DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN .........................................................................
i
HALAMAN SAMPUL DALAM .......................................................................
ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ......................... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iv HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ..............................
v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ........................................
ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................
x
ABSTRAK .......... ............................................................................................... xiii ABSTRACT .......................................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 13 1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................................ 14 1.4 Orisinalitas Penelitian ..........................................................................
14
1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................... 16 1.5.1 Tujuan Umum ............................................................................. 16 1.5.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 17 1.6 Manfaat Penelitian ................................................................................. 17 1.6.1 Manfaat Teoritis ........................................................................... 17 1.6.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 17
1.7 Landasan Teoritis ................................................................................... 18 1.7.1. Asas- Asas Hukum Pembuktian .................................................. 18 1.7.2. Teori Pembuktian ........................................................................ 20 1.7.3. Doktrin Mengenai Pembuktian .................................................... 21 1.8 Metode Penelitian .................................................................................. 21 1.8.1 Jenis Penelitian............................................................................ 22 1.8.2 Jenis Pendekatan ........................................................................ 22 1.8.3 Sumber Bahan Hukum ................................................................ 23 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .......................................... 24 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................... 25 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA 2.1 Pengertian Pembuktian ................................................................ 26 2.2 Prinsip Hukum Pembuktian ........................................... ............. 29 2.2.1 Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil................................................. ............. 29 2.2.2 Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara ..... ............. 32 2.3 Macam- macam Alat Bukti ............................................ ............. 35 2.3.1 Alat Bukti Tertulis atau Surat ........................................... 35 2.3.2 Alat Bukti Saksi ................................................................ 39 2.3.3 Alat Bukti Persangkaan .................................................... 42 2.3.4 Alat Bukti Pengakuan ......................................................... 44 2.3.5 Alat Bukti Sumpah ........................................................... 46
BAB III KETERANGAN SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI YANG BERDIRI SENDIRI DALAM
PROSES
PENYELESAIAN
PERKARA
PERDATA 3.1 Pengertian Testimonium De Auditu ............................................. 50 3.2 Testimonium De Auditu diakui Secara Eksepsional ....................... 52 3.3 Variabel Penerapan Testimonium De Auditu ................................. 57 3.3.1 Testimonium De Auditu Secara Umum ditolak sebagai Alat Bukti ............................................................ 57 3.3.2 Dikonstruksi sebagai Persangkaan ..................................... 58 BAB IV IMPLEMENTASI
KETERANGAN
SAKSI
TESTIMONIUM DE AUDITU TERHADAP PERKARA PERDATA 4.1 Penerapan Kesaksian De Auditu pada Perkara Perceraian ............ 61 4.2 Pertimbangan Hakim terhadap Kesaksian De Auditu .................... 68 4.2.1 Penerapan Testimonium De Auditu sebagai Alat Bukti dalam Yurisprudensi .......................................... 69 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 75 5.2 Saran ................................................................................................ 76 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ABSTRAK Keterangan saksi yang bersifat testimonium de auditu pada dasarnya ditolak sebagai alat bukti saksi, karena yang diterangkan saksi dalam persidangan merupakan pernyataan orang lain. Namun, kesaksian testimonium de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti dalam perkara perdata. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana implementasi dari keterangan saksi testimonium de auditu terhadap perkara perkawinan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam rangka penyempurnaan penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundangundangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Berdasarkan hasil penelitian, keterangan saksi Testimonium De Auditu tidak serta merta ditolak dalam perkara perdata. Dalam kata lain, kesaksian Testimonium De Auditu bisa dijadikan sebagai alat bukti persangkaan dalam perkara perceraian, bahkan dalam kondisi tertentu bisa saja dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dengan pertimbangan yang matang dan berpegang kepada unsur keadilan dan kemanfaatan. Kesaksian de auditu pada pokoknya tidak terletak pada diterima atau tidaknya sebagai alat bukti, namun terletak pada sejauh mana kekuatan pembuktian yang melekat padanya. Belum adanya aturan yang jelas mengenai hal-hal yang bersifat eksepsonal dalam hukum perdata terhadap penerimaan kesaksian de auditu sebagai alat bukti, sehingga diperlukan aturan- aturan hukum positif demi menciptakan keadilan dan keseragaman dalam tata acara peradilan di Indonesia.
