DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................................... i HALAMAN SAMPUL DALAM ............................................................................. ii HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ..................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/ PENGESAHAN .......................... iv HALAMAN PENETAPAN PENGUJI ..................................................................... v KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................................. x ABSTRAK ................................................................................................................ xiv ABSTRACT ................................................................................................................ xv BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang .................................................................................... 1 1.2 Rumusan masalah ............................................................................... 12 1.3 Ruang Lingkup Masalah ..................................................................... 13 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 13 1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 13 1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 13 1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 14 1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 14
x
1.5.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 14 1.6 Landasan Teoritis ............................................................................... 15 1.7 Metode Penelitian ............................................................................... 28 1.7.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 29 1.7.2 Jenis Pendekatan ...................................................................... 30 1.7.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................ 31 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................................... 32 1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................................... 33
BAB II
TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Penyalahgunaan ................................................................ 34 2.2 Bahan-bahan Kimia Berbahaya .......................................................... 34 2.2.1 Pengertian Bahan-bahan Kimia Berbahaya ............................ 34 2.2.2 Jenis/ Kriteria Bahan-bahan Kimia Berbahaya ....................... 36 2.3 Tindak Pidana .................................................................................... 39 2.3.1 Pengertian Tindak Pidana ........................................................ 39 2.3.2 Unsur-unsur Tindak Pidana ..................................................... 41 2.3.3 Jenis-jenis Tindak Pidana ......................................................... 44 2.4 Pertanggungjawaban Pidana .............................................................. 49 2.4.1 Kemampuan Bertanggungjawab .............................................. 50 2.4.2 Hubungan Batin Antara Pembuat Dengan Perbuatannya ........ 54 2.4.3 Tidak Ada Alasan Pemaaf ....................................................... 55 xi
BAB III PENGATURAN BAHAN-BAHAN BERBAHAYA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA 3.1 Pengaturan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia .................................................................................. 57 3.2 Pengaturan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya .......................................................... 61
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
PELAKU
PENYALAHGUNAAN BAHAN-BAHAN KIMIA BERBAHAYA 4.1 Pertanggungjawaban Pidana bagi setiap orang/ individu yang menyalahgunakan Bahan-bahan Kimia Berbahaya dalam suatu tindak pidana .................................................................................. 72 4.2
Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi yang menyalahgunakan Bahan-bahan Kimia Berbahaya dalam suatu tindak pidana .......... 83
4.3
Urgensi Pengaturan mengenai Pertanggungjawaban pidana pelaku penyalahgunaan Bahan-bahan Kimia Berbahaya dalam suatu tindak pidana ............................................................................................. 92 xii
BAB V
PENUTUP 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 95 5.2 Saran ................................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA
xiii
14
ABSTRAK Pada dasarnya Bahan-bahan Kimia Berbahaya sangat diperlukan oleh manusia dalam bidang-bidang tertentu, bahkan seluruh kehidupan manusia pada umumnya dapat dikatakan akan selalu berdampingan dan bersentuhan dengan keberadaan bahan-bahan kimia tersebut. Dengan sifatnya yang berbahaya, oleh oknum-oknum tertentu banyak disalahgunakan sebagai sarana untuk memuluskan aksi dalam suatu tindak pidana. Maka dari itu, dalam penulisan ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah sesungguhnya pengaturan bahan-bahan kimia berbahaya dalam hukum positif Indonesia dan bagaimana pertanggungjawaban pidana jika pelaku tindak pidana terbukti menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaturan bahan-bahan kimia berbahaya dalam Hukum Positif Indonesia dan sekaligus menganalisis bahan-bahan Kimia Berbahaya dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2008. Adapun metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini digunakan karena mengingat terjadinya kekosongan norma disaat timbulnya suatu permasalahan hukum yang susah untuk dicarikan jalan keluarnya. Dalam hal ini belum terdapatnya suatu aturan yang memuat ancaman pidana bagi orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana. Sampai saat ini keberadaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Namun yang hanya secara spesifik mengatur mengenai penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya adalah Undang-Undang No. 9 Tahun 2008. Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008 menjelaskan bahwa dalam hal-hal tertentu Bahan-Bahan Kimia Berbahaya hanya boleh dapat dipergunakan, seperti keperluan pendidikan dan kesehatan. Namun selebihnya tidak memuat ancaman pidana bagi orang atau korporasi yang menggunakan atau menyalahgunakan diluar keperluan yang telah ditentukan oleh undang-undang ini. Oleh sebabnya sangat dibutuhkan suatu peraturan pelaksana yang diharapkan dapat memback-up Undang-undang dalam hal pemberian izin menggunakan dan ancaman pidana bagi setiap orang yang menyalahgunakan BahanBahan Kimia Berbahaya. Kata Kunci : Penyalahgunaan, Bahan-Bahan Kimia Berbahaya, Pertanggungjawaban Pidana
