Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MENUJU GOOD LOCAL GOVERNANCE Tunggul Sihombing Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Email:
[email protected]
ABSTRAK Konsep Good Governance, reinventing Government, memangkas birokrasi, Civil Society, profesionalitas birokrasi hingga pelayanan publik yang berkualitas dituntut untuk direalisasikan dalam mewujudkan Good Local Governance. Untuk itulah di Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara (Indonesia) dari tahun 2009 sampai dengan 2011 dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerahnya (SKPD) dicoba untuk diterapkan 5 (lima) sistem perkuatan kelembagaan, yaitu Sistem Informasi Manajemen (SIM) Aset; SIM Keuangan Daerah; SIM Kepegawaian; Sistem Pelayanan Manajemen Satu Atap; dan Sistem Informasi Geografis, melalui aktivitas Proyek SCBD (Sustainable Capacity Building for Decentralization). Namun, dalam pelaksanaannya kelima kegiatan sistem ini kurang mendapat responsiveness dari para pimpinan atau para pejabat eselon II sehingga hasil Proyek SCBD kurang signifikan.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan memakai teori Alberti dan Bertucci, yang menyatakan bahwa agar penerapan inovasi dan reformasi dapat berhasil dengan baik dan berkelanjutan di sektor publik maka perlu didukung beberapa faktor penting, yang meliputi effective leadership; well educated and well trained public sector employees; organizational culture; promotion of team work and partnership.Jadi, kekurangberhasilan Proyek SCBD Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara (Indonesia) karena kurang responsifnya para pimpinan SKPD (eselon II) untuk menerapkan sistem yang dibangun; hasil-hasil pelatihan belum diterapkan para pegawai yang ikut serta dalam pelatihan yang dilakukan melalui Proyek SCBD dalam melaksanakan tugas pokoknya; serta budaya organisasinya masih berada pada level budaya organisasi lemah (weak culture). Dengan demikian, berkaitan dengan peningkatan pelayanan publik menuju good local governance maka kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pimpinan atau para administrator haruslah kebijakan-kebijakan yang mendukung penerapan inovasi dan reformasi dalam birokrasi, misalnya electronic government (e-gov), e-administration, ataupun e-proqurement. Kata kunci: Kualitas pelayanan publik, e-gov dan good local governance.
PENDAHULUAN Perubahan yang terjadi dalam masyarakat lokal, regional dan global pada berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, dan sebagainya) telah memunculkan kebutuhan dan tuntutan baru pada masyarakat. Perubahan tersebut telah memaksa birokrasi pemerintah untuk melakukan pembenahan dalam berbagai aspek organisasional secara signifikan. Konsep Good Governance (UNDP:1997), Reinventing Government (Osborne dan Gaebler:2000), memangkas birokrasi (Osborne dan Plastrik:1997), civil society, profesionalitas birokrasi (George Frederickson:1997) hingga pelayanan publik yang berkualitas (LAN:1998) makin populer menjadi wacana dan sekaligus didorong serta dituntut untuk diwujudkan. Namun demikian, tidak mudah
25
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
untuk direalisasikan. Salah satu aspek yang diperlukan untuk mewujudkannya adalah adanya inovasi dan reformasi political will dari Pemerintah (Pemerintah Daerah). Kualitas pelayanan publik masih terus menjadi sorotan tajam dari banyak pihak. Tim Reformasi Birokrasi Nasional pada MENPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) menyatakan bahwa integritas pelayanan publik terus menurun. Hasil survei integritas sektor publik menyebutkan bahwa pada tahun 2009 Indeks Integritas mencapai 6,5 dan pada tahun 2010 Indeks Integritasnya menjadi 5,42. Penurunan tersebut disebabkan menurunnya „kualiatas pelayanan publik“di beberapa unit pelayanan. Survei berlangsung sejak April – Agustus 2010 dan dilakukan di 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertikal dan 22 pemerintah kota (Koran Jakarta, 4 Nopember 2010). Sedangkan menurut Deputi Pelayanan Publik Kementerian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara), hingga kini masih banyak instansi pemerintah terutama pemerintah daerah yang belum membentuk pelayanan terpadu. Berdasarkan data yang ada, dari 524 pemerintah daerah kabupaten/kota, baru 70% yang membentuk pelayanan terpadu atau baru sekitar 300 instansi. Sisanya belum ada (belum memiliki pelayanan terpadu), dan dari sekitar 300 instansi yang sudah terbentuk tersebut belum 100%menjalankanfungsipelayanan terpadu [http://www.menpan.g0.id/index.php/ liputan-mediaindex/143]. Pada akhir tahun 2011, service provider melakukan survei yang sama seperti yang sudah dilakukan pada tahun 2009 tentang Survei Kepuasan Pelanggan (Individu dan Dunia Bisnis) dan Survei Audit Kinerja Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah melalui Proyek SCBD (Sustainable Capacity Building for Decentralization). Kemudian hasilnya dibandingkan dan ternyata, hasil kedua survei ini ada yang menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah pelaksanaan Proyek SCBD Kabupaten Tapanuli Tengah indikator pelayanan pengurusan ijin usaha (bisnis) tetap berada pada posisi kurang baik; kondisi dan pelayanan sanitasi/pembuangan limbah cair berubah dari posisi buruk menjadi kurang baik; pelayanan air bersih/PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tetap pada posisi buruk; pelayanan penyediaan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) Umum tetap buruk; pelayanan dan pembangunan irigasi tetap kurang baik; pelayanan pengumpulan sampah rumahtangga bergeser dari posisi buruk menjadi kurang baik. Sedangkan hasil Survei Audit Kinerja Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek SCBD ada yang justru menurun kinerjanya, seperti fungsi hukum dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang berhubungan dengan Hukum, Kelembagaan dan Kepegawaian menurun 1% dari skor 48,41% menjadi 47,41%; fungsi pengembangan organisasi dari SKPD yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat kinerjanya turun skornya sebanyak 5,48% dari skor 88,24% menjadi 82,76% (Tunggul Sihombing:2011;98-99). Hasil survei kepuasan pelanggan (individu dan dunia bisnis) dan survei audit kinerja pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah ini menunjukkan peta kekurangberhasilan kinerja Proyek SCBD (output dan outcome) meningkatkan kapasitas aparatur dan kelembagaan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas terhadap masyarakat. Dari data yang telah dikemukakan di atas, dapatlah dikatakan bahwa kualitas pelayanan publik pada instansi pemerintah ataupun pemerintah daerah masih lemah dan setengah hati. Political Will pemerintah yang berkuasa dapat juga dijadikan tolok ukur untuk meninjau tingkat keseriusan dalam menjalankan reformasi birokrasi (Kristian Widya Wicaksono (2006;23). Pelayanan publik yang diberikan pemerintah atau pemerintah daerah kepada masyarakat hingga kini masih memiliki banyak kelemahan dan kekurangan sehingga perlu direformasi dan memerlukan inovasi menuju good local governance. Meningkatnya kualitas pelayanan publik dan publik merasakan kepuasan atas pelayanan tersebut merupakan tujuan akhir dari inovasi dan reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah. Kemampuan pemerintah daerah beradaptasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik akan menjadi modal yang dapat meningkatkan kepercayaan publik (rakyat) kepada pemerintah atau kepada pemerintah daerah, sehingga tidak menutup kemungkinan, bila mereka kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah akan dipilih kembali oleh rakyatnya bahkan kebaikan yang telah mereka lakukan akan selalu dikenang 26
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
sepanjang masa. Untuk itu, pembenahan mesti segera dilakukan secara sistematis dan komprehensif dengan ide dasar yang berpusat pada pelanggan atau warga negara (Osborne dan Gaebler,2000; 24, Denhardt and Denhardt,2007;60). Hal demikian harus dilakukan dengan membongkar mind-set, yang selama ini birokrasi dilayani menjadi melayani, yang selama ini tersentralisir menjadi terdesentralisasi. Oleh karenanya, agenda meningkatkan pelayanan publik merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan daerah yang baik (good local governance), antara lain melalui keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.Perlu dicari jawabannya bagaimana hal ini terjadi, khususnya di instansi pemerintah? Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan menuju good local governance dan mengakselerasi penyelenggaraan otonomi daerah maka pengembangan dan implementasi e-government dan reformasi pelayanan publik merupakan alternatif yang strategis.
REFORMASI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK Dalam kajian kebijakan publik ada dikenal teori pengambilan keputusan inkremental (Charles Lindblom,1959) yang menyarankan tidak henti-hentinya melakukan pendefinisian ulang terhadap sebuah permasalahan karena informasi masalah sosial terus berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Untuk itu, permasalahan reformasi birokrasi perlu ditinjau kembali keberadaan masalahnya secara faktual serta kebutuhan pembenahannya dalam porsi yang tepat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam amandemen UUD 1945, reformasi birokrasi dimaknai sebagai penataan ulang terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan aparatur pemerintah baik pada level pemerintahan nasional maupun lokal. Pendekatan reformasi birokrasi berdasarkan amandemen UUD 1945 merupakan pendekatan sistemik yang secara konseptual lebih mengutamakan komprehensif dibandingkan ekstensi. Berdasarkan kerangka pikir amandemen UUD 1945, Kementerian PAN menginterpretasikannya ke dalam empat dimensi aspek yang perlu untuk ditata ulang melalui rekomendasi kebijakan, sebagai berikut: 1). Kebijakan restrukturisasi untuk membenahi permasalahan kelembagaan/organiasasi; 2). Kebijakan rasionalisasi dan relokasi untuk mengatasi permasalahan sumber daya manusia aparatur; 3). Kebijakan simplifikasi dan otomatisasi untuk mengatasi permasalahan ketatalaksanaan/sistem prosedur; 4). Kebijakan dekulturisasi budaya lama dengan menginkulturisasi budaya baru untuk mengatasi permasalahan budaya birokrasi. Secara sistemik, keempat dimensi aspek tersebut telah menyentuh seluruh elemen dalam sistem birokrasi melalui berbagai rekomendasi kebijakan pembenahan. Artinya, upaya reformasi telah diarahkan secara tepat pada sasaran yang perlu dibenahi. Namun, mengapa permasalahan birokrasi di Indonesia belum juga terselesaikan secara tuntas? Jawabannya terletak pada infiltrasi dari berbagai macam aspek di luar birokrasi yang mempengaruhi jalannya reformasi birokrasi. Hal ini disebabkan kerangka konsep reformasi birokrasi dalam UUD 1945 lebih cenderung berfokus pada komprehensif apabila ditinjau dari perspektif mikro. Sedangkan dari perspektif makro, aspek ekstensi dalam konsep reformasi birokrasi belum disentuh secara optimal sehingga tidak terkonstruksi keluasan visi dalam reformasi birokrasi. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk memperhitungkan aspek-aspek lain di luar birokrasi yang akan mempengaruhi berjalannya agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk melakukan reformasi birokrasi, seperti di bawah ini.