Kata Kunci
: Pembuktian, Saksi Testimonium de Auditu, Perkara Perdata
ABSTRACT
Wittnesses who are basically testimonium de auditu rejected as evidence of witnesses, as it explained a witness in the trial is another person's statement. However, the testimony of the testimonium de auditu can be used as evidence in a civil lawsuit. The purpose of this research is to know how the implementation of eyewitness testimonium de auditu lawsuit against marriage. The methods used in the writing of this thesis is the normative legal research methods. In order to this refinement of the research, the author uses secondary data. This research uses the approach of legislation and legal concept analysis approach. Based on the results of research, eyewitness Testimonium De Auditu may not necessarily be denied in the case of civil liability. In other words, the testimony of the Testimonium De Auditu allowed as evidence persangkaan in the case of divorce, even under certain conditions may be accepted as evidence in its own right with careful consideration and cling to the elements of fairness and expediency. The testimony of de auditu substantially lies not in the accepted or whether as a means of proof, however, lies in the extent to which the power of proof attached to it. Yet the existence of clear rules about things that are eksepsonal in civil law against the acceptance of testimony de auditu as means of proof, so that the necessary rules of positive law to create uniformity and fairness in the justice events in Indonesia.
Keywords
: Evidentiary, Witness of Testimonium De Auditu, Civil Matters
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Hukum acara, khususnya hukum acara perdata, kurang mendapat perhatian
khusus dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang ilmu hukum lainnya. Hukum acara perdata sebagai salah satu sistem peradilan di Indonesia memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan hukum lainnya. Demi tegaknya hukum, khususnya hukum perdata materiil, maka diperlukan hukum perdata formil. Hukum perdata materiil tidak mungkin berdiri lepas dari Hukum Acara Perdata, sebaliknya Hukum Acara Perdata tidak mungkin berdiri sendiri lepas dari hukum perdata materiil, sehingga kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain dan memiliki keterkaitan dalam perannya untuk menegakan hukum di dalam masyarakat.1 Dengan mengetahui perbedaan dan persamaan antara hukum perdata materiil dan hukum perdata formil, akan lebih mudah untuk memahami pengertian dari pada hukum acara perdata itu sendiri sebagai bagian dari hukum pada umumnya. Hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang-undang maupun yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau
1
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta, h.6
diketahui saja melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati.2 Pada intinya masyarakat didalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menerapkan hukum itu sendiri sebagai suatu keseluruhan yang tediri dari bagian-bagian yang saling kait mengait satu sama lainnya. Pelaksanaan dari pada hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata dapatlah berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi sering terjadi bahwa hukum perdata materiil itu dilanggar sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan-kepentingan didalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum perdata materiil yang telah dilanggar itu haruslah ditegakkan. Untuk melaksanakan hukum perdata materiil terutama hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata materiil dalam hal tuntutan hak maka diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum perdata materiil itu sendiri, peraturan hukum inilah yang disebut hukum formal atau Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim.3 Maka dari itu hakim sebagai stabilisator hukum harus sungguh-sungguh menguasai Hukum Acara Perdata.4 Kurangnya pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya
2
Sudikno Mertokususmo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