xiv
ABSTRACT Basically Hazardous Chemical Substances needed by humans in certain fields, even the whole of human life in general can be said to be always adjacent to and in touch with the presence of these chemicals. By its hazardous nature, some persons widely abused as a means to smooth out the action in a criminal act. Therefore, in this study the issue raised is how the actual setting of hazardous chemicals in the regulation of Indonesia and how the criminal responsibility works if the person evidently abuses the hazardous chemicals. This study aimed to find out the setting of hazardous chemicals in Indonesia and the Positive Law as well as analyzing the materials of Hazardous Chemicals in the Act No. 9, 2008. The research methods used in this study is a normative legal research. Normative legal research is used as a vacuum in the norm when considering the emergence of a legal problem that is difficult to find a way out. In this case, it is not the presence of a rule that contains the punishment for those who abuse hazardous chemicals in a criminal act. Until now the existence of Hazardous Chemicals is arranged in a variety of legislation in Indonesia. But the regulation in the use of Hazardous Chemicals specifically arranged in the Act No. 9, 2008. It explains that Hazardous Materials may only be used in the particular occasions such as for education and health. But for the rest, it does not contain the punishment for people or corporations that use or abuse beyond the purposes that stipulated by this act. That is why an implementing regulation is needed which expected to back up the Act for licensing use and the punishment for any person who abuses the Hazardous Chemicals. Keywords : Abuse, Hazardous Chemicals, Criminal Responsibility
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan Bahan Kimia dalam
kehidupan manusia memberi kontribusi yang besar. Tanpa disadari, manusia secara tidak langsung bergantung penuh dengan kehadiran bahan kimia tersebut. Seluruh produk pembersih rumah, kosmetik, peralatan mandi, obat-obatan dan bahkan makanan siap saji pun tidak luput dari jamahan bahan kimia. Namun dipihak lain, dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, kehadiran bahan kimia banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Tidak jarang diantaranya digunakan sebagai sarana untuk melancarkan aksi tindak pidana. Sebagai contohnya adalah, penggunaan bahan kimia sianida dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Dalam kasus tersebut di duga kuat bahwa terdapat campuran bahan kimia sianida dalam kopi yang diminum oleh wayan mirna. Bahan kimia sianida pada dasarnya adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan untuk dicampur kedalam makanan ataupun minuman, karena kandungannya yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Bahan Kimia Sianida atau Natrium Sianida (NaCN), merupakan bahan kimia berbentuk kristal kubus atau serbuk, dan tidak berwarna. Bahan kimia ini biasa digunakan dalam bidang pertanian, fotografi dan industri logam. Dalam bidang pertanian, biasanya petani dengan mudah mendapatkannya di toko-toko
2
kimia guna memberantas hama. Selain itu, sianida di fungsikan juga untuk mengekstraksi emas dan perak di pertambangan, atau dengan kata lain bahan ini berfungsi untuk memisahkan kandungan emas dari material lainnya, sehingga unsur emas murni didapatkan. Selain berfungsi dalam bidang pertanian dan juga industri logam, beberapa nelayan juga biasa menggunakan bahan kimia ini guna kepentingan penangkapan ikan di laut. Sebagai contohnya, di perairan Sulawesi Utara, Bahan Kimia Sianida beredar secara illegal. Bahan Kimia ini digunakan untuk memperlancar aktivitas penangkapan ikan secara illegal. Para nelayan hanya cukup menebar bahan kimia sianida di air laut, maka ikan-ikan akan mati dan mengambang.1 Maka oleh itu, sangatlah berbahaya jika bahan kimia seperti sianida disalahgunakan guna kepentingan-kepentingan tertentu. Contoh penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya, dapat kita lihat pada kasus tindak pidana terorisme. Sebagian besar bom yang digunakan oleh teroris merupakan hasil rakitan dari bahan-bahan kimia berbahaya. Dari beberapa kasus pengeboman di Indonesia, bom yang digunakan merupakan bom yang dirakit dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang mudah untuk di dapatkan. Bom-bom tersebut bisa dibuat dengan bahan-bahan kimia atau material yang banyak dijual bebas dipasaran. Dalam buku Metode Identifikasi Berbagai Kasus Kejahatan, Amri menyebutkan setidaknya ada tiga kelompok bahan kimia yang bisa dirakit menjadi bom, yakni : 1
Faizal Maksum, “Bahaya Sianida bagi Manusia dan Lingkungan”, Tribun Manado, 27 Agustus 2013
3
1. Kelompok Oksidator. Merupakan bahan kimia yang bersifat pembawa oksigen dalam proses peledakan atau pembakaran oksigen. Dalam kelompok ini antara lain; asam sulfat, asam nitrat, asam oksalat, hidrogen peroksida, natrium broksida, kalium peroksida, kalium klorat, kalium nitrat, kaporit, dan zat asam. 2. Kemudian kelompok reduktor. Yakni bahan kimia yang bersifat menarik oksigen atau memerlukan oksigen dalam proses peledakan atau pembakaran. Dalam kelompok ini antara lain; bubuk carbonat, belerang atau sulfur, amoniak, astilen, benzon, siloheksan, dioktil plalat, gas hidrogen, gas alam, karbon monoksida, metanal, dan propilen. 3. Kelompok terakhir biasanya merupakan bahan tambahan yang berfungsi sebagai katalisator. Bahan-bahan ini berfungsi mempercepat proses peledakan, menimbulkan efek bakar, efek racun dan panas yang tinggi. Dalam kelompok ini adalah; aluminium powder, magnesium powder, termit, fenil merkuri asetat, dan kalium sianida.
