BUNGA RAMPAI ADMINISTRASI PUBLIK
PERWUJUDAN GOOD GOVERNANCE MELALUI INOVASI PELAYANAN PUBLIK
Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia 2016
Bunga Rampai Administrasi Publik: PERWUJUDAN GOOD GOVERNANCE MELALUI INOVASI PELAYANAN PUBLIK
Penanggung Jawab Redaktur
Anggota Editor
: Erfi Muthmainah : Harditya Bayu Kusuma Witra Apdhi Yohanitas : Teguh Henry Prayitno Isni Kartika Larasati : Marsono Abdul Muis
Hak Cipta © 2016 pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik - LAN
Layout : Harditya Bayu Kusuma Sampul : Witra Apdhi Yohanitas
Diterbitkan Oleh : Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Telp. (021) 3868201-05 ext. 144, 145 ISBN : 978-602-61114-1-8
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan Good Governance Melalui Inovasi Pelayanan Publik /Jakarta : PIPEL-LAN, 2016 v + Halaman 1 - 115 ; 18,2 x 25,7 Cm Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang ii | Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
PENGANTAR Akselerasi peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah, perlu didukung dengan berbagai kreativitas, terobosan baru dan ide-ide baru inovasi pelayanan publik. Walaupun beberapa daerah telah melakukan inovasi-inovasi dalam peningkatan pelayanan publik, namun pada kenyataannya masih banyak daerah yang sampai saat ini belum mengembangkan inovasinya dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Oleh karena itu, untuk lebih mamacu pemerintah daerah melakukan berbagai inovasi maka peneliti Lembaga Administrasi Negara menerbitkan sebuah Seri Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan Good Governance Melalui Inovasi Pelayanan Publik, untuk dapat dijadikan acuan dan referensi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di pemerintah daerah. Pertama, Abdul Muis, Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan yang mengupas tentang Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Disebutkan bahwa untuk menunjang fleksibilitas Satker/UPT dalam menyelenggarakan pelayanan umum, berdasarkan ketentuan peraturan perundangan di atas, dimungkinkan bagi Satker/UPT untuk menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), dimana pada intinya Satker/UPT diberikan sedikit fleksibilitas pengelolaan dan penggunaan keuangan negara dari penerimaan hasil penjualan barang/jasa layanan umum kepada masyarakat. Sehingga uang penerimaan negara tersebut dapat dikelola untuk digunakan langsung dan tidak harus disetor kepada kas negara/daerah, dan dapat digunakan untuk keperluan biaya operasional penyelenggaraan pelayanan umum sesuai rencana bisnis atau kegiatan usahanya. Kedua, Milawaty, Peneliti Pertama pada PKP2A II LAN Makasar mengupas tentang Kinerja Layanan Kesehatan Pemerintah Daerah Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan. Disebutkan bahwa masih banyak yang perlu dibenahi terkait pelayanan kesehatan yang dijanjikan dan diberikan pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, seperti belum transparannya proses pembahasan alokasi anggaran kesehatan (APBD), transparansi pelayanan, dan belum adanya upaya dan komitmen kuat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Peningkatan kualitas pelayanan tidak dapat dipisahkan dari partisipasi masyarakat. Aparatur yang berkualitas, masyarakat yang mendukung, dan sistem yang melindungi, menjadi tiga dari serangkaian key factors untuk mewujudkan layanan kesehatan yang mumpuni. Ketiga, Marsono, Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik LAN, yang menyoroti Peningkatan Pendapatan Daerah Kota Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan. Disebutkan bahwa pembentukan Perusahaan Daerah dalam bentuk PD Pedaringan di bidang layanan jasa pergudangan terpadu, layanan jasa angkutan barang, layanan jasa parkir dan layanan jasa sewa ruang ini menjadi hal yang sangat strategis mengingat sumber daya pembangunan yang bersumber dari anggaran Negara/daerah semakin terbatas. Oleh Karena itu, dengan pendirian PD Pedaringan tersebut, menjadi alternatif sumber pendapatan bagi Pemerintah Kota Surakarta. Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |iii
Keempat, Harditya Bayu Kusuma, Peneliti Pertama pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik mengupas tentang Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan. Terkait dengan model inovasi ini disebutkan bahwa arisan jamban merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan keterbatasan jamban yang ada di Indonesia. Arisan jamban merupakan inovasi yang original berasal dari masyarakat Indonesia yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di Indonesia. Praktik terbaik yang berhasil menerapkan arisan jamban adalah di Desa Kapok Kabupaten Bangka dan Puskesmas Tampo Kabupaten Banyuwangi. Banyak manfaat yang sudah diperoleh dari adanya arisan jamban di dua daerah tersebut. Dampak utama adalah adanya perubahan mindset, peningkatan kesehatan dan keterlibatan masyarakat. Kelima, Wisber Wiryanto, Peneliti Madya pada Pusat Kajian Reformasi Administrasi, mengupas tentang Dari Street Level Bureaucrats Ke Street Level Inovation: Model Akselerasi Inovasi Di Daerah. Terkait dengan hal ini disebutkan bahwa keberhasilan birokrasi dengan kebijakan inovasinya tidak hanya ditentukan oleh peran birokrasi level tertinggi yang berperan dalam mengambil kebijakan melainkan juga ditentukan oleh peran birokrasi level terbawah yang melaksanakan kebijakan tersebut di tengah-tengah masyarakat yang dilayaninya. Oleh Karena itu, perlu dibangun konsep dan implementasi streetlevel innovation terkait dengan street-level bureauctrats. Keenam, lebih terkait dengan pelayanan publik perkotaan, Witra Apdhi Yohanitas, Peneliti Pertama pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik mengupas tentang Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung. Terkait dengan hal ini, Smart City merupakan program Pemerintah Kota Bandung yang menitikberatkan pada pemanfaatan teknologi masa kini untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Program in merupakan konsep yang digunakan oleh Pemerintah Kota Bandung untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Ketujuh, terkait dengan pelayanan sanitasi, Teguh Henry Prayitno, Pengelola Data Dan Informasi Kajian pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik mengupas tentang Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar. Disebutkan bahwa inovasi pengelolaan sanitasi menjadi hal penting dalam menunjang perbaikan kesehatan. Upaya ini memerlukan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan mendukung pertumbuhan penduduk dan pemukiman yang bersih dan sehat. Dengan pembenahan sanitasi yang komprehensif, Kota Blitar dapat meningkatkan budaya hidup sehat pada penduduknya. Sistem pengelolaan sanitasi yang bersumber dari dana masyarakat membuat mereka merasa memiliki program IPAL Komunal. Jakarta, September 2016 Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik, Erfi Muthmainah
iv | Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
DAFTAR ISI Pengantar Daftar Isi
KEBIJAKAN BADAN LAYANAN UMUM DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK Abdul Muis
Halaman iii v 1-23
KINERJA LAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH DAERAH DI SULAWESI SELATAN DALAM PERSPEKTIF KELOMPOK PEREMPUAN Milawaty
25-45
PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA SURAKARTA MELALUI PEMBENTUKAN PD PEDARINGAN Marsono
47-57
MODEL ARISAN JAMBAN DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KESEHATAN LINGKUNGAN Harditya Bayu Kusuma
59-76
DARI STREET LEVEL BUREAUCRATS KE STREET LEVEL INOVATION: MODEL AKSELERASI INOVASI DI DAERAH Wisber Wiryanto BANDUNG SMART CITY : PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI KOTA BANDUNG Witra Apdhi Yohanitas IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM IPAL KOMUNAL POKJA SANITASI KOTA BLITAR Teguh Henry Prayitno
77-82 83-103 105-115
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |v
vi | Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik
KEBIJAKAN BADAN LAYANAN UMUM DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK Oleh : Abdul Muis
LATAR BELAKANG Pada saat ini pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan Reformasi Birokrasi baik pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Adapun tujuan dilakukannya program tersebut adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta terciptanya sistem pemerintahan yang transparan, efisien, efektif, akuntable, melibatkan masyarakat serta sesuai dengan prinsip-prinsip good government dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Reformasi birokrasi ini juga terjadi pada lembaga lainnya dilingkungan pemerintah termasuk Unit-unit Pelaksana Teknis. Reformasi dalam sistem pengelolaan fungsi pemerintah yang meliputi penyelenggaraan pelayanan publik ini membawa perubahan paradigma manajemen pemerintah dari sistem manajemen birokratis ke manajemen wirausaha yang kompetitif, yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan mutu pelayanan publik serta efisiensi keuangan negara. Manajemen wirausaha yang kompetitif dikenal dengan istilah enterprising the government yang berarti pemerintah bekerja keras untuk jeli melihat dan memanfaatkan peluang yang ada 1
Indonesia, Undang-Undang dasar 1945, pembukaan.
dalam rangka memakmurkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan adanya perubahan sistem atau pola penyelenggara pelayanan umum, maka dalam pelaksanaan pelayanan tersebut perlu diberikan kewenangan otonomi manajemen agar dapat secara mandiri dan profesional dalam menyelenggarakan kegiatan layanan, serta akuntabel dengan tidak memberatkan anggaran negara. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka perlu dibentuk unit pelayanan pemerintah yang profesional, akuntabel, sehat, fleksibel, otonom, dan berprinsip tidak mengejar keuntungan (nirlaba), sehingga mampu memenuhi kualitas pelayanan prima yang cepat, pasti (persyaratan, biaya, waktu, penyesuaian), biaya terjangkau transparan, aman yang menjadi harapan masyarakat. Dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 1
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |1
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Amanat di dalam pembukaan UndangUndang Dasar ini mengandung makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan administrasi. 2 Hingga saat ini upaya berkesinambungan terus dilakukan oleh pemerintah guna mewujudkan amanat tersebut, terlebih seperti di era globalisasi sekarang ini, dimana pemerintah dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik mungkin, baik kepada publik maupun pada insvestor negara lain. 3 Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong peningkatan terhadap kinerja serta kualitas dari layanan umum, dari menyusun Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik hingga melaksanakan program reformasi birokrasi terhadap seluruh kementerian dan lembaga negara. Disamping itu peningkatan terhadap kinerja serta kualitas dari pelayanan umum salah satunya juga ditentukan oleh sejauh mana efektifitas kelembagaan Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. 4 Dalam tatanan kelembagaan pemerintah yang berlaku terutama di lingkungan kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian, pelaksanaan tugas-tugas pemerintah
diwadahi dalam suatu organisasi tertentu sesuai dengan karakteristiknya. Penyelenggaraan tugas pokok dilaksanakan oleh unit organik, sedangkan tugas-tugas yang bersifat teknis baik teknis penunjang (menunjang tugas pokok) maupun teknis baik teknis penunjang (menunjangtugas pokok) maupun teknis operasional (secara langsung berhubungan dengan masyarakat) dilaksanakan oleh unit organisasi yaitu Unit Pelaksana Teknis (UPT). 5 Namun demikian dalam pelaksanaannya UPT-UPT di lingkungan Kementerian dan Lembaga dirasakan belum optimal. Hal ini disebabkan terdapat sejumlah kendala, yang antara lain menyangkut sistem kelembagaan dan manajemen pada satker/ UPT penyelenggara pelayanan, seperti: terjadinya keterbatasan-keterbatasan kewenangan terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan anggaran, yang terkait oleh ketentuan perundang-undangan, sehingga mekanisme dan prosedur pengelolaan anggaran menjadi bersifat birokratis, artinya tata cara pelaksanaannya mengikuti ketentuan susunan, rangkaian alur pekerjaan dengan mekanisme, tata aturan tertentu yang lebih ketat, melalui simpul-simpul dan banyak meja petugas sehingga terkesan prosedurnya panjang. Akibatnya dalam praktek tidak leluasa dapat menunjang kelancaran penyelenggaraan pelayanan prima, yang hakikatnya memerlukan prosedur cepat yang dapat memenuhi perkembangan
2 Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, UU No.25 Tahun 2009, LN No.112 Tahun 2009 TLN No.503, bagian penjelasan umum. 3 Agus Dwiyanto et al., Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia (Jogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006) hal.54.
4
Lihat lampiran Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.62/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman organisasi Unit pelaksana Teknis di lingkungan Departemen dan Lembaga pemerintah Non-Departemen. 5 Ibid.
2| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik tuntutan masyarakat. Kondisi struktur kelembagaan yang hirarkris dan birokratis, infrastruktur sarana prasarana kerja yang terbatas, kapasitas tenaga kerja kepegawaian yang terbatas, kurang profesional, iklim budaya kerja birokrasi lemah kurang kondusif, kesejahteraan kurang memadai, lemah pada unsur-unsur manajemen, sehingga mempengaruhi kinerja pengelolaan Satker/ UPT dalam penyelenggaraan pelayanan publik akibatnya menjadi kurang optimal, kurang produktif, kurang efesien, etos kerja lemah dan kurang mampu berdaya saing. Atau dengan kata lain penyelenggaraannya kurang akuntabel. Pemerintah memandang perlu untuk melakukan reformasi terhadap sistem dan pengelolaan satuan kerja atau Unit Pelaksana Teknis (satker/ UPT) instansi pemerintah, dimana diharapkan hal tersebut dapat meningkatkan kinerja pelayanan umum menjadi lebih profesional, efisien, produktif, akuntabel dan mampu lebih bersaing. Pentingnya melakukan reformasi sistem dan pengelolaan satuan kerja atau UPT, antara lain untuk membuat Satker/ UPT menjadi badan yang lebih otonom dan fleksibel dalam menyelenggarakan pelayanan umum, serta diharapkan Satker/ UPT dapat dikelola secara lebih bersifat korporasi, profesional, efesien, produktif, akuntabel, mampu bersaing dengan usaha lainnya yang didukung oleh semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Lahirnya tiga paket tentang keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undangundang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung Jawab Keuangan Negara, serta PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, telah diperkenalkan suatu bentuk badan baru yang disebut Badan Layanan Umum (BLU). Saat ini untuk menunjang fleksibelitas Satker/ UPT dalam menyelenggarakan pelayanan umum, berdasarkan ketentuan peraturan perundangan di atas, dimungkinkan bagi Satker/ UPT untuk menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), dimana pada intinya Satker/ UPT diberikan sedikit fleksibilitas pengelolaan dan penggunaan keuangan negara dari penerimaan hasil penjualan barang/ jasa layanan umum kepada masyarakat, sehingga uang penerimaan negara tersebut dapat dikelola untuk digunakan langsung dan tidak harus disetor kepada kas negara/ daerah, dan dapat digunakan untuk keperluan biaya operasional penyelenggaraan pelayanan umum sesuai rencana bisnis atau kegiatan usahanya. 6 Dalam perkembangannya, fleksibilitas kewenangan dalam pengelolaan keuangan pada Satker/ UPT masih dirasakan belum mampu secara optimal menunjang peningkatan kinerja penyelenggaraan pelayanan umum. Karena PP 23 Tahun 2005 merupakan pelaksanaan dari Undangundang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sehingga PP ini hanya mengatur mengenai mekanisme pola pengelolaan keuangan BLU.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, PP
No23 Tahun 2005, LN No.48 tahun 2005, TLN No.4502, ps.14 ayat (5).
6
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |3
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Sedangkan yang menyangkut sistem dan status kelembagaan, tata kerja, dan juga sumber daya aparatur/ kepegawaian belum ada landasan hukum tersendiri. Oleh karena itu dipandang perlu adanya suatu undangundang tersendiri mengenai BLU yang menyangkut baik aspek keuangan, kelembagaan dan tata laksana, dan SDM. Undang-undang yang akan mengatur BLU tersebut, antara lain berisi ketentuan yang memungkinkan pembentukan ataupun mengubah sistem pengelolaan yang lebih mandiri (otonom) tidak birokratis, prosedur kerja tidak kaku (fleksibel), pembinaan SDM/ kepegawaian yang dinamis dan merit, dengan kewenangan mengangkat sendiri tenaga profesional non PNS, serta mampu berdaya saing. Diharapkan dengan adanya landasan hukum yang lebih jelas tersebut, menjadikan pengaturan mengenai badan yang menyelenggarakan layanan umum menjadi lebih menyeluruh. Landasan hukum yang jelas bagi lembaga yang menyelenggarakan layanan umum nantinya akan mengakomodir permasalahan menyangkut perubahan bentuk dan status kelembagaan, termasuk hal-hal yang memerlukan pengaturan secara khusus atau pengecualian atas pelaksanaan sejumlah ketentuan perundang-undangan. Pada saat ini sudah terdapat 104 Satker/ UPT dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), 7 sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Sumber Website Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, http://pkblu.perbendaharaan.go.id/blu_tetap.php
Perbendaharaan Negara, dan juga Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang pengelolaan Keuangan BLU, yang pada intinya mengatur mengenai pengelolaan keuangan pada satuan kerja pelayanan umum, dengan pola dan mekanisme khusus, dan dapat menggunakan langsung secara otonom hasil penerimaannya tanpa disetor ke kas negara. Namun sesungguhnya secara yuridis formal bentuk dan ciri lembaga (institusi) dan status hukum kelembagaan, ketatalaksanaan dan SDM BLU belum jelas. Diharapkan dengan akan adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai penyelengaraan layanan umum yang dilakukan oleh BLU dapat memberikan kepastian landasan hukum mengenai bentuk dan kedudukan serta menjadi pedoman dalam penerapan tata kelola Badan Layanan Umum kedepan. IDENTIFIKASI MASALAH Beberapa permasalahan pokok yang dapat dikenali dalam rangka mengembangkan sistem penyelenggaraan pelayanan umum yang profesional, kompetitif, dan akuntabel, antara lain, menyangkut: 1. Aspek dasar hukum, saat ini pengaturan mengenai BLU tersebar di sejumlah peraturan perundangundangan. Yang menjadi dasar dari sejumlah peraturan pelaksana tersebut bersumber dari dua pasal di dalam Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, namun ternyata sejumlah pengaturan di dalam peraturan pelaksanaa mengenai BLU ini bertentangan
7
4| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik dengan ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi (dalam hal ini Undang-Undang Keuangan Negara, dan UndangUndang Kepegawaian). Lebih lanjut, berdasarkan Undang-Undang no. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 1 Angka 2 disebutkan bahwa setiap institusi penyelenggaran negara, korporasi, lembaga independen yang melakukan pelayanan publik dibentuk berdasarkan UndangUndang. Maka diperlukan peraturan dalam bentuk Undang-Undang yang akan menjadi dasar hukum dari BLU. 2. Aspek kelembagaan, secara operasional penyelenggaraan pelayanan pada institusi pemerintah dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis (UPT) dan atau satuan kerja (satker) instansi pemerintah. Persoalannya antara lain, kelembagaannya dan struktur organisasinya tunduk mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai organisasi dan tata kerja UPT atau satuan kerja instansi pemerintah, yang sifatnya hirarkis, birokratis dan berlaku penerapan eselonisasi jabatan. 8 Oleh karena itu, dirasakan kurang fleksibelitas dalam pengelolaan sumber daya, kurang produktif, kurang efesien, kurang profesional dan akhirnya menghambat proses penyelenggaraan pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan publik dengan pola pengelolaan keuangan (PK) Badan Layanan Umum (BLU) menurut PP No.23 Tahun 2005, aspek kelembaganya masih rancu, Lihat lampiran Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.62/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman organisasi Unit pelaksana Teknis di
8
polanya tidak standar, kriterianya kurang jelas. Karena kelembagaannya ada yang mengikuti ketentuan pola UPT, seperti: UPT Rumah Sakit, RSU daerah Milik Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Propinsi. Terdapat pula yang pola yang lain seperti BLU pembebasan lahan untuk kepentingan jalan tol, BLU Pembiayaan Perumahan, PK dana Bergulir, PK BLU (perlu dipertegas dimasa yang akan datang apakah struktur tata laksana proses pengangkatan pejabat semua BLU sama atau terdapat perbedaan sesuai dengan karakteristik lembaga masing-masing) Pada saat ini BLU bukan merupakan sebutan entitas “badan”, akan tetapi sebagai sebutan yang mencirikan unit/ satuan kerja (UPT) tertentu yang menerapkan pengelolaan keuangan yang khusus. Dengan demikian belum ada lembaga atau badan tersendiri sebagai entitas atau satuan lembaga yang khusus dengan ciri-ciri tertentu dan pengelolaanya bersifat mandiri (otonom) dalam penyelenggaraan pelayanan umum. Namun yang terjadi adalah UPT atau satuan kerja instansi yang menerapkan pengelolaan keuangan pola BLU. Pada sisi lain, pada ketentuan perundang-undangan, belum ada klausul mengenai pembentukan lembaga yang mewadahi aktifitas penyelenggaraan pelayanan umum selain dalam bentuk satuan kerja atau UPT tersebut di atas. Untuk itu perlu Undang-Undang sebagai lingkungan Departemen dan Lembaga pemerintah Non-Departemen.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |5
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik payung hukum yang mengatur pembentukan dan tata kerja pengelolaan lembaga serta sumber dayanya. 3. Status kepegawaian, dalam lembaga penyelenggara pelayanan umum dengan pola pengelolaan keuangan BLU menurut PP No.23 Tahun 2005 terdapat kerancuan, antara lain kurang tegas status dan pola pembinaannya. Terdapat dua macam status kepegawai atau karyawan yang bertugas pada satuan kerja pelayanan pola BLU, yakni PNS dan non PNS, konsekuensinya aturan pembinaan kariernya maupun pola reumenerasinya atau kesejahteraannya kurang jelas, terutama bagi pegawai/ karyawan yang non PNS sebagai tenaga profesional non PNS pada pola BLU diduga melanggar aturan kepegawaian, terutama bila menduduki pada jabatan struktural sepanjang kelembagaannya berstatus sebagai UPT instansi Pemerintah. Kenyataannya belum ada pengaturan yang jelas terhadap tenaga kepegawaian yang non PNS, apakah mengikuti UU ketenagakerjaan atau mengikuti UU kepegawaian Negeri. Sementara itu, contoh Badan Hukum lain seperti: BHMN, otorita, LPP (TVRI dan RRI) walaupun berbentuk badan hukum, namun dalam pelaksanaannya belum jelas status organisasi dan kepegawaiannya. 4. Bagaimana mengenai pengelolaan keuangan BLU/ BLUD? Pada saat ini dasar hukum pengelolaan keuangan didasarkan pada PP No. 23 Tahun 2005 yang pada intinya memberikan pengaturan secara khusus kepada
BLU mengenai pengelolaan keuangannya. Apakah undangundang yang akan dibuat mengadopsi ketentuan yang sudah ada, atau mengatur tersendiri mengenai pengelolaan keuangan BLU. 5. Masalah kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kaitan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan umum. 6. Standar mutu, keberagaman dalam penyelenggaraan pelayanan umum yang diselenggarakan oleh Satuan Kerja/UPT. Kemudian dalam hal aspek kelembagaan, dimana terdapat Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, didalamnya hanya mengamanatkan pembentukan lembaga kementerian dan lembaga pemerintahan non kementerian (LPNK). Pelaksanaan Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tersebut, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian dan seterusnya, dimana tidak terdapat pengaturan kelembagaan mengenai lembaga penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu, perlu adanya suatu ketentuan perundang-undangan yang melandasi pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan atau satuan kerja dalam bentuk badan, dimana dalam hal ini Badan Layanan Umum, yang menjadi landasan hukum untuk mengubah sistem manajemen unit pelaksana pelayanan pemerintahan dari sistem manajemen birokratik menjadi sistem manajemen berprinsip kewirausahaan, dan dapat memberikan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat dan negara dan akhirnya
6| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik berdampak juga pada peningkatan kesejahteraan pegawai dari lembaga yang menyelenggarakan pelayanan tersebut. KONSEP PELAYANAN PUBLIK Birokrasi pemerintahan merupakan proses terpenting dalam suatu pemerintahan negara. Karena birokrasi merancang, melaksanakan dan mengevaluasi semua tugas dan kegiatan pemerintahan, yang antara lain meliputi penyelenggaraan layanan, administrasi pemerintahan dan pembangunan serta membuat maupun melaksanakan berbagai norma dan ketentuan hukum yang berlaku bagi birokrasi dan masyarakat luas. Secara umum, sering dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan adalah administrasi negara. Oleh karena itu, keberadaan birokrasi / administrasi negara merupakan penentu utama dalam keberhasilan pelaksanaan tugastugas pemerintahan negara. 9 Birokrasi atau administrasi negara dapat digambarkan sebagai suatu mesin pemerintahan yang besar dan sifatnya massal dengan jumlah orang yang terlibat langsung di dalamnya sangat besar dengan ribuan atau jutaan aktivitas kegiatan yang mempunyai dinamika yang cepat dan berlangsung secara berkesinambungan dengan cakupan area tugas dan pelayanan yang luas di suatu negara. 10 Oleh karena itu, kegiatan birokrasi atau administrasi negara dalam melaksanakan tugas dan layanannya berdimensi sangat luas dan mempunyai dampak yang signifikan bagi Sofyan Effendi, reformasi aparatur negara untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan ekonomi global, Makalah dalam Seminar Nasional MIPI, Medan, 3-4 Mei 2006, hal. 1.
9
masyarakat dan pemerintah di suatu negara. Karakteristik yang lain dari birokrasi adalah bahwa jenis dan ruang lingkup kegiatannya selalu bersifat dinamis setiap saat karena mengikuti perkembangan di berbagai sektor, seperti ekonomi, sosial, hukum, budaya, dan lain sebagainya yang terjadi di pemerintah dan masyarakat. Terdapat beberapa hal lain yang merupakan ciri-ciri guna mengidentifikasi fungsi layanan dalam administrasi negara, yaitu: 11 1. Pelayanan yang diberikan oleh administrasi negara bersifat lebih urgen dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh organisasi-organisasi swasta. Urgensi pelayanan ini karena menyangkut kepentingan semua lapisan masyarakat, dan kalau diserahkan atau ditangani oleh organisasi-organisasi lainnya selain organisasi pemerintah maka akan tidak jalan. 2. Pelayanan yang diberikan oleh administrasi negara pada umumnya bersifat monopoli atau semi monopoli. Dalam hal ini bentuk pelayanan yang diberikan tidak bisa dibagi kepada organisasi-organisasi lainnya. 3. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, administrasi negara dan administratornya relatif berdasarkan undang-undang dan peraturan. Ciri ini memberikan warna legalistis dari administrasi negara tersebut. Dengan demikian, perubahan atau perluasan 10 Miftah Thoha, Reformasi Birokrasi Pemerintah, Makalah dalam Seminar Good Goverance di Bappenas, tgl 24 Oktober 2002. Hal 5. 11 Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Rajawali Pers, 2005, hal. 47-48
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |7
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan kepada masyarakat, pada umumnya sulit atau lambat menyesuaikan diri pada tuntutantuntutan masyarakat. Lain halnya dengan organisasi swasta yang dengan mudah dan cepat dapat menyesuaikan apabila didapatkan kritik atau saran dari langganan. 4. Administrasi negara dalam memberikan pelayanan tidak dikendalikan oleh harga pasar, tidak seperti yang terjadi dalam organisasi perusahaan yang terikat oleh harga pasar dan untung rugi. Oleh karena itu, permintaan pelayanan oleh masyarakat kepada administrasi negara tidak didasarkan akan perhitungan laba rugi, melainkan ditentukan oleh rasa pengabdian kepada masyarakat umum. 5. Usaha-usaha dilakukan oleh administrasi negara, terutama dalam negara demokrasi, ialah dilakukan sangat tergantung kepada penilaian rakyat banyak. Itulah sebabnya pelayanan yang diberikan oleh adminsitrasi negara hendaknya adil tidak memihak, proporsional, bersih, dan mementingkan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan pribadinya. Pelayanan tersebut tidak bisa melepaskan dari pelayanan rakyat yang dilayaninya. Selain itu, dari segi keuangan, birokrasi dalam melaksanakan tugas dan pelayanannya membutuhkan biaya yang sangat besar setiap tahunnya dari anggaran yang disediakan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 12 Total dana untuk
keperluan birokrasi pemerintah setiap tahunnya selalu meningkat sesuai dengan kebutuhan dan dinamika dari pelaksanaan kegiatan pelayanan. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik birokrasi yang selalu dinamis dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan dari masyarakat dan pemerintah terhadap tugas dan jasa yang diberikan kepada masyarakat. Pada sektor pelayanan publik, birokrasi memegang peranan penting dan strategis karena merupakan instrumen yang berproses dalam instansi pemerintah yang memiliki kewenangan monopoli dalam memberikan dan melaksanakan pelayanan (publik) kepada masyarakat. Birokrasi dalam melakukan aktifitasnya berhadapan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Interaksi dalam praktek antara kegiatan birokrasi dan masyarakat dapat mencerminkan kualitas dan kuantitas pelayanan, menggambarkan respon mengenai kepuasan pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. 13 Pendefinisian pelayanan publik bagi pengaturan di Indonesia mengakomodasi atas seluruh pengertian pelayanan publik dari berbagai sisi dengan mempertimbangkan efektifitas penerapannya. Pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau
12 Doty Damayanti, Kesempatan Ketiga untuk Birokrasi, http://aparaturnegara.bappenas.go.id /?id=1346& category=artikel&page=viewnews, 30 Juli 2010.
13 Gaspersz, Vincent, 2002, Sistem Manajemen Terintegrasi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
8| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. 14 Lingkup dari layanan publik tersebut mencakup layanan publik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Bersifat langsung artinya bahwa aparat pemerintah sendiri yang menyelenggarakannya. Sedangkan yang bersifat tidak langsung artinya tugas tersebut sebetulnya kewajiban pemerintah untuk menyediakannya namun karena pertimbangan efisiensi dan pendanaan, maka pihak swasta ditugaskan untuk menyelenggarakannya. Pemerintah melakukan kontrol melalui mekanisme tender, penerapan standarisasi mutu atau kualitas, kuantitas, harga, pendistribusiannya dan lain-lain. Dari uraian diatas jelaslah bahwa layanan yang dipegang oleh pemerintah merupakan layanan yang tidak boleh mencari keuntungan (nirlaba) artinya pemerintah tetap berkewajiban memenuhi kebutuhan biaya dan BLU melalui usahanya menutupi bagian dari biaya produksi dari pelayanan publik. Namun dalam kaitan ini bukan berarti aspek efisiensi dan efektifitas diabaikan. Karena paradigma baru pemerintah saat ini salah satunya adalah mewirausahakan birokrasi. KONSEP BADAN LAYANAN UMUM Secara fungsional, pelaksanaan pelimpahan fungsi dan wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan dapat dikelompokkan ke dalam pelayanan umum dan pelayanan civil. Pelayanan umum merupakan bentuk pelimpahan sebagian fungsi dan 14 Pasal 1 Angka 1, Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
wewenang pelayanan pemerintah kepada satuan kerja, UPT LU dan/atau satuan kerja pelaksana usaha lainnya untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum yang fokusnya menghasilkan atau memproduksi, menyediakan, memberikan barang dan/atau jasa layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada produk kegiatan layanan umum dapat dilakukan pungutan uang atau dapat dijual sebagai kompensasi biaya proses produksi atau penyediaan jasa dan barang layanan. Contoh kegiatan penyelenggaraan layanan umum antara lain: layanan bidang kesehatan pada rumah sakit, Puskesmas, laboratorium, layanan bidang pendidikan dan latihan, layanan penelitian dan pengembangan benih atau pengujian produk pada pertanian, perkebunan, perikanan, layanan penyediaan fasilitas transportasi, layanan penyediaan kredit bergulir dan sejenisnya. Pelayanan civil merupakan implementasi tugas pelayanan yang menjadi hak dan kewajiban kepemerintahan kepada warga negara/ penduduk sipil berdasarkan ketentuan hukum dalam bentuk pengaturan/ pengendalian (regulasi), penataan dan perlindungan (fasilitasi), pengadministrasian (registrasi), pengesahan (legalisasi) terhadap hak dan kewajiban warga negara dan atau dalam beraktifitas. Contoh: pelayanan penerbitan akte kelahiran/ pernikahan/ cerai, KTP, SIM, Paspor, Ijin membangun, Ijin lokasi usaha/ perdagangan, layanan peradilan, keamanan dan lainnya. Karena kegiatan pelayanan civil merupakan tugas dan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |9
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik kewajiban Pemerintah/ Negara kepada warga negara/ masyarakat maka konsekuensi dari kegiatan layanan civil, jasa layanannya tidak dijual kepada masyarakat. Dalam rangka memenuhi kewajiban pelayanan umum, pemerintah telah membentuk antara lain: Bentuk-Bentuk Badan Usaha Milik Negara Perusahaan negara di Indonesia sebelum tahun 1960 diatur oleh peraturan yang berbeda-beda yaitu: 15 a. Perusahaan-perusahaan IBW (Indonesische Berdrijven Wet = Undang-Undang Perusahaan Indonesia) b. Perusahaan-perusahaan ICW (Indonesische Comptabilities Wet = Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia) c. Perusahaan-perusahaan berdasarkan Undang-Undang tertentu d. Perusahaan-perusahaan negara berdasarkan Hukum Perdata khususnya Hukum Dagang e. Usaha-usaha dengan modal pemerintah dalam bentuk yayasan Kemudian, untuk menyesuaikan organisasi alat-alat produksi dan distribusi ekonomi dalam rangka penyelenggaraan ekonomi terpimpin tahun 1959, pemerintah merasa perlu untuk menyeragamkan bentuk-bentuk usaha negara. Oleh karena itu dikeluarkanlah Perpu Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Menurut undang-undang ini,
pengertian perusahaan negara adalah semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain atau berdasarkan undang-undang. 16 Pada tanggal 28 Desember 1967, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1967 tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara kedalam tiga bentuk Usaha Negara. Dasar Pertimbangan dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut adalah: 17 a. Adanya perbedaan dalam bentuk, status hukum, struktur organisasi, sistem kepegawaian, administrasi dan lain-lain pada perusahaan negara yang ada. b. Perlu diadakan penertiban/ penyempurnaan perusahaan negara ke dalam tiga bentuk yang menjadi konsensus umum baik diantara departemen maupun perusahaan negara dengan memperhatikan halhal berikut ini; 1) Menghindari timbulnya hambatan-hambatan yang merugikan 2) Meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi serta terjaminnya prinsip-prinsip ekonomi dari perusahaan negara Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden tersebut, maka pada tanggal 7 April 1969, Pemerintah menetapkan Perpu nomor 1 Tahun 1969 tentang bentuk-Bentuk Usaha
15C.S.T.
Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Rajawali Pers: Jakarta, 1996), hal. 186. 17Ibid, hal 191-192
Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Bisnis) (Pradnya Paramita: Jakarta, 1992), hal. 88 16R.T. Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk
10| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Negara yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. Menurut Pasal 1 UndangUndang Nomor 9 Tahun 1969 disebutkan bahwa usaha-usaha negara berbentuk perusahaan dibedakan dalam: a. Perusahaan Jawatan (Perjan) b. Perusahaan Umum (Perum) c. Perusahaan Perseroan (Persero)
b.
secara baik dan memuaskan. Usaha Perjan menitikberatkan pada pelayanan publik sehingga tidak semata-mata untuk mencari keuntungan saja. Merupakan bagian dari Departemen/ Direktorat Jenderal/ Direktorat/ pemerintah Daerah. Modal Perjan termasuk dari anggaran belanja departemen yang bersangkutan. Sebagai bagian dari departemen/ pemerintah daerah, Perjan mempunyai hubungan Hukum publik Dipimpin oleh seorang kepala yang merupakan bawahan dari departemen/ Direktorat Jenderal/ Pemerintah Daerah. Memperoleh fasilitas dari negara untuk mencapai tujuannya Pegawai-pegawainya adalah PNS. Pengawasan dilakukan baik secara hirarki maupun secara fungsional.
Ad. 1. Perusahaan Jawatan (Perjan) Perjan adalah Perusahaan Negara yang didirikan dan diatur dengan ketentuan yang termasuk dalam Indische Berdrijven Wet (IBW, Stbl 1927: 419 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Stbl 1936: 445, Undang-undang Darurat No. 3 Tahun 1954 dan Undang-undang No. 13 Tahun 1955) dan ICW sepanjang tidak bertentangan dengan IBW. 18 Perusahaan jawatan (Perjan) adalah badan hukum publik tetapi tidak berdiri sendiri, karena merupakan bagian dari suatu Departemen, Direktorat Jenderal, Direktorat atau Pemerintah Daerah. Tujuannya lebih mengutamakan pelayanan umum daripada kepentingan komersial yang berupa keuntungan atau laba. 19 Perjan mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut: 20 a. Menjalankan “public service” atau pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam menjalankan usahanya, Perjan memberikan pelayanan dengan melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas dan ekonomis, serta management effectiveness dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat
c.
18Pariata Westra, Adminstrasi Perusahaan Negara Perkembangan dan Permasalahannya (Gajah Mada University Press: Yogyakarta, 2002), hal 86.
19Ibid.
d.
e. f. g.
Ad. 2 Perusahaan Umum (Perum) Perusahaan Umum (Perum) adalah perusahaan milik Negara yang dibentuk dan diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1960. Khusus pengelolaan modal Perum diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1965. Perum bertujuan lebih mengutamakan mewujudkan kesejahteraan umum daripada kepentingan komersial semata-mata. Artinya walaupun bertujuan mencari keuntungan atau laba, hal itu diperuntukkan bagi kesejahteraan umum yang merupakan kewajiban pemerintah. 21
20Op.Cit, 21
hal 193-195. Ibid, hal. 112-113.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |11
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Adapun ciri-ciri Perum adalah sebagai berikut: a. Melayani kepentingan umum sekaligus untuk memupuk keuntungan. b. Berstatus badan hukum c. Bergerak di bidang jasa-jasa vital (public utilities) d. Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak e. Dapat dituntut dan menuntut serta hubungan hukumnya diatur dalam Hukum Perdata f. Tidak ada penyertaan modal swasta ataupun asing. Modal seluruhnya dimiliki oleh negara dari kekayaan yang dipisahkan g. Dipimpin oleh Direksi yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Pemerintah h. Pegawainya berstatus pegawai perusahaan negara yang diatur tersendiri diluar ketententuan yang berlaku bagi PNS/ Perusahaan swasta/ usaha negara Perseroan i. Laporan tahunan perusahaan disampaikan kepada pemerintah. Ad. 3. Perusahaan Perseroan (Persero) Menurut PP No. 24 Tahun 1972, Persero adalah perusahan milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut: a. Berstatus sebagai Badan Hukum Perdata b. Hubungan usahanya diatur menurut Hukum Perdata c. Makna usahanya adalah memupuk keuntungan d. Modal secara keseluruhan atau sebagian milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan dan memungkinkan adanya joint venture
dengan pihak swasta, serta dimungkinkan adanya penjualan saham-saham perseroan. e. Tidak memperoleh fasilitas negara f. Dipimpin oleh Direksi g. Pegawainya berstatus pegawai perusahaan swasta h. Pengangkatan komisaris dan direksi berdasarkan keahlian dan kemampuan bukan atas jabatan dalam tata pemerintahan negara i. Peranan pemerintah adalah sebagai pemegang saham Namun dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undangundang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), peraturan mengenai Perusahaan Negara dinyatakan tidak berlaku lagi. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurut Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Maksud dan tujuan pendirian BUMN menurut Pasal 2 ayat (1) adalah: a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya b. Mengejar keuntungan c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
12| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat BUMN adalah suatu badan hukum yang berbeda dengan badan hukum lainnya. Yang membedakan BUMN dengan badan hukum lainnya adalah: 22 a. Seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara b. Melalui penyertaan secara langsung c. Berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan d. Memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya e. Mengejar keuntungan (profit oriented) f. Penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak g. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dilaksanakan oleh sector swasta dan koperasi h. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha olongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. Berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, hanya dikenal 2 (dua) bentuk perusahaan yaitu Perusahaan Perseroan dan Perusahaan Umum. a. Perusahaan Perseroan (Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Perusahaan 22Johanes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola kemitraan dan Badan Hukum (Refika Aditama: Bandung, 2006), hal, 61-62.
Perseroan Terbuka adalah Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah menyediakan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan bersaing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Organ Persero adalah RUPS, Direksi dan Komisaris. b. Perusahaan Umum (Perum) adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang berkualitas dengan harga terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Organ Perum adalah Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas. Namun, Menteri tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum. Unit Pelayanan Teknis/ Satuan Kerja UPT menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/18/M.PAN/11/2008
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |13
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik tentang Pedoman Organisasi Unit Pelaksana Teknis Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian adalah organisasi yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis tertentu dan/atau tugas teknis penunjang tertentu dari organisasi induknya. Organisasi UPT yang bersifat mandiri adalah satuan kerja yang mengelola kepegawaian, keuangan dan perlengkapan sendiri dan tempat kedudukannya terpisah dari organisasi induk. UPT mempunyai tugas melaksanakan kegiatan teknis penunjang serta urusan pemerintah yang bersifat pelaksanaan dari organisasi induknya yang pada prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan penetapan kebijakan publik. Berdasarkan sifat dan tugas lingkup kegiatan, UPT tidak mengenal batas wilayah administrasi pemerintah tertentu dan tidak membawahi PUT lainnya. Badan Layanan Umum Pengaruh pemikiran faham liberal dalam pengelolaan oraganisasi publik sudah mulai sejak tahun 1998 yakni sejak digulirkannya pendekatan good governance dan usaha untuk mewirausahakan birokrasi. Cara berfikir liberalisasi dalam pelayanan publik dapat terlihat dengan dibentuknya organisasi pelayanan publik yang mengalami transformasi dari bentuk tradisional menjadi semi privat, yang memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan dengan 23Achmadi Nurmandi, Manajemen Pelayanan Publik, (Sinergi Visi Utama: Yogyakarta, 2010), hal 70.
menerapkan praktek bisnis yang sehat. 23 Dengan demikian, dalam hal penyelengaraan pelayanan pubik telah terjadi perubahan paradigma dalam manajemen pemerintah dari sistem manajemen birokratis ke manajemen wirausaha yang kompetitif, yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan mutu pelayanan publik serta efisiensi keuangan negara. Manajemen wirausaha yang kompetitif dikenal dengan istilah entrepreneurial government yang berarti pemerintah bekerja keras untuk jeli melihat dan memanfaatkan peluang yang ada dalam rangka memakmurkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Adanya perubahan sistem atau pola dalam penyelenggara pelayanan umum, maka perlu diberikan kewenangan otonomi manajemen kepada penyelenggara pelayanan umum agar dapat secara mandiri dan profesional dalam memberikan layanan, serta akuntabel dengan tidak memberatkan anggaran negara. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka perlu dibentuk unit pelayanan pemerintah yang profesional, akuntabel, sehat, fleksibel, otonom, dan berprinsip tidak mengejar keuntungan (nirlaba), sehingga mampu memenuhi kualitas pelayanan prima yang cepat, pasti (persyaratan, biaya, waktu, penyesuaian), biaya terjangkau transparan, aman yang menjadi harapan masyarakat. Kemudian, lahirnya tiga paket tentang keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
14| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung Jawab Keuangan Negara, serta PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Badan Layanan Umum adalah instansi lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 68 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004). Adapun ciri-ciri Badan Layanan Umum adalah: a. Badan Layanan Umum dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menyediakan barang dan/atau jasa yang dapat dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan (nirlaba). b. BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdas kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat
c. BLU merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induknya. d. Sistem pengelolaan keuangan BLU bersifat fleksibel (artinya dapat mengelola langsung) dan dikecualikan dari asas universalitas pengelolaan keuangan negara pada umumnya. e. Pegawai BLU terdiri dari PNS dan non-PNS f. Organ BLU terdiri dari pemimpin, pejabat keuangan dan pejabat teknis serta dewan pengawas g. Ruang lingkup Badan Layanan Umum adalah menghasilkan atau memproduksi, menyediakan, memberikan barang dan/atau jasa layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti layanan bidang kesehatan pada rumah sakit, puskesmas, laboratorium, layanan bidang pendidikan dan latihan, layanan penelitian dan pengembangan benih atau pengujian produk pada pertanian, perkebunan, perikanan, layanan penyediaan fasilitas transportasi, layanan penyediaan kredit bergulir dan sejenisnya, pengelolaan kawasan tertentu dan pengelolaan dana khusus, pengelola jalan tol, badan pengatur minyak dan gas bumi, badan pengelola air minum. Untuk menjadi BLU harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut: (a) substantif; (b) teknis; dan (c) syarat administratif, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |15
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Umum. Syarat substantif adalah instansi yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Persyaratan substantif a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum b. Pengelolaan wilayah/ kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat. 2. Persyaratan Teknis a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui PPK-BLU atau BLUD sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/ pimpinan lembaga/ kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) sesuai dengan kewenangannya. b. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU atau BLUD. 3. Persyaratan Administratif a. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat b. Pola tata kelola c. Rencana strategis bisnis d. Laporan keuangan pokok e. Standar pelayanan minimum f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Disamping itu, untuk memenuhi standar pelayanan minimum BLU harus memenuhi persyaratan SMART (Spesific, Measurable, Attainable, Reliable dan Timely) yaitu: 1. Fokus pada jenis pelayanan 2. Dapat diukur 3. Relevan dan dapat diandalkan dan 4. Tepat waktu. Namun, istilah Badan Layanan Umum (BLU) yang berkembang saat ini masih terbatas pada pola pengelolaan keuangan yang pada intinya hanya mengatur mengenai pengelolaan keuangan pada satuan kerja layanan umum, dengan menggunakan pola dan mekanisme khusus yang dapat menggunakan langsung secara otonom hasil penerimaannya tanpa disetor ke kas negara. Sedangkan ketentuan mengenai kelembagaan, tatalaksana, dan SDM belum diatur secara tersendiri dalam undang-undang, masih tersebar dalam berbagai peraturan perundangundangan (bersifat parsial). Pengaturan yang saat ini ada mengenai BLU menyangkut aspek kelembagaan (tatalaksana), pengelolaan keuangan, dan SDM (kepegawaian) adalah: 1. Aspek Kelembagaan (organisasi) Pengaturan mengenai kelembagaan yang ada saat ini mengacu pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang hanya mengamanatkan pembentukkan lembaga kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian dan Peraturan Presiden tentang Unit Eselon I kementerian, serta pelimpahan
16| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik kewenangan kepada Menteri untuk membentuk satuan kerja eselon II kebawah dengan persetujuan Kemenpan dan RB mengenai jabatan struktural. Dengan dikeluarkannya Undangundang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, diperkenalkanlah Badan Layanan Umum. Selanjutnya, mengenai pengelolaan keuangan BLU dukeluarkanlah PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. BLU sebagai instansi di lingkungan Pemerintah bertujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan. BLU beroperasi sebagai unit kerja Kementerian Negara/ Lembaga/ Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/ lembaga/ pemerintah daerah, dan karenanya status hukum BLU tidak terpisahkan dari instansi induknya. Dengan demikian, BLU berperan sebagai agen dari Kementerian/ Lembaga/ Pemda yang bersangkutan. Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikan kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. Sedangkan, pejabat yang ditunjuk mengelola BLU 24Ibid.,
hal 74.
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor: PER/02/M.PAN/1/2007 tentang Pedoman Organisasi satuan Kerja Di Lingkungan Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUdisebutkan bahwa kriteria Satker PPK BLU adalah UPT, UPTD atau satuan kerja di lingkungan Kementerian Negara/ Lembaga Pemerintah Non Departemen yang secara operasional menyelenggarakan fungsi pelayanan kepada masyarakat dengan tidak semata-mata mencari keuntungan (not for profit). Satker PPK BLU berkedudukan di bawah Menteri/ pimpinan Lembaga Pemerintah non Departemen/ Gubernur/ Bupati/ Walikota. Pemberian status PPK BLU harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan, sedangkan persetujuan mengenai penataan organisasi Satker PPK BLU diberikan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Untuk BLU di lingkungan Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dengan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Tatakelola BLUD beroperasi berdasarkan pola tata kelola atau peraturan internal yang memuat antara lain: 24
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |17
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik a. b. c. d.
Struktur organisasi Prosedur kerja Pengelompokan fungsi yang logis Pengelolaan sumber daya manusia Dalam rangka menjamin kejelasan mekanisme kerja dan akuntabilitas organisasi, maka dibuatlah desain organisasi Satker PPK BLU/ BLUD yang secara jelas menggambarkan pembagian mengenai kedudukan, susunan jabatan, dan hubungan kerja antar unit organisasi. Menurut Permenpan No. PER/02/M.PAN/1/2007, susunan organisasi satuan kerja di lingkungan instansi pemerintah terdiri dari unsur-unsur: Pemimpin, Pejabat Keuangan dan Pejabat Teknis, serta Dewan Pengawas. Sedangkan, struktur organisasi BLUD menurut Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 terdiri dari Dewan Pengawas dan Pengelola. Pejabat pengelola BLUD terdiri dari Pemimpin, Pejabat Keuangan dan Pejabat Teknis. Struktur organisasi tersebut menggambarkan posisi jabatan, pembagian tugas, fungsi, tanggung kawab dan wewenang dalam organisasi BLU/ BLUD. Terkait dengan pemantauan dan evaluasi, Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota bertugas melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja organisasi BLU di lingkungan Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah, dan hasil evaluasi disampaikan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan instansi lain yang terkait.
2. Aspek Tatalaksana Pola tata kelola merupakan peraturan internal satuan kerja instansi pemerintah yang menetapkan tatalaksana dengan memperhatikan kebutuhan organisasi, perkembangan misi dan strategi, pengelompokkan fungsi yang logis, efektivitas pembiayaan, serta pendayagunaan sumber daya manusia. Penetapan tatalaksana sebagai pedoman umum dalam pengelolaan BLU, kemudian diimplementasikan dengan menyusun standard operation procedure (SOP) pada setiap satuan kerja sebagai pedoman yang berisi tatacara dan langkah-langkah yang menjadi acuan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu dalam aspek Tatalaksana ini juga termasuk kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kinerja dari organisasi, seperti; pembuatan sistem e-government. Menurut Permenpan Nomor: PER/02/M.PAN/1/2007, Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota menetapkan tata hubungan kerja antara BLU dengan satuan-satuan kerja lainnya dengan mengutamakan efektivitas pelaksanaan tugas masing-masing. Disamping itu, BLU dalam menyelenggarakan pelayanan umum kepada masyarakat harus memenuhi standar pelayanan minimum sebagai tolak ukur layanan minimum yang diberikan BLU kepada masyarakat. Menurut PP no. 65 Tahun 2005, Standar Pelayanan minimum adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
18| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik diperoleh setiap warga secara minimal. Indikator SPM adalah tolak ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan/ atau manfaat pelayanan. Berdasarkan PP No. 23 Tahun 2005, standar pelayanan minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Standar pelayanan minimum BLU ditetapkan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) PP No.23 Tahun 2005. 3. Aspek Pengelolaan Keuangan Secara prinsip, pengelolaan keuangan BLU sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 68 dan 69. Kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Dalam Pasal 69 disebutkan bahwa anggaran BLU disusun sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari anggaran Kementerian Negara/ Lembaga/ Pemerintah Daerah. Disamping itu pendapatan yang diperoleh baik yang bersumber dari APBN/APBD, jasa layanan, hibah, hasil kerjasama, dikonsolidasikan dan disesuaikan dengan rencana kerja dan anggaran (RBA) dari Kementerian Negara/ Lembaga/ Pemerintah Daerah untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan.
Menurut Pasal 14 PP Nomor 23 Tahun 2005, kekayaan BLU merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan dan hibah terikat merupakan pendapatan operasional BLU yang dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU, tanpa harus disetorkan ke Rekening Kas Negara. Dengan demikian, terhadap pengelolaan keuangan BLU tidak berlaku asas universalitas, karena ada pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Disamping itu, pendapatan BLU yang dilaporkan merupakan Pendapatan Negara/ Daerah Bukan Pajak (PNBP/PDBP). 4. Aspek SDM (Kepegawaian) Berdasarkan Pasal 33 PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari PNS dan/ atau tenaga professional non-PNS sesuai dengan kebutuhan BLU. Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU yang berasal dari PNS disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor: PER/02/M.PAN/1/2007 tentang Pedoman Organisasi Satuan Kerja Di Lingkungan Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLU, pejabat dan pegawai Satker PPK BLU dapat berasal dari
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |19
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik PNS dan/atau tenaga profesional bukan PNS sesuai kebutuhan. Pengisian PNS disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 beserta peraturan pelaksananya yakni PP Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyesuaian Gaji Pokok PNS. Sedangkan, pengisian tenaga profesional bukan PNS ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang/ Jasa Pemerintah beserta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan barang /Jasa pada BLU. Namun demikian, pada masa depan hendaknya di BLU ini sepenuhnya diisi oleh pegawai BLU. Mengenai remunerasi bagi pimpinan, pejabat keuangan, dan pejabat teknis berupa gaji, honorarium, tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi dan atau pensiun berdasarkan PP Nomor 23 tahun 2005 dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 73/PMK.05/2007 tentang Perubahan atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, diberikan berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan. Remunerasi diusulkan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Kepala SKPD kepada Menteri Keuangan cq Direktur Jenderal
Anggaran dan Perimbangan Keuangan. Besaran gaji pimpinan BLU ditetapkan dengan pertimbangan faktor-faktor: proporsionalitas, kesetaraan, kepatutan dan kinerja operasional BLU, sedangkan gaji pejabat keuangan dan pejabat teknis ditetapkan 90% dari gaji pimpinan BLU. Namun terkait dengan pola karir pegawai Non PNS belum ada pengaturannya. 5. Aspek Kewenangan antara Pemerintah pusat dan Daerah dalam Kaitan Teknis Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelayanan Umum Satuan kerja di lingkungan instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan BLU berkedudukan di bawah Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota, atau di bawah unsur pelaksana/ penunjang seperti Direktorat Jenderal/ Deputi/ Badan/ Pusat, sedangkan RS Daerah yang berbentuk BLU berkedudukan langsung di bawah Kepala Daerah yang secara operasional sehari-hari dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah, sebagaimana diatur dalam Permenpan Nomor: PER/02/M.PAN/1/2007. Dalam rangka menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan sinergi, maka Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota menyusun mekanisme yang baku terkait hubungan BLU dengan unit induknya, dewan pengawas, dan antara satuan pemeriksaan intern BLU dengan Inspektorat Jenderal/ Inspektorat/ Bawasda. Terkait dengan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan umum, Menteri/
20| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pimpinan Lembaga/ Gubernur/ Bupati/ Walikota memberikan pembinaan teknis untuk mengembangkan penerapan praktek bisnis yang sehat dalam penyelenggaraan layanan umum dan tidak membatasi atau mengganggu pelaksanaan otonomi manajemen operasional BLU. Namun, berkaitan dengan pengelolaan keuangan, maka pembinaan keuangan dilakukan oleh Menteri Keuangan. DAFTAR PUSTAKA I. Buku dan Artikel Bainbridge, Stephen M. Limited Liability Companies: A Primer on Value Creation through Choice of Form, Corporation and Economics, Foundation Press, 2001. Damayanti, Doty. Kesempatan Ketiga untuk Birokrasi, http://aparaturnegara.bappenas .go.id/?id=1346& category=artikel&page=viewnew s, 30 Juli 2010. Davies, Paul. Board Structure in the UK and Germany: Convergence or Continuing Divergence?, London School of Economics and Political Science, Working Paper Series June 19, 2001. Dwiyanto, Agus et al., Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia (Jogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006). Effendi, Sofyan. reformasi aparatur negara untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan ekonomi global, Makalah dalam
Seminar Nasional MIPI, Medan, 3-4 Mei 2006,. Gaspersz, Vincent. 2002, Sistem Manajemen Terintegrasi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Ghezzi, Federico and Corrado Malberti.The Two-Tier Model and the One-Tier Model of Corporate Governance in the Italian Reform of Corporate Law, European Company and Financial Law Review, Vol. 5, No. 1, 2008. Hadhikusuma, R.T. Sutantya R. dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan BentukBentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia (Rajawali Pers: Jakarta, 1996). Hopt, Klaus J. and Patrick C. Leyens, Board Models in Europe: Recent Developments of Internal Corporate Governance Structures in Germany, the United Kingdom, France, and Italy. European Corporate Governance Institute Law, Working Paper No. 18/2004. Ibrahim, Johanes. Hukum Organisasi Perusahaan Pola kemitraan dan Badan Hukum (Refika Aditama: Bandung, 2006. Kansil, C.S.T. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Bisnis) (Pradnya Paramita: Jakarta, 1992). Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999. Nurmandi, Achmadi. Manajemen Pelayanan Publik, (Sinergi Visi Utama: Yogyakarta, 2010).
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |21
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik Osborne, David and Ted Gaebler, Reinventing Government, New York: Plume, 1993. Soekanto, Soerjono. Et. Al. Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989. Soebroto, Sritomo W. Pemilihan Rektor Perguruan Tinggi (Negeri): Demokrasi Separuh Hati dan Sekedar Basa-Basi ?, http://www.its.ac.id/personal/fil es/material/1671-m_sritomo-ieDemokrasi%20PT%20%28 Negeri%29.pdf Suriaatmaja, Arifin. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Kritik dan Praktik. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Thoha, Miftah. Reformasi Birokrasi Pemerintah, Makalah dalam Seminar Good Goverance di Bappenas, tgl 24 Oktober 2002. Thoha, Miftah. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Rajawali Pers, 2005. To Do or Not to Do, That is the Question: Argumentasi Membela Pemetaan Pemangku Kepentingan dan Penilaian Kebutuhan Masyarakat, CSR Indonesia, Bogor, 27 Mei 2010. Westra, Pariata. Adminstrasi Perusahaan Negara Perkembangan dan Permasalahannya (Gajah Mada University Press: Yogyakarta, 2002)
II. Peraturan Perundang-Undangan Undang Dasar 1945 Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 Tentang Pola Pengelolaan Keuangan BLU Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Nagara Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.62/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman organisasi Unit pelaksana Teknis di lingkungan Departemen dan Lembaga pemerintah Non-Departemen. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.62/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman organisasi Unit pelaksana Teknis di lingkungan Departemen dan Lembaga pemerintah Non-Departemen. III. Website Kementerian Keuangan Website Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, http://pkblu.perbendaharaan.go .id/blu_tetap.php Kementerian Pekerjaan Umum dan PNPM, Modul Manajemen Organisasi Nirlaba, http://www.p2kp.org/ pustaka/files/modul_pelatihan0
22| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik 8/B/1/f/Modul-ManajemenOrganisasi-Nirlaba.pdf Satker yang telah ditetapkan untuk menerapkan PK BLU, diakses dari
http://pkblu.perbendaharaan. go.id/blu_tetap.php, tanggal 8 Oktober 2010.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |23
Kebijakan Badan Layanan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Pelayanan Publik
24| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan
KINERJA LAYANAN KESEHATAN PEMERINTAH DAERAH DI SULAWESI SELATAN DALAM PERSPEKTIF KELOMPOK PEREMPUAN Oleh : Milawaty
PENDAHULUAN Hidup sehat sejatinya milik semua orang; laki-perempuan, anakdewasa, tua-muda, kaya-miskin, tidak terkecuali masyarakat desa yang tinggal nun jauh di pelosok sana. Hak untuk hidup sehat bahkan telah tertuang 65 tahun yang lalu dalam Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia di Palais de Chaillot, Paris, Perancis. Dalam Deklarasi tersebut, di Pasal 25 ayat 1, dinyatakan bahwa, "Setiap orang berhak untuk tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan, serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/ duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada diluar kekuasaannya". Selanjutnya pada ayat 2 juga dinyatakan bahwa "Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama". Dari deklarasi di atas nampak
bahwa peran pemerintah di sektor kesehatan masih sangat besar meski tak dapat disangkal peran swasta juga mendukung kebijakan kesehatan pemerintah. Hal ini didukung Milton Roemer (1991 dalam Wolinsky dalam Azzahra, Desember 2010, 1-23) yang menyatakan bahwa pada dasarnya ada empat tipe dari sistem pengobatan kesehatan; (1) asuransi pribadi dengan pribadi, pelayanan wirausaha, (2) asuransi nasional dengan pribadi, pelayanan yang teregulasi, (3) asuransi nasional dengan publik, pelayanan yang teregulasi, dan (4) asuransi nasional dengan sistem state run. Sistem pengobatan kesehatan tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor penentu, seperti situasional, strultural, kultural, dan lingkungan. Dirunut dari pandangan tradisional tentang peran pemerintah, peran pemerintah selalu mengacu pada apa yang diungkapkan Adam Smith bahwa pemerintah memiliki tugas melindungi masyarakat dari tekanantekanan yang berkaitan dengan pertahanan, pengadilan, dan polisional. Sejalan dengan tuntutan masyarakat, peran tersebut berkembang menjadi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan dan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |25
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan pelayanan barang-barang publik yang peruntukannya secara komunal dan tidak dapat dimiliki secara perorangan (Widaningrum, 2009: 356). Praktek fungsi alokasi ini salah satunya ditunjukkan melalui serangkaian regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Jika sektor swasta menggunakan mekanisme pasar sebagai aturan main, maka pemerintah berwenang mengatur pengadaan barang atau pelayanan yang ditentukan melalui keputusankeputusan badan-badan pemerintah atau lembaga perwakilan seluruh warga negara (Birdsal dan James, 1993; U.K. Hick et al, dalam Owens, 1994 dalam Widaningrum, 2009: 357) Bagaimana fungsi alokasi pemerintah di Indonesia, khususnya di sektor kesehatan? Dari berbagai regulasi yang diatur di Indonesia muncullah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, dan beberapa peraturan lainnya, yang kesemuanya mengatur tentang public goods. Gaung otonomi daerah lebih dari satu dekade yang lalu makin menggulirkan sektor kesehatan menjadi sektor yang sangat penting. Cukup banyak perubahan di sektor kesehatan yang terjadi seiring dengan semakin dituntutnya daerah untuk lebih mandiri tanpa terlalu banyak menggantungkan diri pada pusat. Pada intinya peran pemerintah daerah dalam memajukan dan memaksimalkan potensi dan kekhasan wilayah masing-masing berpulang kepada niat baik, kemauan, komitmen, dan kerjasama pemerintah daerah dengan rakyatnya. Kemandirian daerah di sektor kesehatan salah satunya dapat dilihat di
Sulawesi Selatan. Daerah yang berjarak sekira seribu lima ratus kilometer dari pusat pemerintahan Indonesia ini sejak Juli 2008 lalu telah melaksanakan program kesehatan gratis. Program kesehatan gratis tersebut menjadi upaya dari penjaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai bagian dari pengembangan jaminan kesehatan secara menyeluruh (universal coverage), dan diterjemahkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Program Pelayanan Kesehatan Gratis. Pertimbangan lainnya adalah dengan jumlah rakyat Sulsel yang mencapai 7,5 juta orang, 4,2 juta atau 59 persen diantaranya belum memiliki jaminan kesehatan. Dari 59 persen tersebut, setiap tahunnya sepertiga dari mereka sakit. 4,2 juta rakyat inilah yang menjadi target kesehatan gratis Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Bulan Juli 2008 merupakan tahap uji coba dan 2010 sebagai tahap pemantapan. Program ini diperkuat dengan Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis, dan mendapat dukungan dari 22 kabupaten/ kota di wilayahnya. Tahun sebelumnya, pemerintah propinsi telah menerbitkan Peraturan Gubernur Sulsel Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis di Propinsi Sulsel dan Peraturan Gubernur Sulsel Nomor 15 Tahun 2008 tentang Regionalisasi Sistem Rujukan RS di Propinsi Sulsel. Penganggaran program ini bersumber dari APBD I dan APBD II. Alokasi penganggaran 60 persen ditanggung pemerintah kabupaten/ kota, sementara 40 persen sisanya
26| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan berasal dari bantuan pemerintah propinsi. Hingga akhir tahun 2010, masyarakat yang telah mendapatkan manfaat kesehatan gratis telah mencapai 13 juta orang. Perinciannya, 4.298.110 orang di tahun 2008, 4.472.546 orang di tahun 2009, dan 4.576.525 orang di tahun 2010 (Mursalim dalam Suyuthi, 2011: 2). Berbicara tentang kesehatan gratis, sebenarnya jauh-jauh hari sebelum Program Kesehatan Gratis Pemerintah Propinsi Sulsel digelar, beberapa daerah telah terlebih dahulu menerapkan kesehatan gratis, meski dengan konsep dan kebijakan yang berbeda, seperti Kabupaten Sinjai, Kota Palopo, dan Kabupaten Pangkep. Masuknya program propinsi ini tidak serta merta menghapus kebijakan yang sudah bertahun-tahun dijalankan pemerintah kabupaten, bahkan kebijakan pelaksanaan kesehatan menjadi lebih kuat karena payung hukum yang menaungi kesehatan gratis di tingkat provinsi telah jelas. Kesehatan gratis di Sulsel telah memasuki tahun kelima. Hak rakyat untuk mendapatkan jaminan kesehatan, sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi HAM diberikan bukan hanya pada saat rakyat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/ duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah yang berada di luar kekuasaannya, melainkan diberikan kepada seluruh masyarakat, terlebih masyarakat kelas menengah ke bawah. Hanya saja seiring dengan berjalannya waktu, beragam keluhan, bukan hanya dari sisi penerima layanan melainkan juga pemberi layanan, mulai mewarnai program kesehatan gratis ini.