3
Ibid. h.2
h.1 4
Sunarjati Hartono, CFG, 1975, Peranan Peradilan dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional, Binacipta, Jakarta, h.8
atau Hukum Acara Perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara merupakan salah satu faktor penghambat jalannya persidangan. Menurut Prof. Dr. R.M Soedikno Mertokusumo, S.H mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.5 Dengan memperhatikan apa yang telah dikemukakan oleh sarjana hukum diatas bahwa hukum acara perdata merupakan serangkaian aturan-aturan hukum bagi warga
masyarakat
yang ingin
mempertahankan
keperdataannya
dengan
perantaraan hakim dimuka persidangan pengadilan, dalam rangka melaksanakan aturan-aturan hukum materiil. Sebagai salah satu sistem peradilan di Indonesia, hukum acara perdata bertujuan untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan yang sering terjadi di dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah mengenai sengketa perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dapat membentuk suatu hubungan didalam rumah tangga yang harmonis. Untuk mencapai ketenangan, kedamaian dan keharmonisan dalam rumah tangga, harus memiliki prinsip bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan yang
5
Sudikno Mertokususmo, op.cit, h.2
kuat dan harus dijaga keutuhannya hingga selamanya. Bukan dalam waktu tertentu saja, tetapi perkawinan itu harus dilandasi atas dasar ketulusan, kerelaan, dan keikhlasan hati sehingga tujuan dari sebuah perkawinan yang langgeng hingga akhir hayat dapat terwujud. Untuk mempertahankan suatu hubungan didalam rumah tangga sangatlah berat dan penuh perjuangan untuk mempertahankannya. Pada dasarnya benturanbenturan yang sering terjadi didalam rumah tangga bisa dihindari dan diatasi apabila suami dan istri memliki prinsip saling mengerti dan memahami kekurangan ataupun kelebihan antara satu sama lain. Disaat permasalahan didalam rumah tangga sudah terjadi dengan menimbulkan suatu keretakan dalam hubungan tersebut. Hubungan suami istri diliputi oleh berbagai hal yang tidak baik, saling mencaci, membenci dan saling menyakiti satu sama lain baik dengan tindakan ataupun dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas untuk dikatakan. Sehingga hubungan suami istri tersbut sudah berada diambang kehancuran apabila tidak dilakukannya suatu penyelesaian antara kedua belah pihak secara pribadi didalam rumah tangga. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
Dalam menyelesaikan suatu perkara perdata dipengadilan, pembuktian merupakan tahap yang spesifik dan menetukan.6 Dikatakan spesifik, karena pada tahap pembuktian ini para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk menunjukan fakta-fakta hukum yang menjadi titik pokok sengketa. Sedangkan disebut sebagai tahap menentukan, dikarenakan hakim dalam proses mengadili dan memutus suatu perkara tergantung dari pembuktian para pihak di persidangan. Oleh karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan tentang pembuktian yang tersusun secara teratur antara yang satu dengan yang lainnya dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti atau tidaknya suatu peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak di persidangan. Pembuktian secara hukum menyangkut tidak hanya benda-benda mati untuk dijadikan sebagai alat bukti tetapi juga menyangkut tingkah laku manusia yang harus dinilai termasuk proses. Pada dasarnya pembuktian merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat tentang adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui pemikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang sebelumnya kurang jelas menjadi fakta-fakta yang jelas. Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa bukti tertulis, kesaksisan, atau pengakuan yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa bisa saja tidak benar, palsu atau dipalsukan. Sudikno Mertokusumo mengemukakan pendapatnya mengenai masalah pembuktian yaitu :
6
Lilik Mulyadi, 1999, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.150.