27
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Aspek pertama yang perlu diperhitungkan dalam melakukan reformasi birokrasi adalah berkaitan dengan paradigma teoritikal kajian birokrasi yang lebih condong pada structural effeciency. Perspektif tersebut secara empiris berkontradiksi dengan metode pembentukan pemerintahan baik pada tingkat nasional maupun lokal melalui instrumen demokrasi yang bernuansa politis, yaitu pemilihan presiden langsung (nasional) dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan ranah demokrasi yang memang menunjukkan peningkatan kualitas pelibatan masyarakat lebih optimal dalam membangun pemerintahan yang relatif lebih sesuai dengan harapan publik. Namun, perlu juga direnungkan bahwa presiden dan kepala daerah dapat silih berganti tetapi birokrasi sifatnya relatif permanen. Birokrasi tidak datang dan pergi seperti apa yang dilakukan para pimpinan yang silih berganti. Sifat permanen birokrasi inilah yang kemudian perlu dipahami sebagai kerangka pikir dalam melakukan reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Dibutuhkan kesinambungan agenda reformasi birokrasi walaupun rezim pemerintahan silih berganti menduduki kekuasaan. Maka salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah profesionalitas birokrasi. Artinya, birokrat diharapkan tetap bekerja secara optimal dalam mengimplementasikan kebijakan pelayanan meskipun orang yang duduk di tampuk pemerintahan tidak sesuai dengan preferensi politiknya. Aspek kedua yang perlu diperhatikan adalah efek pasca pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah. Sebagaimana diketahui bersama bahwa aktivitas yang sarat dengan muatan politis akan berimbas politis pula terhadap aspek-aspek lainnya setelah aktivitas tersebut usai dilaksanakan, terlebih-lebih kemudahan akses terhadap berbagai layanan bagi para pengusaha yang menjadi sponsorshipnya ataupun para tim suksesnya. Hal ini merupakan fenomena yang lumrah dalam kehidupan berpolitik. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana kita menakar infiltrasi politik tersebut dalam konteks perspektif birokrasi sehingga terdapat pembatasan yang tegas terhadap keleluasaan seseorang puncak pimpinan (nasional ataupun daerah) untuk menempatkan orang dalam struktur kabinetnya. Sebab, jangan sampai orang-orang yang telah merintis kariernya dalam birokrasi kemudian merasa terhambat akibat tidak adanya pembatasan terhadap keleluasaan pimpinan terpilih ketika membagi-bagikan kue kekuasaan dalam pemerintahan. Hal ini akan memunculkan ketidakyakinan di kalangan birokrat terhadap kapasitas kepala pemerintahan terpilih dalam menjalankan roda pemerintahan akibat dominannya kepentingan politik yang diakomodir dibandingkan dengan para birokrat yang sudah makan asamgaram di arena pemerintahan. Fenomena ketidakyakinan birokrasi terhadap pimpinan pemerintahan akan berakibat fatal terhadap implementasi kebijakan pelayanan publik. Sebagaimana dikemukakan Ripley dan Franklin (1982) bahwa implementasi kebijakan akan menjadi tidak efektif apabila terdapat ketidaksepahaman antara top level bureaucracy (atasan dalam birokrasi) dengan street level bureaucracy (birokrat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat). Dukungan bawahan yang tidak optimal baik terhadap perintah atasan maupun terhadap kebijakan pelayanan publik akan sangat mempengaruhi tingkat akurasi interpretasi serta pelaksanaan kebijakan pelayanan publik di lapangan. Apabila hal ini terjadi sebagai akibat besarnya infiltrasi kepentingan politik dalam tata pemerintahan, tentunya tidak saja merugikan efektivitas dan produktivitas kinerja birokrasi pemerintahan melainkan turut pula merugikan bagi masyarakat sebagai penerima layanan birokrasi. Aspek ketiga adalah komitmen politik yang berlaku sama bagi siapa saja (militer dan sipil) yang hendak terjun dalam arena politik. Kesempatan untuk come back membuka ladang untuk menghasilkan politisi oportunis yang tidak memiliki komitmen yang tinggi dalam melayani masyarakat. Apabila hal ini terus dibiarkan maka konstruksi pemerintahan dibangun dalam kondisi yang tidak sehat dan hasilnya seperti pada saat ini dimana perubahan yang dijanjikan tidak sepenuhnya diwujudkan karena komitmen pemimpinnya masih setengah hati. Aspek keempat adalah reformasi kerangka pikir birokrat yang masih mewarisi nilai-nilai feodalisme di mana para birokrat masih berpikir bahwa tugas mereka adalah untuk mengendalikan 28
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
dan mengawasi perilaku publik. Sebab, kerangka pikir yang demikian, akan melahirkan perilaku yang cenderung untuk mengabdi pada kepentingan penguasa bukan pada upaya yang serius untuk melakukan akselerasi peningkatan kualitas pelayanan publik. Alasan pelaksanaan inovasi dan reformasi birokrasi dalam pelayanan publik salah satunya adalah untuk mewujudkan good governance atau good local governance. Good local governance dapat dipandang sebagai bentuk pergeseran paradigma konsep government (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Salah satu wujud pelaksanaan good local governance adalah kapabilitas pemerintah daerah dalam menghasilkan regulasi yang baik. Dalam administrasi publik, kapabilitas tersebut seringkali dinamai dengan istilah good regulatory governance. Artinya, masyarakat sebagai pembayar pajak berhak memperoleh pelayanan yang optimal dari pemerintah daerah, yang salah satunya melalui regulasi yang dapat mendatangkan atau menyebabkan terciptanya kepastian hukum dan kesejahteraan bagi mereka. Oleh karenanya, kita perlu mengidentifikasi seperangkat rambu-rambu yang efektif untuk memberi batasan bagi pemerintah daerah dalam menerbitkan suatu regulasi atau kebijakan pelayanan publik, seperti regulation impact assesment sebagai alat evaluasi kebijakan pelayanan publik yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positifnya. Sebagaimana pernyataan Rosenbloom dalam Hughes (1994), Administrasi Negara berarti penggunaan teori-teori manajemen, politik dan hukum dalam proses pemenuhan mandat pemerintahan baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menjalankan fungsi pengaturan dan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan maupun kepada sebagian dari mereka. Oleh karenanya salah satu fungsi utama Administrasi Negara tidak lain adalah memberikan pelayanan publik yang sifatnya lebih urgen dibandingkan pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta kepada masyarakat. Sifat urgen ini dapat dicontohkan misalnya pelayanan dalam penyediaan air bersih bagi seluruh wilayah kota, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta pelayanan menjaga ketertiban dan keamanan kota dan sebagainya. Disisi lain sifat dari pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya tidak didasarkan atas perhitungan rugi-laba melainkan lebih pada rasa pengabdian kepada masyarakat umum. Dari kedua ciri pelayanan umum yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah tersebut, dapat dipahami bahwa sesungguhnya profesi aparatur pemerintah tidak lain dituntut untuk menjadi service provider yang memiliki kriteria sebagaimana sifat dari pelayanan itu sendiri. Dalam hal ini jelas masing-masing dituntut untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan menggunakan suatu keahlian dan standar moral atau etika tertentu dan memiliki jiwa pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap masyarakat yang dilayaninya. Karakteristik atau ciri-ciri seperti disebut di atas mencerminkan profesionalisme aparatur pemerintah. Namun pada kenyataannya hal itu masih perlu terus diupayakan dan ditingkatkan karena fenomena menunjukkan kondisi yang masih jauh dari harapan. Menyadari akan tugas utama mereka, tentunya pemberian pelayanan publik dengan mengutamakan produktivitas dan kualitas bukan lagi merupakan anjuran tetapi sudah otomatis menjadi standar kegiatan demi terwujudnya kepuasan masyarakat pada umumnya dan pelanggan secara khusus. Kealphaan dalam menciptakan kualitas layanan, maka akan mendatangkan banyak problema, polemik yang berkembang luas dan akhirnya membentuk citra negatif bagi organisasi pemerintah itu sendiri. Dewasa ini polemik atau bahkan citra negatif di kalangan sebagian organisasi pemerintah telah terlanjur terbentuk. Satu-satunya jalan bagi pemulihan citra atau pelayanan jasa adalah dengan cara mengubah budaya kerja dari yang kurang menghargai mutu menjadi budaya yang menjunjung tinggi mutu dan etos kerja. Dari semua itu yang terpenting adalah memahami betapa telah terjadi perubahan paradigma yang signifikan terhadap peran dan fungsi birokrasi pemerintahan dalam menjalankan manajemen publik. Perubahan-perubahan penting tersebut sebenarnya merupakan respon dari serangkaian fenomena yang terjadi yakni pertama, 29
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
adanya kritikan yang keras terhadap sektor publik; kedua, adanya perubahan dalam teori ekonomi; dan ketiga, globalisasi sebagai kekuatan ekonomi (Hughes,1994). Secara ontologis, reformasi paradigma government menuju governance berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokrasi yang semula melayani kepentingan kekuasaan menjadi peningkatan kualitas pelayanan publik (Osborne dan Gaebler:2000;208-212, Denhardt and Denhardt:2007;28-29). Sebuah teorema dalam good local governance memperlihatkan bahwa variabel eksistensi pemerintahan dependen terhadap variabel eksistensi masyarakat. Artinya, pemerintah ada karena ada masyarakat. Untuk itu, revisi kerangka pikir birokrat yang selama ini cenderung feodal menjadi membangkitkan kesadaran para birokrat bahwa masyarakat adalah tax payer (pembayar pajak) yang menjadi sumber pendapatan negara (pemerintah daerah) untuk menggaji para birokrat. Sebagai konsekuensinya, para birokrat seharusnya memprioritaskan pelayanan publik bukan melanggengkan kepentingan kekuasaan suatu rezim atau memelihara budaya patron-klien dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sejalan dengan uraian sebelumnya, ringkasnya peran birokrasi perlu direformasi kembali dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Osborne dan Gaebler (2000), Frederickson (1997), Denhardt and Denhardt (2007) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang berubah, aparatur pemerintah harus merubah perilakunya ke arah yang lebih kondusif seiring dengan perkembangan masyarakat. Artinya, pemerintah baik secara institusional maupun aparatur secara personal diharapkan beradaptasi melalui perampingan struktur, fleksibilitas, ketanggapan serta kemampuan untuk bekerjasama dengan semua pihak. Muncullah paradigma administrasi publik kontemporer, paradigma yang dibangun di atas tiga pilar governance, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan swasta (Charles T. Goodsell, 2003; Dwiyanto, 2006:19). Kemudian, Sujarwoto dan Yumarni (2007:556-558) menjelaskan inti dari teori governance adalah koordinasi, kolaborasi dan penyebaran kekuasaan di mana kekuasaan yang semula didominasi oleh negara didistribusikan kepada aktor-aktor di luar negara yang ada di sektor swasta maupun masyarakat sipil. Paradigma ini menghendaki adanya pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang dari ketiga pilar tersebut, sehingga diharapkan akan terjadi check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jelasnya, dalam buku Osborne dan Gaebler (2000;22) diuraikan 10 prinsip dasar yang perlu direformasi di balik bentuk pemerintahan baru yang sedang muncul, yang dianalogkan dengan „jarijemari yang bersama-sama memegang setir baru“. Kesepuluh jari ini membentuk suatu keseluruhan yang saling berlengketan, sebuah model pemerintahan baru, tetapi mereka tidak akan memecahkan semua masalah. Melainkan jika pengalaman organisasi yang telah diperoleh mereka ini menjadi pembimbing, prinsip tersebut akan memecahkan masalah-masalah besar dengan pemerintahan yang birokratis. Adapun kesepuluh prinsip dasar yang perlu direformasi pada birokrasi pemerintah dalam pemberian pelayanan yang berorientasi terhadap pelanggan atau warga negara, yaitu: 1). Steering rather than rowing (mengarahkan ketimbang melayani). Hal ini berkaitan dengan cara kerja pemerintah yang terlalu mendominasi penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karenanya, dominasi tersebut perlu direduksi secara gradual untuk selanjutnya diserahkan pada civil society ataupun swasta; 2). Empowering rather than serving (memberdayakan daripada melayani). Artinya, pemerintah dituntut untuk melakukan pemberdayaan atau penguatan agar potensi masyarakat dapat tumbuh dan berkembang bukan hanya dilayani terus atau dicekoki; 3). Injecting competition into service delivery (menginfiltrasikan nuansa kompetisi dalam penyediaan layanan). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah lebih memperhatikan pada kualitas penyediaan layanan yang disediakan bukan sekedar kuantitasnya saja, sehingga tercipta suasana yang kondusif dan terlepas dari warna korupsi dan nepotisme; 4). Transforming rule-driven organization (mentransformasikan aturan menjadi organisasi yang terdorong oleh misi). Artinya, organisasi pemerintah diharapkan memiliki inisiatif dan tidak kaku dengan aturan; 5). Funding outcome not input (perubahan orientasi dari masukan menuju hasil). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah berupaya secara baik 30
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
untuk memaksimalisasikan input baik berupa anggaran maupun sumber daya lainnya menjadi hasil yang optimal; 6). Meeting the needs of customer not the bureaucracy (memenuhi kebutuhan pengguna layanan bukan birokrasi). Artinya, yang diutamakan dalam pelayanan adalah pemenuhan kebutuhan pelanggan. Birokrasi sebaiknya tidak memaksakan agar kepentingannya turut pula diakomodir dalam pelayanan tersebut; 7). Earning than spending (mencari daripada mengeluarkan). Hal ini dimaksudkan agar organisasi pemerintah lebih diupayakan mengakumulasi sumber daya daripada terus-menerus menggunakannya. Bahkan dituntut lebih jauh lagi, yakni kemampuan birokrasi untuk melakukan investasi dengan sumber daya yang dimilikinya; 8). Prevention rather than cure (mencegah daripada mengobati). Artinya, birokrasi diharapkan mengupayakan berbagai upaya-upaya prevensi agar tidak terjadi dampak yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, setiap aktivitas birokrasi harus memiliki kalkulasi yang baik terhadap kebijakan yang akan ditempuhnya, sehingga birokrasi menghindarkan diri dari masalah bukan melakukan pemecahan masalah; 9). From hierarchy to partisipation and team work (dari hirarki berubah menjadi partisipatif dan kerjasama dalam tim). Artinya membangun pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan demikian akan terbangun birokrasi yang lebih terbuka terhadap partisipasi bawahan dan mampu untuk saling bekerjasama bukan sebaliknya memelihara senioritas dan hirarki; 10). Leveraging change trough the market (mendongkrak perubahan melalui pasar). Hal ini dimaksudkan agar pemerintah lebih berorientasi pada pasar untuk melakukan berbagai perubahan sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat Osborne dan Gaebler (2000;22). Sejalan dengan uraian di atas, berarti dalam mereformasi birokrasi pelayanan publik menuju good local governance tidak boleh mereformasi birokrasi setengah hati melainkan haruslah mereformasi birokrasi sepenuh hati. Jadi, harus memang benar-benar sungguh-sungguh sebagaimana yang dialami oleh negara-negara maju dalam menghadapi kritikan terhadap sektor publik, yang paling keras terjadi antara 1980-an hingga 1990-an, utamanya terhadap kapabilitas organisasi publik di Amerika Serikat dan Inggris. Hal yang menjadi sorotan pada saat itu, pertama adalah besaran birokrasi yang menyerap begitu banyak sumberdaya. Respon terhadap kritikan tersebut adalah pemangkasan ukuran birokrasi beserta anggaran pengeluarannya. Kedua, kritik terhadap ruang lingkup kegiatan birokrasi yang dirasa terlalu luas memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagai respon terhadap hal ini adalah dialihkannya sebagian aktivitas ke sektor swasta antara lain melalui privatisasi, contracting out dan sebagainya. Ketiga, kritikan yang selalu dimunculkan adalah terhadap cara kerja atau metode yang diterapkan oleh birokrasi pemerintah dimana selama ini dianggap terlalu prosedural, kaku, dan mengakibatkan inefisiensi. Sebagai respon terhadap kritikan tersebut adalah dengan mengubah metode yang diterapkan menjadi lebih fleksibel. Dari pandangan teoritisi ekonomi, peran pemerintah merupakan masalah ekonomi tersendiri. Masalah ekonomi yang dimaksud adalah bahwa dengan cakupan aktivitas pemerintah yang begitu luas (mendominasi) telah menghambat pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jika peran pemerintah dibatasi atau dikurangi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan efisiensi (Hughes,1994). Asumsi ini didasari pemikiran bahwa jika dominasi peran pemerintah dikurangi dan dialihkan kepada kontribusi sektor swasta yang lebih besar, maka konsep “freedom” dan “choice” akan secara nyata dapat dirasakan oleh masyarakatyang dalam konteks ini disebut juga “market”. Pemikiran ini merupakan implikasi dari liberalisasi ekonomi dunia dimana semakin memberikan ruang bagi mekanisme pasar dan meminimalisasi intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi (Tjokrowinoto, 1999). Dengan adanya perkembangan pemikiran dari kalangan ekonom tersebut, jelas sangat berpengaruh terhadap birokrasi pemerintah. Pada proses pembuatan kebijakan dan pelayanan publik, pemerintah pada saat itu mulai banyak menggunakan konsep-konsep mikro ekonomi. Salah satu teori ekonomi yang banyak diadopsi oleh birokrasi pemerintah adalah Public Choice theory dan Principal / Agent theory. 31
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Public Choice theory – sebagai salah satu teori ekonomi yang paling penting dan banyak diterapkan pada birokrasi pemerintah-telah memberikan dukungan terhadap anggapan bahwa birokrasi terlalu besar dan tidak efisien. Asumsi dasar dari teori ini adalah rasionalitas. Menurut Stigler 1975 dalam Hughes, 1994, manusia yang rasional harus dipandu dengan sistem imbalan (incentive) dalam setiap aktivitasnya. Dengan kata lain,apa yang harus dilakukan adalah memberi imbalan untuk prestasi dan memberi hukuman atau sanksi untuk pelanggaran atau tidak ada prestasi. Dari pandangan ini, hubungan birokrasi dengan masyarakat (clients) dapat dipahami sebagai fungsi supplay dan demand, dimana pelayanan yang baik akan diminati oleh banyak konsumen. Asumsi lain yang mendasarinya adalah bahwa jika peran pemerintah dikurangi dan peran swasta ditingkatkan akan menghasilkan outcome terbaik. Hal ini telah banyak dibuktikan dimana sektor swasta memiliki kinerja yang lebih baik ketimbang sektor publik dalam memberikan pelayanan publik. Sebagai konsekuensinya akan menumbuhkan suasana competitiveness di kalangan public service providers. Selain teori pilihan publik seperti sebagaimana diuraikan di atas, teori ekonomi yang juga sering diadopsi ke dalam sektor publik adalah Principal/Agent Theory dengan konsepnya yang terkenal “accountability”. Teori ini mulanya dikembangkan di sektor bisnis untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya kesenjangan antara kepentingan manajer (agents) dengan pemegang saham (principals). Biasamya para pemegang saham (shareholders) menginginkan tingkat laba yang maksimal, sementara para manajer menghendaki keuntungan jangka panjang serta gaji yang tinggi untuk dirinya sendiri. Teori ini mencoba mencari penjelasan jalan tengah untuk perbedaan kepentingan tersebut, misalnya bagaimana menerapkan sistem incentive yang menarik tanpa harus mengabaikan kepentingan shareholders-nya. Untuk itu biasanya diadakan kontrak kerja yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing agar tidak menemui kendala di kemudian hari. Namun penerapan teori ini di sektor publik tidaklah mudah, terutama dalam menentukan siapakah sesungguhnya principal itu? Dan apakah yang sesungguhnya mereka kehendaki? Ketika harapanharapan principal itu tidak jelas maka kinerja para manajer publik (agent) juga akan rendah, karena tidak ada target yang jelas dan terukur. Perubahan penting yang ketiga adalah adanya arus globalisasi dan meningkatnya persaingan.Adanya fakta bahwa manajemen dan efisiensi dalam sektor publik berdampak terhadap ekonomi swasta dan persaingan internasional. Diyakini bahwa peningkatan dalam manajemen publik adalah bagian dari perubahan struktural yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja ekonomi di era yang perubahan global ini (OECD,1990). Salah satu gejala globalisasi yang paling terasa adalah perubahan teknologi yang terjadi begitu cepat sehingga hambatan – hambatan regional dan nasional tidak lagi menjadi masalah. Dalam era persaingan ekonomi yang makin ketat ini, peran pemerintah menjadi penting dalam menciptakan keunggulan bersaing bagi suatu negara. Pendapat ini agak bertentangan dengan pandangan yang menyatakan peran pemerintah tidak terlalu penting dalam meningkatkan daya saing karena daya saing itu lebih ditentukan oleh negara-negara pembeli, latar belakang sejarah dan kondisi-kondisi tertentu yang ada di suatu negara. Porter (1990) justru berpendapat kebalikannya, yakni bahwa pemerintah akan sangat memegang peran dalam kancah persaingan global dan penciptaan daya saing suatu negara melalui kebijakan-kebijakannya, baik yang menguntungkan atau sebaliknya malah merugikan. Jadi, kebijakan publik adalah ukuran kinerja pemerintahan. Pemerintah yang unggul atau bodoh, amatiran atau profesional, dicerminkan dari kualitas kebijakan publik yang dibuat dan dilaksanakannya. Untuk itu, kebijakan publik yang dibuat pemerintah janganlah kebijakan publik “kuda troya”. Maksudnya, di mana involusi kebijakan terjadi karena suatu kebijakan yang baik secara proses dan rumusan, tetapi tidak memberikan kebaikan bagi publik. Penyebab terbesarnya, menurut Riant Nugroho (2011;731) adalah “karena para politisi dan atau birokrat pembuatnya terjebak pada ilusi untuk membangun citra tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik daripada fakta kebaikan tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik”. Ini artinya bahwa pemerintah memainkan peran strategis 32
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
dalam membangun daya saing suatu negara, kalau tidak karena kelalaiannya justru akan melemahkan daya saing tersebut.
