GOOD GOVERNANCE MENUJU KESEJAHTERAAN DAN KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS Rektor UNIBA Ketua PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia)
A. PENDAHULUAN Dinamika pembangunan pertanian Indonesia telah banyak mengalami berbagai perkembangan, seiring dengan berjalannya kebijakan program pembangunan pertanian lima tahunan. Keprihatinan terhadap kondisi bangsa dari dinamika perekonomian terutama berkenaan dengan pembangunan pertanian merupakan kontemplasi untuk kembali merenung karena Indonesia adalah negara agraris yaitu negara yang membangun perekonomiannya dengan basis sumberdaya pertaniannya. Tetapi harus diakui bahwa masih banyak permasalahan dan kerumitan yang dihadapi antara lain laju pertumbuhan alih fungsi lahan, infrastruktur, kelembagaan, SDM, tataniaga, ketenagakerjaan sampai kesiapan menghadapi globalisasi dan era Asia dan daya saing produk. Sebagaimana disampaikan oleh Wibowo (2007) bahwa bagi PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian), ilmu Ekonomi Pertanian adalah perjuangan, tahun 1970-an dengan rumus tani, ketidaktepatan kebijakan Inpres 9/1975 dalam bagi hasil gula dll, rekonstruksi dan restrukrisasi tetap saja Perhepi selalu menyumbangkan saran pendapat dalam kontek pembangunan pertanian. Keberpihakan kepada petani dan pertanian selalu mengingatkan skenario kebijakan makro maupun mikro dengan pembangunan pertanian. Dukungan dan pemihakan pemerintah secara tepat menjadi keharusan bagi pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani, sekarang dan mendatang sehingga pertanian menjadi berkembang dan memberikan kesempatan peningkatan posisi tawar petani dan mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Usaha pembangunan pertanian Indonesia dimulai tahun 1960-an dan diarahkan pada pencapaian swasembada beras, diversifikasi pangan dan peningkatan pendapatan petani. Elemen kunci dalam pencapaian tujuan tersebut antara lain melalui stabilisasi harga beras, investasi infrastruktur pedesaan, pengembangan sumberdaya manusia, pemanfaatan dan penyebaran teknologi tanaman pangan. Kebijakan mikroekonomi Makalah diampaikan pada Seminar Nasional “Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian” Dies Natalis XXXI UNIBA Surakarta bekerjasama dengan PT.PLN (Persero) Area Surakarta, Solo 8 Oktober 2014.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
23
tersebut digabungkan dengan kerangka makroekonomi yang dicirikan oleh stabilitas keuangan, equitas dan daya saing (Tabor et al, 1998) mengantarkan ketersediaan pangan Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 1960-an sekitar 2.000 kalori per hari dan pada
awal tahun 1990-an menjadi 2.700 kalori per hari dan puncaknya kebijakan
pemerintah dalam pembangunan pertanian telah memberikan hasil yang memuaskan dengan mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984. Keberhasilan swasembada beras tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah dalam kebijakan pertanian cukup dominan memacu keberhasilan ekonomi. Keberhasilan pemerintah Indonesia dalam swasembada beras merupakan salah satu keberhasilan dalam pembangunan pertanian yang
mampu merubah ketersediaan beras dari rata-rata 96
kg/kapita pada tahun 1968 menjadi 154 kg/kapita tahun 1992 dan keberhasilan tersebut telah merubah posisi Indonesia dari pengimpor terbesar menjadi swasembada netto (Noer Sutrisno,1994). Kebijakan pemerintah dalam pencapaian swasembada beras tersebut, karena adanya pemanfaatan teknologi baru dalam pemakaian bibit unggul, pupuk buatan, pengendalian hama/penyakit, pembangunan jaringan irigasi dan penyuluhan pertanian yang memungkinkan produksi padi meningkat dari 2 ton menjadi 6 ton/hektar (Soepardi, 1996). Namun sejalan dengan itu, makin meningkatnya pendapatan masyarakat dan makin meningkatnya kemajuan teknologi maka konsumsi masyarakat terhadap pangan terutama di kota-kota besar juga berubah (Mears, 1982; Suharjo, 1995). Keadaan ini terjadi terutama di wilayah perkotaan (Suharjo, 1995). Hal ini mengakibatkan semakin tingginya permintaan beras, sehingga dari sisi permintaan, ternyata kenaikan produksi tersebut belum mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat terbukti masih tingginya impor beras selama 10 tahun terakhir. Tetapi sejak krisis pangan terjadi tahun 1997/1998 yang disebabkan adanya stagnasi pada sektor tanaman pangan (Fukui et al, 2003)
