REVITALISASI BIROKRASI MENUJU INDONESIA BARU Oleh : Bambang Rantam
1.
Pendahuluan Gagasan tentang perlunya revitalisasi birokrasi pemerintah Republik Indonesia tidak saja merupakan agenda yang relevan saat ini, tetapi juga layak dimanifestasikan dalam waktu segera. Terlebih di tengah usaha bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca krisis ekonomi 1997. Dengan sejumlah persoalan yang tidak hanya kian menumpuk, tetapi juga kian komplek, jelas merupakan imperatif untuk melakukan revitalisasi birokrasi. Dikatakan demikian, mengingat tantangan yang dihadapi birokrasi di masa depan membutuhkan birokrasi yang tidak saja kuat, tapi juga sehat dan diharapkan mampu berperan sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan. Betapa pun banyak kritik dan bahkan hujatan terhadap birokrasi belakangan ini, tapi tetap saja tak seorang pun dapat menafikan pentingnya peranan birokrasi di tengah masyarakat. Sebagaimana dikatakan Osborne dan Gaebler (1992) bahwa semua masyarakat beradab mempunyai birokrasi pemerintah sebagai mekanisme yang digunakan untuk mengambil keputusan bersama guna menangani persoalan-persoalan publik, dan masyarakat beradab tidak akan berfungsi dengan efektif tanpa birokrasi pemerintahan yang efektif pula. Dengan kata lain, tanpa adanya birokrasi pemerintah yang efektif maka akan sulit pula untuk mengharapkan terjadinya pembangunan bangsa yang efektif dan bahkan untuk mengharapkan dapat terwujudnya cita-cita proklamasi Indonesia untuk menuju masyarakat adil dan makmur secara efektif pula. Bukanlah berlebihan untuk mengatakan betapa pentingnya birokrasi, jika dipahami betapa birokrasi memiliki dan menguasai berbagai sumber daya, termasuk akses yang kuat untuk membuat suatu kebijakan yang dapat bersifat memaksa (coercive). Peranan penting birokrasi di tengah masyarakat tidak serta merta menggambarkan keunggulan birokrasi. Bagaimana birokrasi memainkan peranan penting tersebut, jelas merupakan pertanyaan utama. Dengan peran yang demikian signifikan, manakala birokrasi tidak dijalankan secara sehat dan profesional, maka birokrasi sebaliknya dapat menjadi bagian dari masalah yang terjadi pada bangsa dan negara. Munculnya krisis moneter sebagian penyebabnya dapat juga dialamatkan kepada birokrasi yang tidak dijalankan secara benar dan sehat. Demikian pula munculnya sinyalemen KKN birokratis, pelayanan yang berbelit-belit (red tape), birokrasi yang tidak tanggap, lamban
2
dan sebagainya, merupakan sisi hitam birokrasi yang perlu dibenahi. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi serta hasil penelitian PERC (Political and Economic Risk Consultancy, tahun 2000 dan 2001) yang menempatkan birokrasi Indonesia termasuk kategori terburuk di dunia, jelas memaksa kita untuk memikirkan kembali upaya-upaya untuk merevitalisasi birokrasi pemerintah agar dapat memainkan perannan pentingnya membawa bangsa dan negara menuju cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tak seorang pun bangsa Indonesia yang menginginkan gambaran buruk saat ini yang membayangi bangsa dan negara ini terus berlanjut di masa depan. Indonesia masa depan adalah Indonesia baru yang sejahtera dan hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia sebagai bangsa yang bermartabat dan terhormat dalam pergaulan internasional. Indonesia baru memerlukan birokrasi yang mampu memainkan peranan penting yang dpaat membawa bangsa dan negara ini menuju cita-cita proklamasi dan Indonesia baru yang dicita-citakan. Untuk itu diperlukan revitalisasi birokrasi yang mampu membawa bangsa dan negara ini menuju Indonesia baru. Dalam konteks ini, makalah ini akan membahas upaya revitalisasi birokrasi. Untuk itu. Pertama akan di bahas tantangan yang di hadapi Indonesia, baik yang bersifat domestik maupun global. Kemudian, bagian berikutnya membahas tentang kondisi birokrasi saat ini, serta upaya-upaya revitalisasi birokrasi yang perlu dilakukan. Dalam pembahasan mengenai upaya revitalisasi ini akan disoroti dari berbagai dimensi, yakni filosofi, paradigma, kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, dan kesejahteraan.
2.
Tantangan Menuju Indonesia Baru Setumpuk persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini sesungguhnya bukanlah merupakan persoalan yang sederhana dan dapat ditangani dengan cara-cara yang biasa (business as usual). Tidaklah maksud makalah ini untuk menyajikan sederet daftar permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini secara rinci, melainkan semata sebagai latar belakang yang dihadapi birokrasi Indonesia dan memerlukan penanganan yang serius dan kompleks. Termasuk juga birokrasi yang tidak dapat lagi dijalankan dengan cara-cara biasa, melainkan memerlukan upaya yang serius untuk merevitalisasi birokrasi agar dapat menjalankan peranannya secara signifikan dalam menangani setumpuk persoalan yang berat tersebut. Untuk itu, dalam makalah ini hanya akan disinggung secara garis besar permasalahan yang dihadapi dan menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam menuju Indonesia baru. Besarnya jumlah pengangguran merupakan salah satu persoalan berat yang dihadapi bangsa dan negara saat ini. Pada tahun 2003, jumlah pengangguran terbuka mencapai 9,5 persen (9,5 juta jiwa) dengan ditambah sekitar 31,4
3
persen yang tergolong setengah penganggur. Meningkatnya pengangguran selama beberapa tahun ini terutama disebabkan oleh masih rendahnya pertumbuhan ekonomi antara lain karena merosotnya kegiatan investasi sejak krisis ekonomi 1997/98. Rendahnya kegiatan investasi yang juga berakibat pada menurunnya daya saing perekonomian Indonesia, merupakan cerminan dari masih buruknya iklim investasi. Berbagai faktor penyebabnya adalah tidak adanya kepastian hukum dan lemahnya sistem hukum secara keseluruhan, munculnya persoalan keamanan, tidak-efesiennya birokrasi termasuk tidakpastinya hubungan/kewenangan dan tidaksinkronnya kebijakan antara pusat dan daerah, kakunya kebijakan pasar tenaga kerja, rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja, serta buruknya infrastruktur. Lima tahun mendatang, tantangannya lebih besar dengan setiap tahunnya sekitar 2,5 juta angkatan kerja baru menambah jumlah angkatan kerja. Untuk menurunkan tingkat pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada tahun 2009 harus disusun strategi pembangunan yang tepat yang bertumpu pada kemampuan penciptaan lapangan kerja melalui pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (Menneg PPN, 5 Januari 2005). Persoalan berikutnya adalah masalah kesenjangan yang tercermin dari jumlah penduduk miskin yang masih banyak serta kesenjangan pembangunan antar wilayah yang masih lebar. Meskipun menurun dibandingkan waktu krisis, jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 masih mencakup 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen. Dalam kesenjangan wilayah, kegiatan ekonomi terkonsentrasi di Jawa yang pada gilirannya membuat penduduk menumpuk di Jawa. Ini memberi konsekuensi antara lain meningkatnya konversi lahan pertanian dan defisit air di Jawa yang pada gilirannya mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Masih adanya kawasan-kawasan perbatasan masih tertinggal dan melebarnya kesenjangan antara kota dan desa merupakan permasalahan lainnya yang dihadapi saaat ini. Belum terkaitnya kegiatan ekonomi perkotaan dengan perdesaan mengakibatkan perdesaan, yang justru dihuni oleh sekitar 60 persen penduduk, semakin tertinggal. Selain itu, kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah. Ini tercermin dari tingkat pendidikan, kesehatan, dan sosial lainnya. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun. Sementara itu angka buta aksara penduduk usia 15 tahun keatas masih sebesar 10,1 persen. Derajat kesehatan dan status gizi masyarakat masih rendah dengan masih tingginya angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan dan kurang gizi pada balita. Disamping penyakit menular, penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kencing manis juga cenderung meningkat. Pelayanan kesehatan juga dihadapkan pada kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan dan distribusi yang kurang merata. Kualitas hidup sangat dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur yang memadai dengan harga yang terjangkau dan juga oleh tersedianya perumahan dan kualitas permukiman sebagai tempat