HAKEKAT INOVASI GOVERNANCE Pergeseran peran dalam penyediaan pelayanan publik dari dominasi Negara menuju interkoneksi antar stakeholders (sektor swasta dan masyarakat madani) yang sering disebut dengan governance menjadi suatu yang tidak terelakkan pada abad sekarang ini. Upaya untuk memperbaiki kinerja pemerintah dari aspek struktur dan manajemen terus dilakukan seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Menurut B. Guy Peters (2001) bahwa aktivitas reformasi sektor publik yang berlangsung sejak tahun 1980-an (di Indonesia akhir tahun 1990-an) merupakan suatu yang telah terjadi secara luar biasa.Secara akademis telah terjadi perubahan secara revolusioner pada aspek struktur dan manajemen di sektor publik meskipun dalam prakteknya masih banyak yang belum maksimal. Sebagai sebuah ide dan praktek, konsep inovasi yang banyak dimaknai sebagai kata kunci untuk mencapai keunggulan bersaing telah lama dibahas dan dikembangkan di sektor swasta. Namun pada masa terkini mulai mewarnai diskusi manajemen publik yang terkait dengan bagaimana strategi pengembangan sektor publik agar lebih transparan, responsif, dan akuntabel. Dengan perkataan lain, inovasi governance merupakan konsep baru dalam administrasi publik yang menjadi salah satu pendekatan untuk memperbaiki kinerja sektor publik yang selama ini dinilai masih jauh dari kondisi yang ideal. Pemerintah harus berperan sebagai penyedia pelayanan secara kompetitif, di mana pemerintah harus memiliki daya saing dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat karena tidak memonopoli lagi pelayanan publik melainkan swastapun memiliki peluang yang sama dalam penyediaan pelayanan publik (David Osborne dan Ted Gaebler, 2000). Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa introduksi inovasi governance memberikan hasil yang positif bagi peningkatan kinerja publik, seperti pertama membantu memaksimalkan penggunaan sumber daya dan kapasitas bagi peningkatan nilai-nilai publik untuk mendorong kultur yang terbuka dan partisipatif dalam pemerintahan, selanjutnya secara umum dapat mengembangkan tata kepemerintahan yang baik. Kedua, bagi peningkatan image dan layanan di sektor publik, inovasi dapat membantu pemerintah memperoleh kepercayaan dan memperbaiki legitimasi dari masyarakat. Ketiga, inovasi governance dapat meningkatkan kepercayaan diri pegawai negeri yang bekerja di sektor publik sebagai pendorong pengembangan secara kontinyu. Inovasi dapat melahirkan kapasitas inspirasional yang dapat membangun kondisi inspirasi di antara pegawai pemerintah. Keempat, walaupun inovasi terbatas pada intervensi governance atau inisiatif mikro, inovasi governance dapat menghasilkan efek domino, di mana kesuksesan inovasi pada satu sektor dapat membuka pintu bagi inovasi di tempat lain. Kelima, inovasi dapat menghasilkan kesempatan untuk inovasi berkelanjutan, semua mendorong lingkungan yang menguntungkan bagi perubahan yang positif. Inovasi dapat mendorong terbangunnya blok baru kelembagaan dan perubahan hubungan antara tingkat pemerintahan dan dalam departemen pemerintahan (Adriana Alberti and Guido Bertucci, dalam UN, 2006). Kinerja sektor publik di Indonesia, secara spesifik, masih banyak mendapatkan kritik. Pergantian rezim pasca runtuhnya Orde Baru pun belum memperlihatkan kinerja yang maksimal. Harapan masyarakat akan terjadinya perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel pun tidak kunjung terealisasi. Terbukti dengan dipublikasikannya informasi (pada harian Kompas, 21 Nopember 2012; halaman 5), data sementara Kementerian Dalam Negeri, sudah menerima laporan dari 19 provinsi dengan 474 pejabat berhadapan dengan pengadilan (95 orang pejabat berstatus tersangka, 49 orang terdakwa dan 330 orang pejabat berstatus terpidana). Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menghiasi proses 33
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Bahkan, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut telah meluas dalam skala dan pelakunya yang justru memperburuk kinerja sektor publik (Dwiyanto, 2006).Salah satu penyebabnya adalah sektor publik belum banyak tersentuh gelombang reformasi di negeri ini.Upaya reformasi di Indonesia masih sebatas pada sistem dan kelembagaan politik ketimbang aspek manajemen publik. Kalaupun sudah dilakukan beberapa kebijakan untuk melakukan transformasi birokrasi belum memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kinerja sektor publik, sebab upaya transformasi tersebut masih sebatas pada pembenahan struktur yang sering dikenal dengan kebijakan “miskin struktur kaya fungsi”. Sementara aspek-aspek lain dari manajemen publik belum tersentuh oleh kebijakan tersebut, terutama menyangkut internalisasi budaya inovasi. Dibandingkan dengan sektor swasta, tingkat inovasi sektor publik masih jauh tertinggal. Penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih sangat rendah.Selain itu, dari aspek organisasional pun masih belum banyak mengalami perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan perubahan lingkungan. Sebagaimana pengalaman penulis (sebagai Team Leader) pada Proyek SCBD di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara, dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan SKPD dengan membangun 5 sistem perkuatan kelembagaan, yaitu Sistem Informasi Manajemen (SIM) Aset; SIM Keuangan Daerah; SIM Kepegawaian; Sistem Pelayanan Manajemen Satu Atap; dan Sistem Informasi Geografis, yang menghabiskan biaya sekitar Rp 1,6 Miliar tetapi kurang mendapat responsiveness dari para pejabat eselon II sehingga pengadaan SIM tersebut tidak dimanfaatkan walaupun mereka mengakui bahwa kelima sistem tersebut bagus untuk diterapkan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Benarlah apa yang dinyatakan Dwiyanto (2006) perbaikan pada tubuh sektor publik memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi. Ada implikasi positif dan ada implikasi negatif. Implikasi negatif inovasi teknologi informasi dan komunikasi inilah yang mendominasi para pejabat/aparatur pada pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah sehingga kelima SIM dimaksud tidak diterapkan di daerah tersebut walaupun telah selesai diadakan. Sementara itu, dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi sebenarnya akan memiliki implikasi pada perbaikan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Oleh karena itu, perbaikan kinerja sektor publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis. Hanya dengan sentuhan-sentuhan inovasi sektor publik bisa memaksimalkan kinerjanya sehingga akan kembali menemukan kepercayaan dari masyarakat. Inilah hal mendasar yang menjadi landasan pemikiran pentingnya inovasi governance dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Pada hakekatnya, sebagai konsep baru, inovasi governance dimaknai secara berbeda oleh para pemerhati manajemen publik. Inovasi governance pada satu sisi dilihat sebagai salah satu pendekatan atau strategi pengembangan sistem inovasi dalam sektor publik sehingga memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja pemerintah (OECD Synthesis Report, 2005). Pemahaman inovasi sebagai pendekatan baru dalam manajemen publik banyak dipengaruhi oleh pemikiran bahwa kehadiran governance dalam proses inovasi di sektor publik mutlak diperlukan untuk menjamin keberlangsungan dan kesuksesan proses inovasi tersebut. Inovasi governance dinilai sebagai salah satu bagian penting dari proses sistem inovasi secara nasional maupun pada tingkat lokal, sekaligus sebagai faktor penunjang untuk terciptanya inovasi dalam sektor publik pada masing-masing tingkatan tersebut. Pada sisi lain, inovasi governance dimaknai sebagai satu sistem nilai yang melekat pada kehadiran governance sebagai sistem administrasi yang mandiri. Pemikiran ini dilandasi pada realitas bahwa terjadinya pergeseran paradigma manajemen publik dari government ke governance membawa konsekuensi tersendiri bagi sistem administrasi baru tersebut. Pada sisi ini governance dianggap sebagai sebuah sistem administrasi yang mandiri sebagai satu institusi informal yang perlu dikembangkan terus-menerus. Sebagai institusi yang berkembang maka mutlak diperlukan inovasi dalam institusi tersebut (UN Newsletter, 2004).Meskipun ada perbedaan dalam pemaknaan tentang inovasi governance tetapi pada intinya perubahan dalam 34
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
manajemen publik dari government ke governance merupakan satu langkah maju sebagai perwujudan adanya inovasi dalam manajemen publik. Langkah tersebut tidak lantas berhenti pada satu titik tetapi diperlukan strategi dan pendekatan baru untuk melakukan inovasi dalam governance bodies itu sendiri. Pada titik inilah karya ilmiah ini akan mengeksplorasi hakekat inovasi governance dan dampaknya bagi peningkatan kinerja sektor publik. Ada banyak definisi tentang inovasi, Drucker misalnya mengartikan inovasi sebagai “change that creates a new dimension of performance”. Sementara Tessa Brannan et.al.(2006) mendefinisikan inovasi “as the adoption of new practice/policy by an organization; that is, the practice/policy is new to the organization”. Dalam New Oslo Manual disebutkan bahwa inovasi adalah “the implementation of a new or significantly improved product (good or service), or process; a new marketing method; or a new organizational method in business practices, workplace organization or external relation”. Dalam UN Newsletter definisi inovasi disebut: 1). Incremental innovation seeks to improve the systems that already exist, making them better, faster, cheaper. This is sometimes called “Market Pull” Innovation. Radical innovation is more focused on new technologies, new business models and breakthrough business. This is sometimes called “Technology Push” Innovation; 2). Innovation is people creating value by implementing new ideas; 3). Innovation is the process of taking ideas to market or to usefulness; 4). Innovation is anything that provides a new perceived benefit to a customer or employee; 5). Innovation concerns the search for and the discovery, experimentation, development, imitation and adoption of new products, new processes and new organizational set-ups; 6). Innovation is the conversion of knowledge and ideas into a benefit, which may be for commercial use or for the public good; the benefit may be new or improved products, processes or services; 7). Innovation is the process that transform ideas into commercial value; 9). The distinction between “invention” and “innovation” is that invention is the creation of a new ideas or concept, and innovation is turning the new concept into commercial success or widespread use; dan 10). Innovation = Invention + Exploitation. Sebuah lembaga yang memfokuskan diri pada inovasi pelayanan publik di Afrika Selatan (Centre for Public Service Innovation/CPSI) misalnya, memformulasikan inovasi sebagai berikut: “Innovation can be driven through information and communication technologies (ICT) or through workforce motivation, organizational restructuring and general management behaviors in the public sector, amongst others. In more specific terms, innovation is producing new knowledge, services, products, process, images and competitive advantage. Innovation is a management tool and uses technology (CPSI,2007). Dari beberapa definisi tentang inovasi di atas dapatlah disarikan bahwa pada hakekatnya inovasi secara taksonomi terbagi dalam dua hal, yaitu inovasi dalam hal menghasilkan produk baru (barang atau jasa) dan inovasi dari aspek prosesnya yang baru yang mencakup penerapan teknologi maupun perubahan dan penyempurnaan organisasi. Menghasilkan sebuah produk baru, baik berupa barang atau jasa bagi semua jenis organisasi adalah suatu keharusan. Keinginan dan harapan konsumen terhadap satu jenis barang atau jasa kadang selalu berubah, baik jenis maupun bentuknya. Oleh karena itu, semua organisasi, terutama perusahaan penyedia barang atau jasa untuk kebutuhan publik harus selalu memperhatikan ke arah mana kemauan konsumen. Organisasi yang berhasil melakukan inovasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan konsumen tersebut akan dapat bertahan hidup. Selain itu, definisi di atas juga menyiratkan bahwa dalam praktek inovasi akan selalu membawa perubahan akan tetapi tidak semua perubahan adalah inovasi (Ragaa Makharita, 2006). Perubahan yang dimaksud adalah memberikan dampak positif bagi keseluruhan aspek organisasi ataupun sebagian dari organisasi. Inovasi dalam semua organisasi menyangkut perubahan atau penerapan ide-ide baru pada aspek produksi atau metode pemberian layanan dengan memperhatikan aspek efisiensi biaya. Inovasi juga berarti membawa perubahan secara signifikan pada karakter lembaga atau sistem kelembagaan tersebut. 35
