Good Party Governance Solusi Tuntas Menuju Indonesia Baru Mas Achmad Daniri Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance
Kekuasaan diperoleh dari kegiatan berpolitik dengan menggunakan kendaraan partai politik melalui proses pemilihan umum, baik untuk tingkat nasional maupun daerah. Para penguasa yang memperoleh kekuasaan ini kemudian mengatur jalannya roda pemerintahan. Ada yang berkiprah di lembaga eksekutif, ada yang di lembaga legislatif, dan ada pula yang berkiprah di lembaga yudikatif. Bayangkan jika kegiatan untuk memperoleh dan menjalankan kekuasaan, semuanya bisa diatur dengan uang, maka dapat dipastikan korupsi akan tumbuh dengan subur dan akan sulit untuk diberantas. Dus, untuk memberantas korupsi sampai keakarnya, tidak ada jalan lain harus juga dimulai dari partai politik. Sudah saatnya partai politik melaksanakan governance partai yang baik, sehingga proses politik dari hulu sampai ke hilir bernuansa pada kepentingan mensejahterakan rakyat.
Penerapan good governance sangat diyakini memberikan kontribusi yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim bisnis yang sehat, meningkatkan kemampuan daya saing, serta sangat efektif menghindari
penyimpangan-penyimpangan
dan
pencegahan
terhadap
korupsi dan suap. Keinginan mewujudkan good governance telah sering dinyatakan baik oleh para pejabat penyelenggara negara di pusat dan di daerah, juga dunia usaha. Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan good governance, serta strategi apa yang sebaiknya dilakukan untuk mewujudkannya? Pertanyaan diatas kendati mudah disampaikan tentu tidak 1/7
mudah untuk menjawabnya, karena sejauh ini konsep good governance memiliki arti yang luas. Secara ringkas bisa diartikan sebagai rambu untuk menjalankan amanah secara jujur dan adil. Banyak orang menjelaskan good
governance
bergantung
pemberantasan korupsi, good
pada
konteksnya.
Dalam
governance sering diartikan
konteks sebagai
penyelenggaraan negara yang bersih dari praktek korupsi.
Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan penyelenggara negara yang memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar penyelenggaraitu sendiri, sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antar negara dalam arti luas (termasuk peran partai politik), masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya “check and balance”, tetapi juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Secara umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek good governance. Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada pihak diluar penyelenggara negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara mereka. Kedua, dalam praktek
good
governance
terkandung
nilai-nilai
yang
membuat
penyelenggara negara maupun swasta dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktek good governance adalah praktek bernegara yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu praktek penyelenggaraan 2/7
negara dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik. Untuk mencapai hal itu perlu tiga pendekatan yang kita lakukan. Pertama adalah menetapkan pedoman penerapan prinsip-prinsip Good Party Governance yang berlaku secara nasional. Pedoman ini merupakan suatu rujukan yang selalu bisa mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu, dalam kurun waktu tertentu perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Pendekatan kedua adalah perlu dilakukan penyuluhan konsultansi, dan pendampingan bagi partai yang bermaksud untuk mengimplementasikan Good Party Governance, dengan melakukan kegiatan self assessment, kemudian memasang rambu-rambu. Pendekatan ketiga adalah dengan memperbanyak agen-agen perubah dengan mengembangkan semacam sertifikasi bagi semua kader partai. Kembali pada diskusi tentang peran partai politik, pernahkah kita terpikir, bagaimana jika didalam menjalankan kegiatan partai dana yang tersedia jauh dari memadai? Padahal partai harus dapat menampung aspirasi masyarakat tanpa membedakan besarnya sumbangan kepada partai. Bagaimana jika kebijakan partai hanya dipengaruhi oleh penyandang dana utama saja? Tentu bakal menjadi masalah besar, karena kebijakan partai hanya mewakili elit saja dan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Dari permasalahan ini memberikan sinyal bahwa governance partai yang terkait dengan pembiayaan kegiatan partai harus sudah menjadi perhatian para pengurus partai.
3/7
Pengaturan tata cara yang sesuai dengan prinsip governance dalam pembiayaan kegiatan politik, ternyata bukan perkara yang mudah. Dua kutup pandangan berbenturan, yakni yang menganggap hak menyumbang partai politik adalah hak demokratis disatu sisi, dan pihak yang mengkhawatirkan partai politik hanya akan menjadi alat si kaya di sisi lain. Kedua pandangan ini mempunyai dasar yang berbeda namun sama kuat sekaligus serupa lemahnya. Tak ada yang benar dan tak ada pula yang keliru. Yang satu melihat kerelaan menyumbang adalah bentuk penyaluran ekspresi dukungan politik, yang lain khawatir bahwa utang budi politisi berbuntut pengistimewaan mereka pada kepentingan si kaya dalam memutuskan kebijakan pengelolaan negara. Masalah di negara yang baru berdemokrasi di Indonesia, acapkali bukan karena aturannya yang jelek, melainkan penerapannya yang jauh dari sempurna. Perkara lain yang membedakan Indonesia dari negara normal adalah persoalan transisi dari rezim otoriter ke transisi. Kaum reformis umumnya tidak mempunyai sumber dana dan pengalaman dalam mengelola partai politik, sementara kekuatan hitam masa lalu masih memiliki timbunan dana haram digudang tersembunyi mereka. Itu sebabnya kekuatan uang dalam kegiatan politik harus dibatasi, paling tidak selama persoalan masa transisi belum teratasi.