pemerintah
mengubah
kebijakan
pangannya
untuk
mendorong
petani
meningkatkan produksi dan sejak tahun 1998 impor beras dilakukan oleh swasta dan tahun 1999 impor swasta melebihi impor yang dilakukan oleh pemerintah (Masyhuri, 2003). Kondisi ini yang menjadi keprihatinan bahwa masyarakat sudah berubah mansetnya bahwa pangan adalah beras. Secara makro penelitian Sitepu (2002) mengatakan bahwa dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia (1971-2000) menunjukkan bahwa areal sawah telah mencapai kondisi closing cultivation frontier yaitu mencapai batas maksimum lahan subur yang layak untuk areal
sawah akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan. Sementara produktivitas padi 24
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
mengalami ”levelling off” sebagai akibat penggunaan pupuk sehingga respon produksi terhadap harganya menjadi inelastis. Kondisi itu menyebabkan rendahnya nilai tukar petani yang menjadi indikator tingkat kesejahteraannya. Sebagaimana dikutip Rahayu (2008) bahwa Survey Pendapatan Rumahtangga (Sensus 1993) dengan Susenas 1987 menunjukkan bahwa pendapatan sektor pertanian ternyata beras bukanlah komoditi yang berpengaruh kesejahteraan tetapi terdapat tendensi lebih besar hortikultura merupakan komoditas andalan untuk meningkatkan kesejahteraan yang biasanya diukur dari nilai tukar petani (NTP). Rahayu (2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejaheraan petani padi maka diperlukan kebijakan harga kebijakan harga berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani Kesejahteraan merupakan indikator yang dipakai dihampir seluruh disiplin ilmu dan dalam ilmu ekonomi pertanian, kesejahteraan menempati posisi sentral. Keberhasilan atau kegagalan kebijakan tercermin dari arah perubahan indikator kesejahteraan yang digunakan, demikian juga sistem pengelolaan sumberdaya alam akan tercermin pada naik turunnya indikator kesejahteraan masyarakat dan kuat rapuhnya upaya politik untuk menenmpatkan sektor pertanian dan para petani untuk meraih kemandirian dan kesejahteraannya. B. KESEJAHTERAAN DAN KEMANDIRIAN PERTANIAN Pembangunan disegala bidang merupakan arah dan tujuan kebijakan Pemerintah Indonesia. Adapun hakikat sosial dari pembangunan itu sendiri adalah upaya peningkatan kesejahteraan
bagi seluruh penduduk Indonesia. Sektor
merupakan salah satu sektor atau lapangan usaha pendukung Indonesia. Mengingat bahwa dua pertiga penduduk Indonesia
pertanian
perekonomian tinggal di daerah
pedesaan dan sebagian besar masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, maka sangat diharapkan sektor pertanian ini dapat merupakan motor penggerak pertumbuhan yang mampu meningkatkan pendapatan para petani dan mampu mengentaskan kemiskinan. Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan kehidupannya di bidang pertanian dalam arti luas
yang
meliputi usahatani
pertanian, peternakan, perikanan termasuk
penangkapan ikan, dan pemungutan hasil laut (Hernanto, 1991). Sedangkan petani yang dimaksud adalah orang yang mengusahakan usaha pertanian (tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan rakyat) atas resiko sendiri dengan tujuan untuk dijual, baik sebagai petani pemilik maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil) (BPS, 2006). Oleh karena itu dalam kontek kemandirian Pertanian sebenarnya adalah SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
25