Keseluruhan bahan kimia tersebut diatas merupakan bahan-bahan kimia yang mudah dapat diketemukan oleh setiap orang di toko-toko bahan kimia. Dalam koran kompas tanggal 18 Januari 2016, menyatakan bahwa pelaku Bom Bali I, Amrozi, mengaku membeli sendiri bahan-bahan kimia di Jalan Tidar Surabaya yang digunakannya untuk meracik bahan peledak.2 Berdasarkan 2 (dua) contoh kasus riil yang telah disebutkan diatas, dapat dimaknai bahwa keberadaan bahan-bahan kimia pada dasarnya dapat diketemukan secara mudah dimana pun. Hal ini dikarenakan bahan-bahan kimia tersebut merupakan salah satu kebutuhan pokok yang digunakan pada bidang-bidang tertentu, sebagai contoh adalah penggunaan bahan kimia sianida pada bidang pertanian, fotografi, dan industri logam, serta penggunaan bahan kimia Asam Sulfat yang biasa digunakan untuk pemrosesan bijih mineral, sintesis kimia,
2
Achmad Faizal, “Pasca-Bom Thamrin, Polisi Surabaya Awasi Penjualan Bahan Kimia”, Kompas, 18 Januari 2016.
4
pemrosesan air limbah dan pengilangan minyak. Keberadaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut dibutuhkan dan diperlukan oleh masyarakat pada umumnya. Oleh
sebabnya
sangat
sulit
untuk
dibatasi
atau
pun
dilarang
penggunaannya karena bahan-bahan kimia tersebut sejatinya memiliki fungsi dan kegunaan yang dapat membantu berbagai hal. Namun dalam hal ini, dengan maraknya penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana, seperti pembunuhan wayan mirna dengan menggunakan bahan kimia sianida pada kopi yang diminumnya serta penggunaan bahan-bahan kimia pada rakitan bom yang digunakan oleh terorisme, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyalahgunaan fungsi bahan-bahan kimia berbahaya menjadi suatu sarana untuk memuluskan aksi tindak pidana. Oleh sebabnya dirasa perlu adanya suatu regulasi atau aturan yang jelas dan yang dapat memberi arahan bahwa bahan-bahan kimia hanya boleh digunakan untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Sampai saat ini penggunaan dan pengelolaan bahan-bahan kimia di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia. Namun jika dicermati secara mendalam, bahwasannya setiap pasal dalam undang-undang ini tidak mengatur baik secara implisit ataupun eksplisit mengenai sanksi pidana bagi tindak pidana penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya yang oleh oknum-oknum tertentu digunakan untuk memuluskan aksi kejahatannya.
5
Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008 pada dasarnya secara garis besar hanya memuat ketentuan tentang : 1. Ketentuan mengenai perizinan dalam memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia beserta sanksinya (Pasal 7 dan Pasal 9). Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa : (1) Setiap orang yang memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia Daftar 1 atau Bahan Kimia Daftar 2 dan/atau Bahan Kimia Daftar 3 wajib memiliki izin. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khususnya dengan Bahan Kimia Daftar 2 dan/atau Bahan Kimia Daftar 3, dilakukan hanya untuk kepentingan: a. industri, pertanian, penelitian, medis, farmasi, atau tujuan damai lainnya; b. perlindungan, yaitu untuk tujuan yang berkaitan langsung dengan perlindungan menghadapi bahan kimia beracun atau menghadapi senjata kimia; c. pertahanan yang tidak berkaitan dengan penggunaan senjata kimia dan tidak bergantung pada penggunaan bahan kimia beracun yang digunakan sebagai metode perang; atau d. penegakan hukum, termasuk di dalamnya untuk mengatasi kerusuhan di dalam negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika melihat penjelasan dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia, maka hanya dijelaskan terkait penjelasan pada Pasal 7 ayat
6
(1) yang menyatakan bahwa Bahan Kimia Daftar 1 pada dasarnya dilarang, tetapi dapat diadakan dan digunakan untuk kepentingan penelitian, medis, dan/atau farmasi dengan izin Menteri. Terlepas dari hal tersebut, dalam pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) tidak diberikan penjelasan secara rinci atau dengan kata lain hanya dinyatakan dengan perkataan “cukup jelas”. Sedangkan dalam Pasal 9 sendiri dinyatakan bahwa : (1) Setiap orang yang membuat, memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan Bahan Kimia Daftar 1, Bahan Kimia Daftar 2, atau Bahan Kimia Daftar 3 wajib menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun kepada Menteri. (2)
Setiap orang yang memproduksi bahan kimia organik diskret nondaftar dengan batasan jumlah yang harus dideklarasikan wajib menyampaikan laporan kepada Menteri.