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Istilah governance sendiri pun diartikan secara berbeda-beda oleh akademisi dan praktisi administrasi publik. Jika kita menggunakan definisi dari UNDP, governance diartikan sebagai penggunaan kekuasaan administrasi, politik, dan ekonomi untuk mengelola masalah dari suatu Negara pada semua tingkat.Governance mencakup mekanisme, proses, dan lembaga di mana warga negara dan kelompok masyarakat-kelompok masyarakat menyampaikan kepentingan, melakukan hak-hak politiknya, memenuhi kewajibannya, dan mendiskusikan perbedaan di antara mereka. Definisi ini menyiratkan adanya keselarasan dan keseimbangan peran antar stakeholders dalam memecahkan masalah-masalah politik. Kehadiran multi-stakeholders dalam penyelesaian masalah dan kepentingan publik cukup esensi dalam praktek governance sehingga Dwiyanto (2005) menafsirkan governance sebagai sebuah sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku, jaringan, dan institusi di luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kepentingan publik. Sebagai sistem administrasi governance terdiri atas struktur kelembagaan yang bersifat longgar di mana aktor-aktor dan elemen-elemen yang ada dalam governance bodies sangat memungkinkan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Meskipun governance bukan sebagai pengganti keberadaan pemerintah, tetapi eksistensinya dapat memberikan supporting activity bagi pemerintah. Pola relasi antar pelaku yang longgar tersebut menjadikan governance sebagai salah satu sistem untuk mengembangkan inovasi. Selaras dengan apa yang telah diuraikan di atas pemahaman governance yang terakhir merujuk pada konsepsi governance sebagai suatu sistem pengembangan inovasi. Sebagai sebuah kelembagaan yang terdiri dari berbagai elemen dan aktor dalam pengelolaan kepentingan publik, governance memerlukan perhatian khusus agar dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kinerja sektor publik. Inovasi dalam governance adalah sebuah ide kreatif yang diimplementasikan untuk menyelesaikan masalah dan kepentingan publik. Inovasi dalam governance sebagai sekumpulan jalan baru untuk menghasilkan produk atau program baru, kebijakan baru, strategi baru, dan proses baru. Dalam kaitannya dengan manajemen sektor publik, inovasi berarti penggunaan metode dan strategi desain kebijakan baru serta standar operasional prosedur yang baru bagi sektor publik untuk menyelesaikan persoalan publik. Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Adriana Albertian dan Guido Bertucci (dalam UN, 2006) inovasi dalam governance maupun administrasi publik merupakan suatu jawaban yang kreatif, efektif, dan unik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru atau sebagai jawaban baru atas masalah-masalah lama. Selanjutnya mereka membagi inovasi dalam governance atau administrasi publik menjadi empat, yaitu: 1). Inovasi institusional, yang fokusnya adalah pembaharuan lembaga yang telah berdiri dan atau pendirian lembaga baru. Pembaharuan lembaga ini membutuhkan kajian dan analisis yang mendalam tentang keberadaan satu lembaga di sektor publik. Lembaga yang dirasa tidak cukup efektif dan tidak memberikan kontribusi yang riil dalam penyelenggaraan layanan publik perlu dilakukan perombakan atau dihilangkan agar tidak membebani anggaran publik; 2). Inovasi organisasional, termasuk introduksi prosedur pekerjaan atau teknik manajemen baru dalam administrasi publik. Upaya menemukan metode dan mekanisme dalam penyelenggaraan publik sangat diperlukan, terutama metode-metode baru dalam aspek pengembangan kompetensi individu dan penerapan teknologi baru; 3). Inovasi proses, fokusnya adalah pengembangan kualitas pemberian pelayanan publik. Proses pemberian layanan membutuhkan sentuhan-sentuhan inovasi terutama dalam hal service delivery, efisiensi layanan, dan kemudahan akses layanan; 4). Inovasi konseptual, fokusnya adalah bentuk-bentuk baru governance (seperti, pembuatan kebijakan yang interaktif; keterlibatan governance; reformasi penganggaran berbasis masyarakat; dan jaringan horizontal). Jadi, lingkup inovasi itu beragam, termasuk pengembangan dan manajemen sumber daya manusia; pemberian layanan publik; penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelaksanaan pemerintahan; desentralisasi, dan sebagainya. 36
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
INOVASI PADA SEKTOR PUBLIK Di Indonesia, proses penyediaan pelayanan publik dapat diilustrasikan bahwa untuk mengakses sebuah layanan maka warga negara terlebih dahulu harus menyampaikan permintaan kebutuhan atas suatu pelayanan kepada Negara. Negara kemudian memproses permintaan tersebut melalui interaksi antara politisi dan pembuat kebijakan sehingga dirumuskanlah penyediaan pelayanan yang dimaksud. Selanjutnya rumusan tersebut disampaikan kepada organisasi pemerintah (organisasi publik) dan diteruskan kepada unit pelayanan. Baru setelah itu, pelayanan yang dibutuhkan dapat disajikan kepada masyarakat. Menurut Leo Agustino (2005;203) penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas di Indonesia umumnya masih tersandung dengan sejumlah masalah di antaranya kinerja aparatur yang masih buruk, diskriminasi, serta terbangunnya budaya paternalistik yang menyebabkan terjadinya rente birokrasi. Fokus pelayanan publik pada akhirnya bukan bermuara pada upaya yang sistematik dan rasional guna memenuhi kebutuhan warga negara melainkan kepada pembuat kebijakan dan politisi yang kurang mempedulikan pelayanan yang diterima oleh warga negara karena berfokus pada sejauh mana politisi menyetujui pengajuan anggaran yang diusulkan. Padahal konsepsi The New Public Administration yang ditawarkan oleh H. George Frederickson (2003;10) memfokuskan pada daya tanggap terhadap kebutuhan warga negara bukan kepada kebutuhan negara (state) dan organisasi penyedia layanan atau service provider. Sebagaimana juga dinyatakan Osborne dan Gaebler (2005;101-221), penyelenggaraan pelayanan publik ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan pengguna layanan bukan birokrasi penyelenggara pelayanan. Oleh karenanya, meskipun kinerja pelayanan lembaga tersebut kurang memuaskan, masyarakat tidak memiliki pilihan yang lain selain harus mengakses pelayanan dimaksud. Instansi penyedia jasa (sektor publik) layanan publik khususnya yang dikelola secara sentralistik oleh pemerintah tidak menghadapi kekhawatiran akan ditinggalkan oleh pengguna layanannya. Kondisi ini jelas menyalahi azas pelayanan publik, yaitu keseimbangan hak dan kewajiban antara Penyelenggara dan Pengguna Layanan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yaitu transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, serta keseimbangan hak dan kewajiban. Sedangkan prinsip pelayanan publik ini, antara lain adalah tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika. Dilihat dari akar sejarahnya, inovasi di sektor publik bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup organisasi. Berbeda dengan sektor swasta yang menggantungkan diri pada konsumen dan dalam hidupnya selalu mengadakan perubahanperubahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan serta kebutuhan konsumen. Antara sektor publik dan sektor swasta berada dalam tensi yang berbeda dalam perjalanan hidupnya. Terbiasa dalam kondisi dan situasi yang “terproteksi” secara politis membuat sektor publik tidak mampu bergerak secara bebas. Orientasi kerja dari sektor publik dengan demikian lebih terfokus pada aspek politis ketimbang berorientasi pada publik. Dari uraian di atas, sektor publik menghadapi tantangan besar, baik secara internal maupun eksternal. Dengan tingkat kemajuan teknologi informasi dan membaiknya angka melek huruf dan tingkat kesejahteraan masyarakat membawa konsekuensi terhadap meningkatnya harapan untuk terjadinya perbaikan pelayanan publik. Selain itu, era globalisasi ekonomi pun menuntut satu kecakapan baru dari sektor publik untuk bisa bersaing dengan negara lain agar memiliki daya tarik dalam investasi. Ketika pelayanan publik masih dalam kondisi seperti sekarang ini yang banyak dinilai masih dalam kondisi kinerjanya yang rendah maka untuk mengantisipasi kebutuhan dan perubahan lingkungan yang begitu cepat dan mengglobal tersebut diperlukan upaya mentransformasi sektor publik melalui kebijakan inovasi. 37
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Demikian halnya dengan aspek akuntabilitas di sektor publik lebih bersifat politis karena cara kerja dan pembiayaannya berasal dari anggaran pemerintah. Seringkali pertanggungjawaban sektor ini lebih bersifat politis. Mekanisme kerja sektor publik lebih banyak diatur melalui perundang-undangan sehingga mengurangi daya inovasinya. Berbeda dengan sektor swasta yang lebih terbuka dalam mengelola manajemen organisasi memberikan ruang gerak yang cukup lebar untuk melakukan inovasi. Beberapa isu strategi yang membedakan sektor swasta dengan sektor publik tersebut di atas menjadikan pesimisme sebagian kalangan bahwa tingkat inovasi di sektor publik bisa berjalan dengan baik. Inovasi di sektor publik dinilai akan bisa berjalan dengan baik dan bisa memberikan dampak yang positif bagi meningkatnya kinerja di sektor ini, misalnya seperti transparansi dan akuntabilitas jika didukung oleh infrastruktur yang memadai, termasuk infrastruktur politik (kebijakan). Menurut Alberti dan Bertucci (2006;15-17), ada beberapa faktor penting yang dibutuhkan agar inovasi di sektor publik bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan, yaitu: 1). Kepemimpinan yang efektif; 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia; 3. Budaya Organisasi; 4. Team Work; 5. Networking dan Partnership. Pertama, Kepemimpinan yang Efektif. Kepemimpinan yang mendukung proses inovasi merupakan syarat utama bagi terjadinya inovasi pemerintahan. Tanpa kepemimpinan yang efektif maka sulit sekali mengarahkan program pemerintahan yang mendukung proses inovasi. Kepemimpinan ini tidak hanya berarti adanya pemimpin yang mendukung proses inovasi melainkan juga melibatkan adanya arahan strategis proses inovasi yang menjadi landasan operasional proses inovasi bagi seluruh elemen organisasi. Proses inovasi membutuhkan pemimpin yang mampu melakukan perubahan, mampu menyadarkan banyak pihak akan arti penting inovasi dan mampu menggerakkan serta memberi teladan yang mendukung proses inovasi. Jadi bukan seperti para pejabat eselon II di Kabupaten Tapanuli Tengah, di mana mereka menyetujui pengadaan kelima Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang telah diadakan tetapi kebijakan-kebijakannya kurang mendukung untuk menerapkannya. Berkaitan dengan penerapan inovasi dalam governance maka kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pimpinan/administrator haruslah kebijakan-kebijakan yang mendukung penerapan inovasi teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti kegiatan dalam pengurusan dokumen-dokumen administratif, misalnya KTP (Kartu Tanda Penduduk), SIM (Surat Ijin Mengemudi), Paspor, STNK (Surat Tanda Nomor Kenderaan), Kartu Keluarga, Surat Akte Kelahiran, Perkawinan, Kematian, SIUP (Surat Ijin Usaha Perusahaan), dan lain-lain. Demikian juga dalam hal pembayaran rekening Listrik, Air Bersih, Telepon, Pajak ataupun pungutan lainnya dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi seperti, ATM (Anjungan Tunai Mandiri), sehingga masyarakat tidak perlu mengantri atau berpanas-panasan. Jadi, proses penyelenggaraan pelayanan publik lebih efisien dan efektif. Inilah yang disebut Adriwati (2001;300) sebagai Electronic Government (e-gov), yaitu sistem informasi yang menggunakan internet dan teknologi digital lain untuk melakukan transaksi, layanan publik, komunikasi, koordinasi dan manajemen organisasi pemerintah, yang meliputi layanan government to government, government to business dan government to society. Untuk itu harus ada sentuhansentuhan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik agar proses penyelenggaraan pelayanan publik dimaksud menjadi lebih efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Jadi, pimpinan/administrator organisasi publik yang efektif berarti pimpinan yang melakukan pemikiran ulang secara mendasar, radikal, dan fundamental proses kerja dalam pemerintahan (Government Process Reengineering) sehingga menjadi lebih efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Egovernment dan e-administration merupakan salah satu contoh dari kegiatan Government Process Reengineering, yakni misalnya mengundang rapat melalui email, bukan dengan memperbanyak undangan dan menyebarkannya satu persatu. Undangan rapat dengan e-mail tentunya lebih efisien.