4
tinggal yang layak. Kondisi sarana dan prasarana saat ini bukan saja tidak mencukupi untuk menopang kegiatan masyarakat dan perekonomian secara baik, bahkan telah terjadi pemburukan yang memprihatinkan akibat minimnya dana pembangunan pemerintah serta belum pulihnya arus investasi swasta. Juga kita masih menghadapi besarnya backlog ketersediaan rumah yang layak huni yang diperkirakan mencapai sekitar 4,5 juta unit dan meluasnya kawasan kumuh. Kualitas hidup masyarakat juga masih buruk akibat menurunnya pelayanan air minum dan degradasi lingkungan. Masalah lainnya adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk; kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasangan usia subur dan remaja akan hak-hak reproduksi; serta masih mudanya usia kawin penduduk. Kesejahteraan sosial masyarakat relatif masih rendah antara lain tercermin dari besarnya jumlah anak maupun lanjut usia yang terlantar, kecacatan, ketunasosialan, bencana alam dan sosial. Tantangan berikutnya adalah menurunnya kualitas sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup. Kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup kurang menyatu dengan pemanfaatan sumber daya alam. Akibatnya sering terjadi konflik kepentingan antara ekonomi dengan lingkungan. Kebijakan ekonomi yang terlalu memihak pada pertumbuhan jangka pendek dengan memberikan insentif terlalu besar terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya alam, telah menurunkan kualitas lingkungan. Ini salah satunya tercermin dari degradasi hutan yang terus meningkat dan meluasnya lahan kritis, serta meningkatnya polusi dan limbah. Kecuali itu, masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia; masih besarnya tumpang tindih peraturan perundangan di tingkat pusat dan daerah yang pada gilirannya menghambat masyarakat untuk membangun. Disamping itu, yang kita rasakan, hukum belum ditegakkan secara tegas, adil dan tidak diskriminatif, serta belum memihak kepada rakyat kecil. Indonesia saat ini juga masih menghadapi persoalan belum tuntasnya penanganan secara menyeluruh terhadap aksi separatisme di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua bagi terjaminnya integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia serta masih adanya potensi konflik horizontal di beberapa wilayah seperti Maluku, Poso, dan Mamasa. Belum lagi jika berbicara tentang masih tingginya kejahatan konvensional, transnasional, dan masih adanya potensi terorisme. Variasi kejahatan konvensional cenderung meningkat dengan kekerasan yang meresahkan masyarakat. Kejahatan transnasional seperti penyelundupan, narkotika, pencucian uang terus meningkat. Luasnya wilayah laut serta lemahnya pengawasan keamanan laut mengakibatkan banyaknya gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut. Disamping
5
itu, kita juga masih merasakan adanya potensi terorisme. Sementara itu efektivitas pendeteksian dini, pengamanan sasaran vital, pengungkapan kasus, dan perlindungan masyarakat umum dari terorisme belum memadai. Ironisnya dengan wilayah yang sangat luas dan potensi ancaman baik dari luar maupun dalam negeri yang tidak ringan, negara RI hanya mempunyai personel dan alutsista (alat utama sistem pertahanan) yang jauh dari mencukupi. Saat ini kemampuan pertahanan TNI AD antara lain yang bertumpu pada kendaraan tempur terbatas hanya sekitar 60 persen dalam kondisi siap. Kondisi Kapal Republik Indonesia (KRI) kekuatan pemukul yang meliputi kapal selam, kapal perusak kawal rudal, dan kapal cepat roket, serta KRI kekuatan patroli dan pendukung sudah relatif tua. Kekuatan pesawat tempur TNI AU juga hanya 28 persen dalam keadaan siap operasi; serta hanya separuh pesawat angkut udara dalam keadaan siap (Menneg PPN/Ketua Bappenas, 5 Januari 2005). Kecuali domestik, secara global Indonesia juga berhadapan dengan dinamika globalisasi yang kompleks. Meminjam pandangan Robertson (2003), globaliasasi saat ini dan masa depan adalah globalisasi gelombang ketiga setelah era globalisasi gelombang pertama dan kedua. Era globalisasi gelombang pertama dan kedua ini oleh Gelinas (2003) disebut sebagai era merkantilisme dan era ekspansi kapitalisme kolonial, yang memiliki karakter dan dinamika yang sangat berbeda dari karakter dan dinamika globalisasi yang dihadapi Indonesia saat ini dan di masa depan. Logika yang mendasari ekspansi globalisasi gelombang ketiga diturunkan dari idelologi neo-liberalisme, yang di dalam filsafat politik kontemporer memiliki afinitasnya dengan ideologi libertarianisme yang direntang melampaui batasnya yang ekstrim. Seperti halnya dengan libertarianisme yang membela kebebasan pasar dan menuntut peran negara yang terbatas (Kymlycka, 1999: 95), neo-liberalisme percaya pada pentingnya institusi pemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada keunggulan pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk menjamin kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan semua orang dan individu (Gelinas, , 2003: 24). Gelinas (2003) memberikan skenario yang cukup menyesakkan manakala berbicara tentang tahapan perkembangan globalisasi masa kini dan masa depan. Globalisasi menurut Gelinas, bekerja melalui regulasi yang dilakukan oleh tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2003) disebut sebagai The Unholy Trinity (IMF, Bank Dunia, dan WTO), di bawah tekanan ekspansi globalisasi gelombang ketiga, perlahan-lahan akan tetapi pasti, segala sesuatu yang berharga tidak dapat dipertahankan dari komodifikasi dan komersia-lisasi sistem ekonomi global: termasuk air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui
6
proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka, yang terjadi dalam lima tahapan perkembangan berikut (Gelinas, 31) : (1) (2)
(3) (4) (5)
Deregulasi sistem keuangan internasional Bretton Woods, yang terjadi sejak tahun 1971, dan yang telah mengubah semua aset keuangan dunia ke dalam kapital spekulatif. Deregulasi ekonomi Dunia Ketiga secara sistematik dan bertahap, yang terjadi sejak tahun 1980-an melalui program-program penyesuaian struktural (structural adjustment) di bawah pengawalan IMF dan Bank Dunia untuk mengintegrasikan negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem pasar global. Deregulasi stock markets yang terjadi sejak tahun 1986 untuk mengatur deregulasi semua stock markets di seluruh dunia. Deregulasi produksi pertanian dan komersialisasi pelayanan-pelayanan yang timbul sebagai konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional. Proliferasi kemudahan-kemudahan pajak dan perbankan (tax and banking havens) sejak pertengahan tahun 1990-an, yang telah menghasilkan separuh dari seluruh aliran keuangan dunia terjadi melalui kemudahankemudahan bebas hambatan dari semua bentuk kendala legal oleh karena kekuasaan publik mengikuti ketidakpedulian kebijakankebijakan publik.