(3) Setiap orang yang mempunyai fasilitas pabrik yang memproduksi Bahan Kimia Daftar 1, Bahan Kimia Daftar 2, Bahan Kimia Daftar 3, dan bahan kimia organic diskret nondaftar wajib menyampaikan laporan kepada Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika melihat penjelasan yang berhubungan dengan pasal 9, maka hanya didapatkan suatu penjelasan terkait dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 9 ayat (2), dengan kata lain pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) tidak dijelaskan secara rinci. Adapun hal yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat (2) adalah Yang dimaksud dengan “batasan
jumlah”
adalah
jumlah
minimum
yang
harus
7
dideklarasikan sebagaimana tercantum dalam Konvensi Senjata Kimia. Dari hal tersebut diatas dapat dimaknai beberapa hal penting, yakni : Pertama, bahwa berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 7 ayat (1) mengharuskan setiap orang yang memiliki, menyimpan, dan bahkan memproduksi bahan-bahan kimia berbahaya wajib memiliki izin. Namun demikian jika mencermati secara mendalam, baik dalam penjelasan undang-undang ini dan peraturan pemerintah yang diharapkan dapat menjadi peraturan pelaksana dari Undang-undang No. 9 Tahun 2008 tidaklah ada, dalam arti lain secara lebih lanjut tata cara perizinan dalam orang memiliki, menyimpan, dan memproduksi bahan-bahan kimia berbahaya tidak terdapat aturan yang secara khusus mengaturnya. Dipihak lain dalam undang-undang ini juga tidak memberikan suatu ancaman pidana bagi setiap orang maupun korporasi yang memiliki, menyimpan, dan memproduksi bahan-bahan kimia berbahaya tanpa adanya suatu izin sah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebutlah yang memungkinkan dan memberi peluang kepada setiap orang untuk dapat membeli secara bebas setiap bahan kimia berbahaya tanpa suatu prosedur yang pasti. Jika niat seseorang dalam membeli bahan-bahan kimia tersebut baik, dalam arti
digunakan
untuk
keperluan-keperluan
tertentu
dalam
8
menunjang aktifitasnya, maka tidaklah perlu dipermasalahkan tata cara prosedur ataupun izin dalam memiliki bahan-bahan kimia berbahaya. Namun jika melihat dan berkaca dari beberapa kasus yang telah terjadi belakangan ini, seperti penyalahgunaan bahanbahan kimia berbahaya untuk meracuni orang melalui minuman, dan penyalahgunaan bahan-bahan kimia sebagai bahan untuk merakit
bom,
maka
dianggap
perlu
pasal
ataupun
penambahan-penambahan
untuk
diadakannya
dibentuknya
suatu
peraturan pelaksana yang sekiranya dapat mengatur mengenai tata cara atau prosedur mengenai izin dalam orang memiliki, menyimpan,
dan
bahkan
memproduksi
bahan-bahn
kimia
berbahaya. Kedua, melalui ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) beserta dengan penjelasannya maka dapat dimaknai bahwa setiap orang yang telah memiliki izin untuk memiliki, menyimpan, dan bahkan memproduksi bahan-bahan kimia berbahaya hanya diperbolehkan penggunaannya dalam hal-hal tertentu saja. Hal tertentu yang dimaksud yaitu seperti keperluan industri, pertanian, medis, dan lain sebagainya. Yang menjadi suatu permasalahan pokok disini adalah, dalam Undang-undang ini tidak memuat pengaturan mengenai pidana apa yang diberikan jika seseorang ketika
telah
memiliki
bahan-bahan
kimia
berbahaya
dan
9
selanjutnya disalahgunakan untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh undang-undang. Hal tersebutlah sejatinya yang memberi ruang kepada oknum-oknum tertentu untuk melakukan penyalahgunaan bahanbahan kimia berbahaya, selain tata cara izin memiliki yang tidak jelas, juga tidak adanya suatu aturan yang pasti yang dapat mempidanakan seseorang dalam hal menyalahgunakan bahanbahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana. Ketiga, dalam pasal 9 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap orang yang membuat, memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan bahan-bahan kimia harus menyampaikan laporan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun kepada menteri. Lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan undang-undang tersebut. Selain itu sama halnya dengan izin yang diatur dalam pasal 7, peraturan pelaksana mengenai tata cara pelaporan yang diatur dalam pasal 9 pun sampai saat ini belum ada. Hal inilah yang pada dasarnya menjadi ruang bagi beberapa oknum untuk menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
2. Selain mengatur mengenai ketentuan terkait perizinan dalam memproduksi,
memiliki,
menyimpan,
mentransfer,
atau
10