38
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Sebagai bahan perbandingan, Kabupaten Sragen (yang tidak asing lagi bagi kita) juga telah melakukan inovasi bagi birokrasinya, yakni dengan membagikan fee jasa konsultan proyek pengembangan teknologi informasinya kepada pegawainya dan tetap memasukkan sebagian fee tersebut ke pos pendapatan asli daerah. Bupati Sragen telah kreatif terhadap birokrasinya dengan melaksanakan inovatif reward system kepada pegawainya sehingga pelayanan pemerintah lebih baik melalui program e-government-nya, e-administration-nya dan e-procurement-nya. Di Provinsi Jawa Barat, gubernurnya juga telah melakukan inovasi pelayanan publik dengan e-procurementnya (harian Kompas, 28 Desember 2009). E-procurement atau pelelangan pengadaan barang/jasa dengan bantuan internet di Provinsi Jawa Barat telah mencegah praktek korupsi yang marak terjadi dalam birokrasi Indonesia. Sejak tahun 2009, Provinsi Jawa Barat mengaplikasikan layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Sampai dengan tanggal 30 Nopember 2009 telah diproses 688 paket lelang dengan 4.996 perusahaan yang mendaftar secara online. Dari sisi anggaran, tiap paket lelang layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik mampu menghemat anggaran Rp 3 juta. Dengan 692 paket yang dilelangkan, diperoleh efisiensi Rp 2,076 juta. Ringkasnya, Government Process Reengineering merupakan inovasi birokrat, yang memerlukan kreativitas agar birokrasi mampu menghadapi perubahan di masa mendatang. Kedua, Pengembangan Sumber Daya Manusia. Kemampuan berinovasi pegawai akan berlanjut jika disediakan akses terhadap teknologi dan pengetahuan mutakhir. Akses ini merupakan sarana adopsi pengetahuan yang senantiasa dibutuhkan untuk berinovasi. Penyediaan akses yang memadai bagi pegawai adalah sama pentingnya dengan melakukan pengembangan pegawai itu sendiri. Tanpa akses yang memadai maka pengetahuan dan keahlian pegawai akan cepat usang karena tertinggal dengan kemajuan pengetahuan yang berkembang secara dinamis. Keusangan ini pada titik tertentu justru akan memunculkan masalah bagi pemecahan masalah-masalah sektor publik mengingat kebutuhan masyarakat sudah pasti berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Dengan demikian, pengetahuan dan keahlian yang usang bukannya akan menjadi bagian dari solusi bahkan akan menjadi bagian dari masalah sektor publik itu sendiri. Perubahan mind-set birokrat harus dilakukan guna peningkatan inovasi dan kreativitas birokrat. Mintzberg (2000;432-433) menyatakan “to innovate means to break away from established patterns, so the innovative organization cannot rely on any form of standardization for coordination” (menginovasi berarti berhenti dari proses biasa, sehingga berinovasi dalam organisasi tidak dapat bergantung pada bentuk standar koordinasi. Jadi para penyedia layanan publik harus semakin memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang kebutuhan masyarakat supaya dia lebih berkompeten dalam menjalankan pelayanan publik. Preskill dan Boyle (2008;454) menyebutnya “Sustainable Evaluation Practice” (Praktek Evaluasi yang Berkelanjutan), yang menurut John Mayne (2008;5) harus didukung “an evaluative culture” (budaya evaluatif). Penyelenggara layanan publik lebih baik mencegah munculnya masalah daripada menyelesaikan masalah (Anticipatory Government: Prevention rather than cure). Hal ini mengisyaratkan perlunya kemampuan birokrasi mengantisipasi ke depan, dan untuk itu diperlukan knowledge based serta profesionalisme aparat (Osborne dan Gaebler; 2000;249). Ketiga, Budaya Organisasi. Kepemimpinan inovasi yang berhasil dapat menjadi stimulan utama bagi keberhasilan membangun sistem inovasi namun tetap tak mampu menjamin keberlangsungannya. Untuk itu dibutuhkan upaya dalam membangun budaya inovasi. Arti penting budaya menjadi sangat besar bagi kelangsungan hidup terutama bila dikaitkan dengan upaya sektor publik untuk mengatasi berbagai masalah dalam adaptasi atas berbagai perkembangan dan perubahan eksternal dan integrasi kekuatan internal. Budaya dapat memiliki pengaruh yang bermakna pada sikap dan perilaku pegawai, terutama karena budaya melakukan sejumlah fungsi dalam suatu organisasi. Unit-unit organisasi disesuaikan dengan ketidakpastian lingkungan dengan mengadakan perubahan-perubahan internal, seperti sumber daya organisasi dan pembentukan budaya organisasi. 39
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Merubah gaya kepemimpinan yang otoriter, kaku, dan tertutup terhadap sumber daya manusia di dalam organisasi menjadi gaya kepemimpinan yang transformatif (transformational leadership), artinya kepemimpinan yang memiliki visi ke depan dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan serta mampu mentransformasikan perubahan tersebut ke dalam organisasi sehingga dapat memberikan motivasi, inspirasi, kreativitas dan inovasi kepada para anggota organisasi dan membangun teamwork yang solid melalui budaya organisasi yang sesuai dengan perubahan lingkungan. Kondisi yang sehat di antara individu dan organisasi akan bermanfaat untuk keduanya, manusia akan menemukan penuh pengertian dan kepuasan kerja, dan organisasi akan mendapatkan manusia yang berwibawa serta energi yang dibutuhkan. Untuk mempertahankan kondisi organisasi yang sehat ini, tentunya tidaklah mudah mengubah budaya organisasi, apalagi jika nilai-nilai budaya organisasi yang akan diubah itu sudah berlaku bertahun-tahun. Tentunya ada beberapa pendekatan, namun penulis memilih pendekatan indoktrinatif, yaitu menggunakan pendidikan dan pelatihan, dengan fokus pada konsep perubahan budaya organisasi sesuai dengan perubahan lingkungan melalui proses belajar. Pendekatan ini dilakukan secara bertahap dari eselon atas bertahap ke bawah secara kontinyu, hingga budaya organisasi baru dimaksud menjadi lem (perekat) di antara sesama mereka dalam organisasi serta dengan lingkungan organisasi yang berubah. Sekali lagi, membangun budaya organisasi yang efektif bukanlah pekerjaan yang mudah dan membutuhkan pengorbanan sumber daya ekonomi dalam jumlah yang tidak sedikit. Menurut penulis, budaya organisasi yang efektif adalah yang memiliki paling sedikit tiga sifat, yaitu pertama, kuat (strong) artinya budaya yang dibangun tersebut harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku setiap individu terhadap goals, objectives, persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan, interaksi sosial dan norma-norma bersama sehingga mereka mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka dalam arah dan tujuan yang sama dengan semangat yang sama pula; kedua, dinamis dan adaptif maksudnya bahwa budaya organisasi yang dibangun atau didesain harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi; ketiga, fits dengan tujuan organisasi artinya bahwa budaya organisasi yang dibangun harus berhubungan dengan konteks di bidang apa organisasi tersebut bergerak sehingga dapat berperan meningkatkan kinerja dalam jangka panjang. Keempat, Team Work. Pada dasarnya tim berbeda dengan sekedar kelompok biasa. Jikalau kelompok hanya mencerminkan kumpulan dari beberapa orang maka tim memiliki makna yang lebih dalam yakni kumpulan orang atau kelompok yang memiliki tujuan dan komitmen bersama. Pengembangan inovasi membutuhkan kerja tim karena sistem inovasi pada dasarnya bukanlah pekerjaan individual. Keberadaan tim dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai hal yang tak dapat diselesaikan secara perseorangan. Namun demikian, pembentukan tim tak sekedar dari diterbitkannya Surat Keputusan (SK) pembentukan tim karena pada umumnya ada tim yang selaras dan ada tim yang tak selaras. Pembelajaran tim dibutuhkan untuk membangun tim yang selaras, yakni sebuah tim sinergis yang memadukan seluruh potensi anggota tim pada tujuan yang sama dengan komitmen yang sama. Pembelajaran tim merupakan proses penyelarasan dan pengembangan kapasitas anggota tim untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kelima, Networking dan Partnership. Penyerapan pengetahuan yang berasal dari eksternal organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode mulai dari yang termudah sampai yang tersulit. Riset dan pengembangan, lisensi penggunaan layanan, kerjasama operasi, konsultasi pengembangan, dan pengamatan merupakan metode penyerapan pengetahuan eksternal. Eksperimentasi juga merupakan proses inovasi yang sangat baik meskipun dibutuhkan manajemen imbalan yang memadai sehingga kesalahan yang terjadi justru mempercepat pengembangan pengetahuan. Sistem magang pegawai negeri ke berbagai lembaga luar juga merupakan salah satu cara mempercepat penyerapan pengetahuan eksternal. Pendidikan pegawai ke berbagai lembaga pendidikan yang bereputasi juga merupakan metode ampuh untuk menyerap pengetahuan dan memperkaya gagasan-gagasan inovasi sektor publik. Namun demikian, instrument yang paling 40
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
efektif untuk menyerap dan mengembangkan pengetahuan adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan keterlibatan banyak pihak dengan pihak-pihak internal organisasi serta memutus trade-off antara kualitas dan kuantitas informasi. Adriana Alberti and Guido Bertucci (UN;2006) memaparkan beberapa prinsip dan strategi yang menjadi ciri adanya inovasi dalam governance, yaitu integrating services; decentralization services delivery; utilizing partnership; engaging citizen and taking advantage of information and communication technologies. Pelayanan terintegrasi (integrating services) merupakan satu ide menggabungkan beberapa jenis layanan yang ditempatkan dalam satu space tertentu “one –stop shop”. Di Indonesia model pelayanan ini terwujud dalam model pelayanan satu atap. Model pelayanan terintegrasi ini akan memberikan keuntungan bagi pihak provider maupun costumer. Bagi provider memberikan keuntungan untuk memudahkan pemberian pelayanan dan kontrol terhadap persyaratan yang dibawa oleh customer. Sementara itu, keuntungan yang diperoleh oleh customer dengan model pelayanan “single entry point” ini adalah kemudahan untuk mendapatkan pelayanan tanpa harus melalui beberapa pintu yang banyak dijumpai dalam pelayanan publik model konvensional. Pemberian layanan terdesentralisasi menekankan pentingnya mendekatkan pelayanan kepada customer pada level yang paling bawah, misalnya pelayanan kesehatan melalui kartu jaminan kesehatan masyarakat yang diterapkan di DKI (awalnya di Daerah Khusus Indonesia) dan saat ini sudah hampir di seluruh Indonesia. Mekanisme desentralisasi pemberian layanan ini akan menjamin terjadinya responsiveness dan customization pada level yang tinggi. Partnership pada hakekatnya adalah satu bentuk kerjasama atau kolaborasi antara sektor publik dengan sektor swasta dalam pemberian layanan publik. Model partnership ini akan memberikan keuntungan yang lebih baik dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki dan meningkatkan efisiensi pemberian layanan publik. Engaging citizen pada prinsipnya memberikan keleluasaan bagi citizen untuk terlibat dalam aktivitas layanan publik, termasuk memberikan masukan dalam formulasi kebijakan dan proses pengawasan. Aspek terakhir inovasi dalam governance adalah memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memudahkan akses citizen dalam layanan publik. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pemberian layanan menjadi salah satu prinsip untuk melihat adanya inovasi dalam governance.