Kunjungan Safari Jurnalistik PWI Sulsel- Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ke sejumlah kabupaten dan kota se-Sulsel, 6-10 Oktober 2010 (Aminuddin, 18 Maret 2011, www.fajar.co.id), yang diikuti puluhan wartawan, mengungkap fakta bahwa daerah merasa kewalahan menanggung subsidi kesehatan gratis sebesar 60 persen. Umumnya pemerintah kabupaten/ kota meminta agar persentasenya dibalik menjadi 60 persen ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan 40 persen ditanggung oleh pemkab/pemkot. Temuan lain yaitu kata gratis benarbenar dimaknai sebagai gratis secara keseluruhan oleh sebagian masyarakat. Masyarakat menganggap semua bentuk layanan kesehatan dan pendidikan digratiskan sehingga banyak masyarakat yang tidak mau lagi membayar atau berpartisipasi. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulsel bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unhas (dalam Gobel, 21 Desember 2010, www.kesehatan.kompasiana.com) mengenai implementasi program kesehatan gratis di empat layanan Rumah Sakit berdasarkan kepesertaan, kelas perawatan, hak pelayanan sesuai petunjuk teknis program menunjukkan bahwa program ini secara umum sudah baik. Meski demikian masih ditemukan adanya peresepan obat paten maupun pencatatan administrasi keuangan yang tidak standar. Penelitian tersebut dilakukan di RSUD Sultan Dg Radja Bulukumba (wilayah selatan), RS Labuang Baji (gerbang selatan Makassar), RS Daya (gerbang utara Makassar), serta RSUD Andi Makkasau
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |27
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan Parepare (wilayah utara) dengan total sampel pasien rawat inap sebanyak 471 orang. Kepuasan pasien di keempat RS dipersepsi puas berdasarkan lima dimensi kepuasan. Namun, beberapa sub dimensi masih dipersepsikan buruk oleh pasien seperti perawat yang masih membeda-bedakan dalam pelayanan, kurangnya persediaan alat medis dan non medis, sampai kebersihan lantai kamar mandi dan seprei. Dari berbagai temuan yang diperoleh mengenai program kesehatan gratis propinsi, penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana sebenarnya layanan kesehatan pemerintah daerah ditinjau dari perspektif perempuan Sulawesi Selatan. Pandangan perempuan diambil penulis dengan pertimbangan perempuan mempunyai banyak peran dan tanggung jawab terhadap keluarga dan lingkungan masyarakat. Peran dalam keluarga sendiri antara lain sebagai istri untuk suami, ibu untuk anak, anak untuk orang tua, dan sebagai saudara untuk saudara lainnya. Sementara peran dan tanggung jawab perempuan di lingkungan masyarakat juga tidak kalah beratnya karena terkait dengan profesinya, seperti guru, dokter, pengusaha, dan profesi lainnya. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian tidak terlepas dari rumusan masalah itu sendiri, yaitu ingin mengetahui, mengungkap dan menganalisis layanan kesehatan pemerintah kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan ditinjau dari sudut pandang kelompok perempuan Sulsel. LANDASAN TEORI Pelayanan Publik Undang-Undang Nomor 25 tentang Pelayanan Publik
mendefinisikan pelayanan publik sebagai rangkaian atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrative yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sementara menurut perspektif kontrak sosial (dalam LAN, 2006: 17), pelayanan publik adalah suatu proses kegiatan penyediaan pelayanan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri dan/atau pihak swasta serta masyarakat. Pasca otonomi daerah, desentralisasi kewenangan harus mampu mendorong terjadinya layanan publik yang lebih dekat dengan masyarakat yamg membutuhkan. Kebijakan publik yang dihasilkan diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi yang panjang untuk menghindari penundaan dan penurunan kualitas dari layanan publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan proses desentralisasi dapat diukur dari kualitas layanan publik yang semakin baik. Kebijakan desentralisasi yang hanya dimaksudkan untuk menggantikan peran pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan perubahan pada transaksi sosial yang terjadi, maka sangat sulit diharapkan terjadinya efek positif dari kebijakan publik tersebut. Oleh sebab itu perbaikan kualitas layanan publik menjadi faktor yang determinan dalam implementasi kebijakan desentralisasi. Terlebih pelayanan publik telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 di alinea
28| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan ke-4 (PKP2A II LAN, 2012: 41). Ruang lingkup pelayanan publik berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2009 meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administrative yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ruang lingkup persebut meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2009, asas-asas pelayanan publik meliputi: (1) kepentingan umum, (2) kepastian hukum, (3) kesamaan hak, (4) keseimbangan hak dan kewajiban, (5) keprofesionalan, (6) partisipatif, (7) persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif, (8) keterbukaan, (9) akuntabilitas, (10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, (11) ketepatan waktu, dan (12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Patologi birokrasi yang masih mengakar sebagai dampak dari birokrasi Weberian memberi andil mengapa pelayanan publik masih belum berjalan baik. Menurut Dwiyanto (2015: 39), karakteristik birokrasi Weberian tertentu yang pada awalnya dirancang untuk membuat birokrasi dapat menjalankan fungsinya dengan baik pada akhirnya justru menimbulkan berbagai penyakit yang membuat
birokrasi mengalami disfungsional. Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa (Yosa, www.itjendepdagri.go.id). Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan Ada beberapa alasan perlunya melakukan reformasi, yang menurut Hughes (dalam Widaningrum, 2009: 355) adalah: 1) merealisasikan pendekatan baru untuk menjalankan fungsi pelayanan publik yang lebih baik ke arah manajerial daripada sekedar administratif, 2) sebagai respon terhadap skala penanganan dan cakupan tugas pemerintah, 3) perubahan dalam teori dan masalah ekonomi, dan 4) perubahan peran sektor swasta dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Di dalam sistem kesehatan masyarakat, terdapat hubungan antara negara dan masyarakat, yang tercermin melalui penyelenggaraan pelayanan. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa dalam sistem kesehatan masyarakat, terdapat 5 (lima) karakteristik utama, yakni adanya peran pemerintah; masyarakat sebagai fokus
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |29
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan program kesehatan; hubungan antara pemerintah dan masyarakat; pelayanan, dan kewenangan pemerintah. Kebijakan desentralisasi sektor kesehatan merupakan strategi penting dalam rangka reformasi manajemen pelayanan kesehatan. Prinsip dasarnya adalah pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh otoritas yang memiliki kontrol geografis yang paling minimal (Cheema dan Rondinelli dalam Widaningrum, 2009: 358). Pemanfaatan pelayanan kesehatan, menurut Azwar (dalam Suyuthi, 2011: 8) terdiri dari: 1) penggunaan fasilitas pelayanan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas kesehatan ataupun kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan tersebut yang didasarkan pada ketersediaan dan kesinambungan pelayanan, penerimaan masyarakat dan kewajaran, mudah dicapai oleh masyarakat, terjangkau serta bermutu. Konsep Kesehatan Gratis Jika dicermati secara seksama, sebenarnya terdapat perbedaan antara kesehatan gratis dan pengobatan gratis. Pengobatan gratis hanya bersifat kuratif, sementara kesehatan gratis jauh lebih kompleks, dan mencakup empat aspek; promotif (peningkatan derajat kesehatan), kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), dan rehabilitatif (pemulihan). Jika memang konsep yang dipegang Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan selama ini adalah kesehatan gratis, maka keempat aspek di atas yang harus dilaksanakan tanpa mengurangi esensi dari aspekaspek lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Aswar (dalam Syam, 2008, https://docs.google.com,) yang
menyatakan bahwa pelayanan kesehatan mencakup setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersamasama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok serta masyarakat. Kalau selama ini gubernur terpilih mendengung-dengungkan kesehatan gratis maka konsekuensinya adalah segala hal yang terkait dengan kesehatan perlu digratiskan. Dihubungkan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), konsep kesehatan gratis sebenarnya berbeda dengan yang diamanatkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004. UU SJSN justru menyatakan bahwa peserta yang mendapatkan manfaat dari jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pemerintah membayarkan iuran kepesertaan kepada orang yang tidak mampu, tidak bekerja/diPHK, dan cacat total. Dengan demikian tidak ada istilah gratis karena sebenarnya pemerintahlah yang menanggung dan memberikan jaminan kesehatan tersebut. Konsep tersebut gratis karena masyarakat sebagai penerima layanan tidak dibebankan sejumlah pembayaran atas layanan kesehatan yang mereka peroleh. Kesehatan Gratis di Beberapa Negara dan Daerah Sedemikian berharganya nilai sebuah kesehatan sehingga berbagai negara serius dalam membuat beragam kebijakan dan peraturan tentang kesehatan. Negara Cina, misalnya. Cina, yang pada dasarnya merupakan negara agrikultur dengan populasi rural yang padat, dinilai sering gagal menyediakan
30| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan pemeliharaan kesehatan yang baik bagi penduduknya. Mereka melakukan analisa pada kondisi dan budaya mereka dan menemukan solusi bagi sistem pemeliharaan yang buruk adalah sistem pelayanan kesehatan kooperatif dengan melakukan kerjasama antara pemerintah, koperasi, dengan pendanaan swasta. Sistem ini menekankan kebutuhan pelayanan kesehatan dengan biaya yang sangat murah atau tanpa biaya. Lain halnya dengan Rusia yang sukses menerapkan sistem kebijakan kesehatan gratis. Di negeri beruang putih ini, masyarakat tetap dapat menggunakan pelayanan kesehatan gratis yang dilaksanakan oleh pemerintah, namun bagi mereka yang memiliki uang, dapat mengakses pelayanan kesehatan berbayar yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Contoh lainnya dapat dilihat di Kanada. Kanada menerapkan Medical Care Art sejak tahun 1968 yang diikuti oleh tiap propinsi di negara tersebut. Sumber pendanaannya 75 persen berasal dari propinsi dan 25 persen menjadi tanggungan pemerintah pusat. Pelayanan yang diberikan adalah pelayanan secara penuh, tanpa keuntungan (jika terdapat keuntungan maka keuntungan/ benefit menjadi milik bersama yang diatur/ dikelola oleh pemerintah propinsi). Nilai yang menjadi dasar filosofi bagi Kanada yaitu meletakkan pelayanan kesehatan sebagai hak bagi seluruh warga negara dengan upaya menghilangkan hambatan terutama kendala finansial untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Pernyataan yang tidak kalah penting yaitu kesatuan bersama, dimana orang miskin/ tidak mampu sekalipun secara mandiri mampu mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak. Serupa dengan Kanada, Inggris sejak tahun 1948 telah melahirkan dan mengimplementasikan kebijakan undang-undang National Health Service. National Health Service ini menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh populasi yang dibiayai oleh pajak. Lebih dari 80% pembiayaan National Health Service dibiayai oleh pemerintah yang diambil dari pajak. Pasien membayar kebutuhan fisik terkait kesehatannya, seperti misalnya kaca mata dan obat-obatan yang dianjurkan dokter. Namun, mereka tidak membayar biaya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis profesional dan rumah sakit. Lebih jauh lagi, biaya pendidikan medis gratis, kecuali bagi mereka yang berasal dari keluarga dengan pendapatan sangat tinggi. Selain keempat negara tersebut di atas, daerah-daerah lain di Indonesia juga telah cukup banyak yang menerapkan kesehatan gratis, baik dengan menggunakan penganggaran yang berasal dari propinsi maupun daerah, di luar dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) itu sendiri. Jembrana menerapkan kesehatan gratis menggunakan asuransi kesehatan, sementara DKI Jakarta November 2012 lalu telah mengadopsi kesehatan gratis melalui Kartu Sehat setelah menganggap bahwa kesehatan gratis berdasarkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ternyata kurang efektif. Seluruh penduduk Kota Bontang malah sejak tahun 2006 telah mendapat pelayanan kesehatan gratis melalui perpaduan Jamkesmas dan Jamkesda. Di Sulawesi Selatan, kesehatan gratis yang prakteknya telah dilaksanakan oleh hampir seluruh
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |31
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan memberikan layanan tanpa biaya pada pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan rawat jalan lanjutan, dan pelayanan kesehatan rawat inap lanjutan pada RSUD. Di Kota Makassar, berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 20098 tentang Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar, pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk kota di puskesmas dan jaringannya dibebaskan dari biaya pelayanan yang meliputi (1) pelayanan rawat inap persalinan dan rawat inap umum, (2) pemeriksaan dokter, pengobatan dan konsultasi kesehatan, (3) pemeriksaan laboratorium (darah rutin, urine rutin, tinja, sputum, malaria, widal, golongan darah, dan tes kehamilan), (4) tindakan medik dasar (umum dan gigi mulut), (5) pelayanan dasar kesehatan ibu dan anak, (6) surat keterangan lahir, (7) surat keterangan sakit, dan (8) surat keterangan kematian. Pelayanan kesehatan rawat jalan lanjutan dan pelayanan kesehatan rawat inap lanjutan pada RSUD dibebaskan dari biaya setelah mendapatkan surat rujukan dari puskesmas. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode pendekatan kuantitatif melalui penyebaran kuesioner kepada sejumlah responden. Lokus penelitian dilakukan di 23 kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan (minus Toraja Utara yang masih merupakan daerah pemekaran baru). Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder dengan teknik pengambilan data melalui kuesioner dan library research. Responden penelitian adalah
kelompok perempuan yang tersebar di 23 kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan. Setiap kabupaten/ kota diwakili oleh 10 orang kelompok perempuan sehingga total responden penelitian sebanyak 230 orang. Pengambilan sampel ini tidak didasarkan pada teknik pengambilan sampel. Syarat responden terlebih dahulu ditetapkan sehingga hasil jawaban mereka lebih objektif dan sesuai dengan tujuan penelitian ini. Kelompok perempuan yang menjadi responden adalah masyarakat terpilih yang dianggap well informed atau mengetahui banyak informasi tentang kinerja kesehatan pemerintah setempat. Mereka bisa aktivis LSM, ormas, guru, mahasiswa, tokoh masyarakat, professional, ibu rumah tangga, atau kelompok masyarakat lainnya. Responden terpilih adalah kelompok perempuan yang telah memanfaatkan pelayanan kesehatan, baik di tingkat pustu, puskesmas, hingga rumah sakit. Teknik penentuan responden selain melalui snowball sampling juga melalui teknik acak sederhana melalui kunjungan ke pusatpusat layanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, pustu, poskesdes, dan sebagainya) dan kunjungan langsung ke rumah. Ada empat variabel yang dimasukkan dalam kuesioner. Keempat variabel tersebut mencakup; (1) efisiensi pelayanan kesehatan, (2) kesesuaian kebijakan dan program kesehatan, (3) kesetaraan pelayanan, dan (4) partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah. Empat variabel yang digunakan berasal dari variabel yang disusun dan digunakan Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) Surabaya dan Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) dalam memonitoring
32| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah kabupaten/ kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Indikatorindikator yang digunakan JPIP dan FIPO dalam penelitian ini juga terdapat dalam asas-asas penyelenggaraan
No 1
2
3
4
pelayanan publik berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2009. Keempat variabel tersebut selanjutnya dibagi menjadi empat belas indikator, yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Variabel Kinerja Layanan Kesehatan Gratis Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Variabel Indikator Efisiensi pelayanan - Keterjangkauan: Lokasi layanan kesehatan (X 1.1 ) kesehatan (X 1 ) - Kemudahan: Daya tampung layanan (X 1.2 ) - Keterjangkauan: Keterjangkauan biaya kesehatan (X 1.3 ) - Kualitas layanan (X 1.4 ) - Kemudahan: Prosedur pelayanan (X 1.5 ) Kesesuaian kebijakan - Kepentingan Umum: alokasi anggaran kesehatan dan program kesehatan dalam APBD (X 2.1 ) (X 2 ) - Keprofesionalan: kecukupan jumlah medis – paramedis (X 2.2 ) - Keterjangkauan: Penurunan pungutan tidak resmi (X 2.3 ) Kesetaraan pelayanan - Tidak Diskriminatif: Pemberian layanan tanpa ada (X 3 ) perbedaan (X 3.1 ) - Fasilitas dan Perlakuan Khusus bagi Kelompok Rentan: Keringanan biaya bagi warga kurang mampu (X 3.2 ) - Hasil peningkatan pelayanan kesehatan (X 3.3 ) Partisipasi masyarakat - Keterbukaan: Transparannya proses pembahasan dan transparansi alokasi anggaran kesehatan (X 4.1 ) pemerintah daerah (X 4 ) - Partisipatif: Masyarakat semakin terampil dan berani berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan (X 4.2 ) - Partisipatif: Masyarakat semakin berani melakukan pengaduan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai (X 4.3 ) (Sumber: UU Nomor 25 Tahun 2009, JPIP dan FIPO, 2011)
Alat ukur penelitian menggunakan skala Likert dari skala 1 sampai 4 dengan kriteria sangat baik (4), baik (3), buruk (2), dan sangat buruk (1). Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2010: 92). Dari persepsi sikap tersebut dibuat rentang nilai rata-rata yang dihitung dari nilai tertinggi dibagi nilai
terendah, sehingga rentang nilai ratarata untuk kategori sangat buruk dimulai dari 1.00 – 1.7, buruk dengan rentang nilai 1.8 - 2.5, baik dengan rentang nilai 2.6 - 3.3, dan sangat baik dengan rentang nilai 3.4 - 4.00. Rentang nilai untuk kategori baik akan dilihat lagi kecenderungannya apakah berada di ambang atas (baik), ambang tengah (cukup baik), dan ambang bawah (di bawah rata-rata
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |33
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan sehingga rawan berkinerja buruk). Untuk itu nilai tengah untuk kategori baik dari rentang nilai 2.6 – 3.3, yaitu 2.9 dan 3.0. Dengan demikian nilai ambang bawah antara 2.6 – 2.8 dan nilai ambang atas antara 3.1 – 3.3. Analisis data menggunakan data kuantitatif dengan bantuan Excell. Kegiatan dalam analisis data penelitian ini adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel, dan melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah (Sugiyono, 2010: 147). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan terhadap 230 perempuan di 23 kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan menghasilkan jawaban yang beragam. Meski demikian secara umum terlihat bahwa dari empat variabel yang diteliti, responden menilai variabel kesetaraan pelayanan (X 3 ) memiliki kinerja pelayanan kesehatan terbaik diantara ketiga variabel lainnya. Variabel efisiensi pelayanan (X 1 ), kesesuaian kebijakan dan program kesehatan (X 2 ), dan partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah (X 4 ) meski dianggap
baik, namun rentang nilainya berada di bawah rata-rata sehingga rawan berkinerja buruk. Berdasarkan indikator, meski 13 indikator dianggap baik oleh kelompok perempuan namun sembilan diantaranya rentang nilainya di bawah rata-rata sehingga rawan berkinerja buruk. Satu indikator lainnya dianggap buruk. Berdasarkan kinerja pelayanan kesehatan kabupaten/ kota, lima kabupaten/ kota, yaitu Pemerintah Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bone, Kabupaten Toraja, Kota Makassar, dan Kota Parepare dinilai buruk oleh para kelompok perempuan. Hanya Kabupaten Luwu Timur yang dianggap berkinerja sangat baik oleh kelompok perempuan di daerah tersebut. 17 kabupaten lainnya dianggap baik, dengan perincian tujuh baik dengan nilai di bawah rata-rata sehingga rawan berkinerja buruk (Bantaeng, Jeneponto, Maros, Barru, Wajo, Luwu, dan Palopo), delapan baik (Takalar, Gowa, Pangkep, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Enrekang, dan Luwu Utara), dan dua indikator di atas baik dengan nilai di atas rata-rata (Kepulauan Selayar dan Sinjai). Hasil penilaian setiap variabel dapat dilihat pada bagian berikut.
34| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan Tabel 2. Nilai Rata-Rata Penilaian Program Kesehatan Gratis oleh Kelompok Perempuan di 23 Kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan
(Sumber: Hasil Olah Data Primer, 2015)
Secara keseluruhan nilai rata-rata untuk keempat variabel adalah 2.8, yang berarti baik, namun karena rentang nilai di bawah rata-rata baik sehingga keempat variabel ini rawan untuk berkinerja buruk.
Berdasarkan indikator variabel, penilaian kinerja kesehatan yang diberikan kelompok perempuan di Sulsel mulai dari yang tertinggi hingga terendah dapat dilihat pada tabel berikut.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |35
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 3. Penilaian Kinerja Kesehatan Gratis 23 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan dari yang Tertinggi hingga Terendah Indikator X 1.1 X 3.1 X 3.2 X 3.3 X 1.2 X 1.3 X 4.3
Bobot 3.0 3.0 3.0 2.9 2.8 2.8 2.8
Makna Baik Baik Baik Baik Baik (di bawah rata-rata) Baik (di bawah rata-rata) Baik (di bawah rata-rata)
1. Efisiensi Pelayanan (X 1 ) Efisiensi pelayanan (X 1 ) terdiri dari lima indikator yang terdiri dari keterjangkauan lokasi layanan kesehatan (X 1.1 ), daya tampung layanan kesehatan (X 1.2 ), keterjangkauan biaya layanan kesehatan (X 1.3 ), kualitas layanan (X 1.4 ), dan kemudahan prosedur (X 1.5 ). Berdasarkan kabupaten/ kota, kelompok perempuan dalam penelitian menilai efisiensi pelayanan dalam tiga kategori; sangat baik, baik (di atas ratarata baik, cukup baik, dan di bawah ratarata baik), dan buruk. Pemerintah Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Luwu Timur dianggap mampu memberikan efisiensi pelayanan dengan sangat baik. Hal yang sebaliknya, Pemerintah Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bone, Kota Makassar, dan Kota Parepare dinilai masih buruk dalam memberikan efisiensi pelayanan. Enam belas pemerintah kabupaten/ kota lainnya masih dianggap baik dalam memberikan pelayanan. Meski demikian, berdasarkan rentang nilai, nilai dua kabupaten berada di bawah rata-rata baik (Toraja dan Barru), 11 kabupaten/ kota cukup baik (Jeneponto, Takalar, Gowa, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Enrekang, Luwu, Luwu Utara, dan Palopo), serta tiga kabupaten di atas rata-rata baik (Kepulauan Selayar,
No 8 9 10 11 12 13 14
Indikator X 1.4 X 1.5 X 2.1 X 2.2 X 4.1 X 4.2 X 2.3
Bobot 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.7 2.5
Makna Baik (di bawah rata-rata) Baik (di bawah rata-rata) Baik (di bawah rata-rata) Baik (di bawah rata-rata) Baik (di bawah rata-rata) Baik (di bawah rata-rata) Buruk
(Sumber: Hasil Olah Data Primer, 2015)
Maros, dan Pangkep). Dari hasil penilaian tersebut, disimpulkan bahwa dari 23 kabupaten/ kota terdapat 2 kota dan 5 kabupaten yang belum, bahkan masih kurang efisien dalam pemberian pelayanan. Berdasarkan indikator, terlihat bahwa nilai rata-rata indikator tertinggi terdapat pada indikator keterjangkauan lokasi layanan kesehatan (X 1.1 ) dengan nilai rata-rata 3,0 yang bermakna cukup baik. Empat indikator lainnya memiliki nilai di bawah rata-rata baik. Artinya, bahwa meski tidak buruk, kelompok perempuan menilai daya tampung layanan kesehatan (X 1.2 ), keterjangkauan biaya layanan kesehatan (X 1.3 ), kualitas layanan (X 1.4 ), dan kemudahan prosedur masih di bawah rata-rata baik. Salah satu dampak dibukanya keran otonomi daerah adalah maraknya pemekaran, termasuk pemekaran kecamatan dan desa. Bertambahnya jumlah desa dan kecamatan di Sulawesi Selatan diikuti dengan meningkatnya tempat layanan kesehatan. Peningkatan ini berarti makin memudahkan masyarakat dalam menjangkau lokasi layanan kesehatan. Hingga akhir tahun 2012 jumlah rumah sakit daerah (RSUD) bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah propinsi. Sebagian besar daerah memiliki satu rumah sakit pemerintah,
36| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan ditambah rumah sakit swasta dan rumah sakit milik ABRI. Selain itu jumlah puskesmas pun meningkat dari 358 buah di tahun 2006 menjadi 423 buah di tahun 2011. Kecamatan yang yang dulunya hanya memiliki satu puskesmas kini semakin banyak yang menambah jumlah puskemasnya. Jumlah puskesmas yang makin bertambah memudahkan warga kecamatan dan desa-desa sekitarnya mengakses layanan kesehatan. Puskesmas pembantu sebagai jaringan puskesmas di desa dan kelurahan juga telah mencapai angka 1.267 buah. Demikian pula dengan puskesmas keliling dan posyandu yang berkembang hingga mencapai 407 dan 9.151 di tahun 2011 (Sumber: www.sulsel.bps.go.id). Perubahan status puskesmas pun mengalami kemajuan yang tadinya hanya berstatus puskesmas rawat jalan kini juga telah banyak berubah menjadi puskesmas rawat inap sehingga beban rumah sakit dalam melayani pasien rujukan dapat berkurang. Rata-rata satu puskesmas pembantu melayani satu sampai dua desa di sekitarnya. Penilaian tertinggi diberikan oleh perempuan-perempuan Sulsel di Luwu Timur. Responden di Luwu Timur menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah tempat layanan kesehatan di daerah mereka sangat pesat. Data statistik menunjukkan jumlah tempat layanan kesehatan (puskesmas, pustu, puskling, dan posyandu) yang awalnya hanya 298 buah di tahun 2006 kini tumbuh menjadi 356 buah di tahun 2011. Sebaliknya, Kota Makassar mendapatkan penilaian terendah diantara kabupaten/ kota lainnya di Sulawesi Selatan. Padahal menilik jumlah tempat layanan kesehatan di
Makassar, di tahun 2006 jumlah yang terdata sebanyak 1.002 pusat layanan, sementara di tahun 2011 jumlah tersebut telah meningkat hingga mencapai 1.087 buah. Banyaknya tempat layanan kesehatan memang tidak menjamin bahwa daya tampung layanan kesehatan menjadi lebih baik. Tidak ada korelasi antara jumlah layanan kesehatan dengan kualitas. Hal ini terlihat dari penilaian kelompok perempuan di Makassar, Parepare, Bantaeng, dan Bulukumba yang menilai bahwa daya tampung layanan kesehatan (X 1.2 ) masih buruk. Hasil olah data sekunder menunjukkan bahwa dari 30 RSUD di Sulawesi Selatan (kabupaten dan kota) pemanfaatan tempat tidur rumah sakit umum (BOR) pada 2012 yang tercatat sebesar 69,99 persen dengan jumlah tempat tidur yang tersedia sebanyak 9.004 buah (Profil Kesehatan Sulawesi Selatan dalam http://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline). Persentase BOR diatas masih sesuai dengan standar BOR yang ideal di Indonesia, yaitu 60-85 persen. Persentase tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masih cukup banyak tempat tidur rumah sakit umum yang tidak terisi. Hal ini sudah barang tentu tidak terlepas dari peran puskesmas di kecamatan. Semakin banyak puskesmas yang menaikkan statusnya dari puskesmas non perawatan menjadi puskesmas perawatan sehingga proses pemberian layanan kesehatan bagi pasien yang memerlukan perawatan inap cukup dilakukan di puskesmas, terkecuali yang membutuhkan rujukan lebih lanjut. Hasil penelitian FIPO menunjukkan bahwa dari 384 puskesmas di Sulawesi
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |37
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan Selatan tahun 2011, 48 persen diantaranya telah menjadi puskesmas perawatan (FIPO, 2011). 2. Kesesuaian Kebijakan dan Program Kesehatan (X 2 ) Kesesuaian kebijakan dan program kesehatan terdiri dari tiga indikator yang menyangkut alokasi anggaran kesehatan dalam APBD (X 2.1 ), kecukupan jumlah tenaga medis dan paramedis (X 2.2 ) dan penurunan pungutan tidak resmi (X 2.3 ). Berdasarkan hasil penilaian, kelompok perempuan dalam penelitian menilai kesesuaian kebijakan dan program kesehatan dalam tiga kategori; sangat baik, baik (di atas rata-rata baik, cukup baik, dan di bawah rata-rata baik), dan buruk. Dari kategori sangat baik, hanya kelompok perempuan dari Luwu Timur yang memberikan apresiasi. Sementara penilaian buruk disematkan pada enam kabupaten/ kota, yang meliputi Bone, Toraja, Palopo, Bulukumba, Bantaeng, dan Jeneponto. 16 kabupaten/ kota lainnya dianggap cukup baik dalam hal alokasi anggaran, jumlah tenaga kesehatan, dan penurunan pungutan tidak resmi. Meski demikian dari 16 kabupaten/ kota tersebut, sembilan diantaranya memiliki nilai di bawah rata-rata baik. Dari hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa dari 23 kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan, kinerja layanan kesehatan dalam hal kesesuaian kebijakan dan program kesehatan pada 15 kabupaten/ kota masih belum maksimal. Berdasarkan indikator nampak bahwa dua indikator menunjukkan nilai di bawah rata-rata baik dan satu indikator dinilai buruk. Secara keseluruhan, nilai rata-rata variabel kesesuaian kebijakan dan program kesehatan sebesar 2.6. Nilai tersebut
bermakna dibawah rata-rata baik. Hal ini berarti bahwa variabel kesesuaian kebijakan dan program kesehatan masih menunjukkan kinerja yang belum maksimal. Salah satu hal yang patut mendapatkan perhatian adalah kecukupan jumlah tenaga medis dan paramedis. Jumlah tenaga medis dan paramedis di puskesmas, dinas kesehatan, dan rumah sakit masih belum seimbang dengan jumlah penduduk. Di tahun 2011, jumlah penduduk di Sulawesi Selatan sebanyak 8.115.638 jiwa (Sumber: http://sulsel.bps.go.id/). Berdasarkan ketentuan World Health Organization, seharusnya ada 40 dokter umum per 100 ribu penduduk, atau 1: 2500 (dalam http://www.depkes.go.id/article, 24 Maret 2014). Ketentuan WHO di atas masih jauh dipenuhi karena dengan jumlah dokter 2.867 orang, Sulawesi Selatan sendiri saat ini hanya mampu menyediakan satu dokter untuk 2.831 jiwa (Sumber: Diolah dari http://sulsel.bps.go.id/). Artinya satu tenaga medis bertanggung jawab terhadap pemberian layanan kesehatan kepada 2.867 penduduk. Di tingkat kabupaten/ kota, Kabupaten Bone, misalnya, dalam hal ketersediaan tenaga medis, kabupaten ini menduduki urutan keempat terendah dibanding kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan. Data terpilah dari Departemen Kesehatan menunjukkan dari 38 puskesmas yang terdapat di kabupaten ini, hanya 21 puskesmas yang memiliki dokter umum, sementara 6 puskesmas lainnya diisi oleh dokter gigi. Total dokter di kabupaten terluas ketiga dan penduduk terbesar kedua di Sulawesi Selatan ini sebanyak 47 orang dengan perincian 30 dokter umum dan
38| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan 17 dokter gigi. Masih ada 11 puskesmas yang tidak memiliki dokter, baik itu dokter umum maupun dokter gigi. Masih sedikitnya jumlah dokter umum di kabupaten ini secara kuantitatif menunjukkan bahwa secara rerata satu dokter harus melayani sekira 24.291penduduk. Rasio ini tentu saja sangat jauh dari rasio ideal yang ditetapkan WHO, yaitu 1 dokter untuk 2.500 penduduk (www.depkes.go.id, 2014). Hal ini ditambah dengan kenyataan dokter lebih banyak berada di daerah perkotaan atau yang lebih dekat dari kota. Tidak dapat disangkal peningkatan kualitas layanan menjadi target rutin sektor kesehatan dari tahun ke tahun. Salah satunya dilakukan melalui tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat. Patut disayangkan, penambahan jumlah tenaga kesehatan sebagai dampak dari peningkatan tempat layanan kesehatan selama ini belum diikuti dengan distribusi yang memadai. Di tahun 2011, 719 puskesmas dan 28 RSUD di Sulawesi Selatan hanya memiliki 353 dokter spesialis (yang lebih dari separuhnya berada di Kota Makassar), 1.607 tenaga medis, dan 13.007 tenaga paramedis (Sumber: Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2012). Dokter spesialis, tenaga medis, dan tenaga paramedis pun tidak merata. Hal inilah yang sebenarnya dikeluhkan oleh responden karena meski tempat pelayanan kesehatan telah tersedia, namun tenaga kesehatan masih kurang. Yang tersedia pun masih terpusat di seputaran ibu kota kabupaten. Distribusi yang belum memadai
tersebut juga diperparah dengan tenaga kesehatan yang terkadang tidak ditemui di tempatnya bertugas. Salah satu penyebabnya adalah tenaga kesehatan bertempat tinggal di kabupaten tetangga. Meski rumah dinas bagi tenaga kesehatan tertentu telah disediakan pemerintah daerah namun dengan alasan adanya beberapa pertimbangan tertentu rumah dinas tersebut tidak ditempati. Ujungujungnya, tenaga kesehatan yang bersangkutan harus menempuh jarak pulang pergi yang cukup jauh. Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kualitas dan waktu pelayanan. Penyebab lainnya adalah sedikitnya jumlah tenaga kesehatan di beberapa tempat tertentu menyebabkan mereka mengalami kesulitan pada saat akan turun memberikan pelayanan langsung ke rumah pasien yang tidak sempat lagi di bawa ke pusat layanan. Kesuaian alokasi anggaran juga mendapat sorotan dari kelompok perempuan. Ditinjau dari persentase anggaran sektor kesehatan terhadap total belanja APBD, nampak bahwa pada tahun 2008 anggaran kesehatan hanya mendapatkan alokasi 10 persen dari total belanja APBD. Persentase tersebut termasuk gaji pegawai. Sementara di tahun 2009, 2010, dan 2011 serapan belanja APBD ke sektor kesehatan 11 persen. Ini berarti kenaikan alokasi belanja kesehatan selama tiga tahun hanya naik satu persen. Ditinjau dari belanja langsung, nampak bahwa porsi belanja langsung terhadap total belanja kesehatan mengalami fluktuasi, bahkan penurunan antara rahun 2008 hingga 2011. Di tahun 2008 alokasi belanja langsung rata-rata di 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan mencapai 59 persen,
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |39
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan sementara tahun 2009 mencapai 60 persen. Tahun 2010 porsi belanja langsung turun mencapai 56 persen, dan terus turun di tahun 2011 di persentase 54 persen (Sumber: Milawaty, 2013). Perbandingan persentase rasio yang ideal antara belanja langsung dan belanja tidak langsung tidak diatur secara terperinci dalam undang-undang mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah berbeda-beda. Mengutip pemaparan Bambang Agus Salam (dalam Milawaty, 2013), peneliti dari Asian Development Bank (ADB), belanja publik idealnya 70% sampai 80% dari APBD. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya menekan pengeluaran anggaran belanja tidak langsung seminimal mungkin, sehingga alokasi anggaran belanja publik bisa lebih besar. 3. Kesetaraan Pelayanan (X 3 ) Kesetaraan pelayanan terdiri dari tiga indikator yang menyangkut pemberian layanan tanpa ada perbedaan (X 3.1 ), keringanan biaya bagi warga kurang mampu (X 3.2 ), dan hasil peningkatan pelayanan kesehatan (X 3.3 ). Berdasarkan hasil penilaian, kelompok perempuan dalam penelitian menilai kesetaraan pelayanan dalam tiga kategori; sangat baik, baik, dan buruk. Pada kategori sangat baik, kelompok perempuan dari Kabupaten Luwu Timur dan Sinjai yang memberikan apresiasi. Sementara kinerja buruk diberikan pada Kabupaten Wajo, Makassar, dan Parepare. 18 daerah lainnya dianggap telah cukup baik dalam memberikan kesetaraan pelayanan. Meski demikian, dari 18 kabupaten/ kota tersebut,
dengan nilai rata-rata di bawah 3.0, sembilan diantaranya rawan berkinerja buruk. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, dengan nilai ratarata di bawah 3,0, 12 kabupaten/ kota belum menunjukkan kinerja kesetaraan pelayanan yang baik. Prosedur untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan cukup mudah. Bagi masyarakat yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan dari berbagai program pembiayaan kesehatan baik dari pemerintah maupun lembaga penjamin kesehatan, pasien cukup menunjukkan kartu tanda pengenal berupa KTP atau kartu keluarga di mana dia bermukim. Petugas kemudian akan memproses keluhan pasien lebih lanjut. Prosedur ini dianggap memudahkan bagi pasien, dan pada penelitian di lapangan responden pun menanggapi positif kemudahan prosedur ini. Yang agak menyulitkan adalah di beberapa daerah, terutama daerah-daerah pelosok dan pulau-pulau kecil, KTP maupun kartu keluarga belum dimiliki warga. Ada pula yang telah bertahun-tahun tidak pernah memperbaharuinya sehingga pada saat pengurusan ke tempat layanan kesehatan, pasien harus terlebih dahulu mengurus persyaratan administrasi kesehatan gratis tersebut. Jika tidak, maka kategori sebagai pasien umum akan diberlakukan. Meski demikian beberapa puskesmas, terlebih jaringan yang lebih kecil, memiliki kebijakan tersendiri dengan tetap memberikan pelayanan dengan pertimbangan masyarakat yang dilayani adalah masyarakat yang telah mereka kenal dan diketahui pasti adalah warga yang berdiam di daerah tersebut. Pemberian layanan dan kebijakan ini berlaku untuk semua warga. Biaya-biaya yang timbul
40| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan akibat layanan kesehatan lanjutan di puskesmas bukanlah harga fixed. Walikota memiliki kewenangan memberikan pengurangan, keringanan, dan bahkan pembebasan biaya pelayanan. 4. Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Pemerintah Daerah (X 4 ) Partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah terdiri dari tiga indikator yang menyangkut semakin transparannya proses pembahasan alokasi anggaran kesehatan dalam APBD (X 4.1 ), masyarakat semakin terampil dan berani untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan (X 4.2 ), dan masyarakat semakin berani melakukan pengaduan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai (X 4.3 ). Berdasarkan hasil penilaian, kelompok perempuan dalam penelitian menilai partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah dalam dua kategori; baik, dan buruk. Dengan rentang nilai 2.6 - 3.3, 15 kabupaten/ kota dianggap berkinerja cukup baik. Delapan kabupaten/ kota lainnya dianggap berkinerja buruk. Sayangnya, dari 15 daerah yang dinilai baik terdapat 10 kabupaten/ kota yang memiliki nilai rata-rata di bawah 3.0 yang mengindikasikan kinerja daerah tersebut rawan untuk turun ke arah yang buruk. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari 23 kabupaten/ kota di Sulsel yang diteliti, partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah di 18 daerah cenderung bahkan sebagian diantaranya telah berkinerja buruk. Masyarakat yang semakin berani menyuarakan suaranya membuat pemerintah daerah dituntut untuk
kembali ke esensinya sebagai pelayan masyarakat. Hal ini membuat pelayanan publik mulai dari tahap perencanaan hingga monitoring dan evaluasi sedapat mungkin melibatkan rakyat. Sayangnya dalam proses pembangunan, sudah bukan hal yang baru lagi jika selama ini salah satu faktor penghambat pelaksanaan pembangunan adalah anggaran. Proses anggaran di daerah selama ini belum sepenuhnya diletakkan pada pencapaian kepentingan daerah. Di daerah Bulukumba, misalnya, sempat terjadi penurunan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Sultan Daeng Radja akibat kurangnya anggaran operasional rumah sakit, bahkan anggaran kesehatan gratis nyaris habis. Lebih jauh lagi, akibat uang jasa pelayanan yang belum dibayarkan sejak 2009 ratusan tenaga medis di rumah sakit daerah ini menolak memberikan pelayanan kepada pasien (http://makassar.tribunnews.com, 1 April 2011). Perempuan Gowa memberikan penilaian tertinggi atas transparansi anggaran kesehatan daerah. Perda Nomor 3 Tahun 2004 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan telah mengatur kewajiban pemerintah daerah untuk menyebarluaskan informasi pada setiap proses perumusan dan hasil kebijakan, yang salah satunya adalah informasi APBD mulai dari hasil pembahasan, proses penganggaran sampai penetapan. Tidak dapat disangkal meski publik sebagai penerima dampak langsung dalam pembangunan, namun dalam praktiknya publik masih kesulitan mengakses dokumen pemerintahan. Meski demikian dalam kasus lain, keberadaan Perda tersebut tetap membawa dampak positif terutama
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |41
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan dalam peningkatan jumlah partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan melalui forum warga (Kopel Sulawesi, 2009). Terwujudnya anggaran kesehatan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Kesehatan tahun 2009 memang bukan hal mudah. Menyisihkan 10 persen anggaran APBD yang diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik, tidak termasuk gaji, membuat pemerintah mau tidak mau harus membuat peta prioritas urusan wajib dan urusan pilihan pemerintah, termasuk didalamnya persentase minimal anggaran. Tidak ada jalan lain kecuali pembenahan anggaran pembiayaan langsung dan tidak langsung melalui efisiensi. Yang paling terpuruk jika layanan kesehatan memburuk adalah kaum miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. Hal yang patut dikritisi sebenarnya adalah kerjasama antara petugas dan keluarga pasien terkait program kesehatan gratis. Sebagai contoh, salah satu ibu yang anaknya menjalani perawatan rawat inap di rumah sakit propinsi akibat kecelakaan mengaku diberikan tagihan sekira dari dua juta rupiah untuk biaya perawatan dan obat-obatan. Setelah ditelusuri ternyata petugas tidak memberitahukan si ibu untuk mengurus surat rujukan ke puskesmas karena sang anak sebelumnya langsung dilarikan ke rumah sakit. Si ibu itupun kurang paham dengan prosedur yang berlaku. Untunglah petugas memberikan waktu bagi keluarga pasien sehingga pada akhirnya mereka mampu keluar dari rumah sakit tanpa mengeluarkan sepeser rupiah pun. Muara akhir tujuan pemerintah
adalah kesejahteraan rakyat sehingga jika hal tersebut belum tercapai maka pemerintah belum dapat dikatakan berhasil. Hal ini tidak terlepas dari peran sentralnya dalam memberi pelayanan sosial kepada rakyat yang terdiri atas lima hal; kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial, dan pekerjaan sosial. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ditindaklanjuti daerah dengan beragam cara. Melalui undangundang ini rakyat dirangsang untuk ikut serta berpartisipasi dalam meninjau pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah. Kabupaten Gowa, misalnya, di sektor kesehatan, bupati merangkul LSM sektor kesehatan untuk memantau lebih jauh dampak pelaksanaan program dan kegiatan bagi masyarakat. Masyarakat pun dilatih untuk terampil dan berani berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan. Perempuan Gowa dalam penelitian ini bahkan memberikan penilaian tertinggi atas indikator partisipasi masyarakat. Hal ini tidak berlebihan mengingat peran serta LSM di kabupaten ini sudah lama dan tersebar di berbagai sektor. Faktor lainnya adalah sejak tahun 2004 Gowa telah memiliki Perda yang mengatur transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Kepulauan Selayar, Sinjai, Takalar, Pangkep, dan beberapa kabupaten/ kota lainnya mengambil langkah berbeda. Melalui “Metode Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat”, harapan dan keluhan masyarakat di sektor kesehatan didengar dan dirangkum dalam pengelolaan dan survey pengaduan masyarakat. Pengaduan tersebut kemudian dianalisis masalah penyebab pengaduan dan rencana tindak nyata
42| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan melalui maklumat pelayanan, yang selanjutnya akan dipantau dan dievaluasi. Pemerintah Kabupaten Sinjai sejak tahun 2004, melalui Perda Nomor 3 tentang Jaminan Kesehatan Daerah, telah berhasil merangkul masyarakat di bawah payung Jamkesda. Hanya dengan Rp10.000,- per bulan per kepala keluarga, masyarakat telah mendapatkan haknya menerima pelayanan kesehatan baik rawat jalan maupun rawat inap. Bahkan dokter keluarga dan bidan delima pun dirangkul pemerintah daerah untuk memberikan kemudahan masyarakat mendapatkan layanan. Bagi masyarakat miskin, pemerintah daerah memberikan subsidi dan menggratiskannya. Luwu Timur sendiri sejak 2008 lalu membentuk Unit Khusus Pengaduan Masyarakat. Melalui 0811429133 dan www.luwutimurkab.go.id, masyarakat dapat menyampaikan pengaduan, termasuk pengaduan kesehatan. Sms yang diterima secara otomatis akan mengirimkan balasan berbunyi:”pesan anda tekah saya terima. Terima kasih atas nasehat, kritik & informasinya. Bupati Luwu Timur H. ANDI M.” Secara teori, perilaku yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sinjai adalah perilaku mengkritisi birokrasi Weberian yang dianggap tidak mampu membangun empati terhadap kelompok marginal dan minoritas sekaligus pengingkaran terhadap nilainilai kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan Dwiyanto (2015: 14) bahwa tentu tidak adil apabila memperlakukan di miskin secara sama dengan si kaya karena akses mereka terhadap sumber daya yang diperlukan untuk berhubungan dengan birokrasi,
seperti informasi, pengalaman, dan uang juga berbeda. Memberikan perlakukan yang sama kepada semua pengguna layanan birokrasi dapat diartikan sebagai tindakan yang tidak empatik terhadap kelompok masyarakat terbelakang dan marginal. PENUTUP Hasil penelitian terkait layanan kesehatan Sulawesi Selatan berdasarkan perspektif perempuan di 23 kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan yang diteliti menghasilkan kesimpulan bahwa secara keseluruhan nilai ratarata untuk keempat variabel layanan kesehatan meski dianggap baik oleh kelompok perempuan, namun sebenarnya sangat rawan berbalik menjadi buruk karena tipisnya selisih nilai antara keduanya. Dari 23 kabupaten/ kota di Sulsel yang diteliti terlihat bahwa: (1) 2 kota dan 5 kabupaten yang belum, bahkan masih kurang efisien dalam pemberian pelayanan, (2) kinerja layanan kesehatan dalam hal kesesuaian kebijakan dan program kesehatan pada 15 kabupaten/ kota cenderung bahkan sebagian diantaranya telah berkinerja buruk, (3) kesetaraan pelayanan di 12 kabupaten/ kota belum menunjukkan kinerja pelayanan yang baik, (4) partisipasi masyarakat dan transparansi pemerintah daerah di 18 daerah cenderung bahkan sebagian diantaranya telah berkinerja buruk. Masih banyak hal yang perlu dibenahi terkait pelayanan kesehatan yang dijanjikan dan diberikan pemerintah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, seperti belum transparannya proses pembahasan alokasi anggaran kesehatan (APBD), transparansi pelayanan, dan belum adanya upaya
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |43
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan dan komitmen kuat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini masyarakat belum diberdayakan untuk saling bermitra dalam pelayanan kesehatan. Peningkatan kualitas pelayanan tidak dapat dipisahkan dari partisipasi masyarakat. Aparatur yang berkualitas, masyarakat yang mendukung, dan sistem yang melindungi, menjadi tiga dari serangkaian key factors untuk mewujudkan layanan kesehatan yang mumpuni. Partisipasi masyarakat bahkan diakui dalam undang-undang akan mampu membantu mempercepat derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Jadi, pemerintah daerah sebaiknya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui hal-hal yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan pembangunan, monitoring, serta evaluasi layanan kesehatan. Termasuk didalamnya adanya transparansi proses pembahasan alokasi anggaran kesehatan. Selain itu pemerintah daerah harus dapat bersifat terbuka dengan menyampaikan hak-hak pasien.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin, Asnawin. 18 Maret 2011. Catatan atas Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Sulsel. (Online), (www.fajar.co.id, diakses pada 29 Januari 2013) Azzuhra, Fatimah. Perbandingan Sistem Kesehatan Antar Negara: Sebuah Ulasan mengenai Perbandingan Sistem Kesehatan antar negara dengan Analisis Skema Kebijakan Tripatriat. Jurnal Sosiologi
Kesehatan. Desember 2010: 1-23. (Online), (www.scribd.com, diakses pada 7 April 2015) Departemen Kesehatan RI. 24 Maret 2014. Peran Jumlah dan Mutu Tenaga Kesehatan Dukung Percepatan MDGS dan Implementasi JKN. (Online). (www.depkes.go.id, diakses 14 Desember 2016) Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri. (Online). (www.kemendagri.go.id, diakses pada 9 April 2015) Dwiyanto, Agus. 2015. Reformasi Birokrasi Kontekstual. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Fajar Institute of Pro Otonomi. 2011. Data Base Existing Kesehatan Kabupaten/ kota di Sulawesi Selatan. Data diakses pada April 2015. Gobel, Fatmah Afrianty. 21 Desember 2010. Catatan Akhir Tahun Kesehatan Gratis di Sulsel. (Online), (www.kesehatan.kompasiana.com , diakses pada 29 Januari 2013) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 24 Maret 2014. Peran Jumlah dan Mutu Tenaga Kesehatan Dukung Percepatan MDGS dan Implementasi JKN. (Online), (http://www.depkes.go.id/article, diakses tanggal 15 April 2016) Kopel Sulawesi. 2009. Kaya Janji Miskin Produk: Rekam Jejak Kinerja DPRD Periode 2004-2009. Kopel Sulawesi. Makassar.
44| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan Lembaga Administrasi Negara – Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. 2006. Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Daerah. PKP2A II LAN. 2012. Kajian Potret Pemekaran Daerah: Implikasinya Bagi Pelayanan Publik di Sektor Pendidikan dan Kesehatan. Bidang Kajian Manajemen Kebijakan, Pelayanan dan Otomasi Administrasi. Profil
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan 2012. (Online). (www.depkes.go.id, diakses pada 9 April 2015)
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cetakan ke-9. Alfabeta. Bandung. Suyuthi, Fadlia Pratiwi. 2011. Dampak Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Dasar Gratis di Puskesmas Sudiang Raya terhadap Status Kesehatan Masyarakat di Propinsi Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin. Syam, Aminuddin. 21 Oktober 2008. Program Kesehatan Gratis, di Persimpangan Jalan? Berita dan Analisis Kesehatan Gratis dari Koran Tribun Timur Makassar. (Online),
(https://docs.google.com, diakses tanggal 6 Februari 2013) Tribun Timur. 1 April 2011. (Online), (http://makassar.tribunnews.com, diakses 14 Desember 2016) __________. 5 Mei 2011. Catatan Perjalanan Safari Kesehatan Gratis. Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan Widaningrum, Ambar. 2009. Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan. Bunga Rampai: Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. Hal. 355-371. Editor: Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto. Gava Media. Yogyakarta. Wolinsky, Fredric D. 1980. The Sociology of Health: Principles, Professions and Issues (Chapter 17 about Comparative Health System). Boston: Little, Brown and Company Yosa. 30 Juni 2010. Pelayanan Publik, Good Governance & AAUPB Dalam Diskresi. (Online), (www.http://itjendepdagri.go.id/article, diakses tanggal 3 Februari 2013)
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |45
Kinerja Pelayanan Kesehatan PemDa Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Kelompok Perempuan
46| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan
PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA SURAKARTA MELALUI PEMBENTUKAN PD PEDARINGAN Oleh : Marsono
PENDAHULUAN Pusat Pergudangan Pedaringan Kota Surakarta merupakan salah satu aset Pemerintah Kota Surakarta yang berharga diperlukan penanganan pengelolaannya secara spesifik, dikarenakan Pusat Pergudangan Kota Pedaringan Surakarta merupakan salah satu aset Pemerintah Kota Surakarta yang belum tergali secara profesional. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dipandang perlu membentuk suatu lembaga yang mengelola Pusat Pergudangan Kota Pedaringan Surakarta berbentuk Perusahaan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Surakarta. Manajemen logistik dan Pergudangan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan sebuah perusahaan. Barang yang disimpan di gudang bisa dalam bentuk bahan baku, barang setengah jadi, suku cadang maupun produk jadi. Peningkatan produktivitas dan pelayanan pergudangan akan sangat berpengaruh pada performansi perusahaan secara keseluruhan. Dalam konteks Pemerintah Kota Surakarta Pusat Pergudangan Pedaringan (PGP) merupakan penyedia jasa pergudangan barang milik Pemerintah Kota Surakarta yang
berlokasi di Kentingan Jebres. Pedaringan didirikan tanggal 22 Oktober 1984 berdasarkan Perda No.4 tahun 1984. Pedaringan ini didirikan dari hutang yang berasal dari Departemen Keuangan. Pada saat awal pendirian, pedaringan ini dikelola oleh BUMN, yaitu PT Bagaraksa sampai tahun 1999. Kemudian, dari tahun 1999 – 2006, Pedaringan dikelola oleh Pemerintah Kota Surakarta. Setelah tahun 2006, Pedaringan diubah menjadi perusahaan daerah yang pengelolaannya berada di bawah pengawasan Pemerintah Kota Surakarta. Pedaringan merupakan sebuah perusahaan yang berfungsi untuk menopang aktivitas pergudangan masyarakat Solo. Perusahaan ini didirikan untuk menghindari banyaknya jalan yang rusak akibat dilalui truk-truk besar. Pada awal berdiri, Pedaringan memiliki luas 28 Ha. Namun seiring berjalannya waktu, area dari pedaringan diambil dan dimanfaatkan untuk fasilitas lain, yaitu kantor pemadam kebakaran, kantor kecamatan, dan terakhir untuk technopark. Pedaringan sekarang memiliki luas 9,2 Ha yang dibagi ke dalam 2 wilayah. Kedua wilayah ini adalah wilayah atas yang dikontrak oleh
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |47
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan pengembang sampai tahun 2011 serta wilayah bawah. Dari wilayah tersebut, pedaringan memiliki 9 gudang penyimpanan, mulai dari gudang A sampai I. Masing-masing gudang tersebut memiliki fungsi penyimpanan yang berbeda-beda, tergantung dari barang-barang yang dititipkan untuk disimpan. Barangbarang yang sering disimpan dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, dan barang jadi, diantaranya bahan industri tekstil, bibit, biji plastik, semen, dan triplek dari bubur kayu. Namun, tidak semua wilayah dimanfaatkan untuk gudang, ada wilayah yang dimanfaatkan untuk fasilitas parkir dan bongkar muat barang. Pembangunan PGP dimaksudkan untuk menopang kebutuhan dinamisasi perekonomian di Surakarta di mana jasa pergudangan memegang peranan penting di dalamnya. Sebelum PGP didirikan, kegiatan pergudangan di Surakarta tersebar secara sporadis di beberapa titik dengan kapasitas serta fasilitas pergudangan yang terbatas. Untuk menertibkan serta meningkatkan layanan dan fasilitas pergudangan di Surakarta, maka pada tahun 2001 Pemkot Surakarta berinisiatif membangun PGP dengan bantuan biaya utang dari Departemen Keuangan. Pengeloaan PGP dibagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama pengelolaan PGP di bawah status BUMN dengan menunjuk PT. Bandaraksa sebagai pengelola dan telah selesai pada tahun 2006. Tahap kedua (2006) pengelolaan diambil alih oleh Pemkot Surakarta yang pada saat penelitian status badan usaha PGP belum berbadan hukum, namun diarahkan pada status perusahaan daerah.
PGP menyediakan jasa penyimpanan atau pergudangan berbagai jenis barang, jasa parkir kendaraan angkutan logistik, jasa bongkar muat barang (pekerja dan peralatan bantu) dan jasa angkutan. PGP didukung oleh fasilitas 5 bangunan untuk gudang penyimpanan, area parkir truk pengangkutan yang luas, serta alat bantu forklift. Selama ini, Pedaringan menangani pengiriman logistik PT Chandra Asri Petrochemical yang merupakan perusahaan penghasil biji plastik terbesar se-Asia Tenggara untuk dikirim ke wilayah Jateng dan Jatim. Kontrak terbaru adalah dengan PT Titan Petrokimia Nusantara juga mengangkut biji besi dari Cilegon ke berbagai daerah di Jawa. Disamping itu juga kerjasama dengan PT Richland Logistik Indonesia untuk mengangkut produk industri. Kerja sama logistik ini tidak hanya dengan perusahaan besar yang ada di luar Solo tapi juga perusahaan lokal seperti PT Indo-Asia Tirta Manunggal, PT Tyfountex Indonesia, dan beberapa perusahaan lain. KONSEPSI MANAJEMEN PERGUDANGAN Gudang merupakan suatu fasilitas yang berfungsi sebagai lokasi penyaluran barang dari supplier (pemasok), sampai ke end user (pengguna). Dalam praktik operasional setiap perusahaan cenderung memiliki suatu ketidakpastian akan permintaan. Hal ini mendorong timbulnya kebijakan dari perusahaan untuk melakukan sistem persediaan (inventory) agar permintaan dapat diantisipasi dengan cermat. Dengan adanya kebijakan mengenai inventory ini mendorong
48| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan perusahaan untuk menyediakan fasilitas gudang sebagai tempat untuk menyimpan barang inventory. Gudang adalah lokasi untuk penyimpanan produk sampai permintaan (demand) cukup besar untuk melaksanakan distribusinya (Bowersox, 1978:293). Penyimpanan dianggap perlu untuk menyesuaikan produk dengan kebutuhan konsumen. Prinsip kegunaan waktu (time utility) dijadikan alas an untuk membenarkan alasan ini. Untuk manufaktur yang memproduksi berbagai produk di banyak lokasi, pergudangan memberikan metode untuk mengurangi biaya penyimpanan bahan mentah, dan suku cadang serta biaya penanganan, di samping memaksimumkan operasi produksi. Persediaan dasar untuk seluruh suku cadang dapat dipertahankan di gudang sehingga dapat menurunkan kebutuhan penumpukan persediaan di masingmasing pabrik. Pengertian lain tentang gudang adalah tempat yang dibebani tugas untuk menyimpan barang yang akan dipergunakan dalam produksi, sampai barang tersebut diminta sesuai jadwal produksi (Apple, 1990:242). Gudang dapat digambarkan sebagai suatu sistem logistik dari sebuah perusahaan yang berfungsi untuk menyimpan produk dan perlengkapan produksi lainnya dan menyediakan informasi mengenai status serta kondisi material/ produk yang disimpan di gudang sehingga informasi tersebut mudah diakses oleh siapapun yang berkepentingan. Secara umum gudang diperlukan dengan empat tujuan sebagai berikut: 1. Pengurangan biaya transportasi dan produksi. Gudang memiliki
peranan penting dalam proses pengendalian dan pengurangan biaya transportasi dan produksi, pada dasarnya gudang berkaitan erat dengan persediaan barang namun pada posisi tertentu gudang dapat mengurangi biaya transportasi dan produksi. 2. Pengkoordinasian antara penawaran dengan permintaan. Gudang mempunyai peranan dalam hal mengkoordinasikan antara penawaran dengan permintaan, hal ini disebabkan karena permintaan pasar tidak selalu bisa diproyeksikan secara akurat sedangkan proses penawaran suatu barang harus terus berjalan. Untuk itu diperlukan sebuah gudang untuk menyimpan barang pada saat volume produksi naik dan volume permintaan menurun. 3. Kebutuhan produksi. Dalam suatu produksi tentunya akan menghasilkan barang dengan karakteristik dan sifat yang berbeda pula, ada jenis barang yang bisa langsung dikonsumsi dan ada juga barang yang harus disimpan terlebih dahulu untuk dikonsumsi. Contoh dari barang ini adalah minuman anggur, untuk barang seperti ini dan karakteristik serupa memerlukan gudang sebagai tempat penyimpanan barang ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal. 4. Kebutuhan pasar. Barang-barang yang telah beredar di pasaran memiliki banyak macam, namun ada beberapa barang yang diminta selalu ada oleh konsumen. Agar pasokan barang tersebut tidak terputus maka diperlukan gudang yang relatif dekat dengan pasar sebagai media
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |49
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan pendistribusian untuk memenuhi kebutuhan pasar. Menurut Purnomo (2004:282) secara garis besar manfaat pergudangan antara lain adalah: 1. Manufacturing support (pendukung proses produksi) Operasi pergudangan mempunyai peranan sangat penting dalam proses produksi, dukungan dari operasi pergudangan sangat mutlak bagi kelancaran proses produksi, sistem administrasi proses penyimpanan, transportasi dan material handling serta aktivitas lain dalam pergudangan diatur sedemikian hingga proses produksi berjalan sesuai dengan target yang hendak dicapai. 2. Production mixing Menerima pengiriman barang berbagai macam dari berbagai sumber dan dengan system material handling baik otomatis maupun manual dilakukan penyortiran dan menyiapkan pesanan pelanggan selanjutnya mengirimnya ke pelanggan. 3. Sebagai perlindungan terhadap barang Gudang merupakan jenis peralatan/ tempat dengan sistem pengamanan yang dapat diandalkan dengan demikian barang akan mendapatkan jaminan keamanan baik dari bahaya pencurian, kebakaran, banjir, serta problem keamanan lainnya. Dalam sistem pergudangan Material berbahaya dan material tidak berbahaya akan dipisahkan beberapa material ada yang beresiko membahayakan dan menimbulkan pencemaran, untuk itu dengan menggunakan kode keamanan tidak diijinkan material yang beresiko
tersebut ditempatkan dengan lokasi pabrik. 4. Sebagai persediaan Untuk melakukan peramalan permintaan produk yang akurat merupakan hal yang sangat sulit, agar dapat melayani pelanggan setiap waktu operasi pergudangan dapat digunakan sebagai alternatif tempat persediaan barang yang mana akan berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan penanganan persediaan. PENGERTIAN ASET DAERAH, PERUSAHAAN DAERAH DAN PENDAPATAN DAERAH Aset Daerah Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa msa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Kekayaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis (Mardiasmo: 2002) yaitu: (1) Kekayaan yang sudah ada (eksis) sejak adanya daerah tersebut. Kekayaan jenis ini meliputi seluruh kekayaan alam dan geografis kewilayahannya. Contohnya adalah tanah, hutan, tambang, gunung, danau, pantai dan laut; (2) Kekayaan yang akan dimiliki baik yang berasal dari aktivitas pemerintah daerah yang didanai APBD serta kegiatan
50| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan perekonomian daerah lainnya. Contohnya adalah jalan, jembatan, kendaraan, dan barang modal lainnya. Aset daerah merupakan kekayaan daerah yang pada hakikatnya terdiri dari aset bergerak dan tidak begerak. Sebagai contoh aset bergerak, yakni kendaraan dinas, dokumen-dokumen dan lain sebagainya. Sedangkan aset tak bergerak atau tetap yakni lahan, bangunan, dan lain sebagainya. Dalam aspek yang lain, aset pemerintah ini dapat berperan sebagai jaminan pembangunan di daerah. Penyusunan dokumen aset bertujuan untuk melakukan pengamanan aset dari aspek administrasi daerah. Sementara, pengamanan aset bertujuan untuk menjaga aset daerah tidak berpindah tangan secara ilegal serta memudahkan pihak pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan lebih lanjut. Pengelolaan aset bertujuan agar aset daerah dapat memberi manfaat, khususnya dari segi pendapatan daerah. Sebagai contoh, penyewaan toko dan pasar milik daerah. Pengamanan aset mutlak dilakukan dengan melengkapi aset dimaksud dengan dokumen legal. Di samping itu, aset daerah merupakan kekayaan yang dapat berperan sebagai jaminan pembangunan daerah. Aset secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “sesuatu” yang bernilai, yang dimiliki oleh seseorang atau badan usaha atau instansi. Definisi aset juga dapat dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dimana disebutkan bahwa aset adalah sumber daya ekonomi yang dapat diukur dengan satuan uang, dikuasai oleh pemerintah
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu, dan diharapkan dapat memberikan manfaat di masa depan, baik manfaat untuk pemerintah sendiri maupun manfaat untuk masyarakat luas. Aset berasal dari bahasa Inggris yang berarti barang atau sesuatu barang yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value), dimana nilai tukar dimiliki oleh instansi, organisasi, badan usaha ataupun individu (perorangan). Aset (Asset) adalah barang, yang dalam pengertian hukum disebut benda, yang terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (Intangible), yang tercakup dalam aktiva/ kekayaan atau harta kekayaan dari suatu instansi, organisasi, badan usaha atau individu perorangan. Selain itu pengertian Aset dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, dimana aset mempunyai pengertian yang sama yaitu semua barang yang dibeli atau yang diperoleh atas beban APBD atau APBN atau yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perusahaan Daerah Perusahaan daerah adalah perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Tujuan didirikannya PD adalah untuk mendapatkan keuntungan yang dapat dipakai untuk pembangunan daerah Kekayaan negara/ daerah dipisahkan dari kekayaan PD untuk menghindari praktek yang tidak efisien. UndangUndang No.5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah memberikan pengertian tentang yang dimaksud dengan Perusahaan Daerah adalah
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |51
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan semua perusahaan yang didirikan berdasarkan undang-undang ini yang seluruh atau sebagian modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undangundang. Sedangkan menurut UndangUndang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dimaksud dengan Perusahaan Daerah “adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya diimiliki oleh Pemerintah Daerah”. Menurut Elita Dewi (2002:4) mengenai perusahaan daerah adalah sebagai berikut : a. Perusahaan Daerah adalah kesatuan produksi yang bersifat: Memberi jasa, Menyelenggarakan pemanfaatan umum, Memupuk pendapatan b. Tujuan perusahaan daerah untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan kebutuhan rakyat dengan menggutamakan industrialisasi dan ketentraman serta ketenangan kerja menuju masyarakat yang adil dan makmur. c. Perusahaan daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah. d. Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan mengusai hajat hidup orang banyak di daerah, yang modal untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ciri-ciri perusahaan daerah menurut Muh Bakat, dkk. (1989) adalah:
a. Didirikan dengan suatu peraturan daerah; b. Modal seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali bila ada ketentuan lain berdasarkan undangundang; c. Tujuan usaha adalah mencari laba untuk dana pembangunan daerah; d. Dipimpin oleh suatu direksi yang diatur dalam peraturan pendiriannya; e. Ada dewan perusahaan daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam peraturan pemerintah; f. Kekuasaan tertinggi bukan pada rapat pemegang saham tetapi dalam beberapa hal pada kepala daerah; Badan usaha milik negara yang dikelola oleh pemerintah daerah disebut badan usaha milik daerah (BUMD). Perusahaan daerah adalah perusahaan yang didirikan oleh pemerintah daerah yang modalnya sebagian besar / seluruhnya adalah milik pemerintah daerah. Tujuan pendirian perusahaan daerah untuk pengembangan dan pembangunan potensi ekonomi di daerah yang bersangkutan. Contoh perusahaan daerah antara lain: perusahaan air minum (PDAM) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD ) memiliki kedudukan sangat penting dan strategis dalam menunjang pelaksanaan otonomi. Oleh karena itu, BUMD perlu dioptimalkan pengelolaannya agar benar-benar menjadi kekuatan ekonomi yang handal sehingga dapat berperan aktif, baik dalam menjalankan fungsi dan tugasnya maupun sebagai kekuatan perekonomian daerah. Laba dari BUMD diharapkan memberikan kontribusi yang besar terhadap
52| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan Pendapatan Asli Daerah. Otonomi daerah memberikan konsekuensi yang cukup besar bagi peran Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD ) dalam menopang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesungguhnya usaha dan kegiatan ekonomi daerah yang bersumber dari BUMD telah berjalan sejak lama sebelum UU tentang otonomi daerah disahkan. Untuk mencapai sasaran tujuan BUMD sebagai salah satu sarana PAD, perlu adanya upaya optimalisasi BUMD yaitu dengan adanya peningkatan profesionalisasi baik dart segi manajemen. Sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang memadai sehingga memiliki kedudukan yang sejajar dengan kekuatan sektor perekonomian lainnya. Dasar hukum pembentukan BUMD adalah berdasarkan UU No 5 tahun 1962 tetang perusahaan daerah. UU ini kemudian diperkuat oleh UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah (Nota Keuangan RAPBN, 1997/1998). Ciri-ciri BUMD adalah sebagai berikut: a. Pemerintah memegang hak atas segala kekayaan dan usaha; b. Pemerintah berkedudukan sebagai pemegang saham dalam pemodalan perusahaan; c. Pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan dalam menetapkan kebijakan perusahaan; d. Pengawasan dilakukan alat pelengkap negara yang berwenang; e. Melayani kepentingan umum, selain mencari keuntungan; f. Sebagai stabillisator perekonomian dalam rangka menyejahterakan rakyat; g. Sebagai sumber pemasukan negara;
h. Seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara; i. Modalnya dapat berupa saham atau obligasi bagi perusahaan yang go publik; j. Dapat menghimpun dana dari pihak lain, baik berupa bank maupun nonbank; k. Direksi bertanggung jawab penuh atas BUMN, dan mewakili BUMN di pengadilan. Adapun tujuan Pendirian BUMD: (1) Memberikan sumbangsih pada perekonomian daerah dan penerimaan kas daerah; (2) Mengejar dan mencari keuntungan; (3) Pemenuhan hajat hidup orang banyak; (4) Perintis kegiatan-kegiatan usaha; (5) Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah; (6) Melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat; dan (7) Penyelenggara kemanfaatan umum, dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah. Selanjutnya berdasarkan kategori sasarannya secara lebih detail, BUMD dibedakan menjadi dua yaitu sebagai perusahaan daerah untuk melayani kepentingan umum yang bergerak di bidang jasa dan bidang usaha. Tetapi, jelas dari kedua sasaran tersebut tujuan pendirian BUMD adalah untuk meningkatkan PAD. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu (UU. No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah), pendapatan daerah berasal dari penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu sendiri yaitu
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |53
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. (UU.No 32 Tahun 2004). Pengertian pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Nurcholis (2007), pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperopleh daerah dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain yang sah. Dari beberapa pendapat di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pendapatan asli daerah adalah semua penerimaan keuangan suatu daerah, dimana penerimaan keuangan itu bersumber dari potensi-potensi yang ada di daerah tersebut misalnya pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain, serta penerimaan keuangan tersebut diatur oleh peraturan daerah. Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 yaitu : a. Pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri dari :
1) Hasil pajak daerah yaitu Pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untu pengeluaran umum yang balas jasanya tidak langsung diberikan sedang pelaksanannya bisa dapat dipaksakan. 2) Hasil retribusi daerah yaitu pungutan yang telah secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah bersangkutan. Retribusi daerah mempunyai sifat-sifat yaitu pelaksanaannya bersifat ekonomis, ada imbalan langsung walau harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil dan materiil, tetapi ada alternatif untuk mau tidak membayar, merupakan pungutan yang sifatnya budgetetair-nya tidak menonjol, dalam hal-hal tertentu retribusi daerah adalah pengembalian biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat. 3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hasil perusahaan milik daerah merupakan pendapatan daerah dari keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja
54| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan daerah yang dipisahkan, sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka sifat perusahaan dareah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat menambah pendapatan daerah, memberi jasa, menyelenggarakan kemamfaatan umum, dan memperkembangkan perekonomian daerah. 4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah ialah pendapatanpendapatan yang tidak termasuk dalam jenis-jenis pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan dinas-dinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai sifat yang pembuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan baik berupa materi dalam kegitan tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan, atau memantapkan suatu kebijakan daerah disuatu bidang tertentu. b. Dana perimbangan diperoleh melalui bagian pendapatan daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan baik dari pedesaan, perkotaan, pertambangan sumber daya alam dan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah pendapatan daerah dari sumber lain misalnya sumbangan
pihak ketiga kepada daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Lain-lain pendapatan daerah yang sah ialah pendapatanpendapatan yang tidak termasuk dalam jenis-jenis pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan dinasdinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai sifat yang pembuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan baik berupa materi dalam kegitan tersebut bertujuan untuk menunjang, melapangkan, atau memantapkan suatu kebijakan daerah disuatu bidang tertentu. ANALISIS DAN KONTRIBUSI PD PEDARINGAN TERHADAP PENDAPATAN DAERAH Berdasarkan konsepsi Badan Usaha Milik Daerah bahwa Pusat Pergudangan Kota Pedaringan Surakarta merupakan salah satu asset Pemerintah Kota Surakarta yang berstatus Perusahaan Daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Surakarta Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pusat Pergudangan Pedaringan Kota Surakarta. Lingkup Usaha PD Pedaringan Kota Surakarta antara lain mencakup: (1) Jasa Pergudangan; (2) Jasa Angkutan Barang; (3) Jasa Parkir; dan (4) Jasa Sewa Ruang. Deskripsi secara rinci terkait dengan lingkup usaha PD Pedaringan sebagai berikut :
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |55
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan
Selama ini PD Pedaringan Kota Surakarta telah dapat memberikan berbagai kemanfaatan baik terhadap masyarakat, bagi pemerintah daerah dan perusahaan itu sendiri. Uraian terkait kemanfaatan sebagai berikut: 1. Bagi masyarakat Program yang berbasis pada layanan jasa pergudangan terpadu, jasa angkutan barang, jasa parkir dan jasa sewa ruang ini dapat membantu masyarakat khususnya para pengusaha dalam mengatur dan mengelola barang dan aliran logistik secara efisien, aman dan efektif. 2. Bagi perusahaan Dalam suatu aliran logistik, tentu terdapat banyak aktivitas yang mendukung sehingga misi logistik yaitu right place, right goods, dan right time dapat tercapai. 3. Bagi Pemerintah Daerah Terwujudnya lingkungan perkotaan yang lancar, aman dan tertib dari berbagai timbunan barang-barang komoditas dan hasil produksi dari berbagai perusahaan. Serta adanya kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari PPK Pedaringan. Strategi yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam membangun PPK Pedaringan adalah mendirikan Pusat Pergudangan Pedaringan yang berlokasi di Jebres, kawasan timur kota Solo berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1984. Tujuannya adalah sebagai pusat pergudangan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis kawasan kota Solo dan sekitarnya. Dengan dukungan pendanaan dari Departemen Keuangan dijalinlah kerjasama dengan sebuah BUMN yang telah berpengalaman sebagai pengelola hingga tahun 1999. Berikutnya selaras dengan tekad Pemerintah Kota Surakarta untuk mewujudkan pengelolaan dan pengembangan Pusat Pergudangan Pedaringan menjadi lebih baik dan profesional maka ditetapkanlah Perda No. 3 Tahun 2009 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pusat Pergudangan Kota "Pedaringan" Surakarta (Perusda PPK "Pedaringan" Kota Surakarta). Untuk lebih memberikan keamanan dan kepuasan perusahaan-perusahaan pengguna jasa Pedaringan, PPK Pedaringan melakukan kerjasama dengan Perusahaan Asuransi untuk menjamin jika terjadi kerusakan dan kehilangan. Kontribusi PD Pedaringan Terhadap Pendapatan Daerah Kota Surakarta pada tahun 2015 dari Rp21 miliar total pendapatan yang dikumpulkan sekitar Rp. 17 miliar berasal dari jasa angkutan barang. Hingga semester satu tahun 2016 ini pendapatan yang diperoleh lebih dari Rp 8 miliar. Namun optimistis pada semester II ini kinerja semakin baik,
56| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan seiring dengan bertambahnya kerja sama yang dilakukan. PENUTUP Pembentukan Perusahaan Daerah dalam bentuk PD Pedaringan di bidang jasa pergudangan terpadu, jasa angkutan barang, jasa parkir dan jasa sewa ruang ini menjadi hal yang sangat strategis mengingat sumber daya pembangunan yang bersumber dari anggaran Negara/ daerah semakin terbatas. Oleh Karena itu, dengan pendirian Perusahaan Daerah Pedaringan tersebut, menjadi alternatif sumber pendapatan bagi Pemda. Dalam konteks pengembangan inovasi daerah, pendirian PD Pedaringan juga merupakan suatu ide kreatif dan inovatif yang juga dapat dikembangkan oleh daerah lain di Indonesia. Dengan demikian, model Perusahaan Daerah (PD) Pedaringan ini dapat direplikasi oleh pemerintah daerah lain, dengan prasyarat antara lain adanya kerangka yang jelas dalam pengembangan Perusahaan Daerah yang bergerak di bidang jasa pergudangan terpadu, jasa angkutan barang, jasa parkir dan jasa sewa ruang ini sehingga mempermudah pelaksanaan tiap tahapannya. Dalam hal ini, dibutuhkan juga informasi terkait dengan Rencana Tata Ruang, tersedianya lahan yang memadai serta adanya ukungan regulasi daerah yang kuat, serta dukungan anggaran daerah yang cukup. Disamping itu, juga diperlukan adanya kerjasama dengan berbagai perusahaan di lingkungan pemerintah daerah. DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara; Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 14 Tahun 2011 tentang Peraturan Daerah Surakarta Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pusat Pergudangan Kota Pedaringan Surakarta. Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik dan Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta, 2002. Apple. M. James 1990. Tata letak Pabrik Dan Pemindahan Bahan, ITB, Bandung. Bowersox, Donald J. 1978. Manajemen Logistik: Integrasi Sistem-Sistem Manajemen Distribusi Fisik dan Manajemen Material (terjemahan Drs. A. Hasymi Ali). Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Purnomo, Hari, 2004, Perencanaan dan Perancangan Fasilitas, Edisi Pertama, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |57
Peningkatan Pendapatan Daerah Surakarta Melalui Pembentukan PD Pedaringan
58| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan
MODEL ARISAN JAMBAN DALAM PENINGKATAN PELAYANAN KESEHATAN LINGKUNGAN Oleh : Harditya Bayu Kusuma
PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pernyataan tersebut merepresentasikan bahwa kesehatan merupakan hak mendasar bagi manusia dan termasuk salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh tingkat kesehatan yang dimiliki, semakin sehat maka semakin tinggi pula kualitas yang dimiliki. Oleh karena itu, kesehatan perlu dijaga, dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman berbagai hal yang merugikan. Secara nasional kualitas kesehatan masyarakat di Indonesia telah menunjukkan peningkatan, tetapi dari sisi kesenjangan masih terlihat adanya jarak status kesehatan berdasarkan dari tingkat sosial ekonomi, pendidikan, antar kawasan
ataupun antar perkotaan dan perdesaan. Golongan miskin masih dalam posisi terendah dalam tingkat kesehatan masyarakat Indonesia secara global. Selain itu, penduduk di daerah perdesaan, yang berada di kawasan bagian Timur Indonesia dan yang memiliki tingkat pendidikan rendah masih riskan dengan kemungkinan terserang penyakit dibandingkan dengan penduduk lainnya. Tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan merupakan bagian dari kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk membina dan meningkatkan derajat kesehatan dari kehidupan sehari-hari, baik fisik, mental, maupun sosial dengan cara pencegahan terhadap penyakit dan gangguan kesehatan. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |59
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan. Lingkungan sehat mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum, harus bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan, di antaranya limbah (cair, padat, dan gas), sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan, vektor penyakit, zat kimia berbahaya, kebisingan yang melebihi ambang batas, radiasi, air yang tercemar, udara yang tercemar, dan makanan yang terkontaminasi. Kesehatan lingkungan merupakan keadaan lingkungan yang maksimal sehingga berkorelasi positif terhadap derajat kesehatan masyarakat yang tinggi pula. Sehingga ketika tingkat kesehatan lingkungan mengalami gangguan atau permasalahan maka akan berdampak pula pada tingkat kesehatan masyarakat. Selama ini masalah kesehatan lingkungan meliputi: penyehatan lingkungan pemukiman, penyediaan air bersih, pengelolaan limbah dan sampah serta pengelolaan tempat-tempat umum dan pengolahan makanan. Masalah kesehatan lingkungan tersebut menjadi masalah yang sangat rumit dan memerlukan pemecahan secara terorganisir.
Untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, peranan kesehatan lingkungan sangat penting di samping faktor lain seperti kualitas pelayanan kesehatan dan perilaku masyarakat. Selain itu, salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan lingkungan dalam masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Selama ini, masyarakat yang tinggal di perdesaan, daerah tertinggal dan daerah pinggiran masih mempunyai kendala dalam memperoleh air besih dan mewujudkan sanitasi dasar yang layak bagi kehidupan bermasyarakat. Kemudian, menurut Profil Kesehatan Indonesia 2015 dari Kementerian Kesehatan RI bahwa yang dimaksud dengan jumlah desa/ kelurahan yang melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) adalah jumlah kumulatif desa/ kelurahan yang terverifikasi melaksanakan STBM. Jumlah kumulatif desa/ kelurahan yang terverifikasi sebagai desa melaksanakan STBM memenuhi kriteria sebagai berikut: telah dilakukan pemicuan STBM, telah memiliki natural leader, dan telah memiliki Rencana Kerja Masyarakat (RKM). Jumlah desa/ kelurahan STBM sejak tahun 2011-2015 seperti pada grafik berikut.
60| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan
Sumber : Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes 2016
Gambar 1. Grafik Jumlah Desa/ kelurahan STBM
Berdasarkan grafik di atas, jumlah desa/ kelurahan STBM pada tahun 2015 mencapai 26.417 desa/ kelurahan. Jumlah tersebut masih terhitung sedikit jika dibandingkan dengan jumlah desa/ kelurahan secara total yang ada di Indonesia. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk terus meningkatkan STBM di desa/
kelurahan dalam mewujudkan kesehatan lingkungan. Sedangkan jika dihitung dari rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak per provinsi dapat dilihat dalam grafik berikut ini
Sumber: BPS, Susenas Kor (2015) dalam Kemenkes, 2016 Gambar 2. Persentase Rumah Tangga Memiliki Akses Terhadap Sanitasi Layak Tahun 2015 Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |61
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Gambar di atas menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki persentase rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi layak tertinggi adalah DKI Jakarta (89,28%), kemudian DI Yogyakarta (86,31%) dan Bali (85,46%). Sedangkan provinsi yang memiliki persentase rumah tangga yang dengan akses terhadap sanitasi layak terendah adalah Nusa Tenggara Timur (23,90%), Papua (28,04%) dan Kalimantan Tengah (35,88%). Akses rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak yang terendah masih di kawasan timur Indonesia yaitu Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur. Persentase di atas terlihat bahwa adanya disparitas yang cukup tinggi antara Provinsi DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur sebagai provinsi yang memiliki persentase rumah tangga yang dengan akses terhadap sanitasi layak tertinggi dan terendah. Sedangkan secara nasional, terdapat 62,14% rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak. Hal itu memperlihatkan bahwa Bangsa Indonesia belum sepenuhnya bisa menerapkan sanitasi layak bagi masyarakat. Sejalan dengan hal di atas, secara umum Indonesia masih menghadapi permasalahan dan tantangan yang besar dalam pemenuhan kebutuhan sanitasi dasar, terutama jamban layak atau sarana pembuangan limbah manusia. Kondisi tersebut membuat banyak masyarakat Indonesia harus buang air besar sembarangan (BABS) di
sungai atau ladang. Bank Dunia dalam siaran pers terkait pertemuan global antara Bank Dunia dan menteri-menteri keuangan, air dan sanitasi yang digelar di Washington pada tanggal 11 April 2014, menyebutkan jumlah orang Indonesia yang membuang hajat sembarangan mencapai 50 juta atau seperlima lebih dari populasi Indonesia yang mencapai 240 juta orang. Sebagian besar dari mereka yang masih buang hajat sembarangan tinggal di perdesaan. Hal ini memperlihatkan bahwa setengah dari populasi masyarakat perdesaan tidak memiliki akses sanitasi layak, dan dari 57 juta orang yang melakukan BABS, 40 juta di antaranya tinggal di perdesaan. 1 Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan keterbatasan sarana jamban yang layak di masyarakat adalah melalui arisan jamban. Arisan jamban ini merupakan inovasi yang sudah mulai berkembang dalam membiasakan rumah tangga di perdesaan untuk memiliki jamban secara mudah, murah dan cepat serta melalui kebersamaan antar pihak. Arisan jamban ini sudah mulai dilakukan di Desa Kapuk Kabupaten Bangka dan Puskesmas Tampo Kabupaten Banyuwangi. Arisan jamban yang dilakukan di 2 (dua) daerah tersebut telah menunjukkan kemanfaatan, terutama dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Peran masyarakat, pemerintah daerah dan stakeholder lain terlihat dalam perwujudan peningkatan pelayanan
Diakses dari http://nasional.sindonews.com/ read/853477/ 15/57-juta-warga-indonesiatidak-punya-jamban-1397308658 62| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 1
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan kesehatan lingkungan melalui arisan jamban. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini berupaya untuk menyusun sebuah model arisan jamban dalam peningkatan pelayanan kesehatan lingkungan masyarakat. Pemodelan ini disusun dengan melakukan sintesa dari gambaran pelaksanaan arisan jamban Desa Kapuk Kabupaen Bangka dan Puskesmas Tampo Kabupaten Banyuwangi. Tujuannya adalah model arisan jamban yang disusun ini bisa dijadikan alur berpikir kreatif sehingga dapat menjadi referensi ketika sebuah daerah ingin melakukan replikasi inovasi arisan jamban. TINJAUAN TEORI Pengertian Jamban Soeparman (2003) menyebutkan bahwa salah satu upaya kesehatan yang dilakukan di dalam masyarakat adalah penyediaan sanitasi dasar, salah satu dari fasilitasi sanitasi dasar yang ada di dalam masyarakat adalah jamban. Jamban berguna sebagai tempat pembuangan kotoran manusia sehingga bakteri yang ada dalam kotoran tersebut tidak memenuhi lingkungan, sehingga selanjutnya lingkungan akan terlihat bersih, indah dan mempunyai nilai estetika yang baik. Sedangkan pengertian jamban menurut Depkes (2009) adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkan.
Lebih lanjut menurut Depkes (2009), jenis jamban yang dianjurkan ada 2 (dua) yaitu jamban cemplung dan jamban tangki septik/ leher angsa. Jamban cemplung adalah jamban yang memiliki penampungan berupa lubang yang dapat menyimpan dan meresapkan cairan kotoran/ tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung harus ada penutup agar tidak bau. Sedangkan Jamban tangki septik/leher angsa adalah jamban berbentuk leher angsa yang penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses penguraian kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya. Lebih lanjut disebutkan bahwa setiap anggota rumah tangga harus menggunakan jamban untuk buang air besar dan buang air kecil. Kemudian, penggunaan jamban diharuskan di dalam masyarakat, hal ini karena : 1) menjaga lingkungan selalu bersih, sehat dan tidak berbau; 2) tidak mencemari sumber air yang ada di sekitar; dan 3) tidak mengundang datangnya lalat atau serangga lainnya yang dapat menjadi penular penyakit diare, kolera disentri, thypus, kecacingan, penyakit infeksi saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracunan. Sesuai yang tercantum dalam buku Informasi Pilihan Jamban Sehat, bahwa jamban merupakan tempat aman dan nyaman yang dapat dipergunakan sebagai tempat buang air besar. Kriteria jamban yang sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang dapat : 1) mencegah kontaminasi ke badan air; 2) mencegah kontak antara
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |63
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan manusia dengan tinja; 3) membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga dan binatang lainnya; 4) mencegah bau yang tidak sedap; dan 5) konstruksi tempat dudukannya dibuat dengan baik, aman dan mudah dibersihkan. Manfaat yang diperoleh dengan membangun dan menggunakan jamban, antara lain : a. peningkatan martabat dan hak pribadi seseorang; b. lingkungan menjadi lebih bersih; c. bau berkurang, sehingga sanitasi dan kesehatan masyarakat meningkat; d. keselamatan lebih baik (karena tidak perlu pergi ke ladang di malam hari); e. menghemat waktu dan uang, dan dapat menghasilkan kompos pupuk dan biogas untuk energi; f. memutus siklus penyebaran penyakit yang terkait dengan sanitasi. Proverawati dan Rahmawati (2012), juga mempunyai pendapat mengenai syarat jamban yang sehat, yaitu antara lain : a. Tidak mencemari sumber air minum yang ada di sekitar (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan tinja minimal 10 meter). b. Tidak berbau. c. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus. d. Tidak dapat mencemari tanah sekitarnya. e. Mudah dibersihkan dan aman untuk digunakan. f. Dilengkapi dengan dinding dan atap pelindung. g. Penerangan dan ventilasi yang cukup.
h. Lantai kedap air dan luas ruangan yang memadai. i. Tersedia air, sabun, dan alat pembersih. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2015 dari Kementerian Kesehatan RI disebutkan bahwa sanitasi yang baik merupakan elemen yang penting dan dapat menunjang kesehatan manusia. Sanitasi berhubungan dengan tingkat kesehatan lingkungan yang akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi yang ada akan berdampak negatif dalam aspek kehidupan masyarakat, seperti : menurunnya kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian diare dan munculnya beberapa penyakit lainnya. Berdasarkan konsep dan definisi MDGs, rumah tangga telah memiliki akses sanitasi layak jika fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan, yaitu : dilengkapi dengan leher angsa, tanki septik (septic tank)/ Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL), baik yang digunakan sendiri atau bersama. Metode pembuangan tinja yang baik yaitu menggunakan jamban dengan memiliki syarat, antara lain: a. Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi. b. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang mungkin dapat memasuki mata air atau sumur. c. Tidak boleh terkontaminasi pada air permukaan. d. Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lainnya.
64| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan e. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar, atau bila memang benarbenar diperlukan, harus dibatasi seminimal mungkin. f. Jamban harus bebas dari bau atau kondisi yang tidak sedap dipandang. g. Metode pembuatan jamban dan pengoperasian harus sederhana dan tidak mahal. Berbagai pernyataan di atas memperlihatkan bahwa kepemilikan jamban merupakan aspek utama dalam mewujudkan sanitasi dasar dalam masyarakat. Pemakaian jamban yang sehat akan menghindarkan dari berbagai kemungkinan terjangkit penyakit dan dapat mewujudkan lingkungan yang bersih, indah dan mempunyai nilai estetika. Pelayanan Publik Pelayanan menurut Gronroos dalam Ratminto dan Winarsih (2005) merupakan suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas bersifat tidak kasat mata yang terjadi akibat dari adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan untuk memecahkan permasalahan konsumen. Sedangkan menurut Moenir dalam Tangkilisan (2005), pelayanan disebutkan sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung. Pelayanan yang diperlukan oleh manusia pada dasarnya ada 2 (dua) jenis, yaitu : layanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia dan layanan administratif yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi, baik itu organisasi massa atau negara.
Lebih luas mengenai pengertian tentang pelayanan publik disebutkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Pelayanan publik selalu berkaitan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau instansi tertentu dalam rangka memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik menjadi sesuatu yang sangat penting karena berhubungan dengan masyarakat yang memiliki keanekaragaman unsur, kepentingan dan tujuan. Sehingga institusi yang bertugas memberikan pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh nonpemerintah. Pemerintah merupakan perwakilan negara sebagai birokrasi dalam bidang pelayanan publik, maka birokrasi pemerintahan merupakan organisasi paling terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dalam hal pemerintah memberikan pelayanan publik, maka tugas utama
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |65
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan yang dilakukan adalah memberikan bantuan dan kemudahan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain pemerintah, unsur nonpemerintah juga mempunyai fungsi dalam pelayanan publik. Segala usaha yang dilakukan non-pemerintah juga dapat digerakkan dalam upaya memberikan pelayanan publik dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Kesehatan Lingkungan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan adalah upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/ kota bertanggung jawab untuk : 1) menjamin tersedianya lingkungan yang sehat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya sesuai dengan kewenangannya; 2) mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan; dan 3) memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan. Kemudian dalam penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan, pemerintah daerah kabupaten/ kota berwenang: 1) menetapkan kebijakan untuk melaksanakan penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan, Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan, dan
Persyaratan Kesehatan di tingkat kabupaten/ kota dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah provinsi; 2) melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terkait kesehatan di kabupaten/ kota; dan 3) melakukan kerja sama dengan lembaga nasional sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam konteks kesehatan lingkungan, ada 2 (dua) istilah yang sering dicampuradukkan, yaitu : hygiene dan santasi. Dilihat dari ilmu kesehatan lingkungan, kedua istilah ini mempunyai beberapa perbedaan. Hygiene adalah kegiatan kesehatan masyarakat untuk mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, dan membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatannya. Kegiatan ini termasuk pula melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia, sehingga pelbagai faktor lingkungan yang tidak menguntungkan, tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Sedangkan sanitasi adalah kegiatan kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada upaya pengawasan terhadap pelbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Jadi sanitasi lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap pelbagai faktor lingkungan, sehingga munculnya penyakit dapat
66| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan dihindari. Sanitasi juga berarti pula sebagai suatu usaha untuk menurunkan jumlah bibit penyakit yang terdapat dalam bahan-bahan pada lingkungan fisik manusia sehingga derajat kesehatan manusia dapat terpelihara dengan sempurna. 2 Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, yang dimaksud dengan STBM adalah pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan. Penyelenggaraan STBM bertujuan untuk dapat mewujudkan perilaku yang higienis dan saniter secara mandiri dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Dalam pelaksanaan STBM berpedoman pada 5 (lima) pilar yaitu: 1. Stop buang air besar sembarangan (BABS). 2. Cuci tangan pakai sabun. 3. Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga. 4. Pengamanan sampah rumah tangga. 5. Pengamanan limbah cair rumah tangga. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa untuk mewujudkan tingkat kesehatan masyarakat yang maksimal, peranan kesehatan lingkungan sangat penting di samping faktor lain seperti kualitas pelayanan kesehatan dan perilaku masyarakat. Kesehatan lingkungan yang terjaga akan dapat mencegah timbulnya berbagai penyakit
sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat. Kesehatan lingkungan perlu dipelihara dan dilindungi sebagai aspek penting dalam pengelolaan kesehatan masyarakat. ANALISA DAN PEMBAHASAN Analisa dan pembahasan dalam tulisan ini akan menggambarkan pelaksanaan arisan jamban di beberapa daerah, yaitu : Nyaman Stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) Di balik Kocokan Arisan Ibu Kabupaten Bangka dan PUJASERA (Pergunakan Jamban Sehat, Rakyat Aman) Kabupaten Banyuwangi. Kedua praktik terbaik inovasi (best practices) ini dipilih karena telah memperlihatkan kemanfaatan inovasi dan terdapat dampak positif di masyarakat. Setelah ada gambaran dari best practices pengelolaan arisan jamban, kemudian akan disusun sebuah model arisan jamban dalam peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat. Nyaman Stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) di Balik Kocokan Arisan Ibu Kabupaten Bangka Inovasi Nyaman Stop BABS (Buang Air Besar Sembarangan) Di balik Kocokan Arisan Ibu dikembangkan di Desa Kapuk, Kecamatan Bakam, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Ide inovasi ini berasal dari desa tersebut dan dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia yang menghadapi permasalahan keterbatasan jamban demi mewujudkan daerah ODF (Open
Diakses dari http://dinus.ac.id/repository/ docs/ajar/ Bab_I_Pengantar_IKL.pdf Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |67
2
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Defecation Free) atau bebas buang air besar sembarangan. Inovasi arisan jamban dari ibu-ibu Desa Kapuk ini sangat sederhana dan tidak harus menggunakan teknologi informasi yang modern. Dimulai pada tahun 2011, dimana Desa Kapuk termasuk merupakan daerah endemis Malaria dan Diare yang disebabkan perilaku BABS dari masyarakat dan cakupan jamban hanya mencapai 33,02 persen. Selain itu, ibu-ibu juga merupakan kelompok yang paling dirugikan jika berperilaku BABS, yaitu resiko malu, jijik, resiko pelecehan seksual, buka aurat di tempat umum, resiko digigit binatang, dan ancaman penyakit lainnya. Kemudian dilakukan pendekatan secara strategis dengan pembentukan tim terintegrasi, mengidentifikasi masalah dan pemetaan keadaan sanitasi untuk kemudian melakukan perubahan mindset tentang BABS dan inovasi pemecahan masalah melalui arisan jamban ibu juga dimonitoring 3 stakeholder. Para Ibu di Desa Kapuk merasa perlu adanya perubahan dari perilaku BABS yang selama berlangsung. Banyak dampak negatif yang diperoleh sehingga muncul berbagai penyakit yang dapat menyerang siapa saja, terutama anak-anak mereka. Selain itu, juga ada berbagai resiko yang dihadapi jika BABS di tempat terbuka. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya perubahan untuk bisa meningkatkan
kesehatan lingkungan terutama dalam peningkatan penggunaan jamban sehat melalui arisan jamban. Sistem arisan jamban sama dengan arisan-arisan pada umumnya, jika pada pemenang arisan biasa memperoleh uang, namun dalam arisan jamban ini hadiah yang dimenangkan adalah jamban. Di Desa Kapuk, biaya yang dihabiskan untuk membuat satu unit jamban yang lengkap sebesar Rp 150 ribu. Unit jamban tersebut termasuk kloset, semen beserta slabnya (tempat mendudukkan kloset). Uang sejumlah Rp 150 ribu masih tergolong besar bagi penduduk Desa Kapuk yang mayoritas berprofesi sebagai petani, sehingga untuk memenuhi kebutuhan jamban dalam setiap rumah tangga, penduduk desa Kapuk mengadakan arisan jamban yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok berisi sekitar 20an orang. Sedangkan iuran setiap peserta arisan adalah sebesar Rp 15 ribu per pertemuan. Kocokan arisan akan menghasilkan 2 (dua) orang pemenang/ minggu/ per kelompok. Jika kelompok arisan terdapat 3 (tiga) kelompok, maka per minggunya akan dibangun sebanyak enam unit jamban per minggunya. 4 Pada realisasi pembangunan jamban, para ibu akan dibantu beberapa kaum lelaki tersebut melakukan tahap pelaksanaan dengan melakukan pembuatan jamban sesuai hasil arisan dari awal sampai selesai. Hal ini terus dilakukan hingga semua
4 Diakses dari http://kanalberita.net/2016/ Diakses dari http://bangka.tribunnews.com/ 2016/ 04/01/arisan-jamban-ibu-ibu-desa-kapuk07/17/ gokil-desa-ini-dapat-penghargaan-garadipaparkan -di-depan-tim-penguji gara-jamban/ 68| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 3
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan masyarakat Desa Kapuk tidak ada lagi yang tidak mempunyai jamban. Terwujudkan kegiatan arisan ini juga atas kerjasama semua pemangku kepentingan termasuk pelibatan jajaran militer di Komando Distrik Militer (Kodim) dengan pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan. 5 Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat kerjasama dalam melaksanakan pembangunan jamban. Semua pihak terlibat dan memberikan perhatian sehingga permasalahan ketiadaan jamban di Desa Kapuk. Setelah pelaksanaan arisan jamban ini, kemudian ditetapkan beberapa regulasi yang terkait dengan pembangunan jamban, sehingga mempercepat penambahan pengadaan jamban dan perubahan kebiasaan BABS. Dampak inovasi yang dilakukan di Desa Kapuk tersebut adalah penurunan penyakit Diare dan Malaria, peningkatan cakupan jamban mencapai 100 persen di Desa Kapuk, percontohan bagi desa ataupun daerah lain dan memperoleh penghargaan desa ODF. PUJASERA (Pergunakan Jamban Sehat, Rakyat Aman) Kabupaten Banyuwangi PUJASERA (Pergunakan Jamban Sehat Rakyat Aman) merupakan salah satu inovasi yang dikembangkan oleh Kabupaten Banyuwangi dan berhasil masuk Top 35 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Tahun 2016 yang diselenggarakan oleh KemenPAN dan RB. Menurut Anas (2016), Pujasera
merupakan salah satu inovasi yang dijalankan di Kabupaten Banyuwangi terutama ketika melihat kondisi kesehatan secara umum dimana tingkat kepemilikan jamban masih 12,85% dari total KK (Kepala Keluarga) dan jika ditotal secara keluruhan maka akses penduduk terhadap jamban juga masih rendah. Hal tersebut berdampak pada angka kesakitan yang merupakan akibat sanitasi yang jelek yaitu mencapai 35%. Inovasi Pujasera dilaksanakan oleh Puskemas Tampo melalui sejumlah program. Pertama, kampanye ODF (Open Defecation Free) secara masif dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan Satgas yang dibentuk. Puskesmas Tampo juga membentuk komunitas Kader Pujasera yang yang siap siaga membantu warga untuk mengetahui kemanfaatan program Pujasera. Kedua, gerakan membongkar jamban di sungai, di mana dalam aksi ini kader Pujasera menancapkan pengumuman berisikan ajakan menggunakan jamban sehat. Ketiga, memberikan pinjaman dengan bunga lunak bermitra dengan program lain dari pemerintah yang melibatkan penyedia bahan bangunan. Di dusun setempat juga dibentuk Arisan Jamban yang diikuti warga kurang mampu. Setiap bulan, arisan diundi. Setelah itu, warga dan kader Pujasera bersamasama membangunkan jamban untuk warga kurang mampu tersebut. Juga terdapat intervensi pemerintah dalam
Diakses dari http://bangka.tribunnews.com /2016/ 05/29/arisan-jamban-desa-kapuk-dapatpenghargaan-menteri-pan-dan-rb Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |69
5
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan bentuk bantuan untuk melengkapi kegiatan yang dilakukan. 6 Hal di atas memperlihatkan bahwa terdapat berbagai pelaksaan kegiatan dalam mewujudkan Pujasera. Hal pertama yang dilakukan adalah merubah mindset masyarakat, karena sebenarnya ada juga masyarakat yang mampu tapi tidak menggunakan jamban karena pola pikirnya merasa lebih nyaman di sungai. Perubahan mindset ini dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yaitu dengan kampanye ODF arak-arakan. Kemudian, dilakukan pembongkaran tempat BAB di sungai yang dilakukan bersama Dinas PU Pengairan. Dengan pembongkaran ini, diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang membangun dan menggunakan tempat BAB di sungai. Ada juga bantuan kredit lunak dari program pemerintah lainnya, misal PNPM Mandiri. Selain itu juga dibentuk model arisan jamban, yang anggotanya dikoordinir per dusun, pesertanya masyarakat yang tidak punya jamban minimal ada 30. Arisan per orang bayar Rp 40 ribuan dan dapetnya Rp 1,2 juta. Anggota masyarakat yang mendapatkan kocokan arisan hasilnya diberikan pada kader pujasera untuk dibangunkan jamban sehat. 7 Pembuatan jamban dilakukan juga secara gotong royong antara Kader Pujasera dan warga. Salah satu hal yang
penting dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah Kader Pujasera, yang mempunyai peran dalam membantu dan mendampingi warga untuk mengetahui manfaat program Pujasera. Pujasera telah berhasil dalam mengatasi berbagai permasalahan kesehatan seperti : 1) terwujudnya 2 (dua) desa ODF dan terdapat klinik sanitasi di Puskesmas Tampo; 2) meningkatnya kepemilikan jamban sehat (meningkat 386% dari 1.034 KK di tahun 2013 menjadi 5.025 KK di tahun 2015); 3) meningkatnya akses terhadap jamban dari 960 KK di tahun 2013 menjadi 5600 KK di tahun 2015, meningkat 483%; dan 4) menurunnya angka kesakitan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan buruk dari 35% di tahun 2013 menjadi 18% di Tahun 2015 dan adanya Peraturan Desa tentang STBM. 8 Lebih lanjut menurut Anas (2016) bahwa manfaat program PUJASERA yang telah dirasakan oleh masyarakat antara lain : (1) terjadinya perubahan perilaku di dalam masyarakat; (2) meningkatnya tingkat kesehatan masyarakat; (3) masyarakat miskin dapat lebih mudah untuk memiliki jamban; (4) tingkat pelayanan kesehatan di puskesmas lebih optimal; (5) terjalinnya koordinasi dan sinkronisasi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang
8 Anas, Abdullah Azwar, 2016, Pujasera, Diakses dari http://banyuwangikab.go.id/ berita-daerah/pujasera-banyuwangi-jadiDisampaikan pada Simposium dan Gelar Inovasi nominator-inovasi-layanan-publik-terbaikPelayanan Publik Nasional Tahun 2016, nasional.html Surabaya, Pada tanggal 2 April 2016 7 Diakses dari http://surabayaonline.co/2016/ 03/ 19/arisan-jamban-pujasera-banyuwangijadi-nominator-layanan-publik-terbaik-nasional/ 70| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 6
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan terlibat; dan (6) terciptanya lingkungan sehat dan bersih di dalam masyarakat. Ada 3 (tiga) aspek yang menjadi perhatian utama dalam melihat keberhasilan pelaksanaan program Pujasera, yaitu perubahan mindset atau pola pikir masyarakat, peningkatan tingkat kesehatan masyarakat, dan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan. Perubahan mindset atau pola pikir terlihat dari perilaku masyarakat yang sudah mulai menggunakan jamban daripada sungai dan tempat sembarangan lainnya. Tingkat kesehatan juga meningkat, dilihat dari menurunnya tingkat kesakitan masyarakat. Kemudian, keterlibatan masyarakat dilihat dari adanya gotong royong dalam membangun jamban antara kader Pujasera dan masyarakat sehingga menimbulkan kebersamaan demi peningkatan kesehatan. Pemodelan Arisan Jamban Konsep model arisan jamban merupakan salah satu perubahan yang dapat dilakukan dalam peningkatan pelayanan kesehatan lingkungan kepada masyarakat, terutama untuk golongan ke bawah. Pelayanan kesehatan disini diartikan bukan hanya satu arah yang diberikan oleh pemerintah, melainkan juga melibatkan peran serta masyarakat dan organisasi non-pemerintah lainnya yang kemudian berkolaborasi satu sama lain untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan terjaga. Model arisan jamban menawarkan salah satu alternatif dalam menciptakan daerah ODF sehingga lingkungan masyarakat menjadi lebih
bersih dan sehat. Arisan yang selama ini sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat dicoba dilakukan pengembangan ke arah positif yaitu pembuatan jamban bagi rumah tangga yang mendapatkan “kocokan”. Sehingga melalui model ini diharapkan tidak membebani masyarakat yang tidak mampu dalam memiliki jamban yang sehat. Model arisan jamban ini diawali dengan adanya identifikasi permasalahan kebersihan dan kesehatan terhadap kondisi lingkungan sekitar. Terkait permasalahan ketersediaan jamban sehat yang berdampak pada lingkungan, beberapa hal dapat dikedepankan. Masalah utama yang banyak ditemui adalah mindset masyarakat terhadap pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Mindset ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan kenyamanan masyarakat ketika mereka BABS di berbagai tempat, misalnya : sungai, kebun, lapangan ataupun tempat terbuka lainnya. Ketika masyarakat sudah terbiasa melakukan hal seperti itu maka akan menciptakan kenyamanan sehingga sulit untuk diubah. Padahal ada kalangan dalam masyarakat yang sebenarnya mampu membuat jamban tetapi karena kebiasaan tersebut menyebabkan mereka tidak mau membuat jamban. Kebiasaan tersebut akan menjadikan perilaku masyarakat menjadi tidak sehat dan berdampak pada lingkungan. Perilaku tidak sehat ini harus segera ditangani karena akan membawa dampak negatif. Selain itu mindset dan perilaku di atas, tentunya permasalahan terkait
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |71
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan dengan ketersediaan yang kurang terhadap sanitasi atau jamban yang sehat. Masyarakat di kalangan perdesaan terutama dari ekonomi ke bawah jarang mempunyai sistem sanitasi ataupun jamban yang memiliki kriteria sehat. Sanitasi ataupun jamban yang dimiliki seringkali seadanya sehingga tidak memenuhi kriteria kesehatan. Hal tersebut akan menyebabkan lingkungan kotor sehingga akan menarik datangnya lalat ataupun serangga lainnya yang dapat menyebarkan penyakit. Berbagai penyakit yang muncul seperti diare, malaria dan penyakit lainnya diakibatkan lingkungan yang kotor karena sanitasi yang tidak layak. Melihat kondisi tersebut, muncul inisiatif dari berbagai pihak untuk melakukan terobosan baru dalam mengatasi permasalahan yaitu melalui arisan jamban. Inisiatif ini didasari oleh berbagai masalah yang terjadi dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan lingkungan di masyarakat. Inisiasi peningkatan pelayanan ini muncul dari 3 (tiga) pihak yaitu: masyarakat, pemerintah daerah dan stakeholder lainnya. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam menciptakan lingkungan yang sehat merasa perlu melakukan perubahan. Perubahan ini terkait dengan perilaku dan kebiasaan mereka terhadap gaya hidup yang tidak sehat. Ketika ide berasal dari masyarakat maka akan lebih mudah menerapkan inovasi arisan jamban ini. Kemudian, pemerintah daerah sebagai pelayan kesehatan masyarakat. Ide atau gagasan semacam ini muncul sebagai bentuk tugas dan
fungsi sebagai pelayan masyarakat, dimana puskesmas sebagai garda terdepan pemerintah dalam bidang kesehatan di masyarakat siap mengambil peran. Puskesmas dapat mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan dalam peningkatan kesehatan lingkungan masyarakat. Selanjutnya, stakeholder yang mempunyai perhatian terhadap tingkat kesehatan lingkungan masyarakat. Dalam hal ini mereka ikut mendampingi masyarakat agar bisa hidup sehat dan layak sehingga dapat terhindar dari penyakit. Dan yang terakhir, jika ide tersebut berasal dari kolaborasi pemikiran bersama antara masyarakat, pemerintah daerah dan stakeholder. Ketika ketiga pihak tersebut telah bekerjasama mengidentifikasi permasalahan bersama dan menginisiasi adanya arisan jamban, maka dalam pelaksanaan akan mudah mencapai sasaran. Berdasarkan berbagai permasalahan di atas dan inisiasi dari berbagai pihak maka arisan jamban merupakan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan sanitasi yang terbatas dalam masyarakat. Model arisan jamban ini dapat dilakukan melalui berbagai tahapan yang dapat dijalankan. Pertama, perubahan mindset secara bersama antar berbagai pihak. Langkah pertama dalam meningkatkan kesehatan lingkungan adalah merubah mindset atau pola pikir masyarakat. Masyarakat yang terbiasa melakukan BABS memerlukan pendekatan yang intensif agar mau merubah pola pikir mereka terhadap
72| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan lingkungan yang bersih. Perubahan mindset ini juga tidak dilakukan secara parsial, melainkan secara komprehensif dan melibatkan semua pihak. Melalui hal tersebut diharapkan perubahan mindset tidak bersifat sementara tetapi bisa terus dilakukan secara berkesinambungan. Proses perubahan mindset ini juga dapat melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh lainnya yang dihormati karena pengaruh yang dibawa terhadap perubahan ini akan signifikan. Kedua, pembentukan tim secara terintegrasi. Pembentukan tim ini dilakukan sebagai upaya untuk melakukan pendampingan kepada masyarakat dan membantu mereka untuk mendapatkan informasi yang tepat dalam pengelolaan lingkungan yang sehat. Tim ini bisa berasal dari internal masyarakat ataupun dari pihak luar yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan fungsi sanitasi. Ketika tim ini banyak yang berasal dari internal masyarakat maka pola pendekatan akan lebih efektif dalam mendampingi. Mereka lebih mengetahu kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masyarakat dalam menciptakan sanitasi yang sehat melalui pembuatan jamban. Ketiga, pembentukan kelompok arisan. Arisan jamban dilakukan dengan cara melakukan pembagian kelompok dalam arisan yang diikuti oleh ibu-ibu rumah tangga ataupun anggota keluarga yang lain. Kemudian dilakukan seperti biasa, yaitu melakukan “kocokan” untuk menentukan yang berhak mendapatkan hadiah, dalam hal ini pembuatan jamban. Iuran yang
dilakukan untuk melakukan arisan ini tergantung dari jumlah anggota arisan yang ikut dan biaya yang ditanggung dalam sebuah pembuatan jamban. Kesemua hal itu akan menentukan iuran peserta arisan. Tetapi iuran biasanya dalam nominal yang masih terjangkau. Melalui kelompok arisan, diharapkan perputaran biaya dalam membuat jamban akan lebih ringan dan membantu pada pihak yang tidak mampu. Keempat, pinjaman lunak kepada masyarakat. Selain penerimaan dalam bentuk hadiah arisan, dimungkinkan juga ada pinjaman lain yang bisa dipergunakan untuk menambah biaya pembuatan jamban ini. Pinjaman ini juga bisa diintegrasikan dengan berbagai program pemerintah lainnya yang digunakan untuk pemberdayaan masyarakat. Pinjaman ini difokuskan pada rumah tangga yang tidak mampu membuat jamban. Melalui pinjaman ini, diharapkan seluruh masyarakat bisa memperoleh kesempatan untuk mempunyao jamban yang sehat. Kelima, gotong royong pembuatan jamban. Setelah masalah biaya sudah diselesaikan melalui arisan ataupun pinjaman lunak. Langkah selanjutnya adalah membuat jamban. Pembuatan jamban dilakukan secara bersama-sama melalui sistem gotong royong yang melibatkan masyarakat maupun pihak lain. Pola seperti ini akan lebih murah dalam membuat jamban karena tidak membutuhkan anggaran lagi untuk biaya tukang. Semua pihak bekerjasama dan gotong royong untuk membantu secara bergilir pada rumah tangga yang belum mempunyai jamban.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |73
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Dan, keenam, monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan untuk mengawasi perilaku masyarakat agar tidak kembali melakukan BABS. Sedangkan evaluasi dilakukan agar dapat ditemukan berbagai perbaikan pada tahap selanjutnya. Monitoring dan evaluasi terus dilakukan agar program inovasi arisan jamban ini terus bisa dikembangkan ke arah keberlanjutan. Berbagai tahapan di atas, merupakan beberapa langkah yang
dapat dilakukan ketika akan mereplikasi inovasi arisan jamban. Model arisan jamban ini sangat layak untuk direplikasi di daerah lain karena mempunyai manfaat yang berdampak positif bagi masyarakat. Model arisan jamban dapat yang dilakukan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan lingkungan masyarakat dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 3. Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan
PENUTUP Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah bahwa arisan jamban merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan keterbatasan jamban yang ada di Indonesia. Arisan jamban merupakan inovasi yang original berasal dari masyarakat Indonesia yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lingkungan di Indonesia. Praktik terbaik yang berhasil menerapkan arisan jamban adalah di Desa Kapok
Kabupaten Bangka dan Puskesmas Tampo Kabupaten Banyuwangi. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari adanya arisan jamban di dua daerah tersebut. Dampak utama yang bisa dirasakan adalah: adanya perubahan mindset di dalam masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan BABS menjadi memiliki jamban yang sehat, peningkatan kesehatan melalui adanya kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari berbagai penyakit dan keterlibatan masyarakat secara bersama-sama dalam semua tahapan
74| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan terutama untuk membuat jamban secara gotong royong. Model arisan jamban ini merupakan bentuk peningkatan pelayanan kesehatan lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dan stakeholder lainnya. Model arisan jamban dapat dilaksanakan dengan berbagai tahapan, seperti: perubahan mindset secara bersama antar berbagai pihak, pembentukan tim secara terintegrasi, pembentukan kelompok arisan, pinjaman lunak kepada masyarakat, gotong royong pembuatan jamban dan monitoring dan evaluasi. Semua tahapan tersebut dapat dilakukan sebagai langkah pemodelan arisan jamban dalam meningkatkan pelayanan kesehatan lingkungan dalam masyarakat. Saran yang dapat disampaikan adalah arisan jamban ini harus direplikasikan ke berbagai daerah di Indonesia. Arisan jamban sangat mudah untuk direplikasi karena murah dan mudah dilakukan. Pemerintah harus mengambil peran strategis untuk bisa menjadi pendorong dalam melakukan replikasi inovasi arisan jamban. Melalui kebijakan pemerintah yang tepat, inovasi arisan jamban ini bisa membantu mengatasi masalah sanitasi dasar dan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anas, Abdullah Azwar, 2016, Pujasera, Disampaikan pada Simposium dan Gelar Inovasi Pelayanan Publik Nasional Tahun 2016,
Surabaya, Pada tanggal 2 April 2016. Proverawati, Atikah dan Eni Rahmawati, 2012, Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), Yogyakarta: Nuha Medika. Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005, Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Soeparman, 2003, Pembuangan Tinja dan Limbah Cair, Jakarta: EGC. Tangkilisan, Nogi Hessel, 2005, Manajemen Publik, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Website http://bangka.tribunnews.com/2016/0 4/01/arisan-jamban-ibu-ibudesa-kapuk-dipaparkan-didepan-tim-penguji. Diakses pada tanggal 25 Juli 2016. http://bangka.tribunnews.com/2016/0 5/29/arisan-jamban-desa-kapukdapat-penghargaan-menteri-
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |75
Model Arisan Jamban Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan pan-dan-rb. Diakses pada tanggal 25 Juli 2016.