menggunakan Bahan Kimia, Undang-undang No. 9 Tahun 2008 juga hanya sebatas mengatur mengenai sanksi atau pidana bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan bahan kimia sebagai senjata kimia dan penggunaan senjata kimia di dalam dan di luar wilayah negara Republik Indonesia. (Pasal 3) Hal tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini Hukum Positif Indonesia terkhusus kaitannya dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia, belum sepenuhnya mengakomodir mengenai ketentuan pidana terhadap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan fungsi bahan-bahan kimia berbahaya tersebut sebagai sarana bagi mereka untuk melakukan sebuah kejahatan. Dengan kata lain, telah terjadi kekosongan norma dalam Undangundang No. 9 Tahun 2008 terkhusus kaitannya dengan pengaturan yang diatur dalam pasal 7. Akan sangat sulit kedepannya jika tidak diadakannya suatu pembenahan atau penambahan norma dalam hal ini. Karena pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan yang hanya mengatur tentang penggunaan bahanbahan kimia berbahaya adalah Undang-undang No. 9 Tahun 2008 saja, oleh sebabnya sangat diperlukan suatu pembaharuan dalam undang-undang ini agar kedepannya benar-benar terciptanya suatu kepastian hukum. Dewasa ini berkaca dari kasus-kasus yang telah terjadi, seperti halnya kasus pembunuhan wayan mirna salihin, sangat disesalkan bahwa hukum belum dapat mengakomodir dan memberikan rasa adil kepada semua pihak, yang di akibat belum adanya suatu aturan yang secara spesifik dapat menjerat pelaku. Hal
11
ini tentunya akan menjadi sebuah ketakutan tersendiri kedepannya, karena aturan yang sekarang masih bersifat kurang. Dalam hukum pidana sendiri, tidak akan pernah bisa seseorang dapat di pidana kalau perbuatan yang ia lakukan belumlah diatur dalam undang-undang. Hal ini dalam hukum pidana lebih dikenal dengan Asas Legalitas, yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang selanjutnya disebut (KUHP). Dalam pasal tersebut diterangkan secara jelas bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Hal ini bagi Moeljatno mengandung 3 makna penting, yakni : 1. Tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias); 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.3 Jika dikaitkan dengan kasus-kasus penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya yang telah terjadi, pada dasarnya perbuatan yang dilakukan oleh beberapa oknum tersebut telah menimbulkan suatu akibat sehingga ada pihak atau korban yang dirugikan dalam hal ini. Penyalahgunaan fungsi bahan-bahan kimia
3
Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, (selanjutnya disebut Moeljatno I), h.27
12
berbahaya sebagai sarana suatu tindak pidana sesungguhnya dianggap sebagai suatu tindakan tercela, sehingga bagi setiap pelaku harusnya ditimpakan pidana. Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia seharusnya mengakomodir mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana. Oleh sebabnya sangat dianggap perlu untuk dilakukan pembaharuan hukum terkhusus mengenai hal ini, agar terciptanya kenyamanan, keamanan, dan kepastian hukum kedepannya. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulisan skripsi ini tertarik untuk mengkaji lebih lanjut Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan
Kimia
Sebagai
Senjata
Kimia
terkhusus
kaitannya
dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana, dan judul yang diangkat dalam penulisan ini yakni “PENYALAHGUNAAN BAHAN-BAHAN KIMIA BERBAHAYA DALAM SUATU TINDAK PIDANA”. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan bahan-bahan kimia berbahaya dalam hukum positif Indonesia? 2. Bagaimanakah
pertanggungjawaban
pidana
bagi
pelaku
yang
menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana?
13
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan, hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut : 1. Yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan bahanbahan kimia berbahaya dalam hukum positif Indonesia. 2. Yang kedua akan dibahas mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memahami isi ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia. b. Tujuan Khusus Terdapat beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian hukum ini, yaitu:
14
1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang pengaturan bahan-bahan kimia berbahaya dalam hukum positif di Indonesia 2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Secara
teoritis,
sumbangan
penelitian
ilmiah
bagi
pengembangan hukum
ini
diharapkan
ilmu
dapat
pengetahuan
pidana, khususnya
memberikan
hukum
dalam
pemahaman teoritis
mengenai pengaturan bahan-bahan kimia berbahaya dalam hukum positif Indonesia, termasuk didalamnya mengenai pertanggungjawaban pidana bagi orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana. b. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi lembaga yang berwenang untuk membentuk undang-undang serta bagi para lembaga penegak hukum, terkait dengan upaya memperlengkapi hukum terkhusus dalam bidang penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak
15
pidana. Dengan ini diharapkan kedepannya terciptanya suatu hukum yang jelas dalam bidang penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam tindak pidana agar terwujudnya kenyamanan, keamanan, dan kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat.