Semua itu telah menyebabkan globalisasi neo-liberal secara mendasar memiliki dinamika dan implikasi yang sangat berbeda dari dinamika dan implikasi globalisasi gelombang pertama dan kedua. Jikalau di era globalisasi gelombang pertama dan kedua ekstraksi kekayaan negara-negara sedang berkembang dilakukan dengan menggunakan mekanisme “akumulasi primitif” melalui beragam bentuk kekerasan fisik yang terbuka seperti penaklukan dan kolonisasi, perampokan dan perbudakan, serta ekslpoitasi pertanian dan perdagangan antar benua, maka di era globalisasi gelombang ketiga ekstraksi kekayaan negara-negara Dunia Ketiga dilakukan dengan cara-cara yang sangat lembut dan tersembunyi melalui regulasi sistem perdagangan internasional yang di atas permukaan tampak sangat bebas dan demokratis akan tetapi yang di bawah permukaan sesungguhnya seringkali jauh lebih eksploitatif dan tidak adil. Tidak mengherankan oleh karenanya jikalau keberhasilan globalisasi gelombang ketiga yang telah membawa perkembangan peradaban umat manusia ke tingkat yang selama ini tidak pernah terbayangkan, harus berjalan seiring dengan terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan di banyak negara sedang berkembang. Beberapa tragedi kemanusiaan yang paling penting diantaranya (Gelinas): (1) 4 sampai 6 milyar penduduk berada di 127 negara terbelakang di dalam kondisi kemiskinan yang berat; (2) 49 negara paling terbelakang secara teknologis mengalami kebangkrutan;
7
(3) (4) (5) (6) (7)
pendapatan per kapita per tahun dari 100 negara di Dunia Ketiga mengalani penurunan dari keadaan 10, 15, 20 dan bahkan 30 tahun yang lalu; 2,8 milyar penduduk di negara-negara Dunia Ketiga hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS (Amerika Serikat) per hari; 1,3 milyar penduduk di negara-negara yang sama bahkan hidup dengan tingkat konsumsi kurang dari 1 dollar AS; 2,6 milyar penduduk dunia tidak memiliki infrastruktur sanitasi yang memadai; dan 1,4 penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang bersih.
Laporan statistik UN Human Development Report tahun 1996 (Tehranian, 1999: 157) menguatkan semua itu dengan menunjukkan semakin menguatnya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi dunia melalui penyajian statistik berikut: 20 persen penduduk terkaya di dunia menerima lebih dari 82 persen pendapatan dunia, sementara 20 persen penduduk paling miskin hanya menerima 1,4 persen. Mengutip laporan Rummel tahun 1994, Tehranian menyebutkan pula bahwa sepanjang kurun waktu antara tahun 1900 sampai dengan tahun 1990 telah terjadi sekitar 250 perang antar negara dan perang sipil di berbagai negara yang merenggut kematian lebih dari 100 juta tentara dan 100 juta penduduk sipil. Lebih dari itu, jikalau pada abad ke-18 dan abad ke-19 kematian prajurit yang terjadi dalam peperanngan hanya mencapai angka 50 dan 60 orang per 1 juta penduduk dunia, angka itu meningkat secara sangat dramatik pada abad 20 menjadi 460 kematian per 1 juta penduduk dunia. Kenyataan-kenyataan itu lah yang antara lain telah menjadi alasan Tehranian (1999: 156) untuk menyebut Abad ke-20 sebagai “abad kematian yang direncanakan” (a century of death by design). Memasuki akhir Abad ke-20 sejumlah cendekiawan terkemuka bahkan telah menengarai terjadinya “kematian” banyak hal yang selama ini menjadi fondasi dari tata kehidupan dunia (Tehranian, op. cit., 1996): mulai dari “the end of ideology” (Bell, 1960), “the end of history” (Fukuyama, 1989), “the end of modernity” (Mowlana dan Wilson, 1990), “the end of journalism” (Katz, 1992), “the end of geography” (Mosco, 1994), “the end of racism” (D‟Souza, 1995), dan “the end of work” (Rifkin, 1995), sampai dengan “the end of university” (Tehranian, 1996). Indonesia kini berada di tengah-tengah pusaran situasi globalisasi yang cukup menyesakkan tersebut. Termasuk juga jika kita berbicara tentant globalisasi teknologi informasi yang telah dan akan mengakibatkan masyarakat dan ekonomi semakin tumbuh menjadi sebuah “corporate capitalism” yang akan semakin didominasi oleh institusi-institusi korporatis di dalam bentuk organisasi-organsisasi oligopolistis atau bahkan monopolistis.
8
Dalam kaitan dengan sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam menuju Indonesia baru inilah, tak terelakkan keharusan untuk melakukan revitalisasi birokrasi. Sebelum membahsa tentang upaya revitalisasi birokrasi, ada baiknya untuk memotret secara sekilas birokrasi Indonesia saat ini.
3.
Potret Birokrasi Indonesia Saat Ini Birokrasi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan sturktural-hirarkikal mengikuti tradisi Weberian. Tradisi Weberian pada dasarnya dimaksudkan untuk mengikuti pemikiran Max Weber yang diterbitkannya pada tahun 1922. Pemikiran Weber banyak dipengaruhi oleh teori administrasi Jerman (tentang administrasi monokratik versus kolegial), dan juga pemikiran dari para pemikir besar lainnya pada abad itu seperti Michels (tentang netralitas dan hubungan demokrasi-birokrasi), Karl Marx (tentang kesetaraan posisi atasan dan buruh), dan Gustav Schmoller (tentang konsep staf dalam tiga bagian masyarakat) (lihat: Albrow, 1983). Dalam menulis tentang birokrasi, Weber membedakan antara konsep birokrasi patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional yang tidak memisahkan antara tugas dan wewenang serta tanggung jawab resmi kedinasan dengan urusan pribadi pejabat yang mengelola birokrasi- dengan birokrasi modern (rasional-legal) yang mempunyai ciri-ciri tertentu seperti sepesialisasi, berdasarkan pada hokum, pemisahan antara tugas, wewenang dan tanggung jawab resmi kedinasan dengan urusan pribadi, hirarki, manajemen kantor yang modern yang didasarkan pada dokumen tertulis. Ciriciri birokrasi rasional inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip-prinsip birokrasi Weberian yang banyak mempengaruhi pengaturan organisasi pemerintah (birokrasi publik) terutama pada masa-masa awal abad ke-20. Tapi sesungguhnya dalam praktek birokrasi Indonesia tidaklah sepenuhnya menganut tradisi birokrasi rasional asla Weberian tersebut. Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horisontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat. Dalam kenyataannya, birokrasi di Indonesia berkembang secara vertikal linear, dalam arti “arah kebijakan dan perintah dari atas kebawah, dan pertanggungjawaban berjalan dari bawah ke atas”, demikian pula “loyalitasnya”; karenanya koordinasi lintas lembaga yang umumnya dilakukan secara formal sulit dilakukan. Birokrasi di Indonesia juga masih di pengaruhi sikap budaya “feodalistis”, tertutup, sentralistik, serta ditandai pula dengan arogansi kekuasaan, tidak atau kurang senang dengan kritik, sulit dikontrol secara efektif, sehingga merupakan lahan subur bagi tumbuhnya KKN atau pun neoKKN. Sejarah Indonesia merdeka, ironisnya tidak pernah membuktikan bahwa
9
konsepsi birokrasi rasional ala Weberian telah diikuti sebagi trayektori membangun birokrasi yang kuat dan sehat. Namun apa yang dialami Indonesia dengan proyek birokrasi, sebenarnya menurut banyak ahli juga merupakan gejala umum yang banyak dijumpai pada birokrasi di negara-negara berkembang. Menurut Heady dan Wallis (dalam Kartasasmita, 1997) misalnya, birokrasi pemerintahan di negara-negara berkembang ditandai dengan beberapa kelemahan yang juga merupakan ciri utamanya Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan dari sistem administrasi kolonial yang dikembangkan negara penjajah khusus untuk negara yang dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (sebagai menara gading) dari masyarakat dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yang menempatkan aparatur sebagai pihak yang dilayani dan masyarakat sebagai pihak yang melayani.
Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang
berkualitas baik dari segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, kondisi yang sering dijumpai adalah banyaknya sumber daya manusia yang kurang berkualitas dengan pembagian tugas yang tidak jelas. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi dalam penggunaan sumberdaya manusia, tetapi juga terjadi penumpukkan pegawai dalam satu unit kerja atau instansi.