1397308658. Diakses tanggal 25 Juli 2016.
pada
http://banyuwangikab.go.id/beritadaerah/ pujasera-banyuwangijadi-nominator-inovasi-layananpublik-terbaik-nasional.html. Diakses pada tanggal 26 Juli 2016.
http://surabayaonline.co/2016/03/ 19/arisan-jamban-pujaserabanyuwangi-jadi-nominatorlayanan-publik-terbaik-nasional/ Diakses pada tanggal 26 Juli 2016.
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar /Bab_I_ Pengantar_IKL.pdf. Diakses pada tanggal 26 Juli 2016.
Referensi lainnya
http://kanalberita.net/2016/07/17/go kil-desa-ini-dapat-penghargaangara-gara-jamban/ Diakses pada tanggal 25 Juli 2016. http://nasional.sindonews.com/read/8 53477/15/57-juta-wargaindonesia-tidak-punya-jamban-
Buku Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015, Kementerian Kesehatan RI. Buku Seri Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga, 2009, Menggunakan Jamban Sehat, Pusat Promosi Kesehatan, Departemen Kesehatan. Buku Informasi Pilihan Jamban Sehat
76| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Dari Street Level Bureaucrats Ke Street Level Inovation: Model Akselerasi Inovasi Di Daerah
DARI STREET LEVEL BUREAUCRATS KE STREET LEVEL INOVATION: MODEL AKSELERASI INOVASI DI DAERAH Oleh : Wisber Wiryanto
PENDAHULUAN Konsep street-level innovation terkait dengan street-level bureauctrats. Street-level innovation adalah komponen birokrasi dalam sistem administrasi publik yang memiliki unsur-unsur yang kompleks meliputi kebijakan, aparat pelayanan, pelayanan langsung, warga masyarakat, nilai-nilai, diskresi, inovasi, modifikasi, dampak, kepentingan, keterbatasan, serta daerah wilayah pelayanan. Konsep street-level innovation merupakan adaptasi dari konsep laboratorium inovasi yang dikembangkan untuk melakukan replikasi inovasi secara langsung kepada warga masyarakat desa atau kelurahan. Keberhasilan birokrasi dengan kebijakan inovasinya tidak hanya ditentukan oleh peran birokrasi level tertinggi yang berperan dalam mengambil kebijakan melainkan juga ditentukan oleh peran birokrasi level terbawah yang melaksanakan kebijakan tersebut di tengah-tengah masyarakat yang dilayaninya. Sehubungan pentingnya inovasi pelayanan publik perlu dilakukan kajian konsep street level bureaucrats ke street level inovation untuk mengetahui
model akselerasi inovasi dalam rangka pengembangan pelayanan publik di daerah. STREET LEVEL BUREAUCRATS Dalam teori street-level bureacrats Lipsky mendefinisikan … This is a first attempt to develop a theory of the political behavior of Street-level Bureaucrats and their interaction with clients, Street-level Bureaucrats, defined below, are those men and women who,in their face-to-face encounters with citizens; "represent” government to the people. 1 Dengan kata lain street-level bureaucrats merupakan sebuah komponen birokrasi yang memiliki karakteristik perilaku birokrasi berinteraksi langsung secara tatap muka dengan kliennya yang mewakili pemerintah dengan melakukan aktivitas untuk mencapai tujuan pelayanan masyarakat. Definisi street-level bureaucrats tersebut digunakan untuk menganalisis permasalahan pelayanan publik, sebagaimana diuraikan Lipsky: The discussion is concentrated on problems affecting Street-level Bureaucrats that arise from lack of organizational and personal resources, physical and psychological threat, and
Lipsky, Michael, Toward a Theory of StreetAmerican Political Science Association, Newyork, Level Bureacracy, University of Wisconsin, The 1969, hlm.1. Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |77 1
Dari Street Level Bureaucrats Ke Street Level Inovation: Model Akselerasi Inovasi Di Daerah conflicting and ambiguous role expectations, Individuals in these bureaucrats roles both deliberately and unconsciously develop mechanisms to hope with these problems. These mechanism primarily serve protective bureaucrats functions. Analysis of the ways in "high they interset client needsand behavior suggests that in some ways street-level bureaucracies, assurrently structured, have inherent difficulties in serving client lesson siting predominantly of minority groups and other stigmatized individuals”. Further, because of certain characteristic behavior patterns, they may be incapable of responding to pressures from client groups, and may be structured in such as to exacerbate the very conflicts which they otherwise declare interest in ameliorating. 2 Permasalahan peran street-level bureaucrats cukup kompleks dan luas cakupannya, menurut Lipsky meliputi kurang tersedianya sumberdaya organisasi dan sumberdaya manusia, tekanan fisik dan psikologis, konflik kepentingan dan ambigu terhadap peran yang diharapkan, serta bagaimana individu-individu dalam birokrat berperan dalam mengembangkan mekanisme untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Mekanisme ini berkaitan dengan fungsi pelayanan birokrasi dalam masyarakat. Analisis kebutuhan dan perilaku klien dalam beberapa hal menunjukkan street-level bureaucrats secara struktur memiliki kesulitan dalam melayani masyarakat kelompok minoritas dan individu lainnya dengan berbagai keterbatasan.
Street-level bureaucrats dijumpai dalam bentuk yang signifikan dimana mereka berhadapan langsung dengan masyarakat seperti polisi, guru, dan hakim. Hal ini diuraikan Lipsky sebagai berikut: … for the sake of clarity and illustration, focus primarily, on StreetIevel Bureaucrats from three organizational structures who significantly affect the lives of large numbers of people: policemen, teachers and lower court judges. 3 Berdasarkan karakteristik pekerjaan street-level bureaucrats seperti polisi di jalan, guru di sekolah dan hakim di pengadilan negeri (lembaga peradilan terbawah) bahwa mereka berhadapan langsung dengan masyarakat, Lipsky menguraikan definisi street-level bureaucrats sebagai berikut: A Street-level Bureaucrat is defined as a public employee house work is characterized by the following three conditions: (1) he is called upon to interact constantly with citizens in the regular course of his job; (2) although he works within a bureaucratie structure, his independenee on the job is fairly extensive. One component of this independenee is discretion in making decisions; but independence in job performance is not limited to discretion. The attitude and general approach of a Street-Ievel Bureaucrat toward his client may affect his client significantly. These considerations are broader than the term discretion suggests; (3) the potential impact on citizens with whom he deals is fairly extensive. 4 Dengan demikian, street-level bureaucrats adalah pegawai publik
4 Ibid., hlm. 2. Ibid. Ibid. 78| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 2 3
Dari Street Level Bureaucrats Ke Street Level Inovation: Model Akselerasi Inovasi Di Daerah yang memiliki karakteristik pekerjaan dengan kondisi memiliki aktivitas interaksi terus-menerus dengan masyarakat dalam melaksanakan pekerjaannya; meskipun bekerja dalam struktur birokrasi ia mempuyai kebebasan dalam membuat keputusan; serta mempunyai potensi dampak yang cukup luas dengan kebebasan yang dimilikinya dalam berhubungan dengan pelayanan publik dalam masyarakat. Selanjutnya, dijumpai perkembangan konsep street-level bureauctrats setelah dikaitkan dengan inovasi dalam sebuah reformasi pelayanan publik di suatu wilayah atau daerah tertentu. Weatherley dan Lipsky (1977) dalam street-level bureaucrats and institutional Innovation: Implementing Special-Education Reform, melakukan studi pelaksanaan kebijakan pendidikan khusus di Massachusetts tentang bagaimana mekanisme yang diperlukan sumberdaya sekolah untuk mengelola tuntutan pekerjaan secara agregat, membatasi dan mendistorsi pelaksanaan reformasi pendidikan. Temuannya memiliki implikasi untuk memperkenalkan inovasi kebijakan dalam pelayanan birokrasi dengan memberikan latihan kebijakan substansial dalam menetapkan prioritas kerja mereka. STREET LEVEL INNOVATION Weatherley dan Lipsky mendefinisikan street-level bureaucrats dalam kaitannya dengan inovasi reformasi pelayanan publik dalam suatu wilayah.
These street-level bureaucrats as we called them, interact directly with citizens in the course of their jobs and have substantial discretion in the execution of their work. … to accomplish their required tasks, street-level bureaucrats must find ways to accommodate the demand placed upon them and confront the reality of resource limitations … the work of street-level bureaucrats is inherently discretionary ... Thus street level bureaucrats are constrained but not directed in their work. 5 Dengan demikian street-level bureaucrats mempunyai karakteristik berinteraksi langsung dengan warga dalam aktivitas pekerjaannya, dan memiliki kebijakan cukup besar dalam melakukan aktivitas yang dibutuhkan dan untuk menyelesaikan tugas-tugas, street-level bureaucrats harus menemukan cara untuk mengakomodasi permintaan warga dan menghadapi realitas keterbatasan sumberdaya. Dalam melakukan aktivitasnya street-level bureaucrats secara inheren memiliki diskresi sehingga street-level bureaucrats tidak dibatasi tapi diarahkan dalam pekerjaan mereka. Di samping itu, Weatherley dan Lipsky menyinggung pula tentang hubungan street-level bureaucrats dan inovasi kebijakan. In a significant sense, then, street-level bureaucrats are the policy makers in their respective work arenas … At the same time, one must study street-level bureaucrats within their specific work context to discover how their decision making about clients
Weatherley, Richard, and Lipsky Michael. Reform, Harvard Educational Review, 47 (2), Street-Level Bureaucrats and Institutional 1977, hlm. 172. Innovation: Implementing Special-Education Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |79 5
Dari Street Level Bureaucrats Ke Street Level Inovation: Model Akselerasi Inovasi Di Daerah is modified, if at all by the newly articulated policy. 6 Dengan demikian, street-level bureaucrats adalah pembuat kebijakan di wilayah kerja masing-masing. Studi street-level bureaucrats dalam konteks ini menemukan bagaimana keputusan mereka tentang klien dilakukan modifikasi-inovasi, jika sebuah kebijakan baru diartikulasikan. Definisi konsep street-level bureaucrats kemudian dikaitkan dengan inovasi, inisiasi ini dapat dikaji dari studi yang dilakukan oleh Maroulis pada tahun 2015 berjudul the role of social network structure in street-level Innovation. Maroulis menyoroti streetlevel innovation dalam beberapa hal sebagaimana dinyatakan berikut ini. More generally, the study highlights the value of complementing individual and organizational insights with networklevel perspectives for understanding the discretionary behavior of frontline professionals 7. Menurut Agus Dwiyanto, memberi contoh, di negara maju frontliner didorong untuk melakukan inovasi sehingga berhasil melaksanakan first class public service”. 8 Penerapan konsep street level innovation tersebut menititikberatkan pada nilai-nilai yang melengkapi wawasan individu dan organisasi dengan jaringan-level perspektif untuk memahami diskresi perilaku para petugas di garis depan sesuai bidang tugas profesi. Perkembangan street level innovation di Indonesia mengenai
konsep street-level bureaucrat dalam kaitannya dengan inovasi dikenal dengan istilah street-level innovation. Hal ini dapat dikaji dari kegiatan Lembaga Administrasi Negara tentang inovasi administrasi negara dengan lokus level pemerintahan yang paling dekat dengan warganya yaitu di level pemerintahan kelurahan dan desa (street level bureaucracy) tahun 2016. Lembaga Administrasi Negara melakukan pengenalan konsep Street Level Innovation yang dilakukan dengan cara drum-up dan pemberian materi diagnose sebagai bahan pengayaan untuk menggali dan menemukan ide inovasi bagi peserta kegiatan Street Level Innovation. Bentuk komitmen dalam mewujudkan pengembangan Inovasi Administrasi Negara hingga di level pemerintahan kelurahan dan desa (street level bureaucracy). Konsep kegiatan Street Level Innovation yang dilakukan berupa adaptasi dari konsep laboratorium inovasi dengan penambahan replikasi inovasi (pencatatan inovasi yang jika memungkinkan akan direplikasi pada desa/ kelurahan di wilayah lokus kegiatan). Perjalanan Street Level Innovation antara lain sebagai berikut. Pertama, program Street Level Innovation yang dimulai di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung-Bali tahun 2016. Ide-ide terobosan yang dikemukakan antara lain, inovasi dapur hidup, yaitu menggunakan pot di dapur untuk menanam tanaman bumbu dapur akibat adanya keterbatasan
8 http://lan.go.id/id/galeri-foto/fgd-street-levelIbid. Maraulis, Spiro, The Role of Social Network innovation-membangun-negara-danStructure in Street-Level Innovation, The pemerintah-dari-desa. American Review of Public Administration, 2015. 80| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 6 7
Dari Street Level Bureaucrats Ke Street Level Inovation: Model Akselerasi Inovasi Di Daerah lahan tanam. Di samping itu, beberapa pembaharuan yang sudah berjalan di Kecamatan Kuta diantaranya yaitu pelayanan terpadu kecamatan/ kelurahan (paten) dengan menjadikan kecamatan sebagai role model dan pembangunan posyandu bagi penduduk pendatang (posyandu duktang). 9 Kedua, street level innovation sebagai sebuah model akselerasi inovasi di pedesaan dilakukan di Karangpucung, Cilacap baik melalui replikasi maupun penguatan. (1) Replikasi, contohnya: (a) Pokmas Tabungan PBB di Desa Sindangbarang, dan (b) Inovasi Mesin Pengolahan Tepung Tapioka di Desa Bengbulang. (2) Penguatan, contohnya: (a) Kawasan Ternak Kambing Terintegrasi (KateKate) di Desa Tayem Timur; (b) Jahe Minuman Segar (Jamin Segar) di Desa Sidamulya; (c) Pengembangan Desa Agrowisata di Desa Sindang Barang; dan (d) Pengolahan Limbah Tepung Tapioka di Desa Bengbulang. 10 Upaya penerapan konsep street level innovation di kabupaten Badung dan kabupaten Cilacap; merupakan contoh inisiasi inovasi di daerah. Keberhasilan penerapan konsep street level innovation sebagai sebuah ide terobosan diperlukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik di level yang terdekat dengan masyarakat di daerah lainnya.
PENUTUP Konsep Street-level innovation terkait dengan street-level bureauctrats. Street-level innovation adalah komponen birokrasi dalam sistem administrasi publik yang memiliki unsur-unsur yang kompleks meliputi kebijakan, aparat pelayanan, pelayanan langsung, warga masyarakat, nilai-nilai, diskresi, inovasi, modifikasi, dampak, kepentingan, keterbatasan, serta daerah wilayah pelayanan. Penerapan konsep ini dijumpai di daerah kabupaten Badung dan kabupaten Cilacap; diperlukan upaya penerapan konsep best-practices dari organisasi yang telah berhasil menerapkan inovasi pada daerah lainnya dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan di level yang terdekat dengan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Lipsky, Michael, Toward a Theory of Street-Level Bureacracy, University of Wisconsin, The American Political Science Association, Newyork, 1969. Maraulis, Spiro, The Role of Social Network Structure in StreetLevel Innovation, The American Review of Public Administration, 2015. Weatherley, Richard, and Lipsky Michael. Street-Level Bureaucrats and Institutional Triwidodo Wahyu Utomo, Street Level Innovation: Sebuah Model Akselerasi Inovasi di Pedesaan, Deputi Inovasi Administrasi Negara, www.slideshare.net/ Jakarta, dalam triwidodowutomo/street-level-innovation, 18 Desember 2016. 10
Ichwan Santosa, Perjalanan Street Level Innovation di Kecamatan Kuta-Bali, Lembaga Administrasi Negara, dalam http://inovasi.lan.go.id/index.php?r=post%2Fre ad&id=638, 1 April 2016. 9
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |81
Dari Street Level Bureaucrats Ke Street Level Inovation: Model Akselerasi Inovasi Di Daerah Innovation: Implementing Special-Education Reform, Harvard Educational Review, 47 (2), 1977. Website: Santosa, Ichwan. Perjalanan Street Level Innovation di Kecamatan Kuta-Bali, Lembaga Administrasi Negara, dalam http://inovasi.lan.go.id/index.p hp? r=post%2 Fread& id =638, 1 April 2016. Utomo, Triwidodo Wahyu. Street Level Innovation: Sebuah Model Akselerasi Inovasi di Pedesaan, Deputi Inovasi Administrasi Negara, Jakarta, dalam www.slideshare. net/triwidodowutomo/streetlevel-innovation, 18 Desember 2016.
82| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung
BANDUNG SMART CITY : PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI KOTA BANDUNG Oleh : Witra Apdhi Yohanitas
PENDAHULUAN Latar Belakang Bandung Smart City merupakan program pemerintah kota Bandung yang menitikberatkan pada pemanfaatan teknologi masa kini untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat Kota Bandung program yang dicanangkan pada masa walikota Ridwan Kamil ini terkonsentrasi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin ruang publik, sarana transportasi, dan penyediaan fasilitas publik dengan berwawasan lingkungan. Kolaborasi dengan semua pihak baik dari pemerintah pusat, pihak swasta dan juga masyarakat dilakukan untuk mempercepat terwujudnya program smart city tersebut. Program in merupakan konsep yang digunakan oleh pemerintah kota Bandung untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Dalam menerapkan pemerintahan yang baik (good governance) perlu memperhatikan kualitas hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya. Good governance ini sendiri mulai marak dibicarakan saat terjadi krisis moneter dan krisis kepercayaan yang mengakibatkan perubahan dramatis pada tahun 1998 ini, menuntut adanya akuntabilitas yang prima dari pemerintah dan juga
partisipasi aktif masyarakat dalam rangka penyelanggaraan pelayanan publik. Akuntabilitas yang prima dimulai dengan dilakukannya perbaikan kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang ditunjukkan dengan melakukan perubahan mendasar untuk pemberian layanan yang prima kepada masyarakat baik dari segi suprastruktur, infrastruktur, maupun pelayanan kepada masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam perubahan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah tersebut. Masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai objek untuk dilayani, tetapi juga dapat berperan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Peran serta masyarakat merupakan langkah awal perbaikan kepemerintahan dan demokrasi partisipatoris sangat penting dalam hal penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan, penghormatan hak azasi manusia serta perubahan interaksi sosial politik dan ekonomi antara masyarakat dan pemerintah mutlak harus terjadi. Keberhasilan Instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam meningkatkan produktivitas dan kinerjanya dihasilkan dari kerja keras untuk selalu melakukan perubahan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |83
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung yang inovatif. Semua itu dapat diwujudkan melalui pemerintahan yang demokratis yang membuka peran serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini selaras dengan konsep desentralisasi. Pemerintah daerah sebagai garis terdepan dengan masyarakat sangat memungkinkan untuk mendorong demokratisasi sehingga pada akhirnya dapat menjalankan roda pemerintahan yang lebih responsif, representatif, dan akuntabel. Jika hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, maka pelaksanaan pemerintahan yang transparan dan akuntabel separuhnya telah terlaksana. Separuh lainnya lagi tentu saja dengan melakukan pelibatan masyarakat secara sistematis. Sebagai contoh dengan melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan evaluasi program. Tentu hal ini tidak akan mudah. karena dengan banyaknya pihak yang terlibat berarti banyak pula kepentingan yang harus di akomodir. Positifnya, jika ini dapat terlaksana, maka pemerintahan yang baik bukan lagi hanya sebagai teori, tapi juga dapat diterapkan. Penggunaan teknologi dalam mendukung terwujudnya kepemerintahan yang baik juga menjadi hal yang wajar digunakan terutama untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Dalam hal perencanaan dan penerapannya, teknologi tersebut perlu dilakukan pelibatan masyarakat agar kemanfaatannya dapat dirasakan secara menyeluruh. Berbagai pemerintah daerah telah melakukan pengembangan teknologi untuk mewujudkan konsep good governance seperti Jakarta, Surabaya, Bandung,
Yogyakarta, Semarang dan berbagai kota lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, beberapa tahun terakhir telah mendorong konsep Smart City semakin kencang dibicarakan dan diyakini akan menjadi salah satu solusi dari berbagai masalah yang timbul dari kemajuan dan dinamika kota yang semakin maju dan modern. Seakan-akan kota besar yang memiliki kemampuan untuk menyediakan infrastruktur dalam mewujudkan Smart City saling berlomba menunjukkan kemampuan dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Tentu saja semangat ini didorong oleh keinginan untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi warganya, membuat kota semakin efektif dan efisien serta meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan penghasilan. Smart City menjadi salah satu platform (wadah) dan alat kolaborasi bagi berbagai pihak (industri, edukasi, pemerintah dan komunitas) untuk membantu kota memberikan pelayanan yang lebih baik kepada warganya. Sebagai pilot project kota terkreatif se Asia Timur versi British Council tahun 2007, kota Bandung menjadi tertantang untuk menyediakan sarana pelayanan publik yang lengkap dengan memaksimalkan semua infrastruktur yang ada serta kreatifitas untuk member manfaat lebih terhadap semua pembangunan di Bandung. Sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat, menjadikan Bandung sangat berkepentingan untuk menjadi sebuah role model sebagai kota yang memiliki pelayanan publik yang baik. Ditambah keinginan untuk mewujudkan Bandung sebagai Smart City , menjadikan kota Bandung sangat berusaha untuk
84| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung mengoptimalkan pemanfaatan ruang publik, sarana transportasi, dan penyediaan fasilitas publik sebagai fokus utamanya. Hal ini diperkuat juga dengan kebijakan wali kota Ridwan Kamil yang sangat kreatif dalam memberi suntikan ide untuk mewujudkan Smart city di Bandung. Sebagai perwujudan awal konsep Smart City diarahkanlah kebijakan pembangunan kota Bandung yang lebih berwawasan lingkungan. Caranya adalah dengan membangun dan membenahi taman-taman, dan mendorong masyarakat untuk mengembangkan gaya hidup yang ramah lingkungan seperti menggunakan sepeda dalam beraktivitas. Dilain pihak, penggunaan teknologi merupakan komponen penting lainnya mendorong terwujudnya Smart City. Penggunaan teknologi menjadi “infus” suatu kawasan atau daerah yang membutuhkan sebuah informasi untuk diperoleh dengan sangat cepat, murah dan efisien. Ilmu pengetahuan seperti teknologi informasi dan komunikasi, transportasi, teknologi proses dan manufaktur, control system dan sebagainya memegang peranan dalam mewujudkan konsep Smart City. Tentu saja hal ini yang dilakukan oleh pemerintah kota Bandung. Dengan merujuk budaya tanah Sunda, Bandung mentransformasi dirinya menjadi Smart city yang berwawasan lingkungan dan berbudaya sehingga pada akhirnya setiap warga kota bisa melakukan apa saja sesuai dengan kebutuhan. Tujuan dan Manfaat Tujuan penulisan melalui penjabaran berbagai pelaksanaan
konsep Bandung Smart City adalah sebagai berikut: a. Dapat melihat usaha pemerintah kota Bandung untuk menerapkan good governance melalui Bandung Smart City; b. Memberikan gambaran semangat perubahan mewujudkan Bandung Smart City melalui pelibatan semua pihak; c. Menjadi contoh baik dalam penyelenggaraan layanan publik. Tentu saja dengan begitu akan diperoleh manfaat sebagai berikut: a. mendapat informasi yang lebih banyak tentang proses pelaksanaan perbaikan pelayanan publik melalui konsep smart city di kota Bandung; b. membuka wawasan bahwa pemerintah daerah telah banyak berusaha untuk merubah paradigma layanan publik; c. mendapat gambaran yang baik terhadap perubahan layanan publik yang selanjutnya dapat direplikasikan. Perumusan Masalah Perbaikan pelayanan publik tentu berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah kota Bandung sampai pada pemecahan permasalahannya, oleh karena itu diperlukan perumusan masalah sebagai berikut: a. Memahami kembali konsep good governance yang menjadi panduan perbaikan layanan publik; b. Menyajikan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah kota Bandung dalam melakukan layanan kepada masyarakat; c. Mengurai perbaikan pelayanan publik kota Bandung yang dilakukan dengan inovasi sektor publik;
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |85
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung METODE PENULISAN Pendekatan penulisan ini menggunakan metode deskriptif analitis, dimana menjelaskan pelaksanaan konsep Smart City di kota Bandung dengan pemperhatikan pelaksanaan pelayanan publik sebagai data untuk dianalisis. Data didapat melalui data sekunder yang berasal dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya ditambah data terkini yang sudah banyak tersebar. Selanjutnya penerapan good governance dengan konsep Smart City di kota Bandung diharapkan dapat menginspirasi bagi pemerintah daerah lain untuk melakukan perbaikan dalam layanan terhadap masyarakat. TINJAUAN PUSTAKA Inovasi Dan Perubahan Paradigma Layanan Publik Dewasa ini paradigma layanan publik yang dilakukan pemerintah daerah di Indonesia telah terjadi perubahan yang signifikan. Aparatur pemerintah saat ini telah sadar betul akan pentingnya kepuasan masyarakat terhadap layanan yang diberikan oleh mereka. Tentu saja untuk melakukan perbaikan diperlukan perubahan mindset dan inovasi yang berlandaskan kepuasan masyarakat sebagai penerima langsung terhadap layanan yang diberikan oleh pemerintah. Konsep inovasi sendiri telah banyak dikembangkan oleh berbagai pihak untuk mendukung sisi perubahan yang dilakukan. Berbicara tentang inovasi administrasi Negara, memang tidak bisa
secara langsung memberikan pengertian berdasarkan pengertian kata perkata. Konsep inovasi administrasi Negara telah disusun oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) setelah merujuk dari beberapa pendapat ahli. Jika disamakan dengan inovasi sektor publik, maka Albury pernah mengungkapkan inovasi dalam sektor publik adalah 'ide-ide baru yang bekerja'. Jika dikaitkan dengan bidang administrasi publik, Prof. Agus Dwiyanto mengungkapkan bahwa inovasi bidang administrasi publik adalah setiap bentuk transformasi gagasan dan pengetahuan baru yang mampu menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi publik. Oleh karena itu LAN mendeskripsikan inovasi administrasi Negara merupakan proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu kebijakan oleh penyelenggara kepentingan publik untuk memenuhi kepentingan publik yang memiliki unsur kebaruan serta kemanfaatan 1. LAN juga telah menentukan pengelompokan inovasi berdasarkan jenisnya seperti Inovasi proses (process innovation), Inovasi metode (method innovation), Inovasi produk (product innovation), Inovasi konseptual (conceptual innovation), Inovasi teknologi (technology innovation), Inovasi struktur organisasi (organizational structure innovation), Inovasi hubungan (relationship innovation), Inovasi pengembangan sumber daya manusia (human resources development innovation). Melirik ke delapan jenis inovasi tersebut, dalam praktek upaya
Tertuang dalam Laporan Akhir Pengembangan Dan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara 86| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 1
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung mewujudkan konsep Smart city yang saat ini sangat digembar-gemborkan tentu saja semuanya akan saling terkait. Tetapi konsep smart city secara langsung sering dikaitkan penerapannya dengan e-government. dengan kata lain lebih berat kepada inovasi teknologi. Inovasi teknologi sendiri menurut konsep inovasi administrasi negara adalah inovasi yang ditujukan untuk penciptaan atau penggunaan dari teknologi baru yang lebih efektif dan mampu memecahkan masalah. Ruang lingkup dari inovasi teknologi biasanya dilakukan melalui introduksi e-government dan pembaruan peralatan atau perangkat untuk menunjang pekerjaan terutama mewujudkan perbaikan pelayanan publik. Praktek pewujudan inovasi teknologi adalah e-government. Menurut Yohanitas (2013) konsep eGovernment yang saat ini ramai dibicarakan. Salah satu kemanfaatan eGovernment adalah memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan bernegara. Clay G. Wescott (Pejabat Senior Asian Development Bank) ketika mempelajari penerapan e-government di Asia Pasifik menyebutkan bahwa implementasi e-government menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk mempromosikan pemerintahan yang lebih efisien dan penekanan biaya yang efektif, kemudahan fasilitas layanan pemerintah serta memberikan akses
informasi terhadap masyarakat umum, dan membuat pemerintahan lebih bertanggung jawab kepada masyarakat. E-Government merupakan sistem teknologi informasi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam memberikan pilihan kepada masyarakatnya kapan dan dimanapun mereka bisa mendapatkan kemudahan akses informasi dan layanan yang pemerintah berikan kepadanya. Hal ini merupakan salah satu bentuk fungsi pemerintah untuk memberikan alternatif channel pilihan melalui teknologi informasi (media internet ) ini. Penerapan e-government tidak dapat di pisahkan dengan kemampuan dan kesiapan manajemen dan SDM terutama dari Pemerintah Daerah. Lembaga Administrasi Negara mengidentifikasi kunci sukses pengembangan e-Government Pemerintah Daerah2 bukan hanya pada penggunaan teknologi akan tetapi tergantung juga pada faktor lain, yaitu: kepemimpinan, kesiapan infrastruktur, kesinambungan informasi, kualitas sumber daya manusia (SDM), dan dukungan masyarakat. Dari sini terlihat bahwa keberhasilan e-government juga bergantung pada organisasi pemerintah, kesiapan sarana prasarana dan juga dukungan masyarakat. Pengorganisasian birokrasi yang baik dapat membantu kesuksesan dalam pengembangan e-government instansi pemerintah. Terwujudnya egovernment, yang diharapkan dapat membawa manfaat dalam memberdayakan masyarakat melalui peningkatan akses ke informasi, meningkatkan layanan pemerintah
Tertuang dalam Buku Referensi Perancangan Pembangunan Teknologi Informasi Pemerintah Daerah (Local e-Gov Grand Desain) pada Bab II Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |87
2
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung kepada masyarakatnya, mempererat interaksi kalangan bisnis dengan pemerintah dalam industri terkait, memperbaiki pengelolaan pemerintahan yang lebih efisien dan transparan. Pada kenyataannya realisasi e-government di Indonesia menghadapi banyak tantangan baik dalam hal geografi, ekonomi, teknologi, maupun budaya. E-government juga merupakan sebuah proses bagi demokratisasi karena dapat memotong jalur birokrasi. Hal ini sesuai dengan tujuan e-government yaitu untuk meningkatkan akses warga negara terhadap jasa-jasa layanan publik pemerintah, meningkatkan akses masyarakat ke sumber-sumber informasi yang dimiliki pemerintah, menangani keluhan masyarakat yang pada akhirnya pemerintahan yang baik (good governance) dapat diwujudkan. Menurut Rasyid (2000), dalam rangka penerapan good governance dan e-government, terdapat empat prinsip dasar yang perlu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan profesionalitas untuk peningkatan layanan dan pemberdayaan masyarakat. 3 Instansi pemerintah harus menyiapkan legalitas penerapannya agar dapat terlaksana. Kemudian dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka tentang proses pelaksanaan program pelayanan publik sebagai dasar menilaian atas kinerja pemerintah nantinya. Tentu saja semua itu harus dilasanakan secara profesional demi perbaikan pelayanan. Untuk melaksanakan itu semua, instansi pemerintah tidak menutup
kemungkinan untuk memberdayakan masyarakat sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam memberi perubahan/ inovasi terhadap program kegiatan pemerintah. Terdapat tiga faktor penting mengapa “e-government” yang diterapkan pada konsep Smart City berpengaruh dalam pembangunan masyarakat jaringan (network society): (1) Elektronisasi komunikasi antara sektor publik dan masyarakat menawarkan bentuk baru partisipasi dan interaksi keduanya. Waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat, disamping tingkat kenyamanan pelayanan juga semakin tinggi. Disamping itu bentuk transaksi baru ini akan menyebabkan tingginya tingkat pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah; (2) Cyberspace dalam pelayanan publik memungkinkan penghapusan struktur birokrasi dan proses klasik pelayanan yang berbelit-belit. Tujuan realistis yang hendak dicapai melalui cyberspace adalah efisiensi pelayanan dan penghematan finansial. Disamping itu, informasi online dalam pelayanan publik dapat meningkatkan derajat pengetahuan masyarakat mengenai proses dan persyaratan sebuah pelayanan publik; (3) e-government menyajikan juga informasi-informasi lokal setempat. Penggunaan internet dalam sektor publik akan memungkinkan kemampuan kompetisi masyarakat lokal dengan perkembangan internasional dan global. Dengan demikian terlihat jelas bahwa inovasi teknologi menjadi
Tertuang dalam Peranan E-Government dalam Kepemerintahan yang baik) pada Era Otonomi mewujudkan Good governance (Tata Daerah. 88| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 3
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung pondasi bagi praktik perwujudan smart city yang juga mempraktikkan pelaksanaan e-government. Smart City Dalam Mewujudkan Good Governance Sebuah kota dikatakan Smart jika kota tersebut dapat merasakan (sensing) keadaan didalam kota, memahami (understanding) keadaan tersebut lebih jauh, dan melakukan aksi (acting) terhadap permasalahan tersebut. Tujuan dari adanya Smart city adalah untuk membentuk suatu kota yang aman, nyaman bagi warganya serta memperkuat daya saing kota dalam hal perekonomian. Dengan kata lain untuk menunjang kota di dalam dimensi sosial (keamanan), ekonomi (daya saing) dan lingkungan (kenyamanan). Dalam membangun smart city, Variabel utama pengukurannya terletak pada sektor strategis seperti energi, industri, lingkungan hidup, pariwisata, kepemerintahan, pendidikan serta perdagangan. Dalam konsep smart city, data dan informasi yang dimiliki oleh masyarakat, data yang dimiliki pemerintah harus dijamin aman. Tentu saja data-data strategis harus dapat terlindungi, sedangkan data yang perlu diinformasikan kepada publik harus dapat diinformasikan secara terang benderang. Oleh karena itulah pengembangan teknologi dalam mewujudkan smart city ini harus dilakukan secara bersama-sama. Kemandirian dan keberpihakan pemerintah harus ada untuk mewujudkan Smart city sehingga masyarakat melakukan peranannya sebagai pelaku pembangunan, jangan sampai kita menjadi penonton dari teknologi yang datang dari luar. Dalam
penerapannya, smart city diperlukan kemampuan yang prima dari Sumber daya manusia yang ada dipemerintahan dan masyarakatnya. Peningkatan kemampuan sangat perlu dilakukan bersamaan dengan sistem dan manajemen inovasi sehingga pada akhirnya Smart City menjadi sebuah sistem yang efektif dan efisien untuk mewujudkan good governance. Tentu saja hal ini dilakukan untuk memberikan layanan publik yang handal bagi masyarakat. Konsep good government mungkin sudah banyak perkembangannya. Istilah ini memang sudah tidak asing lagi. Bahkan sekarang sudah meningkat sampai Whole of government Approach dimana seluruh komponen pemerintah terlibat dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Dan prinsip prinsip good governance menjadi dasar yang dapat membantu pelaksanaannya sehingga pada akhirnya pelayanan publik menjadi lebih baik. Terkait dengan good governance tentu saja kita harus memahami pengertian dan beberapa perbedaan antara kepemerintahan (governance) dan pemerintah (government). Dalam buku Etika Pemerintahan, Syafei (2011) merangkum pengertian pemerintah dan pemerintahan dari berbagai ahli. Menurut Woodrow Wilson dalam Syafei (2011), pemerintah adalah pengorganisasian kekuatan, tidak selalu berhubungan dengan organisasi kekuatan angkatan bersenjata, tetapi dua atau sekelompok orang dari sekian banyak kelompok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk mewujudkan maksudmaksud bersama mereka, dengan halhal yang memberikan keterangan bagi
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |89
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung urusan-urusan umum kemasyarakatan. Menurut Robert Mac Iver dalam Syafei (2011), pemerintah merupakan suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan, bagaimana manusia itu bisa diperintah. Menurut Samuel Edwar dalam Syafei (2011), pemerintah harus mempunyai kegiatan terus-menerus, negara tempat kegiatan itu berlangsung, pejabat yang memerintah dan cara, metode serta sistem dari pemerintah terhadap masyarakat. Menurut Inu Kencana Syafei (2011), Pemerintah adalah Suatu organisasi dari orang-orang yang memiliki kekuasaan, yang kemudian atas kekuasaannya tersebut dapat memerintahkan anggota atau masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya. Dapat disimpulkan bahwa pemerintah adalah Organisasi yang memiliki kekuasaan untuk memerintah anggota atau masyarakat untuk mewujudkan urusan urusan tertentu dengan cara, metode serta sistem tertentu. Pemerintahan menurut Apter dalam Syafei (2011) adalah suatu anggota yang paling umum yang memiliki (a) tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya itu adalah bagian dan (b) monopoli praktis mengenai kekuasaan paksaaan. Menurut C. F. Strong dalam Syafei (2011), pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, oleh karena itu pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua yaitu harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undangundang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan dalam hal keuangan
(finansial) atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai ongkos keberadaan negara dalam penyelenggaraan peraturan, hal tersebut digunakan dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara. Lalu menurut Inu Kencana Syafei (2011), Pemerintahan adalah kelompok orang-orang tertentu yang secara baik dan benar serta indah melakukan sesuatu (eksekusi) atau tidak melakukan sesuatu dalam mengkoordinasikan, memimpin dan hubungan antara dirinya dengan masyarakat, antara departemen serta unit dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Maka dapat disebut bahwa kepemerintahan adalah kelompok orang-orang tertentu yang secara baik dan benar melakukan koordinasi, memimpin serta menjalin hubungan dengan masyarakat, departemen dan unitnya yang secara bertanggungjawab dengan sistem tertentu dalam penyelenggaraan sesuai dengan kepentingan Negara. OECD dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi investasi, menghindarkan korupsi/ KKN baik secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaaan legal and plotical framework bagi tumbuhnya wiraswasta. Menurut UNDP dalam Najwa (2012) mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip-prinsip; partisipasi,
90| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta visi stratejik. Menurut UNDP dalam Najwa (2012) mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsipprinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta visi stratejik. J.B.Kristiadi dalam Najwa (2012) berpendapat bahwa good governance dicapai melalui pengaturan yang tepat diantara dua fungsi pasar dan fungsi organisasi termasuk organisasi publik, sehingga tercapai transaksi transaksi dengan biaya rendah. Mustopadidjaja dalam Najwa (2012) berpandangan bahwa kredibilitas manajemen Pemerintahan pada negara-negara Demokratis Konstritusional ditentukan oleh kompetensinya dalam pengelolaan kebijakan publik dan good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan Negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Merujuk Peraturan Pemerintah No.101 tahun 2000, good governance perlu memenuhi prinsip prinsip profesionalitas, akutanbilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Secara rinci adalah sebagai berikut: (1) Akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai pertanggungjawabannya; (2) Transparan,
artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan; (3) Responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu melayani semua stakeholder; (4) Setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan; (5) Efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdayasumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik; (6) Mengikuti aturan hukum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan; (7) Partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak aktor; (8) Berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat. Good governance sebenarnya menunjuk pada suatu penyelenggaraan negara yang bertanggung jawab serta efektif dan efisien dengan menjaga kesinergisan interaksi konstruktif diantara institusi negara/ pemerintah (state), sektor swasta/ dunia usaha (private sector) dan masyarakat (society). Dengan begitu kesejajaran hubungan antara domain negara, sektor swasta/ dunia usaha dan masyarakat menjadi sangat penting. Oleh karena itu ketiga domain tersebut berada pada posisi yang sederajat dan saling kontrol untuk menghindari penguasan atau eksploitasi oleh satu domain terhadap domain lainnya.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |91
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung Tetapi sebagai tonggak untuk mewujudkan good governance perlu juga mewujudkan clean governance. Sebab untuk menciptakan pemerintahan yang baik dalam diri birokrat harus ada komitmen bersih (clean) terlebih dahulu, apabila tidak maka percuma saja. Secara harfiah clean government sendiri dapat diartikan sebagai pemerintahan yang bersih, yaitu bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta permasalahanpermasalahan yang lain terkait dengan pemerintahan. Menyadari betapa pentingnya arti mewujudkan kepemerintahan yang baik, maka aparatur negara dituntut harus mampu meningkatkan kinerja. Sasaran yang menjadi prioritas adalah mewujudkan pelayanan masyarakat yang efisien dan berkualitas, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan perhatian pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan secara signifikan melalui manajemen perubahan menuju ke arah penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, yang disertai pelibatan masyarakat terhadap program program pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Terkait dengan pelibatan masyarakat, ada konsep yang berkembang pada tahun 1980 yang saat ini mulai marak di perbincangkan lagi di Inggris. Konsep ini menurut Mario (2013) menekankan pada partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pelayanan publik sehingga masyarakat dapat merasakan kualitas pelayanan publik yang maksimal. Konsep yang dikenal dengan coproduction (kooproduksi) ini dibangun oleh para pakar administrasi publik dan para elite politik agar dapat
menjelaskan kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan masyarakat dalam penyeliaan pelayanan barang dan jasa. Kooproduksi mengkonseptualkan pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun proses, dimana pemerintah dan masyarakat membagi tanggungjawab (conjoint responsibility) dalam menyediakan pelayanan publik. Kedua belah pihak bertindak sebagai bagian dari pemberi layanan tersebut, yang pada intinya memiliki kepentingan untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat. Selain itu kelompok penggerak program kooproduksi di Skotlandia (Scottish Coproduction Network) mendefinisikan kooproduksi sebagai hubungan antara penyedia layanan dan pengguna jasa yang mengacu pada pengetahuan, kemampuan dan sumber daya kedua untuk mengembangkan solusi untuk masalah yang yang diharapkan akan dapat berhasil, berkelanjutan dan hemat biaya, mengubah keseimbangan kekuasaan dari profesional terhadap pengguna jasa. Pada tingkat sederhana, kooproduksi adalah tentang melibatkan orang dalam pemberian pelayanan publik, membantu mengubah hubungan mereka dengan layanan dari ketergantungan untuk benar-benar mengambil kendali. Dengan kata lain bertujuan untuk menggabungkan dan memperkuat berbagai jenis pengetahuan dan pengalaman, mengubah keseimbangan kekuasaan dari profesional terhadap pengguna jasa. Dalam kooproduksi terjadi proses dialog aktif dengan melibatkan pengguna layanan publik dan juga para petugas pemberi layanan publik. Dengan begitu output yang dihasilkan berupa kesepakatan untuk melakukan
92| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung perubahan kearah yang lebih baik terhadap layanan publik yang diberikan. Caranya adalah dengan memadukan sumberdaya yang ada dan tidak hanya sekadar memberikan saran saja. Sebuah organisasi sosial di inggris (social care institute for excellence/ SCIE) mengungkapkan bahwa kooproduksi memiliki prinsip kesetaraan, keberagaman, aksesibilitas dan timbal balik yang selanjutnya harus direalisasikan ke dalam tindakan. Lalu untuk menerapkan kooproduksi sebagai manajemen perubahan organisasi, SCIE mengungkapkan bahwa perlu dilakukan 4 pendekatan yaitu 1) budaya(culture), yaitu keyakinan dan nilai-nilai yang menentukan sebuah organisasi dan cara kerjanya; 2) struktur (structure) yaitu cara organisasi diatur dan sistem telah dibentuk untuk melaksanakan tugasnya; 3) praktik (practice) yaitu bagaimana organisasi dan orang-orang yang bekerja untuk itu melaksanakan pekerjaan mereka; 4) Ulasan (review) - memantau bagaimana pekerjaan dilakukan dan hasil atau dampak yang dihasilkan dari pekerjaan. Keempat pendekatan ini menjadi pertimbangan penting karena organisasi harus berubah pada setiap tingkat dari manajemen senior untuk staf garis depan jika mereka ingin mencapai partisipasi yang berarti, partisipasi harus menjadi bagian dari praktek sehari-hari. Pada akhirnya partisipasi beroperasi pada tingkat yang berbeda karena ada banyak cara untuk melibatkan orang-orang yang menggunakan layanan dalam berbagai jenis keputusan. Salah satu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik adalah mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi melalui
otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat melalui e-government sebagai salah satu aplikasi dari teknologi informasi. Konsep Smart City dapat menjadi praktik baik yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik tersebut. Setelah menyaring dari beberapa literatur, Gunawan (2016) berpendapat bahwa Smart City merupakan suatu konsep pengembangan dan pengelolaan kota dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk memonitor dan mengendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Sudah sangat jelas konsep Smart City ini dimaksudkan untuk mempermudah segala urusan dengan dukungan konektivitas tinggi dari pemanfaatan Teknologi Informasi (TI). Dengan kata lain Smart City adalah sebuah konsep kota cerdas atau pintar yang membantu masyarakat kota mengelola sumber daya yang ada dengan efisien dan memberikan informasi yang tepat guna kepada masyarakat atau lembaga dalam melakukan aktivitas secara real time. Bandung Smart City merupakan sebuah konsep kota yang memiliki konektifitas yang terintegrasi dalam berbagai bidang hingga memberikan dampak praktis dan efisiensi dalam pengelolaan kota. Segala permasalahan kota mulai dari kemacetan, penumpukan sampah, jalan rusak, keadaan kontur tanah suatu daerah,
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |93
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung dan lainnya dapat secara real time diketahui dan dicari solusi terbaiknya dengan cepat. Tentu saja aplikasinya memerlukan teknologi yang saling terintegrasi pula. PEMBAHASAN Realisasi Bandung Smart City Penerapan e-government dalam mewujudkan Smart city tentu menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan layanan pemerintah kepada masyarakat, mempererat interaksi kalangan bisnis dalam industri terkait, pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan akses ke informasi, sehingga pengelolaan pemerintahan yang lebih efisien dapat tercapai. Untuk lebih meningkatkan penggunaan teknologi informasi di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Keppres No. 50/2000 tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia yang selanjutnya dikuatkan dengan Inpres No. 6/2001 tentang Acuan dan Landasan Pengembangan Telematika di Indonesia. Smart city ini sendiri juga menyediakan teknologi informasi sebagai alat bantu yang pemanfaatannya untuk membuat roda pemerintahan dan layanan masyarakat dapat berjalan lebih efisien. Dengan kata lain, dilakukannya percepatan proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Pembangunan Bandung saat ini diarahkan untuk membangun kota yang lebih berwawasan lingkungan.
Ridwan Kamil sebagai walikota Bandung (2013-2018) sangat kreatif dalam memberi suntikan ide untuk mewujudkannya melalui konsep Bandung Smart City. Teknologi tentu saja menjadi komponen penting mendorong terwujudnya smart city. Disamping itu pemanfaatan ruang publik, sarana transportasi, dan penyediaan fasilitas publik menjadi konsentrasi tersendiri oleh pemerintah kota Bandung dalam mewujudkan Bandung Smart City. Dalam mewujudkan Bandung Smart city, maka pemerintah kota Bandung merasa perlu untuk membangun dimensi utama yang terdiri dari enam yaitu 4: 1. Ekonomi Pintar (Smart Economi) Smart Economy atau ekonomi cerdas mencakup inovasi dan persaingan, jika semakin banyak inovasi-inovasi baru yang dikembangkan maka akan menambah peluang usaha baru dan meningkatkan persaingan pasar usaha/ modal. 2. Lingkungan Pintar (Smart Environment) Smart mobility termasuk pada transportasi dan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur diwujudkan melalui penguatan system perencanaan infrastruktur kota, pengembangan aliran sungai, peningkatan kualitas dan kuantitas air bersih, pengembangan sistem transportasi, pengembangan perumahan dan permukiman, dan peningkatan konsistensi pengendalian pembangunan infrastruktur.
Tertuang dalam Konsep Bandung Smart City oleh Winda Gunawan (2016) 94| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 4
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung 3. Mobilitas Pintar (Smart Mobility) Lingkungan pintar berarti lingkungan yang bisa memberikan kenyamanan, keberlanjutan sumber daya, keindahan fisik maupun non fisik, visual maupun tidak, bagi masyarakat dan publik. Menurut undang-undang tentang penataan ruang, mensyaratkan 30 % lahan perkotaan harus difungsikan untuk ruang terbuka hijau baik privat maupun publik. Lingkungan yang bersih tertata merupakan contoh dari penerapan lingkungan yang pintar. 4. Masyarakat Pintar (Smart People) Pembangunan senantiasa membutuhkan modal, baik modal ekonomi (economic capital), modal manusia (human capital) maupun modal sosial (social capital). Kemudahan akses modal dan pelatihan-pelatihan bagi UMKM dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan mereka dalam mengembangkan usahanya. 5. Kehidupan Pintar (Smart Living) Berbudaya, berarti bahwa manusia memiliki kualitas hidup yang terukur (budaya). Kualitas hidup tersebut bersifat dinamis, dalam artian selalu berusaha memperbaiki dirinya sendiri. Pencapaian budaya pada manusia, secara langsung maupun tidak langsung merupakan hasil dari pendidikan. Maka kualitas pendidikan yang baik adalah jaminan atas kualitas budaya, dan atau budaya yang berkualitas merupakan hasil dari pendidikan yang berkualitas. 6. Pemerintah Pintar (Smart Governance) Kunci utama keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan
adalah Good governance. Yaitu paradigma, sistem dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang mengindahkan prinsip-prinsip supremasi hukum, kemanusiaan, keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, profesionalitas, dan akuntabilitas ditambah dengan komitmen terhadap tegaknya nilai dan prinsip “desentralisasi, daya guna, hasil guna, pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan berdaya saing”. Prioritas pelaksanaan program dibutuhkan untuk membangun Bandung Smart City dilakukanlah penyesuaian penerapan IT di Kota Bandung. Karena Smart City yang akan diterapkan di Kota Bandung menitikberatkan pada pemanfaatan teknologi masa kini untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat Kota Bandung. Tentu saja realisasinya saat ini sudah dapat terlihat dan dirasakan oleh masyarakat. Untuk mewujudkannya tentu saja perlu mengembangkan program kerja yang inovatif dengan menerapkan desentralisasi untuk memotong birokrasi yang dapat menghambat percepatan pelaksanaannya. Selain itu perlu dilakukan kolaborasi dengan semua pihak baik dari pemerintah pusat, pihak swasta dan juga masyarakat. Semua itu dilakukan mulai dari perencanaan, proses pelaksanaan program, sampai ke monitoring dan evaluasi program. Kebijakan pemerintah daerah serta peran serta masyarakat diperlukan untuk mewujudkannya. Seperti yang dijelaskan sampaikan Ridwan Kamil dalam presentasinya yang dipublikasikan dalam
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |95
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung sustainabledevelopment.un.org bahwa dalam pelaksanaan Bandung Smart City perlu beberapa tahapan yaitu : 1) pembangunan infrastruktur dalam artian memberikan akses internet untuk semua; 2) mengembangkan smart government dalam artian pemerintahan berorientasi teknologi; 3) pelaksanaan open government dalam artian mewujudkan transparansi, berbagi dan berkolaborasi; 4) pemberdayaan dalam artian pemanfaatan internet , keterlibatan masyarakat, menghidupkan industri digital; 5) Technopolis dalam artian mewujudkan Zona Ekonomi Eksklusif berbasis ICT. Beberapa program yang dilakukan untuk merealisasikannya adalah sebagai berikut: 1. Pengadaan layanan akses internet di ruang terbuka publik melalui 10,000 free wifi access point Ruang terbuka publik di kota Bandung saat ini sudah banyak dibangun. Ini terbukti dengan munculnya taman tematik yang diperuntukkan bagi masyarakatnya. Tentu saja untuk memanjakan masyarakatnya beberapa taman saat ini telah terpasang access point yang bisa digunakan secara gratis. Selain itu beberapa tempat lain juga sudah terpasang access point tersebut. Dengan demikian, fungsi taman sebagai ruang publik pun akan kembali dengan sendirinya. Selain itu dipasang juga Fasilitas serupa juga dibangun di tempat-tempat ibadah, seperti masjid, gereja dan lainnya. Cara seperti ini akan memudahkan masyarakat dalam mengakses internet meski sedang beribadah. Selain akses penyediaan akses internet di ruang publik. Sampai saat ini telah lebih dari 5000 access
point yang telah disediakan pemerintah kota Bandung. meskipun masih dibawah target. 2. Pengembangan Aplikasi Kota Bandung Sampai saat ini sudah lebih dari 300 aplikasi kota yang dapat di manfaatkan oleh masyarakat. Salah satu aplikasi yang sangat membantu adalah ‘aplikasi panic button’. Aplikasi ini dapat diunduh dan di install di Smartphone. Tentu saja sebagai syarat awal pengguna terlebih dahulu mengisi data pribadi yang akurat disertakan dengan nomor telepon orang terdekat yang bisa dihubungi. Pengguna dapat melaporkan peristiwa darurat apapun melalui aplikasi. Untuk menggunakannya pemohon bantuan harus memencet 3 kali tombol panik di layar Smartphone. Pemohon bantuan akan langsung terlacak di Bandung Command Centre. Lalu polisi di Command Center akan segera mengirimkan petugas ke lokasi. Kurang dari 3 menit, petugas akan langsung datang. Pengembangan aplikasi ini nantinya akan memungkinkan penggunaan audio untuk pelaporannya. Tentu saja aka nada tombol tambahan yang rencananya dilempar ke pasaran dengan harga jual sekitar Rp 50.000. Dalam prakteknya penggunaan aplikasi panic button memerlukan kerjasama dengan Kepolisian, karena lebih fokus kepada keamanan. Contoh lainnya adalah Sistem penilaian Camat secara online, Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung memulai inisiatif open government yang dapat diisi sendiri oleh warga kota. Sistem pengelolaan dana bantuan sosial (bansos) online yang lebih transparan; siapa saja yang mengajukan, siapa saja
96| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung penerimanya, dan untuk apa dana digunakan. Aplikasi banjir yang dapat memberikan informasi secara real time, sehingga petugas di lapangan dapat bekerja tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat. Aplikasi banjir ini terintegrasi dengan laporan cuaca. Debit air hujan dapat diukur di suatu titik. Tinggal dipantau kalau sensor salurannya merah, berarti ada yang tersumbat. Selanjutnya ada aplikasi pelayanan pajak digulirkan untuk mempermudah berkonsultasi dan memperoleh informasi terkait pelayanan pajak. Aplikasi tersebut dapat diakses di alamat situs sipp.disyanjak.bandung.go.id. Masyarakat bisa mendapatkan info seputar PBB, seperti pengecekan tagihan pajak, pengecekan NJOP, pendaftaran wajib pajak PBB jika ada pertambahan nilai, mutasi objek pajak, pembetulan data, serta pengurangan beban pajak sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Aplikasi ini didukung oleh Bus Pelayanan Pajak yang memberikan pelayanan konsultasi pajak dioperasikan di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota untuk melayani konsultasi pelayanan pajak di daerah. Bis ini belum melayani transaksi pembayaran pajak karena masih harus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait petugas pelayanan dan antisipasi keamanan. Sampai saat ini telah ada dua Bus pelayanan Pajak yang terdiri dari satu bis khusus untuk pelayanan pajak dan satu bis lainnya dipinjamkan ke Badan Pertanahan Nasional. 3. Kartu Bandung Pass atau Smart Card Kartu ini diperuntukkan bagi warga Bandung dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada warganya. Kartu multifungsi tersebut bisa digunakan warga dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan hidup lainnya. Sistem ini diciptakan untuk mempercepat proses pelayanan Pemkot Bandung kepada masyarakat. Kartu yang dikembangkan oleh Telkom ini nantinya memiliki basis data penduduk Kota Bandung. Kartu ini juga dapat digunakan untuk pembayaran transportasi bus Trans Metro Bandung untuk membayar uang parkir di beberapa tempat, seperti pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan. Teknologi untuk membangun fasilitas-fasilitas tersebut telah disiapkan. Untuk pengembangan selanjutnya dilakukanlah komunikasi dengan Perusahaan Daerah (PD), seperti PD Pasar dan PD Kebersihan. Dengan PD Pasar, kerja sama akan dilakukan berupa penggunaan Smart Card di toko-toko yang berada di pasar tradisional. Sedangkan dengan PD Kebersihan, kerja sama dilakukan dengan aktivasi bank-bank sampah di tingkat kelurahan. Saat ini Smart Card didukung oleh lima bank lainnya, yakni Bank Mandiri, Bank BNI, Bank Mega, Bank BCA, dan Bank BRI. Tahap awal peluncuran Bandung Smart Card ini adalah pengganti alat beberapa jenis pembayaran. 4. Pelayanan publik lewat jaringan sosial media seperti twitter Pola komunikasi konvensional dan kaku sudah bukan jamannya lagi. Penerapkan gaya komunikasi dengan memanfaatkan media sosial seperti facebook dan twitter patut diterapkan. Pola interaksi dengan bahasa banyolan yang lucu inilah yang digunakan Walikota Bandung Ridwan Kamil untuk menyapa warganya. Dari interaksi ini
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |97
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung seringkali muncul ide-ide inovatif untuk mengatasi keluhan, aduan dan menampung aspirasi warganya. Hasilnya, terciptalah Unit Reaksi Cepat Tambal Jalan yang bisa langsung diterjunkan untuk mengatasi berbagai kerusakan jalan di seputaran Bandung tanpa harus melalui proses pengadaan barang dan jasa yang rumit dan panjang. Melalui media sosial pula digalang semangat altruisme warga dengan membentuk relawan-relawan sosial, seperti relawan biopori, relawan pemungut sampah, dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena warga Bandung itu baik-baik dan menginginkan kebaikan dan dia mengambil peran sebagai perpanjangan tangan warga kota Bandung. 5. Setiap dinas memiliki data digital Data digital memang sangat perlu untuk melengkapi serta memudahkan pemerintah. terutama dalam melaksanakan pelayanan langsung kepada masyarakat. Data digital ini dituangkan dalam database yang tentusaja dapat di buat aplikasi juga yan kemudian dapat menjadi bagian dari proses pengembangan aplikasi kota yang saat ini terus meningkat. 6. Smart goverment dengan mengupgread sistem di pemerintahan dari paper ke paperless dengan sistem informasi yang user friendly. Untuk itulah dikembangkan berbagai sistem informasi terkait penyediaan informasi publik, pelayanan kemasyarakatan, pengaduan dan pelaporan, penginformasian agenda walikota, manajemen persuratan, dokumentasi dan informasi hukum, database kepegawaian terintegerasi, pendaftaran usaha periwisata, inventori data puskesmas, laporan kerja harian,
monitoring lapor (pengaduan), pengarsipan, dan lainnya. pada intinya teknologi informasi yang dibangun meliputi administrasi dan kesekretariatan; ekonomi, bisnis dan industri; kepegawaian; kependudukan; kesehatan; kewilayahan/ tata ruang; lingkungan hidup; pembangunan dan keuangan; pendidikan; pengelolaan aset; perijinan pembangunan kawasan; transportasi. 7. Bandung akan punya kota pintar yang akan dinamai Bandung Technopolis seluas 400 hektar. Kota pintar di Gede Bage itu nantinya akan menjadi prototype penerapan Smart city di Indonesia. Bandung Technopolis merupakan sebuah kawasan yang dikhususkan untuk mewadahi mereka yang pakar dan ingin mengembangkan bisnis dibidang teknologi informasi. Meskipun saat ini baru mendapatkan wilayah 400 hektar, kedepannya diproyeksikan sampai dengan 800 hektar. Dengan kata lain aka menjadi Central Business District (CBD) berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai langkah awal, pemerintah kota Bandung melakukan koordinasi dengan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Bandung, Dinas Perhubungan Bandung, Dinas Tata Ruang Cipta Karya (Distarcip) Bandung, DBMP Bandung, Diskominfo Bandung, beberapa camat dan lurah, Bagian Hukum dan Ham Bandung, lembaga swadata masyarakat (LSM), lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM), dan forum RT/RW terkait. 8. Bandung Command Center, Langkah Menuju Smart City Bandung Command Center merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah kota Bandung dengan IBM
98| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung dan Lembaga Afiliasi Penelitian Industri (LAPI) ITB. Saat ini, Bandung Command Center berfungsi sebagai pusat terkumpulnya data-data terkait dengan kebutuhan Bandung Smart City. Mulai dari SKPD, data dari masyarakat, sampai data dari internal ke luar, akan dipusatkan di sini. Aplikasi Panic button Bandung juga terhubung langsung dengan Bandung Command Center. Sebagai salah satu penunjang misi menuju kota pintar (Smart city) Pusat kendali Bandung Command Centre menjadi unsur utama. Di instalasi canggih ini, terdapat dua software dan aplikasi unggulan yakni Media Sosial Mapping dan Panic button. Media Social Mapping merupakan software canggih yang dihibahkan oleh pemerintah Norwegia sebagai uji coba. Piranti lunak ini mampu menangkap segala macam percakapan warga di media sosial facebook dan twitter yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik ataupun keluhan-keluhan warga terkait dengan infrastruktur. Mesin ini bisa mengatract percakapan warga. Dihitung per wilayah per isu masalah. Jika menklik isu macet akan muncul isu macet di kecamatan mana saja. Setelah keluhan-keluhan warga terpetakan sesuai wilayah. Pusat pengelolaan kota Bandung dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ditempatkan di kantor pemerintahan kota Bandung ini memiliki fungsi utama (a) untuk menyempurnakan pelayanan publik keluar dan (b) mempermudah pelayanan kedalam yakni manajemen pengambilan keputusan cepat. Dengan kata lain Bandung Command Center menjadi sumber informasi untuk
melakukan analisa dan pengambilan keputusan berdasarkan data lapangan yang konkret. Selain untuk menghasilkan data lapangan yang riil, Bandung Command Center ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengurus KTP, mengecek perizinan, dan melakukan monitoring kemacetan atau banjir. Proses pengawasan dan penyebaran informasinya pun dilakukan secara realtime. Bandung Command Center ini cukup banyak membantu Dinas Perhubungan Kota Bandung. Pasalnya, tingkat kemacetan di Kota Bandung yang dipengaruhi oleh peningkatan volume jumlah kendaraan pribadi terutama kendaraan bermotor (sepeda motor) menyumbang proporsi sebesar 62 %. Sementara mobil pribadi sebesar 15 %. Penambahan jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung mencapai 9,34 % per tahun sementara penambahan ruas jalan hanya sebesar 1,29 % per tahun menjadi faktor pendukung kemacetan di kota Bandung untuk itulah dipasang CCTV sebanyak 61 yang ditempatkan di 21 titik untuk mengawasi lalu lintas dan pelanggarannya. Penerapan konsep Bandung Smart City ini memeliki kelebihan seperti segala permasalahan kota mulai dari kemacetan, penumpukan sampah, jalan rusak, keadaan kontur tanah suatu daerah, dan lainnya dapat secara real time diketahui dan dicari solusi terbaiknya dengan cepat, masyarakatnya bisa saling terhubung, serta pemerintah dapat memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur kehidupan warganya dengan bantuan Informasi dan Teknologi. Dengan konsep ini pula potensi perekonomian di bidang jasa dan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |99
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung merupakan pusat bakat dibidang kreatif serta TI (Teknologi Informasi) dapat mempunyai kawasan internet yang stabil di pemerintah kota, sambungan internet yang murah di kawasan strategis, serta meningkatnya komunikasi paperless. Kekurangannya terletak pada perawatan infrastruktur yang telah dibangun dalam rangka mewujudkan Smart city. Selain itu petugas pelaksananya tidak beroperasi selama 24 jam. Tentu saja hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pengembangan inovasi teknologi. Masalah perekrutan dan penempatan sumberdaya manusia perlu diatasi dengan melakukan penambahan personil dan juga pembagian shift kerja yang tepat. Karena dalam implementasinya Smart city perlu melayani masyarakat selama 24 jam. SDM yang masih terbatas dapat diatasi dengan Keberadaan staf dari instansi lain dalam rangka untuk mempermudah koordinasi dan mempercepat tindak lanjut terkait data, informasi maupun kejadian yang berhubungan dengan instansinya. Dalam melakukan pengembangan kapasitas organisasi, pemerintah Kota Bandung bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang IT. Salah satunya adalah dengan LAPI ITB terkait pengadaan perangkat lunak (software). Sedangkan dalam hal pengembangan kapasitas sumber daya manusia, staf yang terlibat di BCC diikut sertakan dalam pelatihan mengenai perangkat lunak BCC yang diadakan oleh pihak penyedia software sesuai dengan kesepakatan ketika pengadaan barang dan jasa. Staf yang diikutkan baru sebatas pegawai dari Diskominfo dan operator BCC sejumlah 15 orang
(maksimal). Keterbatasan pengembangan SDM ini terkait pada anggaran dan kuota yang disediakan oleh penyedia software. Peran seorang pemimpin merupakan salah satu faktor kunci dalam manajemen implementasi kebijakan tidak terkecuali dalam mengembangkan smart city. Pada kenyataannya peran Walikota Ridwan Kamil merupakan faktor penentu keberhasilan. Karena memang inovasi ini berasal dari ide beliau. Untuk mengimplementasikan Smart city memang perlu sosok yang memiliki banyak ide cemerlang melahirkan banyak program inovasi untuk Bandung. Selain itu, media sosialisasi seperti media sosial akan sangat membantu proses tersampaikannya informasi mengenai program Smart city. Sehingga tidak mengherankan jika banyak pihak baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat yang ingin berkunjung ke Bandung untuk mengetahui praktiknya lebih jelas. Dalam implementasinya tentu saja kebijakan dalam bentuk Instruksi Walikota walaupun dari segi kedudukan lebih rendah dari peraturan daerah dan peraturan walikota sangat diperlukan. Ini menjadi modal atas eksistensi pengembangan Smart city yang dilakukan oleh kota Bandung. Contohnya Instruksi Walikota Bandung Nomor 002 Tahun 2013 Tentang Rencana Aksi Menuju Bandung Juara. Kebijakan ini mengintruksikan untuk membentuk kelompok-kelompok kerja yang dibagi berdasarkan ruang lingkup kerja tiga Asisten Daerah (Asisten Pemerintahan, Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan, dan Asisten Administrasi Umum). Pada ruang lingkup Asisten Administrasi
100| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung Perekonomian dan Pembangunan, diinstruksikan untuk membentuk kelompok kerja Bandung Smart City. didalam dokumen itulah dijelaskan rancangan arsitektur infrastruktur Smart city atau lebih khususnya merupakan bagian dari arsitektur server aplikasi dan database. Selain itu ada juga target roadmap Bandung Smart city yang ingin dicapai pada tahun 2014 yaitu tersedianya data realtime tentang sumber daya kota, pendidikan, lalu lintas, kesehatan, dan sosial. Hal ini sangat perlu disusun untuk menjamin legalitas dari program Smart city dan juga mendukung keberlanjutan program. Apalagi seluruh masyarakat melihat dan terlibat dalam proses pewujudan Bandung sebagai Smart City. PENUTUP Penerapan Bandung Smart City membuat pemerintah kota dapat mengawasi jalannya pekerjaan dan program pemerintah dengan mudah, karena semua saling terhubung. Selain itu dapat meminimalisiasi keterlambatan informasi serta dapat dijadikan acuan untuk mengevaluasi suatu program pemerintah. Konsep Bandung Smart City merupakan sebuah konsep kota yang memiliki koneksi terintegrasi dalam berbagai bidang hingga memberikan dampak praktis dan efisiensi dalam pengelolaan kota. Setiap penerapan teknologi tentu saja memerlukan konsekuensi seperti perlu adanya perawatan dan juga pengembangan lebih lanjut. Hal ini selalu menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemerintahan. Sebagai wujud dari penerapan good governance tentu saja Bandung Smart city harus mendapat perhatian
khusus seperti perawatan dan juga pengembangan lebih lanjut. Komitmen pemerintah kota Bandung diperlukan. Selain itu, masyarakat sebagai menikmat layanan tersebut harus terlibat dengan melakukan pengawasan pada setiap implementasi dari program pemerintah kotanya. Oleh karena itu diperlukan juga kebijakan yang mengikat seperti forum perencanaan program pemerintah yang mengajak masyarakat untuk sama sama menyusun pelayanan publik yang berkualitas dengan konsep smart city. Sehingga pada akhirnya proses pelaksanaan Smart city dapat terus berlanjut meski pemimpin daerah berganti. DAFTAR PUSTAKA --
Bandung. Tersedia Online (https://en.wikipedia.org/wiki/Ba ndung, diakses 9 Mei 2016)
--. 21 Maret 2016. Ridwan Kamil. Tersedia Online (http://profile.metrotvnews.com/ read/ 119/ ridwan-kamil , diakses 9 Mei 2016) ---. ---. Definisi dan Manfaat Utama EGovernment 2007. Tersedia online (http://rifaiza.wordpress.com/20 07/08/15/definisi-dan-manfaatutama-e-Government/ , diakses 3 Juli 2012) --.--. Peranan E-Government dalam mewujudkan Good governance (Tata Kepemerintahan yang baik) pada Era Otonomi Daerah. Tersedia Online (http://hukumislamuii.blogspot.com/2009/05/penge
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |101
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung rtian-good-governance-danclean.html, diakses 9 Mei 2016) ella, Susi. Andari, Rosita Novi. 2015. Pengembangan Bandung Command Center : Kebijakann dan peranannya dalam mengatasi permasalahan lalu lintas. PKP2A I-LAN. Sumedang. HMHI. ---. Pengertian Good governance Dan Clean Government. Tersedia Online (http://www.sumbarprov.go.id/d etail_artikel.php?id=439 , diakses 9 Mei 2016) Kamil, Ridwan. --. Smart City Bandung. Tersedia Online (https://sustainabledevelopment .un.org/content/documents/126 59kamil.pdf , diakses 9 Mei 2016) Lembaga Administrasi Negara. 2009. Buku Referensi Perancangan Pembangunan Teknologi Informasi Pemerintah Daerah (Local e-Gov Grand Desain). Lembaga Administrasi Negara. Jakarta Lembaga Administrasi Negara. 2014. Laporan Akhir Direktori Inovasi Administrasi Negara. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta Lembaga Administrasi Negara. 2015. Laporan Akhir Pengembangan Dan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta Mustopadidjaja AR. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publik. Jakarta: LAN- Duta Pertiwi Foundation Najwa, Rasyidahan. Desember 2012. Dasar- Dasar Good governance. Tersedia Online
(http://rasyidahannajwa.blogspo t.co.id/2012/12/dasar-dasargood-governance.html, diakses 10 Juni 2016) Prasetyono, Agus Puji. 29 April 2016. Urgensi Penelitian dan Pengembangan Teknologi di Bidang Smart City Tersedia Online (http://ristekdikti.go.id/urgensipenelitian-dan-pengembanganteknologi-di-bidang-Smart-city/, diakses 12 Agustus 2016) Rosadi, Dian. 17 Mei 2016. Begini konsep Smart city yang akan diterapkan di Bandung. Tersedia Online (http://bandung.merdeka.com/h alo-bandung/begini-konsepSmart-city-yang-akanditerapkan-di-bandung160517p.html, diakses 10 Juni 2016) Saputra, Hadi . 22 Januari 2012. Good governance (Kepemerintahan yang Baik). Tersedia online (https://lubmazresearch.wordpre ss.com/2012/01/22/goodgovernance-kepemerintahanyang-baik/, diakses 12 Agustus 2016) Syafiie, Inu Kencana, 2011. Etika Pemerintahan. Penerbit PT Rineka Cipta : Jakarta Gunawan, Winda. 05 Juni 2016. Konsep Bandung Smart City . Tersedia Online (http://windagunawan96.blogsp ot.co.id/2016/06/konsepbandung-Smart-city-a.html. diakses 15 Juni 2016) Yohanitas, 2013, Pengujian Penerapan e-LAKIP di Daerah Terpilih.
102| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung Borneo Administrator. Volume 9 Nomor 1 Tahun XVI : 74-94 Yohanitas, 2016, Ridwan Kamil: Arsitek Perubahan Kota Paris Van Java. Inagara Magz. No: 1/I Juli 2016 : 9-15 Scottish Co-production Network, ___, What is Co-Production? Tersedia Online (http://www.coproductionscotla nd.org.uk/about/what-is-coproduction/ , diakses pada 15 Juni 2016) Mario, Rheza. 2013. Penggunaan Teori Co-Production dalam pelaksanaan pelayanan publik: Solusi Masalah Pelayanan Publik Melalui Pendekatan Berbasis
Teori Menuju Praktik Terbaik Pelayanan Publik. Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara. Jakarta: KemenPANRB social care institute for excellence, __, Principles of co-production? Tersedia Online (http://www.scie.org.uk/publicat ions/guides/guide51/what-iscoproduction/principles-ofcoproduction.asp , diakses pada 15 Juni 2016) Social care institute for excellence, __, How to do co-production Introduction Tersedia Online (http://www.scie.org.uk/publicat ions/guides/guide51/how-to-docoproduction/index.asp , diakses pada 15 Juni 2016)
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |103
Bandung Smart City : Penerapan Good Governance Di Kota Bandung
104| Bunga Rampai Administrasi Publik; Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM IPAL KOMUNAL POKJA SANITASI KOTA BLITAR1 Oleh : Teguh Henry Prayitno
PENDAHULUAN Latar Belakang Kesehatan merupakan aspek penting dalam sendi kehidupan masyarakat. Mengacu pada UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pasal 15, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salah satu bagian kesehatan yang patut disoroti beberapa tahun terakhir adalah masalah sanitasi. Menurut hasil Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) pada tahun 2013, keadaan sanitasi Indonesia menempati urutan kedua di dunia sebagai sanitasi buruk. Data ini ditunjang dengan adanya 63 juta penduduk Indonesia tidak memiliki toilet dan masih buang air besar (BAB) sembarangan di sungai, laut, atau di permukaan tanah. Hampir seperempat penduduk Indonesia masih menganggap remeh
dengan kebiasaan hidup dengan tidak mementingkan keadaan sanitasi. Hingga tahun 2015, Indonesia tidak memenuhi harapan untuk penyediaan pelayanan air bersih yang dilansir data MDG’s masih pada angka 46 % dari target yang ditetapkan sebesar 68,87 %. Selisih kisaran 20 % menunjukkan bahwa masyarakat belum menyadari bahwa air bersih adalah hal penting. 2 Penggunaan air kurang bersih dapat menyebabkan berbagai wabah penyakit seperti kolera, hepatitis, polymearitis, typoid, disentrin trachoma, scabies, malaria, yellow fever, dan penyakit cacingan. Akselerasi penanganan dan pembenahan sanitasi sangat diperlukan sampai pada seluruh wilayah Indonesia. Salah satu wilayah Indonesia yang concern pada masalah sanitasi adalah Pemerintah Kota (Pemkot) Blitar. Indikasi ini wajar mengingat pada tahun 2014 diketahui sebanyak 131.771 (96,2%) penduduknya sudah mempuyai akses sanitasi layak (jamban sehat) 3. Angka yang ditunjukkan sudah sangat
Tulisan ini merupakan hasil kegiatan yang dilakukan oleh LAN terkait pengukuran indeks inovasi Pemerintah Daerah di Kota Blitar, khususnya di Pokja Sanitasi yang dilakukan pada tahun 2016 dengan anggota tim : Marsono, Sundari Rachmasari, Teguh Henry Prayitno dan Isni Kartika Larasati. 2 Indonesia, Negara dengan Sanitasi Terburuk Kedua di Dunia! pada laman http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/indonesia-negara-dengan-sanitasi-terburuk-kedua-didunia diakses pada tanggal 1 Februari 2017 3Dinas Kesehatan Kota Blitar. (2014). Profil Kesehatan Kota Blitar. Blitar : Dinkes Kota Blitar. Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |105 1
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar tinggi karena sudah mencapai kisaran di atas 90% dan dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Blitar tengah serius dalam hal sanitasi. Gerak cepat dilakukan oleh Pemkot Blitar menanggapi kasus sanitasi di wilayahnya. Masalah sanitasi merupakan program prioritas yang harus dilaksanakan untuk mendukung pertumbuhan penduduk dan pemukiman yang bersih dan sehat. Indikasi keseriusan ditunjukkan dengan adanya Deklarasi Blitar pada tanggal 27 Maret 2007 yang bertujuan untuk mempercepat program sanitasi kota. Berdasarkan deklarasi tersebut, disusunlah strategi Sanitasi Kota (SSK) yang telah diperbaharui menjadi tahun 2013-2017. Konsep yang diusung oleh dokumen SSK ini adalah program Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal. 4 Tujuan Penulisan Merujuk dari latar belakang permasalahan yang telah diungkapkan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan penulisan Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar adalah sebagai berikut : a. Memberikan salah satu contoh pola pengelolaan sanitasi yang diterapkan di Kota Blitar b. Menjadi alat pembanding yang dapat direplikasi oleh daerah lain dalam hal pengelolaan sanitasi c. Mendeskripsikan gambaran sistem pengolahan sanitasi di Kota Blitar PERUMUSAN MASALAH Pengelolaan sanitasi di Kota Blitar dibutuhkan sistem yang tepat dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan perumusan masalah yang dapat menganalisis secara detail pengelolaan sanitasi tersebut. Berikut perumusan masalahnya yaitu : a. Apa yang dimaksud dengan program IPAL Komunal Kota Blitar ? b. Apa konsep yang diambil dalam program IPAL Komunal Kota Blitar ? c. Apa pentingnya program IPAL Komunal Kota Blitar? TINJAUAN LITERATUR Sanitasi Pengertian Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. 5 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sanitasi sendiri diartikan dengan usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat, terutama lingkungan fisik, yaitu tanah, air, dan udara. Silalahi menambahkan bahwa sanitasi yang berwawasan lingkungan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia dengan cara memanfaatkan hal yang tidak berguna menjadi sesuatu yang memiliki daya guna dengan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Kegiatan banyak dilakukan oleh Negara maju atau berkembang untuk mewujudkan Millineum Development Goals. Sistem seperti ini selain menghemat biaya juga
5 Sanitasi.pada laman Prisanto, D.E. et al. (2015). “Studi Pengelolaan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Domestik https://id.wikipedia.org/wiki/Sanitasi diakses Komunal di Kota Blitar, Jawa Timur. J-PAL. 6 (1). pada tanggal 1 Februari 2017 1-7 106| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 4
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar bisa memanfaatkan bahan yang tidak berguna menjadi berguna, bahan yang tidak bernilai menjadi bernilai ekonomis. 6 Di dalam Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992 pasal 22 disebutkan bahwa kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, yang dapat dilakukan dengan melalui peningkatan sanitasi lingkungan, baik yang menyangkut tempat maupun terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik, kimia, atau biologis termasuk perubahan perilaku. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal IPAL adalah suatu perangkat peralatan teknik beserta perlengkapannya yang memproses / mengolah air sisa proses produksi pabrik, dan rumah tangga. IPAL itu sangat bermanfaat bagi manusia serta makhluk hidup lainnya, antara lain: (1) Mengolah Air Limbah domestik atau industri, agar air tersebut dapat di gunakan kembali sesuai kebutuhan masing-masing. (2) Membuat air limbah yang akan di alirkan ke sungai tidak tercemar (3) Menjaga kehidupan biotabiota sungai. Tujuan pengelolaan IPAL yaitu untuk menyaring dan membersihkan air yang sudah tercemar dari baik domestik maupun bahan kimia industri. Ada lima tahapan yang perlu dilalui oleh air limbah demi mendapatkan hasil saringan yang bisa digunakan lagi, yaitu : 1. Air limbah dialirkan ke tempat instalasi yang dimasukkan dalam
2.
3.
4.
5.
sebuah alat yang disedikan pada sebuah ruang pengaliran agar air limbah masuk kedalam tempat penyaringan dengan lancar. Air limbah dialirkan dalam wadah yang berisi air yang bercampur dengan pasir yang bertujuan untuk untuk melakukan pengendapan partikel-partikel kotor yang ada di air limbah itu. Yang akan mengendapkan partikel tersebut butiran-butiran kecil karbon yang terselip di pasir tersebut yang akan mengikat partikel kotor yang ada di air limbah tersebut. Air limbah yang telah di saring melalui wadah penampungan pasir akan diteruskan ke wadah yang berisi batu kerikil. Fungsinya hampir sama pada wadah sebelumnya dimana partikel-partikel yang tidak berhasil diendapkan oleh pasir akan diproses wadah berisi kerikil. Air limbah menuju ke wadah berisi tanaman eceng gondok, ukuran wadah ini lebih besar di banding dua wadah sebelumnya. Karena dalam proses ini memerlukan banyak tanaman eceng gondok untuk menetralisasi air limbah. Tanaman eceng gondok yang sering kita lihat di beberapa sungai atau danau memiliki fungsi untuk menyaring dan membersihkan partikel air yang kotor. Karena tanaman ini memiliki zat kimia bersifat penyerap seperti amonia dan fosfat. Fase uji coba, dalam wadah penampung ini berisi air yang terdapat beberapa ekor ikan. Karena ikan biasanya digunakan sebagai sampel dalam uji coba penyaringan
Silalahi, Daud (2003) Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup Di Indonesia.Bandung, P.T Alumnit Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |107
6
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar air salah satunya IPAL ini. Ikan dalam penampungan ini berguna sebagai indikator, untuk mengetahui seberapa bersihnya air limbah tersebut disaring. Dalam proses kita hanya memilih dua opsi sebagai kesimpulan yaitu jika ikan dalam penampungan tersebut hidup saat beberapa jam proses penyaringan, maka air tersebut bisa dikatakan bersih dan begitupun sebaliknya. 7 Proses operasional dan pemeliharaan IPAL Komunal dengan melibatkan masyarakat melalui rembug warga dan disepakati dalam menentukan iuran pengelolaan dua IPAL terbangun dengan metode sumbangan dari warga. Pengumpulan dana masyarakat dengan memasukkan uang kedalam kaleng bekas wadah rokok yang dipasang pada setiap rumah warga. 8 Terobosan yang dilakukan dengan mengembangkan program sanitasi perkotaan berbasis masyarakat (SPBM) dengan membangun pengelolaan limbah rumah tangga dengan sistem instalasi pengolahan air limbah (IPAL) secara komunal. Proyek IPAL ini untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih. Program ini didukung perencanaan pembangunan sanitasi yang responsif dan berkelanjutan. Pemetaan situasi sanitasi tertuang dalam buku putih sanitasi. Buku putih tersebut merupakan potret yang mencakup
aspek teknis, dan aspek non-teknis seperti: aspek keuangan, kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta aspek-aspek lainnya. Proses pembangunan sistem IPAL komunal ini tetap berjalan berdasarkan mekanisme seperti sosialisasi bersama Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD), dengan mengundang pemerintah-pemerintah setempat (Kelurahan) sejajaran kota. Kelurahan bisa mengajukan permohonan pembangunan IPAL komunal. SKPD selanjutnya melakukan peninjauan dan mempersiapkan 9 program jika disetujui. PEMBAHASAN Profil Sanitasi Kota Blitar Pemerintah Kota Blitar membentuk kelompok kerja (Pokja) sanitasi yang bertugas untuk menyusun buku putih sanitasi, membuat rencana aksi, informasi mengenai kegiatankegiatan sanitasi, penetapan prioritas dan zonasi, serta tugas lainnya dalam rangka peningkatan Sanitasi Kota Blitar. Pokja Sanitasi dikomandoi oleh Bappeda dan didukung oleh Bappemas, Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pendidikan Daerah dan Ormas Kota Blitar. Visi yang diusung oleh program sanitasi ini adalah terwujudnya Sistem pengelolaan sanitasi yang ramah
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada IPAL-Komunal-Kelurahan-Kepanjen-Kidul,-Kotalaman Blitar diakses pada 3 Februari 2017 9 Pengelolaan Limbah Rumah Tangga Sistem http://www.mrtekno.net/2013/05/instalasiIPAL Komunal pada laman http://www.fipopengolahan-air-limbah-ipal.html diakses pada 2 fajar.org/index.php?option=com_content&view Februari 2017 8 Pemeliharaan dan Keberlanjutan IPAL =article&id=93:pengelolaan-limbah-rumahtangga-sistem-ipalKomunal Kelurahan Kepanjen Kidul, Kota Blitar komunal&catid=42:lingkunganpada laman http://ciptakarya.pu.go.id/spbmhidup&Itemid=75 diakses pada 3 Februari 2017 usri/bagus/Pemeliharaan-dan-Keberlanjutan108| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 7
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar lingkungan di kota Blitar pada tahun 2012 melalui pelaksanaan Kegiatan Sanitasi secara sinergis antar pemangku kepentingan yang terkait secara langsung atau tidak langsung dalam pengelolaan sanitasi kota. Sedangkan misi yang akan dilaksanakan adalah (1) mewujudkan pengelolaan limbah yang memenuhi standar kesehatan menggunakan pendekatan partisipatif (2) menyelenggarakan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang efektif dan efisien (3)
menyelenggarakan pengelolaan drainase yang berkualitas dan memadai (4) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pola hidup bersih dan sehat. Tahun 2008 merupakan tahun pertama implementasi Renstra Sanitasi Kota Blitar yang langsung ditangani SKPD terkait dan disediakan dana implementasi Renstra Sanitasi di Bappeda. Anggaran tersebut untuk kegiatan kegiatan monitoring dan evaluasi dari program sanitasi. 10
Gambar 1. Infrastruktur IPAL 2014 Kelurahan Sukorejo, Kota Blitar
Semenjak komitmen Kota Blitar akan pengarusutamaan program pengembangan sanitasi yang berpihak pada masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaan mulai dikumandangkan melalui Deklarasi Blitar tanggal 27 Maret 2007, pembangunan sanitasi di Kota Blitar ini pun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Komitmen tersebut semakin dikuatkan dengan mencantumkan pembangunan berwawasan lingkungan pada visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 – 2025. 10
Dengan visi ini diharapkan walaupun terjadi pergantian kepala daerah, komitmen tentang lingkungan tetap dipertahankan. Disamping itu secara kelembagaan program pengembangan sanitasi di Kota Blitar telah mempunyai lembaga formal dengan adanya pokja sanitasi dari tingkat kelurahan sampai tingkat kota dengan tugas dan wewenangnya masing – masing. Ketiga hal tersebut kiranya sudah menjadi pondasi yang cukup kuat dalam pembentukan kota yang ramah lingkungan. Konsep ini mengacu pada konsep salah satu kota di
Profil Sanitasi Kota Blitar Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |109
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar Jepang yaitu kota Kawasaki, yang merupakan kota pertama di Jepang yang menerapkan hal tersebut. Sedangkan di Indonesia, kota yang mulai mengembangkan konsep ecotown adalah Kota Bandung. Pada prinsipnya konsep kota ramah lingkungan mengacu pada prinsip pengolahan limbah dengan 3 R atau Reuse, Reduce dan Recycle. Apabila di kota asalnya konsep eco town lebih menitikberatkan pada sektor industri, maka untuk proses adopsi di Kota Blitar bisa dititikberatkan pada sector rumah tangga/domestik. Selain itu Kota Blitar sangat potensial sekali untuk dapat mengembangkan konsep kota ramah lingkungan menjadi lebih maksimal dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek atau konsep pembangunan partisipatif. Hal ini dapat kita lihat dari catatan pembangunan sanitasi Kota Blitar selama ini yang mengarusutamakan masyarakat. Upaya sanitasi berbasis masyarakat / sanimas yang sampai saat ini berjumlah 10 unit IPAL komunal, belum lagi untuk unit yang masih dalam proses pembangunan. Sanimas terbukti mampu memberi kontribusi nyata dalam peningkatan kualitas sanitasi di Kota Blitar, terutama untuk peningkatan akses masyarakat akan sarana pengolahan limbah baik black water dari kamar mandi/WC maupun grey water dari dapur. Konsep Sanimas yang menjadikan masyarakat sebagai aktor utama sangat sesuai untuk diadopsi bagi pelaksanaan program 3 R di setiap lingkup masyarakat. 11
Kebijakan Publik Menurut Anderson, Pengertian Kebijakan Publik adalah kebijakankebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Anderson mengatakan bahwa terdapat 5 hal yang berhubungan dengan kebijakan publik, yaitu: a. Tujuan atau kegiatan yang berorientasi tujuan haruslah menjadi perhatian utama perilaku acak atau peristiwa yang tiba-tiba. b. Kebijakan merupakan pola atau model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-keputusan diskresinya secara terpisah. c. Kebijakan harus mencakup apa yang nyata pemerintah perbuat, bukan apa yang mereka maksud untuk berbuat, atau apa yang mereka katakan akan dikerjakan. d. Bentuk kebijakan bisa berupa hal yang positif atau negatif. e. Kebijakan publik dalam bentuknya yang positif didasarkan pada ketentutan hukum dan kewenangan. Tujuan kebijakan Publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Thomas R. Dye menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijakan negara tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau pejabatnya. Di samping itu sesuatu yang tidak
11Konsep Ecotown Untuk Kota Blitar pada laman blitar_552a4ec16ea834ef0b552d1a diakses http://www.kompasiana.com/gusalinurrohman pada 3 Februari 2017 /konsep-ecotown-untuk-kota110| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar dilaksanakan oleh pemerintah juga termausk kebijakan negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah. Kebijakan Publik merupakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang-orang banyak pada tataran strategis atau yang bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik tersebut, maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yaitu mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, pada umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama dari kebijakan publik dalam negara modern yaitu pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang memiliki kewajiban dalam menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi. Pada sisi yang lain menyeimbangkan berbagai kelompok di dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan, serta untuk mencapai amanat konstitusi. Proses Kebijakan Publik Menurut Younis, Proses Kebijakan Publik dibagi menjadi 3 tahap yaitu formasi dan desain kebijakan,
implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Gortner menjelaskan ada 5 proses kebijakan publik, yaitu identifikasi masalah, formulasi, legitimasi, aplikasi dan evaluasi. Menurut Starling, terdapat 5 proses kebijakan publik yaitu : a. Identification of needs, yaitu mengidentifikasikan kebutuhankebutuhan masyarakat dalam pembangunan dengan mengikuti beberapa kriteria antara lain : menganalisisi data, sampel, data statistik, model-model simulasi, analisis sebab-akibat dan teknikteknik peramalan. b. Formulasi usulan kebijakan yang mencakup faktor-faktor strategik, alternatif-alternatif yang bersifat umum, kemantapan teknologi dan analisis dampak lingkungan. c. Adopsi yang mencakup analisis kelayakan politik, gabungan beberapa teori politik dan penggunaan teknik-teknik penganggaran. d. Pelaksanaan program yang mencakup bentuk-bentuk organisasinya, model penjadwalan, penjabatan keputusan-keputusan, keputusan-keputusan penetapan harga, dan sekenario pelaksanaannya. e. Evaluasi yang mencakup penggunaan metode-metode eksperimental, sistem informasi, auditing dan evaluasi mendadak. 12 Implementasi Kebijakan Publik Pengertian Implementasi Kebijakan adalah Teori George C. Edwards III. Dalam pandangan Edwards
Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : Grasindo Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |111
12
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain. Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan, dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup: a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau termuat dalam isi kebijakan; b. Jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh, masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program air bersih atau perlistrikan daripada menerima program kredit sepeda motor; c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dan sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan dari pada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan beras kepada kelompok masayarakat miskin; d. Apakah letak sebuah program sudah tepat: e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan f. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup:
a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; b. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. 13 Menurut Patton dan Sawicki (1993) bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dan program pemerintah. Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah
Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 112| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 13
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusankeputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (1984), implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan saranasarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya. Jones (1977) menganalisis masalah implementasi Kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Jones (1977) mengemukakan beberapa dimensi dan implementasi pemerintahan mengenai programprogram yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat di lakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program kedalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah: a. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan. b. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.
c. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya. Faktor Keberhasilan Implementasi Kebijakan Rippley dan Franklin (1982) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu: a. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan atas mereka. b. Keberhasilan impIementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. c. Implementasi yang herhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. d. Faktor Kegagalan Implementasi Kebijakan Peters (1982) mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor: 1. Informasi : Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dan isi kebijakan yang akan dilaksankaannya dan basil-basil dan kebijakan itu. 2. Isi Kebijakan : Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. 3. Dukungan : Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |113
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar pelaksanannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut. 4. Pembagian Potensi : terkait dengan pembagian potensi diantaranya para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang. 14 Menurut Van Meter dan Van Horn, prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan- tujuan tersebut. 15 PENUTUP Partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan IPAL di kota Blitar. Pengerahan daya masyarakat menjadi keuntungan bagi Pemerintah Kota Blitar dalam menghemat anggaran . Selain itu, tenaga masyarakat juga bisa dijadikan instrumen agar kinerja pengelolaan IPAL dapat berjalan dengan efektif. Pengerahan masyarakat yang mengelola IPAL mempunyai fungsi ganda yang bisa dijadikan sebagai tenaga pengawas untuk mencegah upaya perusakan fasilitas IPAL oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Fokus permasalahan sanitasi yang diterapkan di Kota Blitar membuat masyarakat Blitar memiliki gaya hidup sehat. Bayangkan jika sanitasi diabaikan oleh penduduk kota, tentunya kesehatan masyarakat sekitar menjadi terancam. Kesehatan yang tidak terjaga membuat perekonomian menjadi lumpuh. Keunikan dari pengelolaan
IPAL komunal adalah adanya sumbangan yang berasal dari masyarakat sehingga membuat masyarakat merasa berkepentingan untuk mengelola fasilitas IPAL Komunal. DAFTAR PUSTAKA ___, ___ Pengelolaan Limbah Rumah Tangga Sistem IPAL Komunal pada laman http://www.fipofajar.org/index.php?option=com _content&view=article&id=93:pe ngelolaan-limbah-rumah-tanggasistem-ipalkomunal&catid=42:lingkunganhidup&Itemid=75 diakses pada 2 Mei 2016 ___, ___ Profil Sanitasi Kota Blitar ___,
___ Sanitasi. pada laman https://id.wikipedia.org/wiki/San itasi diakses pada tanggal 2 Mei 2016
___, 2013. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada laman http://www.mrtekno.net/2013/ 05/instalasi-pengolahan-airlimbah-ipal.html diakses pada 2 Mei 2016 ___,___ Pemeliharaan dan Keberlanjutan IPAL Komunal Kelurahan Kepanjen Kidul, Kota Blitar pada laman http://ciptakarya.pu.go.id/spbmusri/bagus/Pemeliharaan-danKeberlanjutan-IPAL-KomunalKelurahan-Kepanjen-Kidul,-KotaBlitar diakses pada 2 Mei 2016
15 Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik,teori Tangkilisan, H.N.S. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Lukman Offset. dan proses. Yogyakarta : Media Presindo. 114| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik 14
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar Dinas Kesehatan Kota Blitar. (2014). Profil Kesehatan Kota Blitar. Blitar : Dinkes Kota Blitar. Gusalinurrohman, ___.Konsep Ecotown Untuk Kota Blitar pada laman http://www.kompasiana.com/gu salinurrohman/konsep-ecotownuntuk-kotablitar_552a4ec16ea834ef0b552d 1a diakses pada 2 Mei 2016 Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta : Grasindo Indonesia, Negara dengan Sanitasi Terburuk Kedua di Dunia! pada laman http://nationalgeographic.co.id/ berita/2013/10/indonesianegara-dengan-sanitasiterburuk-kedua-di-dunia diakses pada tanggal 2 Mei 2016 Prisanto, D.E. et al. (2015). “Studi Pengelolaan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Domestik Komunal di Kota Blitar, Jawa Timur. J-PAL. 6 (1). 1-7 Silalahi, Daud (2003) Pengaturan Hukum Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup Di Indonesia.Bandung, P.T Alumnit Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tangkilisan, H.N.S. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Lukman Offset. Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik,teori dan proses. Yogyakarta : Media Presindo.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik |115
Implementasi Kebijakan Program IPAL Komunal Pokja Sanitasi Kota Blitar
116| Bunga Rampai Administrasi Publik: Perwujudan GG Melalui Inovasi Pelayanan Publik