“…Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa
yang
diajukan
oleh
para
pihak
dipersidangan….”7 Kepastian dan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan tersebut sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Konsekuensi dari kebenaran itu baru dikatakan tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan dari hakim dengan peristiwa yang terjadi. Dan apabila yang terjadi berbanding terbalik, berarti kebenaran itu tidak tercapai. Setelah pemeriksaan suatu perkara dipersidangan dianggap selesai dan para pihak yang bersengketa tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya. Putusan yang dijatuhkan diupayakan agar tepat dan tuntas. Secara obyektif putusan hakim yang bersifat tepat dan tuntas berarti bahwa putusan tersebut akan dapat diterima oleh pihak penggugat ataupun pihak tergugat. Pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting dan sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan tersebut makin rumit, dikarenakan pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi peristiwa atau kejadian di masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate absolute), tetapi kebenaran yang bersifat relatif. Untuk mencari kebenaran yang demikian
7
Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 137
tetap menghadapi kesulitan.8 Pada prinsipnya kesulitan menemukan dan mewujudkan kebenaran dikarenakan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli dan kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah dan pasif. Tidak aktif dalam mencari dan menemukan kebenaran diluar apa yang diajukan dan disampaikan para pihak kedalam persidangan. Dalam hukum acara atau hukum formil bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan hukum materiil. Secara formill hukum pembuktian mengatur bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat dalam RBg (Rechtglement Buitengewesten) dan HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement). Sedangkan secara materiil, hukum pembuktian itu mengatur bagaimana diterima atau tidaknya pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut di persidangan. Oleh karenanya sudah menjadi communis opinio bahwa membuktikan berarti memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkualifisirnya dan kemudian mengkonstituirnya maka tujuan dari pada pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.9 Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui
8
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.498. 9 Sudikno Mertokusumo, Op.cit. h.136
sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian, tidak hanya pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Dalam menyelesaikan perkara perdata, yang menjadi salah satu tugas hakim adalah memeriksa apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak dan menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian. Dalam melaksanakan tugasnya, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan diajukan oleh para pihak di persidangan. Dalam Hukum Acara Perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang diatur oleh undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh mengambil putusan berdasarkan alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg, 1866 KUH Perdata ada lima macam alat bukti dalam pembuktian10, yaitu : 1. Alat bukti tertulis atau surat; 2. Alat bukti saksi; 3. Alat bukti persangkaan; 4. Alat bukti pengakuan; dan 5. Alat bukti sumpah.
10
Abdulkadir Muhhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.133
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan. Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct. Dalam perkara perdata, alat bukti saksi mempunyai kedudukan yang sangat penting karena saksi menerangkan apa yang dialaminya sendiri, apa yang dirasakamn dan apa yang dilihatnya secara langsung. Disinilah nilai keutamaan dari alat bukti saksi. Pada Pasal 306 RBg dan Pasal 1905 KUH Perdata ditentukan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa suatu alat bukti lain, tidak dapat diterima sebagai saksi atau dalam bahasa latinnya unus testis nullus testis. Ini artinya bahwa kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak boleh dianggap sempurna oleh hakim kecuali disertai alat bukti lainnya.
Tidak semua orang dapat diajukan sebagai saksi dalam pemeriksaan suatu perkara. Menurut Pasal 145 HIR (Herzeiene Indonesisch Reglement) dan pasal 172 Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) menyebutkan bahwa : (1) Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah : 1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus; 2. Istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai; 3. Anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia lima belas tahun; 4. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang. (2) Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau suatu perjanjian kerja. (3) Orang tersebut dalam pasal 146 pada nomor 1 dan 2, tidak berhak mengundurkan diri dari tugas memberikan kesaksian dalam perkara tersebut dalam ayat di atas ini. (4) Pengadilan negeri berkuasa untuk melakukan pemeriksaan tanpa sumpah terhadap anak-anak tersebut pada ayat pertama atau orang gila yang kadang-kadang ingatannya terang; tetapi keterangan mereka itu hanya boleh dipandang sebagai sebagai pewelasan saja. (KUHPerd. 1910, 1912; Sv. 145, 147, 149; IR.274.278.) Menurut dari ketetuan pasal- pasal tersebut mereka ini dapat ditolak menjadi saksi, kecuali untuk perkara kedudukan sipil atau dalam sengketa