Cara teraman mungkin meniru dulu cara model di negara-negara Skandinavia. Partai politik mendapat dana negara yang jumlahnya proporsional dengan suara rakyat. Partai lama dapat menggunakan dana perolehan suara dalam pemilihan terakhir, sementara partai baru dapat menunjukkan daftar nama pendukungnya sebagai acuan. Selain itu stasiun televisi dan radio disewa oleh negara untuk menyediakan waktu siarannya secara adil pada saat kampanye kandidat yang memenuhi syarat. Diluar itu 4/7
besar sumbangan privat harus dibatasi dengan ketat, baik secara individu atau institusi. Pelanggaran harus dihukum dengan denda yang besarnya berakibat jera. Peraturan pembatasan dana sumbangan politik yang ada sekarang sebenarnya masih memadai, tetapi dana sumbangan negara jelas adanya, tetapi masih perlu ditambah. Partai politik memang perlu dibantu agar tumbuh dan berkembang. Senang atau tidak, partai politik adalah perangkat demokrasi yang fital, itu sebabnya investasi pada infrastruktur politik yang sehat adalah sebuah keniscayaan sistim demokrasi. Karena sumbangan politik swasta untuk mencegah akses negatifnya, negara harus menutup kebutuhan yang masih tersisa.
Pernahkah kita terpikir, andaikan seseorang mempunyai kepedulian untuk maju menjadi bupati di daerah, berapa dana yang dibutuhkan? Untuk kegiatan apa, dan dari mana dana tersebut diperoleh? Misal saja dibutuhkan sekian rupiah untuk partai yang mencalonkan, resmi ataupun tidak resmi. Sekian rupiah lagi untuk biaya kampanye, sehingga jumlah nilainya menjadi sangat besar. Padahal penghasilan yang diterima pasti tidak akan sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan. Dari cerita singkat ini saja, mudah ditebak, kondisi itu akan mendorong pejabat yang bersangkutan selama menjabat berupaya mencari peluang mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Meski di dukung sponsor baik individu maupun perusahaan, perlu juga mempertimbangkan imbalan yang diharapkan oleh mereka. Jika imbalan itu manfaatnya merupakan bagian dari kebutuhan masyarakat, tentu tidak menjadi masalah. Sebaliknya jika hanya mewakili kepentingan golongan tertentu atau pribadi saja, tentu hal ini menjadi masalah. Uraian ini paling tidak menunjukkan bahwa proses pilkada,
5/7
governance-nya juga harus baik. Ibarat keping uang logam, baik hasil (output) maupun prosesnya, keduanya harus baik.
Sebenarnya melalui partai diharapkan akan bermunculan kader-kader pemimpin bangsa yang mempunyai kredibilitas dan kapabelitas yang tinggi. Sebagian dari mereka akan mengisi kepengurusan partai, sebagian lagi menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, sebagian lagi mengisi lembaga eksekutif, menjadi presiden, wakil presiden dan menteri-menteri, serta ada juga yang mengisi lembaga yudikatif. Bayangkan, andaikan semuanya diisi oleh putera-puteri terbaik dari bangsa Indonesia. Bayangkan jika semua partai melakukan hal yang sama, menominasi putra-putri terbaik, bisa diyakini proses mendapatkan dan menjalankan kekuasaan untuk sematamata kepentingan bangsa dan Negara akan dilakukan dengan amanah.Oleh Karena itu, menjadi penting kiranya partai membangun sistem nominasi dengan governance yang baik.
Dalam sistem Pilpres dan Pilkada hanya partai politik dengan dukungan rakyat sesuai ketentuan, baik sendiri maupun bergabung dengan partai-partai lain, yang dapat mengajukan calon, kecuali di Aceh. Dari sudut pemilih, rakyat telah memberikan amanah kepada partai dalam mencari kader terbaik untuk mengurus Negara. Namun sangat disayangkan proses pemilihan tersebut sering dijadikan ajang menjual tiket pencalonan. Alihalih partai menjalankan amanah para pemilihnya, justru sebaliknya partai politik memanfaatkannya mencari dana dengan dalih untuk pembiayaan pengembangan partai. Dalam bahasa akuntansi, berpartisipasi dalam Pilpres atau Pilkada bagi partai politik seharusnya bukan sebagai pos penerimaan akan tetapi justru masuk dalam pos pengeluaran. Dengan perkataan lain, 6/7
mensukseskan Pilpres atau Pilkada merupakan bentuk pertanggungjawaban partai politik terhadap pemilihnya untuk mencari dan menempatkan putraputri terbaiknya, dalam memimpin Bangsa dan Negara Indonesia.
7/7