Dinamika Praktik Berladang di Kawasan Lahan Gambut Eks PPLG Sejuta Hektar (Studi Kasus: Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah) Giska Adilah Sharfina Saputra dan Iwan Tjiradjaja Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini mendeskripsikan dan menganalisa dinamika praktik berladang yang dilakukan oleh peladang Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Perladangan dengan kaitan penggunaan api menjadi fokus kajian karena berkaitan erat dengan fenomena kebakaran hutan di Indonesia. Peladang adalah pihak yang dituding sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan. Skripsi ini menceritakan tahap-tahap berladang dan variasi yang terjadi. Variasi terjadi pada cara berladang dan penggunaan alat teknologi. Setiap peladang memiliki tindakan yang berbeda-beda dari pengalaman dan kondisi lingkungan dan sosial yang dihadapi. Variasi tersebut telah mempengaruhi siklus tahapan berladang. Dari sekian variasi yang terjadi, tahapan pembakaran di aktivitas berladang tidak hilang dan tidak tergantikan. Skripsi ini juga memaparkan variasi praktik berladang yang rentan terhadap terjadinya kebakaran lahan dan hutan gambut.
The Dynamics of Cultivation Practices in Peatland ex PPLG (Case Studies: Mantangai Hulu Village, Kuala Kapuas Regency, Central Kalimantan) Abstract This thesis analyzes the dynamics of cultivation practices made by a group of rice cultivators in Mantangai Hulu Village, Kuala Kapuas Regency, Central Kalimantan. Connection between cultivation and the use of fire become the focus of study in this thesis because of the forest fires in Indonesia. Cultivators are blamed as the caused of forest fires. This thesis describes the stages of farming and the variation. The variation occurs in the cultivation practices and the use of technological tools. Each cultivators have different actions depending on the experience and the social and environmental conditions encountered. The variations have affected the farming cycle stages. According to varieties, there is the use of fire stages in cultivation that cultivators never be replaced. I also present in thesis that variation in cultivator practices are vulnerable to forest fires and peat land. Keywords: variations, cultivating, fire, practice, peat
Pendahuluan Mayoritas peladang menggunakan api saat melakukan ladang berpindah. Nugraha (2005:111) mengatakan bahwa pada tahun 1988, masyarakat di Indonesia yang bergantung pada sistem pertanian ladang berpindah mencapai 12 juta jiwa dengan luas lahan mencapai 35 juta hektar. Saat berpindah, peladang sengaja meninggalkan ladang mereka dalam kurun waktu beberapa tahun. Tujuannya adalah ladang dapat ditumbuhi rumput ilalang. Saat pembukaan kembali lahan, peladang menggunakan api untuk membersihkan dan membakar rumput ilalang. Semakin banyak rumput yang tumbuh, maka hasil pembakaran lebih bagus, karena tanah menjadi subur untuk areal pertanian. Kebiasaan membakar oleh peladang selalu dikaitkan dengan peristiwa kebakaran di Indonesia. Banyak tudingan ditujukan kepada peladang sebagai pelaku pembakaran.