hubungan kerja. Ada juga beberapa orang tertentu atas permintaannya, dapat dibebaskan untuk menjadi saksi. Mereka itu ditentukan dalam Pasal 146 HIR – Pasal 174 RBg yang berbunyi : (1) Yang boleh mengundurkan diri dari member kesaksian adalah : (KUHPerdata 1909; Sv 145, 148, 274.) 1. Saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan; 2. Keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak; 3. Sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatan yang itu. (IR.277.) (2) Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar tidaknya keterangan seorang, bahwa ia diwajibkan menyimpan rahasia. (Sv. 148; IR. 149, 277.) Jadi dalam hal ini yang dapat diajukan sebagai saksi untuk didengar keterangannya dalam sidang pengadilan adalah orang-orang selain yang disebutkan diatas kecuali bagi mereka yang mempunyai hak mengundurkan diri dan keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi itu mempunyai kedudukan pembuktian yang sama dengan alat bukti yang lainnya. Mengenai alat bukti saksi yang keterangannya bersifat testimonium de auditu bahwa berdasarkan pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUHperdata yang menyatakan bahwa tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana
saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian. Jadi keterangan yang diberikan harus berdasarkan sumber yang jelas dan sumber yang dibenarkan hukum harus berupa pengalaman, penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak. Pembuktian dengan saksi sangat penting artinya, terutama dalam mengadili sengketa perceraian. Tugas hakim dalam proses pemeriksaan perceraian sebelum suatu perkara diputus harus benar-benar meyakini dengan pasti apakah saksi yang diperiksa dalam persidangan telah memahami dengan baik apa yang disaksikannya. Sehingga hakim dapat dengan mudah memberi pertimbangan hukum didalam menjatuhkan putusan. Kedudukan saksi dalam perkara perceraian sangat penting bagi hakim dalam mempertimbangkan putusan yang akan dijatuhkan. Sehingga jika keterangan saksi yang kurang jelas, tidak tahu dengan pasti permasalahan yang disengketakan dapat dikatakan sebagai keterengan yang lemah (testimonium de auditu). Meskipun demikian, saksi de auditu secara eksepsional dapat dibenarkan sebagai alat bukti.11 Salah satu alasan eksepsional dapat dibenarkan dalam Common Law, apabila saksi utama yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri tersebut meninggal dunia, dan sebelum dia meninggal menjelaskan segala sesuatu peristiwa itu kepada seseorang. Dan peristiwa yang dipermasalahkan tidak
11
Murphy, 1995, On Envidence. International ISE Students Edition, London, h.172
dapat terungkap tanpa adanya penjelasan dari seseorang yang benar-benar mengetahuinya. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan yang sering terjadi di masyarakat, khususnya dalam sengketa perceraian dimana dalam sengketa tersbut terjadi permasalahan didalam rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan kedua belah pihak lebih memilih untuk menempuh jalur hukum. Dimana kebenaran peristiwa yang terjadi antara kedua belah pihak tidak terdapat saksi yang benar-benar murni menyaksikan, mendengar ataupun mengalami sendiri dari permaslahan rumah tangga tersebut. Melainkan hanya ada saksi-saksi yang bersifat testimonium de auditu. Karena saksi-saksi tersebut hanya mendengar keterangan dari yang bersangkutan dalam perkara perceraian tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam bentuk karya tulis yang judul “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Perdata”. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa
permasalahan akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Apakah keterangan saksi testimonium de auditu dapat dibenarkan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dalam proses penyelesaian perkara perdata?
2. Bagaimanakah implementasi dari keterangan saksi testimonium de auditu terhadap perkara perdata? 1.3.
Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan
mengenai materi yang diatur didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya mengenai sejauh mana testimonium de auditu dapat dibenarkan sebagai alat bukti. 2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai implementasi dari testimonium de auditu dalam perkara perdata. 1.4.
Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis di Kepustakaan Fakultas
Hukum Universitas Udayana maka penelitian dengan judul Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Perdata belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Namun pada Universitas lain ditemukan penelitian sejenis yang terkait dengan kekuatan alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata, telah dilakukan penelusuran diantaranya sebagai berikut:
1. Menemukan skripsi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Salatiga, pada tahun 2013, atas nama Muhamad Fuad Riza, dengan judul “Kekuatan Alat Bukti Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perceraian DiPengadilan Agama”12 dengan rumusan masalah sebagai berikut : a.
Bagaimanakah pendapat para hakim terhadap penyelesaian perkara perceraian dengan alat bukti testimonium de auditu dipengadilan negeri salatiga?
b.
Faktor-faktor apa saja yang dijadikan dasar membenarkan testimonium de auditu sebagai alat bukti?
2. Menemukan skripsi di Fakultas Syariah Ahwal Syakhsiyyah, Semarang, pada tahun 2010, atas nama Fatwa Khidati Zulfahmi, dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekuatan Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata”13 dengan rumusan masalah sebagai berikut : a.
Bagaimana kekuatan kesaksian testimonium de auditu menurut hukum perdata?
b.