Ketiga,
birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok dari pada kepentingan masyarakat atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kelompok ini selain berada di lingkungan internal birokrasi juga yang berada di luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi.
Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis maupun lisan oleh birokrasi sering
tidak sesuai denganrealitas. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi telah membaik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dikeluarkan hanya untuk kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan masalah tersebut), dan bukan untuk dilaksanakan dikarenakan kesulitan tertentu atau juga tidak/kurang adanya political will untuk melaksanakannya.
Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom dalam arti lepas dari proses politik
dan pengawasan masyarakat. Ciri ini erat kaitannya dengan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa memutuskan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya,
10
sikap peka, responsif dan proaktif terhadap permasalahan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan menjadi tumpul, dan digantikan dengan sikap mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk sikap merasa berkuasa dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, masyarakat umum sering menjadi korban dari “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat menimbulkan rasa tidak puas dan bahkan tidak mustahil berkembang menjadi “dendam” dalam diri masyarakat yang suatu saat bisa saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yang seringkali diwarnai kekerasan, terhadap para pejabat pemerintah baik di tingkat pusat, daerah, dan bahkan desa (Kepala Desa) dapat dijadikan contoh fenomena di atas. Kemudian oleh Wallis ditambahkan lagi dua ciri berikutnya. Pertama, administrasi di banyak negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya dengan kesejahteraan (gaji) mereka yang relatif kecil, sehingga mempengaruhi semangat pegawainya untuk bekerja secara baik. Bahkan, juga tanpa sadar mendorong mereka untuk menciptakan tambahan kesejahteraan antara lain melalui pelaksanaan kewenangan/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai contoh, “menambahnambah” persyaratan dan prosedur pelayanan dengan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Pola pelayanan dengan “imbalan” ini tidak hanya terjadi pada bidang pelayanan umum kepada masyarakat umum, tetapi juga pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, misalnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi kenaikan pangkat pegawai instansi vertikal, dan sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi.
Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh
terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, hubungan primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak dan bekerja secara objektif dan rasional, serta menurut aturan hukum yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan masyarakat, dapat diganti menjadi untuk kepentingan kelompoknya. Kegiatan-kegiatan yang mudah dijumpai dalam kaitannya dengan aspek-aspek di atas, antara lain dalam rekrutmen dan promosi pegawai dan kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita juga mengalami hal ini, baik pada masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan berbagai partai politik telah mengkotak-kotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, setelah tahun 1970an juga terlihat dominasi satu kelompok politik tertentu dalam birokrasi yang pada akhirnya membawa birokrasi tidak dapat melaksanakan perannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat serta menimbulkan krisis kepercayaan kepada aparatur
11
pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yang pindah dari satu instansi ke instansi lain secara tidak rasional dengan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yang bersangkutan juga cermin dari ciri di atas (mungkin ini lebih tepat dianggap sebagai kronisme yang tidak pada tempatnya). Dengan potret birokrasi yang jauh dari apa yang dicitakan Weber dengan birokrasi rasional nya, tak heran jika yang terjadi adalah sejumlah penyakit birokratis (patologi birokrasi). Birokrasi tidak lagi dapat diandalkan untuk menangani masalah-masalah bangsa, melainkan justru menjadi bagian dari masalah yang dihadapi oleh bangsa itu sendiri. Birokrasi yang muncul adalah birokrasi yang lemah dan tidak stabil serta belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah birokrasi kearah yang lebih buruk, atau dengan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi. Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya adalah karena birokrasi pemerintahan sering digunakan sebagai alat perpanjangan kekuasaan oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan secara tidak demokratis dan merugikan masyarakat umum. Akibatnya, peran aparatur pemerintah yang seharusnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat umum, cepat atau lambat berubah menjadi pelayan partai atau kelompok yang berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yang dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) dengan memberikan imbalan tertentu atas suatu jasa yang diberikan birokrat tersebut. Kondisi tersebut tidak saja terjadi pada aparatur pemerintah tingkat pusat tetapi juga di daerah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan sering mengindikasikan keadaan tersebut. Misalnya, kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah serta proses tender proyek disusun untuk menguntungkan kelompok tertentu baik yang ada dalam birokrasi pemerintahan maupun yang di luar tetapi punya kaitan erat dengan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan dan membentuk birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam berbagai kegiatannya baik di dalam kegiatan internal birokrasi dan terutama pada kegiatan yang melibatkan masyarakat. Demikian kuasanya birokrasi sehingga sikap aparatur pemerintah sering menjadi merasa paling tahu (yang lebih mengetahui diantara yang mengetahui), paling mampu/bisa, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini dapat dikatakan sudah menjadi “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah dipakai oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung menghambat partisipasi masyarakat dan menghambat munculnya berbagai inisiatif dan alternatif pemecahan
12
permasalahan pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan membuat birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan dan aturan hukum. Sebagai contoh, di Indonesia cukup banyak keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan masyarakat, tetapi pada kenyataannya tidak diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa kekuasaan yang berlebihan atau mutlak cenderung mengarah pada korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tersebut tidak dikontrol atau dikendalikan. Tak heran, jika Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dalam sambutannya pada Musrenbangnas Jangka Menengah 20042009 di Jakarta tanggal 5 Januari 2005 yang lalu menyitir salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah rendahnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat antara lain karena rendahnya kinerja aparatur; belum memadainya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan; rendahnya kesejahteraan PNS; banyaknya penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan; serta banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan. Pelayanan kepada masyarakat yang masih rendah juga disebabkan oleh belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah antara lain karena belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang berakibat pada tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah, masih rendahnya kapasitas pemerintah daerah, kurangnya kerjasama antar daerah dalam penyediaan pelayanan publik, serta meningkatnya keinginan untuk membentuk daerah otonom baru yang belum tentu mengacu pada kepentingan masyarakat. Berbagai lembaga luar negeri baik swasta maupun pemerintah juga berpendapat bahwa fenomena birokrasi dan korupsi di Indonesia sudah sangat parah. Hal ini ditunjukan antara lain dari berbagai hasil survei atau penelitian yang mereka lakukan dan dibandingkan dengan kondisi di berbagai negara lainnya, antara lain seperti hasil penelitian PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia; dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia. Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper (2001) tentang ranking negara-
13
negara Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti. Terlepas dari berbagai paramater yang mungkin bisa diperdebatkan, hasil-hasil penelitian tersebut harus kita perhatikan untuk mengantisipasi pembesaran dampaknya. Ironisnya, sejarrah Indonesia di era reformasi juga mencatat betapa kurangnya keseriusan pemerintah terhadap upaya pembenahan birokrasi. Upaya pembenahan birokrasi lebih banyak terkesan sebagai upaya parsial ketimbang upaya yang menyeluruh, kendatipun penyakit birokrasi Indonesia sebenarny sudah tidak dapat dikatakan masih sehat. Awal reformasi mencatat pergantian rezim pemerintahan yang diikuti pembubaran departemen sosial dan departemen penerangan tanpa di dahului kajian yang mendalam. Bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Bill Clinton dalam masa awal pemerintahanya dengan membentuk satuan tugas pembenahan birokrasi (National Performance Review) yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Al Gore dan menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan birokrasi di Amerika Serikat. Demikian pula di Inggris pada masa awal pemerintahan Margareth Thatcher (1979) yang dimulai dengan membentuk suatu komisi yang menghasilkan kebijakan First Step dan Next Step dalam rangka penyempurnaan pelayanan umum, yang kemudian dilanjutkan dengan program Citizen Charter pada masa John Major dan Tony Blair. Di Perancis pada masa pemerintah Mitterand mulai memperkenalkan istilah dan isu good governance. Inilah potret suram birokrasi Indonesia yang menuntut revitalisasi agar peran penting yang dimiliki oleh birokrasi dapat dimainkan dengan baik untuk membawa bangsa dan negara menuju Indonesia Baru.