1 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
Peristiwa ini menyebabkan dampak negatif, mulai dari kerusakan ekosistem, kesehatan, dan sistem ekonomi. Emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar menyebar ke atmosfer, sehingga terjadi polusi berkepanjangan. Satwa liar terbunuh dan seluruh tanaman mati karena tempat habitat yang rusak. Hasil hutan berupa kayu dan non kayu menjadi hilang. Anomali cuaca yang tidak tentu menyulitkan masyarakat untuk beraktifitas keluar. Degradasi pada lingkungan mematikan kehidupan ekonomi masyarakat. Kebakaran paling besar di Indonesia terjadi paska PPLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut) pada tahun 1997-1998. Semenjak peristiwa tersebut, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang no. 41 tahun 1999 tentang larangan praktik peladangan berpindah di hutan Negara. Salah satu pasal berisi tentang larangan membakar hutan dan membawa benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan dalam kawasan hutan. Berbagai bentuk upaya dilakukan Pemerintah dan pihak terkait, mulai dari mensosialisasikan larangan membakar, menciptakan mata pencaharian alternatif seperti beternak, membuat sekat bakar, memanfaatkan kolam-kolam ikan (beje) agar api tidak menjalar. Segala bentuk kebijakan dan program yang telah disebutkan diatas dapat mempengaruhi aktivitas perladangan. Perkembangan zaman yang menghasilkan penemuan baru juga memungkinkan terjadinya variasi-variasi di aktivitas tersebut. Penelitian antropologi tentang perladangan seperti Dove (1998), Pawennari (1991), Hoetagaol (1985), dan Berutu (1994) diteliti pada kisaran sebelum tahun 2000, kecuali penelitian Nugraha pada tahun 2005 di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, saya merasa kajian ini perlu diperbaharui saat melihat keadaan alam sosial, dan teknologi yang terus berubah. Dari permasalahan penelitian di atas, saya tertarik
melakukan penelitian di Kalimantan Tengah,
khususnya pada Kabupaten Kuala Kapuas, Desa Mantangai Hulu. Desa ini memiliki sejarah yang cukup banyak untuk kebakaran hutan dan lahan. Peristiwa kebakaran terjadi semenjak tahun 2006, 2007, 2009, 2011, 2012, 20131. Dalam sebuah investigasi kebakaran2, Lubis (2012:1) menemukan beberapa penyebab tipe kebakaran yaitu, “using fire for (1) land clearing for agricultural activities, (2) in clearing land for logging collection, (3) to attract deer to come to the specific hunting target location in the peat area, (4) to burn riverbank vegetation to facilitate fishing. Penemuan tersebut menandakan bahwa aktivitas penggunaan api tidak hanya berasal dari perladangan, tetapi juga berasal dari aktivitas lain. Berdasarkan permasalahan diatas, saya membuat tiga pertanyaan penelitian, (1) Apa saja tahap-tahap berladang di masyarakat Desa Mantangai Hulu? (2) Apakah terjadi variasi pada praktik membakar dalam aktivitas perladangan masyarakat Desa Mantangai Hulu? (3) Apa faktor-faktor yang membuat rawan terjadinya kebakaran saat penggunaan api di aktivitas perladangan masyarakat Desa Mantangai Hulu?
Metode Penelitian Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan pengalaman terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview). Penelitian etnografi selalu memasukkan unsur partisipasi penelitian, mengikuti
1
Laporan oleh Lubis, Zulkifli. 2013. Ringkasan Identifikasi Sejarah Permasalahan, dan Kerawanan Kebakaran di 7 Desa. Tidak diterbitkan 2
Catatan investigasi kebakaran diakses dari Lubis, Zulkifli. 2012. Forensic Fire-‐Scene Investigation: Testing The Ace Methodology KFCP Project Area, 30 August-‐12 September 2012. Tidak dipublikasikan.
2 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
kehidupan manusia dalam periode waktu yang cukup, melihat kejadian, mendengarkan penuturan cerita, menanyakan pertanyaan secara informal dan formal, mengumpulkan data artefak, serta mengumpulkan data apapun yang tersedia untuk kepentingan penelitian (Hammersley dan Atkinson 2007:3). Penelitian berlangsung kurang lebih selama satu bulan sejak tanggal 24 Maret sampai 25 April 2014. Selama di lokasi perladangan dan lokasi eks kebakaran, saya melakukan wawancara mendalam kepada subyek penelitian. Setiap hari saya melakukan wawancara dengan cara mendatangi rumah-rumah peladang. Sebagai interviewer, saya harus membangun hubungan baik (building rapport) kepada informan penelitian. Interaksi sosial antara peneliti dan informan sangat penting. Seperti yang dikatakan Hammersley dan Atkinson (2007:117), there is a sense in which all interviews, like any other kind of social interaction, are structured by both researcher and informant. Tujuan wawancara adalah menelusuri pengalaman para peladang, mulai dari tahap mencari lokasi sampai memanen padi. Selain data primer yang saya dapatkan melalui kegiatan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, saya juga mengumpulkan data sekunder seperti artikel, jurnal ilmiah, buku-buku, dan tulisan dari internet yang relevan dengan tema penelitian. Meskipun wawancara dan partisipasi observasi penting, pengumpulan data sekunder juga turut melengkapi hasil penelitian. Berdasarkan pernyataan (Hammersley dan Atkinson 2007:139), “…the role that the study of documents, physical objects, and virtual communication can play in ethnographic work.”