Bagaimana kekuatan kesaksian testimonium de auditu ditinjau dari hukum islam?
12
Muhamad Fuad Riza, 2013, “Kekuatan Alat Bukti Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perceraian DiPengadilan Agama”, tersedia dalam URL : http://perpus.iainsalatiga.ac.id/ diakses tanggal 5 Juni 2016 13
Fatwa Khidati Zulfahmi,2010, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekuatan Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata”,tersedia dalam URL : http://www.distrodoc.com/ diakses tanggal 5 Juni 2016
Dengan melihat beberapa judul dan pembahasan yang ada dalam dua judul tersebut maka menurut penulis tidak ada kesamaan yang signifikan. Dengan hal tersebut maka judul penelitian ini berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya. 1.5.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut : 1.5.1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya dalam bidang ilmu hukum. 2. Untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna mencapai derajat sarjana hukum dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. 3. Untuk melatih diri dalam pembuatan karya ilmiah sehingga dengan
penulisan
itu
diharapkan
dapat
meningkatkan
kemampuan dan daya nalar terhadap permasalahan yang ada. 4. Sebagai karya nyata sekaligus merupakan suatu pertanggung jawaban bagi saya untuk mengamalkan Ilmu Pengetahuan Hukum.
1.5.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui sejauh mana keterangan saksi testimonium de auditu dapat dibenarkan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dalam proses penyelesaian perkara perdata. 2. Untuk
mempertegas
penerapan
dari
keterangan
saksi
testimonium de auditu terhadap perkara perdata. 1.6.
Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 1.6.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai refrensi tambahan untuk mengembangkan ilmu hukum secara umum, khususnya di bidang Hukum Acara Peradilan mengenai tinjauan yuridis terhadap kekuatan pembuktian keterangan saksi testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata. 1.6.2. Manfaat Praktis Secara praktis, diharapkan dapat mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi testimonium de auditu dalam perkara perdata dan bagaimana penerapan dari keterangan saksi testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perceraian.
1.7.
Landasan Teoritis Pengkajian
mengenai
Kekuatan
Pembuktian
Keterangan
Saksi
Testimonium De Auditu sebagai alat bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata, ada beberapa asas-asas, teori-teori dan doktrin mengenai pembuktian yang nanti digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis masalah ini. 1.7.1. Asas-Asas Hukum Pembuktian Didalam ruang lingkup hukum pembuktian perdata dikenal asasasas tersendiri yang memiliki perbedaan dengan hukum pembuktian lainnya. Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik tersendiri selaku bagian dari hukum privat. Menurut Achmad Ali dan Wiwie Heryani asas-asas dalam hukum pembuktian dapat dibagi menjadi enam, 14 antara lain : a. Asas Audi Et Alteram Partem Asas ini menjelaskan bahwa hakim tidak boleh memberi putusan dengan tidak memberi kesempatan untuk mendengar dari kedua belah pihak. Dengan asas Audi Et Alteram Partem hakim harus adil dalam memberikan beban pembuktian kepada pihak yang berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak tetap sama, tidak pincang dan berat sebelah.