4.
Revitalisasi Birokrasi Berbagai tantangan menuju Indonesia Baru dan potret birokrasi Indonesia saat ini, jelas menghendaki suatu upaya revitalisasi birokrasi secara menyeluruh dan sistematis sebagai bagian sistem pembangunan Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI). Untuk itu, dalam upaya revitalisasi birokrasi menuju Indonesia Baru perlu dilakukan dengan mencakup dimensidimensi filosofis, kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, dan kesejahteraan.
Dimensi Filosofis Pilihan menentukan bentuk sistem pemerintahan yang dianut termasuk sistem birokrasi oleh suatu negara sangat dipengaruhi oleh dimensi filosofis yang
14
dianut oleh suatu bangsa dan atau juga dimensi filosofis yang melingkupi lahirnya kebijakan birokrasi tersebut. Sistem birokrasi yang dianut sama ini, lebih banyak diwarnai oleh sistem birokrasi yang diadopsi dari negara-negara maju dan banyak dipengaruhi oleh dimensi filosofis yang melatarinya. Ssitem birokrasi pemerintah di dunia, terutama di negara-negara barat pada masa awalnya sangat dipengaruhi oleh filsafat liberalisme yang sangat percaya kepada kebebasan individu sehingga berimplikasi pada peran birokrasi yang sangat terbatas dan kepercayaan yang besar terhadap mekanisme pasar sebagai suatu mekanisme koordinasi yang paling efektif. Tetapi beriring dengan terjadinya krisis ekonomi dan berkembangnya paham kesejahteraan (welfare) yang dipengaruhi oleh “New Deal” di Amerika Serikat dan pengaruh pemikiran Keynesianism berimplikasi pula pada semakin meluasnya peran birokrasi. Namun perluasan peran birokrasi yang ditandai dengan semakin meluasnya urusan yang ditangani pemerintah, ternyata membawa persoalan baru yang tercermin dari munculnya gugatan terhadap birokrasi yang gemuk, berbelit-belit, tidak efisien, monopolistic dan sejenisnya. Kritik-kritik demikian dalam studi tentang birokrasi terlihat jelas dari tulisan-tulisan para ahli yang dikelompokkan dalam aliran pilihan public (public choice) seperti Buchanan, Tullock, Olson dan sebagainya. Muncul upaya-upaya modernisasi birokrasi dalam bentuk gerakan Manajemen Publik Baru (New Public Mangement) dan Reinventing Government dan dalam berbagai label lainnya seperti “Managerialism” (Pollitt, 1990), Market-Based Public Administration (Land an Rosenbloom, 1992), Reinventing Government (Osborne dan Gaebler, 1992), New Public Management (Hood, 1991). Beberapa ciri dari pendekatan ini diantaranya, perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan tanggung jawab personal dari para manajer, pergeseran dari birokrasi klasik yang kaku dan hirarkis menuju organisasi, sumber daya manusia, dan syarat-syarat pekerjaan yang lebih fleksibel, tujuan organisasional yang lebih jelas dan mampu diukur pencapaiannya melalui indicator yang jelas, inisiasi mekanisme pasar dan kompetisi, kecenderungan pemangkasan birokrasi dari yang gemuk menjadi lebih langsing dan sebagainya. Dalam konteks menuju Indonesia Baru, bentuk adopsi sistem birokrasi seyogyanya tetap berada dalam landasan filosofis bangsa yaitu Pancasila. Landasan filosofis dalam suatu sistem berperan melandasi, memberikan acuan, menjadi pedoman perilaku, dan menghikmati eksistensi dan dinamika unsurunsur lainnya dalam sistem administrasi negara termasuk birokrasi. Revitalisasi birokrasi yang hendak dilakukan pertama-tama harus menjaga konsistensinya dengan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara yang menjadi dasar eksistensi dan acuan perilaku sistem dan proses administrasi negara bangsa ini. Revitalisasi birokrasi harus merefleksikan transformasi nilai. Dasar kegitimasi eksistensi setiap individu dan institusi di negeri ini adalah kompetensi dan kontribusinya masing-masing dalam mengaktualisasikan dan mewujudkan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi RI. Dalam pembukaan UUD 1945 terkandung aspek-aspek nilai, yang secara
15
keseluruhan terdiri dari aspek spiritual, berupa pengakuan terhadap eksistensi, kemahakekuasaan, dan curahan rahmat Allah SWT dalam perjuangan bangsa (pada aline tiga); aspek kultural, berupa landasan falsafah negara yaitu Pancasila.; dan aspek institusional, berupa cita-cita (alinea dua) dan tujuan bernegara, serta nilai-nilai yang terkandung dalam bentuk negara dan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara (alinea empat). Konstitusi negara Indonesia menegaskan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, berbentuk negara kesatuan dengan sistem dan proses kebijakan yang mengakomodasikan peran masyarakat yang luas (terbuka, partisipatif, dan akuntabel). Pengambilan keputusan politik yang strategis dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, itu dilakukan bersama secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan [MPR; DPR(D)] sebagai representasi rakyat bangsa dari dan di seluruh wilayah negara yang terbagi atas daerah besar (provinsi) dan kecil (Kabupaten/Kota, dan Desa) dengan kewenangan-kewenangan otonomi tertentu. Berbagai kebijakan pemerintahan tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan perundangan tertentu (Ketetapan MPR, UU, PP, Perpu, Keppres, dan Perda). UndangUndang, PP dan Perda tentang substansi masalah publik tertentu ditetapkan pemerintah setelah mendapatkan persetujuan DPR(D) dan pelaksanaannya harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai kebijakan yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa untuk mencapai tujuan bernegara, keseluruhannya harus terjaga keserasian dan keterpaduanya satu sama lain. Dari sini dapat dilihat aspek penting lainnya yang terkandung dalam dimensi-dimensi nilai. Penempatannya dalam konstitusi, menjadikannya sebagai nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa, yang harus diwujudkan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan dalam hubungan antar bangsa;, sebagai acuan pokok dalam pengembangan “visi, misi, dan strategi” bagi setiap individu dan institusi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dewasa ini dan di masa datang. Dimensi filosofis itu pulalah yang harus diaktualisasikan dalam dan melalui upaya revitalisasi birokrasi dalam berbagai aspeknya, dengan penyusunan visi, misi, dan strategi yang tepat dan efektif dalam pencapaian kinerja yang terarah pada pencapaian tujuan bernegara.