1.6 Landasan Teoritis 1.6.1
Konsep Kepastian Hukum Pada dasarnya kepastian merupakan ciri yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma itu sendiri adalah pernyataan yang menekankan pada aspek “seharusnya” atau “das sollen”, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturanaturan itu dan pelaksanaan aturan tersebutlah yang akan menimbulkan kepastian hukum nantinya.4
4
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h.158.
16
Gustav Radbruch berpendapat bahwa hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yakni : -
Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), yang dimana Asas ini meninjau dari sudut yuridis;
-
Asas keadilan hukum (gerectigheit), yang dimana Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
-
Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility). Menurut Utrecht, kepastian hukum pada dasarnya mengandung dua
pengertian, yaitu : pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.5 Dalam hukum pidana sendiri jiwa kepastian hukum tersebut tertuang atau tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, atau yang lebih akrab disebut dengan Asas Legalitas. Asas legalitas sejatinya memang menghendaki agar terciptanya suatu kepastian hukum dengan memberikan batasan bahwa tidak akan pernah ada suatu perbuatan yang 5
Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, h.23.
17
dapat dipidana jika tidak ada undang-undang atau peraturan yang mengaturnya. Hal tersebutlah yang pada dasarnya menjadi suatu kelemahan dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008, karena undang-undang tersebut tidak mengatur dan seolah-olah memberi ruang kepada setiap orang untuk dapat melakukan tindakan penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
1.6.2
Tindak Pidana Pada dasarnya banyak istilah yang digunakan untuk kata tindak
pidana. Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata tindak pidana/delik. Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit cakupannya dari pada “perbuatan”. Kata “tindak” tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret.6 Dipihak lain E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Adapun Mr. Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata “tindak pidana”, sedangkan Leden Marpaung sendiri menggunakan istilah “delik”.7
6
Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cet Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, h.7 7
Ibid.
18
Sedangkan menurut
Wirjono
Prodjodikoro dalam hal
ini
menggunakan istilah “Tindak Pidana”. Menurut Wirjono, Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Bagi pelaku tindak pidana ini dapat dikatakan sebagai “subjek” tindak pidana.8 Dari berbagai istilah yang dikemukakan oleh para ahli, dalam penulisan ini, istilah yang digunakan untuk menunjukkan kata delik, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana adalah kata “Tindak Pidana”, hal ini dikarenakan istilah tindak pidana lah yang digunakan dalam istilah perundang-undangan di Indonesia. Terlepas dari pandangan para ahli mengenai berbagai istilah yang tepat untuk menunjukkan kata “tindak pidana”, dalam doktrin hukum pidana terdapat dua ajaran yang dijadikan acuan untuk menarik unsurunsur tindak pidana, yakni : a. Ajaran Monisme Dalam ajaran ini secara garis besar memasukkan pengertian pertanggungjawaban pidana kedalam pengertian tindak pidana. Konsep pertanggungjawaban pidana, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, dan alasan pemaaf menjadi satu kesatuan atau tidak dapat terpisahkan dengan konsep tindak pidana. Para ahli yang dalam memberikan pengertian tindak pidana yang di dalamnya memasukkan keempat hal tersebut, sesungguhnya berpandangan bahwa antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana/ kesalahan tidak dapat dipisahkan. Implikasinya, pembuktian unsur objektif (tindak pidana) dan unsure subjektif (kesalahan) tidak dipisahkan.9 8
Wirjono Prodjodikoro, 2014, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. Keenam, PT Refika Aditama, Bandung, h.59
9
Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bima Aksara, Jakarta, (selanjutnya disebut Moeljatno II), h.11
19
b. Ajaran Dualisme Dalam, ajaran ini pengertian tindak pidana semata-mata menunjukkan kepada perbuatan baik secara aktif maupun secara pasif. Sedangkan apakah pelaku ketika melakukan tindak pidana patut dicela atau memiliki kesalahan, tidak lagi merupakan wilayah tindak pidana tapi sudah masuk pada diskusi pertanggungjawaban pidana/ kesalahan. Dengan lain perkataan, apakah inkonkreto yang melakukan perbuatan tadi sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti tindak pidana.10 Menurut Moeljatno, jika memakai ajaran dualisme maka perbuatan pidana atau tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.11 Sedangkan menurut Mr. D. Simons, jika memakai ajaran monisme maka definisi strafbaaf feit (terjemahan harfiah: peristiwa pidana) ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). Dari rumus tersebut Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal
10
Ibid.
