tanah Pihak Pertama wajib di upload ke Pihak Kedua melalui jaringan komunikasi, sehingga Pihak Kedua dapat mengakses data tersebut setiap terjadi transaksi pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak air tanah.
129
3. Menjaga kestabilan server produksi Pihak Pertama sehingga pelaksanaan pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak air tanah dapat berjalan lancar. 4. Menjamin kebenaran dan keakuratan data pembayaran setoran wajib pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak air tanah yang ada di host Pihak Pertama. 5. Pihak Pertama atas dasar hasil rekonsialisi, yang berdasarkan data penerimaan data pembayaran pajak oleh Pihak Kedua akan menerima setoran dari Pihak Kedua pada hari kerja berikutnya (H+1) kecuali akhir bulan setoran tersebut disetorkan pada hari kerja yang sama (H+0) pada rekening kas umum daerah Pemkot Denpasar. Pihak Kedua mempunyai hak dan kewajiban : 1. Menyiapkan dan memelihara jaringan komunikasi dan sistem pembayaran online pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak air tanah Pihak Pertama yang dilakukan melalui layanan Pihak Kedua, berupa layanan teller dan layanan elektronik. 2. Menerima setoran pembayaran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak air tanah Pihak Pertama 3. Melakukan rekonsiliasi data secara terpusat atau tersentralisasi terhadap data harian pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak air tanah Pihak Pertama.
130
4. Menyetorkan hasil penerimaan pajak sebesar nominal sesuai dengan data hasil rekonsiliasi pada maksimal hari kerja berikutnya (H+1), kecuali akhir bulan setoran tersebut wajib disetorkan pada hari kerja yang sama (H+0) pada rekening kas umum daerah Pemkot denpasar. 5. Apabila terjadi gangguan jaringan komunikasi yang digunakan dalam program penerimaan pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak air tanah secara online, maka Pihak Kedua segera melaksanakan perbaikan sistem, sehingga pelayanan dapat berfungsi dengan baik.
131
BAB V PENUTUP 1.
Kesimpulan Dari uraian / kajian pada pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut : a. Pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang kemudian untuk di Kota Denpasar tindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, disamping dasar hukum yang dipakai adalah Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali) Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010 0006/107/110/2012.2 tentang Pemanfaatan
Layanan
Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara On Line, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali). Nomor : 973/139/DPKD/2012 0016.10.2012.2 tentang
Pemanfaatan
Layanan
Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line.
132
Terkait dengan perjanjian kerjasama kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online dasar hukum yang dipakai sebagai acuan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. b. Kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online dapat diklasifikasikan setara atau sederajat dengan Peraturan Bersama Kepala Daerah, hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan: Dari aspek prosedur penyusunan perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, dimana draft naskah kerjasama itu berasal dari Pimpinan SKPD teknis terkait yang menangani masalah pemungutan pajak daerah dalam hal ini adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar. Kemudian draft naskah tersebut dilakukan pembahasan oleh Bagian Kerjasama Sekretariat Daerah Kota Denpasar dengan Tim Kerjasama Kota Denpasar, setelah itu draft perjanjian tersebut diharmonisasi dan disinkronisasi dengan SKPD Teknis terkait lainnya. Dari aspek substansi atau materi yang diatur dalam perjanjian kerjasama pemungutan
pajak
hotel
dengan
sistem
online,
sama
dengan
materi/substansi yang diatur dalam Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Bersama Kepala daerah yang bersifat umum dan mengikat pihak luar yaitu dalam hal ini adalah PT. Bank Pembangunan Daerah Bali. Dilihat dari aspek prosedur penyusunan dan materi/substansi yang diatur dalam perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online,
133
dapat disetarakan dengan produk hukum yang bersifat pengaturan yang berbentuk Peraturan Bersama Kepala Daerah. 2.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dikemukakan saran sebagai solusi dalam penulisan ini yaitu : Untuk menghindari adanya kekosongan norma hukum, maka Pemerintah Kota Denpasar perlu segera menerbitkan Peraturan Walikota tentang Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran, dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagai tindak lanjut dari Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, sehingga Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali) Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010 0006/107/110/2012.2 tentang Pemanfaatan
Layanan
Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara On Line, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali) Nomor : 973/139/DPKD/2012 0016.10.2012.2 tentang
Pemanfaatan
Layanan
Jasa
Perbankan
Untuk
Menerima
Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line, mempunyai landasan atau dasar hukum yang kuat.