Dimensi Paradigmatik Secara paradigmatik, birokrasi Weberian banyak mengalami kritik, terutama dalam kaitannya dengan potensi kekuasaan dan sifat monoplistik yang dimilikinya. Kecenderungan di banyak negara berkembang, birokrasi telah menjelma menjadi kekuasaan itu sendiri dan bekerja untuk melayani
16
kekuasaan, bukan sebagai alat penguasa untuk melayani masyarakatnya. Dengan sifat-sifat patologik yang dimilikinya, birokrasi juga dikecam sebagai potensial merupakan ancaman bagi demokrasi. Birokrasi di banyak negara berkembang telah menjelma menjadi tuan bagi rakyatnya, yang berdampak pada pola hubungan antara birokrasi dengan warga yang dilayani yang tidak terjadi secara diametrikal melainkan terwujud dalam hubungan yang vertikal, dimana warga atau rakyat bukan lagi sebagai tuan yang harus dilayani oleh birokrasi, melainkan birokrasi lah yang bertindak sebagai tuan yang perlu dilayani yang terwujud dalam bentuk-bentuk pemberian upeti dan sebagainya. Dalam kaitan itu, secara global telah terjadi pergeseran paradigma dalam upaya merevitalisasi birokrasi di hampir seluruh belahan dunia. Pergeseran paradigma yang menarik adalah seperti yang ditunjukkan dengan munculnya gerakan New Public Management. Ciri-ciri yang umum adalah perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan tanggung jawab personal dari para manajer, pergeseran dari birokrasi klasik yang kaku dan hirarkis menuju organisasi, sumber daya manusia, dan syarat-syarat pekerjaan yang lebih fleksibel, tujuan organisasional yang lebih jelas dan mampu diukur pencapaiannya melalui indicator yang jelas, inisiasi mekanisme pasar dan kompetisi, kecenderungan pemangkasan birokrasi dari yang gemuk menjadi lebih langsing dan sebagainya. Perubahan paradgmatik lainnya adalah menyangkut kecenderungan penerapan isu good governance (kepemerintahan yang baik). Sesungguhnya adalah Bank Dunia yang memulai kembali wacana mengenai kepemerintahan ini ketika pada tahun 1992 menerbitkan laporan yang berjudul Governance and Development. Pada tahun yang sama, Osborne dan Gaebler juga menggunakan istilah „governance‟ untuk menunjukkan pentingnya langkahlangkah pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Osborne dan Gaebler mengkaitkan kebutuhan untuk memunculkan konsep governance dengan ketidakmemadaian penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan oleh pemerintah dewasa ini. Yang dimaksud oleh kedua penulis ini adalah pemerintah (government) sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, yang dianggap sudah ketinggalan jaman (bad governance). Tapi apabila proses untuk mencapai tujuan tersebut berlangsung dengan baik (good governance), maka yang akan muncul adalah pemerintahan yang lebih baik (better government). Dengan kata lain, bagi Osborne dan Gaebler, kepemerintahan atau governance berarti proses untuk secara kolektif menyelesaikan masalah-masalah bersama dan memenuhi kebutuhan bersama dalam masyarakat. Kemudian, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) pada tahun 1995 menerbitkan pula policy paper yang berjudul Governance: Sound Development Management. Intinya adalah bahwa bantuan keuangan internasional hanya akan diberikan kepada suatu negara apabila disertai
17
dengan upaya-upaya perbaikan dalam penyelenggaraan kepemerintahan negara tersebut. Sejak saat itu, kita makin sering mendengarkan istilah „ kepemerintahan‟ atau governance ini dibicarakan di kalangan para akademisi, aktivis LSM dan perencana pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang yang memperoleh sebagian dari dana pembangunannya dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Istilah governance ini telah didefinisikan dengan berbagai cara. Menurut Bank Dunia, konsep governance menunjuk pada the way state power is used in
managing economic and social resources for development of society
(bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumberdaya ekonomi dan sosial bagi pembangunan masyarakat). Dari batasan ini terlihat bahwa batasan Bank Dunia memusatkan perhatian pada manajemen atau cara-cara pengelolaan sumberdaya (melalui kekuasaan negara) demi tujuantujuan pembangunan. Dengan rumusan yang agak berbeda, UNDP (United Nations Development Program) mengartikan governance sebagai the exercise
of political, economic, and administrative authorities to manage a nation‟s affairs at all levels (pelaksanaan wewenang di bidang politik, ekonomi, dan
administratif dalam upaya mengelola permasalahan suatu bangsa di semua tingkatan). Dengan kata lain, UNDP melihat fenomena governance ini sebagai tindakan melaksanakan berbagai kebijakan dalam proses pembangunan suatu bangsa. Tindakan tersebut dilakukan bukan hanya oleh pemerintah saja seperti yang selama ini dipahami, tapi juga oleh sektor swasta dan kalangan masyarakat sipil (civil society) serta kemitraan di antara ketiga pihak ini. Dengan kata lain, bagi UNDP, kepemerintahan identik dengan kemitraan antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat sipil (berbagai kelompok otonom dalam masyarakat). Memang, istilah governance seringkali disamakan dengan „pemerintah‟ (government). Padahal kedua istilah ini mengandung pengertian yang amat berbeda. „Pemerintah‟ bersifat ekslusif dan menunjuk pada institusi tertentu (eksekutif atau birokrasi) yang merumuskan dan melaksanakan semua kebijakan dalam proses pembangunan. „Pemerintah‟ menggunakan istilah „kami‟ untuk membedakannya dengan „mereka‟, biasanya rakyat yang hanya boleh bersikap menerima saja apa yang direncanakan dan dilaksanakan pemerintah, sebagaimana pernah kita alami selama masa pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, governance bersifat insklusif sehingga tidak ada istilah „kami‟ atau „mereka‟. Yang ada adalah „kita‟, karena semua pihak merupakan bagian yang aktif dalam proses pembangunan. Sebagaimana terlihat dalam pengertian governance oleh UNDP di atas, „kita‟ tersebut adalah pemerintah, pihak swasta dan kalangan masyarakat sipil. Dalam paradigma yang baru, revitalisasi birokrasi hendaknya menyadari bahwa birokrasi hanya merupakan salah satu aktor dalam penanganan masalah-
18
maslaah publik. Sesuai dengan paradigma good governance, yang pada dasarnya menunjukkan bahwa kepemerintahan yang baik ditunjukkan oleh terjalinnya pola interaksi yang sehat di antara aktor-aktor terkait, termasuk birokrasi. Konsekuensi, pola hubungan antara birokrasi dengan masyarakat pun menjadi pola hubungan yang sejajar. Birokrasi bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah-masalah publik. Dalam hubungan itu, birokrasi dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan, tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (“steering rather than rowing”), atau memilih kombinasi yang optimal antara steering dan rowing apabila langkah tersebut merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimal. Yang jelas sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, tidak perlu dilakukan lagi oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau diberdayakan (empowered). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembangunan. Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran birokrasi dapat direvitalisasi antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (e) pengembangan program untuk lebih meningkatkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dimensi Kelembagaan Dalam kerangka upaya revitalisasi birokrasi, maka sudah selayaknya untuk melakukan review yang dapat berupa reorganisasi terhadap organsasi dan kelembagaan birokrasi pemerintah. Kelembagaan birokrasi yang kaku dan hirarkis sudah saatnya untuk ditinjau ulang. Penataan kelembagaan birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas, ramping, desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional. Seiring dengan itu, penyederhanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur, serta antara aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha berorientasi pada kriteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima (peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan); peningkatan kesejahteraan sosial dalam arti luas; serta peningkatan kreativitas, otoaktivitas, dan produktivitas nasional.
19
dan perubahan kelembagaan birokrasi (institutional development and change) harus diarahkan untuk: (1) menghindari terjadinya Pengembangan
pembentukan unit-unit kerja yang menghambat efisiensi dan efektivitas kerja, termasuk duplikasi tugas dan fungsi, dan yang sekedar menampung pegawai, tanpa tugas dan fungsi yang jelas; (2) menghindari terjadinya penyeragaman bentuk dan unit kerja yang tidak perlu tanpa memperhatikan kebutuhan dan analisis beban kerja yang sebenarnya.
Kecuali itu, pola-pola hubungan hirarkis yang dikenal selama ini, seyogyanya dapat diubah dengan pengembangan pola-pola jejaring (networking). Sebagaimana diketahui, persoalan yang paling krusial dalam birokrasi di Indonesia adalah menyangkut koordinasi. Kritik tajam terhadap lambannya birokrasi pemerintah dalam upaya penanggulangan bencana di Aceh yang terjadi baru-baru ini, juga ditimpakan kepada lemahnya koordinasi di lapangan. Hal ini sebenarnya menggambarkan betapa tak terbiasanya birokrasi kita bekerja dengan pola-pola koordinasi jejaring. Birokrasi kita lebih terbiasa dengan pola-pola koordinasi hirarkis yang bersifat instruksional, dimana solusinya berupa pembentukan lembaga koordinasi yang perlu dilengkapi dengan legitimasi kekuasan. Manakala legitimasi kekuasan tidak diperoleh, maka koordinasi tidak berjalan karena instruksi akan cenderung diabaikan. Akan berbeda halnya dalam pola-pola networking, dimana interaksi antar elemen yang dikoordinasi tidaklah bekerja atas basis instruksi melainkan kebutuhan dan diikat oleh norma yang ditegakan oleh masing-masing elemn,. Sehingga manakala terjadi pembangkangan norma, sistem lah yang akan memberi sanksi.