11
Moeljatno I, Op.cit, h. 59
20
liability) yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.12 Van Hamel yang juga menganut ajaran monisme memberikan definisi tindak pidana sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en ann schuld te wijten).13 Sedangkan menurut R. Achmad Soemadipradja yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia, yang termasuk dalam batas-batas perumusan suatu delik yang melawan hukum, dan disebabkan karena kesalahan dari pada si petindak.14 Berdasarkan beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli, maka dapat dimaknai bahwa unsur-unsur tindak pidana sejatinya adalah berbeda-beda, namun pada umumnya terdapat unsur-unsur yang sama yakni unsur perbuatan aktif/ positif atau pasif/ negative, unsur akibat, unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil, dan unsur tidak adanya dasar pembenar.15 Dipihak lain para ahli membedakan unsur-unsur tindak pidana menjadi 2 bagian, yakni unsur subjektif dan unsur objektif.
12
Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, Cet. Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, h. 225
13
Ibid.
14
R. Achmad Soemadipradja, 1982, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung,
h. 65 15
Zainal Abidin Farid, Op.cit, h.221
21
a. Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan. b. Unsur Objektif, merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas : - Perbuatan Manusia; - Akibat (result) Perbuatan Manusia; - Keadaan-keadaan (circumstances) baik keadaan saat perbuatan dilakukan maupun keadaan setelah perbuatan tersebut dilakukan; - Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.16 Menurut Lamintang unsur subjektif dan unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut : a. Unsur-unsur Subjektif : - Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); - Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan atau poging; - Berbagai maksud (Oogmerk); - Merencanakan terlebih dahulu (Voorbedachte raad); - Perasaan takut b. Unsur-unsur Objektif : - Sifat melawan hukum - Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.17 Dipihak lain, Moeljatno secara sederhana menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur kelakuan dan akibat, hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum obyektif dan unsure melawan hukum subjektif.18 Wirjono Prodjodikoro menguraikan bahwa unsur-unsur tindak pidana terdiri dari Subjek tindak
16
Leden Marpaung, Op.cit, h. 10
17
Lamintang, 1983, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sumur Batu, Bandung, h. 184
18
Moeljatno I, Op.cit, h. 69
22
pidana, perbuatan dari tindak pidana, hubungan sebab akibat, sifat melanggar hukum, kesalahan pelaku tindak pidana, kesengajaan, culpa, dan kelalaian.19
1.6.3
Pertanggungjawaban Pidana Konsep “Liability” atau “Pertanggungjawaban pidana” pada
dasarnya dapat dilihat dari segi falsafah hukum. Seorang Filsaf besar Roscou Pound secara sistematis mengartikan liability sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu hak istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban.20 Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, konsepsi “liabilty” diartikan sebagai “reparation”, sehingga terjadilah perubahan arti konsepsi “liabilty”, dari “composition for vengeance” 19
20
Wirjono Prodjodikoro, Loc.cit.
Romli Atmasasmita, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Pertama, Yayasan LBH, Jakarta, h. 80
23
menjadi “reparation for injury”. Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman, secara
historis
merupakan
awal
dari
“liabilty”
atau
“pertanggungjawaban”.21 Dalam hukum pidana konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/ perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/ tercela (mens rea).22 Roeslan Saleh mengartikan pertanggungjawaban pidana sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena pebuatannya itu.23 Maksud celaan objektif disini adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang 21
Ibid.
22
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana (Perkembangan dan Penerapan), Rajawali Pers, Jakarta, h. 21. 23
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana), Cet. Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disebut Roeslan Saleh I), h. 75.
24
dilarang. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum baik dalam arti melawan hukum formil maupun melawan hukum materiil. Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada. Chairul Huda menegaskan bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Oleh
karena
itu,
pertanggungjawaban
pidana
adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.24 Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya. Adanya kesalahan pada diri pelaku, harus dipenuhi unsur-unsur berikut : 24
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Kencana, Jakarta, h. 68
25
a) Kemampuan bertanggungjawab yaitu kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan bertanggungjawab seseorang yaitu faktor akal yang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum dan perbuatn yang tidak diperbolehkan oleh hukum, dan faktor kehendak yaitu seseorang dapat menyesuaikan tingkah laku dengan kesadaran akan sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. b) Hubungan kejiwaan antara pelaku dengan perbuatannya, hal ini berkaitan dengan keadaan batin pelaku yang normal yang ditentukan oleh faktor akal yang dapat membedakan antara perbuatan yang boleh dilakukan dengan perbuatan yang tidak boleh dilakukan. c) Dolus atau culpa berkaitan dengan hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya. Kesengajaan (dolus) adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud yang sebenarnya dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan kealpaaan (culpa) adalah keadaan batin pembuat yang bersifat ceroboh, teledor, atau kurang hati-hati sehingga perbuatannya dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi.25 Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu : a)
Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;
b)
Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
c)
Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab;
d)
Tidak ada alasan pemaaf.26 Hal senada pun disampaikan oleh Moeljatno, untuk adanya suatu
kesalahan pada terdakwa, maka terdakwa harus melakukan perbuatan
25
M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, h. 129. 26
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.cit, h. 22
26
pidana (sifat melawan hukum), diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab, mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, tidak adanya alasan pemaaf.27 Berdasarkan uraian diatas, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika sebelumnya orang tersebut telah terbukti melakukan perbuatan yang dilarang. Merupakan hal yang tidak mungkin jika terdapat seseorang yang dimintai pertanggungjawaban pidana sementara dia sendiri tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum. Jika terjadi demikian, loncatan berpikir tidak dapat dielakkan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia juga tidak dapat dihindari.