kemandirian tentang pangan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 dan pangan merupkan hak dasar dan hak asasi manusia dimana negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi. (to protect) dan memenuhi (to fullfill) hak atas pangan masyarakat. Hafsah (2007) menyatakan bahwa pangan adalah hak asasi manusia (HAM), maka kewajiban negara dan masyarakat untuk menjamin ketersediaan dan akses seluruh masyarakat terhadap pangan. Salah satu misi pembangunan pertanian adalah mewujudkan kedaulatan pangan agar tercipta rasa aman dan tentram diseluruh lapisan masyarakat. Pengertian yang ditawarkan La Via Campesina, kedaulatan pangan merupakan hak rakyat, masyarakat dan negara dalam menetapkan kebijakan pangannya. Rekomendasi PERHEPI (2012) dalam diskusi terbatas terhadap RUU Pangan adalah ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan isu strategis dan kewajiban negara untuk mewujudkannya. Untuk mewujudkan diperlukan kelembagaan pangan yang kuat dan mampu menjalankan
fungsi dan harus mampu
melindungi petani sebagai produsen dan konsumen dalam bentuk stabilisasi harga. Kinerja Indonesia dalam ketahanan pangan diuraikan Rahayu (2008, ) bahwa ketahanan pangan Indonesia khususnya beras telah mengalami banyak perubahan sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan ekonomi yang ada, termasuk perkembangan faktor eksternal terkait dengan tatanan ekonomi global yaitu dengan diberlakukannya kesepakatan GATT (General Agrement on Tariff and Trade) dan pembentukan WTO (World Trade Organization). Ketahanan pangan Indonesia juga tidak terlepas dari cirri pangan yang secara potensial mengandung berbagai ketimpangan, baik dari sisi produksi maupun permintaan yang berdimensi waktu dan tempat. Dari sisi produksi, (1) tanaman pangan sangat tergantung pada musim, sedangkan permintaan pangan terjadi sepanjang tahun, sifat musiman ini mengakibatkan timbulnya over supply pada saat panen dan kurang pasokan pada musim paceklik yang mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga setiap tahun, sehingga harga yang terjadi tun-naik sangat tajam (2) dari sisi penawaran selalu diliputi ketidakpastian karena terlalu peka terhadap iklim atau musim sehingga sering terjadi serangan hama/penyakit atau bahaya kekeringan atau banjir, hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan menjadi tidak stabil (3) produksi pangan kurang merata penyebarannya dilihat dari faktor kesuburan tanah dan faktor sosial ekonomi lainnya, serta meningkatnya konsumsi di daerah-daerah non-produksi yang semakin menambah persoalan pada penawaran dan distribusi (4) kondisi ini selalu terdapat kecenderungan munculnya ketidakseimbangan dalam struktur penawaran dan permintaan beras, dengan permintaan yang selalu lebih “besar” dari penawaran yang 26
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
menyebabkan harga beras labil, (4) surplus beras yang dipasarkan sebagian besar berasal dari petani dengan lahan sempit dan jumlah surplus yang dijual relative kecil sehingga semakin mempengaruhi jumlah penawaran dan praktek pengumpulan yang semakin besar serta menambah rantai pemasaran yang semakin panjang dan biaya tinggi, (5) Diberlakukannya perjanjian pertanian WTO tanggal 1 Januari 1995, impor beras semakin tinggi, pemerintah melakukan liberalisasi perdagangan beras domestik dengan memberikan keleluasaan kepada swasta untuk mengimpor beras dengan pengendalian bea masuk oleh pemerintah yang berdampak pada rendahnya respon petani dalam produksi padi karena dengan membanjirnya beras impor telah menunjukkan tingkat harga impor beras yang mampu bersaing dengan harga beras lokal, kondisi ini menjadi dis-insentif bagi petani, (6) dicabutnya subsidi pupuk tahun 1998, walaupun kemudian diberlakukan kembali menjadi hambatan bagi petani untuk merespon produksi padi karena tingginya biaya produksi, (7) kurangnya irigasi menyebabkan tingkat produktivitas rendah dan produksi menurun, hal ini menjadi kenyataan bahwa hampir 1,6% jaringan irigasi rusak, tidak berfungsi karena hilang dan sebagainya. Sedanagkan dari sisi konsumsi, pangan diperlukan masyarakat sepanjang tahun dan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 146 kg/kapita/tahun, jauh berbeda dibandingkan konsumsi Cina : 104 kg, India 83 kg, Filipina 105 kg dan Thailand 143 kg. Prediksi konsumsi beras menjelang tahun 2025, konsumsi beras rata-rata per kapita Asia relative tetap, Asia Selatan
sedikit