Dimensi Ketatalaksanaan Di bidang ketatalaksanaan, revitalisasi perlu dilakukan dengan menyusun berbagai sistem manajemen yang realistis dan applicable mulai dari manajemen kebijaksanaan yang bersifat makro hingga pedoman kerja yang jelas, termasuk sistem penyimpanan arsip. Dengan makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan kegiatan pembangunan, pengembangan sistem ketatalaksanaan birokrasi pemerintah perlu diprioritaskan pada revitalisasi pelaksanaan fungsifungsi pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang berkepastian hukum, kondusif, transparan, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika yang terarah pada pengembangan e-administration atau e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi dan produktivitas masyarakat dan dunia usaha di seluruh wilayah negara. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat
20
menjadi bagian dari masyarakat yang terus belajar (learning community), mengacu pada terwujudnya masyarakat maju, mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi. Penetapan standar pelayanan dan juga standar operasi sudah saatnya dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga tentunya akan berpengaruh terhadap dimensi ketatalaksanaan ini. Adanya kemajuan yang pesat dalam teknologi informasi dan komunikasi telah membawa implikasi yang luas pada hampir semua sektor kehidupan, termasuk terhadap birokrasi. Oleh Drucker dalam “Management Challenges for the 21st Century (1999) dikatakan bahwa implikasi yang paling jelas dari revolusi di bidang teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) adalah pemahaman dan pemaknaan terhadap informasi dan kegunaannya”. Dengan kemajuan teknologi yang menyebabkan semakin mudahnya mengakses informasi yang berlimpah, persoalannya kini bagaimana mengelola dan memanfaatkan informasi tersebut. Informasi oleh Drucker dikatakan penting tidak hanya sebagai landasan bagi tindakan yang tepat, tetapi juga merupakan landasan bagi munculnya tantangan di dunia administrasi, yakni tentang pentingnya SDM yang berpengetahuan (knowledge worker) dan tantangan untuk managing oneself. Dari apa yang dinyatakan Drucker, tersebut, jelas ICT telah berimplikasi pada tatanan pekerjaan dan organisasi birokrasi sendiri. Dengan adanya ICT, sifat pekerjaan menjadi berbeda dari masa sebelumnya. SDM semata tidak lagi menjadi unsur produksi utama, tetapi kini yang lebih penting adalah SDM yang berpengetahuan (knowledge worker). Dikatakan demikian, karena kegiatan utama dalam menciptakan kekayaan/nilai tambah bukan lagi alokasi modal untuk keperluan produksi dan juga bukan kegiatan buruh dalam kegiatan proses produksi. Kini sudah berubah dimana unsur yang sangat mempengaruhi penciptaan nilai tambah adalah produktivitas dan inovasi sehubungan dengan penerapan pengetahuan dalam pekerjaan. Sehingga dikatakan Drucker pula, kelompok utama dalam masyarakat adalah terdiri dari knowledge worker yang terdiri dari knowledge executives, knowledge professional, dan knowledge employee. Knowledge worker berfungsi ganda baik sebagai pemilik (melalui dana pensiun dan pemegang saham) maupun sebagai unsur produksi yang mempunyai “pnegetahuan” yang melekat (embedded) dalam dirinya dan dapat dibawa kemana mereka pergi. Demikian pula sifat dan hakekat pekerjaan dan organisasi juga mulai berubah berkenaan dengan perkembangan ICT ini. Pekerjaan mulai berubah menjadi pekerjaan yang berbasis pengetahuan. Tugas pekerjaan yang bersifat sederhana dan rutin mulai diganti dengan tugas pekerjaan yang yang menekankan pada inovasi dan perhatian (inovasi and caring). Keahlian dan keterampilan tunggal (single-skilled) diganti dengan multi-skilled, penugasan individual berubah menuju penugasan kelompok (team work). Koordinasi dari
21
atasan mulai berganti dengan koordinasi oleh sejawat (coordination among peers). ICT juga berimplikasi pada pentingnya pemerintahan yang baik (good governance). Nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, rule of law, ekuaibel, efektif dan efisien, responsive, consensus dan partisipatif yang merupakan nilai-nilai good governance mulai gencar diintrodusir. ICT yang juga berdampak terhadap percepatan globalisasi, mendorong kompetisi yang semakin keras, sehingga mendorong upaya yang semakin keras pula untuk kreativitas dan inovasi dalam birokrasi. Sehingga, dalam upaya revitalisasi birokrasi, maka sudah saatnya digunakan system tatalaksana yang memungkinkan proses pembelajaran terjadi. Sistem ketatalaksanaan birokrasi seyogyanya merupakan sistem ketatalaksanaan yang mampu mengelola pengetahuan tentang bagaimana menangani masalah-masalah publik secara lebih cerdas. Tak dapat dilupakan menyangkut pembenahan sistem kearsipan yang sekilas tampak tidak berarti, padahal tidak saja dapat menimbulkan economic cost tetapi juga social dan political cost yang tidak sedikit. Sebagai contoh, berbagai kasus pertanahan sering muncul karena lemahnya sistem arsip pertanahan. Demikian pula dengan sistem registrasi kependudukan dimana seorang penduduk DKI Jakarta dapat memiliki juga kartu tanda penduduk DKI, Bekasi, Tanggerang, dan Gunung Kidul. Padahal sistem registrasi kependuduk-an ini sangat penting untuk menghasilkan data kependudukan yang akurat. Data tersebut sangat berguna sebagai masukan pengambilan kebijaksanaan di berbagai sektor pembangunan, misalnya program keluarga berencana, penanggulangan kemiskinan, pemilihan umum, dan sebagainya. Pendeknya, revitalisasi birokrasi dari dimensi ketatalaksanaan berupa upayaupaya untuk memantapkan sistem ketatalaksanaan dalam tubuh birokrasi sehingga mampu melancarkan roda-roda birokrasi dan menjawab kebutuhan saat ini dan masa depan. Dimensi Sumber Daya Manusia Dalam melakukan revitalisasi birokrasi, dimensi sumber daya manusia (SDM) jelas merupakan dimensi yang sangat penting. Untuk perlu dilakukan pembangunan sumber daya manusia birokrasi baik dari segi kualitas (kemampuan, tingkat pendidikan, sikap, dan kariernya) dan kesejahteraannya. Berbagai diklat perlu ditata rapi dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata. Demikian pula sistem pembinaan karier, termasuk sistem rekrutmen, promosi, DP3 dan sebagainya. Perilaku aparatur perlu dibenahi agar berorientasi pada produktivitas dan kualitas kerja serta mengutamakan kepentingan masyarakat umum dan social equity, bukan kepentingan kelompok atau golongan termasuk partai-partai yang berkuasa. Untuk itu, aparatur negara harus dibina sebagai
22
abdi negara dan abdi masyarakat dalam arti yang sebenarnya dan bukan sebagai abdi partai yang berkuasa dan “abdi pengusaha”. Sosok birokrat – ataupun SDM aparatur pada umumnya - penampilannya hendaknya mencerminkan profesionalisme sekaligus taat hukum, netral, rasional, demokratik, inovatif, mandiri, memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya karakteristik sebagai berikut: (a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara, (b) memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik, (c) berkemampuan melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan inovatif, (d) taat asas, dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional, (e) memiliiki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas), (f) memiliki jati diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, serta bangga terhadap profesinya sebagai pegawai negeri, (g) memiliki derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan (h) memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas. Selain itu perlu pula diperhatikan reward system yang kondusi (baik dalam bentuk gaji maupun perkembangan karier yang didasarkan atas sistem merit; serta finalty system yang bersifat preventif dan repressif. Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara juga perlu mengacu pada standar kompetensi internasional (world class). Untuk perlu dikembangkan sistem manajemen SDM yang berkualitas. Bukan rahasia baru lagi, jika banyak yang mensinyalir sistem pengelolaan SDM birokrasi Indonesia relatif kurang baik. Jarang ada perencanaan SDM yang handal. Pola pengembangan SDM pun acap kali tak jelas. Termasuk juga buruknya sistem pengelolaan kinerja pegawai. Sampai dengan sekarang, sistem penilaian kinerja yang digunakan adalah DP3. Bagaimana dampak DP3 terhadap kinerja pegawai, sesungguhnya tidak terlalu jelas. Telah menjadi rahasia umum di kalangan pegawai, bahwa DP3 tidak lebih merupakan ritual yang nyaris tidak memiliki dampak apapun terhadap kinerja, kecuali sebagai salah satu persyaratan untuk naik pangkat ataupun jabatan. Tidak ada jaminan bahwa yang nilai DP3 sangat baik akan lebih cepat naik pangkat atau jabatan ketimbang pegawai lainnya yang rata-rata. Sebagai suatu alat pengukur kinerja, DP3 jelas sudah kurang relevan. Praktek evaluasi kinerja saat ini di negara-negara maju, banyak mengintrodusir penggunaan sistem penilaian kinerja yang didasarkan pada sasaran kerja yang jelas dan terukur seerta disepakati bersama antara si pegawai dan atasannya. Bahkan tak jarang yang menggunakan kontrak kinerja yang berisikan sasaran kinerja yang jelas, terukur dan harus dicapai dalam suatu periode waktu tertentu.