Kerangka Konsep Gourou (1956) menguraikan empat ciri perladangan dalam buku Geertz (1974:16 ) yaitu, (1) dijalankan di tanah tropis yang gersang; (2) berupa teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak; (3) kepadatan penduduk adalah rendah; dan (4) meyangkut tingkat konsumsi yang rendah. Setyawati dan Vayda (1998:44-52) dalam Kurnianto (2010:129) mengungkapkan bahwa pengetahuan dan praktik milik petani melekat kuat ketika mengidentifikasi perubahan kondisi alam di sekitar mereka Dalam sebuah praktik perladangan, pembaruan (innovation) dan penemuan (discovery) adalah proses wajar dalam pembaruan kebudayaan. Pembaruan (innovation) adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, dan dibuatnya produk-produk yang baru (Koentjaraningrat 1980:256). Koentjaraningrat juga mendefinisikan discovery sebagai suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik yang berupa suatu alat baru, suatu ide baru, yang diciptakan oleh seorang individu, atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurutnya, discovery baru menjadi invention apabila masyarakat sudah mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu. Peladang melakukan adaptasi, salah satunya disebabkan kondisi ekologis. Menurut Bennett (1976: 248), “Adaptation is a way of conceptualizing the process which unites the several levels or dimensions of the problem of resource use and abuse. The individual’s capacity to cope with the enviroment can be defined as adaptation, and, likewise, the group’s capacity to survive and change can be defined as adaptation.”. Adaptasi dibedakan menjadi dua hal yaitu adaptif dan maladaptif.
3 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
Menurut Koentjaraningrat (1980:182), culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam. Penggunaan api adalah cara paling efisien dari biaya, waktu, dan tenaga. Dalam tulisannya, Rieley (2001:2) mengatakan bahwa In developing countries, fire is the only effective tool for clearing land cheaply prior to converting it to agriculture. Kebudayaan memakai api terus bertahan dan bereproduksi. Penjelasan ini persis seperti yang dikemukakan Strauss dan Quinn (1997:85) dalam kategori daya sentripetal,“Cultural understandings have five centripetal tendencies. First, they can be relatively durable in individuals. Secondly, cultural understandings can have emotional and motivational force, prompthing those who hold them to act upon them. Thirdly, they can be relatively durable historically, being reproduced from generation to generation. Fourthly, they can be relatively thematic, in the sense that certain understandings may be repeatedly applied in a wide variety of contexts. Finally, they can be more or less widely shared; in fact, we do not call an understanding “cultural” unless it is shared, to some extent, in a social group. Kedua inistitusi seperti handil dan poktan memiliki peran yang besar pada pengelolaan berladang. Institusi memiliki peraturan yang mengikat dan memaksa. Melalui institusi, anggota mempunyai visi, misi, dan tujuan yang harus dipenuhi tanpa terkecuali. Ostrom (1992:13) mendefinisikan institusi sebagai “the process of developing a set of rules that participants in a process understand, agree upon, and are willing to flow.”