meningkat, Asia Tenggara relative tetap dan Asia Timur mulai menurun. Indonesia dan Filipina kemungkinan deficit beras, sedangkan Cina, India, dan Thailand surplus. Sedangkan jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia relative kecil yaitu berkisar 4% - 5% dari total produksi dunia, dimana jumlah ini cukup kecil dibandingkan sebelum tahun 1970-an yang berkisar 6%-7%, kecilnya pasar beras dunia ini menjadi tumpuan kebutuhan beras Indonesia. Menurut Timmer et al (1975) untuk kasus Indonesia hampir 60% tujuan kebijakan beras Indonesia didominasi untuk kesejahteraan konsumen dan stabilisasi harga. Menurut Wibowo (2007) bahwa kebijakan sektor pertanian Kabinet Indonesia Bersatu adalah revitalisasi pertanian dan pedesaan untuk memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan. Fakta menunjukkan bahwa pertanian dijadikan salah satu dari pembangunan pertanian secara keseluruhan dan bukan elemen utama, salah satu contoh adalah dicabutnya subsidi pupuk ZA dan SP-36 sebagai bukti tidak adanya keberpihakan terhadap petani, disamping itu harus ada hak-hak khusus petani dan karakteristik produk pertanian karena tanpa adanya itu petani selalu dipihak yang lemah dan memiliki nilai SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
27
tukar yang rendah, maka Baharsyah (2007) mengatakan bahwa dengan kondisi sekarang untuk memperoleh swasembada kembali sama saja dengan upaya untuk menegakkan “benang basah”. Dalam kontek ini ada 3 faktor penting yaitu (1) ketahanan pangan Indonesia, (2) keterbatasan sumberdaya alam dan teknologi, (3) kesejahteraan petani. Mengingat peningkatan NTP harus dimulai dari petani itu memegang
sendiri,
dimana
petani
peran utama dalam pertanian, maka peningkatan kesejahteraan /nilai
tukar petani dapat dilakukan dengan menghilangkan kendala penerapan teknologi, pengendalian harga sarana produksi, kebijakaan harga komoditas pertanian (Rahayu, 2008). Kendala penerapan teknologi seperti ketersediaan input faktor dan peningkatan pasca panen masih banyak ditemui dit ingkat usahatani produsen.
Disamping
pengembangan infrastruktur, pendidikan, penyuluhan dan pemberdayaan petani masih diperlukan sebagai komplemen upaya peningkatan kesejahteraan dan kemandirian pertanian C. GOOD GOVERNANCE SEBAGAI SARANA MENUJU KESEJAHTERAAN DAN KEMANDIRIAN PERTANIAN INDONESIA Pembangunan pertanian menjadi dambaan masyarakat Indonesia, tetapi para pakar merasa prihatin karena penyelenggaraan pembangunan pertanian selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Untuk melangkah menuju pertanian yang mandiri dan upaya peningkatan kesejahteraan, perkembangan pembangunan pertanian salah satunya dipengaruhi oleh kepemimpinan penyelenggaraan yang berintegrasi tinggi dan memiliki kompetensi yang dapat diandalkan (Pranaji, 2008) Pendapat ini diperkuat oleh Arifin (2012) bahwa bukti empiris perjalanan panjang sejarah bangsa dalam pembangunan pertanian ini menunjukkan kebijakan pangan dapat menjadi sangat dekat dengan stabilisasi politik dan pemerintahan. Rezim pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru juga dibangun, berkembang dan jatuh karena berhubungan dengan instabilitas atau fluktuasi harga beras dan ketersediaan beras pada harga yang terjangkau masyarakat banyak. Karena itu, apabila pada zaman modern dan transisi demokrasi saat ini mengulang kesalahan-kesalahan pendahulunya dalam formulasi, organisasi dan implementasi kebijakan pangan, tidak mustahil langkah itu dapat menjadi salah satu stimulator runtuhnya legitimasi dan rezim pemerintah. Oleh karena itu diperlukan sosok profesional sebagai pemimpin sekaligus sebagai manajer dan pengambil keputusan yang tepat pada saat-saat genting serta harus menguasai teknis-ekonomis kebijakan pangan. Disamping itu dengan meningkatnya pengetahuan dan pengaruh globalisasi telah mendorong munculnya tuntutan kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan 28
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
pemeritahan yang baik (good governance). Menurut Bank Dunia (1993), good governance adalah cara bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola
sumberdaya ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat ( the way state power is used in managing economic and social resources for the development of society),
sedngkan UNDP/ United Nation Development Program (1997) menerjemahkan good governance sebagai otoritas politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola masalah
bangsa pada semua tingkatan (the exercise of political, economic and adminsitrative authority to manage a nation’s affair at all levels). Departemen Pertanian (2008) menegaskan secara implementatif good governance merupakan proses pengambilan dan implementasi keputusan dalam penyelenggaraan negara yang dilaksanakan melalui beberapa langkah kegiatan yang bersifat partisipatif, berorientasi pada konsensus, memiliki visi strategis dan daya respon, efektif, efisien, akuntabilitas, transaran, adil dan merata menurut hukum, Implementatif ini sesuai dengan good governance yang menjadi isu global dan dilegitimasi Institute on Governance (2000). Aplikasi good governance pada kemandirian dan kesejahteran pertanian adalah bertumpu pada 3 aspek penting sebagai suatu sistem (1) masyarakat, (2) kompetensi dan kredibiltas pemimpin, (3) mengukuhkan tujuan yang ingin dicapai yaitu kemandirian dan kesejahteraan pertanian. Aspek masyarakat dapat dilihat dari modal dasar yang harus dimiliki yaitu adanya semangat keterbukaan dan keakraban, serta kebersamaan untuk maju, adanya kebanggaan diri sebagai energi sosial untuk maju. Kepemilikan untuk ini menjadi dorongan kekuatan untuk memacu pembangunan dan perkembangan sosial ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Energi ini bisa berkembang sampai kepada menciptakan sistem penyelenggaraan yang bersih (good governance). Dalam teori Boeke tentang teori ekonomi ganda, dijabarkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara orang Barat dan orang Timur, dimana orang Barat memiliki tingkat disiplin tinggi dan semua terbiasa dalam kontek organisasi yang rumit, agak berbeda dengan orang timur yang memiliki sifat suka bekerja sendiri-sendiri dan tanpa disiplin, tidak punya rasa kerjasama ekonomi, tetapi terlalu patuh dan tidak mau mengeluarkan kritik terhadap atasannya, sehingga cenderung menjaga kepentingan sendiri. Dari sifat-sifat ini, ketika mereka ingin berorganisasi maka pemerintah akan menggunakan cara-cara paksa untuk menjangkau kepentingan orang banyak dan menjalankan kebijakan-kebijakan dengan tangan besi supaya peraturan dilaksanakan. Walaupun teori dualisme Boeke banyak dikritik tetapi juga menyarankan adanya pemulihan desa ( viliiage restoration) dalam pengertian sekarang adalah pengembangan masyarakat (Sadli, 1982). Oleh karena itu SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
29
(Mubyarto, 1971), justru menggunakan potensi dan kekuatan dari mereka sendiri yang berupa kearifan lokal seperti sifat gotong royong digunakan sebagai modal dasar dalam pembangunan pertanian atau menurut Pakpahan (2000) lebih sering menyebut sebagai modal sosial (social capital) Aspek kompetensi dan kredibilitas pemimpin, Sebagaimana dikemukakan oleh Pranaji (2008) bahwa ahli sosiologi pembangunan Poensioen (1969) menyatakan bahwa peran pemimpin dalam memajukan masyarakat sangat menentukan, dikatakan bahwa “leadership as primer mover ”, disini peran pemimpin sebagai penggerak. Pada sebagian besar masyarakat agraris, ciri pemimpin disini memiliki tiga hal penting yaitu kharisma, integritas dan keahlian teknis memimpin. Sesuai dengan kebijakan otonomi daerah telah mendorong perubahan penting dalam pengelolaan dan manajemen pembangunan. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan berubah hanya menjadi fasilitator, stimulator atau promotor dalam pembangunan pertanian. Kewirausahaan birokrasi diterapkan dalam mewujudkan kepemimpinan dan manajemen pemerintahan sehingga terdapat kekuatan untuk mendukung daya saing produk daerah dan daya saing potensi keseluruhan masyarakat. Aparat pemerintah diarahkan untuk mampu memberikan layanan yang optimal dan memberikan public value melalui keseluruhan layanan birokrasi, sehingga masyarakat menjadi raja dirumahnya sendiri dan perasaan ini menjadi value lebih bagi masyarakat dan menjadi semangat untuk menunjukkan raihan prestasi
