Tugas Matakuliah
Teori Administrasi Publik ETIKA PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
Dosen Pengampu: Joko Tri Nugraha, S.Sos., M.Si.
Disusun oleh: Firman Pribadi ( NIM. 131312178) Bambang Idayat (131312174) Kristiningsih (131312164) Marniah (131312154) Supomo (131312156) Sumantri ( 1313121 )
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA TAHUN 2014/2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Berikut ini saya mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Etika Pelayanan Publik Di Indonesia”. Diharapkan melalui makalah ini akan memberikan pengetahuan mengenai kontribusi filsafat ilmu dalam mengatasi krisis etika moral para birokrat negara Indonesia yang akhir-akhir mengalami degradasi sehingga menjadi suatu permasalahan yang begitu kompleks. Dengan ini saya mempersembahkan makalah “Etika Pelayanan Publik Di Indonesia” dengan penuh rasa terima kasih kepada semua pihak yang mendukung pembuatan makalah ini dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca makalah ini.
Yogyakarta, 28 Oktober 2014 Penulis,
DAFTAR ISI ………………………………………………………........
i
Kata Pengantar ……………………………………………………………..
ii
Daftar Isi
……………………………………………………....................
iii
BAB
PENDAHULUAN ……………………………………...........
1
………………………………..................
1
B. Rumusan Masalah ………………………………………....
2
C. Tujuan Penulisan …………………………………………
2
PEMBAHASAN …………………………………………….
3
A. Pengertian Etika …………………………………………..
3
B. Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik …………………...
4
C. Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik ………………..
6
D. Etika Administrasi Negara dalam Implementasinya ……...
8
PENUTUP ………………………………………..................
12
A. Kesimpulan ……………………………………………….
12
B. Saran ………………………………………………………
12
Halaman Judul
I
A. Latar Belakang
BAB
II
BAB III
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan pegangan moral itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin dikesampingkan. Semua warganegara berkepentingan dengan etika. Salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan
pelayanan
publik
itu
sendiri.
Sejalan
dengan
pesatnya
perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan masyarakat (publik) secara keseluruhan. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki etika yang baik dalam menjalankan kewajibannya.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah: a. Pengertian etika b. Mengetahui konsep etika dalam pelayanan publik c. Memaparkan paradigma etika dalam pelayanan publik d. Memaparkan etika administrasi negara dalam implementasinya
C. Tujuan Penulisan Mengetahui pengertian Etika dalam administrasi Negara dan bagaimana cara implementasinya terhadap masyarakat di Indonesia dan menambah wawasan mahasiswa tentang Etika Administrasi Negara dalam pelayanan publik.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Etika berasal dari bahasa Yunani etos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari isilah ini muncul pula istilah morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya. Moril bisa berarti semangat atau dorongan batin. Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin. (norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa inggris norma berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya dalam perilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan. Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum, sedangkan moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip abstrak dan bebas. Orang yang telah mengingkari janji yang diucapkannya dapat dianggap sebagai orang yang tidak dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti tidak bermoral, namun menyiksa anak disebut tindakan tidak bermoral. Secara Epistimologis etika dan moral memiliki kemiripan, namun sejalan dengan perkembangan ilmu dan kebiasaan dikalangan cendekiawan ada pergeseran arti. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai baik dan buruk manusia. Sedangkan moral adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk. Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga aras: (1) filosofik, (2) sejarah, dan (3)
kategorial. Pada aras filosofik, etika dibahas sebagai bagian integral Filsafat, disamping metafisika, Epistemologi, Estetika, dan sebangsanya. Pada aras sejarah, etika dipelajari sebagai etika masyarakat tertentu pada zaman tertentu, misalnya Greek and Graeco-Roman Ethics, Mediaeval Ethics, sedangkan etika pada aras kategorial dibahas sebagai etika profesi, etika jabatan, dan etika kerja. Sebagai bagian etika, Etika pemerintahan terletak pada aras kategorial, sedangkan sebagai bagian Ilmu Pemerintahan, pada aras philosophical. Etika menurut Bertens (1977) “seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang
atau
suatu
kelompok
dalam
mengatur
tingkah
lakunya. Sedangkan Darwin (1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat. Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.
B. Konsep Etika Dalam Pelayanan Publik Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat
dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik. Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemenelemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi lebih etis (being ethical). Sementara
itu
menurut
Cooper
etika
sangat
melibatkan substantive
reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran
Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi
C. Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik Menurut Fadillah (2001) etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Oleh sebab itu maka etika mempersoalkan ”baik-buruk”, dan bukan ”benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi publik. Dalam paradigma ”dikotomi politik dan administrasi” sebagaimana dijelaskan oleh Wilson (dalam Widodo, 2001) menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan kebijakankebijakan tersebut. Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi publik. Namun karena administrasi publik dalam menjalankan kebijakan politik tadi memiliki kewenangan secara umum disebut ”discretionary power”, keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara ”baik dan tidak secara buruk” ? Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan tersebut dapat dikatakan baik atau buruk. Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam
memberikan pelayanan publik, yaitu dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Selanjutnya pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu aparatur pemerintah. Ciri-cirinya adalah 1. Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. 2. Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan. 3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai. 4. Prosedur dan tata cara pelayanan. 5. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif, 6. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, 7. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya. 8. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan. 9. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
10. Efisiensi, Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk layanan yang berkaitan, dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. 11. Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 12. Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani. 13. Adaptif, adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami perkembangan.