134
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor Anonim, 2007, Pedoman Nasional Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Dirjen Perimbangan Keuangan. Ateng Syarudin,1993,Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah,Mandar Maju Bandung, Atmadja, I Dewa Gede 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD. Alf Ross, 1959, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles. Bagir Manan dan Kuntana Magnar,1997,Kedudukan dan Fungsi Keputusan Presiden Sistem Perundang-undangan dan peranannya dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi,Penerbit Alumni, Bandung. Budiman.N.P.D.Sinaga, 2004, Yogyakarta, UII Press
Ilmu
Pengetahuan
Perundang-undangan,
Burn, Danny, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, “The Politics of Decentralisation, Revitalising Local, Democracy”, The Macmillan Pres Ltd. London. Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta, Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta, Darji Darmodiharja, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filasafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz. Erly Suandy, 2000, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta,
135
H. Lauddin Marsuni, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Hari Chand, 1994, Modern Yurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur. Hilaire McCoubrey and Nigel D White, 1996, Yurisprudence, Blackstone Press Limited, London. Kelsen, Hans, 1973, General Theory of Law and State, Translate by Anders Wedberg, Russel & Russel, New York. Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah,UII Press, Yogyakarta Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Tentang Hukum Tata Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintah Daerah Otonom dan Wilayah Administratif, Bandung, CV. Armico. Kusnardi Moh dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti. Mardiasmo,2008, Perpajakan edisi Revisi 2008, Yogyakarta, Penerbit Andi. Mahfud. MD, Moh 2001, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Marihot P. Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Maria Farida Indrati Seoprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar Pembentukannya , Yogyakarta, Kanisius, Muin Fahmal, H.A. 2006, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, Mukthi Fajar, 2004, Type Negara Hukum, Bayu Media Publihsing, Malang. Ni Matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset.
136
P.W. Brouwer et.al, 1992, Grond Rechten and Conflic in Law, Rechts Filosoticband Rechts Theori 7, Tjeen Willink, Zwole. Philipus M. Hadjon,dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet.I. Gadjah Mada University Press.
----------, 1993, Pemerintahan Menurut Hukum (wet-en rechtsmatigheid van bestuur), Yuridika, Surabaya. ----------, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban, Surabaya. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, 2003, UII Press, Yogyakarta. Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT. Eresco, Bandung. Rosjidi Ranggawijaya,1998, Pengantar Ilmu perundang-undangan, Mandar Maju Bandung, Sadjijono, 2008, Memahami beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta. Santoso Brotodihardjo, R, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT. Eresco. Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-Dasar Perpajakan, Surabaya, Usaha Nasional, Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta. Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang peraturan Pengganti Undang-undang, Universitas Muhamadyah, Malang. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni Bandung, Soedargo. R, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bandung N.V. Eresco. Soehino,1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE.
137
Solly Lubis,1997, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,Alumni, Bandung Sjahran Basah,1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di Indonesia,Alumni, Bandung, SF,Marbun,2004, Mandat,Delegasi,Atribusi Indonesia,UII Press Yogyakarta
Dan
Implementasinya
Di
Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak daerah di Indonesia, Jakarta, Yellow Printing Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Bina Aksara. Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal Politik Perubahan Kebijakan 1974 – 2004, Jakarta, Penerbit Kencana. Yohanes Usfunan, 1999, Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Disertasi, Surabaya, Program Pascasarjana Universitas Airlangga,
Makalah, dan Tulisan Ilmiah. Atmadja, I Dewa Gede 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD. Hamid S Atamimi, 1990, Peranan Kepususan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara : Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV disertasi ,Jakarta Pasca sarjana UI. Ibrahim R, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di Indonesia. Denpasar, Makalah. Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Denpasar 5 – 7 Februari 2009. Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HAIV/AIDS dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, Lokakarya Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia, diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu 11-14 Juni di Bandung,
138
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember. -----------,1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegheid) Pro Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998. Dinas Pendapatan Kota Denpasar 2012, Kerangka Acuan Kerja Penyusunan Dan Pembuatan Aplikasi Sistem Pembayaran Pajak Daerah, Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761 ). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 153). Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 5).