daerahnya. Rasa ini membawa masyarakat untuk ikut bertanggung jawab dan memiliki peran serta dan partisipasi yang tinggi. Aspek penegasan kembali tujuan kepada kemandirian dan kesejahteraan pertanian bertumpu pada fenomena dan fakta yang ada. Penyebab utama kemiskinan penduduk pedesaan adalah petani kecil dengan rata-rata luas penguasaan lahan kurang 0,5 Ha. Disamping itu secara nasional > 10,5 juta (53%) rumah tangga petani menguasai lahan < 0,5 Ha dan > 6 juta (30%) menguasai lahan pertanian < 0,25 Ha. Pada SP 2003 56,4% terdiri dari petani gurem dengan luas penguasaan lahan kurang dari 0,1 ha dan sebanyak 17,2% dan 39,2 % berada pada kelompok luas 0,1 – 0,5 Ha (BPS, 2005). Faktor kunci untuk meningkatkan kesejahteraan petani dari kemiskinan adalah melalui peningkatan akses penguasaan lahan dengan perwujudan program reforma agraria harus menjadi mainstream bangsa. Diantara kelompok tani yang paling memerlukan kebijakan adalah petani tanaman pangan yang berjumlah hampir 65% dari total petani. Fakta menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi dan mekanisme pasar harus ditegakkan dan tantangan baru kebijakan pangan tingkat makro, oleh karena itu selain faktor pemimpin organisasi, 30
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
diperlukan juga suatu setting kebijakan pangan yang lebih menyeluruh. Kebijakan pangan perlu lebih kompatibel dengan tujuan efisiensi ekonomi jangka panjang, dengan dukungan pemihakan yang serius atau secara logika dapat berkontribusi pada keadilan sosial dan bahkan pada upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan (Arifin, 2000). Pada era otonomi daerah lebih mengandalkan kreativitas rakyat di setiap daerah. Pembangunan pertanian lebih banyak ditentukan oleh pemerintah daerah, sehingga tuntutan perubahan menghendaki pergeseran peranan masyarakat lebih dominan dibanding pemerintah. Kebijakan pembangunan pertanian pada era otonomi daerah sektor pertanian masih diharapkan berperan penting dalam pebentukan PDRB, penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat terutama didaerah pedesaan, pengentasan kemiskinan perolehan devisa melalui ekspor produk-produk unggulan dan penciptaan ketahanan pangan. Secara garis besar kewenangan pemerintah pusat di bidang pertanian terbatas pada aspek pengaturan, penetapan standar, pedoman dan norma. Kewenangan di bidang pertanian dilimpahkan ke kabupaten/kota dan tidak bisa dilimpahkan ke propinsi. Perencanaan bersifat bottom up pada sasaran yang terukur, waktu, kelompok sasaran dan manfaat (Suarta dan Swastika, 2004). Pembangunan pertanian dijabarkan dalam bentuk kegiatan dengan memperhatikan resource endowment (sumberdaya alam, manusia, kapital, teknologi dan kondisi internal
dan eksternal peraturan,
perkembangan,
keterbatasan peran dan kewenangan.
Pembangunan pertanian dianggap sebagai birokrasi dan legislator lokal sebagai cost center yang membutuhkan investasi besar dengan return cukup lama dan masih banyak
lagi permasalahan yang muncul antara lain perbedaan persepsi, anggaran sektor pertanian dalam pembangunan pertanian, regulasi daerah dan sebagainya. Aplikasi pembangunan pertanian ini diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat daerah yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal sehingga peningkatan produksi pertanian diikuti dengan kebijakan struktural pemerintahan dalam membuat kebijakan, persaingan, distribusi dan mampu mengangkat kesejahteraan petani lebih baik. Banyak kasus tentang ini sehingga kebijakan pemerintah daerah bisa mengangkat kesejahteraan dan kemandirian petani dalam akses terhadap saprodi, pasar dan promosi. Tetapi juga banyak kasus yang berdampak negatif, seperti sentra produksi pertanian yang umumnya jauh dari pasar menyebabkan produk pertanian harus melintasi antar wilayah atau antar pulau dengan berbagai pungutan dan perda yang tumpang tindih serta infrastruktur yang kurang
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