Kawasan Eks PPLG Sejuta Hektar di Mantangai Hulu Berdasarkan Instruksi Presiden 5 Juni 1995, Pemerintah menggalakkan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Satu Juta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut tulisan Sidiyasa (2012), berdasarkan data tahun 2002 dari Badan Planologi Departemen Kehutanan (Bismark, et al., 2005), provinsi ini memiliki hutan rawa gambut terluas, yakni mencapai 3.160.000 ha. Tujuan utama dari Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar yaitu mengkonversi hutan rawa gambut (wet land) yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984. Secara geografis lokasi PLG terletak di antara Kota Palangkaraya (Sungai Kahayan) ke arah timur melalui sebuah Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 kilometer memotong Sungai Barito di Mangkatip. Pada bagian barat, lokasi PLG membujur dari Kota Palangkaraya kearah selatan menyusuri sebelah timur Sungai Sebangun kearah selatan hingga bermuara di Teluk Sebangun di laut Jawa. Sedangkan lokasi Eks-PLG di sebelah timur dibatasi oleh Sungai Barito dan menyusuri Sungai Barito, Sungai Kapuas Murung kearah selatan melewati Kuala Kapuas hingga muara Sungai Kapuas yang bermuara di Laut Jawa. Proyek PLG berhasil mencetak 30.000 hektar lahan sawah sebelum akhirnya dihentikan bersamaan dengan tumbangnya rezim Soeharto pada masa orde baru. Berbagai saluran buatan (kanal) mempermudah akses ke dalam hutan gambut. Semenjak adanya kanal, peladang mulai berbondong-bondong membuka lahan di dalam hutan. Sebelum adanya kanal, peladang berladang di tanggul sungai dan di belakang rumah. Pada satu sisi, keberadaan kanal menyebabkan kebakaran besar di Indonesia pada tahun 1997-1998. Peristiwa ini menghasilkan asap dan kabut tebal yang menyebar sampai ke Asia Tenggara. Kanal-kanal menyerap air lebih cepat, menyebabkan kekeringan, dan memicu kebakaran.
4 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
Praktik Perladangan dan Dinamikanya Perladangan adalah bagian dari praktik pertanian. Di berbagai berlahan dunia, aktivitas ini ditaksir dengan luas mencapai 360 juta Ha atau 30% dari luas lahan yang dapat digarap di dunia (Sanchez 1976 dalam Nugraha 2005:108). Di Indonesia telah diperkirakan kurang lebih 85 juta hektar daerah perladangan, yang dipraktekkan oleh kurang lebih 20 juta orang (Dove 1988:14). Tahapan berladang di Mantangai Hulu dilakukan sejak bulan Juni sampai bulan April. Peladang akan menganalisa cuaca berdasarkan musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan dimulai bulan November dan berakhir bulan Juni . Sementara musim kemarau dimulai bulan Juli dan berakhir bulan Oktober. Tahapan berladang secara konvensional di Mantangai Hulu dimulai dengan (1) Menentukan lokasi, (2) Menebas (Mandirik) dengan parang, (3) Menebang (Maneweng) dengan kampak, (4) Membakar (Manusul) dengan culuk3 dan sekat bakar4, (5) Menugal (Manugal), (6) Memelihara padi (Mambawau) dengan parang, dan (7) Memanen (Manggetem). Gourou (1956) menguraikan empat ciri perladangan dalam buku Geertz (1974:16 ) yaitu, (1) dijalankan di tanah tropis yang gersang; (2) berupa teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak; (3) kepadatan penduduk adalah rendah; dan (4) meyangkut tingkat konsumsi yang rendah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa cara dan alat yang dipakai untuk berladang masih bersifat sederhana. Meskipun begitu, saya menemukan variasi berladang pada keempat peladang di Mantangai Hulu, yaitu Dandang, Supangan, Bangun Aspar, dan Pathur. Variasi dijelaskan berdasarkan satu skema waktu berladang dalam satu tahun.