D. Etika Administrasi Negara dalam Implementasinya Dalam penerapannya banyak sudah contoh kasus yang ada di Indonesia berkaitan dengan etika administrasi negara. Mulai dari hal terkecil saat pembuatan KTP, karena organisasi pemerintah tidak melangsungkan hidupnya dengan etika, maka dengan mudah terjadi praktek pungutan liar yang merugikan masyarakat. Hal
itu
juga
yang
kemudian
membuat
penilaian
tentang
buruknya
manajemen pemerintahan yang ada. Seharusnya, dalam keberlangsungan negara, adanya komunikasi sesuai etika dapat berlangsung dengan benar baik antara pejabat pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun antara rakyat dan pemerintah agar tercipta suatu koordinasi yang kontekstual dan berdampak positif bagi rakyat dan pemerintah. Dalam etika administrasi negara yang dapat dikatakan harus melingkupi semua proses penyelenggaraan negara. Namun, pada prakteknya, kepegawaian di Indonesia seringkali berjalan tidak sesuai dengan etika yang ada. Dapat dilihat dari awal, proses seleksi saja sudah mengindikasikan adanya kecurangan misalnya dengan adanya kasus penyuapan untuk diterima sebagai
PNS.
Kecurangan
ini
kemudian
berdampakburuk, karena
dengan kecurangan ini akan timbul sumber daya manusia yang kurang berkualitas. Sama halnya dengan ketatausahaan, tanpa etika administrasi negara,
ketatausahaan akan berlangsung tidak transparan dan merugikan masyarakat. Keuangan negara pun rusak karena penyelenggaraan anggaran yang tidak berlandaskan etika administrasi negara, praktek korupsi ada dimana-mana, akuntabilitas
publik
pun
menjadi
sesuatu
yang
sangat
dipertanyakan
keberadaannya, kalau sudah begitu maka hubungan masyarakat pun tidak akan berjalan dengan baik. Masyarakat sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Penyelenggaraan negara terlihat berlangsung dengan kacau, itu semua disebabkan karena pengabaian terhadap etika administasi negara. Dengan melihat kenyataan tersebut, perlu adanya kesadaran baik dari pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan negara, maupun dari masyarakat yang semestinya dilayani dengan baik oleh negara, semua kegiatan pemerintahan tidak lepas dari etika administrasi negara. Ketika eksistensi etika tersebut dipertanyakan, maka semua komponen negara pun akan menjadi tak jelas kemana arah dan tujuannya. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah: 1. Efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien, 2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi 3. Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan 4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak di dasarkan atas
kekerabatan,
keterampilan (skill),
namun
berdasarkan
sikap (attitude),
pengetahuan (knowledge),
kemampuan (capable),
dan
pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya); 5. Responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, 6. Accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi dikatakan akuntabel bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat
karena
dapat
mempertanggungjawabkan
segala
macam
perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik) Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan di atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam melaksanakan tugas da kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi (penyelewengan). Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera.
Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman. Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa etika dan moral menjadi suatu yang penting dalam membangun birokrasi negara Indonesia menjadi lebih baik lagi. Degradasi nilai etika moral yang akhir-akhir ini sering terjadi di dalam tubuh insitusi di Indonesia bahkan menjadi kasus besar sehingga berdampak besar dan membuat citra birokrasi di Indonesia menjadi buruk di mata masyarakat. Birokrat-birokrat di dalamnya menjadi suatu hal yang begitu berpengaruh akan jalannya suatu birokrasi. Ketika suatu etika moral birokrat dikatakan rendah maka institusi birokrasi tersebut juga akan terpandang rendah di mata masyarakat. Akibat dari buruknya dalam melayani, mengapresiasikan, dan mengimplementasikan kebutuhan masyarakat. Seorang birokrat harus lebih kritis dalam merespon gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dan dengan filsafat ilmu diharapkan ada suatu perbaikan dari segi etika moral para birokrat negara. Sehingga nantinya citra birokrasi dapat baik di mata masyarakat dan dapat secara arif bijaksana membantu masyarakat ketika masyarakat membutuhkan suatu bantuan di dalam institusi brokrasi. Selain itu melalui filsafat ilmu diharapkan generasi muda yang nantinya akan menjadi birokrat-birokrat negara Indonesia akan mempunyai sikap kritis, inovatif, dan kreatif serta etika moral yang baik sehigga birokrasi tidak lagi dipandang buruk oleh masyarakat.
B. Saran Perlunya menetapkan nilai-nilai etika moral dalam pelaksanaan kegiatan birokrasi dan agar suatu kegiatan birokrasi tersebut dapat berjalan dengan baik maka diperlukan sebuah payung hukum yang menaungi dan membatasi etika moral para birokrat yang selama ini masih menjadi problem besar sebuah institusi birokrasi di Indonesia. Selain itu adanya payung hukum tersebut dapat dijadikan dasar acuan sebatas mana pelanggaran dari birokrat tersebut dan sanksi seperti apa yang pantas diberikan apabila para birokrat melakukan pelanggaran yang melebihi
batas hukum yang telah ditentukan. Kesimpulannya adalah tentang perlunya sanksi yang berat terhadap birokrat-birokrat yang kurang memiliki etika moral yang baik ataupun birokrat yang melakukan pelanggaran dalam prinsip birokrasi dalam membantu kebutuhan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad Drs., H. 2010. Filsafat ilmu : ontologi, epistemologi, aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Budianto, Irmayanti M 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Wijaya, A.W, Etika Adminiatrasi Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 1999, halaman 56. Jefriando, M. 2013. Wamen PAN Ungkap 7 Kebobrokan Birokrasi di Indonesia, [online], Ati, Ayuning Mustika. 2010. Etika Birokrasi dalam Administrasi Publik. (online), http://www.scribd.com/feeds/rss. diakses 25 Oktober 2014. Indrawanto. 2004. Teori Administrasi Piublik dan Birokrasi. Malang : Taroda Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Etika Birokrasi dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Menghadapi Era globalisasi. Yogyakarta. www.ginandjar.com