31
memadai justru meningkatkan biaya pemasaran atau perdagangan dan petani tetap menerima harga rendah. Dari sinergitas ketiga komponen diatas diharapkan pelaksanaan pembangunan pertanian dapat berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan dampak positif terhadap kemandirian Pertanian dalam menghasilkan pangan bagi masyarakat sesuai dengan kaidah penyelenggaraan good governance yang memberikan dampak peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat. D. PENUTUP Pengalaman membuktikan bahwa penyelenggaraan pembangunan pertanian yang tidak menerapkan good govertment mengandung ketimpangan dan distorsi terhadap produksi, produktivitas produk-produk pertanian, yang semuanya bermuara kepada tingkat kemandirian dan kesejahteraan pertanian itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan rekonstruksi kelembagaan pemerintah berdasarkan pada good governance dengan tiga karakteristik utama yaitu credibility, accountability dan tranparency yang didukung komponen sistem masyarakat, kepemimpinan yang kompeten dan kredibel. Dengan metode ini maka diharapkan kebijakan pembangunan pertanian akan lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat banyak dan dilakukan secara demokratis dan mengurangi praktek-praktek yang berbau KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) karena dengan kondisi ini maka praktek-prkatek ini akan sulit dilakukan. Kebijakan pembangunan pertanian dengan pola ini akan tergerus praktek KKN, maka melalui good governance akan bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi tinggi ( high-cost economy) dan semakin efisien. Disamping itu akan mengurangi distorsi pasar dalam bentuk monopoli dan monopsoni akibat kesalahan kebijakan, sehingga perekonomian semakin efisien dan pertumbuhan ekonomi akan berjalan sesuai dengan keunggulan riilnya dan bukan karena proteksi dan dukungan pemerintah. Dengan demikian akan tumbuh kemandirian dalam bidang pertanian dan kesejahteraan petani dan masyarakat akan tercapai. E. DAFTAR PUSTAKA Arifin B, 2012. Pemikiran Kelembagaan Bulog Dalam Ketahanan Pangan Ke Depan, Naskah Diskusi Terbatas Masa Depan BULOG (Tanggapan Terhadap Pasal 113 Rencana Undang-Undang Pangan, Kerjasama PERHEPI dan BULOG, Bogor
Anonimous, 2004. Visi dan Arah Pembangunan Pertanian Jangka panjang 2005-2025, Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
32
Good Governance Menuju Kesejahteraan dan Kemandirian
Boeke, JH, 1953. Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda Boeke, Diterjemahkan oleh Willink dan Haarlan dalam Bunga Rampai Perekonomian Pedesaan , Penyunting Sayogya, Yayasan Obor Indonesia dan IPB Bogor.
Blokland Van PJ, 2003. Introducing Farm Business Analysis, The instituteof Food and Agricultural Sicences (IFAS) Extension, University of Florida.
Hery S dan Maulana M, 2012.
Luas Lahan usahatani dan Kesejahteraan Petani :
Eksistensi Petani Gurem dan Urgensi Kebijakan Reforma Agraria dalam Analisis Kebijakan Pertanian Agricultural Policy Analysis) Vol 10 Nomor 1, Maret 2012.
PSE, 2008.
Pemetaan Implementasi Good Governance, Pelayanan Publik dan
Pemberantasan KKN Departemen Pertanian, PSE, Bogor.
Pranaji T, 2008.
Membedah Gorontalo Sebagai Calon Bintang Timur Pertanian
Indonesia di Abad 21, PSE, Bogor.
Rahayu ES, 2008. Kebijakan Harga dan Kesejahteraan Petani, Aplikasi Ekonomi Mikro, UNS Press, Surakarta.
---------------, 2010. Efektivitas Kebijakan Harga dalam Upaya Peningkatan Pendapatan dan Kesejahteraan Petani Padi Dalam Kontek Ketahanan Pangan Nasional, Prosiding Seminar Nasional Ketahanan Pangan, Kerjasama BPPT Jateng dan Fakultas Pertanian UNS, Surakarta.
Swinnen JFM, Beerlandt H, Dries L, 2003. Globalisation, Agricultural Development and Rural Welfare in Transition dalam journal Tijdschrift voor Economie en Management. Vol XLVIII, 4, 2003
Wibowo R, 2007. Dinamika Pemikiran PERHEPI dalam Tiga tahun 2004-2007 dalam Prosiding Konperensi Nasional Ke XV PERHEPI, Mungkinkah Petani Sejahtera, Brighten Press, IPB, Bogor.
SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPERS UNIBA 2014
33