1.6.4
Teori Penemuan Hukum Penemuan Hukum menurut Sudikno Mertokusumo diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lain yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret, artinya penemuan hukum merupakan proses konkretisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein).28 Ada Beberapa aliran yang melandasi dalam hal penemuan hukum, yakni :
27
28
Moeljatno I, Op.cit, h. 177
Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, h.4
27
-
Aliran Legisme Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang, karena undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan hukum. Kedudukan hakim ada dibawah undang-undang sebagai pelaksana sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi undang-undang.
-
Aliran Historis Aliran ini berpandangan bahwa undang-undang sebagai sumber hukum saja tidak lengkap. Konsekuensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam Undang-undang, oleh karena itu hakim dapat membuat hukumnya (judge made law). Hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi undang-undang dan dianggap sebagai unsure system hukum.
-
Begriffjurisprudenz Aliran ini member kebebasan pada hakim, jadi hakim tidak perlu terikat pada bunyi Undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam Undangundang. Kesalahan dari aliran ini adalah terlalu menjunjung rasio dan logika dalam meluaskan Undang-undang sampai terbentuknya hukum. Penganut aliran ini secara terbalik memandang alat sebagai tujuan sehingga keadilan dan manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.
28
-
Penemuan Hukum Modern Pada aliran ini, yang menjadi titik tolak bukan pada system perundang-undangan, tetapi masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan. Tujuan pembentuk Undang-undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.29 Dari keempat aliran yang melandasi dalam hal terjadinya
penemuan hukum, terlebih kaitannya dengan pertanggunggjawaban pidana bagi setiap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya, maka aliran penemuan hukum modern yang paling tepat untuk dapat digunakan dalam hal ini. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran hukum modern, tidak hanya berpatokan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja akan tetapi melihat pada kenyataan yang ada bahwa Undangundang No. 9 Tahun 2008, belum mampu memberikan kepastian hukum dalam hal penjatuhan pidana terhadap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Berdasarkan hal tersebut besar harapan pembuat Undang-undang dapat merancang dan menetapkan aturan yang baru dengan tujuan memberikan keadilan dan kepastian bagi masyarakat.
1.7 Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk yang untuk
29
Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, UI Press, Yogyakarta, h. 52
29
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Di samping itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.30 Untuk memudahkan dalam menganalisis gejala hukum yang timbul, maka dalam penulisan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1.7.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam
kategori/jenis penelitian hukum normatif.31 Dipilihnya jenis penelitian normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.32 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian hukum normatif ini digunakan karena mengingat terjadinya kekosongan norma disaat timbulnya suatu permasalahan hukum yang susah 30
Soerjono Soekonto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekonto I), h. 43. 31
Soerjono Soekanto, 1985, Penulisan Hukum Normaif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekonto II), h. 15. 32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji III), h.13.
30
untuk dicarikan jalan keluarnya. Dalam hal ini belum terdapatnya suatu regulasi yang mengatur mengenai penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana, mengingat begitu banyak kasus yang telah terjadi terkait dengan pemasalahan penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Berdasarkan hal tersebut dalam mengkajinya lebih mengutamakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1.7.2
Jenis Pendekatan Penulisan ini mengunakan jenis pendekatan perundang-undangan
(The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus dalam penelitian ini sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.33 Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) di karenakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada, apakah telah ada suatu aturan hukum yang mengatur mengenai penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsepkonsep aturan yang jelas tentang penyalahgunaan bahan-bahan kimia 33
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 95
31
berbahaya dalam suatu tindak pidana. Sedangkan pendekatan kasus (The Case Approach) digunakan dalam penulisan ini untuk mengidentifikasi dan mengetahui kasus-kasus yang pernah terjadi terkait dengan penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.
1.7.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini berasal dari : 1)
Sumber bahan hukum primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat.34 Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah : -
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
-
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia.
2)
Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan
34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji IV), h. 34.
32
hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.35 Dipergunakan juga bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum yang diperlukan. 3)
Sumber bahan hukum tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.36
1.7.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penulisan ini yakni teknik kepustakaan (study document).37 Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara berurut dan sistematis sesuai dengan permasalahan.
35
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), h. 141. 36
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 119. 37
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.
33
1.7.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
adalah teknik deskripsi dan teknik argumentasi. Teknik dekripsi adalah teknik analisa dimana menjabarkan data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan. Metode argumentasi adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret.