B ungaR ampaiA dmi ni s t r as iP ubl i k
TRANSFORMASI PELAYANAN SEKTOR PUBLI K
E D I T OR WI T R A AP D H I MAR S ONO
PusatI novasiPel ayananPubl i k LembagaAdmi ni st r asiNegar a Republ i kI ndonesi a 2017
BUNGA RAMPAI ADMINISTRASI PUBLIK
TRANSFORMASI PELAYANAN SEKTOR PUBLIK
Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia 2017
Bunga Rampai Administrasi Publik: TRANSFORMASI PELAYANAN SEKTOR PUBLIK
Penanggung Jawab Redaktur
: Erfi Muthmainah : Harditya Bayu Kusuma
Anggota
: Octa Soehartono Isni Kartika Larasati
Editor
: Witra Apdhi Yohanitas Marsono
Hak Cipta © 2017 pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik - LAN Layout : Witra Apdhi Yohanitas Sampul : Witra Apdhi Yohanitas
Diterbitkan Oleh : Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Telp. (021) 3868201-05 ext. 144, 145 ISBN : 978-602-61114-9-4 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik /Jakarta : PIPEL-LAN, 2017 viii + Halaman 1 – 116 ; 18,2 x 25,7 Cm
Halaman
ii
Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang
| Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGANTAR
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik |
Halaman
Ketiga, Abdul Muis, Peneliti Utama pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan menyampaikan perlunya peningkatan pelayanan terkait dengan keamanan dan ketertiban lingkugan masyarakat. Melalui pengembangan model inovasi Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik berupa keamanan, ketenteraman dan ketertiban lingkungan masyarakat. Dengan demikian dapat ngurangi terjadinya tindak kriminalitas, curanmor, pembegalan dan penganiayaan dengan pemberatan yang berujung pada tindakan main hakim
iii
Transformasi Pelayanan Sektor Publik menjadi penting mengingat program reformasi birokrasi yang sudah berjalan kurang lebih 2 (dua) dasa warsa hingga saat ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendorong terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang secara filosofis adalah dalam rangka lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang telah memberikan dasar yang kuat bagi penyelenggara maupun masyarakat penerima pelayanan publik dengan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing. Selanjutnya upaya-upaya pengembangan inovasi pelayanan publik juga telah dilakukan oleh berbagai Kementerian/Lembaga melalui berbagai progam dan kebijakan sektoral masing-masing. Namun demikian, implementasi berbagai kebijakan dan program tersebut juga belum dapat memacu peningkatan kualitas pelayanan publik sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat kekinian. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti Lembaga Administrasi Negara menerbitkan sebuah Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Publik, guna menjawab berbagai permasalahan dan mencari solusi terhadap masing-masing permasalahan tersebut. Pertama, Marsono, Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik, menyampaikan hasil evaluasi implementasi kebijakan pelayanan publik yang belum efektif, disebabkan antara lain: (1) lemahnya koordinasi antar stakeholder pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah dalam implementasi kebijakan pelayanan publik; (2) masih tingginya ego sektoral (silo mentality) para pemangku kebijakan pelayanan publik; (3) minimnya sosialisasi kebijakan dan upaya pengembangan kapasitas penyelenggara pelayanan publik; (4) belum optimalnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan pelayanan publik; serta (5) belum diterapkan reward dan punishment secara tegas dalam pelaksanaan pelayanan publik. Oleh sebab itu ditawarkan rekomendasi strategis sebagai berikut: (a) implementasi kebijakan pelayanan publik harus didukung sepenuhnya oleh seluruh stakeholder (instansi) pembina dengan mendorong sinergitas dan kolaborasi pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing dalam penguatan pelaksanaan kebijakan di tataran lapangan; (b) penguatan pemahaman terhadap kebijakan pelayanan publik melalui sosialisasi dan pengembangan kapasitas penyelenggara pelayanan publik; (c) penguatan peran pengawasan baik oleh unit internal pemerintah maupun ombudsman; (d) penerapan reward dan punishment secara tegas dan tepat. Kedua, perlunya percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik di desa juga perlu didorong dengan penggunaan teknologi informasi secara massif. Witra Apdhi Yohanitas, Peneliti Muda pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik menyampaikan konsep dan model inovasi Pelaksanaan Program Desa Online Sebagai Sarana Percepatan Pembangunan Desa. Inovasi desa online adalah merupakan salah satu inovasi yang bertujuan untuk mengakselerasi pencapaian program unggulan pemerintah yaitu Program Desa Membangun. Program ini menggunakan teknologi informasi dimana akan dapat menyediakan informasi tentang desa ada di dalamnya sehingga potensi desa, produk unggulan desa, dan progres pembangunan desa bisa dipromosikan dan diakses dengan mudah. Disamping itu, penggunaan teknologi informasi juga berdampak pada kualitas pelayanan publik kepada masyarakat desa.
iv Halaman
sendiri sehingga dapat menyulut konflik horizontal. Inovasi Bunda Si Terkaya (Budaya Ronda sebagai Sistem Terpadu Keamanan dan Pelayanan) adalah program unggulan yang bersifat unik, inovatif dan kreatif yang dirancang untuk mengatasi permasalahan keamanan wilayah yang didesain dan dipadukan dengan keterpaduan Program/Kegiatan, pembiayaan, sumber daya pelaksana dari SKPD, sebagai wujud nyata untuk mengatasi, melayani dan memberi solusi semaksimal mungkin terhadap pelayanan publik bagi masyarakat sehingga permasalahan yang ada sebelum adanya inovasi pelayanan publik ini dan sasaran penerima manfaat dapat teratasi semaksimal mungkin. Keempat, Frenky Kristian Saragi, Peneliti Pertama Lembaga Administrasi Negara, menyoroti mengenai pentingnya penguatan pelayanan di sektor kemaritiman melalui system Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) sebagai Best Practice Inovasi Pelayanan Publik bidang Kepelabuhanan, yang dilaksanakan oleh Pelindo II Cabang Banten. Dimana Sebagai pilot project nasional, PPSA Pelabuhan Ciwandan menjadi polopor upaya percepatan administrasi kepelabuhanan yang menerima apresiasi dari berbagai pihak, termasuk pihak pengguna jasa kepelabuhanan dan juga dari pemerintah daerah Provinsi Banten. Dengan memangkas waktu pengurusan dokumen dan perizinan dari tiga hari menjadi tiga jam, PPSA mengurangi beban pengguna jasa pelabuhan karena tidak perlu lagi ke sejumlah kantor perizinan yang terletak di Merak, Cilegon dan bahkan harus ke Jakarta. Selain itu, waktu yang singkat dalam mengurus perizinan memungkinkan waktu bongkar muat yang semakin singkat, sehingga memungkinkan lebih banyak kapal yang bisa sandar dan membongkar atau memuat kargo di dermaga-dermaga Pelabuhan Ciwandan. Selanjutnya terkait dengan upaya mewujudkan pelayanan publik inklusif, Kelima, Marsono, Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik, yang menyoroti perlunya Penguatan Pelayanan Publik Inklusif dalam rangka Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel). Temuan secara umum menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik bagi semua warga termasuk kelompok masyarakat difabel di beberapa kota menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Aksesibilitas pada Bangunan Gedung, jalan raya, sarana transportasi umum dan lingkungan perkotaan lainnya belum berpihak kepada kelompok masyarakat penyandang disabilitas. Untuk mendorong peningkatan pelayanan yang aksesibel bagi semua warga, maka direkomendasikan bahwa dalam penyusunan program dan kegiatan pelayanan publik : (a) harus ada partisipasi dari seluruh golongan masyarakat dalam penyusunan program dan kegiatan; (b) program dan kegiatan harus dapat diakses oleh semua orang; (c) program dan kegiatan harus disusun dengan mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat; (d) program dan kegiatan harus didesain sesuai dengan peran dari masing-masing golongan masyarakat. Keenam, Toni Murdianto, Peneliti Pertama pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, juga menyoroti mengenai upaya pengembangan pelayanan inklusif khsusnya terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana di lingkungan terminal yang menyediakan ruang khusus menyusui. Bahasan Inovasi Penyediaan Ruang Laktasi Bagi Ibu Menyusui Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi. Pojok Laktasi di Terminal Tirtonadi merupakan salah satu bentuk kepedulian fasilitas publik terhadap kebutuhan perempuan sekaligus menjalankan amanat pemerintah. Maka dari itu, peran pemerintah sangat krusial dalam mendorong pendirian pojok laktasi di fasilitas publik baik melalui regulasi, anggaran, dan sumber daya manusia yang kompeten. Di samping itu, perlu dibangun kesadaran masyarakat untuk memberikan ruang dan fasilitas yang nyaman bagi ibu menyusui di ruang publik. Lebih lanjut juga diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik khusus pada layanan administratif. Salah satu jenis layanan administratif adalah Karta Identitas Anak (KIA) dan Akte Kelahiran. Ketujuh, Abdul Muis, Peneliti Utama pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan membahas mengenai model inovasi pelayanan "Keluar Bersama : Daftar 1 Keluar 5” (Model Jawaban Problematika Pelayanan Dokumen Anak Di Danurejan Kota Yogyakarta). Inovasi Kecamatan Danurejan “Keluar Bersama” Dimanifestasikan Dengan Membentuk Sebuah Sistem Pelayanan Dokumen Anak Secara Terintegrasi Dan Merancang Bangun Sistem Informasi Edukasi Ibu Hamil Pada Media Elektronik Handphone Dengan Sistem Sms | Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Gateway. Adapun tujuan Inovasi Keluar Bersama Ini Adalah : (a) Menyelenggarakan Pelayanan Publik Secara Terintegrasi Terkait Dokumen Anak; (b) Mewujudkan Akselerasi Dan Kemudahan Proses Kepemilikan Dokumen Anak; (c) Mewujudkan Akselerasi Up Date Data Kependudukan; dan (d) Mewujudkan Tertib Dokumen Anak. Kedelapan, Yulfikar DA, Pengelola Data dan Kajian pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan, yang menyoroti pentingnya peningkatan kualitas pelayanan publik dalam rangka mendorong terwujudnya penyelenggaraan tata pemerintahan daerah yang baik (good local governance). Disebutkan bahwa dalam mereformasi pelayanan publik di daerah tidak cukup dengan political will yang setengah hati, melainkan harus dengan cara sepenuh hati, secara sungguh-sungguh dalam melayani warga negaranya menuju good local governance dengan penerapan reformasi dan e-government, sebagaimana telah digagas dan diterpaknan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. Kesembilan, Ida Ayu Fara Febrina, Mahasiswi Magang (Universitas Gajah Mada) pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik, lebih menyoroti pada sistem persawahan tradisional yang berbasis pada kearifan lokal kemudian dijadikan atraksi utama pada Subak Jatiluwih mulai dari kegiatan di sawah sampai dengan kegiatan ritual-ritual yang dijalankan. Sehingga tidaklah berlebihan bila dikatakan agrowisata yang dikembangkan di Jatiluwih berbasis pada modal sosial. Konsep ini kerap dikaitkan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, semangat kebersamaan yang muncul dari nilai, institusi dan mekanisme adat dapat memunculkan semangat untuk bekerja secara kolektif dalam mencapai suatu tujuan Bersama. Jakarta, April 2017 Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik,
Halaman
v
Erfi Muthmainah
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik |
DAFTAR ISI Pengantar Daftar Isi EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK :
Halaman iii vi 1-13
(UPAYA AKSELERASI PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT)
Marsono
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA Witra Apdhi Yohanitas
14-30
INOVASI BUNDA SI TERKAYA: (BUDAYA RONDA SEBAGAI SISTEM YANG TERPADU KEAMANAN DAN PELAYANAN) DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH. Abdul Muis
31-42
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN, STUDI PADA PELINDO II CABANG BANTEN (CIWANDAN) Frenky Kristian Saragi
43-55
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF: MENDEKATKAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT BERKEBUTUHAN KHUSUS (DISABEL)
56-67
Marsono INOVASI PENYEDIAAN RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI KASUS POJOK LAKTASI TERMINAL TIRTONADI Toni Murdianto
68-78
"KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5” (MODEL JAWABAN PROBLEMATIKA PELAYANAN DOKUMEN ANAK DI DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA) Abdul Muis
79-87
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (KASUS SUBAK JATILUWIH, TABANAN-BALI) Ida Ayu Fara Febrina
Halaman
vi
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK: Menuju Good Local Governance Yulfikar DA
| Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
88-103
104-116
vii Halaman Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik |
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat
PUBLIC SERVICE POLICY EVALUATION: Acceleration Efforts to Improve Quality of Service to the Community Marsono Pusat Inovasi Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Email:
[email protected],
[email protected], HP. 081519303598 ABSTRACT Evaluation of public service policy especially Law Number 25 Year 2009 on Public Service becomes very important and relevant considering the bureaucratic reform program that has been launched since two decades until now has not give a significant impact in the improvement of state administration in every aspect and dimension. Various problems in the provision of public services are still very easy to find in various levels and levels of public service providers. These issues include: (1) weak coordination among stakeholder stakeholders both at central and regional levels in the implementation of public service policies; (2) still high sectoral ego (silo mentality) of public service policy stakeholders; (3) lack of policy socialization and capacity building efforts of public service providers; (4) not yet optimal supervision on the implementation of public service policy; And (5) have not applied the reward and punishment firmly in the implementation of public services. From the main problems mentioned above, has negatively impacted the optimization of the implementation of public service policies at the level of practice in the field. Some of the real conditions associated with public service issues are less responsive, less informative, less coordinated, bureaucratic, less able to hear public complaints, inefficiency, lack of professionalism, low competence, no empathy, low ethics and structured / hierarchical work patterns, formal legality and Closed system. Based on the conditions and problems of public services mentioned above, it can be conveyed strategic suggestions related to the optimization of the implementation of public service policy as follows: (a) the implementation of public service policy must be fully supported by all stakeholders by encouraging synergy and collaboration execution duties and functions Respectively in strengthening policy implementation at the field level; (B) strengthening understanding of public service policy through socialization and capacity building of public service providers; (C) strengthening the role of oversight by both internal government units and ombudsmen; (D) the application of rewards and punishments expressly and appropriately. Keywords: Public service, evaluation, policy evaluation and acceleration .
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Evaluasi kebijakan pelayanan publik khususnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menjadi sangat penting dan relevan mengingat program reformasi birokrasi yang telah digulirkan sejak dua dasawarsa hingga saat ini belum memberikan dampak yang signifikan dalam perbaikan penyelenggaraan pemerintahan negara dalam setiap aspek dan dimensinya. Berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih sangat mudah ditemukan diberbagai level dan tingkatan unit penyelenggara pelayanan publik. Berbagai permasalahan tersebut antara lain : (1) lemahnya koordinasi antar stakeholder pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah dalam implementasi kebijakan pelayanan publik; (2) masih tingginya ego sektoral (silo mentality) para pemangku kebijakan pelayanan publik; (3) minimnya sosialisasi kebijakan dan upaya pengembangan kapasitas penyelenggara pelayanan publik; (4) belum optimalnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan pelayanan publik; serta (5) belum diterapkan reward dan punishment secara tegas dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dari permasalahan utama tersebut di atas, telah memberikan dampak negatif terhadap optimalisasi implementasi kebijakan pelayanan publik pada tataran praktik di lapangan. Beberapa kondisi nyata terkait dengan permasalahan pelayanan publik yaitu kurang responsif, kurang informatif, kurang koordinasi, birokratis, kurang mampu mendengar keluhan masyarakat, infisiensi, kurang profesionalisme, kompetensi rendah, tidak ada empati, etika rendah serta pola kerja terstruktur/hirarkis, legalitas formal dan sistem tertutup. Berdasarkan kondisi dan permasalahan pelayanan publik tersebut di atas, dapat disampaikan
1
ABSTRAK
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat saran strategis terkait dengan optimalisasi implementasi kebijakan pelayanan publik sebagai berikut: (a) implementasi kebijakan pelayanan publik harus didukung sepenuhnya oleh seluruh stakeholder (instansi) pembina dengan mendorong sinergitas dan kolaborasi pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing dalam penguatan pelaksanaan kebijakan di tataran lapangan; (b) penguatan pemahaman terhadap kebijakan pelayanan publik melalui sosialisasi dan pengembangan kapasitas penyelenggara pelayanan publik; (c) penguatan peran pengawasan baik oleh unit internal pemerintah maupun ombudsman; (d) penerapan reward dan punishment secara tegas dan tepat. Kata Kunci: Pelayanan publik, evaluasi, evaluasi kebijakan, dan akselerasi.
Halaman
2
A. PENDAHULUAN Latar Belakang Misi utama birokrasi pemerintah adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, sehingga bisa memberikan rasa keadilan dan dapat menciptakan iklim bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan lain perkataan tugas utama pemerintah adalah melayani masyarakat dan menciptakan kondisi yang mendorong kemampuan dan kreativitas masyarakat. Sejalan dengan perkembangan telah terjadi pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma rulling goverment menjadi paradigma good governance dengan mewujudkan pemerintahan yang secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administratif efisien. Fakta menunjukkan bahwa birokrasi belum mampu memberikan pelayanan public sebagaimana yang diharapkan. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan public telah diterbitkan berbagai kebijakan, antara lain pemberian otonomi daerah yang menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya telah disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan otonomi daerah berarti telah diserahkan sebagian kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat kepada daerah otonom, dengan harapan agar pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan diharapkan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Pada hakekatnya pemberian otonomi daerah secara luas bagi pemerintahan daerah adalah dalam rangka lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Akan tetapi upaya perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara pada berbagai aspeknya termasuk bidang pelayanan publik dengan didorong melalui program reformasi birokrasi yang telah dilaksanakan sejak dua dasawarsa hingga saat ini belum memberikan dampak yang signifikan bagi perbaikan sesusia dengan yang diharapkan. Program reformasi birokrasi khususnya terkait dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik telah didukung dengan berbagai kebijakan yang melandasinya yaitu UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Disamping itu, upaya pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan publikoleh instansi/unit penyelenggra pelayanan publik juga telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang diberi mandat kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni: (1) Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; (2) Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi; dan (3) Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Selanjutnya sebagai panduan operasionalisasi pelaksanaan pelayanan publik telah dikelurkan berbagai peraturan, keputusan maupun surat edaran Menteri dari Kementerian maupun Lembaga yang memiliki tugas dan fungsi pengembangan kebijakan dan manajemen pelayanan publik, dalam konteks ini adalah Kementerian PAN RB, Kementerian Dalam Negeri, Lembaga Administrasi Negara, Ombudsman Nasional serta instansi terkait lainnya. Berbagai upaya melalui penerapan berbagai kebijakan pelayanan publik serta peningkatan fungsi kelembagaan sebagaimana tersebut di atas, serta pelaksanaan program reformasi birokrasi yang telah digulirkan sejak dua dasawarsa hingga saat ini belum memberikan dampak yang signifikan dalam perbaikan penyelenggaraan pemerintahan negara dalam setiap aspek dan dimensinya. Berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih sangat mudah ditemukan diberbagai level dan tingkatan unit penyelenggara pelayanan publik. Berbagai permasalahan tersebut antara lain : (1) lemahnya koordinasi antar stakeholder pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah dalam implementasi kebijakan pelayanan publik; (2) masih tingginya ego sektoral (silo mentality) para pemangku kebijakan pelayanan publik; (3) minimnya sosialisasi kebijakan dan upaya pengembangan kapasitas penyelenggara pelayanan publik; (4) belum optimalnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan pelayanan publik; serta (5) belum diterapkan reward dan punishment secara tegas dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dari permasalahan utama tersebut di atas, telah memberikan dampak negatif terhadap optimalisasi implementasi kebijakan pelayanan publik pada tataran praktik di lapangan. Beberapa kondisi nyata terkait dengan permasalahan pelayanan publik yaitu kurang responsif, kurang informatif, kurang koordinasi, birokratis, kurang mampu mendengar keluhan masyarakat, infisiensi, kurang profesionalisme, kompetensi rendah, tidak ada empati, etika rendah serta pola kerja terstruktur/hirarkis, legalitas formal dan sistem tertutup. Gambaran kondisi pelaksanaan pelayanan publik dari berbagai aspeknya serta pemasalahan dan dampak yang ditimbulkan dari implemtasi keijakan pelayanan publik sebagaimana tersebut di atas, dipandang perlu untuk melakukan telaah dan kajian terkait dengan evaluasi kebijakan pelayanan publik dalam rangka mengakselerasi peningkatan kualtas pelayanan publik.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Melalui pembahasan mengenai evaluasi kebijakan pelayanan publik upaya akselerasi peningkatan kualitas pelayanaqn kepada masyarakat, maka tujuan yang akan disasar adalah : a. Mengindentifikasi impementasi kebijakan pelayanan publik (antara lain mencakup bidang kesehatan, pedidikan, perijinan, investasi dan administratif) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; b. Memotret dampak pelaksanaan kebijakan terhadap kepuasan masyarakat; c. Menyusun rekomendasi dan strategi perbaikan kebijakan pelayanan publik sesuai dengan situasi dan kondisi di masing-masing instansi. Berdasarkan tujuan tersbut, maka manfaat yang akan diperoleh sebagai berikut: a. Memperoleh berbagai informasi terkait dengan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah daerah serta faktor-faktor yang mempengaruhinya;
3
Tujuan dan Manfaat
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat b. Mendapat gambaran dampak pelaksnanaan kebijakan inovasi pelayanan publik terhadap tingkat kepuasan masyarakat; c. Tersusunnya rekomendasi strategi perbaikan kebijakan pelayanan publik sesuai dengan situasi dan kondisi di masing-masing instansi.
Perumusan Masalah Evaluasi kebijakan pelayanan publik upaya akselerasi peningkatan kualitas pelayanan publik, berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah sampai pada pemecahan permasalahannya, oleh karena itu diperlukan perumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana implementasi kebijakan pelayanan publik khsusnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan dampaknya bagi masyarakat; b. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan pelayanan publik; c. Bagaimana rekomendasi strategi perbaikan kebijakan pelayanan publik sesuai dengan kondisi dan karakteristik masing-masing instansi.
B. METODE PENULISAN Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah menggunakan pendekatan metode deskriptif analitis, dimana menjelaskan gambaran implementasi kebijakan pelayanan publik, permasalahan dan dampaknya bagi masyarakat pengguna layanan. Berbagai data diperoleh berdasarkan permasalahan implementasi, dampak dan upaya-upaya perbaikan kebijakan pelayanan publik di masing-masing pemerintah daerah. Data sekunder didapat melalui hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya serta berbagai data empiris terkait dengan implementasi kebijakan pelayanan publik. Selanjutnya permasalahan tersebut perlu diselesaikan melalui inovasi dan penyempurnaan kebijakan pelayanan publik secara inernal di masing-masing pemerintah daerah sesuai dengan kondisi dan karakteristiknya masing-masing. Dengan demikian tujuan utama kebijakan pelayanan publik dapat tercapai dan kepuasan masyarakat meningkat.
Halaman
4
C. KERANGKA KONSEPTUAL Konsepsi Kebijakan Publik Terdapat banyak pengertian dan definisi mengenai kebijakan publik. Misalnya Dye (1972) mendefinisikan kebijakan publik sebagai ”apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, atau dengan kata lain ”apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang (..whatever government chose to do or not to do). Sedangkan Jenkins, sebagaimana dikutip oleh Wahab (2002: 4) merumuskan definisi kebijakan publik sebagai “seperangkat keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh aktor politik atau kelompok aktor yang memiliki perhatian terhadap pemilihan tujuan-tujuan dan alat-alat untuk mewujudkannya dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut seharusnya, pada prinsipnya, berada dalam kekuasaan aktor-aktor tersebut untuk mencapainya. Sedangkan Udoji, sebagaimana dikutip oleh Wahab (2002: 5) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “tindakan bersanksi yang ditujukan kepada masalah tertentu atau kelompok masalah-masalah yang saling berhubungan yang mempengaruhi masyarakat secara luas. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan publik pada pada dasarnya adalah suatu keputusan (decision) yang terarah untuk konteks/lingkup permasalahan (problems) tertentu, mengandung suatu maksud/tujuan, dan mengandung makna sebagai/melibatkan suatu sistem dan mempengaruhi masyarakat luas. Secara teori proses kebijakan dapat dipandang sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga tahap penting yaitu (1) pembuatan atau formulasi kebijakan, (2) pelaksanaan kebijakan, dan (3) evaluasi kinerja kebijakan, yang dilakukan dalam rangka pemantauan, Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
pengawasan (internal/eksternal), dan pertanggungjawaban. Namun demikian proses kebijakan publik bukanlah semata-mata kegiatan teknis teknokratis, tetapi juga kegiatan sosiopolitis yang sangat dinamik dan berlangsung dalam sistem kelembagaan yang kompleks, dengan demikian perlu senantiasa terjaga konsistensinya dengan dimensi-dimensi nilai yang melekat dalam sistem administrasi negara tersebut (Mustopadidjaja AR, 2002). Kebijakan publik juga adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah menyediakan pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang harus dan bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi. Kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan organisasi pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri mencakup pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya?, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan? Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan?, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan yang berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat otoriter, kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga seringkali implementasinya tidak berjalan. Namun dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. Dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. Artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akademisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. Akan tetapi
5
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society. merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi antar ketiga aktor tersebut. Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang dapat menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.
Halaman
6
Kebijakan Pelayanan Publik Kebijakan utama pelayanan publik adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan seluruh turunannya termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Di Indonesia, kebijakan pemerintah yang terkait dengan penyediaan pelayanan publik yang berkualitas sesungguhnya telah banyak sekali diterbitkan. Kebijakan tersebut antara lain mencakup kebijakan pelayanan yang dikeluarkan oleh instansi sektoral dan daerah terutama yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana umum dan kebijakan pelayanan lain yang lintas sektor. Kebijakan pelayanan yang lintas sektor tersebut antara lain dapat disebut seperti: (1) Undang–Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN terutama pada pasal 3; (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal; (4) Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat; (5) Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum; (6) Instruksi Mendagri No. 20/1996 tentang Penyusunan Buku Petunjuk Pelayanan Perijinan di Daerah; (7) Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK.Wasbangpan/6/98 tentang Langkah-langkah Nyata memperbaiki Pelayanan Masyarakat Sesuai Aspirasi Masyarakat; (8) Surat Menkowasbangpan No. 145/MK.Waspan/3/1999 tentang Peluncuran Pelayanan Prima; (9) Surat Edaran Mendagri No. 503/125/PUOD/1999 tentang Pelaksanaan Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) untuk Jenis-jenis Pelayanan Terkait; (10) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) telah merevisi Kep Men PAN No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum melalui Kep Men PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik; (11) Surat Men. PAN Nomor 148/M.PAN/5/2003 perihal Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat; (12) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah; (13) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik; (14) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 20/M.PAN/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik; (15) Surat Edaran Menpan Nomor SE/10/M.PAN/07/2005 tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik; (16) Surat Edaran Menpan Nomor SE/15/M.PAN/09/2005 tentang Peningkatan Intensitas Pengawasan dalam Upaya Perbaikan Pelayanan Publik; (17) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 20/M.PAN/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik; (18) Per/25/M.PAN/05/2006 tentang Pedoman Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik; dan (19) Permendagri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Semua bentuk kebijakan di atas, memang telah cukup baik dikenal dalam lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Namun keberhasilan pelaksanaannya hingga saat ini masih cukup bervariasi antara satu instansi pelayanan publik dengan instansi pelayanan publik lainnya. Hal inilah yang mendorong perlunya kajian yang mendalam agar keberhasilankeberhasilan tersebut dapat dirasakan dan dinikmati oleh semua rakyat Indonesia melalui penyediaan pelayanan publik yang berkualitas dan merata.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Istilah evaluasi mempunyai arti penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment). Howlett dan Ramesh (2003) mendefinisikan evaluasi sebagai : ”a stage of the policy process at which it is determined how a public policy has actually fared in action ”. MITI (1998) membuat klasifikasi evaluasi kebijakan berdasarkan berbagai hal yaitu berdasarkan bidang administratif, waktu, metode, dan pelaku evaluasi (evaluator). Pertama : Evaluasi Kebijakan berdasarkan waktu. Berdasarkan klasifikasi ini evaluasi kebijakan dibedakan menjadi Ex ante Evaluation dan Ex Post Evaluation • Ex ante Evaluation Ex ante evaluation - disebut juga sebagai appraisal - dilakukan sebelum sebuah kebijakan dibuat dan bersifat prospektif. Tujuan dari appraisal ini adalah untuk mendapatkan informasi yang berguna dalam memilih program/kegiatan yang paling cocok . Dalam tahap ini dilakukan: (i) pertimbangan terhadap alasan-alasan (rationales) dalam penentuan tujuantujuan program/kegiatan; (ii) pertimbangan terhadap solusi yang paling sesuai dengan memperhatikan manfaat dan biaya serta resiko • Ex Post Evaluation Ex post evaluation dilakukan setelah program/kegiatan selesai dilakukan dan bersifat retrospektif. Kegiatan ini dilakukan untuk: (i) menganalisa manfaat dan hasil yang diharapkan sebelumnya dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan; (ii) memberikan ukuran untuk perbaikan; (iii) mengidentifikasi hal-hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi perbaikan di masa depan. Kedua : Evaluasi Kebijakan berdasarkan Metode. Ealuasi kebijakan berdasarkan metode mencakup : (1) evaluasi efisiensi; (2) evaluasi efektivitas; dan (3) metode sederhana. • Evaluasi Efisiensi. Evaluasi dengan menggunakan metode ini dilakukan dengan cara membandingkan biaya dengan manfaat. Contoh dari metode ini adalah: ➢ Analisis Biaya-Manfaat (Cost-benefit analysis). Analisis Biaya-Manfaat adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analis membadingkan dan menganjurkan suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dan total keuntungan dalam bentuk uang. Ketika dipakai untuk membuat rekomendasi kebijakan di sektor publik analisis biaya manfaat mempunyai ciri sebagai berikut (Dunn, 2000); (1) berusaha untuk mengukur semua biaya dan manfaat untuk masyarakat yang kemungkinan dihasilkan dari program publik, (2) melambangkan rasionalitas ekonomi, (3) menggunakan pasar swasta sebagai titik tolak dalam memberikan rekomendasi program publik, (4) analisis biaya manfaat kontemporer (atau sering disebut Social CostBenefit Analysis) digunakan untuk mengukur redistribusi benefit. ➢ Analisis Biaya efektivitas (Cost-effectiveness Analysis). Analisis biaya efektivitas adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analis untuk membandingkan dan memberikan anjuran kebijakan dengan menguantifikasi total biaya dan akibat. Dalam analisis ini digunakan dua ukuran yang berbeda, biaya diukur dalam satuan uang sedangkan efektivitas bisa diukur dalam satuan barang, pelayanan, atau lainnya. Keunggulan metode dalam merekomendasikan kebijakan pada sektor publik adalah: (1) lebih mudah diaplikasikan karena tidak harus mengukur manfaat dalam bentuk uang, (2) menggunakan rasionalitas teknis, dalam arti mencoba
7
Evaluasi Kebijakan Pelayanan Publik
Halaman
8
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat menentukan kegunaan dari alternatif kebijakan tapi tanpa menghubungkan konsekuensinya terhadap efisiensi ekonomi, (3) dan tidak tergantung pada logika pemaksimalan keuntungan. ➢ Analisis Biaya (Cost Analysis) Evaluasi kebijakan dengan metode Analisis biaya bisa dilakukan misalnya menggunakan analisis biaya finansial (financial cost analysis) dan analisis biaya pemenuhan (compliance cost analysis). • Evaluasi Efektivitas. Metode ini lebih memberikan penekanan pada manfaat (benefit). Caracara yang biasa dipakai diantaranya: ➢ Analisis Statistik (Statistical analysis). Salah satu teknik yang sering digunakan dalam analisis statistik adalah teknik eksperimental. Metode eksperimental merupakan metode yang mempunyai reputasi tinggi pada kondisi dimana teknik-teknik statistik atau survey yang didesain dengan baik mam-pu memfokuskan atau memilah secara akurat dam-pak-dampak khusus dari suatu pola dampak yang kompleks dan berubahubah. Kelemahannya terletak pada keterbatasan penggunanaannya untuk memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan praktis dan politik. Metode eksperimental memerlukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. ➢ Pengukuran Kinerja dengan menggunakan indikator. Pengukuran Kinerja merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Penilaian tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan kegiatan mengolah masukan menjadi keluaran atau penilaian dalam proses penyusunan kebijakan/program/ kegiatan yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi. Pengukuran kinerja menggunakan indikator kinerja kegiatan dengan memanfaatkan data kinerja yang diperoleh melalui data internal instansi dan data eksternal yang berasal dari luar instansi. Pengumpulan data kinerja dilakukan untuk memperoleh data yang akurat, lengkap, tepat waktu, dan konsisten, yang berguna dalam pengambilan keputusan. Pengumpulan data kinerja untuk indikator kinerja kegiatan yang terdiri dari indikatorindikator masukan, keluaran, dan hasil, dilakukan secara terencana dan sistematis setiap tahun untuk mengukur kehematan, efektivitas, efisiensi, dan kualitas pencapaian sasaran. Sedangkan pengumpulan data kinerja untuk indikator manfaat dan dampak dapat diukur pada akhir periode selesainya suatu program atau dalam rangka mengukur pencapaian tujuan-tujuan instansi pemerintah. Pengukuran kinerja mencakup kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capaian) dari masing-masing kelompok indikator kinerja kegiatan dan tingkat pencapaian sasaran instansi pemerintah yang merupakan tingkat pencapaian target (rencana tingkat capaian) dan masing-masing indikator sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja. • Metode Sederhana. Metode sederhana ini bisa dilakukan dengan cepat dan merupakan metode dengan biaya yang cukup rendah. Jika pengaruh suatu kebijakan sulit untuk dinyatakan atau diukur secara numerik maka pengaruhnya dicoba untuk dijelaskan secara kualitatif. Metode yang biasa digunakan diantaranya: ➢ peer review method. Dalam metode ini dilakukan review terhadap suatu subjek dengan melibatkan pula rekan ilmuwan/narasumber lainnya yang berkompeten dalam bidang yang sama dengan subjek reviewnya. ➢ Focus group interview. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan beberapa orang yang memiliki kompetensi tertentu dan dilakukan wawancara terhadap mereka oleh seorang atau lebih pewawancara yang sudah terlatih dan berpengalaman. Ketiga: Evaluasi Kebijakan berdasarkan Pelaku evaluasi (evaluator). Berdasarkan Klasifikasi ini evaluasi dibedakan menjadi: Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
• Evaluasi internal: evaluasi yang dilakukan oleh kementerian/organisasi yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan program, meskipun dilakukan oleh ahli dari luar organisasi ataupun lembaga think tank. • Evaluasi semi internal: misalnya evaluasi yang dilakukan oleh lembaga pusat terhadap program lintas departemen; • Evaluasi eksternal: evaluasi yang dilakukan oleh pihak ketiga, misalnya evaluasi yang dilakukan oleh Dewan Audit, lembaga swadaya masyarakat . Selain itu ada pendapat lain terkait dengan fungsi dan lingkup evaluasi kebijakan berpandangan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang inheren (melekat) dalam setiap rumusan kebijakan publik. Dari segi fungsi, evaluasi kebijakan publik memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu: (1) eksplanasi; (2) kepatuhan; dan (3) audit. Berikut ini penjelasan ketiga fungsi tersebut: • Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan. • Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. • Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau ada kebocoran, atau penyimpangan, dan apa manfaat ekonomi dari kebijakan tersebut. Ketiga fungsi di tersebut dapat dilakukan pada empat lingkup evaluasi kebijakan yaitu: (1) evaluasi formulasi kebijakan; (2) evaluasi implementasi kebijakan; (3) evaluasi kinerja kebijakan; dan (4) evaluasi lingkungan kebijakan. 1. Evaluasi formulasi kebijakan. Evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan pertanyaan apakah formulasi kebijakan publik telah dirumuskan sesuai dengan prosedur yang diperlukan, mengarah kepada inti permasalahan, tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar, mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal, dan secara muatan/substansi telah memenuhi kaidah-kaidah kebijakan publik seperti: tidak mengandung hal-hal yang dapat diinterpretasikan secara ganda, tidak ada kontradiksi antar pasal, tidak ada pasal atau ayat yang mengandung lebih dari satu muatan dan penggunaan bahasa yang tidak benar secara hukum. 2. Evaluasi implementasi kebijakan. Tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok: bagaimana kinerja implementasi kebijakan. Jawabannya tentu berkaitan dengan kinerja implementasi kebijakan (outcome) terhadap variabel independen tertentu; faktor apa saja yang menyebabkan variasi outcome dari implementasi kebijakan; dan bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan. Evaluasi implementasi kebijakan dibagi menurut waktu, yaitu evaluasi sebelum; pada waktu dilaksanakan, dan evaluasi setelah dilaksanakan. Evaluasi sebelum dilaksanakan dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan siap untuk dilaksanakan dan mencapai tujuan yang maksimal. Evaluasi pada waktu dilaksanakan dilakukan untuk memastikan bahwa tidak terjadi bias pelaksanaan dan tindakan penyempurnaan kebijakan apabila diperlukan. Evaluasi setelah dilaksanakan dilakukan untuk menilai keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan. 3. Evaluasi kinerja kebijakan. Evaluasi kinerja kebijakan dilakukan untuk menilai hasil (outcome) yang dicapai oleh suatu kebijakan setelah kebijakan dilaksanakan. Hasil yang dicapai dapat diukur dalam ukuran jangka pendek atau output, dan jangka panjang atau outcome. Evaluasi kinerja kebijakan dilakukan dengan melakukan penilaian komprehensif terhadap: pencapaian target kebijakan (output); pencapaian tujuan kebijakan (outcome); kesenjangan (gap) antara target dan tujuan dengan pencapaian; pembandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat lain yang berhasil; dan identifikasi
9
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat
4.
faktor pendukung keberhasilan dan kegagalan, sehingga menyebabkan kesenjangan, dan memberikan rekomendasi untuk menanggulangi kesenjangan. Evaluasi lingkungan kebijakan. Evaluasi lingkungan kebijakan berkenaan dengan faktorfaktor lingkungan yang membuat perumusan atau implementasi kebijakan mengalami kegagalan. Evaluasi ini dilakukan untuk menilai tingkat kondusivitas dari lingkungan kebijakan pada saat formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan.
Halaman
10
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Kebijakan Pelayanan Publik : Current Conditions Gambaran tentang implementasi kebijakan pelayanan publik baik menyangkut koordinasi antar kelembagaan terkait di tingkat pusat, pemahaman aparatur terhadap kebijakan pelayanan, kompetensi dan perilaku aparatur, kemudahan layanan, pengelolaan pengaduan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan tingkat kepuasan masyarakat. Koordinasi stakeholder terkait di tingkat pusat. Temuan YAPPIKA dan PATTIRO (2017) menyebutkan masih terjadi rivalitas dalam pengelolaan pelayanan publik di daerah antara Kementerian PAN-RB yang dimandatkan oleh Undang-Undang pelayanan Publik dan Kementerian Dalam Negeri yang dimandatkan oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Indikasi dari kondisi ini adalah bahwa aparatur pelayanan publik di daerah lebih “takut” kepada aturan Kementeri Dalam Negeri daripada Kementerian PAN-RB, termasuk Undang-Undang Pelayanan Publik yang lebih besar memberikan mandat dan otoritas kepada Menteri PAN-RB, namun Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyatakan otoritas berada di tangan Menteri Dalam Negeri. Disamping itu, masing-masing kementerian tersebut juga mengembangkan program dan kegiatan sendiri-sendiri dalam upaya meningkatkan pelayanan publik di daerah, sehingga tumpang tindih program dan kegiatan dalam pelaksanaan pembinaan tidak dapat dihindarkan. Kondisi ini tidak produktif dan cenderung kontraproduktif dan bahkan pemborosan. Disamping itu, masing-masing kementerian masih memperlihatkan ego sectoral (silo mentality) yang cukup tinggi, sehingga upaya sinergitas dan kolaborasi antar kementerian dan lembaga yang memiliki mandat terkait dengan pengembangan pelayanan publik sulit diwujudkan. Sulastio dari Indonesia Parliamentary Center mengatakan buruknya pelayanan publik terjadi karena memang tidak ada itikad baik dari pemerintah dalam reformasi birokrasi. Sulastio melihat koordinasi antar Kementerian juga buruk. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai pihak yang berwenang menindak pejabat publik tidak bisa maksimal karena tidak bisa menjangkau sampai ke tingkat bawah. “Puskesmas lebih nurut kepada Menkes, sekolah kepada Kemendiknas. Untuk itulah, kerjasama Menpan dengan Kementrian lainnya yang sebenarnya punya tangan sampai ke tingkat daerah harus diperbaiki,” papar Sulastio. Pemahaman aparatur terhadap kebijakan pelayanan. Pada sumber yang sama juga menemukan bahwa sebagian besar aparatur bahkan pada level pejabat di tingkat pusat tidak mengetahui adanya Undang-Undang pelayanan publik. Kondisi ini sangatlah ironis mengingat undang-undang pelayanan publik sudah relative cukup lama diberlakukan. Disamping itu, pemerintah bahkan Presiden juga secara terus menerus menyampaikan penilaian kinerja pelayanan publik serta berbagai keprihatinan terkait capaian kinerja pelayanan publik yang dinilai masih menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Rendahnya pemahaman aparatur terhadap kebijakan pelayanan publik menurut penulis juga disebabkan adanya ketidak seimbangan antara penyampaian kewajiban pelaksanaan pelayanan publik dengan pengembangan kapasitas dan peningkatan knowledge (substansi) kebijakan dan pelayanan publik. Untuk meningkatkan knowledge aparatur terhadap konten kebijakan dan substansi pelayanan publik, perlu dilakukan sosialisasi secara optimal undang-undang pelayanan publik dan substansi pelayanan publik. Menurut Andrinof, UU Pelayanan Publik masih dipandang sebelah mata oleh para pejabat publik khususnya di tingkat bawah. Selain itu, masyarakat yang seharusnya menjadi pengontrol pemerintah, belum bisa menjalankan fungsinya dengan maksimal. Pemahaman masyarakat terhadap UU Pelayanan Publik dinilai masih minim. “Masyarakat bisa berperan ketika sudah mengetahui terlebih dahulu soal aturan, kemudian Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat sadar, baru kemudian masyarakat bisa bertindak jika memang pelayanan publik ini tidak berjalan dengan baik,” ujarnya. Kompetensi dan perilaku aparatur. Hal pokok terkait dengan kompetensi dan perilaku aparatur pemerintah adalah bahwa aparatur yang seharusnya menjadi pelayan, dipandang lebih menepatkan diri sebagai “pejabat” dan penguasa. Terkait dengan kompetensi aparatur, Menpan RB mengutarakan bahwa salah satu permasalahan yag dipandang krusial adalah belum tertatanya sumber daya manusia aparatur, baik dalam hal kuantitas, kualitas, distribusi PNS menurut teritorial (daerah) yang tidak seimbang, maupun dalam hal tingkat produktivitas PNS yang masih rendah. Selain itu, manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi. Kemudahan layanan. Terkait dengan kemudahan layanan Presiden Jokowi dalam Sidang Kabinet terbatas mengatakan bahwa “Saya kira dari atas sampai ke bawah, dari hulu sampai ke hilir semuanya harus segera kita selesaikan. Terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di bawah,” ujar Jokowi. Presiden Jokowi menegaskan, dirinya tidak ingin lagi mendengar keluhan-keluhan rakyat mengenai pelayanan publik yang berkaitan dengan lamanya pelayanan, dioper sana-sini, berbelit-belit, tidak jelasnya waktu, tidak jelasnya biaya. “Saya kira semuanya ini harus hilang. Kurangi sebesar-besarnya, dan hilang. Kemudian praktek-praktek percaloan, pungli, dsb juga harus hilang,” tegasnya.” Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pelaksanaan pelayanan publik masih lama, dioper sana-sini, berbelit-belit, tidak jelasnya waktu, tidak jelasnya biaya. Pengelolaan pengaduan. Hasil penelitian Ombudsman RI (ORI) tahun 2015, menunjukkan bahwa masih banyak pemerintah daerah yang belum menyediakan sarana pengaduan pelayanan publik. Sebagian besar Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang sudah menyediakan sarana pengaduan ternyata belum melengkapi prosedur dan tat acara pengaduan yang jelas. Selanjutnya hasil penelitian ORI (2016) menyatakan bahwa kepatuhan kementerian dan pemerintah provinsi dalam aspek pengelolaan pengaduan cederung stagnan. Tingkat Kepuasan Masyarakat. Rata-rata tingkat kepuasan masyarakat menurut Tri Widodo (2010) menunjukkan trend yang kurang signifikan sebagaimana dapat dilihat tabel sebagai berikut. Tabel 1. Tren Nilai Rata2 Kepuasan Masyarakat
Sedangkan hingga tahun 2017 tren rata-rata tingkat kepuasan masyarakat secara nasional berkisar antara 79 – 80. Kondisi tersebut juga menunjukkan peningkatan kualitas pelayanan publik yang signifikan dari tahun ketahun.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Berdasarkan uraian dan pembahasan tersebut di atas, evaluasi implementasi kebijakan pelayanan publik telah menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Kesimpulan: Implementasi kebijakan pelayanan publik khususnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah belum efektif atau dengan kata lain belum optimal sesuai dengan target yang diharapkan. Indikasi dari blum efektifnya implementasi kebijakan pelayanan publik antara lain: (a) masih terjadinya rivalitas kementerian pembina pelayanan publik di daerah serta masih adanya ego sectoral (silo mentality) yang cukup tinggi,
11
E. PENUTUP
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat sehingga upaya sinergitas dan kolaborasi antar kementerian dan lembaga yang memiliki mandat terkait dengan pengembangan pelayanan publik sulit diwujudkan; (b) sebagian besar aparatur bahkan pada level pejabat di tingkat pusat tidak mengetahui adanya Undang-Undang pelayanan publik. Kondisi ini sangatlah ironis mengingat undang-undang pelayanan publik sudah relative cukup lama diberlakukan; (c) belum tertatanya sumber daya manusia aparatur, baik dalam hal kuantitas, kualitas, distribusi PNS menurut teritorial (daerah) yang tidak seimbang, maupun dalam hal tingkat produktivitas PNS yang masih rendah. Selain itu, manajemen sumber daya manusia aparatur belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja pegawai, dan organisasi; (d) pelaksanaan pelayanan publik masih lama, dioper sana-sini, berbelit-belit, tidak jelasnya waktu, serta tidak jelasnya biayanya; (e) bahwa masih banyak pemerintah daerah yang belum menyediakan sarana pengaduan pelayanan publik; (f) tingkat kepuasan masyarakat menunjukkan trend yang kurang signifikan dari tahun ketahun dengan peningkatan nilai indeks kepuasan yang relative sangat kecil. Rekomendasi Kebijakan; Berdasarkan kondisi dan permasalahan pelayanan publik tersebut di atas, dapat disampaikan saran strategis terkait dengan optimalisasi implementasi kebijakan pelayanan publik sebagai berikut: (a) implementasi kebijakan pelayanan publik harus didukung sepenuhnya oleh seluruh stakeholder (instansi) pembina dengan mendorong sinergitas dan kolaborasi pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing dalam penguatan pelaksanaan kebijakan di tataran lapangan; (b) penguatan pemahaman terhadap kebijakan pelayanan publik melalui sosialisasi dan pengembangan kapasitas penyelenggara pelayanan publik; (c) penguatan peran pengawasan baik oleh unit internal pemerintah maupun ombudsman; (d) penerapan reward dan punishment secara tegas dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
12
Chaniago, Andrinof. 2016., Bahan Diskusi di Komplek Parlemen, Universitas Indonesia: Jakarta. Davies, Philip: “ Policy Evaluation in the United Kingdom”; presented at the KDI International Policy Evaluation Forum, Korea, May 2004 Dunn, N William; “ Analisis Kebijakan Publik” Edisi Bahasa Indonesia, Gadjah Mada University Press Yogyakarta, Cet. 3, Februari 2000. Dwiyanto, Agus dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, cet.2. 2006 Lembaga Administrasi Negara. 2010. ”Kajian Evaluasi Kebijakan Pelayanan Publik”, LAN: Jakarta. Ombudsman Republik Indonesia (ORI). 2015. Penelitian Kepatuhan Penyelenggara Pelayanan, Tahun 2015. ORI:Jakarta Ombudsman Republik Indonesia (ORI).2016. Penelitian Kepatuhan Penyelenggara Pelayanan, Tahun 2016. ORI: Jakarta Sulastio. 2016. Indonesia Parliamentary Center, Bahan Diskusi di Komplek Parlemen, Universitas Indonesia: Jakarta. Tri Widodo WU.2010. Bahan Paparan Indeks Kepuasan Masyarakat, Samarinda, tahun 2010. LAN: Samarinda YAPPIKA dan PATTIRO.2017. Kajian Evaluasi Implementasi Undang-Undang Pelayanan Publik, tahun 2017. YAPPIKA: Jakarta Peraturan-peraturan: Undang-Undang Nomor 25 Tahun tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
EVALUASI KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK : Upaya Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Masyarakat
Halaman
13
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/25/M.PAN/05/2006 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penilaian Kinerja Pelayanan Publik dalam Rangka Pelaksanaan Kompetisi Antar Kabupaten/Kota.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA IMPLEMENTATION ONLINE VILLAGE PROGRAM AS A MEASURE OF ACCELERATION OF VILLAGE DEVELOPMENT Witra Apdhi Yohanitas. S.Kom Pusat Inovasi Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No 10, 10110
[email protected],
[email protected] Abstract The current village development is intensively carried out by the government. Proven with the birth of Law No. 6 of 2014 on the Village which is a development agreement. The public has time to be placed as a strong party. In other words, the government should encourage and increase the power of society so that it has the competitiveness and prosperity of themselves and their groups. Political policy has been done with digaungkannya one billion perdesa. In addition program support programs are also launched such as independent villages and villages online to accelerate village development. Online village programs as one of the leading programs providing village information include village potential, excellent village products, and village development can be promoted and accessed easily. For the good here will be explained about the implementation of the online village program in the acceleration of village development and create an independent village and efforts in running the village program online in accordance with its target. It will thus gain more information about the implementation of the online village program in accelerating village development and establishing an independent village. In addition, it can be a lesson related to the process of implementation of the village program online in achieving the target and hope of acceleration of village development. The online village program utilizes information technology for information resources. Conducting promotions that will impact on improving the economy of the people, providing important information such as education, business, tourism, transportation and manufacturing. March 2017 there are 1125 villages to participate in the Online village program and hope that the village will be more advanced Promotional means offered. Village stay to register to be able to take advantage of the facilities provided free of charge. To optimize the system of providing relevant training. Socialization is carried out periodically in addition to as a means of training can also capture other village villages that have not yet established online village program. In addition, it can be used to minimize the use of funds from the budget side, implementation until realization. Keywords: online village program, village development, promotion, competitiveness
Halaman
14
Abstrak Pembangunan desa saat ini sangat gencar dilakukan oleh pemerintah. Terbukti dengan lahirnya Undangundang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menegaskan desa sebagai subjek dari pembangunan. Masyarakat sudah saatnya ditempatkan sebagai pihak yang kuat. dengan kata lain pemerintah harus mendorong dan meningkatkan kekuatan masyarakat sehingga memiliki daya saing dan mensejahterakan diri dan kelompoknya. Kebijakan politik sudah dilakukan dengan digaungkannya satu milyar perdesa. Selain itu program program pendukung juga diluncurkan seperti desa mandiri dan desa online untuk percepatan pembangunan desa. Program desa online sebagai salahsatu program unggulan yang menyediakan informasi tentang desa ada di dalamnya sehingga potensi desa, produk unggulan desa, dan progres pembangunan desa bisa dipromosikan dan diakses dengan mudah. Untuk itulah disini akan dijelaskan pandangan tentang pelaksanaan program desa online dalam percepatan pembangunan desa dan mewujudkan desa mandiri serta upaya upaya pemerintah dalam melaksanakan program desa online sesuai dengan targetnya. Dengan begitu akan diperoleh informasi yang lebih banyak tentang pelaksanaan program desa online dalam percepatan pembangunan desa dan mewujudkan desa mandiri. Selain itu dapat menjadi bahan pengetahuan terkait proses pelaksanaan program desa online dalam mencapai target dan harapan percepatan pembangunan desa. Program desa online memanfaatkan teknologi
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA informasi untuk mendapatkan sumber informasi. melakukan promosi yang akan berdampak pada perbaikan perekonomian masyarakat, menyediakan informasi informasi penting seperti dunia pendidikan, dunia usaha, dunia pariwisata, transportasi dan manufaktur.Per maret 2017 telah ada 1125 desa mendaftarkan desanya untuk ikut berpartisipasi dalam program desa Online dan berharap desanya akan lebih maju melalui sarana promosi yang ditawarkan. Desa tinggal melakukan registrasi untuk dapat memanfaatkan fasilitas yang diberikan secara gratis. Untuk mengoptimalkan sistem disediakan pelatihan terkait penggunaannya melalui sosialisasi dan workshop. Sosialisasi dilakukan secara periodik selain sebagai sarana pelatihan juga dapat menjaring desa desa lain yang belum tersentuk program desa online.Selain itu dapat digunakan untuk transparansi penggunaan dana desa baik dari sisi anggaran, pelaksanaan hingga realisasi.
Kata Kunci: Program Desa Online, Pembangunan Desa, Promosi, Daya Saing
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Pembangunan desa di Indonesia saat ini sedang gencar gencarnya dilakukan oleh pemerintah. Program penguatan pemerintah desa banyak dilakukan agar masyarakat desa nantinya tidak berketergantungan dengan pihak luar desa. Tentu saya targetnya peningkatan daya saing masyarakat perdesaan dengan memperkuat kapasitas aparatur desa. Dengan kata lain penguatan desa pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan secara ekonomi, politik dan sosial budaya. Sampai saat ini masih banyak pemerintah daerah yang belum dapat menemukan model dan strategi yang tepat dalam melakukan pembangunan daerahnya terutama desa. Hal ini dapat terlihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum meningkat dan merata disetiap daerah. Justru yang terjadi adalah persoalan baru sebagai akibat dari kebijakan yang kurang konsisten dan tidak berlanjut. Kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, keterbatasan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi yang semu menjadi persoalan yang secara bergantian harus dihadapi oleh pemerintah. Masyarakat sudah saatnya ditempatkan sebagai pihak yang kuat. dengan kata lain pemerintah harus mendorong dan meningkatkan kekuatan masyarakat dalam bersaing dan mensejahterakan diri dan kelompoknya. Pembangunan harus berpihak kepada masyarakat, namun masyarakat tetap tidak harus dimanjakan dengan segala jenis bantuan. Untuk itulah pemerintah harus melakukan tindakan yang tepat dan cepat untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat yang tidak hanya bersifat sementara. Kebijakan politik yang dituangkan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memperlihatkan bahwa pemerintah pusat telah merubah orientasinya terhadap keberadaan desa. Pada undang undang tersebut dibedakan antara desa (administratif) dengan desa adat. Program pemerintah yang memberikan dana satu miliyar untuk desa seharusnya jangan hanya sebagai konsumsi politik. Pemberian dana harus dipertimbangkan juga keperluan dan kepentingannya. Karena dengan memberikan dana tidak serta merta masyarakat desa meningkat kesejahteraannya. Perlu dipertimbangkan kebijkan yang mendorong masyarakat untuk mau berkompetisi dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Dan untuk berkompetisi itulah masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya. Namun aparatur pemerintah sebagai pihak yang melayanai masyarakat terutama pada garis terdepan juga harus siap mengawal. Dengan kata lain harus terlebih dahulu meningkatkan keahlian dan kemampuannya dan memikirkan langkah tepat untuk pengelolaan dana tersebut demi kesejahteraan masyarakatnya. Kebijakan inilah yang harus dikawal agar tidak dimanipulasi melalui berbagai program yang ditangani melalui berbagai kementerian. Program unggulan yang menjadi prioritas pemerintah saat ini dalam mewujudkan pembangunan desa adalah program desa membangun. melalui program ini pemerintah bertekat memperkuat daerah-daerah dan Desa dalam kerangka Negara kesatuan dengan mendorong peningkatan pemberdayaan masyarakat. Fokusnya adalah mengajak masyrakat secara bersama membangun desanya untuk lebih berdaya guna sehingga pada akhirnya akan mampu
15
A. PENDAHULUAN Latar Belakang
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA untuk meningkatkan daya saing. Untuk mewujudkan itu diluncurkan pula program pendukung lainnya seperti program desa online. Program desa online ini merupakan program prioritas dalam rangka mempercepat program desa membangun. Program ini menggunakan teknologi informasi dimana akan dapat menyediakan informasi tentang desa ada di dalamnya sehingga potensi desa, produk unggulan desa, dan progres pembangunan desa bisa dipromosikan dan diakses dengan mudah. Untuk itulah perlu kerjasama yang cepat dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) terkait dalam menerapkan program desa Online atau Sistem Informasi Desa. ini mengingat target yang telah ditetapkan pemerintah yaitu minimal 5000 desa telah mengimplementasikan program desa online untuk percepatan pembangunan desa. Desa online diharapkan menjadi sarana sarana transparaansi desa karena menyediakan ruang kepada pihak pemerintah desa Laporan tentang rencana pembangunan desa, pengelolaan Dana Desa, dan progres pembangunan desa. desa-desa di Indonesia juga tak lagi terisolasi dan akan lebih melek tekhnologi, Akses informasi akan mudah didapatkan, sehingga transfer ilmu dan tekhnologi bisa cepat sampai ke desa. Dengan kata lain desa menjadi subjek bukan hanya menjadi penonton. Namun yang jadi pertanyakan efektifkn program desa online ini dalam menjawab harapan yang diembannya? Apakah percepatan pembangunan desa akan terwujud?
Tujuan Penulisan Merujuk dari latar belakang permasalahan yang diungkapkan diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan ini adalah: a. Memberikan pandangan tentang pelaksanaan program desa online dalam percepatan pembangunan desa dan mewujudkan desa mandiri b. Menyajikan upaya pemerintah dalam melaksanakan program desa online sesuai dengan targetnya. Tentusaja dengan begitu akan diperoleh manfaat sebagai berikut: a. Mendapat informasi yang lebih banyak tentang pelaksanaan program desa online dalam percepatan pembangunan desa dan mewujudkan desa mandiri; b. Sebagai bahan pengetahuan terkait proses pelaksanaan program desa online dalam mencapai target dan harapan percepatan pembangunan desa.
Perumusan Masalah Mengemukakan pengelolaan pengaduan yang dibangun pemerintah tidak mudah. Perumusan masalah yang dapat membantu mengungkapkan pembelajaran yang dapat diambil diperlukan. Perumusan yang dapat digunakan adalah: a. Apa yang dimaksud dengan program desa online dalam percepatan pembangunan desa. b. Bagaimana pelaksanaan program desa online dalam mewujudkan percepatan pembangunan desa.
Halaman
16
B. METODE PENULISAN Pendekatan penulisan ini menggunakan metode deskriptif analitis, dimana menjelaskan permasalahan melalui analisa kebijakan yang diambil pemerintah dalam pelaksanaan program desa online dalam mendukung desa mandiri. Data didapat dengan memperhatikan Kebijakan yang ada terkait pelaksanaan program desa online serta basis data implementasi program tersebut. Data lain didapat melalui data sekunder yang berasal dari hasil penelitian ataupun laporan yang telah dilakukan sebelumnya ditambah data terkini. Pada akhirnya menyajikan apa yang dapat menginspirasi bagi instansi pemerintah yang untuk menanggapi pelaksanaan program desa online yang dilakukan.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Saat ini perkembangan teknologi sudah semakin pesat. Terutama teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi banyak digunakan untuk memperlancar, menguatkan, dan mengintegrasikan berbagai urusan secara operasional maupun pendukung. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan terminologi besar terkait penggunaan teknologi untuk memproses dan menyampaikan informasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini mengharuskan pihak pemerintah untuk mendayagunakan semua sumberdayanya dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, yang dikenal dengan istilah e-government. e-government berdasarkan buku Simpul Integrasi Sistem Informasi Nasional (2005) yang mengutip World Bank (2001) didefinisikan sebagai pemanfaatan teknologi informasi (seperti internet, telepon, satelit) oleh institusi pemerintah untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam hubungannya dengan masyarakat, komunitas bisnis, dan kelompok terkait lainnya. Terlebih dahulu harus dipahami apa itu TIK. Menurut Sutabri (2012-52) TIK mencakup dua aspek, yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi Informasi meliputi segala hala yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat satu ke yang lain. Dengan kata lain TIK sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan terkait pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindah informasi antar media. Perkembangan teknologi inforasi yang sangat signifikan ternyata menyebabkan perubahan peran teknologi pada dunia bisnis dan organisasi. Desa sebagai salah satu entitas organisasi yang berwenang mengatur pelaksanaan kegiatan dalam rangka mensejahterakan mastarakat termasuk didalamnya. Perubahan peran teknologi menurut Sutabri (2012-53) dimulai dari efisiensi, efektifitas dan sampai ke peran strategik. Peran efisiensi yaitu menggantikan manusia dengan teknologi informasi yang lebih efisien. Peran efektifitas yaitu menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan manajemen yang efektif. Sedangkan peran strategik merupakan penggunaan teknologi untuk memenangkan persaingan. Dalam konteks pengembangan desa melalui program Desa Online, penggunaan teknologi informasi dapat meningkatkan daya saing desa dikarenakan promosi potensi desa akan sangat cepat tersebar. Melalui teknologi informasi ini desa sebagai entitas organisasi dapat berkompetisi yang pada akhirnya mampu mendapatkan keunggulan kompetitif scara nasional maupun global. Keunggulan dalam bersaing menggunakan teknologi informasi harus didukung oleh sistem informasi yang matang dalam segi proses, rencana bisnis organisasi kedepan. Sistem informasi menurut Sutabri (2012-54) berfungsi sebagai sarana dalam membantu organisasi untuk merealisasikan tujuannya. Untuk itu diperlukan analisa kebutuhan bisnis dan evaluasi sumberdaya teknologi informasi hingga nantinya diperoleh peluang dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan. Sebagai wujud dari e-government, penggunaan teknologi informasi melalui program Desa online akan sangat bermanfaat. Mengutip implementasi konsep e-government dari Amerika (Al Gore) dan Inggris (Tony Blair), Indrajit (2002, 5) mengungkapkan manfaat yang diperoleh bagi suatu negara antara lain pertama, memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya; kedua, meningkatkan transparansi, kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan; ketiga, mengurangi secara signifikan total biaya administrai, relasi, dan interaksi yang dikeluarkan; keempat, memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber – sumber pendapatan baru melalui interaksi dengan pihak yang berkepentingan; kelima, menciptakan lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat menjawab berbagai permasalahan ; keenam, memberdayakan masyarakat dan pihak – pihak lain sebagai mitra pemerintah. Dengan kata lain implementasi e-government secara signifikan dapat memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat. Dalam rangka optimalisasi penggunaan TIK bagi entitas desa, pemerintah melalui kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi mengembangkan desa
17
C. TINJAUAN PUSTAKA Teknologi Informasi Dalam Program Desa Online
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA online. Hal ini juga sesuai dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan transparansi dan memudahkan akses informasi desa. Dalam UU Desa diamanatkan agar pemerintah mengembangkan data dan informasi untuk dapat diakses masyarakat dengan mudah. Untuk keterbukaan informasi desa, program desa online menjadi pilihan.
Halaman
18
Program Desa Online dan situs web/ website Desa online merupakan program pemerintah yang memberikan fasilitas website/ portal lengkap dengan perangkat pendukung dimana pengelolaan dan pengoperasiannya dilakukan langsung oleh operator situs desa yang terlebih dahulu diberikan pelatihan. Program Desa online juga merupakan upaya untuk mendukung terentasnya 5.000 desa tertinggal dan membentuk sebanyak 2.000 desa mandiri yang dicanangkan pada tahun 2015. Targetnya adalah agar semua desa (74 ribu desa) dapat tergabung dalam desa online. Fasilitas yang dicanangkan pemerintah ini sudah pasti memerlukan persiapan matang. Seperti perlunya kapasitas yang besar yan dapat menampung data desa dengan segala isinya. Selain itu diperlukan juga banthwith yang cukup besar agar dapat menjamin kestabilan dalam mengakses portal tersebut karena sebagai portal maka masyarakat sudah pasti akan banyak yang mengakses. Isi konten yang disediakan sudah pasti tidak harus diisi oleh pemilik portal. Maka dari itu dibutuhkan pelatihan agar petugas desa bisa mengisi sendiri konten terkait desa mereka masing masing. Program desa online ini sendiri adalah salah satu upaya pemerintah untuk mengembangkan pembangunan dari desa. Menurut Padan(2014) Membangun merupakan upaya dan tindakan yang terus menerus dilakukan oleh seseorang, kelompok, golongan, pemerintah, ataupun Negara untuk mewujudkan sebuah harapan atau sesuatu yang sangat diimpikanoleh berbagai lapisn masyarakat. Dalam artian luas pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan secara sadar dan melembaga dalam rangka menbangunan masyarakat. Seperti yang dikutip Padan (2014) dalam konteks penyelenggara pemerintahan, pembangunan menggambarkan adanya perilaku atau tindakan pemerintah dengan segenap unit bagiannya, menjalankan tugas pemerintahan, tugas pembangunan, dan tugas pelayanan kepada masyarakatsecara berdaya guna dan dapat membawa hasil. Dalam melakukan pembangunan tentu akan selalu da persoalan dan tantangan yang dihadapi. Untuk menjawab itu pemerintah perlu terlebih dahulu mengetahui persoalan utama yang dihadapi, setelah itu barulah strategi dan pola pembangunan dapat ditentukan dengan tepat. Selanjutnya perlu dilihat juga potensi penunjang yang tersedia agar dapat menjadi kekuatan dalam mencapai tujuan pembangunan. Terkait dengan program desa online ini pemerintah melihat permasalahan utama yang ada adalah adanya kesenjangan pembangunan di desa yang disebabkan kurangnya pemahamn masyarakat desa tentang potensi desanya ditambah fasilitas yang kurang memadai. Hal ini mengakibatkan desa sulit untuk bersaing. Untuk itulah program desa online di luncurkan sebagai salahsatu strategi pemerintah dalam memberikan fasilitas desa untuk menemukan potensinya serta mempromosikan potensi desa. Tentu saja pemerintah desa masih perludibantu dalam hal fasilitas penunjang lainnya karena program desa online ini menggunakan website sebagai sarana pelaksanaan. Sebenarnya apa itu website? Website sering juga disebut sebagai web, site, situs, atau situs web. Menurut Ricardo Website adalah sebuah halaman yang menyajikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, atau video yang diletakkan di dalam sebuah server/hosting di mana untuk mengaksesnya diperlukan jaringan internet. Wikipedia mengartikan website(situs web) sebagai suatu halaman web yang saling berhubungan yang umumnya berada pada server yang sama berisikan kumpulan informasi yang disediakan secara perorangan, kelompok, atau organisasi. Sebuah situs web biasanya ditempatkan setidaknya pada sebuah server web yang dapat diakses melalui jaringan seperti Internet, ataupun jaringan wilayah lokal (LAN) melalui alamat Internet yang dikenali sebagai URL. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA Sebuah website agar bisa diakses di internet diperlukan 2 komponen yang harus ada yaitu Domain dan Hosting. Domain sendiri merupakan sebuah nama unik yang diberikan oleh domain name server agar dapat dikenali sebagai nama server komputerseperti halnya pada webserver dan email server di internet. Dengan begitu pengunjung dapat dengan mudah mengenali dan mengakses suatu website tanpa harus menghafal IP Address website tersebut. Hosting sendiri adalah ruang penyimpanan untuk menampung file- file website. Analoginya jika domain adalah alamat rumah maka hosting merupakan rumah itu. Oleh karena itu keduanya sangat diperlukan untuk membangun sebuah website. Ada banyak sekali jenis website yang bisa jumpai, di antaranya adalah company profile, toko online, blog, web portal, search engine, forum, sosial media, katalog dll melihat dari fungsinya portal desa online yang ada saat ini bisa dikategorikan sebagai web portal sekaligus company profile. Hal ini dikarenakan pada portal tersebut memperkenalkan dan memberikan informasi mengenai desa tertentu kepada pihak lain yang membutuhkan terkait potensi desa. Hal ini memang sangat perlu dilakukan untuk kepentingan peningkatan daya saing desadengan melakukan promo potensi desa melalui dunia maya dalam hal ini portal desa online ini.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Sudah dituliskan sebelumnya bahwa desa online menggunakan media website/ jaringan situs dalam rangka pengelolaan data informasinya. Untuk itu perlu diketahui juga bahwa pemerintah telah mengatur terkait pemanfaatan website tersebut. Pemerintah telah mengatur tentang pemanfaatan website bagi pemerintahan baik pusat maupun daerah. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 28 /PER/M.KOMINFO/9/2006 tentang Penggunaan Nama Domain go.id menjelaskan agar pemerintah pusat maupun daerah menggunakan domain ‘go.id’ sebagai alamat websitenya dalam alam rangka menunjang pengembangan dan pelaksanaan elektronik goverment (e-government). Hal ini perlu dilakukan untuk agar situs pemerintah yang beredar di dunia maya merada dalam satu payung nama domain yang sama, yakni domain go.id. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa nama domain adalah alamat internet dari lembaga pemerintahan pusat dan daerah yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi melalui internet, berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik, menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. Situs web adalah koleksi dokumen format html dari suatu lembaga pemerintahan pusat dan daerah dalam web server. Lembaga pusat dan daerah hanya dapat memiliki satu nama domain saja. Berarti setiap unit yang ingin memiliki situs web akan berada dibawah nama domain lembaganya, hal itu biasa disebut dengan subdomain. Pemda yang memiliki beberapa SKPD seperti dinas, badan, kantor dan yang lainnya juga berlaku hal demikian. SKPD yang ada di pemda dapat menjadi subdomain dari domain tersebut. Mengenai pendaftaran nama domain go.id jika ada pemda yang belum memiliki situs web atau sudah memiliki tapi belum terdaftas dengan nama domain go.id, maka dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 28 / PER/ M.KOMINFO/ 9/ 2006, bab III tentang permohonan/ pendaftaran nama domain telah diatur tata caranya. Perentasan situs web menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi didunia maya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah telah mengatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Pada bab VII tentang Perbuatan yang dilarang, tepatnya pasal 30, 31, 32, 33, 36, 37. Disana dijelaskan perbuatan yang dilarang berkaitan dengan transaksi elektronik. Dan tentu saja situs web pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu sarana transaksi elektronik yang berkaitan dengan pemberian informasi dan layanan kepada masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan perentasan di situs web pemerintah terutama pemerintah daerah maka perlu adanya sistem keamanan yang dapat melindungi situs web pemerintah daerah. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, yakni pada pasal 7 ayat 1 (b) dimana perangkat lunak yang digunakan oleh penyelenggara sistem elektronik untuk pelayanan publik wajib terjamin keamanan dan keandalan operasi sebagaimana mestinya. Pemahaman yang
19
Peraturan Terkait Pemanfaatan Website Terkait Implementasi Program Desa Online
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA dapat diambil disini adalah situs web yang merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk pelayanan publik harus memiliki sistem keamanannya sendiri apapun bentuknya. Selain itu, pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2012 pasal 30 ayat 1 yang menyatakan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib memiliki Sertifikat Kelaikan Sistem Elektronik. Oleh karena itu pemerintah juga telah mengatur tentang sertifikasi kelaikan elektronik yang dituangkan dalam bentuk sertifikasi SNI 270001(SNI ISO 27001:2009) tentang strandarisasi keamanan informasi. Standar Nasional Indonesia (disingkat SNI) adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN. Sertifikat SNI ISO 27001:2009 telah diatur melalui Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 95/KEP/BSN/10/2009 tentang penetapan 1 (satu) standar nasional Indonesia, dengan judul Standar nasional indonesianya adalah Teknologi informasi – Teknik keamanan – Sistem manajemen keamanan informasi – Persyaratan. SNI ISO 27001:2009 mencakup semua jenis organisasi (misalnya usaha komersial, pemerintah, organisasi nirlaba). Standar ini menetapkan persyaratan untuk penetapan, penerapan, pengoperasian, pemantauan, pengkajian, peningkatan dan pemeliharaan Sistem Manajemen Keamanan Informasi (SMKI) yang terdokumentasi dalam konteks risiko bisnis organisasi secara keseluruhan. Disini juga ditenetapkan persyaratan penerapan pengendalian keamanan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing organisasi atau bagian organisasi. Tujuannya adalah untuk melindungi aset informasi dan memberikan kepercayaan kepada pihak terkait. Karena sertifikasi ini tergolong masih baru, maka sementara ini hanya ada tiga situs web pemerintah yang sudah mensertifikasi keamanan data situs web-nya.
Halaman
20
Kewenangan Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Setiap desa memiliki kewenangan untuk mengembangkan wilayahnya untuk mensejahretakan masyarakatnya. Hal ini meliputi bidang-bidang pemerintahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa pada pasal 8 disebutkan kewenangan desa dibidang pemerintahan meliputi: a. penetapan dan penegasan batas Desa; b. pengembangan sistem administrasi dan informasi Desa; c. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa; d. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa; e. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan sektor non pertanian; f. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat partisipasi angkatan kerja; g. pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan jenis pekerjaan dan status pekerjaan; h. pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri; i. penetapan organisasi Pemerintah Desa; j. pembentukan Badan Permusyaratan Desa; k. penetapan perangkat Desa; l. penetapan BUM Desa; m. penetapan APB Desa; n. penetapan peraturan Desa; o. penetapan kerja sama antar-Desa; p. pemberian izin penggunaan gedung pertemuan atau balai Desa; q. pendataan potensi Desa; r. pemberian izin hak pengelolaan atas tanah Desa; s. penetapan Desa dalam keadaan darurat seperti kejadian bencana, konflik, rawan pangan, wabah penyakit, gangguan keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya dalam skala Desa; Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA t. u.
pengelolaan arsip Desa; dan penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat Desa. Melalui berbagai bidang ini, pemerintah desa bisa mengembangkan potensinya untuk kemajuan masyarakatnya. Pengembangan potensi desa tidak terlepas dari adanya sarana untuk publikasi dan promosi ke luar agar ada nilai tambah dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada undang undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa. Fungsi Desa sebagai institusi yang membantu pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan dan tugas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Terkait kewenangan pemerintah desa, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Pemerintah Desa memiliki pengertian kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adatistiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem Permerintahan NKRI. Artinya desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Bahkan saat Undang Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dikeluarkan maka desa diberi kesempatan untuk menentukan nasibnya dan dapat mandiri secara otonom dalam pembangunan desa. Dalam undang undang desa pasal 1 ayat 8 disebutkan bahwa pembangunan desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Lebih jelas lagi pada pasal 4 Undang Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan pengaturan desa bertujuan a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Tertulis jelas bahwa desa harus mendorong tumbuh kembangnya gerakan dan partisipasi masyarakat pengembangan potensi dan Aset Desa. Selain itu dalam rangka mengatasi kesenjangan nasional yakni dengan cara memajukan perekonomian masyarakat desa, bisa dikatakan program desa online merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Program Desa Online yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sangat terkait erat dengan sarana pemerintah dalam memberikan ruang publikasi dan promosi bagi desa sehingga akan dapat meningkatkan daya saing desa dan kesejaheraan masyarakat desa. Namun apa sebenarnya maksud dari publikasi dan promosi itu sendiri? Publikasi dan promosi sendiri memiliki arti yang hampir sama. Publikasi berasal dari bahasa latin Publicatio, yang berarti pengumuman atau upaya membuat jadi umum. Menurut Coulson dan Thomas (1993:140) Publikasi merupakan suatu kegiatan dimana seseorang atau kelompok mengumumkan hasil dari penelitian, diskusi atau suatu hal yang perlu untuk diketahui oleh publik. Menurut Susanto (2004) publikasi berkaitan dengan pembuatan bahan berita atau serangkaian tindakan untuk mencatat atau membuat bahan yang berhubungan dengan suatu
21
Publikasi dan Promosi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Desa Online
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA kejadian. Bisa dikatakan bahwa dalam mempublikasikan sesuatu perlu dibuat konten yang tepat peruntukkannya bagi publik atau umum. Sementara penggunaan yang lebih spesifik dapat bervariasi dimasing-masing negara, biasanya diterapkan untuk teks, gambar, atau konten audio visual lainnya di media apapun, termasuk kertas (seperti surat kabar, majalah, katalog, dll) atau bentuk penerbitan elektronik seperti situs, buku elektronik, CD, dan MP3. Promosi atau publisitas menurut Coulson dan Thomas (1993:140) adalah publikasi yang menggunakan media massa sebagai sarana penyebarluasan informasi. Publisitas adalah publikasi perusahaan yang dimuat media massa. Sedangkan menurut Susanto (2004) promosi merupakan tindakan memperkenalkan/ menyebarluaskan berita. Dalam melakukan publikasi dan promosi sebaiknya menggunakan bahasa lokal, nasional atau internasional. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat pentingnya informasi yang akan diberikan agar mudah diingat. Publikasi memiliki tujuan untuk menyebarkan informasi yang ada kesemua pihak dengan harapan akan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tersebut. Selain itu juga bertujuan untuk penggalangan dana pada beberapa kasus tertentu. Publikasi itu sendiri sangat berhubungan dengan orang banyak dan ini dimanfaatkan secara legal untuk sekalian mencari dana guna keberlangsungan suatu perkumpulan. Promosi/ Publisitas bertujuan untuk menciptakan minat pada orang, produk, ide, organisasi, atau pendirian usaha secara umum melalui generasi dan penempatan cerita yang menguntungkan bagi yang memanfaatkannya. Dalam melakukan promosi sangat mengandalkan kualitas konten untuk membujuk orang lain untuk mendapatkan pesan keluar. Jika dikaitkan dengan program desa online maka pemanfaatan sistem ini sangat berguna bagi desa dalam rangka mengembangkan potensi desa dan mensejahterakan masyarakatnya. Dalam melakukan publikasi ataupun promosi perlu memperhatikan terlebih dhulu sasaran atau target yang akan menerima informasi. Kemudian pesan, kalimat, bahasa apa yang digunakan agar informasi yang disampaikan tepat sasaran. Selanjutnya perlu diperhatikan juga saluran komunikasi atau media yang akan digunakan untuk menyampaikan informasi tersebut, dalam hal ini bisa dalam bentuk teks, gambar, atau konten audio visual lainnya. Yang tak kalah penting adalah komunikator/ orang yang melakukannya. Jika tidak ada orang yang ingin menyebarkan informasi, maka informasi sebagus apapun tidak akan diketahui siapapun. Selanjutnya terkait dengan anggaran. Anggaran sering menjadi penghalang utama dalam publikasi/ promosi baik menggunakan media apapun. Untuk itu perlu dipertimbangkan kembali biaya yang dibutuhkan sebelum memilih media apa yang akan digunaan sebagai sarana publikasi dan promosi.
Halaman
22
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa bukan sekedar kumpulan orang dalam suatu wilayah ataupun sebagai unit administratif birokratis saja. Desa bisa diibaratkan seperti “negara kecil” yang berfungsi sebagai basis politik, basis pemerintahan, basis ekonomi dan basis sosial budaya. Sebagai basis sosial, desa menjadi tempat mengembangkan dan merawat modal sosial sehingga desa mampu bertenaga dan berdayaguna secara sosial. Sebagai basis politik, desa bisa menjadi arena kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal sekaligus arena representasi dan partisipasi warga dalam pemerintahan dan pembangunan desa. Dilihat dari basis ekonomi, desa memiliki asetaset ekonomi yang beragam yang bermanfaat untuk sumber penghidupan bagi warga seperti hutan, kebun, sawah, tambang, sungai, pasar dan sebagainya. terakhir sebagai basis pemerintahan, desa tentu saja memiliki struktur organisasi dan tata pemerintahan yang mengelola kebijakan perencanaan keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga. Struktur organisasi desa tersebut juga telah diatur dalam kebijakan pemerintah tentang desa. Untuk itulah pemerintah saat ini menjadi gencar untuk mendorong pembangunan desa sebagai tonggak dasar berdirinya bangsa. Percepatan pembangunan desa saat ini memang tengah didorong oleh pemerintah melalui kebijakan dan program kegiatannya. Hal ini mulai terlihat dengan adanya Undang Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Melalui undang undang tersebut desa diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya dan dapat mandiri secara otonom. Desa saat ini sudah banyak Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
berkembang sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Untuk itulah pembangunan desa perlu dilakukan agar kesejahteraan masyarakat desa dapat diwujudkan. Melalui undang undang tesebut, pemerintah secara langsung mengangkat hak dan kedaulatan desa untuk dapat membentuk pemerintahan desa yang professional, efisien, efektif, terbuka dan bertanggungjawab. Sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pelayanan publik bagi warganya guna mempercepat perwujudan kesejakteraan umum. Dalam rangka membangun kawasan desa, pemerintah dapat melakukan pemberdayaan masyarakat desa yakni dengan cara mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Karena membangun desa tidaklah dengan cara menyetir arah pembangunannya namun memberikan dukungan yang tepat melalui pemberdayaan tersebut. Pemerintahan desa dapat melakukan prakarsa, gerakan dan menggalang partisipasi masyarakat desa untuk mengembangkan potensi dan asset desa. Selain itu dapat pula melestarikan dan memajukan adat , tradisi, dan budaya masyarakat desa. Terkait dengan menjamin rencana dan pelaksanaan pembangunan desa pada Undang Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 82-86, diatur agar dalam melaksanakan kewenangannya, pemerintah desa dapat membangun Sistem Informasi Desa yang dapat dipantau oleh masyarakat desa. Desa sebagai pemerintahan terdekat dengan masyarakat tentu tidak terlepas dari penyelenggaraan pemerintahan baik yang dapat terlihat dari pelayanan publiknya. Aparatur desa sebagai penyelenggara pelayanan publik di desa memiliki tugas yang sama dengan aparatur pemerintah lainnya dalam membarikan pelayanan kepada masyarakat. Aparatur desa menurut Wahyudi (2016:125), tidak hanya bertugas menyelenggarakan urusan pelayanan administratif dan pemerintahan secara umum saja. Mereka juga bertanggungjwab dalam pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa. Contohnya aparatur desa bertanggungjawab dalam memberikan kemudahan kepada masyarakat desa untuk mendapatkan informasi penting dalam rangka membina dan pemberdayaan masyarakat. Informasi yang disediakan juga dapat menjadi sarana promosi yang baik agar pembangunan desa jauh lebih cepat dan merata. Akses informasi yang tepat dan aman saat ini sangat dibutuhkan oleh penyelenggara pemerintahan termasuk pemerintahan desa. Akses informasi dalam pasal 86 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan berhak diperoleh oleh desa melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Untuk itu dalam pasal 86 ayat 2 disebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan. Hal ini dimaksudkan agar desa dapat dibantu dalam mengembangkan sistem informasi desa. Misalnya memfasilitasi kebutuhan sarana prasarana untuk mengoperasionalkannya dalam hal ini meliputi perangkat keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia. Sistem informasi desa yang dimaksud dalam undang undang desa tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan e-government lingkup pemerintahan desa. Pada pasal 86 ayat 4 disebutkan bahwa sistem informasi desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data desa, data pembangunan desa, kawasan perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Informasi yang tersedia dalam sistem tersebut berisi berbagai macam data yang salah satunya adalah data terkait kewenangan desa seperti yang tertera pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Sistem ini dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan. Desa Online menjadi program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk mengatasi permasalahan yang akan dihadapi pemerintah desa untuk mengimplementasikan sistem
23
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA informasi Desa tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan memudahkan akses informasi desa. Desa online merupakan program yang dicanangkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dalam rangka memberikan fasilitas kepada desa dalam rangka memberikan data dan informasi dapat diakses masyarakat dengan mudah. Fasilitas yang dipersiapkan adalah berupa portal/web lengkap dengan perangkat pendukung serta pelatihan agar dapat mengelola dan mengoperasikan web secara mandiri. Program desa online juga akan memudahkan masyarakat mengontrol penggunaan anggaran desa, menyampaikan aspirasi dan mengakses informasi desa. Program ini merupanan upaya merealisasikan keterbukaan informasi yang berkaitan dengan desa dan juga sebagai wujud salah satu Nawa Kerja Prioritas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang sejalan dengan agenda prioritas pembangunan dalam konsep Nawa Cita Presiden dan Wakil Presiden, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan Desa dalam kerangka Negara kesatuan. Program desa online tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi informasi untuk mendapatkan sumber informasi yakni pengunaan internet. Internet sendiri menurut Sutabri (2012-8) merupakan perpaduan teknologi komputer dan teknologi informasi. Adanya internet membuat perubahan di kehidupan masyarakat seperti memasarkan berbagai produk untuk mendapatkan nilai ekonomis yang lebih tinggi, kemudahan mencari informasi. Selain itu terjadi juga kejahatan baru seperti mengambil data orang lain secara tidak baik seperti hacking, cracking, spamming. Desa online sendiri bisa menjadi cara pemerintah desa untuk melakukan promosi yang akan berdampak pada perbaikan perekonomian masyarakat. Selain itu juga dapat menyediakan informasi informasi penting yang dapat digunakan oleh kalangan tertentu seperti dunia pendidikan, dunia usaha, dunia pariwisata, transportasi dan manufaktur. Apalagi saat ini berbagai kalangan seperti pekerja, pelajar, mahasiswa ibu rumah tangga sudah terbiasa menggunakan internet. Hal ini terlihat pada hasil survey penggunaan internet tahun 2016 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Sebagai gambaran berikut ini hasil survey terkait komposisi pengguna internet berdasarkan pekerjaan
Sumber: Survey APJII 2016
Halaman
24
Gambar 1 Survey Penggunaan Internet Tahun 2016 terkait komposisi pengguna internet berdasarkan pekerjaan Portal/ web merupakan pilihan tepat untuk mengimplementasikan program Desa Online. Terkait dengan website, tentu saja tidak luput dari penamaan terhadap alamatnya. Di Indonesia sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 28 /PER/M.KOMINFO/9/2006 tentang Penggunaan Nama Domain go.id terkait penamaan sebuah website pemerintah dalam rangka menunjang pengembangan dan pelaksanaan e-government. Desa sebagai pemerintahan terdepan dan terdekat dengan masyarakat memang ada baiknya menggunakan domain tersebut untuk membangun portalnya. Khusus untuk portal/ web desa Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA telah resmi di-release extensi domain baru .DESA.ID oleh PANDI sebagai otoritas pengelola alamat domain Indonesia pada tanggal 1 Mei 2013. Sampai sekarang domain tersebut terus bertambah seiring dengan terbitnya Undang undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berikut ini perkembangan jumlah domain desa.id berdasarkan data dari PANDI Tabel 1. Perkembangan jumlah domain desa.id 2013
2014
2015
2016
2017
January
553
1,243
2,972
2,693
February
589
1,291
3,027
2,732
March
614
1,513
2,985
April
696
1,942
2,999
May
47
821
2,169
2,831
June
65
1,029
2,217
2,782
July
97
1,062
2,239
2,202
August
106
1,095
2,252
2,011
September
142
1,153
2,255
2,087
October
204
1,204
2,267
2,187
November
380
1,297
2,305
2,513
December
463
1,336
2,458
2,612
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Berdasarkan data perkembangan domain diatas terlihat terjadi peningkatan yang signifikan terhadap pemanfaatan domain desa.id tersebut. Namun pada awal 2015 sempat terjadi penurunan jumlah domain tersebut sebanyak 93 domain. Hal ini terjadi karena adanya kadaluarsa pada beberapa alamat domain tersebut. Pada tahun selanjutnya sempat terjadi juga penurunan jumlah domain desa.id cukup drastis. Hal ini disebabkan banyaknya administrator pengurus domain tidak melakukan pembayaran terhadap domain yang dimiliki sebagai salah satu syarat untuk pendaftaran ulang domain. Setiap domain memiliki masa berlaku yang sama yakni setahun. Dengan kata lain, pemilik domain harus melakukan perawatan pada domain dengan melakukan pendaftaran ulang jika tidak ingin domain websitenya ditutup. Perlu diketahui domain desa.id sama dengan domain yang lain dimana untuk memperolehnya harus melalui sistem pembelian, namun pada hakikatnya domain internet adalah disewakan. Kadaluarsa pada alamat domain dalam hal ini desa.id tentu akan merugikan desa yang memanfaatkan fasilitas online tersebut untuk mempromosikan desa terkait komoditas unggulan yang dapat meningatkan kualitas hidup masyarakat. Ada beberapa alasan kenapa domain dapat mengalami kadaluarsa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pemilik Lupa Melakukan Pendaftaran Ulang dan Membayar Biayanya 2. Pemilik Tidak Mampu Melakukan Pendaftaran Ulang serta Membayar Biayanya 3. Pemilik Domain Meninggal Dunia Tanpa Adanya Pihak Penerus yang Mengurus Domain 4. Pihak yang Melayani Perpanjangan Domain Gagal Melakukan Perpanjangan Domain 5. Domain di Ambil Alih Paksa Oleh Penjahat Cyber untuk Dibuat Menjadi Kadaluarsa 6. Pemilik Tidak Bersedia Memperpanjang Masa Aktif Domain Miliknya 7. Pihak yang Menjadi Tempat Perpanjangan Domain Memblokir Akses Pemilik Domain 8. Nama Domain Sengketa Dimenangkan Pihak Penggugat Sehingga Dilepas Pemiliknya 9. Pemilik Melakukan Pelanggaran Sehingga Aksesnya Ke Domainnya Diblokir 10. Pemilik Sengaja Menghilangkan Domainnya Dengan Berbagai Alasan
25
Sumber: Diolah dari statistik domain Pandi.id
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA Sebagai wujud dari e-government, penggunaan teknologi informasi melalui program Desa online akan sangat bermanfaat. Misalkan adanya perbaikan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat dimana informasi terkait potensi sumberdaya desa yang dipromosikan lewat sistem tersebut akan mudah didapatkan. Selain itu peningkatan transparansi, kontrol dan akuntabilitas pemerintahan desa dengan mengisikan vitur yang tersedia dalam sistem desa online. Tentu saja jika membicarakan biaya, secara signifikan akan pengurangi biaya administrasi, relasi, dan interaksi karena pemerintahan desa tidak perlu mempersiapkan perangkat keras dan sistem sendiri karena bisa langsung menggunakan sistem yang ada. Melalui sistem ini juga desa akan mendapatkan sumber pendapatan baru karena promosi yang dilakukan melalui sistem akan berjalan dengan sendirinya. Masyarakat juga dapat berinteraksi dengan cepat jika menginginkan informasi terkait desa tertentu. Masyarakat juga secara tidak langsung akan diberdayakan karena pengelolaan potensi desa tersebut tidak akan bisa maksimal jika tidak melibatkan masyarakat baik dari segi perencanaan pengembangan potensi desa maupun pelaksanaannya. Aplikasi desa online bisa dikatakan sebagai gerbang untuk masuk ke masing-masing website desa yang sudah terdaftar sejak diluncurkan pada tahun 2015. Pada dasarnya Portal Desa Online berisi peta sebaran website desa online, konten agregasi kegiatan desa, dan konten agregasi produk unggulan desa. Secara umum konten aplikasi desa online bisa menjadi sarana promosi yang bagus dan telah dipersiapkan dengan matang. Hal ini bisa terlihat berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi per maret 2017 telah ada 1125 desa mendaftarkan desanya untuk ikut berpartisipasi dalam program desa Online dan berharap desanya akan lebih maju melalui sarana promosi yang ditawarkan. Jika diurut berdasarkan provinsinya maka 1125 desa tersebut dapat dikelompokkan sebagaimana tabel 2.
Halaman
26
Tabel 2. Jumlah Desa Berdasar Propinsi Yang Telah Terdaftar Dalam Program Desa Online Provinsi Jumlah Desa Provinsi Jumlah Desa DKI Jakarta
1
Nusa Tenggara Timur
19
Jambi
1
Papua Barat
19
Kalimantan Utara
1
Kalimantan Barat
39
Kepulauan Riau
1
Riau
46
Maluku Utara
1
Gorontalo
54
Papua
1
Jawa Barat
129
Sulawesi Tenggara
1
Lampung
134
Sulawesi Utara
1
Nusa Tenggara Barat
138
Sumatera Selatan
1
Jawa Tengah
253
Sumatera Utara
1
Sulawesi Selatan
253
D I Yogyakarta
2
Bali
3
Jawa Timur
3
Kalimantan Timur
11
Banten
12 (Diolah dari data aplikasi desa online [desa.kemendesa.go.id/])
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa sudah ada desa di 25 propinsi yang sudah memanfaatkan fasilitas desa online ini. Dengan kata lain ada 9 propinsi yang desanya belum Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA memanfaatkan aplikasi desa online ini. Desa yang berada di Sulawesi Selatan dan Jawa tengah terpantau paling banyak memanfaatkan aplikasi desa online tersebut yakni 253 desa. Banyaknya desa yang memanfaatkan fasilitas ini mengisyaratkan bahwa aplikasi desa online cukup mudah dipahami dan digunakan sebagai sarana desa dalam memperkenalkan desa dan potensinya. Desa yang ingin menggunakan fasilitas desa online dapat melakukan registrasi dengan beberapa persyaratan. Namun dalam menggunakan desa online, tidak sertamerta hanya dengan registrasi dan langsung digunakan. Akan tetapi perlu ada pengenalan terhadap sistemnya. Oleh karena itulah perlu dilakukan pelatihan kepada aparat desa agar pemanfaatan sistem aplikasi desa online dapat optimal. Pendaftaran desa untuk ikut dapat memanfaatkan sistem desa online sangatlah mudah yaitu cukup dengan mengajukan formulir pendaftaran melalui koordinator desa diwilayah kabupaten setempat. Koordinator inilah yang nanti akan mengajukan kepada pengurus pusat sistem desa online yang kemudian akan dibuatkan ‘user id’ dan ‘password’. Pendaftarannyapun tidak dipungut biaya sehingga aparatur desa hanya perlu fokus untuk memahami sistem dan menggunakan sistem secara optimal. Alur pendaftaran dapat terlihat pada gambar standar operasional prosedur pendaftaran desa online dibawah ini.
Sumber: http://desa.kemendes.go.id
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Desa yang berpartisipasi dalam aplikasi desa online ini akan memiliki admin desa yang bertanggungjawab atas segala aktifitas dalam sistem aplikasi desa online. Hal ini tertera dalam salah satu persyaratan formulir pendaftaran yang intinya bahwa ‘Admin DESA bertanggung jawab untuk menjaga kerahasiaan User ID dan Password dan bertanggung jawab penuh untuk semua aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan User ID dan Password’. Admin desa ini juga harus menjamin agar informasi yang tersedia dalam sistem desa online merupakan informasi yang benar dan sah dari desa. Selain sebagai sarana peningkatan daya saing melalui promosi produk unggulan desa, sistem aplikasi desa online dirancang juga agar masyarakat mudah mengontrol penggunaan anggaran desa. Hal ini dikarenakan program desa online yang menjadi dasar dibangunnya
27
Gambar 2 Standar Operasional Prosedur Pendaftaran Desa Online
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA sistem ini mengacu pada Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dalam undang undang tersebut telah diamanatkan agar pemerintah mengembangkan data dan informasi untuk dapat diakses masyarakat dengan mudah. Sistem ini juga menjadi upaya pemerintah untuk merealisasikan keterbukaan informasi yang berkaitan dengan desa. Saat ini sistem tersebut terus dikembangkan hingga pada saatnya desa yang mendapatkan hak penggunaan sistem ini wajib menampilkan transparansi penggunaan dana desa baik dari sisi anggaran, pelaksanaan hingga realisasi. Tidak hanya dana desa, realisasi program lain yang dijalankan aparatur desa juga harus ditampilkan dalam portal tersebut. Dengan bekerjasama dengan Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) dan pihak swasta target pemerintah untuk target minimal terbentuk 5.000 desa online pada tahun 2019 dapat tercapai bahkan jika perlu 74000 desa dapat menggunakan fasilitas ini. Secara lengkap sistem aplikasi ini terdiri dari potensi desa, pembangunan desa, badan usaha milik desa (Bumdes), transparansi keuangan dana desa, pemberdayaan desa, layanan administrasi desa, data statistik desa, pemonitoran. dan jelajah desa. Konsep yang ditawarkan melalui program desa online adalah pemerintah memberikan fasilitas web/portal lengkap dengan perangkat pendukung. Operator situs desa juga akan diberikan pelatihan agar dapat mengelola dan mengoperasikan web secara mandiri. Namun tentu saja permasalahan infrastruktur di desa-desa masih sangat rendah harus diselesaikan terlebih dahulu. Seperti yang telah disampaikan bahwa penggunaan sistem desa online ini perlu diadakan pelatihan terlebih dahulu. Untuk itulah secara periodik perlu dilakukan sosialisasi sekaligus menjaring desa desa lain yang belum tersentuk program desa online. Sosialisasi program ini perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menyediakan informasi yang mendukung terwujudnya optimalisasi pembangunan desa, termasuk profil desa, sejarah singkat desa, asal usul nama desa, ciri unik dan karateristik desa, serta batas wilayah. Selain itu didalam sistem desa online diperlukan data kegiatan desa berupa musyawarah warga, gotong royong, perangkat desa, upacara adat/ nasional, pembangunan desa, peningkatan SDM desa, pemanfaatan dana desa/ pembangunan fisik. Hal ini diperlukan agar masyarakat Indonesia secara luas akan mengetahui lebih detail tentang aktifitas masyarakat desa. Potensi produk unggulan seperti pariwisata, wahana hiburan rakyat, produk kerajinan warga desa, produk olahan makanan, produk pertanian dan potensi sumber daya alam juga menjadi data yang diperlukan informasinya sebagai gambaran peta kekuatan dan keunggulan desa dalam mempercepat pembangunan desa. Hal ini juga dapat menjadi modal awal dalam meningkatkan daya saing masyrakat desa. Dalam acara Sosialisasi Aplikasi Desa Online Tahun 2017 seperti yang ditulis dalam website pemerintah kabupaten Kutai Barat Wakil Bupati Kutai Barat menyebutkan bahwa aplikasi portal desa merupakan sarana untuk berkomunikasi dan membuka cakrawala terhadap ilmu pengetahuan. Sistem atau aplikasi ini membuat satu wilayah dengan satu wilayah lain tidak ada batasnya, yang selama ini kita gunakan batas administrasi, tetapi pada teknologi tidak dibatasi oleh adminstratif dan waktu, saat itu informasi yang ada di Pusat saat itu juga kita didaerah mendapatkan informasi tersebut.
Halaman
28
E. PENUTUP Program penguatan pemerintah desa banyak dilakukan agar berketergantungan dengan pihak luar desa dapat diminimalisir. Targetnya adalah peningkatan daya saing masyarakat perdesaan dengan memperkuat kapasitas aparatur desa. Hal ini tentsaja untuk mengatasi problematika selama ini seperti kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, keterbatasan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi yang semu dimana selalu secara bergantian harus dihadapi oleh pemerintah. Kebijakan politik yang dituangkan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memperlihatkan bahwa pemerintah pusat telah merubah orientasinya terhadap keberadaan desa. Program prograp peningkatan kapasitas desa diluncurkan seperti memberikan dana satu miliyar untuk desa, desa mandiri, desa online dan sebagainya. hal ini Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA semata mata untuk mendorong desa untuk dapat maju dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Desa perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Untuk itulah pembangunan desa perlu dilakukan agar kesejahteraan masyarakat desa dapat diwujudkan. Penggunaan teknologi informasi melalui program Desa online akan sangat bermanfaat dlam rangka mempercepat pemberdayaan desa menuju desa mandiri. Terlebih lagi Akses informasi yang tepat dan aman saat ini sangat dibutuhkan oleh penyelenggara pemerintahan dan hak desa untuk memiliki sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Program desa online merupakan program yang dicanangkan dalam rangka memberikan fasilitas kepada desa dalam rangka memberikan data dan informasi dapat diakses masyarakat dengan mudah. Selain menyediakan portal/web lengkap dengan perangkat pendukung terdapat pula pelatihan agar dapat mengelola dan mengoperasikan web secara mandiri. Selain itu masyarakat dapat pula mengontrol penggunaan anggaran desa, menyampaikan aspirasi dan mengakses informasi desa. Aplikasi desa online bisa dikatakan sebagai gerbang untuk masuk ke masing-masing website desa yang sudah terdaftar sejak diluncurkan pada tahun 2015. Pada dasarnya Portal Desa Online merupakan program pemerintah melalui pemanfaatan teknologi informasi yang berisi peta sebaran website desa online, konten agregasi kegiatan desa, dan konten agregasi produk unggulan desa. Sistem desa online bisa menjadi sarana promosi yang bagus dan telah dipersiapkan dengan matang dengan data yang lengkap. Per maret 2017, 1125 desa yang berpartisipasi dalam program desa Online desanya akan lebih maju melalui sarana promosi yang ditawarkan. Saat ini desa di 25 propinsi yang sudah memanfaatkan fasilitas desa online ini. Dengan kata lain ada 9 propinsi yang desanya belum memanfaatkan aplikasi desa online ini. Sulawesi Selatan dan Jawa tengah terpantau paling banyak memanfaatkan aplikasi desa online tersebut yakni 253 desa. Hal ini dikarenakan kemudahan yang ditawarkan dalam penggunaannya. Desa yang berpartisipasi dalam aplikasi desa online ini akan memiliki admin desa yang bertanggungjawab atas segala aktifitas dalam sistem aplikasi desa online. Desa tinggal melakukan registrasi untuk dapat memanfaatkan fasilitas yang diberikan secara gratis. Admin desa ini juga harus menjamin agar informasi yang tersedia dalam sistem desa online merupakan informasi yang benar dan sah dari desa. Sistem aplikasi desa online dirancang juga agar masyarakat mudah mengontrol penggunaan anggaran desa. Terkait penggunaan sistem desa online, diadakan juga pelatihan terlebih dahulu. Hal ini diperlukan dalam rangka mengoptimalkan sistem yang dilakukan melalui sosialisasi dan workshop. Sosialisasi dilakukan secara periodik selain sebagai sarana pelatihan juga dapat menjaring desa desa lain yang belum tersentuk program desa online. Melalui sistem ini potensi produk unggulan seperti pariwisata, wahana hiburan rakyat, produk kerajinan warga desa, produk olahan makanan, produk pertanian dan potensi sumber daya alam juga menjadi data yang menjdi gambaran peta kekuatan dan keunggulan desa dalam mempercepat pembangunan desa. Dan hal ini bermanfaat untuk pemerintah dalam membuat peta keunggulan desa dalam rangka memperkuat daya saing daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
2 Mei 2013. Tentang domain baru DESA.ID. Tersedia online (https://www.rumahweb.com/berita/tentang-domain-baru-desa-id diakses 10 maret 2017) ___. 2015. Desa Online. Tersedia online (http://desa.kemendesa.go.id/ diakses 10 maret 2017) ___. 2016. Program Desa Online. Tersedia online (http://awi.net.id/2016/12/20/programdesa-online/ diakses 10 maret 2017) APJII. 2016. Infografis Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016. Jakarta : APJII Coulson, Colin dan Thomas. 1993. Public Relations. Jakarta : PT. Bumi Aksara DepKomInfo-RI. 2005. Simpul Integrasi Sistem Informasi Nasional (SISFONAS). Jakarta: DepKomInfoRI
29
___.
PELAKSANAAN PROGRAM DESA ONLINE SEBAGAI SARANA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA Godam. 2015. Faktor Penyebab Domain Expire / Kadaluarsa Diambil Alih Orang Lain. Tersedia online (http://www.organisasi.org/1970/01/faktor-penyebab-domain-expire-kadaluarsadiambil-alih-orang-lain.html diakses 10 maret 2017) Indrajit, Richardus Eko. 2002. Electronic Government: Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. yogjakarta: ANDI Yogyakarta. Susanto, Mikke. 2004. Menimbang Ruang Menata Rupa. Jakarta: Agromedia Pustaka Sutabri, Tata. 2012. Komputer dan masyarakat. Jakarta: Penerbit Andi Wahyudi, Andi, etal. 2016. Peningkatan Kapasitas Desa. Samarinda: PKP2A III-LAN Richardo, Hans. 2016. Pengertian Website dan Internet. Tersedia Online (http://belajarbisnisinternet.com/pengertian-website-tiga-jenis-website-paling-umum/ diakses 10 maret 2017) Wikipedia. Situs Web. Tersedia Online (https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_web diakses 10 maret 2017) ____.2014. Pengertian Domain dan hosting. Tersedia Online (http://caramembuatwebsitepemula.com/domain-dan-hosting/ diakses 10 maret 2017) Padan, Yansen Tipa. 2014. Revolusi dari Desa. Jakarta: Kompas Gramedia
Halaman
30
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Undang Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Pemerintah Desa Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 28 /PER/M.KOMINFO/9/2006 tentang Penggunaan Nama Domain go.id Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 95/KEP/BSN/10/2009 tentang penetapan 1 (satu) standar nasional Indonesia
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah)
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah)
INNOVATION BUNDA SI TERKAYA: (Culture of Ronda as Integrated System of Security and Service in Central Lampung District) Abdul Muis Pusat Inovasi Tata Pemerintahan, Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Email:
[email protected] [email protected], HP. 081291656336 ABSTRACT Providing quality public services is a duty that must be done by the local government as a demand for reform is to provide quality public services that can provide satisfaction for the community. Every local government apparatus must be professional, creative and innovative in providing services and synergize with each other in order to provide the best service. Before 2015, in Central Lampung criminal cases often occur in the form of curanmor through pembegalan and persecution with the culmination that led to the vigilante action that triggered a horizontal conflict that led to the impression that Central Lampung District is prone to criminality. Events that interfere with the security of the area that ever happened, such as: (a) Conflict in Kampung Kesumadadi Bekri District with the people of Kampung Buyut Gunung Sugih District, because the Head of Kesumadadi Village killed the villagers of Buyut in 2012; (B) Conflict in Dusun I Kampung Sukajawa Bumi Ratu Nuban Sub-district with Village Community of Mount Sugih Baru District Tegineneng Pesawaran Regency on October 15, 2013; (C) Conflict in Kampung Tanjung Harapan Kecamatan Anak Tuha 2014. Innovation of Mother of the Richest (Culture of Ronda as Integrated System of Security and Service) is a unique program that is unique, innovative and creative designed to overcome security problem of area which is designed and combined with Integration of the Program / Activities, Financing, Executive Resources of SKPD, as a concrete manifestation to address, serve and provide maximum solutions to public services to the public so that the problems that existed before the innovation of this public service and beneficiary target can be resolved as much as possible. Keywords: innovation, public service, culture patrol
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Pemberian pelayanan publik yang berkualitas adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai tuntutan reformasi adalah memberikan pelayanan publik yang berkualitas yang mampu memberikan kepuasan bagi masyarakatnya. Setiap aparat pemerintah daerah harus bersikap profesional, kreatif dan inovatif dalam memberikan pelayanan dan bersinergi satu sama lain agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Sebelum tahun 2015, di Lampung Tengah sering terjadi kasus tindak kriminalitas berupa curanmor melalui pembegalan dan penganiayaan dengan pemberatan yang berujung pada tindakan main hakim sendiri sehingga menyulut konflik horizontal yang menimbulkan kesan bahwa Kabupaten Lampung Tengah rawan kriminalitas. Peristiwa yang mengganggu keamanan wilayah yang pernah terjadi, seperti : (a) Konflik di Kampung Kesumadadi Kecamatan Bekri dengan masyarakat Kampung Buyut Kecamatan Gunung Sugih, karena Kepala Kampung Kesumadadi membunuh warga Kampung Buyut tahun 2012; (b) Konflik di Dusun I Kampung Sukajawa Kecamatan Bumi Ratu Nuban dengan Masyarakat Desa Gunung Sugih Baru Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran tanggal 15 Oktober 2013; (c) Konflik di Kampung Tanjung Harapan Kecamatan Anak Tuha tahun 2014. Inovasi Bunda Si Terkaya (Budaya Ronda sebagai Sistem Terpadu Keamanan dan Pelayanan) adalah program unggulan yang bersifat unik, inovatif dan kreatif yang dirancang untuk mengatasi permasalahan keamanan wilayah yang didesain dan dipadukan dengan keterpaduan Program/Kegiatan, pembiayaan, sumber daya pelaksana dari SKPD, sebagai wujud nyata untuk mengatasi, melayani dan memberi solusi semaksimal mungkin terhadap pelayanan publik bagi masyarakat sehingga permasalahan yang ada sebelum adanya inovasi pelayanan publik ini dan sasaran penerima manfaat dapat teratasi semaksimal mungkin. Kata Kunci: inovasi, pelayanan publik, budaya ronda
31
ABSTRAK
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah)
Halaman
32
A. PENDAHULUAN Kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai tuntutan reformasi adalah memberikan pelayanan publik yang berkualitas yang mampu memberikan kepuasan bagi masyarakatnya. Setiap aparat pemerintah daerah harus bersikap profesional, kreatif dan inovatif dalam memberikan pelayanan dan bersinergi satu sama lain agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Sebelum tahun 2015, di Lampung Tengah sering terjadi kasus tindak kriminalitas berupa curanmor melalui pembegalan dan penganiayaan dengan pemberatan yang berujung pada tindakan main hakim sendiri sehingga menyulut konflik horizontal yang menimbulkan kesan bahwa Kabupaten Lampung Tengah rawan kriminalitas. Peristiwa yang mengganggu keamanan wilayah yang pernah terjadi, seperti : a) Konflik di Kampung Kesumadadi Kecamatan Bekri dengan masyarakat Kampung Buyut Kecamatan Gunung Sugih, karena Kepala Kampung Kesumadadi membunuh warga Kampung Buyut tahun 2012; b) Konflik di Dusun I Kampung Sukajawa Kecamatan Bumi Ratu Nuban dengan Masyarakat Desa Gunung Sugih Baru Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran tanggal 15 Oktober 2013; c) Konflik di Kampung Tanjung Harapan Kecamatan Anak Tuha tahun 2014; Selain faktor keamanan, ketentraman dan ketertiban, kewajiban pemerintah Kabupaten Lampung Tengah dalam penyediaan pelayanan berkualitas yang merupakan bagian dari good governance dihadapkan pada beberapa permasalahan sehingga pemerintah Kabupaten Lampung Tengah perlu menghadirkan pelayanan publik ke tengah-tengah masyarakat sebagai solusi untuk melayani masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan inovasi untuk membawa pelayanan kepada masyarakat, hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa permasalahan, antara lain: a) Jarak tempuh ke akses pelayanan publik, secara geografis masih terdapat wilayah yang jauh ke akses pusat pelayanan publik. b) Jumlah masyarakat yang mengakses pelayanan publik dalam waktu bersamaan, keterbatasan jumlah Petugas/Tenaga terlatih dan sarana/fasilitas pelayanan dalam melaksanakan pelayanan publik, menyebabkan jumlah masyarakat yang mengakses pelayanan publik dalam waktu bersamaan kurang terlayani secara optimal. c) Prosedur, masih dirasakan adanya mekanisme pelayanan publik yang tidak efektif dan efesien. d) Transparansi, masih ditemukannya penyelenggaraan pelayanan publik yang kurang mengedepankan prinsip keterbukaan. Tujuan pelayanan publik adalah memberikan kepuasan bagi yang dilayani (pelanggan/masyarakat), sistem pelayanan publik kepada masyarakat yang belum dilaksanakan secara maksimal maka akan berpengaruh pada kelompok sasaran penerima layanan seperti petani, pengguna jasa layanan medis, masyarakat difabel dan kelompok sasaran lainnya. Pengaruh tersebut terutama dalam hal kurang puasnya terhadap hasil pelayanan publik yang belum maksimal dilaksanakan. Inovasi Bunda Si Terkaya (Budaya Ronda sebagai Sistem Terpadu Keamanan dan Pelayanan) adalah program unggulan yang bersifat unik, inovatif dan kreatif yang dirancang untuk mengatasi permasalahan keamanan wilayah yang didesain dan dipadukan dengan keterpaduan Program/Kegiatan, pembiayaan, sumber daya pelaksana dari SKPD, sebagai wujud nyata untuk mengatasi, melayani dan memberi solusi semaksimal mungkin terhadap pelayanan publik bagi masyarakat sehingga permasalahan yang ada sebelum adanya inovasi pelayanan publik ini dan sasaran penerima manfaat dapat teratasi semaksimal mungkin. Strategi Inovasi Bunda Si Terkaya yang telah dilakukan adalah : 1. Peningkatan keamanan, ketentraman dan ketertiban lingkungan melalui ronda malam, pelayanan kesehatan melalui puskesmas keliling, pelayanan data kependudukan melalui perekaman dan pencetakan dokumen kependudukan di tingkat kampung, pengamanan produksi di bidang pangan melalui penyuluhan tentang teknis budidaya usaha tani yang baik dalam hal pemanfaatan kearifan lokal seperti pembuatan kompos, agen hayati dan gerakan Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah)
Inovasi Bunda Si Terkaya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah dilaksanakan melalui beberapa tahapan terintegrasi dari setiap SKPD yang terlibat. Dengan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
B. DATA DAN INFORMASI Aktor Inovasi Bunda Si Terkaya
33
pengendalian Organisme Penggangu Tanaman (OPT) secara masal, dan peningkatan minat baca melalui perpustakaan keliling; 2. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui partisipasi aktif dalam setiap kegiatan inovasi Bunda Si Terkaya di kampungnya. Sasaran strategis dalam pelaksanaan inovasi Bunda Si Terkaya adalah : 1. Bidang keamanan, ketentraman dan ketertiban : melakukan koordinasi, integrasi dan sinergitas dengan Forkopimda, Forkopimcam, aparat kampung, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, organisasi massa, LSM, Pers dan Linmas untuk menciptakan suasana aman dan kondusif. 2. Bidang kependudukan dan catatan sipil : SKPD melakukan koordinasi dengan pihak kecamatan dan kampung untuk melakukan perekaman dan pencetakan dokumen kependudukan (KTP, KK dan Akte Kependudukan). 3. Bidang Kesehatan : SKPD melakukan koordinasi dengan lintas sektor terkait dengan melibatkan organisasi profesi (IBI, IDI, PPNI dan HAKLI). Pemda didorong untuk membuat regulasi dalam percepatan pembangunan kualitas kesehatan masyarakat, dengan tersedianya fasilitas sarana sanitasi yang berbasis masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya dalam penurunan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKABA), kasus gizi buruk, peningkatan status gizi pada ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan balita serta penurunan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan tidak menular. 4. Bidang Pertanian : melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Provinsi, Balai Pelatihan Pertanian (BPP), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Proteksi, Dinas Peternakan dan Perkebunan, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perikanan, Tim P4K, Gapoktan, Poktan, P3A dan stakeholder lainnya. Kecamatan dan kampung didorong untuk membuat regulasi penanganan pengamanan produksi pangan melalui gerakan pengendalian OPT masal dan penerapan teknik budidaya yang memperhatikan kelestarian lingkungan guna mewujudkan pengamanan produksi di bidang pangan. Inovasi Bunda Si Terkaya merupakan program baru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah dengan mengintegrasikan pelayanan di bidang keamanan, ketentraman dan ketertiban dengan pelayanan di bidang lainnya. Program ini merupakan program yang inovatif dan kreatif dikarenakan melibatkan berbagai unsur yang terintegrasi dari kabupaten sampai dengan di tingkat kampung melalui kegiatan Bunda Si Terkaya. Inovasi ini sangat kreatif dan inovatif karena menghadirkan “gedung” pelayanan kepada masyarakat, bukan masyarakat yang datang “ke gedung” untuk memperoleh pelayanan. Terlebih, masyarakat bisa memperoleh beberapa bentuk pelayanan pada saat kegiatan inovasi ini dilaksanakan. Keterlibatan unsur terkait ini dengan membentuk kelompok kerja (POKJA) di tingkat kabupaten pada bidang keamanan, ketentraman dan ketertiban, bidang kependudukan dan catatan sipil, bidang kesehatan, bidang pertanian, dan bidang pendidikan. Di tingkat Kecamatan juga dibentuk POKJA yang melibatkan unsur terkait yang berhubungan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Di tingkat kampung membentuk tim kampung yang memberikan informasi kepada masyarakat berkaitan dengan pelayanan masyarakat yang dilakukan pemerintah daerah di kampungnya. POKJA melaksanakan pelayanan publik disaat bersamaan dengan pelaksanaan ronda sesuai jadual yang telah ditetapkan Pemda. Keterpaduan antara berbagai stakeholders yang terlibat dalam inovasi ini merupakan kunci keberhasilan ronda sebagai sistem terpadu keamanan dan pelayanan.
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah) demikian, penyelenggaraannya tidak dibebankan kepada salah satu SKPD saja, namun dilaksanakan secara bersama-sama sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD terkait. 1. Perencanaan (rencana aksi terlampir) Kegiatan perencanaan diawali dengan menyusun prioritas anggaran yang akan dialokasikan oleh masing-masing SKPD terkait untuk pelaksanaan inovasi Bunda Si Terkaya. Pos anggaran yang terdapat di masing-masing SKPD disesuaikan dengan kebutuhan serta volume/frekwensi dilaksanakannya inovasi Bunda Si Terkaya di setiap Kecamatan atau Kampung. Tabel 1. Distribusi Pos Anggaran di SKPD Penunjang Kegiatan Inovasi Bunda Si Terkaya No
Bidang
Pos Anggaran
Jumlah
Ket
1
Keamanan
- Badan Polisi Pamong Praja
Rp. 390.891.300
Pembinaan Linmas kampung
- Alokasi Dana Kampung
Rp. 227.000.000
pemeliharaan rutin kendaraan dinas patroli
- Operasional Camat
Rp. 781.200.000
insentif bagi anggota linmas,
Rp. 1.242.000.000
insentif Babinkamtibmas
Rp. 1.470.000.000
insentif Babinsa.
Rp. 903.000.000
Pengadaan alat komunikasi Handy Talky untuk Kepala Kampung dan Danton linmas
Rp. 10.085.000.000
Pembuatan Pos Kamling
Rp. 3.000.000.000
Alat Cetak lampu jalan Operasional Keliling Operasional Keliling
- Alokasi Dana Kampung
2
Kesehatan
Dinas Kesehatan
Rp. 357.471.000
3
Pendidikan
Rp. 45.550.000
4
Kependudu kan dan Catatan Sipil Pertanian
Dinas Perpustakaan dan Arsip Dinas Kependdukan dan Catatan Sipil - Dinas Partanian - Dinas Perikanan - Dinas Ketahanan Pangan
Halaman
34
5
Rp. 223.200.000
Puskesmas Perpustakaan
Operasional kegiatan perekaman data kependudukan Operasional kegiatan OPT dan penyuluh pertanian/perikanan
Sumber : BPKAD Kab. Lamteng. Diolah 2017.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah) 2. Langkah Kunci Langkah kunci yang dilaksanakan pada setiap bidang antara lain : a. Di bidang keamanan, ketentraman dan ketertiban yang dilakukan Bupati dalam inovasi Bunda Si Terkaya adalah dengan memantau pos-pos ronda di seluruh kampung sesuai dengan jadual yang telah di tentukan. Pemantauan ini dilaksanakan dengan memeriksa aktivitas jadual petugas ronda serta melakukan dialog dengan masyarakat atau linmas yang bertugas. b. Di bidang kependudukan dan catatan sipil, petugas perekaman data kependudukan telah hadir sejak pagi hari di lokasi ronda sehingga dapat melayani penduduk yang belum memiliki dokumen kependudukan seperti Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Akta Nikah dsb. c. Di bidang kesehatan, petugas medis bersama kendaraan puskesmas keliling telah hadir sejak pagi hari di lokasi ronda serta telah melakukan pemeriksaan serta pengobatan kepada warga yang membutuhkan pelayanan medis. Pada kenyataannya terdapat banyak penduduk yang berada di daerah yang jauh dari puskesmas yang menggunakan jasa puskesmas keliling ini pada saat dilaksanakannya kegiatan inovasi Bunda Si Terkaya. d. Di bidang pertanian, petugas tim penyuluh pertanian telah hadir untuk memberikan layanan pengenda untuk memberikan layanan pengendalian OPT atau melakukan penyuluhan pertanian lainnya sepertlian OPT atau melakukan penyuluhan pertanian lainnya seperti pembuatan pupuk organik, cara olah tanah dsb. e. Di bidang pendidikan, perpustakaan keliling telah berada di Kantor Kepala Kampung atau di sekolah sehingga warga masyarakat dapat mengakses buku-buku yang relevan yang disediakan oleh perpustakaan keliling. 3. Pihak-pihak Yang Terkait Banyak stakeholders yang terlibat dalam inovasi Budaya Ronda sebagai Sistem Terpadu Keamanan dan Pelayanan ini, baik yang berasal dari unsur aparatur birokrasi, masyarakat umum, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, LSM, aparat keamanan dsb. Tabel 2. Keterlibatan Stakeholders dalam Inovasi Bunda Si Terkaya No
Bidang
Stakeholders yang terlibat
Peran
1
Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban
- Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Kapolres, Dandim
Pengambil kebijakan penanggungjawab inovasi
- Para Kepala SKPD, ASN
Penanggungjawab inovasi
- Babinsa/Babinkamtibmas
Penangungjawab bidang keamanan di kecamatan
3
Kesehatan
- Camat, Kepala Kampung, RW dan RT - PNS Dinas kesehatan
Pamong yang bertugas mengerahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam inovasi Mekanisme kontrol/evaluasi eksternal Petugas perekam data kependudukan Memperpendek birokrasi proses pengurusan data kependudukan Petugas administrasi pembantu operasional di puskesmas keliling
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
35
Kependudukan dan catatan sipil
operasional
Halaman
2
- Kepala Kampung/Kelurahan, Badan Permusyawaratan Kampung, LPMK, Linmas, Kadus/Kaling, RT - Media Massa, Ormas, LSM - PNS Disdukcapil
serta
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah)
4
5
Pertanian
Pendidikan
- paramedis, tenaga medis di Kecamatan dan Kampung
Petugas medis yang memeriksa dan mengobati warga yang membutuhkan pelayanan kesehatan
- IDI, IBI dan PPNI
Institusi suporting system yang dapat bekerjasama melaksanakan pelayanan medis Institusi teknis yang melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan pertanian, peternakan dan pertanian
- dinas pertanian TPH, dinas peternakan dan perkebunan, dinas ketahanan pangan, dinas perikanan, dinas pengairan - penyuluh, POPT (pengamat organisme pengganggu tanaman), gapoktan, poktan, P3A - produsen sarana produksi pertanian - dinas pendidikan dan kebudayaan, dinas perpustakaan dan arsip
Petugas yang melakukan penyuluhan atau pembasmian hama/penyakit Institusi yang membantu menyalurkan bibit unggul kepada masyarakat/petani Institusi teknis yang melaksanakan kegiatan pelayanan perpustakaan keliling
- sekolah, balai kampung
Institusi tempat dilaksanakannya pelayanan perpustakaan keliling
- pustakawan
Petugas yang memberikan pelayanan perpustakaan keliling
pelajar, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, masyarakat
Kelompok masyarakat yang menggunakan jasa pelayanan perpustakaan keliling
Halaman
36
Sumber : Satpol PP Kab. Lamteng. 2017.
Inovasi Bunda Si Terkaya ini didalam pelaksanaannya memerlukan sumber daya, baik itu sumber daya manusia maupun dana/anggaran untuk mendukung operasionalnya. Sumber daya manusia dapat berasal dari ASN, TNI/Polri, maupun masyarakat. Sumber daya berupa dana/anggaran untuk mendukung operasional pelaksanaan inovasi, pada saat ini telah teranggarkan di APBD di setiap SKPD terkait. Bidang pelayanan publik yang dapat diberikan kepada masyarakat pada saat program Bunda Si Terkaya ini dilaksanakan meliputi bidang keamanan, kependudukan dan catatan sipil, kesehatan, pertanian, perizinan dan pendidikan. Di bidang keamanan, sumber daya manusia yang terlibat dalam pelayanan kepada masyarakat adalah personil TNI (Babinsa), personil Polri (Babinkamtibmas), anggota LINMAS dan masyarakat. Dukungan berupa dana berupa insentif kepada Babinsa dan Babinkamtibmas (Dana Rutin Camat) dan insentif bagi anggota LINMAS (Alokasi Dana Kampung). Di bidang keamanan juga mendapat dukungan dari APBD berupa bantuan pembuatan gardu jaga/pos ronda untuk masing-masing dusun se-Kabupaten Lampung Tengah. Namun anggaran pembuatan pos ronda itu terbatas jumlahnya, sehingga agar pos ronda itu dapat terwujud diperlukan partisipasi masyarakat berupa gotong royong untuk proses pembangunannya maupun penyediaan konsumsi pada saat proses pembangunan pos ronda tersebut berlangsung. Dukungan APBD dalam pelaksanaan Bunda Si Terkaya terutama untuk bidang keamanan juga berupa pembelian HT (Handy Talky) untuk Kepala Kampung dan Danton Linmas juga berupa pembelian alat cetak lampu jalan yang dibagikan kepada seluruh Kampung se-Kabupaten Lampung Tengah. Partisipasi masyarakat tidak hanya pada saat pembangunan pos ronda saja, tetapi keikutsertaan masyarakat untuk melakukan kegiatan ronda pada malam hari secara bergiliran, guna menjaga kondisi keamanan dan keterriban lingkungan sekitarnya. Di bidang kependudukan dan catatan sipil, pelayanan publik dilakukan oleh ASN (Aparatur Sipil Negara). Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah) Dalam pelaksanaannya, pelayanan data kependudukan didukung dengan dana operasional kendaraan pelayanan perekaman dan pencetakan dokumen kependudukan keliling yang telah teranggarkan dalam APBD di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Pelayanan publik di bidang kesehatan dalam inovasi Bunda Si Terkaya adalah berupa pelayanan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan penyakit melalui Puskesmas Keliling (Pusling). Paramedis dan tenaga medis dari Dinas Kesehatan maupun Puskesmas setempat yang menjadi pelaksananya. Untuk menunjang pelaksanaan Pusling tersebut maka telah dianggarkan dana operasional mobil Pusling tersebut dalam pos anggaran Dinas Kesehatan. Pelayanan bidang pertanian yang dapat dilakukan pada inovasi Bunda Si Terkaya adalah penyuluhan tentang OPT (organisme pengganggu tanaman). Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga penyuluh pertanian dan POPT (pengamat organisme pengganggu tanaman) yang terdapat di masing-masing Kampung se Kabupaten Lampung Tengah. Dana operasional untuk mendukung penyuluhan ini telah teranggarkan dalam pos anggaran Dinas Pertanian. Pelayanan publik oleh perpustakaan keliling juga dapat diakses oleh masyarakat dan siswa dilokasi diadakan program Bunda Si Terkaya. Sumber daya manusia yang melaksanakan kegiatan perpustakaan keliling tersebut adalah Pustakawan, pendidik dan tenaga kependidikan. Dana operasional untuk mendukung pelayanan perpustakaan keliling tersebut telah dianggarkan dalam DPA Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah. Program Bunda Si Terkaya ini dilaksanakan dengan harapan bahwa masyarakat dapat mengakses pelayanan publik secara langsung di Kampung mereka masing-masing tanpa perlu menuju pusat pemerintahan kecamatan, kabupaten maupun pusat perekonomian. Hal ini dimaksudkan bahwa terjadi efesiensi waktu dan biaya dalam pelayanan publik tersebut.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah dalam pemberian pelayanan publik khususnya terkait dengan implementasi inovasi Bunda Si Terkaya, antara lain : (1) Kabupaten Lampung Tengah memiliki luas wilayah 4.789,82 km 2 yang terdiri dari 28 Kecamatan, 301 kampung dan 10 kelurahan, menyebabkan penyelenggaraan inovasi Bunda Si Terkaya memerlukan perencanaan yang terintegrasi. Setiap SKPD yang terlibat harus memperhitungkan sumber daya yang tersedia di setiap kunjungan pelaksanaan inovasi; (2) Terbatasnya Pengangaran untuk mendukung Pelaksanaan Program Bunda Si Terkaya karena belum teralokasinya anggaran seluruh SKPD yang melaksanakan Pelayanan Publik; (3) Sarana, prasarana serta personil pendukung inovasi Bunda Si Terkaya belum optimal; (4) Belum tersusunnya Standard Operational Procedure (SOP) monitoring dan evaluasi pelaksanaan inovasi Bunda Si Terkaya; (50) Rendahnya partisipasi masyarakat untuk menggunakan pelayanan publik, terutama penggunaan perpustakaan keliling, yang disediakan dalam pelaksanaan inovasi. Untuk mengatasi berbagai kendala sebagaimana tersebut di atas, beberapa cara Menanggulangi dan penyelesaiaanya, antara lain : (a) Perlu adanya partisipasi segenap elemen masyarakat terutama pemberdayaan aparatur pemerintahan di Kampung dan Kecamatan; (b) Adanya pengalokasian anggaran disetiap SKPD yang terlibat dalam pelaksanaan inovasi guna melaksanakan pelayanan publik di bidang keamanan, ketentraman dan ketertiban, bidang kependudukan dan catatan sipil bidang kesehatan, bidang pertanian dan bidang pendidikan; (c) Penambahan kualitas dan kuantitas sumber daya guna yang terkait langsung dengan pelaksanaan inovasi; (d) Penyusunan Standard Operational Procedure (SOP) tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan inovasi Bunda Si Terkaya; dan (e) Mempromosikan dan memobilisasikan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan publik yang disediakan pada pelaksanaan inovasi Standard Operational Procedure (SOP) monitoring dan evaluasi pelaksanaan inovasi Bunda Si Terkaya.
37
C. PEMBAHASAN Kendala
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah)
Dampak Inovasi Bunda Si Terkaya Inovasi Bunda Si Terkaya yang telah dilaksanakan di Kabupaten Lampung Tengah secara perlahan mampu memberikan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Manfaat yang dirasakan diantaranya : 1. Bidang Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban Mulai tumbuh kesadaran masyarakat dalam bidang keamanan, ketentraman dan ketertiban, bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab pemerintah melalui aparat POLRI dan TNI saja melainkan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari mulai meningkatnya peran serta masyarakat dalam kegiatan menjaga keamanan, ketentraman dan ketertiban melalui kegiatan ronda malam. Kegiatan ronda malam juga mampu meningkatkan rasa soliditas diantara sesama anggota masyarakat sehingga mampu meminimalisir isu-isu negatif yang dapat menimbulkan konflik sosial secara horizontal dimasyarakat.
Halaman
38
Tabel 3. Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Ronda Malam No.
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Kalirejo Bangun Rejo Padang Ratu Gunung Sugih Trimurjo Punggur Terbanggi Besar Seputih Raman Rumbia Seputih Banyak Seputih Mataram Seputih Surabaya Terusan Nunyai Bumi Ratu Nuban Bekri Seputih Agung Way Pengubuan Bandar Mataram Pubian Selagai Lingga Anak Tuha Sendang Agung Kota Gajah Bumi Nabung Way Seputih Bandar Surabaya Anak Ratu Aji Putra Rumbia
Jumlah Kampung 17 17 15 11 11 9 7 14 9 13 12 13 7 10 8 10 8 9 20 14 12 9 7 7 6 10 6 10 2.017
Partisipasi Tahun 2015 4.442 3.915 3.158 2.303 1.711 1.678 1.579 3.586 2.139 3.126 2.665 3.652 1.645 1.842 1.645 1.612 1.481 2.566 3.520 2.303 2.599 2.007 1.415 1.842 1.513 3.060 1.349 2.007 66.359
Partisipasi Tahun 2016 5.765 5.081 4.099 2.989 2.220 2.178 2.050 4.654 2.776 4.057 3.459 4.740 2.135 2.391 2.135 2.092 1.922 3.331 4.569 2.989 3.373 2.605 1.836 2.391 1.964 3.971 1.751 2.605 86.126 Sumber : Dinas PMK. Diolah 2017.
Dibandingkan tahun 2015, tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan Ronda Malam meningkat sebesar 29,8% di tahun 2016. 2. Bidang Kependudukan dan catatan sipil Melalui inovasi Bunda Si Terkaya pelayanan pencatatan dokumen kependudukan dapat terlayani dengan baik, masyarakat yang belum terlayani baik dikantor kecamatan maupun di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sekarang mulai terlayani. Masyarakat yang tadinya Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah) tidak mau melakukan perekaman indentitas kependudukan dalam hal ini Kartu Tanda Penduduk, sekarang pun sudah melakukan perekaman identitas kependudukan. Tabel 4. Perbandingan Jumlah Perekaman Data Kependudukan Tahun 2015 dan 2016 No. 1. 2.
Jenis Dokumen KTP Elektronik Akta Kependudukan
2015 748.697 243.349
2016 757.790 245.559
% 1,2 0,9 Sumber : Disdukcapil. Diolah 2017.
Perekaman KTP Elektronik hingga tahun 2016 mengalami kenaikan sejumlah 1,2% dari tahun 2015 dan Perekaman Akta Kependudukan tahun 2016 mengalami peningkatan sejumlah 0,9% dari tahun 2015. 3. Bidang kesehatan Inovasi Bunda Si Terkaya juga mampu memberikan manfaat dalam bidang kesehatan. Kabupaten Lampung Tengah merupakan salah satu kabupaten yang memiliki cakupan wilayah paling luas. Kondisi ini tentu menjadi salah satu kendala dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan adanya inovasi Bunda Si Terkaya pemerintah berupaya untuk menjangkau layanan kesehatan bagi masyarakat sampai ke daerah-daerah terluar dan sulit untuk mendapatkan akses layanan kesehatan. Tabel 5. Perbandingan Jenis Pelayanan Kesehatan Puskesmas Keliling tahun 2015 dan 2016 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Pelayanan Pemeriksaan kesehatan Pengobatan Penyakit Pelayanan KB Pelayanan Imunisasi Pelayanan penyuluhan Kesehatan
2015 4.220 890 85 85
2016 7.702 1.540 150 150
% 82,5 73,0 76,5 76,5
4.220
7.702
82,5
Sumber : Dinas Kesehatan. Diolah 2017.
Sesuai dengan data di atas, inovasi Bunda Si terkaya berkontribusi terhadap kenaikan jumlah masyarakat yang terlayani kebutuhan kesehatannya melalui puskesmas keliling dari tahun 2015 – tahun 2016 antara 73% - 82,5%. 4. Bidang Pertanian Manfaat yang diberikan pada bidang pertanian melalui inovasi Bunda Si Terkaya meliputi jumlah frekwensi pengendalian OPT meningkat, pemberian penyuluhan pertanian dapat dilakukan secara langsung karena keterlibatan penyuluh pertanian dalam setiap kegiatan inovasi
Jenis Pelayanan
2015
2016
%
1.
Pengendalian OPT (Hektar)
915
1.396
52,6
2.
Penyuluhan Pertanian (Kali)
47.040
94.231
100,3
Sumber : Dinas Pertanian dan Hortikultura. Diolah 2017.
Sesuai dengan Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pengendalian OPT sebesar 52,6% dan penyeluhan pertanian sebesar 100,3%.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
No.
39
Tabel 6. Pengendalian OPT dan Penyuluhan Pertanian Tahun 2015 dan 2016
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah) 5. Bidang Pendidikan Belum terciptanya budaya membaca bagi masyarakat disebabkan kurangnya literasi atau bahan bacaan yang dimiliki oleh masyarakat. Kondisi ini jika dibiarkan akan berdampak pada rendahnya kwalitas pendidikan. Untuk mengurai persoalan tersebut inovasi Bunda Si Terkaya memberikan solusi dengan hadirnya mobil perpustakaan keliling. Hadirnya mobil perpustakaan keliling dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal ketersediaan literasi atau bahan bacaan. Tabel 7. Presentase Tingkat Partisipasi Pengguna Perpustakaan Keliling No
TINGKAT SEKOLAH
1
TAHUN
%
2015
2016
Sekolah Dasar
1000
1200
20
2
Sekolah Menengah Pertama
800
850
6,3
3
Sekolah Menengah Atas
653
700
7,2
4
Umum
700
896
28
3.153
3.646
15,4
Jumlah
Sumber : Dinas Perpustakaan, Dokumentasi dan Arsip, 2017.
Hadirnya sebuah inovasi dalam bidang pelayanan publik diharapkan mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik. Inovasi Bunda Si Terkaya memiliki paradigma bahwa pelayanan publik dapat diberikan dengan efektif apabila pemerintah mendekatkan diri dengan masyarakat yang akan dilayani, sehngga persoalan-persoalan yang selama ini menjadi penghambat dalam kegiatan pelayanan publik dapat di minimalisir. Inovasi Bunda Si Terkaya ternyata mampu memberikan perubahan dalam memberikan pelayanan publik tersebut. 1. Bidang Keamanan, ketentraman dan ketertiban Pelayanan keamanan, ketentraman dan ketertiban melalui kegiatan ronda atau siskamling yang dilakukan oleh permerintah daerah bersama-sama dengan unsur TNI/POLRI serta masyarakat ternyata mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik. Pada kurun waktu tahun 2012 sampai dengan 2014 di Kabupaten Lampung Tengah terjadi beberapa kali konflik horizontal yang disebabkan oleh tindakan kriminalitas, seperti kerusuhan antar warga di Kecamatan Bekri pada tahun 2012, di Kecamatan Bumi Ratu Nuban pada Tahun 2013, dan tahun 2014 terjadi di Kecamatan Anak Tuha, Semua konflik sosial yang terjadi tersebut bermula dari tindak kriminal pencurian dimasyarakat. Setelah inovasi Bunda Si Terkaya berjalan dari tahun 2015 tidak pernah terjadi konflik sosial yang terjadi dimasyarakat. Selanjutnya angka kriminalitas yang terjadi sebelum dan sesudah inovasi Bunda Si Terkaya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 8. Angka kriminalitas di Kabupaten Lampung Tengah No Jenis Kasus 2015 1. Curas 96 2. Curat 121 3. Curanmor 235
2016 65 120 193
Halaman
40
Sumber : Polres Lampung Tengah, 2017.
Data di atas menunjukan bahwa inovasi Bunda Si Terkaya berkontribusi terhadap menurunnya tindakan kriminalitas di Kabupaten Lampung Tengah. 2. Bidang Kependudukan dan catatan sipil Selain dalam bidang keamanan, ketentraman dan ketertiban, hadirnya inovasi Bunda Si Terkaya mampu memberikan perubahan dalam memberikan pelayanan pengurusan Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah) dokumen kependudukan. Kabupaten Lampung Tengah memiliki jumlah penduduk 1.460.101 Jiwa (Disdukcapil Kab. Lamteng 2016). Dari jumlah tersebut penduduk yang sudah wajib KTP sebanyak 897.987 jiwa dan yang sudah terlayani sebanyak 748.697 jiwa. Melalui inovasi Bunda Si Terkaya jumlah penduduk yang terlayani dalam perekaman data kependudukan sebanyak 9.093 jiwa. Peningkatan pelayanan tersebut dapat dicapai dengan cara menghadirkan petugas perekam data kependudukan pada saat dilaksanakannya kegiatan ronda. 3. Bidang kesehatan Pelayanan Kesehatan merupakan urusan yang sangat mendesak dan harus segera untuk mendapatkan pelayanan, hal itu terkait dengan kebutuhan manusia yang sangat mendasar. Sebelum dilaksanakan inovasi Bunda Si Terkaya, pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada masyarakat masih belum optimal, hal itu disebabkan jauhnya jarak tempuh bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas. Seperti terlihat pada Tabel 5, setelah adanya inovasi Bunda Si Terkaya kebutuhan masyarakat tentang pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan karena adanya tenaga medis yang turut serta dalam setiap kegiatan ronda dengan membawa sarana kesehatan keliling, sehingga dapat menjangkau masyarakat yang jauh dari Puskesmas. 4. Bidang Pertanian Inovasi Bunda Si Terkaya mampu memberikan perubahan kearah yang lebih baik dalam bidang pertanian. Sebelum dilaksanakan inovasi Bunda Si Terkaya pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dilakukan secara individu, kuantitas pelaksanaan latihan dan kunjungan di tingkat kelompok tani masih belum optimal, hal ini berbeda setelah dilaksanakan kegiatan inovasi Bunda Si Terkaya bahwa pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dilakukan secara masal dan dalam waktu yang bersamaan, kuantitas pelaksanaan latihan dan kunjungan di tingkat kelompok tani mengalami peningkatan. 5. Bidang Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Rendahnya kualitas pendidikan salah satunya disebabkan oleh rendahnya budaya membaca. Salah satu persoalan pokok yang dihadapi adalah terbatasnya bahan literasi atau bahan pustaka yang dimiliki oleh masyarakat. Hadirnya Inovasi Bunda Si Terkaya mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Hal itu disebabkan adanya sarana perpustakaan keliling yang dilengkapi dengan bahan literasi yang memadai.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Dengan pelsaan Inovasi Bunda Si Terkaya di Pemerintah Lampung Tengah dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut : (a) Adanya inovasi yang menyatukan pelayanan keamanan dan pelayanan publik mampu meningkatkan kesadaran dan partsipasi masyarakat dalam bidang keamanan melalui kegiatan ronda. Disisi lain dalam bidang pelayanan publik semakin luasnya cakupan wilayah pelayanan yang dapat dilayani dengan adanya pelayanan publik yang terintegrasi dengan pelayanan keamanan;(b) Melalui kegiatan inovasi Bunda Si Terkaya mampu meningkatkan rasa tanggung jawab, kebersamaan, kekeluargaan, saling mengenal, serta rasa persatuan semua elemen masyarakat dalam menjaga kemananan dan ketertiban yang bermuara pada menurunnya konflik sosial horisontal dimasyarakat yang terjadi karena tindakan kriminalitas; (c) Munculnya kesadaran di dalam birokrasi bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, diperlukan usaha inovatif untuk membawa pelayanan publik kepada masyarakat (d) Hadirnya pemimpin ditengah masyarakat secara langsung dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Bupati secara langsung dapat menyerap aspirasi baik berupa keluhan maupun saran sebagai wujud keinginan dan harapan masyarakat; (e) Inovasi Bunda Si Terkaya pada akhirnya merubah paradigma ronda sebagai sistem keamanan lingkungan menjadi paradigma lebih unik, kreatif, inovatif, karena mengintegrasikan pelayanan keamanan dan pelayanan publik; dan (f) Dengan menghadirkan pelayanan publik di tengah masyarakat yang menyertakan Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tidak langsung akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja ASN.
41
D. PENUTUP
INOVASI BUNDA SI TERKAYA : (Budaya Ronda Sebagai Sistem Yang Terpadu Keamanan dan Pelayanan di Kabupaten Lampung Tengah) Berdasarkan pengalaman dan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan inovasi, dan untuk lebih meningkatkan hasil yang dicapai dalam kegiatan ini, maka direkomendasikan halhal sebagai berikut : 1. Menambahkan jenis pelayanan publik yang dapat diintegrasikan melalui kegiatan inovasi Bunda Si Terkaya. 2. Mengalokasikan anggaran untuk pelayanan publik di setiap SKPD yang dapat diintegrasikan dalam kegiatan inovasi Bunda Si Terkaya. 3. Meningkatkan koordinasi antar SKPD dalam pelaksanaan kegiatan inovasi. 4. Melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksana kegiatan inovasi.
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
42
Buku Laporan pelaksanaan Laboratorium Inovasi Administrasi Negara Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2017. Lampung Tengah Dalam Angka Tahun 2016.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN (Studi Pada Pelindo II Cabang Banten (Ciwandan)
ONE ROOM SERVICE CENTER (ORSC) AS BEST PRACTICE INNOVATION OF PUBLIC SERVICES FOR THE FIELD OF PORT (Study On Pelindo II Banten Branch (Ciwandan) Frenky KS. Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 ABSTRACT Indonesia's strategic position, where Indonesia has a vast territorial waters with abundant marine resources potential that needs to be managed optimally and sustainably. The recognition of an archipelagic country as a principle of international law has added the strategic value of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI) since the international community must sail through the territory of sovereignty and the sovereign rights of Indonesia for the purposes of navigation, communication, laying of fiber optic cables, gas pipelines and trading of various commodities And manufacturing and export of energy and services. There are several reasons that can cause a lack of good order at sea of a country, and one of them is poor coordination between fellow institutions. Related ports, one of the things that often become a problem is the management of documents or port administration by the port service users, ranging from the management of ship dock permits, import duties, documents related to immigration to quarantine that takes not less. Not only that, not infrequently the location of a number of institutions that must be visited far apart. The same is also experienced by Pelindo II branch Banten, Ciwandan or Ciwandan Port. Document management and port administration in the port can take three days, which has consequences not only for port service users but also Ciwandan Port. The length of time the document processing automatically makes the loading and unloading time to be longer as well, so it can disrupt the influx of other ships that want to dock and unloading. Keywords: Public service, Service Innovation and One Roof Service
Kata Kunci: Pelayanan publik, Inovasi Pelayanan dan Pelayanan Satu Atap
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Posisi strategis Indonesia, dimana Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas dengan potensi sumber daya kelautan yang melimpah sehingga perlu dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Pengakuan negara kepulauan sebagai suatu prinsip hukum internasional telah menambah nilai strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena masyarakat internasional harus berlayar melalui wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia untuk keperluan navigasi, komunikasi, peletakan kabel serat optik, pipa gas, dan perdagangan berbagai barang komoditas dan manufaktur serta ekspor energi dan jasa. Ada beberapa alasan yang bisa menyebabkan kurangnya good order at sea suatu negara, dan salah satunya adalah koordinasi yang buruk antara sesama institusi. Terkait kepelabuhanan, salah satu hal yang seringkali menjadi masalah adalah pengurusan dokumen atau administrasi kepelabuhanan oleh para pengguna jasa pelabuhan, mulai dari pengurusan surat izin sandar kapal, bea masuk, dokumendokumen terkait keimigrasian sampai karantina yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tidak hanya itu, tidak jarang lokasi dari sejumlah institusi yang harus dikunjungi berjauhan. Hal yang sama juga dialami oleh Pelindo II cabang Banten, Ciwandan atau Pelabuhan Ciwandan. Pengurusan dokumen dan administrasi kepelabuhanan di pelabuhan tersebut bisa memakan waktu tiga hari, yang mana memiliki konsekuensi tidak hanya bagi pengguna jasa kepelabuhanan tetapi juga Pelabuhan Ciwandan. Lamanya waktu pengurusan dokumen secara otomatis membuat waktu bongkar muat menjadi lebih panjang juga, sehingga bisa mengganggu arus masuknya kapal-kapal lain yang hendak sandar dan bongkar muat.
43
ABSTRAK
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN
A. PENDAHULUAN Penguatan sektor kemaritiman merupakan salah satu sektor fokus kebijakan pemerintahan Jokowi – JK sebagaimana tertuang dalam nawacita. Konsep nawacita tersebut dipertegas lagi dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015 - 2019 (RPJMN 2015 - 2019) yang salah satu program turunannya adalah membangun ekonomi maritim. Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh posisi strategis Indonesia, dimana Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas dengan potensi sumber daya kelautan yang melimpah sehingga perlu dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Pengakuan negara kepulauan sebagai suatu prinsip hukum internasional telah menambah nilai strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena masyarakat internasional harus berlayar melalui wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia untuk keperluan navigasi, komunikasi, peletakan kabel serat optik, pipa gas, dan perdagangan berbagai barang komoditas dan manufaktur serta ekspor energi dan jasa. Ada beberapa alasan yang bisa menyebabkan kurangnya good order at sea suatu negara, dan salah satunya adalah koordinasi yang buruk antara sesama institusi. Terkait kepelabuhanan, salah satu hal yang seringkali menjadi masalah adalah pengurusan dokumen atau administrasi kepelabuhanan oleh para pengguna jasa pelabuhan, mulai dari pengurusan surat izin sandar kapal, bea masuk, dokumen-dokumen terkait keimigrasian sampai karantina yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tidak hanya itu, tidak jarang lokasi dari sejumlah institusi yang harus dikunjungi berjauhan. Hal yang sama juga dialami oleh Pelindo II cabang Banten, Ciwandan atau Pelabuhan Ciwandan. Pengurusan dokumen dan administrasi kepelabuhanan di pelabuhan tersebut bisa memakan waktu tiga hari, yang mana memiliki konsekuensi tidak hanya bagi pengguna jasa kepelabuhanan tetapi juga Pelabuhan Ciwandan. Lamanya waktu pengurusan dokumen secara otomatis membuat waktu bongkar muat menjadi lebih panjang juga, sehingga bisa mengganggu arus masuknya kapal-kapal lain yang hendak sandar dan bongkar muat. Maka dari itu, menarik untuk melihat bagaimana koordinasi Pelabuhan Ciwandan dengan berbagai institusi pemerintah terkait kepelabuhanan dalam rangka mempersingkat waktu pengurusan dokumen kepelabuhanan, yang di kemudian hari akan menjamin semakin cepatnya waktu bongkar muat barang di pelabuhan curah tersebut.
B. KERANGKA TEORITIS Good Order at Sea
Halaman
44
Menurut Joshua Ho dkk, good order at sea adalah untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran juga mengejar kepentingan maritim suatu negara, selain itu untuk mengembangkan sumberdaya laut yang dimiliki oleh sebuah negara secara berkelanjutan dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Kurangnya good order at sea dapat menimbulkan kegiatan ilegal di laut dan berdampak negatif terhadap sumber daya laut dan mengganggu jalur pelayaran. Lebih lanjut Joshua Ho dkk menjelaskan bahwa kurangnya good order at sea disebabkan karena beberapa alasan, yaitu kesulitan dalam memberantas aktivitas ilegal terhadap sumber daya, kebijakan nasional yang tidak efektif, koordinasi yang buruk antara sesama institusi, kekurangan tenaga yang terlatih. 1 Maritime Governance Dalam bukunya, Michael Roe menjelaskan pentingnya institusi-institusi maritim untuk membangun sebuah maritime governance, meskipun konsep dari Roe masih berfokus hanya
Lihat Ho, Joshua. Bateman, S, and Chan, J. 2009. Good Order at Sea In Southeast Asia. Rajaratnam School of International Studies. Nanyang Technological University. 1
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN kepada pelayaran saja namun konsep ini dapat diterapkan kepada sektor maritim lainnya. Roe menjelaskan bahwa ada beberapa karakteristik dari maritime governance, yaitu :2 - Negara sebagai pemeran utama (nation based) - Ditentukan oleh institusi (institutionally determined) - Pemangku kepentingan yang didefinisikan secara konservatif (conservatively defined stakeholders) - Terdapat dominasi dari pemilik kapal (shipowner dominated) - Lebih berfokus pada bentuk daripada proses (a focus on form rather than process) Menurut Roe, maritime governance yang baik akan dapat dicapai apabila keseluruhan elemen yang disebutkan diatas berjalan bersama-sama, dan tidak ada yang lebih mendominasi dari yang lainnya. Disebutkan dalam bukunya, sebagai permisalan, apabila ikut campur dari pemilik kapal terlalu besar maka apapun perubahan yang dibuat oleh institusi pemerintah, pemilik kapal tidak akan memiliki ketaatan untuk ikut berubah. Roe mengatakan bahwa disinilah tugas institusi untuk membuat kebijakan yang dapat mengimbangi dominasi dari permilik kapal tersebut. Perubahan yang besar dari institusi pemerintah tidak dapat menghilangkan peranan penting pemilik kapal dalam sebuah sistem maritime governance, namun dapat mengarahkan ambisi dari pemilik kapal tersebut melalui peraturan yang mencakup segala aspek; lingkungan, keselamatan, keamanan, dan efisiensi. Masih dari Michael Roe dalam buku yang berbeda, ia menjelaskan tentang bagaimana sebuah governance seharusnya dijalankan; bahwa institusi-institusi dalam sebuah governance tidak seharusnya tidak berfokus pada teritori, batasan, dan lokasi (yang dapat diterjemahkan sebagai tugas pokok dan fungsi) masing-masing namun lebih kepada proses, alur, dan struktur dari keseluruhan governance tersebut sebagai badan yang utuh.3 Model governance secara umum dapat digambarkan melalui konsep yang dikembangkan oleh Ramachandran, et al (2009) bahwa model global governance (yang juga relevan dengan model maritime governance) bahwa good governance adalah sebuah hubungan yang terjalin dengan baik antara manusia, ekonomi, dan negara. Hubungan ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:4
Lihat Roe, Michael. 2013. Maritime Governance and Policy Making. London: Springer International Publishing Switzerland. 3 Lihat Roe, Michael. 2016. Maritime Governance: Speed, Flow, Form, Process. London: Springer International Publishing Switzerland. 4 Lihat Ramachandran, V., Rueda-Sabater, E. J., & Kraft, R. 2009. Rethinking fundamental principles of global governance: How to represent states and populations in multilateral institutions. Governance, 22(3), 341–351. 2
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Bagan segitiga di atas apabila dihubungkan dengan maritime governance, maka elemen ekonomi yang dimaksudkan adalah Sumber Daya Ekonomi yang menjadi diskursus utama apabila membicarakan tentang ekonomi maritim. Sementara fungsi negara dalam good maritime governance adalah institusi-institusi pemerintahan yang menangani tentang sektor kemaritiman. Elemen manusia dalam good maritime governance adalah masyarakat maritim,
45
Gambar 1. Bagan Elemen-Elemen dalam Good Governance
Halaman
46
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN yaitu mereka yang menggantungkan hidupnya dan berhubungan langsung setiap harinya dengan laut. Sehingga sudah jelas terlihat, bahwa ketiga elemen yaitu Sumber Daya Ekonomi maritim, institusi-institusi pemerintahan di bidang kemaritiman, dan masyarakat maritim perlu diperkuat baik masing-masing peranannya maupun hubungan ketiga-tiganya sebagai prasyarat utama untuk menciptakan sebuah good maritime governance. Sebagaimana pernyataan Rosenbloom dalam Hughes (1994), Administrasi Negara berarti penggunaan teori-teori manajemen, politik dan hukum dalam proses pemenuhan mandat pemerintahan baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menjalankan fungsi pengaturan dan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan maupun kepada sebagian dari mereka. Oleh karenanya salah satu fungsi utama Administrasi Negara tidak lain adalah memberikan pelayanan publik yang sifatnya lebih urgen dibandingkan pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta kepada masyarakat. Sifat urgen ini dapat dicontohkan misalnya pelayanan dalam penyediaan air bersih bagi seluruh wilayah kota, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta pelayanan menjaga ketertiban dan keamanan kota dan sebagainya. Disisi lain sifat dari pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya tidak didasarkan atas perhitungan rugi-laba melainkan lebih pada rasa pengabdian kepada masyarakat umum. Dari kedua ciri pelayanan umum yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah tersebut, dapat dipahami bahwa sesungguhnya profesi aparatur pemerintah tidak lain dituntut untuk menjadi service provider yang memiliki kriteria sebagaimana sifat dari pelayanan itu sendiri. Dalam hal ini jelas masing-masing dituntut untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan menggunakan suatu keahlian dan standar moral atau etika tertentu dan memiliki jiwa pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap masyarakat yang dilayaninya. Karakteristik atau ciri-ciri seperti disebut di atas mencerminkan profesionalisme aparatur pemerintah. Namun pada kenyataannya hal itu masih perlu terus diupayakan dan ditingkatkan karena fenomena menunjukkan kondisi yang masih jauh dari harapan. Menyadari akan tugas utama mereka, tentunya pemberian pelayanan publik dengan mengutamakan produktivitas dan kualitas bukan lagi merupakan anjuran tetapi sudah otomatis menjadi standar kegiatan demi terwujudnya kepuasan masyarakat pada umumnya dan pelanggan secara khusus. Kealphaan dalam menciptakan kualitas layanan, maka akan mendatangkan banyak problema, polemik yang berkembang luas dan akhirnya membentuk citra negatif bagi organisasi pemerintah itu sendiri. Dewasa ini polemik atau bahkan citra negatif di kalangan sebagian organisasi pemerintah telah terlanjur terbentuk. Satu-satunya jalan bagi pemulihan citra atau pelayanan jasa adalah dengan cara mengubah budaya kerja dari yang kurang menghargai mutu menjadi budaya yang menjunjung tinggi mutu dan etos kerja. Dari semua itu yang terpenting adalah memahami betapa telah terjadi perubahan paradigma yang signifikan terhadap peran dan fungsi birokrasi pemerintahan dalam menjalankan manajemen publik. Perubahan-perubahan penting tersebut sebenarnya merupakan respon dari serangkaian fenomena yang terjadi yakni pertama, danya kritikan yang keras terhadap sektor publik; kedua, adanya perubahan dalam teori ekonomi; dan ketiga, globalisasi sebagai kekuatan ekonomi (Hughes,1994). Secara ontologis, reformasi paradigma government menuju governance berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokrasi yang semula melayani kepentingan kekuasaan menjadi peningkatan kualitas pelayanan publik (Osborne dan Gaebler:2000;208-212, Denhardt and Denhardt:2007;28-29). Sebuah teorema dalam good local governance memperlihatkan bahwa variabel eksistensi pemerintahan dependen terhadap variabel eksistensi masyarakat. Artinya, pemerintah ada karena ada masyarakat. Untuk itu, revisi kerangka pikir birokrat yang selama ini cenderung feodal menjadi membangkitkan kesadaran para birokrat bahwa masyarakat adalah tax payer (pembayar pajak) yang menjadi sumber pendapatan negara (pemerintah daerah) untuk menggaji para birokrat. Sebagai konsekuensinya, para birokrat seharusnya memprioritaskan pelayanan publik bukan melanggengkan kepentingan kekuasaan suatu rezim atau memelihara budaya patronklien dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Sejalan dengan uraian sebelumnya, ringkasnya peran birokrasi perlu direformasi kembali dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Osborne dan Gaebler (2000), Frederickson (1997), Denhardt and Denhardt (2007) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang berubah, aparatur pemerintah harus merubah perilakunya ke arah yang lebih kondusif seiring dengan perkembangan masyarakat. Artinya, pemerintah baik secara institusional maupun aparatur secara personal diharapkan beradaptasi melalui perampingan struktur, fleksibilitas, ketanggapan serta kemampuan untuk bekerjasama dengan semua pihak. Muncullah paradigma administrasi publik kontemporer, paradigma yang dibangun di atas tiga pilar governance, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan swasta (Charles T. Goodsell, 2003; Dwiyanto, 2006:19). Kemudian, Sujarwoto dan Yumarni (2007:556-558) menjelaskan inti dari teori governance adalah koordinasi, kolaborasi dan penyebaran kekuasaan di mana kekuasaan yang semula didominasi oleh negara didistribusikan kepada aktor-aktor di luar negara yang ada di sektor swasta maupun masyarakat sipil. Paradigma ini menghendaki adanya pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang dari ketiga pilar tersebut, sehingga diharapkan akan terjadi check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jelasnya, dalam buku Osborne dan Gaebler (2000;22) diuraikan 10 prinsip dasar yang perlu direformasi di balik bentuk pemerintahan baru yang sedang muncul, yang dianalogkan dengan „jari- jemari yang bersama-sama memegang setir baru“. Kesepuluh jari ini membentuk suatu keseluruhan yang saling berlengketan, sebuah model pemerintahan baru, tetapi mereka tidak akan memecahkan semua masalah. Melainkan jika pengalaman organisasi yang telah diperoleh mereka ini menjadi pembimbing, prinsip tersebut akan memecahkan masalah-masalah besar dengan pemerintahan yang birokratis. Adapun kesepuluh prinsip dasar yang perlu direformasi pada birokrasi pemerintah dalam pemberian pelayanan yang berorientasi terhadap pelanggan atau warga negara, yaitu: 1). Steering rather than rowing (mengarahkan ketimbang melayani). Hal ini berkaitan dengan cara kerja pemerintah yang terlalu mendominasi penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karenanya, dominasi tersebut perlu direduksi secara gradual untuk selanjutnya diserahkan pada civil society ataupun swasta; 2). Empowering rather than serving (memberdayakan daripada melayani). Artinya, pemerintah dituntut untuk melakukan pemberdayaan atau penguatan agar potensi masyarakat dapat tumbuh dan berkembang bukan hanya dilayani terus atau dicekoki; 3). Injecting competition into service delivery (menginfiltrasikan nuansa kompetisi dalam penyediaan layanan). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah lebih memperhatikan pada kualitas penyediaan layanan yang disediakan bukan sekedar kuantitasnya saja, sehingga tercipta suasana yang kondusif dan terlepas dari warna korupsi dan nepotisme; 4). Transforming rule-driven organization (mentransformasikan aturan menjadi organisasi yang terdorong oleh misi). Artinya, organisasi pemerintah diharapkan memiliki inisiatif dan tidak kaku dengan aturan; 5). Funding outcome not input (perubahan orientasi dari masukan menuju hasil). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah berupaya secara baik untuk memaksimalisasikan input baik berupa anggaran maupun sumber daya lainnya menjadi hasil yang optimal; 6). Meeting the needs of customer not the bureaucracy (memenuhi kebutuhan pengguna layanan bukan birokrasi). Artinya, yang diutamakan dalam pelayanan adalah pemenuhan kebutuhan pelanggan. Birokrasi sebaiknya tidak memaksakan agar kepentingannya turut pula diakomodir dalam pelayanan tersebut; 7). Earning than spending (mencari daripada mengeluarkan). Hal ini dimaksudkan agar organisasi pemerintah lebih diupayakan mengakumulasi sumber daya daripada terus-menerus menggunakannya. Bahkan dituntut lebih jauh lagi, yakni kemampuan birokrasi untuk melakukan investasi dengan sumber daya yang dimilikinya; 8). Prevention rather than cure (mencegah daripada mengobati). Artinya, birokrasi diharapkan mengupayakan berbagai upaya-upaya prevensi agar tidak terjadi dampak yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, setiap aktivitas birokrasi harus memiliki kalkulasi yang baik terhadap kebijakan yang akan ditempuhnya, sehingga birokrasi menghindarkan diri dari masalah bukan melakukan pemecahan masalah; 9). From hierarchy to partisipation and team work (dari hirarki berubah menjadi partisipatif dan kerjasama dalam tim). Artinya membangun pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan demikian akan terbangun birokrasi yang lebih terbuka terhadap partisipasi bawahan dan mampu untuk saling bekerjasama bukan
47
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN sebaliknya memelihara senioritas dan hirarki; 10). Leveraging change trough the market (mendongkrak perubahan melalui pasar). Hal ini dimaksudkan agar pemerintah lebih berorientasi pada pasar untuk melakukan berbagai perubahan sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat Osborne dan Gaebler (2000;22). Sejalan dengan uraian di atas, berarti dalam mereformasi birokrasi pelayanan publik menuju good local governance tidak boleh mereformasi birokrasi setengah hati melainkan haruslah mereformasi birokrasi sepenuh hati. Jadi, harus memang benar-benar sungguh-sungguh sebagaimana yang dialami oleh negara-negara maju dalam menghadapi kritikan terhadap sektor publik, yang paling keras terjadi antara 1980-an hingga 1990-an, utamanya terhadap kapabilitas organisasi publik di Amerika Serikat dan Inggris. Hal yang menjadi sorotan pada saat itu, pertama adalah besaran birokrasi yang menyerap begitu banyak sumberdaya. Respon terhadap kritikan tersebut adalah pemangkasan ukuran birokrasi beserta anggaran pengeluarannya. Kedua, kritik terhadap ruang lingkup kegiatan birokrasi yang dirasa terlalu luas memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagai respon terhadap hal ini adalah dialihkannya sebagian aktivitas ke sektor swasta antara lain melalui privatisasi, contracting out dan sebagainya. Ketiga, kritikan yang selalu dimunculkan adalah terhadap cara kerja atau metode yang diterapkan oleh birokrasi pemerintah dimana selama ini dianggap terlalu prosedural, kaku, dan mengakibatkan inefisiensi. Sebagai respon terhadap kritikan tersebut adalah dengan mengubah metode yang diterapkan menjadi lebih fleksibel.
C. PEMBAHASAN
Halaman
48
Hadirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo membawa angin segar bagi pembangunan maritim Indonesia. Pada tahun 2014 Presiden Joko Widodo menggagas konsep Poros Maritim Dunia (Global Maritime Fulcrum) untuk pertama kalinya di KTT Asia Timur di Myanmar. Gagasan ini dapat membuat Indonesia kembali berjaya dan kembali pada identitasnya sebagai negara maritim. Poros Maritim Dunia merupakan kekuatan maritim yang disegani di dunia yang mampu menjadikan sumber daya laut sebagai pilar pembangunan nasional baik secara sosial budaya, ekonomi, maupun pertahanan. Berdasarkan Buku Putih Kebijakan Kelautan terdapat tujuh pilar untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pilar tersebut adalah: 1. Pengelolaan sumber daya kelautan dan sumber daya manusia; 2. Pertahanan dan keamanan laut; 3. Tata kelola dan kelembagaan laut; 4. Infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan; 5. Pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut; 6. Budaya bahari; 7. Diplomasi maritim. Bagi setiap wilayah yang memiliki lautan maka dibutuhkan pengelolaan baik dari lingkup sumber dayanya maupun keamanan bagi pelayarannya. Good order at sea merupakan persyaratan mutlak bagi setiap wilayah untuk mewujudkan kepentingan maritimnya. Good order at sea akan terwujud ketika laut menjadi aman dan pengelolaannya dilakukan secara baik yang dibuktikan dengan adanya keberlanjutan dari sumber daya lautnya. Salah satu upaya mewujudkan Poros Maritim Dunia adalah dengan terciptanya Sistem logistik Nasional yang terintegrasi dan efisien. Sistem Logistik Nasional yang terintegrasi akan memperlancar distribusi ekonomi kewilayahan sehingga perekonomian daerah berkembang secara merata. Pemerintah berupaya menciptakan Sistem Logistik Nasional yang efektif dan efisien dengan menggunakan konsep Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management/SCM) yang berbasis pada sinkronisasi, integrasi dan kolaborasi berbagai pihak terkait (pemangku kepentingan), dengan memanfaatkan penggunaan teknologi informasi yang
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN diwadahi dalam suatu tatanan kelembagaan yang terpercaya dan sistem organisasi yang efektif sebagaimana dilihat pada Gambar di bawah ini.5
5
Lihat Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Salah satu program Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan pemerataan ekonomi yaitu program tol laut. Peran Tol Laut diharapkan dapat meningkatkan konektifitas antar pelabuhan sebagai jalur pemasok kebutuhan tiap-tiap daerah yang dapat mendukung perekonomian daerah. Peran pelabuhan dan armada laut menjadi kunci untuk mewujudkan Tol Laut. Pembangunan infrastruktur pelabuhan serta memperbanyak kapal pengangkut menjadi penting sebagai peningkatan intensitas konektifitas perekonomian. Provinsi Banten memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang kemaritiman, baik dari potensi transportasi maupun industri maritim. Selain dilewati dengan ALKI I, Provinsi Banten juga memiliki banyak potensi sumber daya untuk bahan industri seperti besi dan timah. Kawasan industri yang sudah tertata dengan baik juga mendukung potensi maritim tersebut. Secara tidak langsung adanya industri di Banten berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Banten. Industri-industri di Banten tersebut juga berkembang dengan adanya peran Pelabuhan sebagai pemasok bahan baku yang dibutuhkan industri ataupun yang didistribusikan keluar Banten seperti ke Jakarta dan Jawa Barat. Selain itu, peran pemerintah provinsi dan Kabupaten Cilegon harus berupaya menjaga stabilitas dalam mendukung terciptanya sistem logistik yang optimal di Banten. Perlogistikan nasional dan manajemen suplai merupakan salah satu pilar ekonomi, infrastruktur dan kesejahteraan dalam Poros Maritim Dunia. Pemenuhan kebijakan tersebut diimplementasikan melalui pemerataan bahan baku dan curah yang terdistribusi secara merata di provinsi Banten. Di bidang kemaritiman, Provinsi Banten memiliki 5 (lima) Pelabuhan yang terdiri dari 2 (dua) pelabuhan yang sudah diusahakan dan 3 (tiga) pelabuhan lain yang belum diusahakan. Dua pelabuhan yang sudah diusahakan dan dikelola antara lain adalah Pelabuhan Ciwandan (PELINDO II) dan Pelabuhan Bojonegara, sedangkan 3 (tiga) pelabuhan lain yang belum diusahakan antara lain adalah Pelabuhan Karangantu, Pelabuhan Labuhan dan Pelabuhan di Bojonegara. Pelabuhan-pelabuhan ini masih dikelola dengan sistem kemasyarakatan dan belum terorganisir dengan baik jika dibandingkan dengan pengelolaan pelabuhan dengan PELINDO II.
49
Gambar 2. Peran Sislognas dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN Sekilas tentang Pelindo II PT Pelabuhan Indonesia (PELINDO) adalah badan usaha milik negara atau BUMN yang bergerak dalam jasa kepelabuhanan. Bidang usaha PELINDO meliputi menyediaan dan penguasaan perairan dan kolam pelabuhan, pelayanan dan pemanduan, dan penundaan kapal pergudangan, bongkar muat, peti kemas, industri, pergudangan dan pendidikan ataupun pelatihan yang berkaitan dengan kegiatan kepelabuhanan. Sejak tahun 1960, pengelolaan pelabuhan di Indonesia berasal dari putusan pemerintah Indonesia sebagai pihak yang mengelola seluruh pelabuhan laut di Indonesia berdasar Perpres No. 19/1960 tentang manajemen pelabuhan dijalankan oleh Badan Pengelolaan Pelabuhan (BPP). Wilayah operasi Pelindo II mencakup 10 provinsi dan telah mengelola 12 pelabuhan. Salah satunya adalah Pelabuhan Teluk Bayur di Provinsi Sumatera Barat dan Pelabuhan Jambi di Provinsi Jambi. Berikut gambaran wilayah operasi Pelindo II: 6
Gambar 3. Wilayah Operasi Pelindo II
Halaman
50
Adapun beberapa capaian PELINDO II sejak tahun 2013 – 2015 yaitu diantaranya penstabilan kegiatan operasional utama, peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, mendorong pertumbuhan pendapatan minimal 20%, peningkatan kualitas pelayanan, pengembangan bisnis logistik terintegrasi, merupakan perusahaan induk yang memiliki 3 (tiga) anak perusahaan, mampu meningkatkan logistics performance index Indonesia dan mengurangi angka transhipment. Sekilas tentang Pelindo II Cabang Banten (Ciwandan) PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Banten berdiri pada tanggal 27 Agustus 1988, terletak di Provinsi Banten, Kecamatan Ciwanden dan memiliki area seluas 42,6 ha. Lebih dikenal dengan sebutan Pelabuhan Banten, dan sebagai bagian dari rantai logistik yang panjang, baik nasional, regional dan internasional, pelabuhan tersebut memiliki peran yang strategis atas lancarnya arus barang/produk dan harga jual suatu produk. Pelabuhan Banten adalah
6
Lihat website Pelindo II www.indonesiaport.co.id
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN pelabuhan curah terbesar di Indonesia, yang mana komposisi kargo yang ditangani adalah sebagai berikut:7 - Curah kering: 76% - Curah cair: 7% - General cargo: 16% - Bag cargo: 1% Layanan yang diberikan oleh Pelabuhan Banten adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan jasa kapal, terdiri dari: a. Jasa pemanduan dan penundaan b. Jasa tambat dan jasa labuh c. Pelayanan air kapal 2. Pelayanan jasa barang, terdiri dari: a. Jasa dermaga/bongkar muat b. Pelayanan gudang/penumpukan lapangan 3. Pelayanan rupa-rupa usaha: a. Pelayanan listrik dan air b. Kerjasama pemanfaatan lahan c. Reception facilities d. Jasa timbangan e. Pelayanan alat mekanik f. Trucking
7
Indonesia Port Corporation (IPC) (2017) Brosur PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) : Transporting Light to the Nation.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Pelabuhan Ciwandan termasuk dalam rantai pelabuhan Nusantara yang terhubung tidak hanya dengan rantai logistik nasional tetapi juga kawasan internasional seperti pada Gambar 5. Berdasarkan wawancara dengan General Manager PT Pelindo II Cabang Banten, Chieffy Adi Kusmargono menyampaikan bahwa Pelabuhan Ciwandan ingin berkontribusi untuk merealisasikan rantai logistik yang efisien. Peran Pelabuhan Ciwandan sangat strategis, khususnya untuk perkembangan industri di Banten serta sebagai pendukung Pelabuhan Tanjung Priok. Potensi logistik Indonesia yang sangat besar khususnya jalur laut menjadi
51
Gambar 4. Struktur Organisasi Pelindo II Cabang Banten
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN tantangan bagi Pelabuhan Ciwandan untuk menjadikan Banten sebagai Poros Maritim Indonesia.
Gambar 5. Pelabuhan Ciwandan dan Rantai Logistik Kawasan dan Internasional 8
Halaman
52
Pelabuhan Ciwandan menetapkan tahun 2017 sebagai tahun akselerasi (enhancement) yang secara komprehensif dan akan terus bertransformasi mewujudkan kinerja yang unggul juga berkesinambungan yang mengacu pada jalan perusahaan (corporate road map)9. Sebagai pelabuhan curah terbesar di Indonesia, Pelabuhan Ciwandan memiliki 9 dermaga pelabuhan dengan kedalaman 16 (enam belas) meter yang dapat disandari oleh kapal-kapal ocean going yang belum dimiliki oleh Pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Ciwandan sudah mampu mengelola rata-rata 9 (sembilan) juta kargo per tahun dan merupakan pintu bagi komoditas bahan bagi industri-industri yang ada di Provinsi Banten yang secara tidak langsung ikut menjalankan sistem logistik di Banten10.
Gambar 6. Produktifitas Pelabuhan Ciwandan (IPC Banten) 11 Produktifitas Pelabuhan Ciwandan cukup baik dan terus meningkat setiap tahunnya sebagaimana dilihat pada Gambar 6. Hal ini dikarenakan kebutuhan pasokan industri yang Presentasi GM Pelindo Cabang Banten pada Diskusi Good Maritime Governance di Lanal Banten, 28 Februari 2017 (2017) IPC Dorong Anak Usaha IPO. Diakses dari
[08/03/2017] 10 Opcit 11_____ (2017) IPC Dorong Anak Usaha IPO. Diakses dari
[08/03/2017] 8
9_____
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN meningkat. Melihat potensi Banten yang besar yaitu terdapat sekitar 1600 perusahaan dan merupakan tempat kerja bagi sekitar 487.782 tenaga kerja yang menjadikan Banten sebagai provinsi yang kaya dari segi perekonomian daerah12. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten tahun 2016 yaitu 5,16 persen dari PDB serta volume ekspor yang setiap tahunnya meningkat sebagaimana dilihat pada Tabel 1. Volume ekspor yang cenderung mengalami kenaikan menunjukkan perkembangan ekonomi Provinsi Banten meningkat dan berkembang. Tabel 1. Volume Ekspor Provinsi Banten13 Volume Ekspor (ribu ton) 2008 2009 2010 2011 3708
3761
4636.1
4403.8
2012
2013
2014
4060.8
4458.2
5199.5
Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Banten No. 48/08/36/Th.X, 5 Agustus 2016 Ibid 14 Artikel “Peresmian Gedung Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA)” yang tersedia di https://www.bantenport.co.id/peresmian_ppsa.html, diakses tanggal 7 Maret 2017 15 Artikel “PEMPROV BANTEN APRESIASI PENGOPRASIAN PPSA”, 21 Januari 2016, yang tersedia di http://humasprotokol.bantenprov.go.id/read/menara-banten/2114/PEMPROV-BANTEN-APRESIASI-PENGOPRASIANPPSA.html, diakses pada tanggal 7 Maret 2017 16 Artikel “Hanya Tiga Jam, Urus Dokumen Kepelabuhanan di Banten Semakin Mudah”, 21 Januari 2016, yang tersia di http://www.radarbanten.co.id/hanya-tiga-jam-urus-dokumen-kepelabuhanan-di-banten-semakin-mudah/, diakses pada tanggal 2 Maret 2017 12 13
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Praktek Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) di Pelabuhan Ciwandan Dalam rangka mendukung kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD) Presiden Joko Widodo, Pelabuhan Ciwandan, bekerja sama dengan enam institusi pemerintah terkait perizinan dan administrasi pelabuhan, meresmikan Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) yang berlokasi di pelabuhan tersebut.14 Peresmian PPSA tersebut dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2016 bersama dengan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Banten, Kantor Pengawasan dan Pelayanan (KPP) Bea dan Cukai Tipe Madya Merak, Kantor Imigrasi Kelas II Cilegon, Kantor Karantina Kesehatan Pelabuhan Kelas II Banten, Kantor Karantina Pertanian, Kantor Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Sebagai pilot project nasional, PPSA Pelabuhan Ciwandan menjadi polopor upaya percepatan administrasi kepelabuhanan yang menerima apresiasi dari berbagai pihak, termasuk pihak pengguna jasa kepelabuhanan dan juga dari pemerintah daerah Provinsi Banten.15 Dengan memangkas waktu pengurusan dokumen dan perizinan dari tiga hari menjadi tiga jam,16 PPSA mengurangi beban pengguna jasa pelabuhan karena tidak perlu lagi ke sejumlah kantor perizinan yang terletak di Merak, Cilegon dan bahkan harus ke Jakarta. Selain itu, waktu yang singkat dalam mengurus perizinan memungkinkan waktu bongkar muat yang semakin singkat, sehingga memungkinkan lebih banyak kapal yang bisa sandar dan membongkar atau memuat kargo di dermaga-dermaga Pelabuhan Ciwandan. Menurut release resmi Pelabuhan Ciwandan, berdirinya PPSA diharapkan dapat: 1. Memperlancar dan mempermudah pelayanan jasa kepelabuhan dan pelayaran yang memudahkan para pengguna jasa dalam mengurus perijinan, administrasi/dokumen pelayaran jasa kepelabuhanan dan pelayaran;
53
Pelabuhan Ciwandan memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung perputaran roda ekonomi Provinsi Banten, terutama karena di provinsi tersebut terdapat banyak industriindustri besar di bidang baja, semen dan juga bahan pangan. Kapabilitas Pelabuhan Ciwandan harus terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan industri serta memperlancar perekonomian di Banten.
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN 2. Memajukan industri kepelabuhanan dan pelayaran agar tumbuh dan berkembang sehingga dapat mendorong industri yang ada di wilayah Provinsi Banten semakin berkembang; 3. Berpartisipasi aktif dalam pembangunan wilayan Provinsi Banten melalui percepatan pelayanan jasa kepelabuhanan dan pelayaran. Dari hasil tinjauan langsung di lapangan, terlihat bahwa anggota keenam institusi pemerintah yang terkait dengan perizinan dan administrasi kepelabuhanan yang telah disebut di atas hadir di PPSA Pelabuhan Ciwandan. Hal ini menunjukkan adanya sinergi yang nyata antara keenam stakeholder kepelabuhanan tersebut. Tidak hanya itu, pengurusan di PPSA tersebut tidak memerlukan uang tunai karena semua pembayaran dilakukan via ATM, sehingga meniadakan kemungkinan terjadinya permainan atau pungutan liar (pungli) oleh aparat terkait. Berikut dokumentasi keberadaan PPSA di Pelabuhan Ciwandan:
Gambar 7. Keberadaan PPSA di Pelindo II Cabang Banten (Ciwandan) Hal tersebut menjadi wujud nyata dari pelaksanaan good governance oleh Pelabuhan Ciwandan dan keenam institusi tersebut, terutama dalam mewujudkan good order at sea di Provinsi Banten; meniadakan koordinasi buruk antar instansi yang terkait dengan mempermudah pengguna jasa kepelabuhanan dalam mengurus administrasi dan kelengkapan surat-surat yang dibutuhkan di pelabuhan.
Halaman
54
D. PENUTUP Salah satu inovasi pelayanan publik di bidang kepelabuhanan yang dilaksanakan oleh Pelindo II Cabang Banten (Ciwandan) adalah pengintegrasian institusi kemaritiman, dalam hal ini adalah institusi kepelabuhanan dalam satu atap. Penerapan Good Order at Sea tersebut telah diaplikasikan melalui program Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA) yang terdiri dari 6 (enam) stakeholder kepelabuhanan yaitu Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Banten, Kantor Pengawasan dan Pelayanan (KPP) Bea dan Cukai Tipe Madya Merak, Kantor Imigrasi Kelas II Cilegon, Kantor Karantina Kesehatan Pelabuhan Kelas II Banten, Kantor Karantina Pertanian, Kantor Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PUSAT PELAYANAN SATU ATAP (PPSA) SEBAGAI BEST PRACTICE INOVASI PELAYANAN PUBLIK BIDANG KEPELABUHANAN Kantor PPSA yang terletak di Pelabuhan Ciwandan merupakan penerapan Good Order at Sea sesuai dengan kebijakan maritim Indonesia. Peran Pelindo II, Ciwandan terhadap perekonomian Banten adalah melalui penyebaran logistik Nasional dan Supply Chain Management untuk mendukung perekonomian daerah hal ini dilihat dari pertumbuhan ekonomi provinsi Banten di tahun 2016 yaitu 5,16 persen dari PDB serta volume ekspor yang setiap tahunnya meningkat dari tahun sebelum-sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Ho, Joshua. Bateman, S, and Chan, J. 2009. Good Order at Sea In Southeast Asia. Rajaratnam School of International Studies. Nanyang Technological University. Ramachandran, V., Rueda-Sabater, E. J., & Kraft, R. 2009. Rethinking fundamental principles of global governance: How to represent states and populations in multilateral institutions. Governance, 22(3), 341–351. Roe, Michael. 2013. Maritime Governance and Policy Making. London: Springer International Publishing Switzerland. Roe, Michael. 2016. Maritime Governance: Speed, Flow, Form, Process. London: Springer International Publishing Switzerland.
Halaman
55
Website ___. ___. Artikel “Peresmian Gedung Pusat Pelayanan Satu Atap (PPSA)” yang tersedia di https://www.bantenport.co.id/peresmian_ppsa.html, diakses tanggal 7 Maret 2017 ___. 2016. Artikel “Hanya Tiga Jam, Urus Dokumen Kepelabuhanan di Banten Semakin Mudah”, 21 Januari 2016, yang tersia di http://www.radarbanten.co.id/hanya-tiga-jamurus-dokumen-kepelabuhanan-di-banten-semakin-mudah/, diakses pada tanggal 2 Maret 2017 ___. 2016. Artikel “PEMPROV BANTEN APRESIASI PENGOPRASIAN PPSA”, 21 Januari 2016, yang tersedia di http://humasprotokol.bantenprov.go.id/read/menarabanten/2114/PEMPROV-BANTEN-APRESIASI-PENGOPRASIAN-PPSA.html, diakses pada tanggal 7 Maret 2017 _____ (2017) IPC Dorong Anak Usaha IPO. Diakses dari
[08/03/2017] _____ (2017) IPC Dorong Anak Usaha IPO. Diakses dari
[08/03/2017]
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel)
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF: Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel)
STRENGTHENING OF INCLUSIVE PUBLIC SERVICES: Linking Service to Special Needs Community (Disable) Marsono Pusat Inovasi Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Email:
[email protected],
[email protected], HP. 081519303598 ABSTRACT Every citizen is entitled to public services organized by the state, whether in the form of educational services, health services and employment services and administrative services and so forth appropriate in its ability. Besides, there are opportunities and similarities to play a role in development so that it develops its talents, abilities and social life in realizing the independence physically, mentally and financially. The overall order in the life of the nation and the state, especially in the delivery of public services must be inclusive, meaning that the service system must ensure that everyone has equal opportunity to participate in the service process, recognize and respect diversity. Based on data from the Central Bureau of Statistics (BPS) of the Republic of Indonesia, in 2010 recorded the number of people with disabilities reach approximately 9.046.000 soul of approximately 237 million inhabitants. If converted in percentage, the amount is approximately 4.74 percent. The most important thing related to the service to the disabled is the existence of justice in accessing all kinds of public services, since accessibility is an important requirement for PwDs. Therefore, PwDs can perform their mobility to the desired places. Regulations related to the obligation to provide accessibility for disability groups have been regulated through: (1) Regulation of the Minister of Public Works No. 30 / PRT / M / 2006 Year 2006 concerning Facility Technical Guidance and Accessibility on Building and Environment; (2) Regulation of the Minister of Public Works No. 468 / KPTS / 1998 on Technical Requirements for Accessibility in Public Buildings and the Environment; And (3) Decree of the Minister of Transportation Noor 71 Year 1999 on Accessibility for Persons with Disabilities and Sick on Transportation Facilities and Infrastructure. Based on the policy, this paper describes the implementation and problems and recommendations for future improvement. Keywords: Strengthening, Public services, accessibility and disability
Halaman
56
ABSTRAK Setiap warga Negara berhak atas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh negara, baik itu berupa pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan maupun pelayanan ketenagakerjaan serta pelayanan administratif dan sebagainya yang layak sesuai kemampuannya. Disamping itu adanya kesempatan dan kesamaan untuk berperan dalam pembangunan sehingga menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam mewujudkan kemandirian secara fisik, mental maupun finansial. Keseluruhan tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik haruslah bersifat inklusif, artinya sistem pelayanan harus menjamin bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pelayanan, mengakui dan menghargai keberagaman. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, pada 2010 tercatat jumlah penyandang disabilitas mencapai sekira 9.046.000 jiwa dari sekira 237 juta jiwa. Jika dikonversi dalam bentuk persen, jumlahnya sekira 4,74 persen. Hal yang sangat penting terkait dengan pelayanan terhadap kaum difabel adalah adanya keadilan dalam mengakses semua jenis layanan publik, mengingat aksesibilitas merupakan kebutuhan penting bagi penyandang disabilitas. Karenanya, penyandang disabilitas dapat melakukan mobilitasnya ke berbagai tempat yang dikehendaki. Regulasi terkait dengan kewajiban memberikan aksesibilitas bagi kelompok disabilitas telah diatur melalui: (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan; dan (3) Keputusan Menteri Perhubungan Noor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka tulisan ini mendeskripsikan implementasi dan permasalahannya serta rekomendasi perbaikan kedepan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penyediaan pelayanan publik seharusnya dilakukan pada semua sektor dan diperuntukkan untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk di antaranya masyarakat yang memerlukan pelayanan khusus seperti para penyandang cacat (disable), masyarakat yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak. Namun penyediaan pelayanan yang aksesibel bagi semua warga negara (inklusif) dalam sektor pelayanan publik hingga saat ini masih belum menjadi prioritas utama pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari berbagai fasilitas umum yang tersedia, seperti berbagai sarana transportasi; terminal angkutan umum, rambu lalulintas, dan penunjuk arah jalan, maupun tempat-tempat penyeberangan dan toilet-toilet umum. Semuanya belum sepenuhnya dilengkapi dengan kemudahan akses untuk masyarakat penyandang cacat fisik dan masyarakat berkebutuhan khusus lainnya. Jaringan televisi nasional pernah mencoba menggunakan media bahasa isyarat untuk pemirsa tunarungu pada akhir tahun 1990-an, namun hal ini kemudian tidak dilanjutkan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, penghentian penayangan bahasa isyarat tersebut tidak menuai protes dari masyarakat. Ini menunjukkan betapa pemerintah dan masyarakat masih rendah kepeduliannya terhadap masyarakat berkebutuhan khusus, terutama para tunarungu. Di samping itu, berbagai bidang pelayanan lain seperti pendidikan, kesehatan, perizinan, ketenagakerjaan, perumahan, perbankan, pariwisata, dan lain-lain masih belum memerhatikan inklusivisme pelayanan. Kondisi masih buruknya pelayanan inklusif di Indonesia sebagaimana digambarkan di atas, ditengarai sebagai resultan masih berkecamuknya kecenderungan birokrasi yang masih berpihak kepada kepentingan elit. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh faktor kultural dan historis. Secara kultural, birokrasi di Indonesia cenderung paternalistik dan menempatkan pejabat atasan sebagai patron yang harus diperlakukan secara eksklusif dan menjadi sentral birokrasi itu sendiri. Banyak simbol, bahasa, dan nilai-nilai yang dikreasi semata-mata untuk menempatkan pimpinan sebagai sentral dan panglima birokrasi publik. Secara historis, birokrasi pada zaman kerajaan dan kolonial dibentuk lebih sebagai instrumen kekuasaan daripada instrumen pelayanan publik. Birokrasi diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan raja dan pemerintahan kolonial, bukan untuk mengabdi kepada kepentingan warga dan rakyatnya. Karena itu, tidak mengherankan jika birokrasi sulit untuk berpihak kepada kepentingan warga. Alih-alih mendorong birokrasi untuk peduli kepada kepentingan kelompok-kelompok terpinggirkan seperti kelompok disabel, miskin, lansia, minoritas, dan kelompok marginal lainnya (Dwiyanto, 2008). Jika menilik data statistik tentang masyarakat berkebutuhan khusus, tentu kita sepakat bahwa jumlah mereka tidak sedikit. Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Depsos memperkirakan jumlah penyandang cacat di Indonesia pada tahun 2006 adalah sekitar 2.429.708 atau 1,2% dari total penduduk (Suharto, 2007). Survey yang dilakukan Pusdatin Depsos pada tahun 2007 menunjukkan bahwa populasi penyandang cacat adalah sekitar 3,11% dari total penduduk Indonesia. Jika jumlah penduduk tercatat 220 juta, maka jumlah penyandang cacat mencapai 7,8 juta jiwa. Belum lagi jika kita melihat angka perkiraan yang dikeluarkan oleh lembagalembaga lain, yang memperkirakan jumlah penyandang cacat mencapai 10% dari total jumlah penduduk.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
A.
57
Kata Kunci : Penguatan, Pelayanan publik, aksesibilitas dan disabilitas
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) Tentu saja mereka menghadapi permasalahan yang beragam berkenaan dengan minimnya penanganan pemerintah. Sebagai gambaran, masalah-masalah tersebut, di antaranya adalah: (a) belum tersedianya data yang akurat dan aktual tentang karakteristik kehidupan dan penghidupan berbagai jenis penyandang cacat; (b) belum memadainya jumlah dan kualitas tenaga spesialis untuk berbagai jenis kecacatan, (c) terbatasnya sarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh penyandang cacat, termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat, dan (d) terbatasnya lapangan kerja bagi mereka (Depsos, 2003). Di samping memerhatikan masyarakat berkebutuhan khusus, pelayanan publik juga harus memerhatikan kebutuhan masyarakat lanjut usia. Kondisi dan karakteristiknya meniscayakan pelayanan yang berbeda pula. Apalagi dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan jumlah lansia di Indonesia. Meningkatnya pendapatan masyarakat, membaiknya status kesehatan dan gizi masyarakat, dan perubahan pola hidup yang lebih sehat telah meningkatkan usia harapan hidup dan populasi lanjut usia di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (ageing structured population). Jika pada tahun 1980, rata-rata penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun “hanya” sekitar 5,45% dari total penduduk, maka pada tahun 1990 dan 2000, persentasenya meningkat menjadi 6,29% dan 7,18%. Pada tahun 2010 dan 2020, persentase lanjut usia diperkirakan meningkat lagi menjadi 9,77% dan 11,34% dari keseluruhan penduduk Indonesia (Suharto,2008). Dengan memperhatikan data-data di atas, sudah sepatutnya bagi pemerintah untuk benarbenar memperhatikan inklusivitas pelayanan di segala bidang, baik jenis pelayanan, infrastruktur, maupun birokrasi pelayanannya itu sendiri. Pada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan inklusif telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat 3 yang menyebutkan, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Layak di sini seharusnya dipahami bahwa siapapun warga negara di republik ini bisa mengakses berbagai fasilitas publik termasuk fasilitas kesehatan.
Tujuan dan Manfaat
Halaman
58
Melalui pembahasan mengenai inovasi pelayanan publik inklusif dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat berkebutuhan khusus (disabel), maka tujuan yang akan disasar adalah : a. Melihat potret inklusifitas pelaksanaan pelayanan publik kepada masyarakat di beberapa pemerintah daerah khususnya terkait dengan dukungan kebijakan, SDM dan sarana dan prasarana; b. Melihat gambaran inovasi-inovasi pelayanan inklusif yang telah dilakukan beberapa pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik yang dimiliki; c. Menyusun rekomendasi dan strategi membangun inovasi pelayanan publik inklusif sesuai dengan situasi dan kondisi di masing-masing pemerintah daerah. Berdasarkan tujuan tersebut, maka manfaat yang akan diperoleh sebagai berikut: a. Memperoleh berbagai informasi terkait dengan inklusifitas pelaksanaan pelayanan publik di beberapa pemerintah daerah khususnya terkait dengan dukungan kebijakan, SDM dan sarana dan prasarana; b. Mendapat gambaran model-model inovasi pelayanan publik inklusif yang telah dilakukan beberapa pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik yang dimiliki; c. Tersusunnya rekomendasi strategi membangun inovasi pelayanan publik inklusif sesuai dengan situasi dan kondisi di masing-masing pemerintah daerah.
Perumusan Masalah Inovasi pelayanan publik inklusif dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat berkebutuhan khusus (disabel), tentu berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah sampai pada pemecahan permasalahannya, oleh karena itu diperlukan perumusan masalah sebagai berikut: Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) a. Bagaimana pemahaman konsep pelayanan publik inklusif sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; b. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik inklusif dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat berkebutuhan khusus (disabel); c. Bagaimana rekomendasi strategi inovasi pelayanan publik inklusif sesuai dengan kewenangan, fungsi dan karakteristik masing-masing pemerintah daerah. B. METODE PENULISAN Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah menggunakan pendekatan metode deskriptif analitis, dimana menjelaskan permasalahan pelayanan publik inklusif melalui analisa berdasarkan data-data yang ada. Berbagai data diperoleh berdasarkan permasalahan pelayanan publik inklusif yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan kapasitas yang dimiliki, kebijakan, SDM, sarana dan prasarana sesuai dengan amanat peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pelayanan publik inklusif. Data sekunder didapat melalui hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya serta berbagai data empiris terkait dengan permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik inklusif kepada warga masyarakatnya. Selanjutnya permasalahan tersebut perlu diselesaikan melalui penyusunan program dan kegiatan inovasi pelayanan publik inklusif sesuai dengan kondisi dan karakteristik masing-masing daerah, sehingga tujuan utama pemberian pelayanan publik inklusif yang telah diamanatkan peraturan perundang-udangan benar-benar dapat terwujud, khususnya terkait dengan upaya mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat berkebutuhan khusus (disabel) sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. C. KERANGKA KONSEP Kata penguatan menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan menguati atau menguatkan. Penguatan merupakan respon terhadap suatu perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali perilaku tersebut. Dalam konteks pelayanan publik inklusif, penguatan dimaknai sebagai segala upaya dan langkah-langkah konkrit dalam bentuk program dan kegiatan untuk mendorong kearah yang lebih baik dalam rangka mewujudkan pelayanan inklusif.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Berbagai kebijakan terkait dengan pelayanan publik inklusif khusus mengenai perlindungan, kesejahteraan, dan aksesibilitas bagi kaum disabel, sebenarnya pemerintah sudah tidak kekurangan dalam menyediakan berbagai perangkat kebijakan mengenai hal ini. Misalnya, dengan diterbitkannya UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Bangunan Gedung serta berbagai peraturan dan kebijakan lain di bawahnya, seperti antara lain: PP No.43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat, PP No. 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UUBG, Kepmenhub RI No. KM 71/1999 tentang Aksesibilitas bagi Penca dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan, Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, Permen PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, Surat Edaran Menteri PAN RI. No. SE/09/M.PAN/2004 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Bagi Para Penyandang Cacat, Surat Menteri Sosial RI No. A/A-50/VI-04/MS tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik bagi Penyandang Cacat, Surat Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 3064/M.PPN/05/2006 tentang Perencanaan Pembangunan yang Memberi Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat. Kebijakan-kebijakan pada tingkat nasional ini pun telah ditindaklanjuti atau diterima dengan baik oleh pemerintah daerah. Misalnya, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Bali. Tindak lanjut ini berupa diterbitkannya berbagai peraturan pelaksanaan di daerah masing masing. Misalnya di Provinsi Yogyakarta, khususnya Pemerintah
59
Kebijakan Pelayanan Publik Inklusif
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) Kabupaten Sleman, telah menerbitkan Perda No. 11 Tahun 2002 tentang Penyediaan Fasilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan Disabel; di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, khususnya di Kota Surakarta, telah lama menerapkan Perda No. 8 Tahun 1988 tentang Bangunan di Kotamadya Surakarta yang antara lain mempersyaratkan aksesibilitas bagi masyarakat disabel; serta pada Pemerintah Provinsi Bali yang hingga saat laporan ini disusun masih melakukan penyusunan Perda tentang Peningkatan Kesejahteraan dan Aksesibilitas Penyandang Cacat sebagai tindak lanjut dari UU No. 4 Tahun 1997 (LAN, 2008). Kebijakan terbaru berkaitan dengan permasalahan ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 29 yang menyatakan bahwa: ayat (1): Penyelenggara berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2): Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik dengan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang digunakan oleh orang yang tidak berhak. Selanjutnya dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan rentan adalah masyarakat tertentu merupakan kelompok rentan, antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial. Dan yang lebih penting adalah perlakuan khusus kepada masyarakat tertentu tersebut harus diberikan tanpa tambahan biaya.
Halaman
60
Pengertian Pelayanan Publik Definisi pelayanan publik pada dasarnya bisa dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggungjawabnya kepada publik, baik diselenggarakan sendiri secara langsung oleh pemerintah, maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat (Keban, 2001). Jenis dan jumlah pelayanan yang diselenggarakan ini didasarkan pada jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan negara serta kondisi pasar. Dengan demikian konsep ini lebih menekankan pada bagaimana pelayanan publik diselenggarakan melalui suatu delivery system yang sehat. Contoh dari pelayanan publik dalam pengertian ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Selanjutnya Keban juga mendefiniskan pelayanan public dalam arti luas. Dalam hal ini konsep pelayanan publik (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (Perry, dalam Keban 2001). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititikberatkan kepada bagaimana elemenelemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk menyukseskan pemberian pelayanan publik, di mana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggungjawab (Keban, 2001). Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:62/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan LAN menyatakan bahwa hakekat pelayanan publik adalah pemberian pemenuhan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pelayanan publik ini terutama diberikan untuk hal-hal yang sifatnya mendasar seperti pendidikan, sosial, kemanan dan ketertiban, lingkungan, perekonomian, kependudukan, ketenagakerjaan dan pertanahan (LAN , 2006). Definisi lain yang lebih teknis mengenai pelayanan publik diberikan Dwiyanto (2009) yang menyatakan bahwa pelayanan publik adalah pelayanan yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan dasar dijabarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa: “Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah”. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel)
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Pelayanan Publik Inklusif Konsepsi pelayanan publik inklusif telah mengalami perkembangan terbaru dalam memandang dan menangani masalah keragaman adalah apa yang dinamakan dengan model inklusif. Model ini sebenarnya banyak mengadopsi konsep pendidikan inklusif yang mulai berkembang pesat sejak adanya Pernyataan Salamanca pada tahun 1994. Penyataan Salamanca menekankan hal-hal berikut: a. Hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah. b. Hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif. c. Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual. d. Pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif e. Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermakna bagi setiap individu f. Keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada keefektifan biaya. Lindquist, salah seorang delegasi dalam kongres Salamanca tersebut menyatakan: … bukan sistem pendidikan kita yang mempunyai hak atas anak-anak tertentu. Tetapi sistem yang ada di negara itulah yang harus disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan semua anak (UNESCO 1994). Konsep pendidikan inklusif sendiri memiliki perbedaan yang signifikan dengan konsep pendidikan terintegrasi yang lebih dulu populer dan dilaksanakan di banyak negara. Dalam pendidikan terintegrasi prinsip utamanya adalah bahwa siswa penyandang cacat harus menyesuaikan diri dengan ketentuan sistem dan aktivitas kelas reguler. Dalam keadaan demikian, anak sering dianggap sebagai spesial dan kadang-kadang aneh. Di samping itu, anakanak berkebutuhan khusus sering dianggap dan merasa sebagai “tamu“ di kelas reguler. Mereka akan merasa sekadar diberi izin untuk berada di dalam kelas tanpa hak penuh sebagai anggota kelas itu. Sedangkan dalam konsep pendidikan inklusif, hal yang harus terlebih dulu dipersiapkan adalah membentuk lingkungan yang inklusif, artinya seluruh anggota harus siap mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan dan aktivitas yang berkaitan dengan semua orang lain serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang. Bukan lagi anak yang menyandang kecacatan yang harus menyesuaikan diri agar cocok dengan seting yang ada. Untuk ini diperlukan fleksibilitas, kreativitas, dan sensitivitas (Skjørten, 2008). Dalam bukunya Dwiyanto (2010) menyatakan bahwa sebuah pelayanan bisa dikatakan inklusif jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Keterbukaan yang menyeluruh; artinya ada jaminan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama (equitable access), untuk dapat berpartisipasi secara sama dalam proses pelayanan. Ciri-ciri subjektif seseorang tidak boleh menghalangi partisipasinya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 2. Pengakuan terhadap diversitas, manusia memiliki kesamaan dan perbedaan. Sistem pelayanan harus melihat diversitas sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif tinggi, bukan
61
Sedangkan definisi pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 adalah “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”. Sedangkan ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam ruang lingkup tsb, termasuk pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. (Pasal 5 UU No 25 Tahun 2009).
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) sesuatu persoalan yang negatif. Perbedaan harus dilihat sebagai satu kekayaan. Perbedaan dalam kesamaan adalah menguntungkan semuanya. Jika kita bisa membangun suatu “mozaik” dalam manajemen pelayanan publik tentu akan membentuk sebuah manajemen yang mengakui perbedaan dan mampu merespon semua kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda dan menguntungkan bagi semua pihak. 3. Togetherness, kebersamaan. Sudah menjadi Sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial, secara umum keterlibatan dalam masyarakat menjadi kebutuhan. Karena itu, jika seseorang dikucilkan dan tidak diikutsertakan dalam proses kehidupan bermasyarakat akan melukai perasaan. Dengan kata lain, being included adalah sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya being excluded adalah sesuatu yang menyakitkan. Jika dalam masyarakat, terjadi kondisi di mana keinginan untuk mengakses jenis pelayanan tertentu terhalang karena tidak adanya aksesibilitas, misal infrastruktur yang tersedia tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat dengan kebutuhan tertentu, maka menyakitkan pihak-pihak tersebut. Hal-hal seperti ini, cepat atau lambat akan menimbulkan friksi dalam masyarakat. Untuk itulah pelayanan inklusif—pelayanan yang ketika diselenggarakan membuat semua orang yang berbeda karakteristik dan kendalanya dapat mengakses pelayanan secara sama dan menyenangkan—sangat penting utuk diselenggarakan. Dengan melihat ciri-ciri tersebut di atas, maka konsep pelayanan inklusif juga dapat dilihat sebagai suatu kontinum. Artinya akan sulit bagi kita untuk mengklasifikasikan secara mutlak apakah penyelenggaraan suatu jenis pelayanan itu bersifat inklusif atau tidak inklusif. Kita hanya dapat melihat derajat atau tingkat inklusivitas dari penyelenggaraan suatu jenis pelayanan. Untuk dapat menerapkan prinsip inklusivitas dengan baik, maka nilai-nilai inklusivitas perlu diintegrasikan ke dalam visi dan misi birokrasi pelayanan publik. Keterjangkauan pelayanan publik oleh semua kelompok masyarakat harus menjadi bagian dari visi birokrasi pelayanan. Birokrasi pelayanan bukan monopoli bagi mereka yang menempati arus utama, tetapi harus mengabdi kepada semua kelompok warga yang ada di wilayahnya. Melayani semua warga dan menjaga akses mereka terhadap pelayanan publik harus menjadi misi utama birokrasi pelayanan. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan publik inklusif adalah sebuah sistem pelayanan yang menjamin bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk dapat berpartisipasi dalam proses pelayanan, mengakui dan menghargai keragaman serta adanya kebersamaan. Prinsip-prinsip tersebut direalisasikan secara lengkap dari aspek kebijakan, implementasi, sarana prasarana dan budaya. Pengertian atau definisi tentang pelayanan inklusif inilah yang selanjutnya dipakai dalam tulisan ini.
Aspek Kebijakan
Halaman
62
Aspek Sarana dan Prasarana
Indikator : 1. Kebersamaan 2. Keterbukaan 3. Pengakuan terhadap diversitas
Aspek Implementasi
Aspek Budaya SDM
Gambar 1. Aspek dan Indikator Pelayanan Publik Inklusif Dari gambar tersebut terlihat bahwa ketiga indikator pelayanan publik inklusif harus diwujudkan ke dalam empat aspek pelaksanaan pelayanan publik inklusif yaitu kebijakan yang disusun dan ditetapkan, implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut, sarana prasarana yang tersedia dan budaya kerja penyelenggara layanan (SDM) pelayanan. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel)
Aksesibilitas dan disabilitas Kata aksesibilitas berasal dari bahasa Inggris (accessibility) yang artinya kurang lebih kemudahan. Jadi aksesibilitas dapat dipahami sebagai kemudahan yang diberikan pada penyandang cacat untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai kompensasi dari tidak berfungsinya bagian – bagian tubuh si penyandang cacat. Sejauh ini masyarakat hanya mengetahui bahwa kata aksesibilitas hanya berkaitan dengan penyandang ketunaan fisik saja. Hal ini dikarenakan banyak tenaga ahli yang hanya memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang ketunaan fisik saja sedangngkan bagi penyandang kecacatan intelejensi dan emosi masih kurang diperhatikan. Seperti pengertian aksesibilitas menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 1 ayat menyatakan bahwa Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupanya. Selanjutnya aksesibilitas juga dimaknai sebagai derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Kemudahan akses tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung, lingkungan dan fasilitas umum lainnya (https://id.wikipedia.org/wiki/Aksesibilitas). Selanjutnya istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab di sebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui atau sering digunakan di tengah masyarakat. Istilah Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Disabilitas” belum tercantum. Disabilitas adalah istilah baru pengganti Penyandang Cacat. Penyandang Disabilitas dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual (Kompasiana: 2017). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu (Moeliono, 1989). Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Penyandang Disabilitas menurut UU No 8 Tahun 2016 Pasal 1 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Deskripsi tentang pelaksanaan pelayanan publik yang aksesibel bagi kelompok masyarakat disabilitas di beberapa Kota dapat didiskripsikan sebagai berikut: DKI Jakarta; Terkait dengan upaya pemberian kemudahan terhadap kelompok disabilitas, Jakarta sebagai ibu kota negara ternyata belum ramah dan belum berpihak kepada penyandang disabilitas. Hal ini disampaikan LBH Jakarta (2015) yang telah melakukan pemeringkatan tingkat aksesibilitas terhadap gedung pemerintah dan non pemerintah, sarana transportasi baik transjakarta maupun comuter line. Pengambilan data dilakukan kepada 12 halte transjakarta, 10 Stasiun KA Commuter line, 26 Gedung instansi pemerintah dan 11 gedung instansi non pemerintahan. Data-data tersebut kemudian diuji melalui dua buah peraturan perundangundangan yakni Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRTM/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Hasil dari pengolahan data menunjukan bahwa moda transpotasi transjakarta, commuter line, gedung pemerintah maupun non pemerintah belum akses terhadap kelompok difabel. Fasilitas publik baik moda transportasi dan bangunan gedung tidak sepenuhnya menjalankan kedua peraturan perundang-undangan. Penelitian menggunakan nilai indeks aksesibel dengan nilai tertinggi 4 (empat) sebagai fasilitas publik aksesibel, hingga nilai terendah 0 (Nol) sebagai fasilitas publik tidak aksesibel.
63
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Aksesibilitas Pelayananan Publik : Current Conditions
Halaman
64
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) Yogyakarta; Berdasarkan hasil penelitian Dewi Utami dkk, (2013) disebutkan bahwa Bandara Adi Sucipto sebagai bandara Internasional kurang memberikan akses kemudahan bagi kelompok masyarakat difabel. Disamping itu, Stasiun Tugu yang merupakan stasiun terbe4sar di DIY juga kurang memberikan kemudahan akses bagi para difabel. Penyediaan pelayanan transportasi pro difabel dilakukanan melalui penyediaan Bus Trans Jogja dan Halte Bus Trans Jogja serta beberapa trotoar pada ruas jalan Malioboro dan jalan Taman Siswa. Kota Malang; Hasil penelitian Slamet Thohari (2016) yang dimuat dalam Indonesian Journal of Disability Studies menunjukkan bahwa hampir semua fasilitas umum di Malang mengabaikan faktor kebutuhan akan toilet khusus bagi penyandang disabilitas. Data menunjukkan bahwa 83,00 % fasilitas publik tidak aksesibel karena tidak menyediakan toilet bagi penyandang disabilitas. Hanya 17 % yang menyediakan, itupun tidak sesuai standard. Jadi penyandang disabilitas akan kesulitan untuk buang hajat jika bepergian ke tempat umum, alasan ini mungkin menjadi salah satu alasan penting yang menyebabkan sulitnya penyandang disabilitas ditemukan di tempat-tempat umum. Selanjutnya, dari 125 tempat yang dikategorikan sebagai tempat publik, 97% tidak memasang guiding block dan hanya 3% yang memasang fasilitas ini. Pertanyaannya kemudian, bagaimana tuna netra dapat beraktivitas jika penentu arah bagi mereka tidak dipasang. Ini juga menjadi salah satu alasan penting yang menyebabkan penyandang disabilitas tidak ditemukan di tempat-tempat umum. Padang; Sejumlah fasiltas umum menurut Silma Dewi (2016) kerap dijumpai di Sumtera Barat (Sumbar) dirasakan masih minim bagi kaum difabel seperti tuna daksa, tuna rungu, dan tuna netra. Fasum di Sumbar rupanya belum mengakomodir secara maksimal bagi kaum difabel seperti tuna daksa, tuna rungu, dan tuna netra. Selanjutnya dikatakan bahwa masih banyak fasilitas umum yang belum berpihak pada kaum berkebutuhan khusus sehingga menyulitkan bagi mereka. Penyandang difabel merasa kesulitan saat mengakses beberapa fasilitas umum yang ada, terutama seperti trotoar, lahan parkir dan layanan transportasi umum massal yang ramah difabel. Sedangkan akses transportasi seperti angkutan umum massal belum bisa digunakan bagi penyandang difabel, Karena sarana transportasi tersebut belum aksesibel bagi yang memakai kursi roda. Contoh lain, pembangunan trotoar belum memenuhi standar bagi penyandang tuna netra. Penyandang tuna netra mengalami kesulitan berjalan di trotoar dimana terlihat mobil parkir disana, adanya pot-pot bunga serta tiang listrik di atas trotoar. Hanya sedikit ruang blind tile (keramik khusus) terpasang di trotoar bagi tuna netra, Karena blind tile yang minim sangat membuat tak nyaman bagi difabel yang menggunakan tongkat dan kursi roda. Lebih lanjut Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Padang, Icun Suhaldi menyatakan, kaum disabiltas di Kota Padang masih kurang diperhatikan bagi pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap kaum difabel masih kurang. Terbukti, masih banyak fasilitas umum serta shelter yang belum berpihak pada kaum berkebutuhan khusus tersebut. Denpasar; Berdasarkan kondisi lapangan fungsi trotoar banyak yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas, di antaranya kondisi trotoar yang rusak dan berlubang, penggunaan fungsi badan trotoar sebagai tempat jualan asongan atau kaki lima. Trotoar jalan digunakan juga sebagai tempat parkir oleh oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab Gede Widiasa (2015). Mereka juga menuntut dikembalikannya fungsi trotoar sebagaimana mestinya. Selain itu, perlu juga dilakukan pembaruan kondisi trotoar yang rusak dan tidak ramah bagi penyandang tunanetra. Kota Depok; Terkait tingkat aksesibilitas Kota Depok, Fadiah Nurannisa (2016) menyatakan bahwa berdasarkan hasil survey terhadap sepanjang Jalan Margonda da ri mulai Area Kampus BSI Depok hingga Jalan Juanda, hampir seluruh daerah pedestrian tidak memilki jalan miring atau yang biasa disebut ramp. Jarak antar permukaan pedestrian dengan permukaan jalan adalah kurang lebih 15 cm. Hal ini akan menyebabkan sulitnya pengguna kursi roda untuk melintasi pedestrian. Selain pedestrian, tidak adanya penyebrangan khusus bagi kaum difabel membuat para kaum difabel sangat kesulitan saat menyebrangi jalan Margonda. Untuk dapat menyebrangi jalan, mereka membutuhkan orang normal untuk membantu mereka. Walaupun sudah Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) tersedia jembatan penyebrangan, tetap saja jembatan tersebut hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki normal karena untuk mencapai tingkat atas, hanya disediakan tangga tanpa ramp. Data lain juga menunjukkan bahwa sedikit sekali perhatian pada fasilitas khusus bagi kaum difabel yang ada pada area-area publik seperti contohnya Mall Margo. Pengunjung harus berjalan cukup jauh untuk mencapai pintu masuk mall, sedangkan fasilitas mobil antar jemput yang disediakan mall masih tidak bisa digunakan oleh kaum difabel khususnya pengguna roda. Atau pada mall yang berada di sebrangnya yaitu Depok Town Square. Pengunjung sulit mencapai pintu masuk mall karena harus melalui beberapa anak tangga, belum lagi terhalang oleh antrian angkutan umum yang terjadi di depan mall Depok Town Square. Adapun secara keseluruhan sebagaimana bisa dilihat pada data di atas, diketahui bahwa umumnya fasilitas umum di Jalan Margonda 72 % tidak aksesibel, 24 % aksesibel dan 0 % aksesibel sesuai dengan standard peraturan yang ada. Dengan demikian peraturan pemerintah perihal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas sangat jauh terimplementasi dengan baik. Dengan demikian penyandang disabilitas belum dipenuhi haknya dalam mengakses fasilitas publik.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Disamping penyediaan sarana dan prasarana yang aksesibel, bidang pelayanan lain yang juga harus bersifat inklusif adalah bidang transportasi. Fasilitas transportasi merupakan sarana yang sangat vital bagi kehidupan manusia, termasuk bagi kelompok masyarakat penyandang disabilitas. Kementerian Perhubungan sesungguhnya sudah melakukan upaya untuk mempermudah akses dan memberikan berbagai kemudahan bagi masyarakat disabel, termasuk memberikan reduksi tarif. Penyediaan layanan transportasi baik di daerah maupun di pusat seharusnya mengacu pada Kepmen Perhubungan Nomor MK.71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan. Sedangkan himbauan untuk melakukan reduksi tarif bagi lansia diatur dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.3/HK.206/PHB Tahun 1999 tentang Penyempurnaan SE Menhub Nomor SE.11/HK.206/PHB Tahun 1997 tentang Pemberian Reduksi Kepada Para Lansia dalam menggunakan Jasa Angkutan. Aksesibilitas fasilitas dalam bidang transportasi yang bisa dikatakan paling baik adalah fasilitas moda transportasi udara. Misalnya, disediakannya pelayanan kursi roda bagi penyandang cacat, lansia, dan anak-anak. Tersedianya peturasan khusus, jalan khusus bagi pengguna kursi roda, dan alat lainnya dari tempat parkir kendaraan menuju ke terminal. Selain itu bagi penumpang pesawat udara yang tidak memakai Garbarata (ramp way), pihak bandara menyediakan jalan khusus dari terminal menuju Apron. Hal ini ditunjang dengan aturan bagi maskapai penerbangan di seluruh dunia untuk mengutamakan mereka terlebih dahulu. Kontras dengan moda angkutan penyeberangan laut, di mana aksesibilitas bagi warga masyarakat berkebutuhan khusus masih sangat kurang dan lebih mengandalkan pada bantuan/layanan crew kapal. Sayangnya, hampir seluruh peraturan tersebut masih belum diimplementasikan secara utuh atau masih setengah-setengah serta belum terlihat adanya koordinasi dan integrasi antar berbagai bidang. Misalnya, beberapa bangunan publik seperti pasar dan mal serta pusat keramaian masyarakat lainnya sudah dilengkapi dengan berbagai kemudahan aksesibilitas untuk kebutuhan disabel, namun tidak ditunjang oleh sistem lalu-lintas dan transportasi yang memadai (seperti jalan/lajur khusus disabel dan akses khusus disabel untuk berbagai kendaraan umum). Hal ini menyebabkan seluruh fasilitas yang disediakan tidak dapat dinikmati oleh masyarakat disabel secara optimal. Akibatnya, fasilitas tersebut lebih sering digunakan oleh masyarakat yang tidak berhak, seperti: ramp untuk disabel sering dimanfaatkan untuk mengangkut trolley belanja dari satu lantai ke lantai lainnya; fasilitas parkir disabel dimanfaatkan oleh masyarakat non-disabel; dan bahkan guiding blocks untuk penca tunanetra sering dimanfaatkan untuk menempatkan barang dagangan pedagang kakilima dan parkir sepeda motor. Semua bentuk ‘penyalahgunaan’ tersebut masih kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah dan tidak ada teguran/sanksi yang memadai bagi masyarakat nondisabel yang tanpa rasa bersalah ‘memanfaatkan’ fasilitas tersebut sehingga pelan tapi pasti
65
Permasalahan dan Tantangan
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel)
Halaman
66
fasilitas yang sedianya untuk melayani masyarakat disabel akan rusak. Seharusnya pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah mampu memenuhi kebutuhan seluruh warga dan dapat diakses oleh seluruh warga tanpa kecuali. Dengan kata lain pola penyelenggaraan pelayanan publik seharusnya bersifat inklusif, di mana sistem pelayanan yang menjamin bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk dapat berpartisipasi dalam proses pelayanan, mengakui dan menghargai keragaman serta kebersamaan. Permasalahan lain yang juga memperburuk problem pelayanan inklusif adalah masih rendahnya respons dan empati pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam penyediaan fasilitas yang aksesibel untuk semua lapisan masyarakat. Dengan berbagai alasan seperti keterbatasan anggaran, sering pembangunan fasilitas tersebut dilaksanakan alakadarnya tanpa memerhatikan kualitas ataupun petunjuk teknis yang telah dikeluarkan oleh instansi terkait. Akibatnya, walaupun fasilitas tersebut telah disediakan namun tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh masyarakat disabel. Sebagai contoh, tingkat kelandaian ramp untuk kursi roda yang terlalu tinggi, jauh melampaui derajat maksimal yang dipersyaratkan yaitu 6 derajat, handrail yang mudah lepas atau bahkan tidak tersedia, dan lift yang kurang luas sehingga menyusahkan pengguna kursi roda untuk memasukinya. Sikap yang kurang responsif ini juga tampak dari minimnya anggaran yang disediakan untuk membangun fasilitas bagi warga disabel. Sehingga ‘cliche’ yang menyebutkan bahwa prioritas anggaran adalah diutamakan untuk masyarakat umum non-disabel sering disuarakan. Padahal amanat Permen PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan memperbolehkan penambahan anggaran hingga 8% untuk penyediaan fasilitas tersebut (LAN, 2008). E. PENUTUP Kesimpulan. Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik inklusif khsusnya terkait dengan pelayanan terhadap kelompok masyarakat difabel di eberapa Kota di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan sesuai dengan yang diamanatkan peraturan perundang-undangan yang ada. Gambaran pelayanan yang utama bagi kaum difabel terkait dengan aksesibilitas sarana dan prasarana seperti gedung-gedung pemerintahan, penyediaan toilet, ruang parkir, sarana jalan dan moda transportasi yang ramah difabel masih memperlihatkan kondisi yang buruk hampir di seluruh Kota di Indonesia. Kondisi ini disebabkan antara lain karena ketidak taatannya aparat pemerintah penyedia layanan publik yang aksesibel yang telah diamanahkan peraturan perundang-undangan. Disamping itu, tidak adanya pengawasan terhadap pelanggaran peraturan tersebut serta tidak adanya reward dan punishment bagi unit penyelenggara pelayanan publik yang telah menyediakan layanan berbasis kebutuhan difabel. Saran. Untuk dapat melakukan penguatan terhadap pelayanan inklusif khususnya pelayanan publik bagi penyandang disabilitas dibutuhkan komitmen nyata dari semua pihak untuk menuju manajemen pelayanan inklusif. Perlu diperhatikan bahwa perumusan kebijakan manajemen pelayanan di Indonesia perlu mengalami perbaikan terus menerus guna menyelaraskan dengan kebijakan nasional yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa negara memberikan jaminan atas hak dan kesempatan kaum disabel di dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan mereka. Disamping itu, perlu dilakukan perbaikan dalam aspek kebijakan, yang pada intinya adalah bahwa program dan kegiatan pelayanan pelayanan berbasis difabel harus secara eksplisit masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah (RPJMN/D), sehingga pelaksanaannya ada didukung penganggaran yang cukup. Selanjutnya untuk menjamin terlaksananya penguatan pelayanan publik berbasis difabel tersebut, maka dalam penyusunan program dan kegiatan tersebut harus memenuhi ciri-ciri adanya keterbukaan yang menyeluruh, adanya pengakuan terhadap diversitas, dan adanya kebersamaan (togetherness). Oleh karena itu, program dan kegiatan pelayanan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: (a) harus ada partisipasi dari seluruh golongan masyarakat dalam penyusunan program dan kegiatan; (b) program dan kegiatan Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENGUATAN PELAYANAN PUBLIK INKLUSIF : Mendekatkan Pelayanan Kepada Masyarakat Berkebutuhan Khusus (Disabel) harus dapat diakses oleh semua orang; (c) program dan kegiatan harus disusun dengan mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat; (d) program dan kegiatan harus didesain sesuai dengan peran dari masing-masing golongan masyarakat. Disamping itu, hal yang penting dilakukan adalah peningkatan pengawasan terhadap pelanggaran peraturan tersebut serta pemberian reward dan punishment bagi unit penyelenggara pelayanan publik yang telah menyediakan layanan berbasis kebutuhan difabel secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
67
Dewi, Silma. 2016 Fasum Dan Shelter Di Sumbar Minim Akses Bagi Difabel. Makalah: Sumatera Barat Fadiah Nurannisa.2016. Aksesbilitas Dan Fasilitas Publik Kaum Difabel Di Margonda Raya, Kota Depok, Makalah:Jakarta. Lembaga Administrasi Negara. 2008. Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Services For Customer With Special Needs), Laporan Kajian, LAN: Jakarta Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan. Thohari, Slamet. 2016. Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Penyandang Disabilitas di Kota Malang, Indonesian Journal of Disability Studies, Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya:Malang,. Utami, Dewi, dkk. 2013. Pelayanan Publik Bidang Transportasi Bagi Difabel, Jurnal SOCIA, Vo. 12 No. 2 September 2013. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung (UUBG). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/2006 Tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Permen PU Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65/1993 Tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71/1999 Tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Prasarana Perhubungan. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesiblitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Konvensi PBB Tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities) pada tanggal 30 Maret 2007.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi)
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi)
SPACE FOR BREASTFEEDING MOTHER (Case Lactation Corner Tirtonadi Terminal) Tony M Hidayat Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Email:
[email protected];
[email protected] HP. 081322313284
ABSTRACT The Government has developed various regulations and programs to support the success of exclusive breastfeeding. There are several laws and government regulations that strongly support exclusive breastfeeding. In Law no. 39 of 1999 on Human Rights, Article 49 Paragraph 2 states that a woman is entitled to special protection in the performance of his work or profession on matters which may threaten his safety and or health regarding the female reproductive function. The elucidation of the article states that "special protection for reproductive health" refers to health services related to women's reproductive function, such as menstruation, pregnancy, childbirth and provides an opportunity to breastfeed their children. One of the causes of low exclusive breastfeeding in Indonesia is the lack of access to breastfeeding in public places. There are several reasons for this, namely the absence of special breastfeeding chambers, unfit breastfeeding chambers or breastfeeding chambers that are malfunctioned by irresponsible people. There are still many government offices, private offices and public facilities (such as shopping places, stations, terminals, etc.) that do not yet have breastfeeding space. The Government's effort to increase the percentage of exclusive breastfeeding is to issue policies on the provision of lactation spaces in public and public facilities. Through the corner of lactation, the more open access for mothers to provide breastfeeding in the public sphere. This paper deals with the provision of lactation in the public sphere as an innovation and takes the case of a lactation corner at the Tirtonadi terminal of Surakarta. Keywords: Public service, Exclusive breastfeeding and Lactation corner
Halaman
68
ABSTRAK Pemerintah telah menyusun berbagai peraturan dan program untuk mendukung keberhasilan pemberian ASI Eksklusif. Ada beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah sangat mendukung pemberian ASI secara ekslusif. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Pasal 49 Ayat 2 disebutkan bahwa wanita berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “perlindungan khusus terhadap kesehatan reproduksi” merujuk pada layanan kesehatan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi wanita, seperti menstruasi, kehamilan, kelahiran anak dan memberikan kesempatan untuk menyusui anak-anak mereka. Salah satu penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif di Indonesia adalah kurangnya akses untuk menyusui di tempat umum. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, yaitu tidak adanya ruang khusus menyusui, ruang menyusui yang tidak layak pakai atau ruang menyusui yang disalahfungsikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Masih banyak kantor pemerintahan, kantor swasta dan fasilitas publik (seperti tempat pembelanjaan, stasiun, terminal, dan lain-lain) yang belum memiliki ruang menyusui. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan persentase pemberian ASI eksklusif adalah dengan menerbitkan kebijakan tentang penyediaan ruang laktasi di tempat-tempat umum dan fasilitas umum. Melalui pojok laktasi, semakin terbuka akses bagi ibu untuk memberikan asi di ruang publik. Tulisan ini mengangkat tentang penyediaan laktasi di ruang publik sebagai suatu inovasi dan mengambil kasus pojok laktasi di terminal Tirtonadi Surakarta. Kata Kunci: Pelayanan publik, ASI Ekdklusif dan pojok Laktasi
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi)
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Pada tanggal 1-7 Agustus 2016 lalu, dunia merayakan World Breastfeeding Week (WBW) 2016, suatu even yang diselenggarakan oleh World Alliance for Breastfeeding Action (WABA). WABA adalah suatu jaringan global yang memiliki perhatian pada perlindungan, promosi dan dukungan pada kegiatan menyusui di dunia. Dengan tema “Menyusui sebagai Kunci menuju Pembangunan Berkelanjutan”, WBW bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat agar mereka sadar bahwa menyusui merupakan komponen kunci dari pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang ditransformasikan menjadi Sustainable Development Goals (SDGs), merupakan tindak lanjut dari Millenium Development Goals (MDGs) yang telah berjalan selama 15 tahun terakhir. SDGs memiliki 17 tujuan dengan 169 capaian yang ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi. Menyusui memiliki peranan sangat penting terhadap pembangunan sehingga harus didukung oleh semua elemen negara. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Air Susu Ibu (ASI) mengandung komponen makro dan mikro nutrien. Makronutrien adalah karbohidrat, protein dan lemak sedangkan mikronutrien adalah vitamin dan mineral. ASI merupakan makanan yang sempurna bagi bayi dan mendukung metabolisme tubuh agar dapat berjalan lancar sehingga tubuh dapat berkembang dengan baik. Penelitian membuktikan, beberapa bayi yang mendapat ASI lebih mudah menerima asupan sayur-sayuran pada pemberian pertama fase makannya dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula. Anak yang diberikan ASI paling sedikit 6 bulan juga lebih jarang mengalami kesulitan makan (picky eaters), sepanjang cara pemberian ASI-nya benar. Kedekatan fisik dengan Ibu selama menyusui memberikan efek kedekatan emosional yang membantu bayi membangun ketenangan batin dan rasa percaya diri. Dengan demikian, periode laktasi penting bagi tumbuh kembang manusia baik secara fisik maupun psikologis. DR Abdul Basith Jamal dan DR Daliya Shadiq Jamal mengatakan bahwa pemenuhan periode laktasi selama 2 (dua) tahun dapat menghindarkan bayi dari ancaman cacat dan mengurangi resiko paparan penyakit. ASI memperkuat sistem imun dan perkembangan biologis anak di masa depan. Berdasarkan riset para ilmuwan, nutrisi ASI dan semua manfaatnya tidak bisa digantikan oleh susu formula. Beberapa pusat penelitian telah banyak mengadakan eksperimen untuk membuat ASI tiruan, melalui uji coba bahan-bahan kimiawi yang disuntikkan ke dalam kelenjar susu pada beberapa binatang menyusui. Tujuan eksperimen ini, adalah untuk membuat susu buatan yang memiliki kandungan kimiawi yang sama dengan susu murni (ASI). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa kandungan nutrisi susu buatan tidak bisa menyamai kandungan susu murni. Di pasaran tersedia susu formula untuk konsumsi bayi, anak-anak, maupun orang dewasa. Namun demikian, para ilmuwan menegaskan bahwa susu formula mustahil dapat menggantikan fungsi susu murni, karena kandungan yang dimiliki keduanya tidak bisa sama persis. Hal tersebut menunjukkan bahwa susu formula bukan merupakan pengganti pengganti susu murni (ASI). Bahkan beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisa kandungan zat yang terdapat dalam susu formula. Hasilnya, susu formula tidak aman dan memiliki kemungkinan untuk mengandung bahan-bahan yang dapat mengakibatkan kerusakan sel tubuh. Hasil penelitian Unicef tentang pemberian ASI eksklusif di 139 negara menemukan bahwa hanya 20% negara yang mempraktekkan pemberian ASI eksklusif pada lebih dari 50% bayi yang ada. 80% sisanya, pemberian ASI eksklusif jauh di bawah 50% dari bayi yang ada. Indonesia termasuk dalam 80% negara dengan persentase pemberian ASI eksklusif di bawah 50% dari bayi yang ada, yaitu hanya mencapai 39% dari jumlah bayi yang ada. Padahal, ASI eksklusif merupakan sumber gizi terbaik bagi bayi. WHO mencatat bahwa 37% dari anak-anak Indonesia bertumbuh kerdil dan Indonesia menduduki peringkat 5 dunia sebagai negara dengan jumlah anak yang mengalami hambatan pertumbuhan. Salah satu penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif di Indonesia adalah kurangnya akses untuk menyusui di tempat umum. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, yaitu tidak adanya ruang khusus menyusui, ruang menyusui yang tidak layak pakai atau ruang menyusui yang disalahfungsikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Masih banyak
69
A. PENDAHULUAN
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi) kantor pemerintahan, kantor swasta dan fasilitas publik (seperti tempat pembelanjaan, stasiun, terminal, dan lain-lain) yang belum memiliki ruang menyusui. Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan persentase pemberian ASI eksklusif adalah dengan menerbitkan kebijakan tentang penyediaan ruang laktasi di tempattempat umum dan fasilitas umum. Melalui pojok laktasi, semakin terbuka akses bagi ibu untuk memberikan asi di ruang publik. Tulisan ini mengangkat tentang penyediaan laktasi di ruang publik sebagai suatu inovasi dan mengambil kasus pojok laktasi di terminal Tirtonadi Surakarta.
Halaman
70
B. KONSEP DAN KEBIJAKAN POJOK LAKTASI Air Susu Ibu Eksklusif (ASI Eksklusif) adalah ASI yang diberikan kepada Bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Sedangkan pengertian laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI. Masa laktasi mempunyai tujuan meningkatkan pemberian ASI Eksklusif dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 2 tahun secara baik dan benar supaya anak mendapatkan kekebalan tubuh secara alami. Pemerintah telah menyusun berbagai peraturan dan program untuk mendukung keberhasilan pemberian ASI Eksklusif. Ada beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah sangat mendukung pemberian ASI secara ekslusif. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Pasal 49 Ayat 2 disebutkan bahwa wanita berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “perlindungan khusus terhadap kesehatan reproduksi” merujuk pada layanan kesehatan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi wanita, seperti menstruasi, kehamilan, kelahiran anak dan memberikan kesempatan untuk menyusui anak-anak mereka. Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah memberikan perhatian dan kepedulian terhadap pemberian ASI bagi ibu yang bekerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 82 mengatur tentang pemberian masa cuti bagi pekerja atau buruh yang melahirkan maupun mengalami keguguran, sementara di Pasal 83 diatur tentang kewajiban untuk memberikan kesempatan bagi pekerja atau buruh untuk menyusui anaknya pada saat jam kerja. Dalam penjelasan kedua pasal tersebut dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan “memberi kesempatan sepatutnya bagi buruh/pekerja perempuan untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja” adalah periode waktu yang disediakan oleh perusahaan pada para buruh/pekerja wanita untuk menyusui anaknya, dengan mempertimbangkan ketersediaan tempat/ruangan yang dapat digunakan untuk maksud semacam itu menurut kondisi dan kemampuan finansial perusahaan, yang akan diatur dalam peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama. Pada tahun 2009, lahir Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Kebijakan tersebut mengamanatkan berbagai pihak yang berkepentingan seperti keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk mendukung ibu dan bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Penyediaan fasilitas khusus di sini dimaksudkan adalah di tempat kerja dan dan tempat sarana umum. Pasal 129 menyebutkan kewajiban bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif. Sanksi denda dan pidana dikenakan pada orang atau perusahaan yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa makna “setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif” adalah memberikan seorang anak hanya ASI untuk jangka waktu minimum 6 (enam) bulan, dengan kemungkinan untuk melanjutkan hingga usia 2 (dua) tahun bersama-sama dengan makanan pendamping. Sedangkan apa yang dimaksud dengan “indikasi medis” adalah ketika seorang profesional dalam bidang kesehatan mengindikasikan bahwa seorang ibu sedang berada dalam keadaan yang tidak cukup sehat untuk memberikan air susu ibu. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi) Untuk mempermudah koordinasi antar sektor yang terkait ASI eksklusif, diterbitkan Peraturan Bersama 3 Menteri (Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Menteri Kesehatan) – No. 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan 1177/MENKES/PB/XII/2008 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja. Peraturan bersama ini bertujuan: 1. Memberikan peluang pada para pekerja/buruh wanita untuk memerah ASI selama jam kerja dan untuk menyimpan ASI yang telah diperah untuk kemudian dikonsumsi oleh sang bayi. 2. Untuk memenuhi hak-hak dari para pekerja/buruh wanita guna meningkatkan kesehatan ibu dan anak. 3. Untuk memenuhi hak-hak anak untuk mendapatkan ASI guna mendapatkan nutrisi yang layak dan untuk mengembangkan sistem kekebalan tubuh yang kuat. 4. Untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia pada tahap awal kehidupan. Untuk mendukung keberhasilan program ASI eksklusif, menteri terkait memiliki tanggung jawab masing-masing. Uraian berikut menjelaskan tanggung jawab masing-masing menteri. (1) Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak bertanggung jawab untuk: a. Membekali dengan pengetahuan dan memberikan pemahaman pada para pekerja/buruh wanita tentang arti penting pemberian ASI untuk pertumbuhan anak dan kesehatan dari kaum ibu yang bekerja. b. Menginformasikan pada para pengusaha atau manajemen perusahaan di tempat kerja tentang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk memberikan kesempatan pada para pekerja/buruh wanita untuk memerah ASI nya selama jam kerja di tempat kerja. (2) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertanggungjawab untuk: a. Mendorong para pengusaha/serikat pekerja/serikat buruh untuk mengatur prosedur pemberian ASI dalam peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama, dengan merujuk pada undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia. b. Mengkoordinasikan sosialisasi pemberian ASI di tempat kerja. (3) Menteri Kesehatan bertanggungjawab untuk: a. Menyelenggarakan pelatihan dan menyediakan staff yang terlatih baik dalam hal pemberian ASI. b. Memberikan dan menyebarkan seluruh jenis bahan-bahan komunikasi, informasi, dan pendidikan tentang manfaat dari memerah ASI.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Tempat kerja dan tempat sarana umum wajib menyediakan akses bagi ibu untuk dapat memberikan ASI eksklusif. Pasal 30 ayat 1 dan 2 PP 30 Tahun 2012 menyebutkan bahwa tempat kerja dan tempat sarana umum harus mendukung program ASI eksklusif yang sesuai dengan ketentuan di tempat kerja yang mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja atau melalui perjanjian bersama antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan pengusaha. Ayat 3 mengatur kewajiban pengurus tempat kerja dan penyelenggara tempat sarana umum untuk menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan. Yang dimaksud dengan tempat kerja adalah Perusahaan dan Perkantoran milik pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta. Perkantoran termasuk juga di antaranya adalah
71
Aturan yang lebih spesifik tentang ASI eksklusif dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk: 1. Menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya; 2. Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan 3. Meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif.
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi)
Halaman
72
lembaga pemasyarakatan. Sedangkan “tempat sarana umum” meliputi fasilitas kesehatan, hotel, penginapan atau wisma tamu (penginapan), tempat-tempat rekreasi, terminal transportasi, stasiun kereta api, bandar udara, pelabuhan laut, pusat perbelanjaan, pusat olah raga, barak pengungsian dan tempat sarana umum lainnya. Fasilitas-fasilitas kesehatan harus mendukung program pemberian ASI Eksklusif, berdasarkan atas “10 (sepuluh) Langkah Menuju Kesuksesan Pemberian ASI.” Selain penyediaan sarana, pengurus tempat kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di Tempat Kerja. Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum wajib membuat peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif. Ketentuan tentang ruang menyusui diatur dalam Surat yang Diterbitkan oleh Menteri Kesehatan No. 872/menkes/XI/2006 tentang Kriteria dan Fasilitas dari Ruang Menyusui. Ruang Ibu Menyusui ditunjang dengan beberapa sarana, seperti penyediaan kursi dan meja, kipas angin, tempat mengganti popok, tissue pembersih serta ruang privat di mana para ibu menjadi leluasa melakukan rutinitasnya. Langkah ini diharapkan dapat mendorong para ibu untuk menyusui anak terutama para ibu yang bekerja, sehingga bayi tetap mendapatkan haknya atas asi ekslusif. Ada 4 tipe ruang menyusui yang dibedakan berdasarkan luas ruangan dan fasilitas yang disediakan. (Tabel 1). Selain berbagai fasilitas yang tersedia, untuk menjaga kenyamanan para ibu dan bayi, terdapat kondisi-kondisi yang harus dipenuhi dalam suatu pojok laktasi, yaitu: 1. Dilarang keras untuk mempromosikan susu formula atau produk serupa lainnya. 2. Ruangan tersebut harus bebas dari asap rokok. 3. Tidak diizinkan untuk membawa masuk binatang peliharaan ke dalam ruang menyusui. Tabel 1. Kriteria dan Fasilitas Ruang Menyusui Tipe 1 1. Ruang berukuran 3,5 x 5 meter 2. Fasilitas ruangan: a. Ruang tertutup dengan tirai dan pintu yang dapat dikunci. b. Kursi untuk sang ibu pada saat menyusui/pada saat mengikuti penyuluhan. c. Sofa untuk digunakan sang ibu pada saat menyusui. d. Meja untuk digunakan pada saat mengganti pakaian atau popok bayi, dll. e. Wastafel dengan air bersih untuk mencuci tangan. f. Poster dengan bimbingan untuk posisi inisiasi dini dan manfaat ASI. g. Boks bagi bayi-bayi yang perlu tidur/beristirahat. h. Lemari penyimpanan/tertutup untuk perlengkapan bayi. i. Buku catatan untuk mencatat ibu-ibu yang memanfaatkan ruang menyusui. j. Papan tanda pengenal ruangan k. Staff manajemen l. Staff kebersihan 3. Warna dinding: putih/biru muda/kuning muda
Tipe 2 1. Ruang berukuran 2,5 x 2,5 meter 2. Fasilitas ruangan: a. Ruang tertutup dengan tirai dan pintu yang dapat dikunci. b. Kursi untuk sang ibu pada saat menyusui/pada saat mengikuti penyuluhan. c. Meja untuk digunakan pada saat mengganti pakaian atau popok bayi, dll. d. Wastafel dengan air bersih untuk mencuci tangan. e. Poster dengan bimbingan untuk posisi inisiasi dini dan manfaat ASI. f. Kulkas untuk menyimpan susu yang telah diperah. g. Buku catatan untuk mencatat ibu-ibu yang memanfaatkan ruang menyusui. h. Laci buku untuk menyimpan semua bahan dan buku tentang laktasi. i. Papan tanda pengenal ruangan j. Staff manajemen 3. Warna dinding: putih/biru muda/kuning muda
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi) Tipe 3
1. Ruang berukuran 2 x 1,5 meter 2. Fasilitas ruangan: a. Ruang tertutup dengan tirai dan pintu yang dapat dikunci. b. Kursi untuk ibu menyusui/untuk keperluan penyuluhan. c. Tempat tidur bayi untuk mengganti pakaian bayi, popok, dll. d. Wastafel dengan air besih untuk mencuci tangan. e. Flipchart/poster dengan bimbingan untuk posisi inisiasi menyusui dini dan manfaat dari ASI. f. Buku catatan untuk mencatat ibu-ibu yang memanfaatkan ruang menyusui. g. Papan tanda pengenal ruangan. h. Staff manajemen. i. Staff kebersihan. 3. Warna dinding: Putih/Biru muda/Kuning muda
Tipe 4
1. Ruang berukuran 2,5 x 2 meter 2. Fasilitas ruangan: a.
Ruang tertutup dengan tirai dan pintu yang dapat dikunci. b. Kursi untuk ibu menyusui/untuk keperluan penyuluhan. c. Meja untuk mengganti pakaian bayi, popok, dll. d. Wastafel dengan air besih untuk mencuci tangan. e. Poster dengan bimbingan untuk posisi inisiasi menyusui dini dan manfaat dari ASI. f. Buku catatan untuk mencatat ibu-ibu yang memanfaatkan ruang menyusui. g. Papan tanda pengenal ruangan. h. Staff manajemen. i. Staff kebersihan. 3. Warna dinding: Putih/Biru muda/Kuning muda
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menerbitkan pedoman pengelolaan air susu ibu (ASI) di tempat kerja dan pedoman program Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang salah satu lingkup kegiatannya berupa peningkatan pengelolaan ASI selama waktu kerja. Ini merupakan upaya untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif kepada bayi pada waktu kerja. Secara bertahap, provinsi-provinsi di tanah air diwajibkan mengadakan program ASI di tempat kerja. Diharapkan jumlah provinsi yang telah mengadakan program ASI di tempat kerja mencapai 29 provinsi di tahun 2019. ASI merupakan hak bayi, sehingga semua pihak harus mendukung ibu untuk dapat menyusui bayinya, terutama di perusahaan atau tempat ibu bekerja. Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemda dan masyarakat harus mendukung ibu dan bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus seperti ruang laktasi atau pojok ASI. Agar hak ibu dan bayi terpenuhi, pemerintah berupaya dan terus menyosialisasikan Program GP2SP, agar perusahaan dapat menyediakan tempat yang layak untuk menyusui atau memerah ASI bagi ibu bekerja. Permasalahan dalam pemberian ASI bagi ibu bekerja terjadi karena masih banyak perusahaan yang belum mendukung pemberian ASI di tempat kerja. Tidak tersedianya ruang laktasi yang memadai di tempat kerja membuat ibu bekerja kesulitan untuk tetap memberikan ASI sehingga banyak ibu menyusui gagal dalam memberikan ASI eksklusif bagi bayinya. Selain itu, terbatasnya waktu kerja (delapan jam) menyebabkan ibu tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyusui anaknya. Kesempatan memerah ASI tidak diberikan dan kurangnya pengetahuan ibu bekerja mengenai manajemen laktasi menjadi penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif. Tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui atau memerah ASI ini sebenarnya sudah diatur dalam Permenkes Nomor 15 tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu. Selain itu juga ada peraturan bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindangan Anak, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kesehatan tentang peningkatan pemberian ASI selama waktu kerja di tempat kerja. Namun, masih banyak perusahaan yang belum menyediakan ruang laktasi. Belum ada regulasi khusus yang mewajibkan setiap perusahaan memiliki ruang laktasi menjadi salah satu
73
Problematika Implementasi Kebijakan Asi Eksklusif
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi)
Halaman
74
penyebab banyak perusahaan yang mengabaikan peraturan tersebut. Apalagi belum ada sanksinya bagi perusahaan yang tidak mengindahkan ketentuan tersebut. Pengetahuan tentang praktek menyusui di kalangan perempuan Indonesia sudah cukup berkembang. Bagi mereka, menyusui merupakan hal yang lumrah atau naluriah. Mereka bisa menyusui bayinya kapan saja dan di mana saja. Namun demikian, pemerintah masih melakukan sosialisasi tentang menyusui melalui bidan atau lembaga kesehatan yang bekerja sama dengan Kantor Urusan Agama (KUA). Perempuan yang akan menikah diberikan sosialisasi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi termasuk periode laktasi. Hal ini merupakan salah satu persyaratan dalam mengurus surat nikah. Dalam konteks keluarga, permasalahan tentang manajemen rumahtangga, dan hubungan antara ibu dan anak dalam tradisi di Indonesia senantiasa disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui bahasa tutur ketika mereka menginjak akil baliq (mature). Dengan demikian, diasumsikan sebagian besar perempuan telah siap menjadi seorang istri dan seorang ibu di masa depan. Kendala pemenuhan ASI Eksklusif dialami oleh para ibu bekerja yang memiliki tugas dan tanggung jawab di luar rumah. Hal ini terkait waktu yang kurang untuk bounding dengan bayinya, minimnya energi dan nutrisi yang baik sehingga berpengaruh bagi kualitas dan kuantitas ASI. Selain itu jarak dan waktu menjadi kendala bagi ibu yang bekerja untuk pulang ke rumah atau mengakses tempat penitipan anak (TPA) untuk menyusui. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberi peralatan pendukung laktasi seperti breastpump, heater, coolerbag, botol khusus penyimpan ASI, dan tudung pelindung dada untuk memfasilitas memerah ASI di tempat kerja. Namun sayang sekali, perlengkapan laktasi dengan kualitas yang baik harganya tidak murah, sehingga para ibu yang terkendala finansial pada umumnya beralih untuk memberi susu formula pada bayinya. Selain itu, ASI perah memiliki masa kadaluarsa baik disimpan pada coolerbag maupun lemari pendingin. Kerepotan dalam menjaga kualitas ASI perah dan penyediaan segala piranti pendukungnya sering membuat para ibu beralih ke susu formula. Mengingat para ibu yang bekerja di luar kota tidak semua difasilitasi oleh kendaraan pribadi yang aman dan nyaman. Belum lagi, rasa malu, tabu dan tidak nyaman bagi ibu untuk memerah ASI di ruang publik membuat mereka memadukan pemberian ASI dengan susu formula. Selain itu tidak semua anggota keluarga yang mengasuh bayi memiliki kapasitas untuk memberikan ASI perah dengan sendok. Sehingga, kebiasaan bayi meminum ASI melalui botol dot juga mempengaruhi menurunnya minat bayi untuk menyusu pada ibunya. Di samping mendukung ibu dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan, pemerintah juga secara berkala menampilkan iklan layanan masyarakat terkait ASI dan menyusui di media elektronik nasional yang harapannya dapat mengedukasi dan melindungi proses pemberian ASI Eksklusif kepada bayi. Dukungan pemerintah pun terlihat dari penyediaan ruang laktasi pada beberapa pemerintahan. Hal ini tentunya sangat mendukung kesuksesan ibu untuk tetap memberikan ASI Eksklusif untuk si kecil walaupun bekerja di luar rumah. Yang tak kalah penting, pemerintah juga secara kontinu dan berkala memberikan edukasi mengenai pentingnya ASI dan menyusui kepada masyarakat melalui Posyandu yang tersebar dan mampu menjangkau lapisan masyarakat terkecil. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan pemberian ASI eksklusif, tingkat pemberian ASI eksklusif di tanah air masih rendah di bawah target yang ditetapkan pemerintah yaitu 80%. Data dari kementerian kesehatan menyebutkan bahwa hingga tahun 2015 baru terdapat 12 provinsi yang telah melaksanakan program ASI di tempat kerja. Rendahnya tingkat pemberian ASI di tanah air dipengaruhi oleh beberapa hal. Uraian berikut mencoba menjelaskan hal tersebut.
Inisiasi menyusui dini (IMD) Inisiasi menyusui dini (IMD) yang tertunda terbukti erat terkait dengan durasi menyusui yang singkat (17). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (12), pada tahun 2010, inisiasi menyusui dini di Indonesia masih rendah. Selama 1 jam setelah melahirkan, ASI hanya diberikan pada 30% dari bayi yang baru lahir. Kebanyakan bayi yang Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi) disusui antara 1 sampai 6 jam setelah lahir dan masih ada 11% dari bayi yang baru mendapatkan ASI pertamanya setelah 2 hari. Penelitian ini juga menemukan bahwa kolostrum diberikan oleh 74% dari ibu meskipun waktu inisiasi itu sangat terlambat (12). Peran penting dari IMD ini pula yang menjadi alasan Kementerian Kesehatan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2014 yang memuat pasal tentang anjuran IMD. Pada Pasal 2 peraturan tersebut, tenaga kesehatan diwajibkan untuk melaksanakan IMD terhadap bayi baru lahir pada ibunya paling singkat satu jam dengan catatan tidak ada kontradiksi medis yang terjadi. Faktanya, masih banyak tenaga kesehatan yang tidak mengindahkan aturan tersebut. Menurut saya, bisa disebut bahwa mereka telah merenggut hak seorang bayi untuk menyusui pertama kalinya.
Peran Media Media dengan jaringan hingga level daerah dapat dengan mudah menjangkau masyarakat hingga ke pelosok negeri. Oleh karena itu media bisa menjadi sarana efektif dalam keberhasilan program ASI eksklusif. Media dapat memainkan dua peran yang berbeda dalam kesuksesan program ASI eksklusif. Pemerintah maupun berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap ASI eksklusif dapat menyampaikan edukasi pentingnya ASI eksklusif dan kampanye pemberian ASI eksklusif. Namun di sisi lain, media juga dapat digunakan secara habis-habisan untuk mengiklankan produk susu formula. Media dapat digunakan untuk membangun opini bahwa susu formula bisa dikonsumi sebagai pengganti ASI. Bahkan dalam beberapa iklannya, produsen susu formula memberikan kesan seolah-olah susu formula lebih baik dari pada ASI dengan menambahkan vitamin maupun zat gizi tertentu ke dalam susu formula.
Pemberian Susu Formula oleh Tenaga Kesehatan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya melarang tenaga kesehatan dan produsen susu formula memberikan susu formula pada ibu dan bayi tanpa kondisi tertentu yang telah diatur dalam undang-undang. Namun di lapangan, masih banyak ditemukan kasus penawaran susu formula pada bayi tanpa indikasi medis atau kondisi gawat lainnya oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan seolah menjadi kepanjangan tangan produsen susu formula dalam memasarkan produk. Selain itu, ada juga pemberian susu formula secara cuma-cuma kepada ibu-ibu saat keluar dari rumah sakit setelah melahirkan.
Promosi dan Penjualan Susu Formula
Untuk mempermudah proses IMD, tenaga kesehatan wajib menempatkan ibu dan bayi dalam satu ruangan atau rawat gabung kecuali atas indikasi medis yang ditetapkan dokter. Penempatan dalam satu ruangan ini dimaksudkan untuk memudahkan ibu agar dapat memberikan ASI setiap saat. Lagi-lagi, yang terjadi di lapangan adalah sebagian besar tenaga Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Rawat Gabung Ibu dan Bayi
75
Pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya juga ditemukan pada penawaran susu formula yang dilakukan oleh sales marketing di tempat-tempat perbelanjaan. Masih banyak distributor susu formula yang memberikan potongan harga kepada konsumen dan kemudahan dalam pembelian. Hal ini pun kiranya merupakan salah satu faktor penghambat bagi usaha ibu untuk memberikan ASI Esklusif pada bayi. Padahal dalam Pasal 21 Permenkes di atas, ada larangan bagi produsen atau distributor susu formula, yang salah satunya adalah dilarang memberikan potongan harga.
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi) kesehatan langsung menempatkan ibu dan bayi dalam ruangan terpisah tanpa menanyakan keinginan dari ibu dan keluarganya. Tentunya hal ini sangat disayangkan mengingat hari-hari pertama pemberian ASI adalah periode yang sangat penting yang mempengaruhi kesuksesan pemberian ASI Ekslusif selama 6 bulan ke depan.
Halaman
76
Strategi dan Solusi Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi Surakarta berdiri diawali keprihatinan Djammila, Kepala UPT Terminal Tirtonadi pada saat memantau arus mudik dan balik lebaran tahun 2010. Djammila menyaksikan seorang ibu muda berlari mengejar bis sambil menyusui anaknya. Djammila kemudian merintis pendirian pojok laktasi di salah satu sudut terminal Tirtonadi Surakarta. Pojok laktasi tersebut terbilang sebuah inovasi karena merupakan pojok laktasi pertama yang didirikan di Terminal di Indonesia. Inisiatif tersebut mendapat apresiasi dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang meresmikan pendiriannya pada tanggal 7 Juni 2011. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Surakarta, angka pemberian ASI eksklusif di Kota Surakarta masih tergolong rendah. Pada tahun 2009, baru mencapai 23%, 36% pada tahun 2010, dan 40% pada tahun 2011. Meskipun ada kenaikan, namun angka tersebut masih jauh berada di bawah angka standar yang ditetapkan pemerintah yaitu sebanyak 80%. Pojok laktasi menjadi salah satu upaya nyata meningkatkan pemberian ASI eksklusif di Kota Surakarta. Kehadiran pojok laktasi mendapat respon yang cukup baik dari pengguna. Berdasarkan catatan buku tamu pojok laktasi, sepanjang 30 Maret 2011 hingga 24 Januari 2013 atau selama 23 bulan, sebanyak 335 pengguna sudah menggunakan pojok laktasi. Selama tahun 2011, sebanyak 154 pengguna pojok laktasi. Sedangkan pada tahun 2012, pengguna pojok laktasi mencapai 170 pengunjung. Jadi, selama kurun waktu satu tahun, pengguna pojok laktasi semakin bertambah. Pengguna terminal, khususnya ibu menyusui, sudah mengetahui keberadaan pojok laktasi dan memanfaatkannya dengan baik. Di awal keberadaannya, fasilitas pojok laktasi masih sangat sederhana dan terbatas karena hanya menempati ruangan bekas gudang di Terminal Tirtonadi Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta sendiri saat itu belum bisa mengalokasikan anggaran karena pojok laktasi berdiri bersamaan dengan tahun anggaran tengah yang berjalan. Namun hal itu tidak membuat Djamilla patah semangat. Dia berusaha mencari pendanaan alternatif. Sebuah perusahaan obat swasta, Deltomed, yang ingin memperpanjang reklame di terminal digandengnya untuk mendanai pojok laktasi dan meningkatkan layanannya. Hasilnya, Deltomed memberikan bantuan berupa sebuah banner besar tentang menyusui. Banner tersebut digunakan sebagai media edukasi bagi ibu menyusui yang menggunakan pojok laktasi di Terminal Tirtonadi. Di samping itu, pihak Deltomed memberikan fasilitas berupa wastafel dan kipas angin. Sebagai gantinya, pihak Deltomed berhak memasang banner produknya di jendela dan pintu ruangan laktasi. Banner juga berfungsi untuk menghalangi pandangan orang dari luar. Tidak hanya dengan Deltomed, Djammila juga bekerjasama dengan Nutrisi Sari Husada dengan memanfaatkan program CSR (Corporate Social Responsibility). Pihak Nutrisi Sari Husada bersedia membangun ruangan pojok laktasi baru berukuran 2,5 x 2 meter yang dilengkapi berbagai fasilitas. Pojok laktasi ini disediakan gratis bagi pengguna terminal tanpa dipungut biaya dan dilengkapi berbagai fasilitas yang memanjakan penggunanya. Keberlanjutan pemberian layanan pojok laktasi merupakan hal penting supaya ada peningkatan pelayanan di pojok laktasi. Meskipun kehadirannya dirasakan membantu para ibu dan jumlah pengunjung pojok laktasi juga meningkat, Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi masih menghadapi kendala dalam memberikan pelayanannya. Anggaran adalah salah satu kendala yang dirasakan Djammila di awal berdirinya pojok laktasi tersebut. Belum adanya bantuan dari Pemerintah Daerah di satu sisi, sementara Pojok laktasi membutuhkan biaya operasional, pemeliharaan maupun perawatan di sisi lain memaksa Djammila membagi tanggung jawab pengelolaan pojok laktasi dengan para stafnya. Djammila tidak segan-segan mengeluarkan biaya pribadi untuk pemeliharaan pojok laktasi, seperti membeli berbagai perlengkapan bayi (popok, minyak telon, dan bedak bayi). Sementara itu, para Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi) staf diminta menyumbangkan mainan anak yang sudah tidak terpakai untuk menyemarakkan pojok laktasi. Anggaran pembangunan dan pemeliharaan pojok laktasi tersebut terbilang tinggi. Estimasi anggaran mencapai 6,8 juta rupiah untuk pembangunan dan 500 ribu rupiah untuk perawatan setiap bulannya. Fasilitas yang tersedia di pojok laktasi seperti popok, minyak telon, bedak bayi, dan mainan sering dibawa pulang oleh pengunjung. Petugas terpaksa harus mengawasi dan memberi peringatan kepada pengunjung untuk tidak membawa fasilitas yang tersedia di pojok laktasi. Keberhasilan pojok laktasi di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta bisa menjadi teladan bagi daerah lain yang ingin mereplikasi di daerahnya. Kunci keberhasilan pojok laktasi Terminal Tirtonadi Kota Surakarta adalah adanya komitmen yang kuat dari pimpinan, dukungan dari para staf dan kerjasama dengan stake holder. Selain itu, pengetahuan tentang ASI eksklusif menjadi modal awal pengelola fasilitas publik untuk mendorong pendirian pojok laktasi di tempat-tempat umum. Intervensi pemimpin amat penting supaya dapat merealisasikan berdirinya pojok laktasi. Pengetahuan dan pemahaman pentingnya ASI eksklusif merupakan modal utama, namun tanpa komitmen, keberanian, dan visi pemimpin, pendirian pojok laktasi akan sulit diwujudkan. Komitmen dan keberanian dari pemimpin akan mendorong para staf untuk memberi dukungan yang diperlukan untuk menyukseskan inovasi dari pemimpin. Pendirian pojok laktasi di fasilitas publik membutuhkan dukungan anggaran yang rutin dan berkelanjutan. Persoalan ini terganjal oleh keterbatasan anggaran dari pemerintah. Maka dari itu, pemerintah atau pemimpin fasilitas publik di mana pojok laktasi didirikan, dapat menjalin kemitraan dengan pihak swasta atau lembaga donor. Pojok laktasi akan menarik perhatian pengguna apabila disesuaikan dengan kondisi lokal, baik secara sosial budaya atau kebiasaan sehari-hari masyarakat yang akan menggunakan fasilitas ini.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Pojok Laktasi di Terminal Tirtonadi merupakan salah satu bentuk kepedulian fasilitas publik terhadap kebutuhan perempuan sekaligus menjalankan amanat pemerintah. Maka dari itu, peran pemerintah sangat krusial dalam mendorong pendirian pojok laktasi di fasilitas publik baik melalui regulasi, anggaran, dan sumber daya manusia yang kompeten. Di samping itu, perlu dibangun kesadaran masyarakat untuk memberikan ruang dan fasilitas yang nyaman bagi ibu menyusui di ruang publik. Kehadiran pojok laktasi hendaknya didukung oleh program-program lain yang mendorong Pemberian ASI eksklusif. Misalnya pembentukan kelompok konselor ibu hamil dan menyusui sehingga dapat berperan untuk mensosialisasikan pentingnya ASI eksklusif, pembatasan iklan produk susu formula serta pemberian sanksi bagi tenaga kesehatan yang mempromosikan susu formula. Selain itu, kerjasama antarstakeholder baik di kalangan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan kompleksitas cakupan isu ASI eksklusif. Generasi penerus bangsa kelak akan menerima tongkat estaet kepemimpinan bangsa. Memastikan generasi mendatang sehat dan berkecukupan gizi akan menjamin keberhasilan suksesi kepemimpinan. Salah satu upaya untuk memastikan generasi mendatang sehat dan tidak kekurangan gizi adalah dengan pemberian ASI eksklusif yang cukup. Untuk keberhasilan program pemberian ASI eksklusif pemerintah, ada beberapa hal-hal yang direkomendasikan. 1. Pemerintah bisa lebih mendorong berbagai pihak untuk dapat memberikan fasilitas bagi ibu menyusui melalui pendirian pojok laktasi di gedung perkantoran maupun fasilitas umum lainnya. Pojok laktasi tersebut tidak perlu dilengkapi dengan fasilitas yang mewah, yang penting memenuhi persyaratan minimal sebagaimana ketentuan dalam surat Menteri Kesehatan No. 872/menkes/XI/2006 tentang Kriteria dan Fasilitas dari Ruang Menyusui. 2. Selain melakukan edukasi pentingnya ASI eksklusif bagi bayi, pemerintah juga perlu melakukan pemantauan dan pengawasan untuk menghindari pelanggaran ketentuan Permenkes nomor 39 Tahun 2013. Sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan harus diberikan untuk mendapatkan efek jera. Komunikasi yang lebih efektif juga perlu kepada
77
D. PENUTUP
RUANG LAKTASI BAGI IBU MENYUSUI (Kasus Pojok Laktasi Terminal Tirtonadi) rumah sakit dan tenaga kesehatan agar mereka lebih memahami pentingnya IMD dan rawat gabung ibu dan bayi. 3. Pemerintah perlu secara konsisten mengedukasi kepada masyarakat pentingnya ASI dan menyusui kepada masyarakat luas dengan berbagai cara secara konsisten. Hal ini untuk membangun opini publik yang positif tentang ASI dan menyusui dan mendapatkan dukungan luas masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
78
___. ___. Policy Brief. Inisiasi Pojok Laktasi di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta. Sumber: ppkk.fisipol.ugm.ac.id/index.php/component/attachments/download ___. ___. Potret Implementasi Kebijakan Pemerintah terkait Pemberian ASI Eksklusif di Mata Ibu Menyusui. Sumber: http://www.ibujerapah.com/2016/11/potret-implementasikebijakan.html. ___. 2014.. “Al Quran dan Sains: Pentingnya Air Susu Ibu (ASI)”. Republika Online:Jakarta 2014 Hendarto, Aryono & Pringgadini, Keumala. 2013. “Nilai Nutrisi Air Susu Ibu” dalam Buku Bedah ASI. Publikasi IDAI 27 Agustus 2013. Kadir, Nurhira Abdul. 2014. Menelusuri Akar Masalah Rendahnya Persentase Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia. Jurnal Al Hikmah Vol XV Nomor 1. Kusumaningrum, Demeiati Nur. Rasionalitas Kebijakan Pro Laktasi di Indonesia. Jurnal Sospol, Vol. 2 No. 1. Halaman 1-15. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Presiden Republik Indonesia.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta
"KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5”
(Model Inovasi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta)
"OUT TOGETHER: LIST 1 EXIT 5"
(Model of Innovation of Document Service of Children in Danurejan, Yogyakarta) Abdul Muis Pusat Inovasi Tata Pemerintahan, Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Email:
[email protected] [email protected], HP. 081291656336 ABSTRACT Number of ownership of birth certificate in Danurejan sub district as a form of state recognition of the identity of the child is still less than 53.92% in the Year 2014 and reached 83.74% in Year 2015. Observing the figure can be said that the Birth Certificate is still less than optimal in Kecamatan Danurejan Because it is still below the national target (85%). Based on the Regulation of the Minister of Home Affairs No. 9 of 2016 on the Acceleration of Increasing the Coverage of Birth Certificate Ownership, it is stated that in essence the State is obliged to provide protection and recognition of the determination of the personal status and legal status of any birth events experienced by the population including protection of the rights of children inside and / Outside the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia, in the form of a birth certificate. In addition to the Birth Certificate, one of the pediatric documents that must be granted by the State / Government is a Child Identity Card (KIA) that is the child's official identity as a proof of a child less than 17 years old and not married in an effort to provide protection and fulfillment of constitutional rights of state waraga as Provisions in the Regulation of the Minister of Home Affairs No. 2 of 2016 on KIA and Perda Kota Yogyakarta no 8/2012 on Population Documents. Based on the local Population Administration Information System (SIAK), it is known that KIA ownership in Danurejan District in 2014 is 15.01% and 31.55% in 2015. This indicates that most children in Kecamatan Danurejan have no MCH. In 2014 the number of births is 228, but the request for the change of the Family Card due to birth (as well as the application of NIK children born) is 224. And in 2015 the number of births is 225, but the request for change of Family Card due to birth (including NIK children born) as much as 217. This means that this condition does not reflect the ideal condition, where the number of births should be equal to the number of application for change of Family Card and NIK of the child born. Based on these problems, Danurejan Subdistrict initiated Innovation "OUT OF BERSAMA" which is manifested by forming an integrated child documentation system and designing an educational system of pregnant women information on electronic media of mobile phone with SMS Gateway system. The implementation of Danurejan Kecamatan Innovation activities "OUT TOGETHER". Keywords: innovation, Birth Certificate and NIK
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Angka kepemilikan Akta Kelahiran Di Kecamatan Danurejan sebagai wujud pengakuan negara atas identitas anak masih kurang dari 53,92 % di Tahun 2014 dan mencapai 83,74% di Tahun 2015. Mencermati angka tersebut dapat dikatakan bahwa angka kepemilikan Akta Kelahiran masih kurang optimal di Kecamatan Danurejan karena masih di bawah target angka nasional (85%). Berdasarkan Permendagri No 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, dinyatakan bahwa pada hakekatnya Negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kelahiran yang dialami oleh penduduk termasuk perlindungan terhadap hak anak yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam bentuk akta kelahiran. Selain Akta Kelahiran, salah satu dokumen anak yang wajib diberikan oleh Negara/Pemerintah adalah Kartu Identitas Anak (KIA) yaitu identitas resmi anak sebagai bukti diri anak yang berumur kurang dari 17 tahun dan belum menikah sebagai upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional waraga negara sebagaimana ketentuan dalam Permendagri Nomor 2 tahun 2016 tentang KIA dan Perda Kota Yogyakarta
79
ABSTRAK
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta no 8 Tahun 2012 tentang Dokumen Kependudukan. Bersumber dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) lokal, diketahui bahwa kepemilikan KIA di Kecamatan Danurejan pada Tahun 2014 sebanyak 15,01% dan 31,55% di tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak di Kecamatan Danurejan belum mempunyai KIA. Pada tahun 2014 jumlah kelahiran sebanyak 228, namun permohonan perubahan Kartu Keluarga karena kelahiran (sekaligus permohonan NIK anak lahir) sebanyak 224. Dan pada tahun 2015 jumlah kelahiran sebanyak 225, namun permohonan perubahan Kartu Keluarga karena kelahiran (termasuk NIK anak lahir) sebanyak 217. Artinya kondisi ini belum mencerminkan kondisi ideal, dimana jumlah kelahiran seharusnya sama dengan jumlah permohonan perubahan Kartu Keluarga dan NIK anak lahir. Berdasarkan permasalahan tersebut, Kecamatan Danurejan menggagas Inovasi “KELUAR BERSAMA” yang dimanifestasikan dengan membentuk sebuah sistem pelayanan dokumen anak secara terintegrasi dan merancang bangun sistem informasi edukasi ibu hamil pada media elektronik handphone dengan sistem SMS Gateway. Adapun implementasi kegiatan Inovasi Kecamatan Danurejan “KELUAR BERSAMA”. Kata Kunci: inovasi, Akta Kelahiran dan NIK
Halaman
80
A. PENDAHULUAN Pelaksanaan pelayanan publik di Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta masih mengalami kendala khususnya terkait dengan pelayanan administrasi kependudukan. Angka kepemilikan Akta Kelahiran di Kecamatan Danurejan sebagai wujud pengakuan negara atas identitas anak masih kurang dari 53,92 % di Tahun 2014 dan mencapai 83,74% di Tahun 2015. Mencermati angka tersebut dapat dikatakan bahwa angka kepemilikan Akta Kelahiran masih kurang optimal di Kecamatan Danurejan karena masih di bawah target angka nasional (85%). Berdasarkan Permendagri No 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, dinyatakan bahwa pada hakekatnya Negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kelahiran yang dialami oleh penduduk termasuk perlindungan terhadap hak anak yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam bentuk akta kelahiran. Selain Akta Kelahiran, salah satu dokumen anak yang wajib diberikan oleh Negara/Pemerintah adalah Kartu Identitas Anak (KIA) yaitu identitas resmi anak sebagai bukti diri anak yang berumur kurang dari 17 tahun dan belum menikah sebagai upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional waraga negara sebagaimana ketentuan dalam Permendagri Nomor 2 tahun 2016 tentang KIA dan Perda Kota Yogyakarta no 8 Tahun 2012 tentang Dokumen Kependudukan. Bersumber dari Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) lokal, diketahui bahwa kepemilikan KIA di Kecamatan Danurejan pada Tahun 2014 sebanyak 15,01% dan 31,55% di tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak di Kecamatan Danurejan belum mempunyai KIA. Pada tahun 2014 jumlah kelahiran sebanyak 228, namun permohonan perubahan Kartu Keluarga karena kelahiran (sekaligus permohonan NIK anak lahir) sebanyak 224. Dan pada tahun 2015 jumlah kelahiran sebanyak 225, namun permohonan perubahan Kartu Keluarga karena kelahiran (termasuk NIK anak lahir) sebanyak 217. Artinya kondisi ini belum mencerminkan kondisi ideal, dimana jumlah kelahiran seharusnya sama dengan jumlah permohonan perubahan Kartu Keluarga dan NIK anak lahir. Berdasarkan permasalahan tersebut, Kecamatan Danurejan menggagas Inovasi “KELUAR BERSAMA” yang dimanifestasikan dengan membentuk sebuah sistem pelayanan dokumen anak secara terintegrasi dan merancang bangun sistem informasi edukasi ibu hamil pada media elektronik handphone dengan sistem SMS Gateway. Adapun implementasi kegiatan Inovasi Kecamatan Danurejan “KELUAR BERSAMA”. Gagasan inovasi inovasi ini timbul dari hasil FGD yang dipimpin oleh Camat dengan perangkat kecamatan, kelurahan dan berbagai OPD/unit kerja terkait (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Kominfo dan Persandian atau sebelumnya disebut Bagian Teknologi Informasi dan Telematika, Puskesmas Danurejan I dan II) menyimpulkan perlunya langkah terobosan inovasi untuk meningkatkan pelayanan penerbitan dokumen anak secara Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
terintegrasi yang diberi tag line inovasi “KELUAR BERSAMA”. Selain itu tercetus ide pula untuk sekaligus mengcreate media edukasi ibu hamil secara elektronik. mengingat pada tahun 2014 kematian balita di Kecamatan Danurejan relatif tinggi sebanyak 5 orang dan kematian ibu melahirkan sebanyak 3 orang. Hal ini dimungkinkan disebabkan antara lain oleh kurangnya pengetahuan dan kesadaran kesehatan ibu hamil yang bersangkutan. Adapun tujuan dari inovasi Keluar Bersama ini adalah: (1) Menyelenggarakan pelayanan publik secara terintegrasi terkait dokumen anak; (2) Mewujudkan akselerasi dan kemudahan proses kepemilikan dokumen anak; (3) Mewujudkan akselerasi Up date Data Kependudukan; (4) Mewujudkan tertib dokumen anak. Inovasi Kecamatan Danurejan “KELUAR BERSAMA” dimanifestasikan dengan membentuk sebuah sistem pelayanan dokumen anak secara terintegrasi dan merancang bangun sistem informasi edukasi ibu hamil pada media elektronik handphone dengan sistem SMS Gateway. Adapun implementasi kegiatan Inovasi Kecamatan Danurejan “KELUAR BERSAMA” meliputi: a. Membangun sistem pelayanan dengan tag line “KELUAR BERSAMA Daftar 1 Dapat 5” Sistem pelayanan dokumen anak pasca kelahiran ini dilaksanakan berbasis SMS Gateway. Sistem ini menawarkan sebuah “public service” untuk mempermudah customer dalam hal ini masyarakat untuk terwujudnya kepemilikan berbagai dokumen anak. Secara teknis dikatakan bahwa pada setiap permohonan dokumen anak baru lahir, maka secara simultan akan diproses sekaligus penerbitan dokumen anak dan kependudukan terkait yang lain (yaitu NIK, Kartu Keluarga, Kartu Identitas Anak/KIA, Akta Kelahiran dan Buku Kesehatan Ibu dan Anak). SMS Gateway ini dikelola oleh admin perangkat Kecamatan yang tugasnya memeriksa sms registrasi yang masuk dalam sistem serta menginput data ibu hamil apabila registrasi sms oleh Bumil/Kader Bumil terdapat kesalahan format. Apabila database Bumil telah masuk dalam sistem, maka ibu hamil tersebut pada saat memasuki usia 8 Sistem bulan kehamilannya akan memperoleh sms himbauan melalui SMS Gateway untuk mengambil berkas formulir permohonan dokumen anak (di Kelurahan) dan Surat Kuasa untuk pengurusan Akta Kelahiran oleh Kecamatan serta segera melengkapi persyaratan. Warga hanya mengajukan permohonan dokumen anak ke Kelurahan dan Kecamatan, dan selanjutnya pengurusan Akta Kelahiran di Dindukcapil Kota Yogyakarta dilakukan oleh Petugas Kecamatan. Jadi begitu anak lahir, maka persyaratan sudah lengkap dan selanjutnya diserahkan kepada Kelurahan untuk diverifikasi dan diproses lanjut ke Kecamatan untuk dapat diterbitkan beberapa produk dokumen anak. Begitu Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran sudah diterbitkan oleh Dindukcapil dan sudah diambil oleh Petugas Kecamatan di Dindukcapil, maka customer warga diinformasikan via SMS untuk mengambil dokumen anak tersebut di Kecamatan. Adapun Bagan alur mekanisme Pelayanan Dokumen Anak “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 dapat dicermati pada bukti terlampir. Dalam tata laksananya membentuk networking meliputi SKPD teknis terkait (Dindukcapil, Diskom Info dan Persandian, Puskesmas, Kelurahan, Kecamatan) dan unsur masyarakat (RT/RW, PKK RT/RW, Kader Pendamping Ibu Hamil). b. Membangun Sistem Informasi Kehamilan (SiMAMI) Dalam sistem informasi ini dikelola database ibu hamil yang di setiap bulan kehamilan masing-masing ibu hamil tersebut disampaikan pesan-pesan edukasi melalui SMS Gateway untuk menunjang terwujudnya kesehatan ibu hamil yang bersangkutan dan calon bayi yang dikandungnya. Dengan demikian sistem Informasi Ibu Hami ini mengawal proses kehamilan seorang ibu sampai dengan melahirkan. Sisi-sisi Inovatif dari Inovasi Kecamatan Danurejan “KELUAR BERSAMA” Daftar 1 Dapat 5 adalah inovasi yang didesain dengan metode Template Integration yaitu pelayanan yang normatifnya dilakukan di tempat dan prosedur yang berbeda diinovasi menjadi layananterpadu. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sistem yang dimanifestasikan dengan: “Inovasi “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 merupakan inovasi yang satu-satunya dilakukan oleh Kecamatan Danurejan baik di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta maupun di Indonesia.
81
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta Keunikan lainnya adalah bahwa cakupan Inovasi Kecamatan Danurejan ini merupakan inovasi yang mengintegrasikan pelayanan untuk pemenuhan hak anak terhadap dokumen kependudukan (NIK, KK, KIA, Akta Kelahiran) sekaligus mendorong akselerasi kepemilikan dokumen kependudukan anak serta sebagai manifestasi perlindungan kesehatan terhadap ibu hamil dan bayi/balita (edukasi ibu hamil dan Buku Kesehatan Ibu Anak). Tabel 1. Perbaikan layanan dokumen kependudukan SEBELUM - pelayanan dokumen anak dilakukan secara partial/sendiri-sendiri. - pelayanan dokumen anak TIDAK melalui sistem informasi elektronik dalam sistem SMS Gateway.
SESUDAH pelayanan dokumen anak dilakukan terintegrasi secara bersamaan untuk berbagai jenis dokumen anak. dibangun sistem informasi pelayanan dokumen anak melalui SMS Gateway.
KETERANGAN peristiwa kelahiran segera diketahui Kecamatan, ditindaklanjuti Kecamatan berkomuni-kasi dengan warga via SMS Gateway untuk segera mengajukan permohonan dokumen anak.
B. DATA DAN INFORMASI Output Inovasi
Halaman
82
Beberapa keluaran kongkret inovasi “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 dapat diuraikan sebagai berikut: a. Pelayanan One Stop Kelahiran "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 dalam bentuk pelayanan Sistem terintegrasi dan SMS Gateway. Dalam hal ini pelayanan dokumen anak dilakukan secara terintegrasi, masyarakatsekali saja mengajukan permohonan dokumen anak dan akan memperoleh ouput berbagai dokumen anak (NIK, KK, KIA, Akta Kelahiran, Buku Kesehatan Ibu Anak) . Pelayanan One Stop Kelahiran "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 diintegrasikan dengan database SiMAMI dan dikemas dalam sebuah sistem SMS Gateway. Saat ibu hamil memasuki usia 8 bulan kehamilannya, maka dihimbau melalui SMS Gateway untuk segera melengkapi persyaratan dan mengurus dokumen anak. b. Alur pelayanan pendek. ntuk pengurusan Akta Kelahiran, masyarakat tidak perlu datang ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil karena dilakukan oleh Perangkat Kecamatan dengan berpegang pada Surat Kuasa yang diberikan oleh masyarakat. c. Waktu pengurusan dokumen anak. Dengan inovasi ini waktu pengurusan dan pelayanan dokumen anak (NIK Anak, KK, Akselerasi KIA, Akte Kelahiran) dapat dipersingkat; dari semula waktunya ± 1 bulan menjadi maksimal 2 minggu sejak kelahiran anak yang bersangkutan; dengan catatan apabila didukung oleh tingginya antusiasme orangtua dalam melengkapi segala persyaratan dokumen anak. Adanya ketentuan perundangan kependudukan yang mensyaratkan tanda tangan basah Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menyebabkan waktu penerbitan dokumen menjadi lebih lama. d. Sistem Informasi Kehamilan (SiMAMI). Dalam sistem informasi ini dikelola database ibu hamil yang di setiap bulan kehamilan masing-masing ibu hamil tersebut disampaikan pesanpesan edukasi (melalui SMS Gateway) untuk menunjang terwujudnya kesehatan ibu hamil tersebut dan calon bayi yang dikandungnya. Dengan demikian sistem ini mengawal proses kehamilan seorang ibu sampai dengan melahirkan dengan tujuan untuk meminimalisasi kematian ibu melahirkan.
Sistem evaluasi kegiatan a.
Untuk memantau kemajuan dan mengevaluasi kegiatan dilakukan: Pemantauan jalanya sistem SMS Gateway dengan menugaskan admin pengelola sistem (SMS Gateway) selalu mengawasi keluar masuknya data dalam sistem SMS Gateway dan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta
b. c.
d.
selalu berkomunikasi intensif dengan programer sistem dan personil Tim dari Bagian TIT apabila terdapat permasalahan sistem untuk segera dicari solusinya agar sistem beroperasi dengan lancar dan optimal. Mengadakan rapat koordinasi dan komunikasi efektif dengan Tim Inovasi untuk membahas permasalahan dan mencari solusi dalam pelaksanaan inovasi “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5; Pemantauan/evaluasi peran kader pendamping ibu hamil melalui komunikasi tidak langsung (lewat Puskesmas sebagai Pembina Kader Bumil) dan komunikasi langsung baik dalam rakor 3 bulanan maupun komunikasi non formal agar Kader lebih aktif dalam memberikan informasi kepada bumil di lingkungannya. Selain itu Kader Bumil juga diperankan untuk meregistrasi bumil di lingkungannya ke dalam SMS Gateway “Keluar Bersama” apabilabumil yang bersangkutan tidak dapat meregistrasi sendiri. Evaluasi tentang peran Bumil dalam mengakses SMS Gateway “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 (dengan melihat data dalam base sistem) melalui rakor dengan pengurus PKK RT/RW untuk lebih meningkatkan peran dalam menyampaikan informasi
Halaman
Tahap 1, merupakan tahapan persiapan meliputi pembentukan Tim, pelaksanaan koordinasi baik Tim maupun stakeholder terkait, membangun networking dengan berbagai pihak terkait, penyusunan SOP dan pelaksanaan sosialisasi. Tim Inovasi dibentuk dan dipayungi hukum dalam Keputusan Camat Danurejan nomor 71/KPTS/DN/2015 dan nomor 37/KPTS/DN/2016. Penyusunan SOP (Standar Operasional Prosedur) oleh Tim dan dituangkan dalam Keputusan Camat Danurejan nomor 75/KPTS/DN/2015 yang direview dengan Keputusan Camat Danurejan nomor 109/KPTS/DN/2016. Pada kegiatan koordinasi dan pembangunan networking, dilakukan penyamaan persepsi antar Tim, pembagian ketugasan Tim, penentuan jenis/bentuk supporting/peran masing- masing SKPD Tim dan stakeholder (Kader Pendamping Ibu Hamil, Ketua RT/RW, Pengurus PKK RT/RW, Ibu Hamil). Networking dibangun dengan berbagai stakeholder kunci yaitu Ka. RT/RW, Pengurus PKK RT/RW, Kader Pendamping Ibu Hamil, Puskesmas, Bagian Teknologi Informasi dan Telematika, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kronologi/tahapan kunci pelaksanaan inovasi "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5: Tahap 2, merupakan tahapan pelaksanaan Inovasi meliputi kegiatan up dating dan penyusunan database ibu hamil, perancangan bangun sistema informasi, Sosialisasi, Penyusunan MoU, Uji Coba SIM, Launching. Sosialisasi inovasi secara intensif dengan menggunakan media yg atraktif dan komunikatif (leaflet, poster, media sosial seperti youtube,facebook, twitter), memerankan pengurus PKK sebagai sounding person yang efektif dan mengemas materi sosialisasi dalam suatu performa kesenian yang menarik (fragmen). Penyusunan dan penandatanganan komitmen bersama secara tertulis yang dalam bentuk Kesepakatan Bersama antar OPD terkait dalam rangka melaksanakan dan mewujudkan tercapainya tujuan Inovasi Kecamatan Danurejan "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5. OPD terkait dalam hal ini adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yk, Bagian Teknologi Informasi dan Telematika Setda Kota Yk., Puskesmas Danurejan I dan II serta Kecamatan Danurejan. Dalam perancangan bangun sistem SiMAMI dan sistem pelayanan One Stop Kelahiran "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 melibatkan tenaga ahli. Tahap 3, merupakan tahapan implementasi, monitoring dan evaluasi. Pada tahapan ini Tim yang dibentuk melakukan koordinasi secara intensif baik dalam forum formal setiap 3 bulan maupun non formal, sehingga segala permasalahan dapat diketahui secara cepat untuk dicarikan solusinya.
83
Strategi
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta
Pemangku kepentingan a. b. c. d.
e.
f. g.
h.
i.
Ketua RT/RW, Berperan penting mengingat satu persyaratan pengurusan dokumen anak adalah Surat Pengantar RT/RW. Diarahkan pemberian pengantar RT/RW tersebut pada saat kehamilan ibu 8 bulan atau lebih. Kader Pendamping Ibu Hamil. Berperan dalam supporting data dan up dating data Bumil, corong informasi dan membantu meregistrasi bumil di wilayahnya (lingkup RW) ke dalam sistem SMS Gateway “Keluar Bersama”. Pengurus PKK RT/RW. Berperanan dalam Sounding informasi Inovasi Kecamatan Danurejan. Ibu Hamil. Partisipasi Ibu hamil merespon SMS Gateway, aktif dan akurat memberi informasi tentang Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT), HPL dan kelahiran anak serta keaktifan melengkapi persyaratan permohonan dokumen anak menentukan kesuksesan inovasi Kecamatan Danurejan. Puskesmas. Berperanan dalam akurasi dan up date data ibu hamil serta menyusun pesan edukasi kesehatan bumil dalam SMS Gateway. Puskesmas juga kunci koordinasi dengan kader pendamping Bumil sebagai salah 1 sasaran binaan Puskesmas. Puskesmas juga berperan pokok mendesain dan mendistribusikan buku KIA yang juga salah satu output inovasi Kecamatan Danurejan. Bagian Teknologi Informasi dan Telematika (TIT). Bagian TIT bersama progammernya berperan utama dalam penyusunan system informasi (SiMAMI) dan sistem pelayanan ‘Keluar Bersama' Daftar Dapat 5. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dindukcapil berperan utama, khususnya dalam pemberian Kemudahan dan percepatan penerbitan Akta Kelahiran. Untuk mendukung program inovasi ini kepengurusan akte kelahiran dapat diwakili oleh petugas kecamatan, sehingga warga tidak perlu datang mengurus ke Dinas Dukcapil Kota Yogyakarta. Kecamatan. Kecamatan berperan dalam penerbitan NIK anak, Kartu Keluarga yang sudah terupdate dan KIA (Kartu Identitas Anak), dalam pengelolaan operasional sistem SiMAMI dan sistem pelayanan "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 dalam bentuk SMS Gateway. Kepengurusan akte kelahiran ke DIndukcapil dilakukan oleh petugas kecamatan. Kelurahan. Kelurahan berperanan penting dalam hal sounding informasi inovasi kecamatan, pemberian form syarat permohonan, verifikasi dan pendampingan kelengkapan persyaratan permohonan.
Sumberdaya yang digunakan Sumber daya yang digunakan lebih pada sumber daya manusia (Tim Inovasi dan stakeholder yang telah terurai dalam penjelasan Pemangku Kepentingan tersebut di atas) dan pengembangan teknologi informasi. Sumberdaya dimobilisasi melalui mekanisme koordinasi, sosialisasi, pengembangan /eksplor ilmu pengetahuan sistem informasi. Adapun sumberdaya keuangan dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Yogyakarta pada anggaran Kecamatan Danurejan pada Tahun 2015 yaitu sebesar Rp.22.887.500,- dan pada Tahun 2016 sebesar Rp. 42.412.500, Sarana prasarana yang dibutuhkan meliputi seperangkat komputer, modem GSM, sistem operasi windows.
Halaman
84
C. PEMBAHASAN Kendala Kendala yang dihadapi meliputi:(1) Ibu hamil yang bersangkutan sebagian kurang respon/kurang aktif memanfaatkan fasilitas sistem SMS Gateway "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5, sehingga pendaftaran dan updating data ibu hamil masih dilakukan dengan cara manual. Dan ibu hamil yang meregistrasikan diri dalam sistem SMS Gateway sering salah dalam Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta pengetikan sehingga registrasi sering gagal dan harus diinput secara manual oleh admin kecamatan. Selain itu banyak juga ibu hamil kurang aktif menginformasikan kelahiran anaknya sehingga pelaksanaan inovasi pelayanan "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 kurang mencapai target yang diharapkan; (2) Para kader pendamping ibu hamil sering terlambat meng up date data bumil. Sementara data ibu hamil dan atau data kelahiran anak yang disampaikan ke kecamatan (baik dengan cara manual maupun via SMS Gateway) terkadang tidak lengkap/kurang jelas/salah, sehingga menghambat kelancaran pemrosesan out put dokumen anak; (3) Data nomor telepon ibu hamil yang kurang akurat (karena ganti nomor, penulisan salah, dll) menyebabkan kurang lancarnya operasi sitem SMS Gateway “Keluar Bersama” (pesan-pesan edukasi kesehatan bumil dan anak dalam kandungan tidak tersampaikan). Hal ini dapat diatasi dengan mengoreksi segera nomor telepon yang salah tersebut melalui Kader Pendamping Bumil. Ke-3 kendala di atas diatasi dengan dilakukan koordinasi/komunikasi (3 bulanan) dan sosialisasi berulang kali baik dengan kader pendamping ibu hamil, pengurus PKK RT/RW maupun dengan ibu hamil yang bersangkutan; dan (4) Waktu pelayanan dokumen anak terpadu “Keluar Bersama” dirasa masih terlalu lama, namun hal tersebut dikarenakan diimplementasikannya ketentuan perundangan yang mengharuskan tanda tangan basah Kepala Dindukcapil pada dokumen kependudukan yang diterbitkan.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Beberapa dampak positif: (a) Dampak inovasi dapat diukur dengan service time yang semula untuk pengurusan 5 dokumen anak tersebut membutuhkan waktu ± 1 bulan, dengan adanya inovasi sekarang dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 2 minggu sejak permohonan diajukan. Lama waktu pelayanan ini dirasa masih kurang efektif tetapi karena adanya ketentuan perundangan bahwa tanda tangan pada dokumenkependudukan harus basah; (b) Dengan diimplementasikannya inovasi “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 selama 1 tahun, maka angka kepemilikan Akta Kelahiran meningkat dari 83,74% di Tahun 2015 menjadi 95,26% di tahun 2016. Dan kepemilikan KIA dari 31,55% di tahun 2015 naik secara signifikan menjadi 62,15% pada tahun 2016; dan (c) Pada usia <1 tahun, jumlah kepemilikan KIA sama dengan jumlah NIK anak yang diterbitkan (otomatis sama dengan jumlah Kartu Keluarga baru karena anak lahir), sama juga dengan jumlah Akta Kelahiran yang diterbitkan, dan juga sama dengan jumlah kelahiran di Kecamatan Danurejan di sepanjang tahun 2016. Hal ini merefleksikan bahwa kepengurusan dan penerbitan dokumen anak telah terealisasi secara terintegrasi di Kecamatan Danurejan, terbukti jumlah penerbitan beberapa dokumen anak tersebut di atas sama untuk masing-masing dokumen. Perbedaan sebelum dan Sesudah Diterapkannya Inovasi: Sebelum : (1) pelayanan dokumen anak dilakukan secara partial/sendiri-sendiri. (2) pelayanan dokumen anak TIDAK melalui sistem informasi elektronik. (3) tidak terdapat database ibu hamil di Kecamatan yang ter up date setiap saat oleh warga melalui sistem SMS Gateway (4) Metode edukasi kesehatan ibu hamil selama ini melaui pertemuan Kelas Bumil yang difasilitasi Puskesmas Sesudah : (1) pelayanan dokumen anak dilakukan terintegrasi secara bersamaan untuk berbagai jenis dokumen anak. (2) dibangun sistem informasi pelayanan dokumen anak melalui SMS Gateway. (3) terdapat sistem informasi yang mengakomodasi database ibu hamil dalam sistem SMS Gateway yang disebut SiMAMI; yang terup date setiap saat oleh warga (4) terdapat metode edukasi kesehatan ibu hamil secara elektronik melalui sistem SMS Gateway (5) Mengakselerasi kepemilikan berbagai dokumen anak, karena pada pengajuan permohonan 1 dokumen anak, maka secara simultan dan otomatis dilakukan pemrosesan permohonan dokumen anak dan kependudukan lainnya.
85
Dampak
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta (6) Peristiwa kelahiran segera diketahui Kecamatan (dengan catatan apabila pihak ibu hamil segera melaporkan), ditindak-lanjuti Kecamatan berkomuni-kasi dengan warga via SMS Gateway untuk segera mengajukan permohonan dokumen anak. (7) Dalam rangka meminimalisasi kematian ibu melahirkan dan bayi.
Pengembangan Inovasi Inovasi Kecamatan Danurejan "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 sering menjadi sasaran kunjungan kerja Pemerintah Daerah lain, akan tetapi hingga saat ini belum diketahui adanya replikasi inovasi ini di daerah lain. Namun kemungkinan untuk mereplikasi inovasi Kecamatan Danurejan sangatlah tinggi mengingat tahapan pelaksanaannya tidak rumit dan tidak dibutuhkan biaya yang relatif besar. Selain itu berbagai stakeholder yang terlibat dalam implementasi inovasi (Ketua RT/RW, PKK RT/RW, Kader Pendamping Bumil, dll) relatif juga terdapat di berbagai daerah di luar Kota Yogyakarta, sehingga struktur pengorganisasiannya hampir sama dengan Kecamatan Danurejan. Oleh karena itu tidaklah sulit mereplikasi. Terkait dengan pengembangan inovasi kedepan : (a) Sistem pelayanan dokumen anak “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 Kecamatan Danurejan pelaksanaannya dikolaborasikan dengan kegiatan jemput bola KIA (Kartu Identitas Anak) yang dinamakan TUNTAS (1 Anak 1 Identitas) dimana petugas Kecamatan bersama-sama dengan Kelurahan terjun ke wilayah (tingkat RW) untuk mendekatkan pelayanan permohonan KIA (Kartu Identitas Anak). Dengan metode pelayanan ini lebih mengakselerasi kepemilikan dokumen anak KIA di wilayah Kecamatan Danurejan; dan (b) Dalam waktu dekat ini SMS Gateway "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 akan lebih dikembangkan fungsinya sebagai salah satu altenatif media sosial (social broadcast) untuk media pelayanan informasi, media koordinasi dan komunikasi antara kecamatan dengan berbagai lembaga kemasyarakatan di wilayah guna kepentingan pemberdayaan masyarakat/pembangunan wilayah Kecamatan;
Halaman
86
D. PENUTUP Pada tahun 2016 telah dilakukan pemrosesan dokumen anak dalam pelayanan One Stop Kelahiran "Keluar Bersama" Daftar 1 Dapat 5 sebanyak 63 customer (mencapai 33,15% dari total kelahiran). Pencapaian ini dikatakan berhasil mengingat launching inovasi baru dilakukan pada akhir bulan Desember 2015. Pada tahun 2017 per bulan Februari telah dilakukan layanan dokumen anak “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 sebanyak 17 pemohon. Pembelajaran yang dapat dipetik : (1) Bahwa Good will Kepala Daerah sangat krusial dalam menentukan keberhasilan inovasi penyelenggaraan pelayanan publik. Dukungan tersebut dapat dimanifestasikan dalam bentuk komitmen dukungan anggaran, sarana dan prasarana serta kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta; (2) Komitmen dan konsistensi Kepala OPD harus kuat dalam mendorong optimalnya pelaksanaan dan pengembangan inovasi di bidang pelayanan publik ini; (3) Pentingnya dukungan Legislatif dalam merespon positif pelaksanaan inovasi yang kemudian diwujudkan antara lain dalam bentuk persetujuan anggaran operasional inovas Kecamatan Danurejan “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5; (4) Pentingnya dukungan Satuan Kerja. Inovasi tidak akan berhasil baik tanpa dukungan Satuan Kerja teknis pengampu urusan, mengingat sebagaimana ketentuan dalam pelimpahan kewenangan bahwa Kecamatan Danurejan diberikan kewenangan sebatas melaksanakan tugas pembantuan urusan administrasi kependudukan; (5) Pentingnya dukungan dari masyarakat terutama kelompok sasaran dan pendukung pelayanan publik. Kurangnya dukungan masyarakat tidak akan memberikan dampak keberhasilan sebuah inovasi. Rekomendasi untuk masa depan: (1) Perlu internalisasi lebih kuat lagi dalam rangka memotivasi pelaksanaan inovasi OPD di lingkungan Pemerintah Daerah yang didukung secara penuh oleh pengambil kebijakan baik dari aspek ketentuan peraturan, anggaran, sarana prasarana dan Komitmen serta Konsistensi Kepala Daerah, lintas OPD, lembaga legislatif dan masyarakat; (2) Inovasi “Keluar Bersama” Daftar 1 Dapat 5 dapat dikembangkan lebih Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
KELUAR BERSAMA : DAFTAR 1 KELUAR 5 Model Inovaisi Pelayanan Dokumen Anak di Danurejan Kota Yogyakarta lanjut dengan mengintegrasikan pelayanan publik lainnya seperti layanan edukasi bagi pasangan suami istri dalam rangka mengurangi angka perceraian, dll; (3) Dari aspek pengembangan teknologi, ke depan perlu lebih diintensifkan dan dikembangkan sistem informasi pelayanan terintegrasi dokumen anak secara on line walaupun untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan komitmen, konsistensi, koordinasi yang intensif dan masif (mengingat banyaknya SKPD yang terlibat).
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
87
Permendagri No 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Keputusan Camat Danurejan Nomor 71/KPTS/DN/2015 dan Nomor 37/KPTS/DN/2016 Tentang Penyusunan Standar Pelayanan. Keputusan Camat Danurejan Nomor 75/KPTS/DN/2015 Tentang Penyusunan SOP; Keputusan Camat Danurejan Nomor 109/KPTS/DN/2016 Tentang Penyusunan SOP
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK Menuju Good Local Governance
IMPROVING QUALITY OF PUBLIC SERVICES Towards Good Local Governance Yulfikar DA Pusat Inovasi Tata Pemerintahan, Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Email:
[email protected] HP. 082329654237 ABSTRACT Paradigm shifts that occur in local, regional and global communities in various aspects of life (politics, economics, socio-culture, technology, etc.) have created new needs and demands on society. These changes have forced the government bureaucracy to make significant organizational improvements. The concepts of Good Governance (UNDP: 1997), Reinventing Government (Osborne and Gaebler: 2000), cut bureaucracy (Osborne and Plastrik: 1997), civil society, bureaucratic professionalism (George Frederickson: 1997) to quality public services (LAN: 1998) Increasingly popular into discourse and at the same time encouraged and demanded to be realized. However, it is not easy to realize. One aspect that is needed to make it happen is the innovation and political will reform from the Government (Local Government). The quality of public services continues to be the highlight of many parties. The National Bureaucratic Reform Team at MENPAN-RB (Ministry of Administrative Reform and Bureaucracy Reform) stated that the integrity of public services continued to decline. The results of the public sector integrity survey stated that in 2009 the Integrity Index reached 6.5 and in 2010 its Integrity Index became 5.42. The decline was due to a decrease in "quality of public services" in some service units. The survey took place from April to August 2010 and was conducted in 353 service units spread across 23 central agencies, 6 vertical agencies and 22 municipal governments (Jakarta newspaper, November 4, 2010). Meanwhile, according to the Deputy of Public Service Ministry of PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara), until now there are many government agencies, especially local governments that have not formed an integrated service. Based on existing data, from 524 district / municipal governments, only 70% forming integrated or new services of about 300 agencies. The rest does not yet exist (not yet have integrated services), and of the approximately 300 established agencies are not yet 100% running integrated service functions [http://www.menpan.g0.id/index.php/ coverage-media- index / 143 ]. Keywords: Public service, Good Local Governe
Halaman
88
ABSTRAK Pergeseran paradigm yang terjadi dalam masyarakat lokal, regional dan global pada berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, dan sebagainya) telah memunculkan kebutuhan dan tuntutan baru pada masyarakat. Perubahan tersebut telah memaksa birokrasi pemerintah untuk melakukan pembenahan dalam berbagai aspek organisasional secara signifikan. Konsep Good Governance (UNDP:1997), Reinventing Government (Osborne dan Gaebler:2000), memangkas birokrasi (Osborne dan Plastrik:1997), civil society, profesionalitas birokrasi (George Frederickson:1997) hingga pelayanan publik yang berkualitas (LAN:1998) makin populer menjadi wacana dan sekaligus didorong serta dituntut untuk diwujudkan. Namun demikian, tidak mudah untuk direalisasikan. Salah satu aspek yang diperlukan untuk mewujudkannya adalah adanya inovasi dan reformasi political will dari Pemerintah (Pemerintah Daerah). Kualitas pelayanan publik masih terus menjadi sorotan tajam dari banyak pihak. Tim Reformasi Birokrasi Nasional pada MENPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) menyatakan bahwa integritas pelayanan publik terus menurun. Hasil survei integritas sektor publik menyebutkan bahwa pada tahun 2009 Indeks Integritas mencapai 6,5 dan pada tahun 2010 Indeks Integritasnya menjadi 5,42. Penurunan tersebut disebabkan menurunnya „kualiatas pelayanan publik“di beberapa unit pelayanan. Survei berlangsung sejak April – Agustus 2010 dan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance dilakukan di 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertikal dan 22 pemerintah kota (Koran Jakarta, 4 Nopember 2010). Sedangkan menurut Deputi Pelayanan Publik Kementerian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara), hingga kini masih banyak instansi pemerintah terutama pemerintah daerah yang belum membentuk pelayanan terpadu. Berdasarkan data yang ada, dari 524 pemerintah daerah kabupaten/kota, baru 70% yang membentuk pelayanan terpadu atau baru sekitar 300 instansi. Sisanya belum ada (belum memiliki pelayanan terpadu), dan dari sekitar 300 instansi yang sudah terbentuk tersebut belum 100% menjalankan fungsi pelayanan terpadu [http://www.menpan.g0.id/index.php/ liputan-media- index/143]. Kata Kunci: Pelayanan publik, Good Local Governe
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat lokal, regional dan global pada berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, dan sebagainya) telah memunculkan kebutuhan dan tuntutan baru pada masyarakat. Perubahan tersebut telah memaksa birokrasi pemerintah untuk melakukan pembenahan dalam berbagai aspek organisasional secara signifikan. Konsep Good Governance (UNDP:1997), Reinventing Government (Osborne dan Gaebler:2000), memangkas birokrasi (Osborne dan Plastrik:1997), civil society, profesionalitas birokrasi (George Frederickson:1997) hingga pelayanan publik yang berkualitas (LAN:1998) makin populer menjadi wacana dan sekaligus didorong serta dituntut untuk diwujudkan. Namun demikian, tidak mudah untuk direalisasikan. Salah satu aspek yang diperlukan untuk mewujudkannya adalah adanya inovasi dan reformasi political will dari Pemerintah (Pemerintah Daerah). Kualitas pelayanan publik masih terus menjadi sorotan tajam dari banyak pihak. Tim Reformasi Birokrasi Nasional pada MENPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) menyatakan bahwa integritas pelayanan publik terus menurun. Hasil survei integritas sektor publik menyebutkan bahwa pada tahun 2009 Indeks Integritas mencapai 6,5 dan pada tahun 2010 Indeks Integritasnya menjadi 5,42. Penurunan tersebut disebabkan menurunnya „kualiatas pelayanan publik “di beberapa unit pelayanan. Survei berlangsung sejak April – Agustus 2010 dan dilakukan di 353 unit layanan yang tersebar di 23 instansi pusat, 6 instansi vertikal dan 22 pemerintah kota (Koran Jakarta, 4 Nopember 2010). Sedangkan menurut Deputi Pelayanan Publik Kementerian PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara), hingga kini masih banyak instansi pemerintah terutama pemerintah daerah yang belum membentuk pelayanan terpadu. Berdasarkan data yang ada, dari 524 pemerintah daerah kabupaten/kota, baru 70% yang membentuk pelayanan terpadu atau baru sekitar 300 instansi. Sisanya belum ada (belum memiliki pelayanan terpadu), dan dari sekitar 300 instansi yang sudah terbentuk tersebut belum 100% menjalankan fungsi pelayanan terpadu [http://www.menpan.g0.id/ index.php/ liputan-media- index/143]. Pada akhir tahun 2011, service provider melakukan survei yang sama seperti yang sudah dilakukan pada tahun 2009 tentang Survei Kepuasan Pelanggan (Individu dan Dunia Bisnis) dan Survei Audit Kinerja Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah melalui Proyek SCBD (Sustainable Capacity Building for Decentralization). Kemudian hasilnya dibandingkan dan ternyata, hasil kedua survei ini ada yang menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah pelaksanaan Proyek SCBD Kabupaten Tapanuli Tengah indikator pelayanan pengurusan ijin usaha (bisnis) tetap berada pada posisi kurang baik; kondisi dan pelayanan sanitasi/pembuangan limbah cair berubah dari posisi buruk menjadi kurang baik; pelayanan air bersih/PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tetap pada posisi buruk; pelayanan penyediaan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) Umum tetap buruk; pelayanan dan pembangunan irigasi tetap kurang baik; pelayanan pengumpulan sampah rumahtangga bergeser dari posisi buruk menjadi kurang baik. Sedangkan hasil Survei Audit Kinerja Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek SCBD ada yang justru menurun kinerjanya, seperti fungsi hukum dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang berhubungan dengan Hukum, Kelembagaan dan Kepegawaian menurun 1% dari skor 48,41% menjadi 47,41%; fungsi pengembangan organisasi dari SKPD yang memberikan pelayanan langsung kepada
89
A. PENDAHULUAN
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance masyarakat kinerjanya turun skornya sebanyak 5,48% dari skor 88,24% menjadi 82,76% (Tunggul Sihombing:2011;98-99). Hasil survei kepuasan pelanggan (individu dan dunia bisnis) dan survei audit kinerja pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah ini menunjukkan peta kekurangberhasilan kinerja Proyek SCBD (output dan outcome) meningkatkan kapasitas aparatur dan kelembagaan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas terhadap masyarakat. Dari data yang telah dikemukakan di atas, dapatlah dikatakan bahwa kualitas pelayanan publik pada instansi pemerintah ataupun pemerintah daerah masih lemah dan setengah hati. Political Will pemerintah yang berkuasa dapat juga dijadikan tolok ukur untuk meninjau tingkat keseriusan dalam menjalankan reformasi birokrasi (Kristian Widya Wicaksono (2006;23). Pelayanan publik yang diberikan pemerintah atau pemerintah daerah kepada masyarakat hingga kini masih memiliki banyak kelemahan dan kekurangan sehingga perlu direformasi dan memerlukan inovasi menuju good local governance. Meningkatnya kualitas pelayanan publik dan publik merasakan kepuasan atas pelayanan tersebut merupakan tujuan akhir dari inovasi dan reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah. Kemampuan pemerintah daerah beradaptasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik akan menjadi modal yang dapat meningkatkan kepercayaan publik (rakyat) kepada pemerintah atau kepada pemerintah daerah, sehingga tidak menutup kemungkinan, bila mereka kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah akan dipilih kembali oleh rakyatnya bahkan kebaikan yang telah mereka lakukan akan selalu dikenang sepanjang masa. Untuk itu, pembenahan mesti segera dilakukan secara sistematis dan komprehensif dengan ide dasar yang berpusat pada pelanggan atau warga negara (Osborne dan Gaebler,2000; 24, Denhardt and Denhardt,2007;60). Hal demikian harus dilakukan dengan membongkar mind-set, yang selama ini birokrasi dilayani menjadi melayani, yang selama ini tersentralisir menjadi terdesentralisasi. Oleh karenanya, agenda meningkatkan pelayanan publik merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan daerah yang baik (good local governance), antara lain melalui keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.Perlu dicari jawabannya bagaimana hal ini terjadi, khususnya di instansi pemerintah? Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan menuju good local governance dan mengakselerasi penyelenggaraan otonomi daerah maka pengembangan dan implementasi e-government dan reformasi pelayanan publik merupakan alternatif yang strategis.
Halaman
90
B. REFORMASI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK Salah satu faktor pendorong pelaksanaan inovasi dan reformasi birokrasi dalam pelayanan publik salah satunya adalah untuk mewujudkan good governance atau good local governance. Good local governance dapat dipandang sebagai bentuk pergeseran paradigma konsep government (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Salah satu wujud pelaksanaan good local governance adalah kapabilitas pemerintah daerah dalam menghasilkan regulasi yang baik. Dalam administrasi publik, kapabilitas tersebut seringkali dinamai dengan istilah good regulatory governance. Artinya, masyarakat sebagai pembayar pajak berhak memperoleh pelayanan yang optimal dari pemerintah daerah, yang salah satunya melalui regulasi yang dapat mendatangkan atau menyebabkan terciptanya kepastian hukum dan kesejahteraan bagi mereka. Oleh karenanya, kita perlu mengidentifikasi seperangkat rambu-rambu yang efektif untuk memberi batasan bagi pemerintah daerah dalam menerbitkan suatu regulasi atau kebijakan pelayanan publik, seperti regulation impact assesment sebagai alat evaluasi kebijakan pelayanan publik yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positifnya. Sebagaimana pernyataan Rosenbloom dalam Hughes (1994), Administrasi Negara berarti penggunaan teori-teori manajemen, politik dan hukum dalam proses pemenuhan mandat pemerintahan baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk menjalankan fungsi pengaturan dan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan maupun kepada sebagian dari mereka. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Oleh karenanya salah satu fungsi utama Administrasi Negara tidak lain adalah memberikan pelayanan publik yang sifatnya lebih urgen dibandingkan pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta kepada masyarakat. Sifat urgen ini dapat dicontohkan misalnya pelayanan dalam penyediaan air bersih bagi seluruh wilayah kota, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta pelayanan menjaga ketertiban dan keamanan kota dan sebagainya. Disisi lain sifat dari pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya tidak didasarkan atas perhitungan rugi-laba melainkan lebih pada rasa pengabdian kepada masyarakat umum. Dari kedua ciri pelayanan umum yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah tersebut, dapat dipahami bahwa sesungguhnya profesi aparatur pemerintah tidak lain dituntut untuk menjadi service provider yang memiliki kriteria sebagaimana sifat dari pelayanan itu sendiri. Dalam hal ini jelas masing-masing dituntut untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan menggunakan suatu keahlian dan standar moral atau etika tertentu dan memiliki jiwa pengabdian yang sungguh-sungguh terhadap masyarakat yang dilayaninya. Karakteristik atau ciri-ciri seperti disebut di atas mencerminkan profesionalisme aparatur pemerintah. Namun pada kenyataannya hal itu masih perlu terus diupayakan dan ditingkatkan karena fenomena menunjukkan kondisi yang masih jauh dari harapan. Menyadari akan tugas utama mereka, tentunya pemberian pelayanan publik dengan mengutamakan produktivitas dan kualitas bukan lagi merupakan anjuran tetapi sudah otomatis menjadi standar kegiatan demi terwujudnya kepuasan masyarakat pada umumnya dan pelanggan secara khusus. Kealphaan dalam menciptakan kualitas layanan, maka akan mendatangkan banyak problema, polemik yang berkembang luas dan akhirnya membentuk citra negatif bagi organisasi pemerintah itu sendiri. Dewasa ini polemik atau bahkan citra negatif di kalangan sebagian organisasi pemerintah telah terlanjur terbentuk. Satu-satunya jalan bagi pemulihan citra atau pelayanan jasa adalah dengan cara mengubah budaya kerja dari yang kurang menghargai mutu menjadi budaya yang menjunjung tinggi mutu dan etos kerja. Dari semua itu yang terpenting adalah memahami betapa telah terjadi perubahan paradigma yang signifikan terhadap peran dan fungsi birokrasi pemerintahan dalam menjalankan manajemen publik. Perubahan-perubahan penting tersebut sebenarnya merupakan respon dari serangkaian fenomena yang terjadi yakni pertama, danya kritikan yang keras terhadap sektor publik; kedua, adanya perubahan dalam teori ekonomi; dan ketiga, globalisasi sebagai kekuatan ekonomi (Hughes,1994). Secara ontologis, reformasi paradigma government menuju governance berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokrasi yang semula melayani kepentingan kekuasaan menjadi peningkatan kualitas pelayanan publik (Osborne dan Gaebler:2000;208-212, Denhardt and Denhardt:2007;28-29). Sebuah teorema dalam good local governance memperlihatkan bahwa variabel eksistensi pemerintahan dependen terhadap variabel eksistensi masyarakat. Artinya, pemerintah ada karena ada masyarakat. Untuk itu, revisi kerangka pikir birokrat yang selama ini cenderung feodal menjadi membangkitkan kesadaran para birokrat bahwa masyarakat adalah tax payer (pembayar pajak) yang menjadi sumber pendapatan negara (pemerintah daerah) untuk menggaji para birokrat. Sebagai konsekuensinya, para birokrat seharusnya memprioritaskan pelayanan publik bukan melanggengkan kepentingan kekuasaan suatu rezim atau memelihara budaya patron-klien dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sejalan dengan uraian sebelumnya, ringkasnya peran birokrasi perlu direformasi kembali dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Osborne dan Gaebler (2000), Frederickson (1997), Denhardt and Denhardt (2007) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang berubah, aparatur pemerintah harus merubah perilakunya ke arah yang lebih kondusif seiring dengan perkembangan masyarakat. Artinya, pemerintah baik secara institusional maupun aparatur secara personal diharapkan beradaptasi melalui perampingan struktur, fleksibilitas, ketanggapan serta kemampuan untuk bekerjasama dengan semua pihak. Muncullah paradigma administrasi publik kontemporer, paradigma yang dibangun di atas tiga pilar governance, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan swasta (Charles T. Goodsell, 2003; Dwiyanto, 2006:19). Kemudian, Sujarwoto dan Yumarni (2007:556-558) menjelaskan inti dari teori governance adalah koordinasi, kolaborasi dan penyebaran kekuasaan di mana kekuasaan
91
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance
Halaman
92
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance yang semula didominasi oleh negara didistribusikan kepada aktor-aktor di luar negara yang ada di sektor swasta maupun masyarakat sipil. Paradigma ini menghendaki adanya pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang dari ketiga pilar tersebut, sehingga diharapkan akan terjadi check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jelasnya, dalam buku Osborne dan Gaebler (2000;22) diuraikan 10 prinsip dasar yang perlu direformasi di balik bentuk pemerintahan baru yang sedang muncul, yang dianalogkan dengan „jari- jemari yang bersama-sama memegang setir baru“. Kesepuluh jari ini membentuk suatu keseluruhan yang saling berlengketan, sebuah model pemerintahan baru, tetapi mereka tidak akan memecahkan semua masalah. Melainkan jika pengalaman organisasi yang telah diperoleh mereka ini menjadi pembimbing, prinsip tersebut akan memecahkan masalah-masalah besar dengan pemerintahan yang birokratis. Adapun kesepuluh prinsip dasar yang perlu direformasi pada birokrasi pemerintah dalam pemberian pelayanan yang berorientasi terhadap pelanggan atau warga negara, yaitu: 1). Steering rather than rowing (mengarahkan ketimbang melayani). Hal ini berkaitan dengan cara kerja pemerintah yang terlalu mendominasi penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karenanya, dominasi tersebut perlu direduksi secara gradual untuk selanjutnya diserahkan pada civil society ataupun swasta; 2). Empowering rather than serving (memberdayakan daripada melayani). Artinya, pemerintah dituntut untuk melakukan pemberdayaan atau penguatan agar potensi masyarakat dapat tumbuh dan berkembang bukan hanya dilayani terus atau dicekoki; 3). Injecting competition into service delivery (menginfiltrasikan nuansa kompetisi dalam penyediaan layanan). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah lebih memperhatikan pada kualitas penyediaan layanan yang disediakan bukan sekedar kuantitasnya saja, sehingga tercipta suasana yang kondusif dan terlepas dari warna korupsi dan nepotisme; 4). Transforming rule-driven organization (mentransformasikan aturan menjadi organisasi yang terdorong oleh misi). Artinya, organisasi pemerintah diharapkan memiliki inisiatif dan tidak kaku dengan aturan; 5). Funding outcome not input (perubahan orientasi dari masukan menuju hasil). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah berupaya secara baik untuk memaksimalisasikan input baik berupa anggaran maupun sumber daya lainnya menjadi hasil yang optimal; 6). Meeting the needs of customer not the bureaucracy (memenuhi kebutuhan pengguna layanan bukan birokrasi). Artinya, yang diutamakan dalam pelayanan adalah pemenuhan kebutuhan pelanggan. Birokrasi sebaiknya tidak memaksakan agar kepentingannya turut pula diakomodir dalam pelayanan tersebut; 7). Earning than spending (mencari daripada mengeluarkan). Hal ini dimaksudkan agar organisasi pemerintah lebih diupayakan mengakumulasi sumber daya daripada terus-menerus menggunakannya. Bahkan dituntut lebih jauh lagi, yakni kemampuan birokrasi untuk melakukan investasi dengan sumber daya yang dimilikinya; 8). Prevention rather than cure (mencegah daripada mengobati). Artinya, birokrasi diharapkan mengupayakan berbagai upaya-upaya prevensi agar tidak terjadi dampak yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, setiap aktivitas birokrasi harus memiliki kalkulasi yang baik terhadap kebijakan yang akan ditempuhnya, sehingga birokrasi menghindarkan diri dari masalah bukan melakukan pemecahan masalah; 9). From hierarchy to partisipation and team work (dari hirarki berubah menjadi partisipatif dan kerjasama dalam tim). Artinya membangun pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan demikian akan terbangun birokrasi yang lebih terbuka terhadap partisipasi bawahan dan mampu untuk saling bekerjasama bukan sebaliknya memelihara senioritas dan hirarki; 10). Leveraging change trough the market (mendongkrak perubahan melalui pasar). Hal ini dimaksudkan agar pemerintah lebih berorientasi pada pasar untuk melakukan berbagai perubahan sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat Osborne dan Gaebler (2000;22). Sejalan dengan uraian di atas, berarti dalam mereformasi birokrasi pelayanan publik menuju good local governance tidak boleh mereformasi birokrasi setengah hati melainkan haruslah mereformasi birokrasi sepenuh hati. Jadi, harus memang benar-benar sungguhsungguh sebagaimana yang dialami oleh negara-negara maju dalam menghadapi kritikan terhadap sektor publik, yang paling keras terjadi antara 1980-an hingga 1990-an, utamanya terhadap kapabilitas organisasi publik di Amerika Serikat dan Inggris. Hal yang menjadi sorotan pada saat itu, pertama adalah besaran birokrasi yang menyerap begitu banyak sumberdaya. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance Respon terhadap kritikan tersebut adalah pemangkasan ukuran birokrasi beserta anggaran pengeluarannya. Kedua, kritik terhadap ruang lingkup kegiatan birokrasi yang dirasa terlalu luas memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagai respon terhadap hal ini adalah dialihkannya sebagian aktivitas ke sektor swasta antara lain melalui privatisasi, contracting out dan sebagainya. Ketiga, kritikan yang selalu dimunculkan adalah terhadap cara kerja atau metode yang diterapkan oleh birokrasi pemerintah dimana selama ini dianggap terlalu prosedural, kaku, dan mengakibatkan inefisiensi. Sebagai respon terhadap kritikan tersebut adalah dengan mengubah metode yang diterapkan menjadi lebih fleksibel.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Di Indonesia, proses penyediaan pelayanan publik dapat diilustrasikan bahwa untuk mengakses sebuah layanan maka warga negara terlebih dahulu harus menyampaikan permintaan kebutuhan atas suatu pelayanan kepada Negara. Negara kemudian memproses permintaan tersebut melalui interaksi antara politisi dan pembuat kebijakan sehingga dirumuskanlah penyediaan pelayanan yang dimaksud. Selanjutnya rumusan tersebut disampaikan kepada organisasi pemerintah (organisasi publik) dan diteruskan kepada unit pelayanan. Baru setelah itu, pelayanan yang dibutuhkan dapat disajikan kepada masyarakat. Menurut Leo Agustino (2005;203) penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas di Indonesia umumnya masih tersandung dengan sejumlah masalah di antaranya kinerja aparatur yang masih buruk, diskriminasi, serta terbangunnya budaya paternalistik yang menyebabkan terjadinya rente birokrasi. Fokus pelayanan publik pada akhirnya bukan bermuara pada upaya yang sistematik dan rasional guna memenuhi kebutuhan warga negara melainkan kepada pembuat kebijakan dan politisi yang kurang mempedulikan pelayanan yang diterima oleh warga negara karena berfokus pada sejauh mana politisi menyetujui pengajuan anggaran yang diusulkan. Padahal konsepsi The New Public Administration yang ditawarkan oleh H. George Frederickson (2003;10) memfokuskan pada daya tanggap terhadap kebutuhan warga negara bukan kepada kebutuhan negara (state) dan organisasi penyedia layanan atau service provider. Sebagaimana juga dinyatakan Osborne dan Gaebler (2005;101-221), penyelenggaraan pelayanan publik ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan pengguna layanan bukan birokrasi penyelenggara pelayanan. Oleh karenanya, meskipun kinerja pelayanan lembaga tersebut kurang memuaskan, masyarakat tidak memiliki pilihan yang lain selain harus mengakses pelayanan dimaksud. Instansi penyedia jasa (sektor publik) layanan publik khususnya yang dikelola secara sentralistik oleh pemerintah tidak menghadapi kekhawatiran akan ditinggalkan oleh pengguna layanannya. Kondisi ini jelas menyalahi azas pelayanan publik, yaitu keseimbangan hak dan kewajiban antara Penyelenggara dan Pengguna Layanan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yaitu transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, serta keseimbangan hak dan kewajiban. Sedangkan prinsip pelayanan publik ini, antara lain adalah tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika. Dilihat dari akar sejarahnya, inovasi di sektor publik bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi kelangsungan hidup organisasi. Berbeda dengan sektor swasta yang menggantungkan diri pada konsumen dan dalam hidupnya selalu mengadakan perubahanperubahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan serta kebutuhan konsumen. Antara sektor publik dan sektor swasta berada dalam tensi yang berbeda dalam perjalanan hidupnya. Terbiasa dalam kondisi dan situasi yang “terproteksi” secara politis membuat sektor publik tidak mampu bergerak secara bebas. Orientasi kerja dari sektor publik dengan demikian lebih terfokus pada aspek politis ketimbang berorientasi pada publik. Dari uraian di atas, sektor publik menghadapi tantangan besar, baik secara internal maupun eksternal. Dengan tingkat kemajuan teknologi informasi dan membaiknya angka melek huruf dan tingkat kesejahteraan masyarakat membawa konsekuensi terhadap meningkatnya
93
C. INOVASI PADA SEKTOR PUBLIK
Halaman
94
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance harapan untuk terjadinya perbaikan pelayanan publik. Selain itu, era globalisasi ekonomi pun menuntut satu kecakapan baru dari sektor publik untuk bisa bersaing dengan negara lain agar memiliki daya tarik dalam investasi. Ketika pelayanan publik masih dalam kondisi seperti sekarang ini yang banyak dinilai masih dalam kondisi kinerjanya yang rendah maka untuk mengantisipasi kebutuhan dan perubahan lingkungan yang begitu cepat dan mengglobal tersebut diperlukan upaya mentransformasi sektor publik melalui kebijakan inovasi. Demikian halnya dengan aspek akuntabilitas di sektor publik lebih bersifat politis karena cara kerja dan pembiayaannya berasal dari anggaran pemerintah. Seringkali pertanggungjawaban sektor ini lebih bersifat politis. Mekanisme kerja sektor publik lebih banyak diatur melalui perundang-undangan sehingga mengurangi daya inovasinya. Berbeda dengan sektor swasta yang lebih terbuka dalam mengelola manajemen organisasi memberikan ruang gerak yang cukup lebar untuk melakukan inovasi. Beberapa isu strategi yang membedakan sektor swasta dengan sektor publik tersebut di atas menjadikan pesimisme sebagian kalangan bahwa tingkat inovasi di sektor publik bisa berjalan dengan baik. Inovasi di sektor publik dinilai akan bisa berjalan dengan baik dan bisa memberikan dampak yang positif bagi meningkatnya kinerja di sektor ini, misalnya seperti transparansi dan akuntabilitas jika didukung oleh infrastruktur yang memadai, termasuk infrastruktur politik (kebijakan). Menurut Alberti dan Bertucci (2006;15-17), ada beberapa faktor penting yang dibutuhkan agar inovasi di sektor publik bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan, yaitu: 1). Kepemimpinan yang efektif; 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia; 3. Budaya Organisasi; 4. Team Work; 5. Networking dan Partnership. Pertama, Kepemimpinan yang Efektif. Kepemimpinan yang mendukung proses inovasi merupakan syarat utama bagi terjadinya inovasi pemerintahan. Tanpa kepemimpinan yang efektif maka sulit sekali mengarahkan program pemerintahan yang mendukung proses inovasi. Kepemimpinan ini tidak hanya berarti adanya pemimpin yang mendukung proses inovasi melainkan juga melibatkan adanya arahan strategis proses inovasi yang menjadi landasan operasional proses inovasi bagi seluruh elemen organisasi. Proses inovasi membutuhkan pemimpin yang mampu melakukan perubahan, mampu menyadarkan banyak pihak akan arti penting inovasi dan mampu menggerakkan serta memberi teladan yang mendukung proses inovasi. Jadi bukan seperti para pejabat eselon II di Kabupaten Tapanuli Tengah, di mana mereka menyetujui pengadaan kelima Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang telah diadakan tetapi kebijakan-kebijakannya kurang mendukung untuk menerapkannya. Berkaitan dengan penerapan inovasi dalam governance maka kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pimpinan/administrator haruslah kebijakan-kebijakan yang mendukung penerapan inovasi teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti kegiatan dalam pengurusan dokumen-dokumen administratif, misalnya KTP (Kartu Tanda Penduduk), SIM (Surat Ijin Mengemudi), Paspor, STNK (Surat Tanda Nomor Kenderaan), Kartu Keluarga, Surat Akte Kelahiran, Perkawinan, Kematian, SIUP (Surat Ijin Usaha Perusahaan), dan lain-lain. Demikian juga dalam hal pembayaran rekening Listrik, Air Bersih, Telepon, Pajak ataupun pungutan lainnya dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi seperti, ATM (Anjungan Tunai Mandiri), sehingga masyarakat tidak perlu mengantri atau berpanas-panasan. Jadi, proses penyelenggaraan pelayanan publik lebih efisien dan efektif. Inilah yang disebut Adriwati (2001;300) sebagai Electronic Government (e-gov), yaitu sistem informasi yang menggunakan internet dan teknologi digital lain untuk melakukan transaksi, layanan publik, komunikasi, koordinasi dan manajemen organisasi pemerintah, yang meliputi layanan government to government, government to business dan government to society. Untuk itu harus ada sentuhan- sentuhan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik agar proses penyelenggaraan pelayanan publik dimaksud menjadi lebih efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Jadi, pimpinan/administrator organisasi publik yang efektif berarti pimpinan yang melakukan pemikiran ulang secara mendasar, radikal, dan fundamental proses kerja dalam pemerintahan (Government Process Reengineering) sehingga menjadi lebih efisien, efektif, transparan dan akuntabel. E- government dan e-administration merupakan salah satu contoh dari kegiatan Government Process Reengineering, yakni misalnya mengundang rapat melalui Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
email, bukan dengan memperbanyak undangan dan menyebarkannya satu persatu. Undangan rapat dengan e-mail tentunya lebih efisien. Sebagai bahan perbandingan, Kabupaten Sragen (yang tidak asing lagi bagi kita) juga telah melakukan inovasi bagi birokrasinya, yakni dengan membagikan fee jasa konsultan proyek pengembangan teknologi informasinya kepada pegawainya dan tetap memasukkan sebagian fee tersebut ke pos pendapatan asli daerah. Bupati Sragen telah kreatif terhadap birokrasinya dengan melaksanakan inovatif reward system kepada pegawainya sehingga pelayanan pemerintah lebih baik melalui program e-government-nya, e-administration-nya dan eprocurement-nya. Di Provinsi Jawa Barat, gubernurnya juga telah melakukan inovasi pelayanan publik dengan e-procurementnya (harian Kompas, 28 Desember 2009). E-procurement atau pelelangan pengadaan barang/jasa dengan bantuan internet di Provinsi Jawa Barat telah mencegah praktek korupsi yang marak terjadi dalam birokrasi Indonesia. Sejak tahun 2009, Provinsi Jawa Barat mengaplikasikan layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Sampai dengan tanggal 30 Nopember 2009 telah diproses 688 paket lelang dengan 4.996 perusahaan yang mendaftar secara online. Dari sisi anggaran, tiap paket lelang layanan pengadaan barang dan jasa secara elektronik mampu menghemat anggaran Rp 3 juta. Dengan 692 paket yang dilelangkan, diperoleh efisiensi Rp 2,076 juta. Ringkasnya, Government Process Reengineering merupakan inovasi birokrat, yang memerlukan kreativitas agar birokrasi mampu menghadapi perubahan di masa mendatang. Kedua, Pengembangan Sumber Daya Manusia. Kemampuan berinovasi pegawai akan berlanjut jika disediakan akses terhadap teknologi dan pengetahuan mutakhir. Akses ini merupakan sarana adopsi pengetahuan yang senantiasa dibutuhkan untuk berinovasi. Penyediaan akses yang memadai bagi pegawai adalah sama pentingnya dengan melakukan pengembangan pegawai itu sendiri. Tanpa akses yang memadai maka pengetahuan dan keahlian pegawai akan cepat usang karena tertinggal dengan kemajuan pengetahuan yang berkembang secara dinamis. Keusangan ini pada titik tertentu justru akan memunculkan masalah bagi pemecahan masalah-masalah sektor publik mengingat kebutuhan masyarakat sudah pasti berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Dengan demikian, pengetahuan dan keahlian yang usang bukannya akan menjadi bagian dari solusi bahkan akan menjadi bagian dari masalah sektor publik itu sendiri. Perubahan mind-set birokrat harus dilakukan guna peningkatan inovasi dan kreativitas birokrat. Mintzberg (2000;432-433) menyatakan “to innovate means to break away from established patterns, so the innovative organization cannot rely on any form of standardization for coordination” (menginovasi berarti berhenti dari proses biasa, sehingga berinovasi dalam organisasi tidak dapat bergantung pada bentuk standar koordinasi. Jadi para penyedia layanan publik harus semakin memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang kebutuhan masyarakat supaya dia lebih berkompeten dalam menjalankan pelayanan publik. Preskill dan Boyle (2008;454) menyebutnya “Sustainable Evaluation Practice” (Praktek Evaluasi yang Berkelanjutan), yang menurut John Mayne (2008;5) harus didukung “an evaluative culture” (budaya evaluatif). Penyelenggara layanan publik lebih baik mencegah munculnya masalah daripada menyelesaikan masalah (Anticipatory Government: Prevention rather than cure). Hal ini mengisyaratkan perlunya kemampuan birokrasi mengantisipasi ke depan, dan untuk itu diperlukan knowledge based serta profesionalisme aparat (Osborne dan Gaebler; 2000;249). Ketiga, Budaya Organisasi. Kepemimpinan inovasi yang berhasil dapat menjadi stimulan utama bagi keberhasilan membangun sistem inovasi namun tetap tak mampu menjamin keberlangsungannya. Untuk itu dibutuhkan upaya dalam membangun budaya inovasi. Arti penting budaya menjadi sangat besar bagi kelangsungan hidup terutama bila dikaitkan dengan upaya sektor publik untuk mengatasi berbagai masalah dalam adaptasi atas berbagai perkembangan dan perubahan eksternal dan integrasi kekuatan internal. Budaya dapat memiliki pengaruh yang bermakna pada sikap dan perilaku pegawai, terutama karena budaya melakukan sejumlah fungsi dalam suatu organisasi. Unit-unit organisasi disesuaikan dengan ketidakpastian lingkungan dengan mengadakan perubahan-perubahan internal, seperti sumber daya organisasi dan pembentukan budaya organisasi.
95
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance
Halaman
96
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance Merubah gaya kepemimpinan yang otoriter, kaku, dan tertutup terhadap sumber daya manusia di dalam organisasi menjadi gaya kepemimpinan yang transformatif (transformational leadership), artinya kepemimpinan yang memiliki visi ke depan dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan serta mampu mentransformasikan perubahan tersebut ke dalam organisasi sehingga dapat memberikan motivasi, inspirasi, kreativitas dan inovasi kepada para anggota organisasi dan membangun teamwork yang solid melalui budaya organisasi yang sesuai dengan perubahan lingkungan. Kondisi yang sehat di antara individu dan organisasi akan bermanfaat untuk keduanya, manusia akan menemukan penuh pengertian dan kepuasan kerja, dan organisasi akan mendapatkan manusia yang berwibawa serta energi yang dibutuhkan. Untuk mempertahankan kondisi organisasi yang sehat ini, tentunya tidaklah mudah mengubah budaya organisasi, apalagi jika nilai-nilai budaya organisasi yang akan diubah itu sudah berlaku bertahun-tahun. Tentunya ada beberapa pendekatan, namun penulis memilih pendekatan indoktrinatif, yaitu menggunakan pendidikan dan pelatihan, dengan fokus pada konsep perubahan budaya organisasi sesuai dengan perubahan lingkungan melalui proses belajar. Pendekatan ini dilakukan secara bertahap dari eselon atas bertahap ke bawah secara kontinyu, hingga budaya organisasi baru dimaksud menjadi lem (perekat) di antara sesama mereka dalam organisasi serta dengan lingkungan organisasi yang berubah. Sekali lagi, membangun budaya organisasi yang efektif bukanlah pekerjaan yang mudah dan membutuhkan pengorbanan sumber daya ekonomi dalam jumlah yang tidak sedikit. Menurut penulis, budaya organisasi yang efektif adalah yang memiliki paling sedikit tiga sifat, yaitu pertama, kuat (strong) artinya budaya yang dibangun tersebut harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku setiap individu terhadap goals, objectives, persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan, interaksi sosial dan norma-norma bersama sehingga mereka mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka dalam arah dan tujuan yang sama dengan semangat yang sama pula; kedua, dinamis dan adaptif maksudnya bahwa budaya organisasi yang dibangun atau didesain harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi; ketiga, fits dengan tujuan organisasi artinya bahwa budaya organisasi yang dibangun harus berhubungan dengan konteks di bidang apa organisasi tersebut bergerak sehingga dapat berperan meningkatkan kinerja dalam jangka panjang. Keempat, Team Work. Pada dasarnya tim berbeda dengan sekedar kelompok biasa. Jikalau kelompok hanya mencerminkan kumpulan dari beberapa orang maka tim memiliki makna yang lebih dalam yakni kumpulan orang atau kelompok yang memiliki tujuan dan komitmen bersama. Pengembangan inovasi membutuhkan kerja tim karena sistem inovasi pada dasarnya bukanlah pekerjaan individual. Keberadaan tim dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai hal yang tak dapat diselesaikan secara perseorangan. Namun demikian, pembentukan tim tak sekedar dari diterbitkannya Surat Keputusan (SK) pembentukan tim karena pada umumnya ada tim yang selaras dan ada tim yang tak selaras. Pembelajaran tim dibutuhkan untuk membangun tim yang selaras, yakni sebuah tim sinergis yang memadukan seluruh potensi anggota tim pada tujuan yang sama dengan komitmen yang sama. Pembelajaran tim merupakan proses penyelarasan dan pengembangan kapasitas anggota tim untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kelima, Networking dan Partnership. Penyerapan pengetahuan yang berasal dari eksternal organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode mulai dari yang termudah sampai yang tersulit. Riset dan pengembangan, lisensi penggunaan layanan, kerjasama operasi, konsultasi pengembangan, dan pengamatan merupakan metode penyerapan pengetahuan eksternal. Eksperimentasi juga merupakan proses inovasi yang sangat baik meskipun dibutuhkan manajemen imbalan yang memadai sehingga kesalahan yang terjadi justru mempercepat pengembangan pengetahuan. Sistem magang pegawai negeri ke berbagai lembaga luar juga merupakan salah satu cara mempercepat penyerapan pengetahuan eksternal. Pendidikan pegawai ke berbagai lembaga pendidikan yang bereputasi juga merupakan metode ampuh untuk menyerap pengetahuan dan memperkaya gagasan-gagasan inovasi sektor publik. Namun demikian, instrument yang palinefektif untuk menyerap dan mengembangkan pengetahuan adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance memungkinkan keterlibatan banyak pihak dengan pihak-pihak internal organisasi serta memutus trade-off antara kualitas dan kuantitas informasi. Adriana Alberti and Guido Bertucci (UN;2006) memaparkan beberapa prinsip dan strategi yang menjadi ciri adanya inovasi dalam governance, yaitu integrating services; decentralization services delivery; utilizing partnership; engaging citizen and taking advantage of information and communication technologies. Pelayanan terintegrasi (integrating services) merupakan satu ide menggabungkan beberapa jenis layanan yang ditempatkan dalam satu space tertentu “one –stop shop”. Di Indonesia model pelayanan ini terwujud dalam model pelayanan satu atap. Model pelayanan terintegrasi ini akan memberikan keuntungan bagi pihak provider maupun costumer. Bagi provider memberikan keuntungan untuk memudahkan pemberian pelayanan dan kontrol terhadap persyaratan yang dibawa oleh customer. Sementara itu, keuntungan yang diperoleh oleh customer dengan model pelayanan “single entry point” ini adalah kemudahan untuk mendapatkan pelayanan tanpa harus melalui beberapa pintu yang banyak dijumpai dalam pelayanan publik model konvensional. Pemberian layanan terdesentralisasi menekankan pentingnya mendekatkan pelayanan kepada customer pada level yang paling bawah, misalnya pelayanan kesehatan melalui kartu jaminan kesehatan masyarakat yang diterapkan di DKI (awalnya di Daerah Khusus Indonesia) dan saat ini sudah hampir di seluruh Indonesia. Mekanisme desentralisasi pemberian layanan ini akan menjamin terjadinya responsiveness dan customization pada level yang tinggi. Partnership pada hakekatnya adalah satu bentuk kerjasama atau kolaborasi antara sektor publik dengan sektor swasta dalam pemberian layanan publik. Model partnership ini akan memberikan keuntungan yang lebih baik dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki dan meningkatkan efisiensi pemberian layanan publik. Engaging citizen pada prinsipnya memberikan keleluasaan bagi citizen untuk terlibat dalam aktivitas layanan publik, termasuk memberikan masukan dalam formulasi kebijakan dan proses pengawasan. Aspek terakhir inovasi dalam governance adalah memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memudahkan akses citizen dalam layanan publik. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pemberian layanan menjadi salah satu prinsip untuk melihat adanya inovasi dalam governance.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Gerakan manajemen kualitas yang dipelopori oleh Deming dengan manajemen mutu terpadu (dalam Osborne dan Gaebler:2000;24), selalu menganjurkan pentingnya orientasi terhadap pelanggan, karena pelangganlah yang menentukan kualitas. Hal ini sejalan dengan batasan kualitas, yakni kualitas adalah “…keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang telah ditentukan atau yang bersifat latent”. Konsep kualitas tersebut bersifat relatif, yaitu bergantung pada perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri dan spesifikasi barang atau jasa yang dibutuhkan. Relatif dalam hal ini jelas tergantung pada sudut pandang mana pelanggan menilainya sesuai dengan kebutuhan dan manfaat yang dirasakan. Orientasi terhadap pelanggan dalam konteks manajemen publik dimaknai secara lebih luas adalah bagaimana birokrasi pemerintah bersama-sama dengan legislatif dapat menghasilkan kebijakan publik yang mencerminkan kepentingan publik (public interest) dan selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik pula (accountability).Konsep pelanggan atau konsumer dalam pelayanan publik mungkin tidak terlalu tepat. Dalam konteks administrasi publik konsep yang lebih tepat digunakan adalah citizen atau warga negara (Denhardt and Denhardt:2007;28). Klien citizen jelas berbeda dengan klien konsumer, konsumer dapat melakukan exit terhadap suatu produk atau jasa yang tidak berkualitas, sedangkan citizen tidak memiliki pilihan lain. Apa yang dapat mereka lakukan adalah “Voice” (pengaduan). Oleh karenanya menurut Hirschman’s (1970) para manajer publik diharapkan menciptakan suatu mekanisme untuk mendengarkan dan warganegara untuk melakukan exit, maka sebagai konsekuensinya pemerintah justru harus lebih reponsif dan fleksibel dalam pemberian pelayanan publik, misalnya dengan membentuk lembaga penanganan keluhan
97
D. KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Halaman
98
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance secara terstruktur, membangun sistem evaluasi kinerja yang memperhatikan keluhan warga, serta membangun cara kerja dan budaya kerja yang menjunjung tinggi kualitas pelayanan kepada masyarakat. Ketidakpekaan terhadap keluhan masyarakat (yang hendaknya lebih diposisikan sebagai pelanggan-warganegara) akan berakibat pada tingginya tuntutan warga masyarakat untuk dilakukannya perubahan secara struktural terhadap sistem pelayanan publik (McKevitt,1997). Dalam rangka untuk terus memenuhi tuntutan masyarakat sebagai konsumen tersebut, paradigma kualitas pelayanan menjadi determinan dalam proses pelayanan publik.Prinsip – prinsip Total Quality Management (TQM) seperti yang telah disinggung di atas, menjadi suatu guidance wajib di kalangan public sector manajer. Selain itu dalam pelaksanaannya tidak jarang disertai dengan praktek re-engineering, empowernment karyawan, serta bersikap lebih sebagai service provision ketimbang service provider. Dari pendekatan consumerism yang memfokuskan pada kualitas pelayanan, konsep empowernment berarti juga adalah dalam rangka memahami keinginan publik, mereka diberdayakan untuk dapat memahami permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri. Dengan demikian melalui konsep empowernment dan penerapannya akan tercipta suatu masyarakat yang mandiri. Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk, berkualitas atau tidak berkualitas. Berkenaan dengan hal tersebut, Zeithaml et.al. (1990:16) mengatakan bahwa SERVQUAL (Service Quality), is an empirically derived method that may be used by service organization to improve service quality. The method involves the development of an understanding of the perceived service needs of target customers. These measured perceptions of service quality for the organization in question, are then compare against an organization that is “excellent”. The resulting gap analysis may then be used as a driver for service quality improvement.Selanjutnya, Zeithaml et.al. (1990:21-22) menyatakan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh dua hal, yaitu expected service dan perceived service.Expected service dan perceived service ditentukan oleh dimention of service quality yang terdiri dari sepuluh dimensi, yaitu : (1) Tangibles. Appearance of physical facilities, equipment, personnel, and communication materials; (2) Reliability.Ability to perform the promised service dependably and accurately; (3) Responsiveness.Willingness to help customers and provide prompt service; (4) Competence.Possession of required skill and knowledge to perform service; (5) Courtesy.Politeness, respect, consideration and friendliness of contact personnel; (6) Credibility. Trustworthiness, believability, honesty of the service provider; (7) Feel secure. Freedom from danger, risk, or doubt; (8) access.Approachable and easy of contact; (9) Communication. Listens to its customers and acknowledges their comments. Keeps customers informed. In a language which they can understand; and (10) Understanding the customer. Making the effort to know customers and their needs. Berdasarkan pendapat Zeithaml, dkk tersebut, dikemukakan bahwa ukuran kualitas pelayanan memiliki 10 (sepuluh) dimensi, yaitu Tangible (Terlihat/Terjamah), terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi; Reliability (kehandalan), terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat; Responsiveness (tanggap), kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan; Competence (kompeten), tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan; Courtesy (ramah), sikap atau perilaku ramah bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; Credibility (dapat dipercaya), sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat; Security (merasa aman), jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan resiko; Access (akses), terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan; Communication (komunikasi), kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu untuk menyampaikan informasi baru kepada masyarakat; dan Understanding (memahami pelanggan), melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance Kemudian dari 10 dimensi kualitas pelayanan tersebut, Zeithaml et.al. (1990:26) menyederhanakannya menjadi 5 (lima) dimensi, yaitu (1) Tangibles. Appearance of physical facilities, equipment, personnel, and communication materials; (2) Reliability.Ability to perform the promised service dependably and accurately; (3) Responsiveness.Willingness to help customers and provide prompt service; (4) Assurance.Knowledge and courtesy of employees and their ability to convey trust and confidence; and (5) Empathy. The firm provides care and individualized attention to its customers. Dari pendapat Zeithaml, dkk. yang telah dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam mereformasi pelayanan publik yang diberikan birokrasi pemerintah terhadap pelanggan atau warga negara harus bermula dari mengenali kebutuhan atau kepentingan pelanggan atau warga Negara dan berakhir pada persepsi pelanggan atau warga negara. Hal ini berarti bahwa gambaran kualitas harus mengacu pada pandangan pelanggan (warga Negara) sebagai tax payer dan bukan pada pihak penyedia jasa (birokrasi pemerintah) karena pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa layanan dimaksud. Pelanggan atau warga negara layak menentukan pelayanan itu berkualitas baik atau tidak. Apabila jasa atau layanan yang diterima pelanggan lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas layanan dipersepsikan buruk dan apabila jasa atau layanan yang diterima pelanggan lebih tinggi dari yang diharapkan maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Dalam rangka memenuhi tuntutan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas dalam pelayanan publik, pemerintah perlu mengubah strateginya. Setiap program perubahan yang dijalankan oleh pemerintah tentu membawa dampak yang berbeda dalam setiap situasi dan kondisi yang berbeda dari masing-masing negara. Namun program reformasi yang berhasil tentu akan membawa dampak pada peningkatan produktivitas dan kualitas pelayanan publik. Melaksanakan pelayanan publik secara berkualitas dan konsisten bukanlah suatu pekerjaan mudah. Beberapa faktor yang seringkali mempengaruhi derajat kualitas antara lain adalah komunikasi, proses pengendalian, serta konsekuensi dari proses – proses tersebut yang antara lain peran para professional dan munculnya konflik peran yang secara potensial ada antara masyarakat sebagai klien atau konsumer dengan pemerintah atau service provider (McKevitt,1997). Tidak banyak berbeda dengan pelayanan yang diselenggarakan oleh oganisasi privat, pelayanan publik oleh birokrat pemerintahpun perlu dievaluasi dalam kerangka adanya kesenjangan antara harapan konsumer dengan penyedia pelayanan. Sebagaimana studi dari Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1988) yang terkenal dengan gap analysisnya, dapat dilihat bahwa penyediaan pelayanan (service) yang berkualitas sangat tergantung pada kinerja aparat atau petugas pelayanan termasuk di dalamnya adalah kemampuan menyerap dan memahami keinginan konsumennya. Dalam hal ini profesionalisme petugas merupakan sumberdaya yang luar biasa mengingat menciptakan pelayanan yang berkualitas sangat sulit dikontrol (tidak ketat standarnya) tidak seperti kualitas dalam hal produk barang yang lebih terukur dan jelas. Dari beberapa pengalaman, paling tidak dicatat ada tiga elemen penting bagi keberhasilan program perubahan atau reformasi di sektor publik, yang meliputi: (1) penggunaan secara inspiratif pernyataan visi dan misi baru bagi setiap individu di pemerintahan terutama pada ujung tombak pelaksanaan pelayanan publik, (2) penggunaan langkah-langkah sistematis dari teknik-teknik manajerial dalam merumuskan dan menjalankan proses perubahan secara konsisten, (3) penerapan secara teknis analisis dampak perubahan dalam mengukur seberapa jauh tujuan dapat dicapai (Benaisa dalam Zhijian,Z., Deguzman,R.P., dan Reforma,M.A. (1992). Ketiga proses tersebut sangat penting dan menentukan dalam pencapaian kinerja optimal birokrasi pemerintah. Paling tidak hal itu harus diawali dengan adanya kesepakatan bersama diantara elit pemerintah dan para penyelenggara administrasi negara lainnya termasuk unsur legislatif dan yudikatif, tentang tujuan yang hendak diraih, kemudian baru diikuti dengan langkah-langkah perubahan secara sistematis dan terencana serta proses evaluasi yang dilaksanakan secara obyektif dan rutin.
99
E. PELAYANAN PUBLIK DAN GOOD LOCAL GOVERNANCE
Halaman
100
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance Pada dasarnya, setiap pembaruan dan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem pemerintahan yang lebih baik (good governance).United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997 dalam Thoha:2000). Istilah governance menunjuk pada suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, jelas sekali bahwa kemampuan suatu Negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil society sebagai unsur-unsur good governance. Ada 14 (empat belas) karakteristik dari good governance, yaitu : (1) Wawasan ke depan (visionary); (2) Keterbukaan dan Transparansi (openness and transparency); (3) Partisipasi Masyarakat (participation); (4) Akuntabilitas/Tanggung gugat (accountability); (5) Supremasi Hukum (rule of law); (6) Demokrasi (democracy); (7) Profesionalisme dan Kompetensi (professionalism and competency); (8) Daya Tanggap (responsiveness); (9) Keefisienan dan keefektifan (efficiency and effectiveness); (10) Desentralisasi (decentralization); (11) Kemitraan dengan Swasta dan Masyarakat (private and civil society partnership); (12) Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (commitment to discrepancy reduction); (13) Komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market); dan (14) Komitmen pada Lingkungan Hidup (commitment to environmental protection) [http://goodgovernance.bappenas.go.id]. Pada hakekatnya, tujuan tata kepemerintahan yang baik (good governance) adalah tercapainya kondisi pemerintahan yang dapat menjamin pelayanan publik secara seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua komponen pelaku (Negara, masyarakat, dan pihak swasta). Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik dan memuaskan kepada publik menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh instansi pemerintah penyelenggara pelayanan publik. Salah satu ciri good governance adalah transparansi yang dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, di mana seluruh proses pemerintahan dan informasinya dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan. Untuk kepentingan transparansi informasi sebagaimana dimaksud, diperlukan sarana komunikasi yang menjamin kelancaran informasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha, dan tentunya juga komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antar pemerintah daerah. Salah satu upaya untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik adalah mempercepat proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi di bidang administrasi perkantoran, modernisasi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat melalui egovernment(electronic government) sebagai salah satu aplikasi dari teknologi informasi. Pemanfaatan internet dalam aspek-aspek pemerintahan mendorong terwujudnya egovernment, yang diharapkan dapat membawa manfaat dalam: memberdayakan masyarakat melalui peningkatan akses ke informasi, meningkatkan layanan pemerintah kepada masyarakatnya, mempererat interaksi kalangan bisnis dengan pemerintah dalam industri terkait, memperbaiki pengelolaan pemerintahan yang lebih efisien dan transparan. Terminologi “E-Government” dapat diartikan sebagai kumpulan konsep untuk semua tindakan dalam sektor publik (baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengoptimalisasi proses pelayanan publik yang efisien, transparan dan efektif (Kurniawan:2006). Dengan memanfaatkan internet maka akan muncul sangat banyak pengembangan modus layanan dari pemerintah kepada masyarakat yang memungkinkan peran aktif masyarakat di mana diharapkan masyarakat dapat secara mandiri melakukan registrasi perizinan, memantau proses penyelesaian, melakukan secara langsung untuk setiap perizinan dan layanan publik lainnya. Dengan adanya e-government dapat memangkas jalur birokrasi yang ada. E-government (e-gov) bertujuan untuk meningkatkan akses warga negara terhadap jasajasa layanan publik pemerintah, meningkatkan akses masyarakat ke sumber-sumber informasi Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Untuk itu, aparat pemerintah daerah harus diubah paradigmanya sebelum e-gov ini bisa dijalankan dengan baik. Suatu hal yang perlu diingat adalah, bahwa menerapkan e-gov sama sekali tidak sama dengan menjadikan kantor-kantor pemerintahan daerah sebagai lingkungan high-tech (teknologi tinggi), melainkan e-gov bertujuan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk membuat layanan pemerintah daerah lebih dekat pada orang-orang yang menggunakan layanan-layanan tersebut, yaitu masyarakat. Berkenaan dengan penjelasan yang telah diuraikan, ada dua hal utama yang dapat diambil dari pemanfaatan e-gov, yaitu pertama, penggunaan teknologi informasi (salah satunya seperti internet) merupakan alat bantu, dan kedua, tujuan pemanfaatannya yang membuat penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan lebih efisien. Dengan teknologi informasi (internet) seluruh proses atau prosedur yang ada di pemerintahan daerah dapat dilalui dengan lebih cepat asal digunakan dengan tepat. Sama halnya dalam menghadapi era globalisasi yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan yang telah membuat isu-isu semacam demokratisasi, transparansi, civil society, perdagangan bebas menjadi hal-hal utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah, tentunya sangat memerlukan penggunaan teknologi informasi (seperti internet).Dalam format ini, pemerintah harus mengadakan reposisi terhadap perannya dari yang bersifat internal menjadi lebih berorientasi eksternal dan fokus kepada bagaimana memposisikan masyarakat dan pemerintahnya di dalam sebuah pergaulan global. Secara umum pengimplementasian e-gov diyakini akan memperbaiki kinerja pengelolaan pemerintahan di Indonesia. Maraknya korupsi di Indonesia dan rendahnya kepercayaan investor asing terhadap pemerintah Indonesia menunjukkan rendahnya kualitas manajemen pemerintahan Indonesia.Untuk itu diperlukan suatu manajemen pemerintah yang sangat menonjolkan unsur transparansi, sebagai salah satu faktor penting dalam menghilangkan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pemerintahan. Rendahnya transparansi ini menyebabkan sukarnya mekanisme pengawasan berjalan dengan lancar.Salah satu solusi dan alternatif yang menjanjikan untuk menciptakan transparansi adalah sistem pengelolaan pemerintahan secara e-government. Pengelolaanlembaga/instansi secara elektronik baik untuk swasta maupun pemerintah selain meningkatkan transparansi, juga bisa meningkatkan efisiensi (menurunkan biaya dan meningkatkan efektivitas). Pada sisi lain, berbagai masalah yang dihadapi pemerintah daerah dalam menerapkan egovernment, di antaranya adalah masih kurangnya infrastruktur jaringan internet yang tersedia, masalah sumber daya manusia, dan sebagainya. Namun demikian, karena penerapan egovernment sudah menjadi tuntutan masyarakat untuk mendapatkan layanan yang lebih baik, lebih cepat, lebih tepat, lebih mudah, lebih adil, akurat, sesuai dengan harapan warga negara (pelanggan) serta juga karena tuntutan penerapan otonomi daerah maka pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah harus segera menerapkannya dengan segala keterbatasan yang ada. Menerapkan Sistem Informasi Manajemen dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Ringkasnya, e-government diyakini mampu mengurangi peluang penyalahgunaan wewenang dan mengurangi biaya operasional pemerintah, sehingga e-gov semakin mendesak untuk segera diterapkan. Namun, sebagaimana diuraikan sebelumnya, berbagai persoalan teknis maupun kemampuan sumber daya manusia masih menghambat dalam penerapan egov. Sesungguhnya, e- government lebih mendasar dari sekedar komputerisasi dan otomatisasi layanan. Penerapannya amat ditentukan dari political will dari pemerintah daerah, seberapa serius pemerintah daerah mengurangi birokrasi yang selama ini identik dengan uang. Terlepas dari segala kekurangannya, dapatlah disimpulkan bahwa e-gov sangat
101
yang dimiliki pemerintah, menangani keluhan masyarakat dan juga persamaan kualitas layanan yang bisa dinikmati oleh seluruh warga Negara. Purbo (dalam Hardiyansyah:2011;108) menyatakan bahwa e-government bukan cuma sekedar memasang komputer di kantor masingmasing, karena e-gov mempunyai banyak konsekuensi sosial budaya bagi pemerintah (terutama pemerintah daerah), karena e-gov sebetulnya akan memaksa mereka bekerja secara profesional, bekerja bersih, tidak melakukan korupsi, tidak pungli dan lain-lain, karena komputer tidak bisa dibohongi dan tidak bisa mentolerir penipuan- penipuan.
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance urgen dalam mewujudkan good local governance untuk semakin meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap pelanggan atau warga negara sebagai pemilik kedaulatan Negara.Inovasi dan reformasi pelayanan publik bermakna menuju good local governance. Untuk memaksimalisasi proses pelayanan publik yang lebih cepat, lebih tepat, lebih mudah dan efisien, transparan, serta efektif yang merupakan karakteristik dari good local governance dibutuhkan penerapan e-gov.
F. PENUTUP Diawali dengan konsen yang mendalam terhadap peningkatan produktivitas sektor publik, khususnya dalam menyediakan pelayanan publik, tuntutan akan peningkatan kualitas atau pemberian pelayanan prima (exellent service) menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah atau pemerintah daerah untuk dapat memperbaiki citranya. Hal ini mengingat banyaknya kritikan yang mengakibatkan terjadinya krisis identitas di kalangan birokrasi pemerintah yang memandang kinerja privat lebih baik ketimbang kinerja sektor publik dalam pemberian pelayanan publik. Pada sisi lain, masyarakat sebagai citizen-client, seringkali tidak dapat mengandalkan sektor publik untuk urusan-urusan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain-lain yang digolongkan dalam public goods murni. Komplain atau keluhan yang dilontarkanpun seringkali tidak mendapatkan tanggapan secara proporsional dan professional yang pada gilirannya memicu tuntutan dilakukannya perubahan (reformasi) administrasi negara termasuk manajemen publik. Oleh karenanya, di Indonesia sudah waktunya untuk segera berinovasi, mereformasi, reinventing, revitalisasi birokrasi pemerintah dalam pemberian pelayanan terhadap pelanggan atau warga negara. Dalam mereformasi pelayanan publik tidak cukup dengan political will yang setengah hati, melainkan harus dengan cara sepenuh hati, secara sungguh-sungguh dalam melayani warga negaranya menuju good local governance dengan penerapan reformasi dan egovernment. Demikianlah juga halnya Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, mau tidak mau, dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakatnya secara lebih baik haruslah secara sungguh-sungguh dengan sepenuh hati menerapkan reformasi dan e-government.