23
Dalam revitalisasi birokrasi menuju Indonesia Baru, dari dimensi SDM jelas mengehndaki SDM-SDM yang tangguh, handal dan profesional. Kecuali itu, SDM birokrasi seyogyanya merupakan SDM-SDM yang berpengetahuan (knowledge human resource). Pentingnya SDM-SDM yang berpengetahuan atau pembelajar ini, karena sebagaimana banyak ahli percaya, bahwa salah satu sumber daya yang mampu menghasilkan keunggulan organisasi adalah Intangible Resources yang mencakup asset seperti keahlian, pengetahuan, kapabilitas manajerial, dan reputasi. Disinilah letak pentingnya pengetahuan sebagai sumber daya organisasi sehingga harus dikelola dengan baik. Menurut Nonaka (1994) dengan merujuk pada pekerjaan Polanyi membedakan antara dua jenis pengetahuan, yakni “tacit knowledge” dan “explicit knowledge”. Jika pengetahuan eksplisit itu merupakan pengetahuan yang dapat ditransferkan dengan dalam bahasa formal dan sistematis, maka tacit knowledge memiliki kualitas personal yang sulit untuk ditransfekan. Padahal dalam organisasi, pengetahuan yang harus dikelola adalah kedua jenis pengetahuan tersebut, sehingga disinilah letak pentingnya bagaimana menciptakan dan mentransferkan pengetahuan ke segenap lapisan organisasi sehingga menjadi pengetahuan organisasi. Disinilah letak pentingnya manajemen pengetahuan dalam kerangka strategi revitalisasi birokrasi untuk tetap unggul, sekaligus menyiratkan akan pentingnya SDMSDM yang profesional dan pembelajar.
Dimensi Kesejahteraan
Jika menyimak dari uraian sebelumnya, maka tampaknya upaya revitalisasi ini akan sulit dilakukan tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai negeri (termasuk TNI dan Polisi). Pegawai negeri adalah manusia, dan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi bila pegawai negeri bekerja dengan gaji “perjuangan” saja. Selama 3 dekade, sistem gaji “perjuangan” ini telah menimbulkan social cost, selain economic cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek korupsi dengan segala bentuknya. Praktekpraktek seperti ini secara lambat tapi pasti seakan-akan telah “membudaya” dalam birokrasi pemerintahan. Penghapusan terhadap social cost tersebut bukan merupakan hal yang mudah, dan hal inilah yang sedang kita alami hingga saat ini. Karena itu, sistem pengajian pegawai negeri harus diperbaiki agar pegawai negeri dapat hidup layak dalam arti dapat menghidupi keluarganya (sandang, pangan, papan, dan kebutuhan sosialnya). Selain itu, sistem penggajian (gaji PNS standar nasional dan tunjangan lain yang belum tentu semua instansi mendapatkannya) tersebut juga harus adil dan proporsional dan terbuka untuk seluruh pegawai negeri dan instansi pemerintah tanpa pilih kasih.
24
Disadari bahwa peningkatan gaji tidak berarti akan otomatis memperbaiki kinerja aparatur negara baik pada kualitas produktivitas kerjanya maupun sikap atau perilaku kerjanya. Tetapi tanpa perbaikan gaji, maka sangat sulit sekali mengharapkan kinerja aparatur pemerintah akan baik. Mengingat gaji bukan satu-satunya faktor untuk mendorong peningkatan kinerja, maka peningkatan gaji tersebut juga harus dibarengi dengan pendayagunaan bidang lainnya, misalnya pengawasan, pembinaan karier, dan diklat bagi pegawai. Sistem peningkatan kesejahteraan pegawai dalam upaya revitalisasi birokrasi seyogyanya terkait dengan sistem pengelolaan kinerja. Dengan perkataan lain, mulai dapat diinisasi sistem remunerasi yang berbasiskan kinerja dalam rangka mewujudkan birokrasi yang profesional dan berdasarkan pada merit system dan performace based.
5.
Penutup Dari pembahasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa peran yang dimainkan birokrasi dalam menuju Indonesia baru perlu di revitalisasi agar birokrasi dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap perwujudan citacita bangsa dan negara. Dalam upaya melakukan revitalisasi birokrasi, haruslah disadari bahwa birokrasi pada dasarnya merupakan suatu sistem terbuka (opened system) yang merupakan bagian dari suatu sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, upaya revitalisasi birokrasi hendaknya mengkaji pula lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Dengan melihat besar dan kompleksnya tantangan yang dihadapi – baik domestik maupun global – dalam menuju Indonesia baru, maka upaya revitalisasi birokrasi tentunya tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan perlu untuk dilakukan secara komprehensif. Upaya revitalisasi birokrasi dengan demikian menghendaki perlunya revitalisasi birokrasi dari berbagai dimensi, yakni filosofis, paradigma, kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, dan kesejahteraan.
25
Daftar Pustaka Benveniste, Guy. (1991). Birokrasi, Jakarta: Rajawali Press Gelinas, Jacques B. (2003). Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization. London & New York: Zed Books Kartasasmita, Ginandjar. (1997). Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran, dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta : LP3ES Kymlycka, Will. (1999). Contemporary Political Philosophy: An Introduction. Oxford: Clarendon Press. Kotler, Philip and Eduardo L. Roberto. (1989). Social Marketing: Strategies for Changing Public Behavior. New York : The Free Press Nolan, Brendan C. (2001). Public Sector Reform : An International Perspective. New York : Palgrave Macmillan Mustopadidjaja, AR (1997). “Format Pemerintahan Menghadapi Abad 21”, Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vo. 1, No. 2, 1997. Osborne, David and Ted Gaebler. (1992). Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Washington D.C. : Addison-Wesley Robertson, Robbie. (2003). The Three Waves of Globalization: A History of a Developing Global Consciousness. London dan New York: Zed Books Tehranian, Majid. (1999). Global Communication and World Politics: Domination, Development, and Discourse. Linne Rienner Publishers. World Bank. (1994). Development in Practice, Governance: The World Bank Experience Washington D.C : World Bank Publication