14
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, op.cit, h.61
b. Asas Ius Curia Novit Asas ini menjelaskan bahwa hakim itu harus tahu akan hukumnya perkara yang diperiksanya. Hakim sama sekali tidak boleh memutus perkara dengan beranggapan bahwa tidak mengetahui hukumnya. Para pihak didalam pembuktian hanya wajib untuk membuktikan fakta yang dipersengketakan, sedangkan pembuktian masalah hukumnya adalah menjadi kewajiban dari pada hakim. c. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria causa Asas ini berarti bahwa tidak seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri. Jadi, baik penggugat maupun tergugat sama sekali tidak dibolehkan sekaligus menjadi saksi didalam pembuktian perkara mereka sendiri. Saksi sebagai alat bukti harus didatangkan orang lain yang bukan pihak di dalam perkara yang bersangkutan. d. Asas Ultra Ne Petita Asas ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntu. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut oleh penggugat. Asas Ultra Ne Petita dalam hukum pembuktian ini membatasi hakim perdata untuk “preponderance of evidence” hanya terikat pada alat bukti yang sah. e. Asas De Gustibus Non Est Disputandum Asas ini sebenarnya suatu asas yang aneh, karena diterapkannya di dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat
dipersengketakan. Didalam hukum pembuktian merupakan hak mutlak dari pada pihak tergugat. f. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan banyak hak dari pada yang ia miliki. 1.7.2. Teori Pembuktian Didalam menilai kekuatan pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh undang-undang, untuk itu terdapat 3 teori, yakni : a. Teori Pembuktian Bebas. Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat
hakim,
sehingga
penilaian
pembuktian
sepenuhnya
diserahkan kepada pertimbangan hakim. 15 b. Teori Pembuktian Negatif Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bagi hakim didalam pembuktian. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat larangan-larangan bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi kebebasan hakim didalam pembuktian.16
15
16
ibid, h.87
Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung, h. 23
c. Teori Pembuktian Positif Dalam teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim. Selain berupa larangan-larangan juga berupa perintah-perintah.17 1.7.3. Doktrin Mengenai Pembuktian a. R. Supomo mengemukakan bahwa pembuktian adalah membenarkan hubungan dengan hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan penggugat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat adalah benar. Intinya adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat bukti yang sah.18 b. R. Subekti mengemukakan bahwa bukti berarti sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Jadi pembuktian menurut R. Subekti ialah perbuatan yang dilakukan untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil dimuka pengadilan.19 1.8.
Metode Penelitian Hakekat keilmuan dari ilmu hukum merupakan kajian yang menarik
karena terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan yakni fakta kemasyarakatan
17
Hari Sasangka, loc.cit.
18
R. Supomo, 1985, Hukum Acara Perdata Pengadian Negeri, Fasco, Jakarta, h.85
19
R. Subekti, 1978, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h.5
dan
kaidah
hukum.
Disinilah
peran
penelitian
metode
hukum
untuk
mempertanggungkan sifat ilmiah ilmu hukum sebagai ilmu yang mandiri. Adapun metodelogi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.8.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Peter Mahmud Marzuki mengatakan penelitian hukum normatif yaitu : “… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru bagi preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….”20 Artinya permasalahan tujuan hukum tidak dapat dihindari akan hadir dalam upaya menjembatani apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. Untuk itu penulis menggunakan pendekatanpendekatan tertentu, dari sejumlah pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normatif. 1.8.2. Jenis pendekatan Dalam penelitian karya tulis ini, penulis menggunakan 2 jenis pendekatan, yaitu :
20
Peter Mahmud Marzuki dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.34.
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statutory Approach) Penulis menelaah undang- undang maupun peraturan yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen hukum nasional, yakni
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang
RBG
Perkawinan,
(Rechtsreglement
voor
de
Buitengewesten), HIR (Herziene Indonesisch Reglement), dan Rv (Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering). 2. Pendekatan
Analisis
Konsep
Hukum
(Analytical
and
Konsep
Hukum
(analytical
and
Conceptual Approach) Pendekatan
Analisis
conceptual
approach).
Penulis
menelaah konsep-konsep
hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum primer maupun sumber lain yang terkait yang relevan dengan isu yang sedang ditangani. Melalui pendekatan peraturan ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hukum yang digunakan sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu : a. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan b. KUHPerdata c. RBG (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) d. HIR (Herziene Indonesisch Reglement) e. Rv (Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering) 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa dan berita di internet yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ditelusuri menggunakan metode bola salju (snow ball method) dan teknik sistem kartu (card system) yaitu metode dimana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literatur awal kemudian dari 3 (tiga) literatur kemudian dikembangkan menjadi beberapa literatr lainnya yang berkaitan dan mendukung ketiga literature awal sehingga mendapatkan bahan-bahan
hukum yang dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penulisan karya ilmiah ini. Bahan hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card sistem). Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan adalah mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian. 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu: -
Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum maupun non-hukum.
-
Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan.
-
Teknik Konstruksi, berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi
-
Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran hukum.