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK Gerakan manajemen kualitas yang dipelopori oleh Deming dengan manajemen mutu terpadu (dalam Osborne dan Gaebler:2000;24), selalu menganjurkan pentingnya orientasi terhadap pelanggan, karena pelangganlah yang menentukan kualitas. Hal ini sejalan dengan batasan kualitas, yakni kualitas adalah “…keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang telah ditentukan atau yang bersifat latent”. Konsep kualitas tersebut bersifat relatif, yaitu bergantung pada perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri dan spesifikasi barang atau jasa yang dibutuhkan. Relatif dalam hal ini jelas tergantung pada sudut pandang mana pelanggan menilainya sesuai dengan kebutuhan dan manfaat yang dirasakan. Orientasi terhadap pelanggan dalam konteks manajemen publik dimaknai secara lebih luas adalah bagaimana birokrasi pemerintah bersama-sama dengan legislatif dapat menghasilkan kebijakan publik yang mencerminkan kepentingan publik (public interest) dan selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik pula (accountability).Konsep pelanggan atau konsumer dalam pelayanan publik mungkin tidak terlalu tepat. Dalam konteks administrasi publik konsep yang lebih tepat digunakan adalah citizen atau warga negara (Denhardt and Denhardt:2007;28). Klien citizen jelas berbeda dengan klien konsumer, konsumer dapat melakukan exit terhadap suatu 41
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
produk atau jasa yang tidak berkualitas, sedangkan citizen tidak memiliki pilihan lain. Apa yang dapat mereka lakukan adalah “Voice” (pengaduan). Oleh karenanya menurut Hirschman’s (1970) para manajer publik diharapkan menciptakan suatu mekanisme untuk mendengarkan dan warganegara untuk melakukan exit, maka sebagai konsekuensinya pemerintah justru harus lebih reponsif dan fleksibel dalam pemberian pelayanan publik, misalnya dengan membentuk lembaga penanganan keluhan secara terstruktur, membangun sistem evaluasi kinerja yang memperhatikan keluhan warga, serta membangun cara kerja dan budaya kerja yang menjunjung tinggi kualitas pelayanan kepada masyarakat. Ketidakpekaan terhadap keluhan masyarakat (yang hendaknya lebih diposisikan sebagai pelanggan-warganegara) akan berakibat pada tingginya tuntutan warga masyarakat untuk dilakukannya perubahan secara struktural terhadap sistem pelayanan publik (McKevitt,1997). Dalam rangka untuk terus memenuhi tuntutan masyarakat sebagai konsumen tersebut, paradigma kualitas pelayanan menjadi determinan dalam proses pelayanan publik.Prinsip – prinsip Total Quality Management (TQM) seperti yang telah disinggung di atas, menjadi suatu guidance wajib di kalangan public sector manajer. Selain itu dalam pelaksanaannya tidak jarang disertai dengan praktek re-engineering, empowernment karyawan, serta bersikap lebih sebagai service provision ketimbang service provider. Dari pendekatan consumerism yang memfokuskan pada kualitas pelayanan, konsep empowernment berarti juga adalah dalam rangka memahami keinginan publik, mereka diberdayakan untuk dapat memahami permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri. Dengan demikian melalui konsep empowernment dan penerapannya akan tercipta suatu masyarakat yang mandiri. Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk, berkualitas atau tidak berkualitas. Berkenaan dengan hal tersebut, Zeithaml et.al. (1990:16) mengatakan bahwa SERVQUAL (Service Quality), is an empirically derived method that may be used by service organization to improve service quality. The method involves the development of an understanding of the perceived service needs of target customers. These measured perceptions of service quality for the organization in question, are then compare against an organization that is “excellent”. The resulting gap analysis may then be used as a driver for service quality improvement.Selanjutnya, Zeithaml et.al. (1990:21-22) menyatakan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh dua hal, yaitu expected service dan perceived service.Expected service dan perceived service ditentukan oleh dimention of service quality yang terdiri dari sepuluh dimensi, yaitu : (1) Tangibles. Appearance of physical facilities, equipment, personnel, and communication materials; (2) Reliability.Ability to perform the promised service dependably and accurately; (3) Responsiveness.Willingness to help customers and provide prompt service; (4) Competence.Possession of required skill and knowledge to perform service; (5) Courtesy.Politeness, respect, consideration and friendliness of contact personnel; (6) Credibility. Trustworthiness, believability, honesty of the service provider; (7) Feel secure. Freedom from danger, risk, or doubt; (8) access.Approachable and easy of contact; (9) Communication. Listens to its customers and acknowledges their comments. Keeps customers informed. In a language which they can understand; and (10) Understanding the customer. Making the effort to know customers and their needs. Berdasarkan pendapat Zeithaml, dkk tersebut, dikemukakan bahwa ukuran kualitas pelayanan memiliki 10 (sepuluh) dimensi, yaitu Tangible (Terlihat/Terjamah), terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi; Reliability (kehandalan), terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat; Responsiveness (tanggap), kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan; Competence (kompeten), tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan; Courtesy (ramah), sikap atau perilaku ramah, 42
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; Credibility (dapat dipercaya), sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat; Security (merasa aman), jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan resiko; Access (akses), terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan; Communication (komunikasi), kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu untuk menyampaikan informasi baru kepada masyarakat; dan Understanding (memahami pelanggan), melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan. Kemudian dari 10 dimensi kualitas pelayanan tersebut, Zeithaml et.al. (1990:26) menyederhanakannya menjadi 5 (lima) dimensi, yaitu (1) Tangibles. Appearance of physical facilities, equipment, personnel, and communication materials; (2) Reliability.Ability to perform the promised service dependably and accurately; (3) Responsiveness.Willingness to help customers and provide prompt service; (4) Assurance.Knowledge and courtesy of employees and their ability to convey trust and confidence; and (5) Empathy. The firm provides care and individualized attention to its customers. Dari pendapat Zeithaml, dkk. yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam mereformasi pelayanan publik yang diberikan birokrasi pemerintah terhadap pelanggan atau warga negara harus bermula dari mengenali kebutuhan atau kepentingan pelanggan atau warga Negara dan berakhir pada persepsi pelanggan atau warga negara. Hal ini berarti bahwa gambaran kualitas harus mengacu pada pandangan pelanggan (warga Negara) sebagai tax payer dan bukan pada pihak penyedia jasa (birokrasi pemerintah) karena pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa layanan dimaksud. Pelanggan atau warga negara layak menentukan pelayanan itu berkualitas baik atau tidak. Apabila jasa atau layanan yang diterima pelanggan lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas layanan dipersepsikan buruk dan apabila jasa atau layanan yang diterima pelanggan lebih tinggi dari yang diharapkan maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan.
PELAYANAN PUBLIK DAN GOOD LOCAL GOVERNANCE Dalam rangka memenuhi tuntutan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas dalam pelayanan publik, pemerintah perlu mengubah strateginya. Setiap program perubahan yang dijalankan oleh pemerintah tentu membawa dampak yang berbeda dalam setiap situasi dan kondisi yang berbeda dari masing-masing negara. Namun program reformasi yang berhasil tentu akan membawa dampak pada peningkatan produktivitas dan kualitas pelayanan publik. Melaksanakan pelayanan publik secara berkualitas dan konsisten bukanlah suatu pekerjaan mudah. Beberapa faktor yang seringkali mempengaruhi derajat kualitas antara lain adalah komunikasi, proses pengendalian, serta konsekuensi dari proses – proses tersebut yang antara lain peran para professional dan munculnya konflik peran yang secara potensial ada antara masyarakat sebagai klien atau konsumer dengan pemerintah atau service provider (McKevitt,1997). Tidak banyak berbeda dengan pelayanan yang diselenggarakan oleh oganisasi privat, pelayanan publik oleh birokrat pemerintahpun perlu dievaluasi dalam kerangka adanya kesenjangan antara harapan konsumer dengan penyedia pelayanan. Sebagaimana studi dari Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1988) yang terkenal dengan gap analysisnya, dapat dilihat bahwa penyediaan pelayanan (service) yang berkualitas sangat tergantung pada kinerja aparat atau petugas pelayanan termasuk di dalamnya adalah kemampuan menyerap dan memahami keinginan konsumennya. Dalam hal ini profesionalisme petugas merupakan sumberdaya yang luar biasa mengingat menciptakan pelayanan yang berkualitas sangat sulit dikontrol (tidak ketat standarnya) tidak seperti kualitas dalam hal produk barang yang lebih terukur dan jelas. 43
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Dari beberapa pengalaman, paling tidak dicatat ada tiga elemen penting bagi keberhasilan program perubahan atau reformasi di sektor publik, yang meliputi: (1) penggunaan secara inspiratif pernyataan visi dan misi baru bagi setiap individu di pemerintahan terutama pada ujung tombak pelaksanaan pelayanan publik, (2) penggunaan langkah-langkah sistematis dari teknik-teknik manajerial dalam merumuskan dan menjalankan proses perubahan secara konsisten, (3) penerapan secara teknis analisis dampak perubahan dalam mengukur seberapa jauh tujuan dapat dicapai (Benaisa dalam Zhijian,Z., Deguzman,R.P., dan Reforma,M.A. (1992). Ketiga proses tersebut sangat penting dan menentukan dalam pencapaian kinerja optimal birokrasi pemerintah. Paling tidak hal itu harus diawali dengan adanya kesepakatan bersama diantara elit pemerintah dan para penyelenggara administrasi negara lainnya termasuk unsur legislatif dan yudikatif, tentang tujuan yang hendak diraih, kemudian baru diikuti dengan langkah-langkah perubahan secara sistematis dan terencana serta proses evaluasi yang dilaksanakan secara obyektif dan rutin. Pada dasarnya, setiap pembaruan dan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem pemerintahan yang lebih baik (good governance).United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997 dalam Thoha:2000). Istilah governance menunjuk pada suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, jelas sekali bahwa kemampuan suatu Negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society sebagai unsur-unsur good governance. Ada 14 (empat belas) karakteristik dari good governance, yaitu : (1) Wawasan ke depan (visionary); (2) Keterbukaan dan Transparansi (openness and transparency); (3) Partisipasi Masyarakat (participation); (4) Akuntabilitas/Tanggung gugat (accountability); (5) Supremasi Hukum (rule of law); (6) Demokrasi (democracy); (7) Profesionalisme dan Kompetensi (professionalism and competency); (8) Daya Tanggap (responsiveness); (9) Keefisienan dan keefektifan (efficiency and effectiveness); (10) Desentralisasi (decentralization); (11) Kemitraan dengan Swasta dan Masyarakat (private and civil society partnership); (12) Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (commitment to discrepancy reduction); (13) Komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market); dan (14) Komitmen pada Lingkungan Hidup (commitment to environmental protection) [http://good-governance.bappenas.go.id]. Pada hakekatnya, tujuan tata kepemerintahan yang baik (good governance) adalah tercapainya kondisi pemerintahan yang dapat menjamin pelayanan publik secara seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua komponen pelaku (Negara, masyarakat, dan pihak swasta). Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik dan memuaskan kepada publik menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh instansi pemerintah penyelenggara pelayanan publik. Salah satu ciri good governance adalah transparansi yang dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, di mana seluruh proses pemerintahan dan informasinya dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan. Untuk kepentingan transparansi informasi sebagaimana dimaksud, diperlukan sarana komunikasi yang menjamin kelancaran informasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha, dan tentunya juga komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antar pemerintah daerah. Salah satu upaya untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik adalah mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat melalui e-government(electronic government) sebagai salah satu aplikasi dari teknologi informasi. Pemanfaatan internet dalam aspek-aspek pemerintahan mendorong terwujudnya e-government, yang diharapkan dapat 44