Halaman
102
DAFTAR PUSTAKA .2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta : Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, PEG-USAID, Bank Dunia. .2006. Innovation in Governance and Public Administration : Replicating What Work, New York : Department of Economic and Social Affairs United Nations. .2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada. .2006.Innovation in Governance, A Report on Proceedings of The First Arab Regional Forum on Innovation in Governance 13-14 Nopember 2006. Adriwati. 2001.Bunga Rampai Wacana Administrasi Publik: Menguang Peluang dan TantanganAdministrasi Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Agustino, Leo. 2005. Politik dan Otonomi Daerah, Untirta Press, Serang. Anonim.2004.Innovation in Governance and Public Administration for Poverty Reduction, in Newsletter, Issues 1, Number 108, Department of Economic and Social Affairs United Nations. Benaissa, Hamdan, Achieving Productivity and Quality Through Adminitrative reform, dalam Zhijian,Z., Deguzman,R.P.,dan Reforma,M.A. (1992) Administrative Reform Towards Promoting Productivity In Bureaucratic Performance. Denhardt, Janet, V. and Robert B. Denhardt.2007.The New Public Service, M.E.Sharpe Inc., New York. Dwiyanto, A. 1995. Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Fisipol UGM, Yogyakarta. Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK : Menuju Good Local Governance
Halaman
103
Flynn, Barbara B., Schroeder, Roger G, dan Sakakibara, S. 1995. The Impact of Quality management practices on Performance and Competitive Advantage, Decision Science, Vol.26, No.5, p.659-691. Frederickson, George, H., 1984, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta. Gasperst, Vincent. 2005.Total Quality Management, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaster,Lucy. 1995.Quality in Public Service: Manager’s Choices, Open University Press, Buckingham. Goodsell, Charles T.2003.A New Vision for Public Administration, e-mail:
[email protected]. Hardiyansyah. 2011.Kualitas Pelayanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasinya, Penerbit Gava Media, Yogyakarta. Hirschman, A. 1970.Exit, Voice and Loyalty, Havard University Press, Chambridge. http://www.menpan.go.id/index.php/liputan-media-index/143-kualitas-pelayanan-publikrendah[16-3-2011] Hughes, Owen E. 1994.Public Mangement and Administration: An Introduction, Martin’s Press, New York, USA. Kepmenpan Nomor: 63/Kep/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kurniawan, Teguh. 2006. Hambatan dan Tantangan dalam mewujudkan Good Government di Indonesia, http://publications-tk.blogspot.com/. Mayne, John. 2008. Building on Evaluative Culture for Effective Evaluation and Results Management, Bioversity International, Rome, Italy, ILAC Working Paper 8, November, Page :1-14. McKevitt, David. 1997.Managing Core Public Service, Blackwell Publishers, Oxford,UOECD.1990. Survey of Public Management Development, Public Management Committee (PUMA), Paris. Mintzberg, H. 2000. The Structuring of Organizations, A Synthesis of the Research, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs. Nugroho, Riant. 2011.Public Policy, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Osborne, David and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Hodson-Wesley Publishing Company Inc., New York. Osborne, David dan Gaebler, Ted.2000. Terjemahan, Mewirausahakan Birokrasi: mentransformasi semangat wirausaha ke dalam sector publik, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali)
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, Tabanan-Bali)
SUBAK: AGROWISATA CONCEPT BASED ON SOCIAL CAPITAL (Case Subak Jatiluwih, Tabanan-Bali) Ida Ayu Fara Febrina Mahasiswi Magang (UGM) Di Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara RI Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 ABSTRACT Subak Jatiluwih is one of the subak that still exist until today in Bali. The existence of Subak Jatiluwih is related with agricultural irrigation system in Bali that was built centuries ago. As time goes by, Bali’s development began to focus on tourism sector, the existence of subak became threatened. This threat cannot be separated from more vigorous growth in the tourism sector over the Bali which then increase the number of wetland conversion. Looking at the trend of the development of tourism sector, government of Tabanan regency saw an opportunity to make Jatiluwih Subak as an object of agrotourism.. The problem in this research can be formulated as follows; "How does the concept of agrotourism development undertaken by the Government in Subak Jatiluwih Tabanan district?". The method used in this research is descriptive qualitative with a case study approach in Subak Jatiluwih, Penebel, Tabanan, Bali. This research shows that in Subak Jatiluwih there is a social capital such as trust, cooperation, social network and norm which role as resources for Subak Jatiluwih which then encourages Subak Jatiluwih to gain status as a World Cultural Heritage (WBD). So the development of concept of agrotourism that based on social capital on Subak Jatiluwih to be a novelty in the construction and development of Subak Jatiluwih Bali in particular and agriculture in general. Keyword: social capital, negotiation, dilemma, policy, agrotourism
104
ABSTRAK Subak Jatiluwih merupakan salah satu subak di Bali yang masih bertahan hingga kini. Keberadaan Subak Jatiluwih tidak dapat dilepaskan dengan adanya sistem pengairan pertanian yang telah dibangun oleh masyarakat Bali berabad-abad yang lalu. Namun sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu, pembangunan di Bali mulai dititikberatkan pada pembangunan di sektor pariwisata, subak di Bali pun mulai terancam keberadaannya. Keterancaman subak ini salah satunya disebabkan oleh semakin tingginya pertumbuhan di sektor pariwisata Bali yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah. Melihat tren perkembangan pariwisata tersebut, Pemerintah Kabupaten Tabanan melihat peluang untuk menjadikan Subak Jatiluwih sebagai sebuah objek agrowisata. Sehingga pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimana konsep pengembangan agrowisata yang dilakukan di Subak Jatiluwih oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan?”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dan dilakukan di Subak Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pada Subak Jatiluwih terdapat suatu modal sosial (local wisdom, kepercayaan, kerjasama, dan jaringan sosial) yang menjadi sumber daya bagi Subak Jatiluwih yang kemudian medorong Subak Jatiluwih untuk memperoleh status sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Sehingga pengembangan konsep agrowisata berbasis modal sosial pada Subak Jatiluwih menjadi hal yang baru dalam usaha pembangunan dan pengembangan Subak Jatiluwih khususnya dan pertanian di Bali umumnya. Kata Kunci: modal sosial, agrowisata, kolaborasi masyarakat, inovasi
Halaman
A. PENDAHULUAN Subak merupakan sebuah organisasi lokal yang terdiri atas sekumpulan petani yang mengelola sistem irigasi yang ada di sebuah persawahan tertentu dan dibatasi oleh sungai, jurang, dan batas fisik lainnya yang tentunya terlihat jelas dan telah ada di Bali semenjak berabad-abad yang lalu. Tetapi yang membedakan subak dengan sistem irigasi tradisional yang Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) lainnya ialah komponen-komponen dalam subak masih sangat kental dengan nilai-nilai dan kearifan lokal (local wisdom) di Bali. Subak dikatakan sebagai organisasi lokal yang berkarakter tekno-sosio-religi yang mengatur tentang sistem pengairan sawah di Bali. Kompleksitas karakter yang dimiliki oleh subak itu muncul karena peran subak itu sendiri. Sebagai sistem irigasi tradisional, subak tidak hanya memiliki fungsi untuk mengatur pembagian air, pemeliharaan fasilitas, penanganan sengketa, tetapi juga untuk penyelenggaraan ritual bagi masyarakat setempat.Subak telah menyentuh sisi sosial, budaya, dan religi yang ada di masyarakat Bali pada khususnya. Masyarakat percaya bahwa keberadaan subak dapat memberikan banyak manfaat bagi pihak yang mengelolanya dengan baik. Salah satu manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat ialah subak sebagai sarana atau media untuk musyawarah dalam rangka memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh petani anggota (krama) subak. Hal ini terkait dengan status subak sebagai lembaga adat yang otonom yang berhak mengurus urusan rumah tangganya sendiri dan memiliki aturan mainnya sendiri yang disebut sebagai awig-awig. Seiring berkembangnya zaman, Subak mengalami berbagai tekanan. Faktanya beberapa tahun belakangan ini jumlah subak di Bali mengalami penyusutan. Semenjak tahun 1980 sampai pada tahun 2006 subak di hampir seluruh kabupaten di Bali mengalami penurunan secara kuantitas. Bahkan pada Kabupaten Tabanan yang terkenal sebagai “lumbung” Bali pun mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari yang awalnya berjumlah 450 hingga menjadi 348 subak yang masih bertahan. Meskipun masih sering terjadi perbedaan jumlah subak antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lain dikarenakan adanya perbedaan pendekatan dalam menginventarisasi subak, tetapi semuanya mengamini bahwa telah terjadi penurunan jumlah subak di Bali dari tahun ke tahun.1Di samping itu, juga terjadi penurunan luas sawah yang cukup signifikan di Provinsi Bali. Kabupaten Tabanan juga tidak terlepas dari tren tersebut, pada grafik berikut ditunjukan bahwa luas areal pertanian di Kabupaten Tabanan setiap tahunnya mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni dari yang awalnya seluas 22,455 hektare pada tahun 2010 menjadi seluas 21,714 hektare pada tahun 2015. Selama kurun waktu lima tahun luas sawah di Kabupaten Tabanan telah berkurang sebanyak 1,251 hektare atau ratarata 250,2 hektare per tahun, angka ini tentunya bukan angka yang kecil. 2 Grafik Perbandingan Luas Lahan Pertanian dengan Lahan Non Pertanian Kabupaten Tabanan Tahun 2010-2015
HA
23.000 22.500 22.000 21.500 21.000 20.500 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 1. Gambar Alif Fungsi Lahan Pertanian di Bali 2010-2015
105
Lahan Non Pertanian
Penurunan luas sawah ini salah satunya diakibatkan karena terjadi alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi di samping untuk memenuhi kebutuhan akan bangunan kantor, jalan, perumahan dan kebutahan masyarakat lainnya juga disebabkan oleh semakin majunya sektor
Halaman
Lahan Pertanian
1Sigit,
Ridzki R, Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam, Diunduh dalam http://mongabay.co.id/2013/09/05/subak-situs-warisan-budaya-yang-terancam-bagian-1/, (2013). 2Dinas Pertanian dan Holtikultura Kabupaten Tabanan
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) pariwisata di Bali sehingga “mendesak” pemerintah untuk membangun sarana, prasarana, dan infrastruktur yang – sekiranya – dapat menunjang pariwisata di Bali. Perkembangan pariwisata Bali yang sangat pesat juga menambah ancaman bagi keberadaan subak. Sebab pemerintah “terkesan” lebih mementingkan pembangunan industri-industri pariwisata dibandingkan dengan menjaga eksistensi dari subak. Steve Lansing dalam paparannya menyebutkan bahwa tidak kurang terjadi konversi 1.000 hektar sawah menjadi lahan industri pariwisata dalam kurun waktu setahun. Penurunan luas areal subak ini tentunya menjadi bukti bahwa keberadaan subak di Bali sudah mulai terancam bahkan di Kabupaten Tabanan yang dikenal sebagai “lumbung” Bali. Data di lapangan menggambarkan penurunan luas areal sawah di Kabupaten Tabanan diikuti dengan kenaikan jumlah area non pertanian. Bahkan pada tahun 2015 luas areal pertanian dan non pertanian sudah hampir sama yakni pada angka 21,714 hektare untuk areal pertanian dan 21,676 hektare untuk areal non pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa angka alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Tabanan juga terus mengalami peningkatan dan keberadaan subak juga turut terancam. Meskipun demikian, Subak berhasil membuktikan eksistensinya. Ialah dengan ditetapkannya subak di Kawasan Catur Angga sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO pada pada tanggal 22 Juni 2012 UNESCO melalui persidangannya di St Petersberg, Rusia. Penetapan ini dilandaskan oleh pandangan UNESCO yang melihat subak sebagai sistem irigasi tradisional yang di dalamnya terdapat nilai unik seperti gotong royong dan Tri Hita Karana sebagai landasan utamanya. Selain itu UNESCO juga menilai bahwa subak ini layak menjadi suatu sistem yang berkelanjutan dalam usaha dunia untuk menciptakan sustainable development. Setelah ditetapkannya subak di Kawasan Catur Angga sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD), banyak wisatawan menjadi lebih tertarik dengan keberadaan subak, khususnya Subak Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan yang juga masuk dalam Kawasan Catur Angga. Dengan adanya tantangan dari sektor pariwisata di Bali dirasa perlu dilihat Subak Jatiluwih dapat menyesuaikan dirinya terhadap tuntutan lingkungan, bagaimana modal sosial yang ada dalam Subak Jatiluwih dapat membantu Subak bertahan ke depannya menjadi topik-topik penting yang akan diangkat dalam penelitian ini.Sehingga pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimana konsep pengembangan agrowisata yang dilakukan di Subak Jatiluwih oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan?”.
Halaman
106
B. LANDASAN KONSEPTUAL Modal Sosial dan Elemen-Elemen Penyusunnya Modal sosial merupakan sumber daya yang dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya yang baru. Modal sosial terbungkus dalam sebuah potensi dan pola interaksi dalam sebuah kelompok dengan kelompok lainnya yang fokus perhatiannya pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.3 Jaringan sosial, norma, nilai dan kepercayaan (trust) tersebut yang kemudian menopang bekerjanya modal sosial dalam suatu masyarakat yang bekerja dan berkoordinasi untuk kebajikan bersama.Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (1995; 2003) mendefinisikan modal sosial sebagai segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma yang tumbuh dan dipatuhi. Dengan demikian modal sosial adalah kemampuan atau sumber daya yang didasarkan pada norma atau nilai tertentu yang kemudian mampu membangun sebuah collective action untuk mencapai suatu tujuan bersama ataupun suatu perubahan yang diinginkan. Sehingga modal sosial terbentuk dari jaringan sosial yang didasari oleh kepercayaan (trust) dankerja-sama (cooperation) yang diikat oleh suatu norma yang dipahami bersama. Modal sosial ini nantinya akan menghasilkan suatu keberlanjutan melalui interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial yang merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan aktor – individu dan 3Effendi,
Pesandara I, Irigasi di Indonesia Strategi dan Pengembangan, Jakarta: LP3ES. (1991).
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) kelompok – untuk mencapai tujuan mereka secara lebih efektif daripada ketika mereka melakukan tanpanya. Sehingga elemen-elemen penyusun modal sosial, antara lain sebagai berikut: 1. Norma Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu.Liu et. al (2014) menyatakan bahwa tingkah laku modal sosial penduduk secara langsung digambarkan melalui norma, nilai dan aturan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. 4Liu et. al (2014) menyatakan bahwa tingkah laku modal sosial penduduk secara langsung digambarkan melalui norma, nilai dan aturan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. 5Salah satu sumber norma yang ada di masyarakat ialah kearifan lokal (local wisdom) yang dianut oleh masyarakat setempat.Salah satu sumber norma yang ada di masyarakat ialah kearifan lokal (local wisdom) yang dianut oleh masyarakat setempat. 2. Jaringan Sosial (Networking) Jaringan sosial dipahami sebagai suatu ikatan yang mengikat dan menghubungkan baik individu atau pun kelompok melalui interaksi-interaksi sosial di dalamnya, yang nantinya akan membentuk sebuah modal sosial. Dalam interaksi antar aktor yang satu dengan aktor yang lain dalam jaringan sosial ini memunculkan dan dimunculkan oleh kepercayaan dan sistem timbal balik.Jaringan sosial merupakan suatu sistem di mana terdapat nilai-nilai atau pun norma-norma yang mengikat di dalamnya yang menghubungkan para anggota yang terlibat dalam jaringan tersebut. Modal sosial dikatakan memiliki keterkaitan yang erat dengan komunitarianisme, dengan pandangan romantismenya tentang ikatan lokal dan solidaritas berbasis tradisi.6 Jaringan sosial yang berlandaskan pada nilai, norma, dan tradisi tertentu mampu menghasilkan suatu modal sosial yang kuat. Selain itu dikatakan pula bahwa jaringan sosial dapat diperkuat melalui suatu kegiatan bersama.
Liu, J., Qu, H., Huang, D., Chen, G., Yue, X., Zhao, X., Liang, Z., The Role of Social Capital in Encouraging Resident’s Pro-Environmental Behaviors in Community Based Ecotourism, Tourism Management, 2014, p.190-201. 5 Liu, J., Qu, H., Huang, D., Chen, G., Yue, X., Zhao, X., Liang, Z., The Role of Social Capital in Encouraging Resident’s Pro-Environmental Behaviors in Community Based Ecotourism, Tourism Management, 2014, p.190-201. 6Muntaner et al 7Field, John, Modal Sosial, Yogyakarta: Kreasi Wacana, (2011). 4
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Fukuyama (1995) mendefinisikan kepercayaan sebagai harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan merupakan suatu bentuk harapan yang muncul pada diri seseorang kepada orang lain yang dianggap mampu memenuhi harapan-harapan dari seseorang tersebut. Posisi kepercayaan dalam modal sosial menjadi lebih kuat sesuai dengan pernyataan Francis Fukuyama yang mendefinisikan kepercayaan sebagai unsur dasar modal sosial: ‘Modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan abadi di tengah-tengah masyarakat atau pada bagian tertentu dari masyarakat tersebut’.7 Kepercayaan menjadi salah satu hal penting yang menentukan kuat atau lemahnya sebuah jaringan sosial (social network). Dengan adanya kepercayaan di antara para aktor maka dipercaya dapat memperkuat modal sosial yang akan terbentuk nantinya. Tanpa kepercayaan tidak akan terjadi kerja sama yang baik di antara para aktor begitu pula sebaliknya, padahal keduanya menyokong terbentuknya suatu modal sosial.
107
3. Kepercayaan (Trust)
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) 4. Kerja sama (Cooperation) Pada hakikatnya, kerja sama itu akan muncul berdasarkan kepentingan atau nilai yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Biasanya para aktor akan bekerja sama dengan aktor lain yang dianggap memiliki kepentingan dan tujuan yang sama dan bukan ancaman untuk kepentingan atau tujuannya. Cooperation is complementary action to achieve shared objectives in a common undertaking. 8 Definisi ini menggambarkan bahwa di dalam kerja sama ada tindakan saling melengkapi yang bertujuan untuk mencapai suatu tujuan atau kepentingan bersama. Antara kepercayaan dan kerja sama memiliki hubungan yang berputar (circular). Tanpa kepercayaan maka tidak akan ada kerja sama, begitu pula sebaliknya. Selain itu, dua hal inilah yang menentukan posisi seseorang dalam suatu jaringan sosial. Yang juga akan menentukan tingkat pemerataan pendistribusian dari modal sosial yang akan terbentuk nantinya. Kerja sama juga dapat dibangun melalui pemahaman suatu norma tertentu yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia misalnya dikenal dengan istilah gotong royong yang dinilai sangat kental dengan nilai-nilai lokal, yang kemudian menyebabkan antara kerja sama dengan kearifan lokal (local wisdom) dapat menciptakan perpaduan yang cukup baik dan kuat dalam membangun sebuah jaringan sosial.
Halaman
108
Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanian: Agrowisata Kebijakan pemerintah kemudian diartikan sebagai tindakan yang dilakukan/tidak dilakukan maupun aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus untuk mencapai tujuan-tujuan pada bidang tertentu. Sehingga kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan umum pertanian yang meliputi: memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuantujuan ini, pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu.9 Salah satu kebijakan pemerintah di bidang pertanian ialah terbentuknya konsep agrowisata. Agrowisata menjadi suatu konsep baru pada pengembangan sektor pariwisata di Indonesia. Agrowisata merupakan perpaduan dari dua sektor yakni sektor agrikultur dan sektor pariwisata. Dengan kata lain agrowisata merupakan suatu bentuk alternatif dari sektor pariwisata dengan menyuguhkan kegiatan-kegiatan pertanian dan kondisi alam sebagai atraksi utamanya. Berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Pariwisata, Pos dan telekomunikasi, dan Menteri Pertanian Nomor KM.47/PW.DOW/MPPT-89 dan Nomor 204/KPTS/HK/0504/1989 mendefinisikan agrowisata sebagai bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha agro mulai dari awal sampai dengan produk pertanian dalam berbagai sistem, skala dan bentuk objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Dalam agrowisata, sektor pertanian dijadikan sebagai atraksi utama untuk menarik wisatawan dengan memanfaatkan areal sawah yang ada. Dengan memanfaatkan lahan sawah petani diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi petani terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Melalui agrowisata ini diharapkan mampu mempertahankan sektor pertanian mengingat salah satu unsurnya adalah menonjolkan budaya lokal. Maka dari itu unsur-unsur seperti budaya lokal, kearifan lokal, serta kepercayaan-kepercayaan petani lokal menjadi unsur yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kawasan agrowisata ke depannya. Dalam kasus Subak Jatiluwih misalnya, di samping terasering-nya, budaya lokal para petani juga menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan. Namun perlu diingat bahwa John Durston, Social Capital: Part of the Problem, Part of the Solution. It Can Perpetuate or Deter Poverty in Latin America and the Caribbean dalam Atria dan Siles (penyusun), op.cit., hlm 144. 9 Simatupang, P., D.K.S. Sadra, M. Syukur, E. Basuno, S. Mardianto, K. Kariyasa, dan M. Maulana, Analasis Kebijakan Pembangunan Pertanian: Respon Terhadap Isu Aktual. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, (2004). 8
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) pengembangan agrowisata ini perlu diawasi dan dikontrol, sebab pengembangan agrowisata harus memerhatikan keberlangsungan subak agar tidak menimbulkan ancaman bagi subak itu sendiri. Inovasi Inovasi menurut UU No. 18 Tahun 2002 pasal 1 ayat 8 adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetauan baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Sedangkan Osborne dan Brown (2005:6) memberikan pengertian inovasi sebagai berikut :“Innovation is the introduction of new elements into a pubic service – in the form of new knowledge, a new organization, and/or new management or processual skil. It represents discontinuity with the past.” Inovasi ialah pengenalan elemen baru kepada pelayanan publik dalam bentuk pengetahuan baru, organisasi baru, dan manajemen atau proses kemampuan baru yang masih menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu. BNP2TKI menggolongkan inovasi ke dalam delapan jenis yaitu: 1. Inovasi Produk: Inovasi untuk penciptaan/ modifikasi barang/jasa untuk meningkatkan kualitas, citra, fungsi dll. dari barang /jasa. 2. Inovasi Konsep: Inovasi untuk perubahan cara pandang atas masalah yang ada sehingga memunculkan solusi atas masalah. 3. Inovasi Metode: Inovasi dalam sebuah penerapan strategi, cara, dan teknik baru untuk mencapai hasil yang lebih baik seperti strategi, cara, dan teknik baru. 4. Inovasi Proses: Inovasi untuk meningkatkan kualitas proses kerja baik internal maupun eksternal agar lebih sederhana dan lebih efisien seperti standar operasional prosedur (SOP), tata laksana, sistem, dan prosedur. 5. Inovasi Relasi: Inovasi untuk bentuk dan mekanisme baru dalam berhubungan dengan pihak lain demi tercapainya tujuan bersama. 6. Inovasi Teknologi: Inovasi untuk untuk penciptaan atau penggunaan dari teknologi baru yang lebih efektif dan mampu memecahkan masalah 7. Inovasi SDM: Inovasi untuk perubahan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tata nilai dan kapasitas dari sumber daya manusia (SDM). 8. Inovasi Struktur Organisasi: Inovasi untuk pengadopsian model organisasi baru yang menggantikan model lama yang tidak sesuai perkembangan organisasi.
Halaman
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yakni sebuah metode yang digunakan untuk mendapatkan data atau keterangan deskriptif mengenai subak. Metode ini kemudian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis lisan baik berupa benda atau orang-orang yang diamati untuk menjelaskan bagaimana modal sosial yang dimiliki Subak Jatiluwih dalam menghadapi dilema-dilema yang dihadapi berdasarkan fakta yang tampak pada saat penelitian. Fakta yang dimaksud bisa berupa pengakuan dari narasumber yang ditunjuk, maupun dokumen sebagai data sekundernya. Penggunaan studi kasus dimaksudkan untuk dapat memahami gejala/unit secara mendalam, serta komprehensif terhadap kasus itu sendiri.Untuk mencapai hasil yang optimal akan digunakan teknik observasi di mana penulis akan langsung ke lapangan untuk mendapatkan fakta dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan wawancaramendalam, observasi partisipasif dan studi dokumen. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan pengumpulan data, reduksi data penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
109
C. METODOLOGI
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali)
D. PEMBAHASAN Deskripsi Subak Jatiluwih
Halaman
110
Gambar 2. Area Subak Jatiluwih Subak Jatiluwih merupakan salah satu subak yang masih ada di Bali yang bertempat di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Subak Jatiluwih sendiri memiliki luas sawah sebesar 303 hektare. Subak Jatiluwih sendiri terdiri dari satu subak gede yakni Subak Jatiluwih yang dipimpin oleh seorang pekaseh di mana di dalamnya terdapat tujuh subak kecil yang kerap disebut sebagai tempek yang dipimpin oleh seorang kelihan tempek. Adapun tujuh subak kecil atau tempek yang ada di Subak Jatiluwih adalah (1) Tempek Telabah Gede, (2) Tempek Besikalung, (3) Tempek Kedamian, (4) Tempek Umaduwi, (5) Tempek Kesambi, (6) Tempek Umakayu, dan (7) Tempek Gunungsari. Pembagian lahan sawah berdasarkan tempek tersebut disesuaikan dengan kelompok tempat tinggal petani di dalamnya, sedangkan pemberian nama terhadap tempek-tempek tersebut disesuaikan dengan nama dusun masing-masing, serta disesuaikan dengan nama pura yang ada di wilayah tempek yang bersangkutan. Subak Jatiluwih dipimpin oleh seorang Pekaseh yang kemudian dibantu oleh Penyarikan (sekretaris), Petengen (Bendahara), Juru Uduh/Arah (Pembantu Umum). Di samping itu, masih ada pula jabatan sesepuh/penasihat yang bertugas memberikan bimbingan dan arahan terkait pengembangan Subak Jatiluwih ke depannya agar dapat berjalan dengan baik. Organisasi subak ini layaknya organisasi-organisasi lainnya juga dilengkapi oleh berbagai seksi untuk penunjang kegiatan subak antara lain: seksi keuangan, seksi pengairan, seksi keamanan, seksi pengendalian hama, seksi siaran pedesaan, saprodi, dan seksi wanita tani. Seksi-seksi ini dibentuk sebagai penunjang Subak Jatiluwih agar dapat beradaptasi dengan teknologi pertanian modern. Lalu setelah itu baru dibantu oleh tujuh kelihan tempek yang mengepalai masingmasing tempek yang ada.Masa periode kepengurusan satu kali jabatan ialah lima tahun. Jadi setiap lima tahun sekali akan dilakukan pemilihan kepengurusan Subak Jatiluwih baru yang akan menjabat. Pengurus subak dipilih dari dan oleh anggota subak dengan sistem demokrasi (musyawarah dan mufakat) dalam sebuah pertemuan (sangkep) yang diikuti oleh seluruh anggota subak. Pengurus yang terpilih akan memperoleh kewenangan penuh untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jabatannya masing-masing. Sistematika pemilihan sera kewajiban dari pengurus subak ini semuanya telah tertuang dalam awig-awig yang berlaku. Sebagai organisasi pembagi air, terdapat dua prinsip dasar dalam pembagian air di Subak Jatiluwih yakni 1) Pembagian air kepada seluruh anggota subak harus dilaksanakan secara adil dan merata. Sebab pembagian air merupakan salah satu hak dari anggota subak, dan hak tersebut pun juga dibayarkan melalui kewajiban iuran serta ngayah (kerja bakti) bagi Subak Jatiluwih, 2) Apabila petani anggota subak membutuhkan air melebihi hak utamanya maka mereka harus membayar kelebihan air tersebut sesuai dengan ketentuan di atas. Jadi awig-awig subak tidak saklek memutuskan bahwa setiap sawah hanya akan mendapatkan jatah air sekian Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) dan tidak dapat diganggu gugat, melainkan memungkinkan petani yang sawahnya lebih banyak membutuhkan air untuk “meminjam” air dari yang sawahnya lebih sedikit membutuhkan air. Tetapi konsekuensinya petani tersebut harus membayar air yang dia pinjam. Sistem pinjam air seperti ini tidak dapat ditemukan di sistem irigasi mana pun di seluruh dunia. Subak Jatiluwih Dan Modal Sosial Sebagai suatu organisasi lokal, keberadaan Subak Jatiluwih tentunya tidak dapat terlepas dari nilai-nilai lokal masyarakatnya. Hal ini juga didukung oleh karakteristik kawasan Subak Jatiluwih yang masih tergolong sebagai daerah pedesaan sehingga tentunya masyarakat di sekitar Subak Jatiluwih masih memiliki ‘hubungan’ yang kuat serta masih sangat kental dengan kepercayaan-kepercayaan setempat dan gotong royong. Karakteristik masyarakat Jatiluwih seperti ini yang kemudian mendorong semakin kuatnya modal sosial yang ada di Subak Jatiluwih. Modal sosial timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam satu komunitas sehingga erat kaitannya dengan suatu jaringan sosial. Sebab di dalam jaringan sosial dimungkinkan terjadi interaksi-interaksi sosial yang nantinya akan melahirkan modal sosial. Masyarakat dengan modal sosial yang tinggi dikatakan memiliki kecenderungan bekerja secara bersama (gotong royong), merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaanperbedaan. Begitu pula dengan Subak Jatiluwih, di mana di sana terdapat suatu jaringan sosial yang dibangun berdasarkan nilai-nilai lokal masyarakat sekitar subak. Selanjutnya untuk menciptakan suatu jaringan sosial yang kuat perlu didukung dengan adanya kepercayaan (trust) dan kerjasama (cooperation) antara individu-individu ataupun kelompok di dalamnya yang tentunya juga ini sangat diperlukan dalam membangun suatu jaringan subak terutama terkait distribusi sumberdaya yang sifatnya sangat sensitif dan mudah memicu konflik. Tanpa adanya kepercayaan dan kerjasama yang baik maka akan sangat sulit untuk menciptakan suatu jaringan sosial yang kuat apalagi untuk membentuk suatu modal sosial. Bila ditinjau dari definisinya modal sosial merupakan salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesaling percayaan, dan kesaling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama, termasuk untuk mencapai perubahan-perubahan yang ingin diciptakan. Dengan kata lain modal sosial dapat dikatakan sebagai sebuah sumber daya dalam mencapai suatu perubahan tertentu. Pada kasus Subak Jatiluwih, modal sosial tidak hanya terkandung di dalamnya tetapi subak itu sendiri merupakan sebuah wujud dari modal sosial sebab Subak merupakan sebuah ‘tempat’ bagi petani untuk saling berbagi informasi dan pikiran terkait isu-isu pertanian. Apalagi dalam subak memang telah disediakan sarana khusus untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi melalui samgkep (rapat) dalam membahas masalah-masalah pertanian yang dihadapi dan sangat memungkinkan para petani untuk mengeluarkan ide-ide yang baru terkait rencana pelaksanaan kegiatan dan pengembangan subak ke depannya. Namun tetap dengan berlandaskan pada nilai-nilai yang telah ada di subak sebelumnya. Sehingga dalam perjalanannya, modal sosial ini sedikit banyak membantu Subak Jatiluwih untuk tetap bertahan dalam menghadapi lingkungan yang selalu berubah-ubah dan tekanan-tekanan yang timbil di belakangnya.
10
Sumber: http://www.voaindonesia.com/a/unesco-akui-subak-sebagai-warisan-budaya-dunia/890378.html.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Ditetapkannya subak di Kawasan Catur Angga sebagai salah satu World Herritage Culture atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO pada pada tanggal 22 Juni 2012 UNESCO melalui persidangannya di St Petersberg, Rusia 10 menjadi suatu prestasi yang sangat membanggakan bagi Indonesia. Penetapan ini dilandaskan oleh pandangan UNESCO yang melihat subak sebagai sistem irigasi tradisional yang di dalamnya terdapat nilai unik seperti gotong royong dan Tri Hita Karana sebagai landasan utamanya. Selain itu UNESCO juga menilai bahwa subak ini layak menjadi suatu sistem yang berkelanjutan dalam usaha dunia untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Setelah ditetapkannya
111
Subak Sebagai World Herritage Culture
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) subak di Kawasan Catur Angga di Kabupaten Tabanan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD), Subak Jatiluwih sebagai salah satu subak di kawasan tersebut juga menerima dampaknya.. Penetapan Subak Jatiluwih menjadi suatu Warisan Budaya Dunia (WBD) sendiri memakan waktu yang cukup panjang, diakui oleh Pekaseh Jatiluwih bahwa sebelum tahun 2012 pemerintah telah berkali-kali mengajukan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) tetapi ditolak. Nyoman Sutama mengaku bahwa yang berperan dalam penetapan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) ialah pemerintah dengan dukungan dari pihak desa maupun pengurus Subak. Masyarakat di Jatiluwih baik petani ataupun yang lainnya turut berkomitmen dalam penetapan Subak Jatiluwih sebagai sebuah Warisan Budaya Dunia (WBD). Masyarakat, petani, dan pihak desa saling membantu untuk membenahi Jatiluwih agar dianggap layak sebagai WBD. Di sini dapat dilihat unsur kerjasama yang sangat kental pada masyarakat khususnya petani di Jatiluwih. Di samping itu adanya nilai-nilai bersama yang kemudian mendorong masyarakat Jatiluwih untuk mencapai tujuannya kala itu. Di samping itu, salah satu faktor yang kemudian mengantarkan Subak Jatiluwih memperoleh status Warisan Budaya Dunia (WBD) lanskap budaya ialah masih kuatnya nilai-nilai agama dan budaya dalam pelaksanaan kegiatan di sawah. Kuatnya nilai-nilai di Subak Jatiluwih tidak terlepas oleh keberadaan pura-pura yang mengelilinginya yang kemudian membangun karakter masyarakat Jatiluwih yang masih religius dan berdampak pada kehidupan sehari-hari termasuk ketika di sawah. Karakteristik subak sebagai suatu sistem pengairan tradisional pun membawa keunikan dan manfaat tersendiri bagi Subak Jatiluwih. Pengembangan Agrowisata Pada Subak Jatiluwih Popularitas Subak Jatiluwih sebagai salah satu objek agrowisata di Bali dimulai semenjak tahun 1992. Kala itu oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi, Subak Jatiluwih ditetapkan sebagai salah satu Daya Tarik Wisata (DTW) yang ada di Bali berbarengan dengan Sebatu dan Pangelipuran. Sayangnya, di tahun-tahun awal tersebut, Subak Jatiluwih belum dikenal secara luas oleh masyarakat, tidak seperti sekarang. Namun semenjak ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD) dari Indonesia oleh UNESCO pada tahun 2012, popularitas Subak Jatiluwih semakin meningkat. Pemerintah menilai bahwa wisatawan menjadi lebih tertarik dengan keberadaan subak sehingga eksistensi subak suatu objek wisata harus dikembangkan. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan tren peningkatan jumlah wisatawan di Subak Jatiluwih dari tahun ke tahun terutama setelah ditetapkannya Subak Jatiluwih sebagai sebuah Warisan Budaya Dunia (WBD). JUMLAH WISATAWAN SUBAK JATILUWIH TAHUN 2010SEPTEMBER 2016 Jumlah Wisatawan
Halaman
112
200000 150000 100000 50000 0
Gambar 3. Jumlah Wisatawan Subak Jatiluwih Tahun 2010-September 2016 Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali)
Pada sektor pertanian dan pengairan di Subak Jatiluwih modal sosial (terutama dalam bentuk local wisdom) menjadi pedoman utamanya. Begitu pula pada sektor agrowisata, selain keindahan alamnya, salah satu yang menjadi daya tarik bagi wisatawan adalah sistem pertanian yang masih tradisional di mana di dalamnya terkandung berbagai acara-acara adat serta ritual Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Agrowisata Berbasis Modal Sosial
113
Dimulai dari data pada tahun 2012 terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada angka jumlah kunjungan wisatawan di Jatiluwih. Pada tahun 2010 dan 2011 Subak Jatiluwih memang sudah dikunjungi oleh wisatawan dan mayoritas merupakan wisatawan asing tetapi jumlah kunjungan hanya ada pada kisaran 30.000 s.d. 40.000 wisatawan tiap tahunnya. Namun semenjak tahun 2012 jumlah wisatawan Subak Jatiluwih naik pada angka 70.000-an dan pada tahun 2013 melonjak tajam hingga mencapai lebih dari 100.000 wisatawan per tahunnya. Untuk data di atas, tahun 2014 merupakan pengalihan tanggung jawab pengelolaan pariwisata Subak Jatiluwih yang awalnya berada di tangan pemerintah desa berpindah menjadi kewenangan dari Badan Pengelola Daya Tarik Wisata yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan. Pada masa transisi tersebut data-data terkait kepariwisataan di Subak Jatiluwih menghilang, sehingga untuk data jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2014 tidak dapat ditampilkan. Tapi baik pihak desa maupun pihak badan pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih meyakini bahwa jumlah wisatawan kala itu lebih tinggi daripada tahun sebelumnya (tahun 2013). Hal ini membuktikan bahwa setelah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia (WBD) dari Indonesia oleh UNESCO, popularitas Subak Jatiluwih sebagai objek agrowisata pun juga semakin meningkat. Tingginya antusiasme wisatawan – baik asing maupun dalam negeri – terhadap Subak Jatiluwih tentunya diperlukan pengelolaan pelayanan publik yang prima bagi wisatawan. Menyadari akan hal tersebut Pemerintah Kabupaten Tabanan semakin memantapkan pengembangan sektor agrowisata pada Subak Jatiluwih dengan membentuk Badan Pengelola Daya Tarik Wisata pada tahun 2013. Badan ini dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan tujuan untuk mengelola segala hal yang berkaitan dengan sektor agrowisata. Mulai dari penarikan retribusi masuk, penyediaan lahan-lahan parkir hingga penyediaan jasa pemandu wisata bagi wisatawan yang berkunjung. Namun di sisi lain organisasi Subak yang telah ada sebelumnya tetap menjalankan tugas dan fungsinya dalam hal pengelolaan sawah dan pembagian air. Pada kasus ini telah terjadi sebuah kolaborasi antara manajemen tradisional yakni Pengurus Subak Jatiluwih dengan manajemen yang bersifat modern yakni Badan Pengelola Daya Tarik Wisata, di mana di dalamnya terjadi pembagian wewenang antara kewenangan agrowisata dan kewenangan terkait operasional Subak itu sendiri, di mana keduanya saling berkolaborasi untuk dapat mengembangkan Subak Jatiluwih sebagai suatu destinasi Agrowisata namun tetap tidak meninggalkan fungsi-fungsi dasar Subak sebagai organisasi tradisional petani. Sehingga dapat dikatan pada Subak Jatiluwih sektor agrowisata dan sektor pertanian berjalan beriringan. Kolaborasi antara kedua organisasi tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi dalam pengembangan bidang pertanian. Kolaborasi ini ada untuk menciptakan suatu sistem yang harmonis sehingga dapat mengakomodasi kepentingan dan memberikan pelayanan yang optimal bagi para wisatawan. Berdasarkan jenis inovasi yang digolongkan oleh BNP2TKI kolaborasi ini dapat digolongkan sebagai inovasi relasi, yakni sebuah inovasi untuk bentuk dan mekanisme baru dalam berhubungan dengan pihak lain demi tercapainya tujuan bersama. Dalam kasus Subak Jatiluwih telah tercipta suatu bentuk hubungan baru dengan Badan Pengelola Daya Tarik Wisata demi dapat memajukan pertanian di Subak Jatiluwih. Bentuk hubungan yang baru ini terjadi dalam wujud koordinasi dan pembagian wewenang di antara keduanya. Di samping itu, kolaborasi yang timbul antara kedua lembaga ini dapat dikatakan sebagai sebuah kolaborasi yang unik karena mengkolaborasikan unsur-unsur modern ke dalam sebuah sistem yang bersifat tradisional. Sehingga kunci dari kolaborasi ini adalah adanya rasa toleransi dan kemampuan beradaptasi yang baik oleh Subak Jatiluwih sebagai organisasi yang telah ada terlebih dahulu.
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) keagamaan yang tetap dipertahankan hingga sekarang. Acara-acara adat dan ritual keagamaan inilah yang kemudian menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung di Subak Jatiluwih. Bahkan meskipun telah mulai berkembang menjadi sebuah objek agrowisata, Subak Jatiluwih tetap dapat mempertahankan perannya sebagai suatu organisasi dengan sistem irigasi tradisional yang bersifat otonom dengan berpedoman kepada nilai-nilai dan norma yang ada di dalamnya. Adanya kolaborasi antara kegiatan pertanian dan kegiatan ritual-ritual adat serta agama menjadi daya tarik tersendiri bagi Subak Jatiluwih. Diakui bahwa ketika tengah tiba waktu untuk ritual jumlah kunjungan pun akan semakin meningkat. Banyak wisatawan yang ingin melihat prosesi keagamaan yang digelar di sawah Jatiluwih. Maka dapat dikatakan bahwa model agrowisata yang dikembangkan di Subak Jatiluwih tidak hanya berbasis pada kondisi geografis dan keindahan alam tetapi juga berbasis kepada nilai-nilai dan norma setempat. Telah disinggung dalam paparan sebelumnya bahwa norma ataupun nilai-nilai setempat merupakan sebuah modal sosial yang ada di Subak Jatiluwih. Bentuk-bentuk modal sosial masyarakat di kawasan Subak Jatiluwih terdiri atas nilai, institusi dan mekanisme. Nilai yang dianut masyarakat adat Jatiluwih ialah bahwa semua warga adalah bersaudara (menyamabraya). Selain itu, kebahagiaan dan kesedihan dirasakan bersama (suka-duka). Nilai tersebut menjadi pendorong anggota petani Subak untuk ikut dalam urunan, bergotong royong, saling memberi (ngejot) maupun rapat (sangkep), yang dilakukan untuk mendistribusikan kembali kesejahteraan kepada seluruh anggota petani Subak Jatiluwih secara adil. Sistem persawahan tradisional yang berbasis pada kearifan lokal kemudian dijadikan atraksi utama pada Subak Jatiluwih mulai dari kegiatan di sawah sampai dengan kegiatan ritualritual yang dijalankan. Sehingga tidaklah berlebihan bila dikatakan agrowisata yang dikembangkan di Jatiluwih berbasis pada modal sosial. Konsep ini kerap dikaitkan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, semangat kebersamaan yang muncul dari nilai, institusi dan mekanisme adat dapat memunculkan semangat untuk bekerja secara kolektif dalam mencapai suatu tujuan bersama seperti yang terjadi pada Subak Jatiluwih. Semangat kolektif tersebut diistilahkan sebagai “sense of community”, yaitu kualitas hubungan antar manusia yang mengakibatkan mereka dapat hidup bersama secara sehat dan berkelanjutan Sense of community mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata. 11 Pada akhirnya modal sosial dapat dijadikan sebuah basis yang kuat dalam mengembangkan sektor pariwisata di Subak Jatiluwih, dan hal ini merupakan sebuah bentuk dari inovasi produk. Di mana produk agrowisata berbasis modal sosial masih jarang dikembangkan di Indonesia.
E. PENUTUP
Halaman
114
Kesimpulan Dalam menghadapi berbagai tekanan yang tengah dihadapi oleh subak-subak di Bali, Subak Jatiluwih mulai dikembangkan sebagai sebuah destinasi agrowisata. Strategi ini semakin dipermudah setelah Subak Jatiluwih memperoleh status Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO. Proses yang dilalui Subak Jatiluwih untuk menjadi sebuah Warisan Budaya Dunia dan selanjutnya menjadi sebuah destinasi agrowisata dapat digambarkan sebagai berikut. 1. Subak Jatiluwih dijadikan sebagai Objek Daya Traik Wisata di Tahun 1992 Oleh Pemerintah Provinsi Bali. 2. Pengajuan kawasan Jatiluwih menjadi Warisan Budaya Dunia. 3. Pengajuan tersebut ditolak oleh UNESCO karena dianggap belum memenuhi kriteria. 4. Pengajuan kawasan Catur Angga termasuk Jatiluwih di dalamnya menjasi Warisan Budaya Dunia. 5. Dilakukan survey oleh pihak UNESCO.
Aref, Faiborz, “Sense of Community and Participation for Tourism Development” dalam Life Science Journal, Volume 8, Issue 1, 2011, (2011). 11
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali) 6. Ditetapkannya kawasan Catur Angga oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada tahun 2012. 7. Peningkatan jumlah penggunjung Subak Jatiluwih. 8. Dibentuk Badan Pengelola Daya Tarik Wisata di tahun 2013 oleh Pemerintah Kabupaten Tababan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kunjungan di Jatiluwih. Adanya dukungan dari masyarakat dan petani serta pemerintah Desa Jatiluwih juga sangat membantu pencapaian proses tersebut. Di sini peran modal sosial pada Subak Jatiluwih terlihat, semangat kolektif yang tercipta oleh modal sosial yang ada di Jatiluwih berhasil mengantarkan Subak Jatiluwih dalam mencapai tujuannya. Selanjutnya dalam pengelolaan agrowisata di Subak, terjadi kolaborasi antara Badan Pengelola Daya Tarik Wisata, pengurus dan anggota Subak Jatiluwih, serta Pemerintah Desa Jatiluwih. Kolaborasi ini menciptakan suatu pola hubungan baru dengan menggabungkan system modern dengan sisteme tradisional. Sedangkan model pengembangan agrowisata yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan melalui Badan Pengelola Daya Tarik Wisata ialah agrowisata berbasis modal sosial. Dimana subak dengan berbagai ritual adat dan keagaman di dalamnya serta pengelolaan sawahnya menjadi sebuah atraksi utama. Rekomendasi Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah dilakukan adapun rekomendasi yang dapat diberikan ialah: - Konsep pariwisata atau agrowisata berbasis modal sosial ini dapat direplikasi oleh pemerintah daerah lain dalam mengembangkan sektor pariwisatanya. - Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan perlu mempertimbangkan unsur-unsur modal sosial khususnya local wisdom yang selama ini telah menopang subak terutama Subak Jatiluwih. - Perlu diperlukan penelitian lebih dalam terkait faktor akses modernitas terhadap keberadaan norma di Subak Jatiluwih. - Untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik bila mampu melakukan perbandingan dengan Subak yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Subak Jatiluwih untuk mencari tahu apakah faktor modal sosial memang yang paling berpengaruh.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Halaman
Chandler & Plano dalam Tangkilisan dalam Swastyasti. Definisi Kebijakan Publik. Diakses dari Dharmayudha, Suastawa I Made, 2001. Desa Pekaman dalam Konteks Sosiologis. Dhesi, A.S. 2000. Social Capital and Community Development, Community Development Journal, 35, 3, 199-214. Duverger, Maurice. 2003. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers. Effendi, Pesandara I. 1991. Irigasi di Indonesia Strategi dan Pengembangan. Jakarta: LP3ES. Eko, Sutoro. Modal Sosial, Desentralisasi, dan Demokrasi Lokal. Diakses dalam http://www.ireyogya.org/sutoro/modal_sosial_dan_dmokrasi_lokal.pdf. Geertz, Cliiford. 1969. Organization of The Balinese Subak, in Coward, E.W. Jr 9ed), Irigation and Agricultural Development In Asia. Itacha: Cornell University. H, Cohen. 1980. You Can Negotiate Anything. Edisi Bahasa Indonesia Negosiasi. Diterjemahkan oleh H.Z.B Tahal. PT. Panyja Simpati: Yogyakarta. Hasbullah, Jousairi. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press Jakarta. http://elisal.ugm.ac.id/files/PSantoso_Isipol/81Yk2km0/Swastyasti%20P%20%20kbjkn%20publik%20pdf.pdf. Isenhart, M.W. dn M. Spangle. 2000. Collaborative Approaches to Resolving Conflict. London: Sage Publication. John Durston. Social Capital: Part of the Problem, Part of the Solution. It Can Perpetuate or Deter Poverty in Latin America and the Caribbean dalam Atria dan Siles (penyusun), op.cit.
115
DAFTAR PUSTAKA
SUBAK: KONSEP AGROWISATA BERBASIS MODAL SOSIAL (Kasus Subak Jatiluwih, TabananBali)
Halaman
116
Liu, J., Qu, H., Huang, D., Chen, G., Yue, X., Zhao, X., Liang, Z. 2014. The Role of Social Capital in Encouraging Resident’s Pro-Environmental Behaviors in Community Based Ecotourism. Tourism Management. March and Snyder. 1994. Elite di Sulawei Selatan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Pitana, I Gede ed. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: PT. Offset BP. Raka, I Gusti Gede. 1992. Subak: Sistem Irigasi di Bali dalam Irigasi di Indonesia Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta: LP3ES. Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi. Jakarta: Arcan. Schoomaker, Alan N. 1989. Negotiate to Win Prentice Hall. New Jersey: Englewood Cliffs. Setia, Resmi. 2005. Gali Tutup Lubang Itu Biasa: Strategi Buruh Menanggulangi Persoalan Dari Waktu Ke Waktu. Bandung: Yayasan Akatiga. Simatupang, P., D.K.S. Sadra, M. Syukur, E. Basuno, S. Mardianto, K. Kariyasa, dan M. Maulana. 2004. Analasis Kebijakan Pembangunan Pertanian: Respon Terhadap Isu Aktual. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Srianni, Carmen dan Lewis Friedland. Social Capital. Diunduh dalam http://www.cpn.org/tools/dictionary/capital.html. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&. Bandung: Alfabeta. Sutawan N, N.M Samudra, I.K Wirta Griadhi, Wayan Sudana, Wayan Windia, Jelantik Susila, I.D.P Purwita, I.N Norken, I.G. Pitana dan Sgm. Suadnyana. 1993. Subak Sistem Irigrasi Tradisional di Bali Sebuah Canangsari. Denpasar: Upada Sastra. Sutawan N. 1986. Struktur dan Fungsi Subak. Makalah dalam Seminar Peranan Berbagai Program Pembangunan dalam Melestarikan Subak di Bali. Denpasar: Universitas Udayana. Sutawan, Nyoman. 2008. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post. Sztompka, Piotr. Mistrusting Civility: Predicament of a Post Communies Society. Dalam Jeffrey C Alexander (editor). 1998. Real Civil Societies: Dilemmas of Institutionalization. London: Sage Publicaion Ltd. Thoha, Miftah. 2002. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT Grafindo Persada. Van Vugt, M. 2002. Central, Individual or Collective Control? Social Dilemma Strategies for Natural Resources Management. American Behavioral Scientist, 45, 783-800. Wahyudi dalam Taufiq Andrianto. 2000. Tuhana, Konflik Maluku. Yogyakarta: Gama Global Media. Wallace, Ruth A. dan Alison Wolf. 1991. Contemporary Sociological Theory: Continuing the Classical Tradition. Third Edition, New Jersey: Prentice Hall. Wirawan, Sarwono Sarlito. 1999. Sosia. Jakarta: Balai Pustaka.
Bunga Rampai Administrasi Publik: Transformasi Pelayanan Sektor Publik
Pus atI novas iPel ayananPubl i k LembagaAdmi ni s t r as iNegar aRI J l .Vet er anNo.1 0J akar t a1 01 1 0