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
membawa manfaat dalam: memberdayakan masyarakat melalui peningkatan akses ke informasi, meningkatkan layanan pemerintah kepada masyarakatnya, mempererat interaksi kalangan bisnis dengan pemerintah dalam industri terkait, memperbaiki pengelolaan pemerintahan yang lebih efisien dan transparan. Terminologi “E-Government” dapat diartikan sebagai kumpulan konsep untuk semua tindakan dalam sektor publik (baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengoptimalisasi proses pelayanan publik yang efisien, transparan dan efektif (Kurniawan:2006). Dengan memanfaatkan internet maka akan muncul sangat banyak pengembangan modus layanan dari pemerintah kepada masyarakat yang memungkinkan peran aktif masyarakat di mana diharapkan masyarakat dapat secara mandiri melakukan registrasi perizinan, memantau proses penyelesaian, melakukan secara langsung untuk setiap perizinan dan layanan publik lainnya. Dengan adanya e-government dapat memangkas jalur birokrasi yang ada. E-government (e-gov) bertujuan untuk meningkatkan akses warga negara terhadap jasa-jasa layanan publik pemerintah, meningkatkan akses masyarakat ke sumber-sumber informasi yang dimiliki pemerintah, menangani keluhan masyarakat dan juga persamaan kualitas layanan yang bisa dinikmati oleh seluruh warga Negara. Purbo (dalam Hardiyansyah:2011;108) menyatakan bahwa e-government bukan cuma sekedar memasang komputer di kantor masing-masing, karena e-gov mempunyai banyak konsekuensi sosial budaya bagi pemerintah (terutama pemerintah daerah), karena e-gov sebetulnya akan memaksa mereka bekerja secara profesional, bekerja bersih, tidak melakukan korupsi, tidak pungli dan lain-lain, karena komputer tidak bisa dibohongi dan tidak bisa mentolerir penipuanpenipuan. Untuk itu, aparat pemerintah daerah harus diubah paradigmanya sebelum e-gov ini bisa dijalankan dengan baik. Suatu hal yang perlu diingat adalah, bahwa menerapkan e-gov sama sekali tidak sama dengan menjadikan kantor-kantor pemerintahan daerah sebagai lingkungan high-tech (teknologi tinggi), melainkan e-gov bertujuan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk membuat layanan pemerintah daerah lebih dekat pada orang-orang yang menggunakan layanan-layanan tersebut, yaitu masyarakat. Berkenaan dengan penjelasan yang telah diuraikan, ada dua hal utama yang dapat diambil dari pemanfaatan e-gov, yaitu pertama, penggunaan teknologi informasi (salah satunya seperti internet) merupakan alat bantu, dan kedua, tujuan pemanfaatannya yang membuat penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan lebih efisien. Dengan teknologi informasi (internet) seluruh proses atau prosedur yang ada di pemerintahan daerah dapat dilalui dengan lebih cepat asal digunakan dengan tepat. Sama halnya dalam menghadapi era globalisasi yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan yang telah membuat isu-isu semacam demokratisasi, transparansi, civil society, perdagangan bebas menjadi hal-hal utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah, tentunya sangat memerlukan penggunaan teknologi informasi (seperti internet).Dalam format ini, pemerintah harus mengadakan reposisi terhadap perannya dari yang bersifat internal menjadi lebih berorientasi eksternal dan fokus kepada bagaimana memposisikan masyarakat dan pemerintahnya di dalam sebuah pergaulan global. Secara umum pengimplementasian e-gov diyakini akan memperbaiki kinerja pengelolaan pemerintahan di Indonesia. Maraknya korupsi di Indonesia dan rendahnya kepercayaan investor asing terhadap pemerintah Indonesia menunjukkan rendahnya kualitas manajemen pemerintahan Indonesia.Untuk itu diperlukan suatu manajemen pemerintah yang sangat menonjolkan unsur transparansi, sebagai salah satu faktor penting dalam menghilangkan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pemerintahan. Rendahnya transparansi ini menyebabkan sukarnya mekanisme pengawasan berjalan dengan lancar.Salah satu solusi dan alternatif yang menjanjikan untuk menciptakan transparansi adalah sistem pengelolaan pemerintahan secara e-government. Pengelolaan
45
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
lembaga/instansi secara elektronik baik untuk swasta maupun pemerintah selain meningkatkan transparansi, juga bisa meningkatkan efisiensi (menurunkan biaya dan meningkatkan efektivitas). Pada sisi lain, berbagai masalah yang dihadapi pemerintah daerah dalam menerapkan egovernment, di antaranya adalah masih kurangnya infrastruktur jaringan internet yang tersedia, masalah sumber daya manusia, dan sebagainya. Namun demikian, karena penerapan e-government sudah menjadi tuntutan masyarakat untuk mendapatkan layanan yang lebih baik, lebih cepat, lebih tepat, lebih mudah, lebih adil, akurat, sesuai dengan harapan warga negara (pelanggan) serta juga karena tuntutan penerapan otonomi daerah maka pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah harus segera menerapkannya dengan segala keterbatasan yang ada. Menerapkan Sistem Informasi Manajemen dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Ringkasnya, e-government diyakini mampu mengurangi peluang penyalahgunaan wewenang dan mengurangi biaya operasional pemerintah, sehingga e-gov semakin mendesak untuk segera diterapkan. Namun, sebagaimana diuraikan sebelumnya, berbagai persoalan teknis maupun kemampuan sumber daya manusia masih menghambat dalam penerapan e-gov. Sesungguhnya, egovernment lebih mendasar dari sekedar komputerisasi dan otomatisasi layanan. Penerapannya amat ditentukan dari political will dari pemerintah daerah, seberapa serius pemerintah daerah mengurangi birokrasi yang selama ini identik dengan uang. Terlepas dari segala kekurangannya, dapatlah disimpulkan bahwa e-gov sangat urgen dalam mewujudkan good local governance untuk semakin meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap pelanggan atau warga negara sebagai pemilik kedaulatan Negara.Inovasi dan reformasi pelayanan publik bermakna menuju good local governance. Untuk memaksimalisasi proses pelayanan publik yang lebih cepat, lebih tepat, lebih mudah dan efisien, transparan, serta efektif yang merupakan karakteristik dari good local governance dibutuhkan penerapan e-gov.
PENUTUP Diawali dengan konsen yang mendalam terhadap peningkatan produktivitas sektor publik, khususnya dalam menyediakan pelayanan publik, tuntutan akan peningkatan kualitas atau pemberian pelayanan prima (exellent service) menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah atau pemerintah daerah untuk dapat memperbaiki citranya. Hal ini mengingat banyaknya kritikan yang mengakibatkan terjadinya krisis identitas di kalangan birokrasi pemerintah yang memandang kinerja privat lebih baik ketimbang kinerja sektor publik dalam pemberian pelayanan publik. Pada sisi lain, masyarakat sebagai citizen-client, seringkali tidak dapat mengandalkan sektor publik untuk urusan-urusan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain-lain yang digolongkan dalam public goods murni. Komplain atau keluhan yang dilontarkanpun seringkali tidak mendapatkan tanggapan secara proporsional dan professional yang pada gilirannya memicu tuntutan dilakukannya perubahan (reformasi) administrasi negara termasuk manajemen publik. Oleh karenanya, di Indonesia sudah waktunya untuk segera berinovasi, mereformasi, reinventing, revitalisasi birokrasi pemerintah dalam pemberian pelayanan terhadap pelanggan atau warga negara. Dalam mereformasi pelayanan publik tidak cukup dengan political will yang setengah hati, melainkan harus dengan cara sepenuh hati, secara sungguh-sungguh dalam melayani warga negaranya menuju good local governance dengan penerapan reformasi dan e-government. Demikianlah juga halnya Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, mau tidak mau, dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakatnya secara lebih baik haruslah secara sungguh-sungguh dengan sepenuh hati menerapkan reformasi dan e-government.
46
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
DAFTAR PUSTAKA Adriwati. 2001.Bunga Rampai Wacana Administrasi Publik: Menguang Peluang dan Tantangan Administrasi Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Agustino, Leo. 2005. Politik dan Otonomi Daerah, Untirta Press, Serang. Anonim.2004.Innovation in Governance and Public Administration for Poverty Reduction, in Newsletter, Issues 1, Number 108, Department of Economic and Social Affairs United Nations. _________ .2006. Innovation in Governance and Public Administration : Replicating What Work, New York : Department of Economic and Social Affairs United Nations. __________ .2006.Innovation in Governance, A Report on Proceedings of The First Arab Regional Forum on Innovation in Governance 13-14 Nopember 2006. Benaissa, Hamdan, Achieving Productivity and Quality Through Adminitrative reform, dalam Zhijian,Z., Deguzman,R.P.,dan Reforma,M.A. (1992) Administrative Reform Towards Promoting Productivity In Bureaucratic Performance. Denhardt, Janet, V. and Robert B. Denhardt.2007.The New Public Service, M.E.Sharpe Inc., New York. Dwiyanto, A. 1995. Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Fisipol UGM, Yogyakarta. ___________ .2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada. ___________ .2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta : Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, PEG-USAID, Bank Dunia. Flynn, Barbara B., Schroeder, Roger G, dan Sakakibara, S. 1995. The Impact of Quality management practices on Performance and Competitive Advantage, Decision Science, Vol.26, No.5, p.659-691. Frederickson, George, H., 1984, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta. Gasperst, Vincent. 2005.Total Quality Management, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaster,Lucy. 1995.Quality in Public Service: Manager’s Choices, Open University Press, Buckingham. Goodsell, Charles T.2003.A New Vision for Public Administration, e-mail:
[email protected]. Hardiyansyah. 2011.Kualitas Pelayanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasinya, Penerbit Gava Media, Yogyakarta. Hirschman, A. 1970.Exit, Voice and Loyalty, Havard University Press, Chambridge. http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/143-kualitas-pelayanan-publik-rendah[163-2011]
47
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Hughes, Owen E. 1994.Public Mangement and Administration: An Introduction, Martin’s Press, New York, USA. Kepmenpan Nomor: 63/Kep/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kompas, 28 Desember 2009. Kompas, 21 Nopember 2012. Kurniawan, Teguh. 2006. Hambatan dan Tantangan dalam mewujudkan Good Government di Indonesia, http://publications-tk.blogspot.com/. Mayne, John. 2008. Building on Evaluative Culture for Effective Evaluation and Results Management, Bioversity International, Rome, Italy, ILAC Working Paper 8, November, Page :1-14. McKevitt, David. 1997.Managing Core Public Service, Blackwell Publishers, Oxford,UOECD. 1990. Survey of Public Management Development, Public Management Committee (PUMA), Paris. Mintzberg, H. 2000. The Structuring of Organizations, A Synthesis of the Research, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs. Nugroho, Riant. 2011.Public Policy, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Osborne, David dan Gaebler, Ted.2000. Terjemahan, Mewirausahakan Birokrasi: mentransformasi semangat wirausaha ke dalam sector publik, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Osborne, David and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Hodson-Wesley Publishing Company Inc., New York. Preskill, Hallie & Boyle, Shanelle. 2008. A Multidiciplinary Model of Evaluation Capacity Building: American Journal of Evaluation, 29 (4) :443-459. Poister, Theodore H. dan Harris, Richard H. (2000), Building Quality Improvement Over The Long Run: Approaches, Results, and Lessons Learned from The PennDOT Experience, Public Performance and Management Review, Vol.24 No.2, Desember p.161-176). Porter, Michael. 1990. The Competitive Advantage of Nations, McMillan, London. Richards, D., and Smith, M.,J. 2002.Governance and Public Policy in The United Kingdom, New York; Oxford University Press. Santoso, Pandji. 2009.Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, PT Refika Aditama, Bandung. Sihombing, Tunggul, dan Remus, H. Pardede. 2011. Final Report executive Summary, Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, Pandan. Saraph, J.V., Benson, P.G., and Schroeder, R.G. 1989.An Instrument for measuring the Critical Factor of Quality Management, Decision Science, Vol.20.No.4.
48
Publico, Volume 1 Nomor 1, November 2016
Sujarwoto, Yumarni. 2007. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Dinamika Kepemerintahan, Vol. VIII, No.2, 2007. Tjokrowinoto, Bintoro. 1999.Pembangunan: Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta. Wicaksono, Kristian, Widya. 2006.Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta. Zeithmal,V., Berry,L. dan Parasuraman, A. 1988.Communication and Control Process in The Delivery of Service Quality, Journal of Marketing, Vol.52, pp.35-48. _______ .1990.Delivering Quality Service, The Free Press, New York.
49