Variasi pada Cara Berladang Variasi pertama berdasarkan lokasi berladang sebelum dan setelah PPLG. Pada masa sebelum PPLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut), para peladang menempati lahan di pinggir-pinggir tanggul sungai dan belakang rumah-rumah mereka. Menurut pengetahuan masyarakat desa, kawasan tanah mineral sangat bagus untuk bercocok tanam. Tetapi semenjak PPLG dan kebakaran besar di tahun 1997/1998, peladang mulai membuka lahan di hutan gambut. Kebakaran besar memberikan kesuburan untuk tanah mereka, sehingga hasil panen melonjak tinggi. Variasi kedua berdasarkan pembukaan lahan yaitu mahimbak, mambahuk, dan basehak. Mahimbak adalah proses membuka hutan primer atau hutan yang tidak pernah dikelola atau di ladangi sebelumnya. Mambahuk adalah proses membuka hutan sekunder atau lahan yang telah diberakan5. Basehak adalah lahan yang
3
Culuk adalah bambu berisi minyak tanah di bagian tengah dan dibalut lilitan kain. Alat ini dipakai oleh peladang generasi atas sampai generasi sekarang. Peladang membuat api, mulai dari bagian luar ladang menuju bagian tengah ladang. 4
Sekat bakar atau disebut tatas apoi adalah bentuk pengendalian api agar tidak menjalar ke luar ladang. Cara pembuatannya adalah mengikis rumput dengan parang selebar 1-‐2 meter. Sekat bakar sering dibuat apabila letak ladang bersebelahan dengan kebun karet milik orang lain. 5
Bera adalah kondisi dimana peladang meninggalkan lahannya dengan tujuan menyuburkan tanah kembali.
5 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Supangan adalah contoh peladang yang memanfaatkan basehak untuk menghemat biaya, karena tidak perlu melakukan pembersihan lahan. Variasi ketiga berdasarkan institusi dimana anggotanya berladang secara berpindah-pindah dan menetap. Institusi yang mengatur areal perladangan dan perkebunan adalah handil. Sebutan handil juga dikenal sebagai parit galian dengan lebar dan kedalaman penampang lebih dari dua meter sehingga dapat dilalui jenisjenis perahu di Mantangai Hulu seperti cess, klotok, dan jukung. Inistitusi lain yang mengatur petani-petani ladang dinamakan kelompok tani (poktan). Anggota kelompok tani tergabung dalam kegiatan pengelolaan lahan atau ladang tani padi. Umumnya kelompok ini dibuat sebagai wadah mendapat bantuan dari Pemerintah. Bantuan yang biasanya diajukan6 adalah penyediaan obat-obatan untuk hama tanah dan hama padi, pengadaan alat penyemprotan dan mesin potong rumput, penambahan modal untuk parit atau jalan akses antara lahan dengan jalur terdekat, penyediaan pupuk penyubur tanah dan tanaman. Kapasitas individu untuk menyikapi lingkungannya adalah bentuk adaptasi. “Adaptation is a way of conceptualizing the process which unites the several levels or dimensions of the problem of resource use and abuse. The individual’s capacity to cope with the enviroment can be defined as adaptation, and, likewise, the group’s capacity to survive and change can be defined as adaptation.” (Bennett 1976: 248). Seperti yang dikemukakan Bennett, seorang peladang bernama Pathur melihat ada dimensi pada masalah penggunaan sumberdaya, yaitu perawatan ladang dan kebun. Masalah ini disiasatinya dengan berladang secara menetap di lahan yang sama. Padahal perladangan di Indonesa terkenal dengan cara berpindah, termasuk mayoritas peladang di Mantangai Hulu. Pathur berpendapat bahwa mayoritas peladang di desanya tidak rajin merawat ladang dan karet. Padahal, rumput yang tidak terawat mempermudah penjalaran api. Pada lahan pertamanya, Pathur menanam padi, karet, dan pisang bersamaan. Ia meyakini peladang lebih rajin mendatangi dan merawat kebunnya karena ada perasaan takut karetnya terbakar saat pembersihan lahan padi. Meskipun begitu, Pathur memiliki strategi dengan membuat jarak penanaman pisang, karet dan padi. Jarak antara pisang dan padi berkisar 1,5 meter. Sementara jarak antara karet dan padi berkisar 7 meter.
Variasi pada Alat atau Teknologi untuk Berladang Seiring perkembangan zaman, teknologi menjadi alat bantu paling mudah untuk manusia. Masyarakat desa mulai meninggalkan tradisi lama dan menyesuaikan dengan alat atau teknologi baru yang lebih modern. Pertama, sesuai dengan transmisi pengetahuan dari generasi atas, peladang selalu melihat bintang petendo untuk menentukan waktu menugal. Pada bulan September, tiga bintang akan muncul di langit dengan deret jarak yang sama satu sama lain. Apabila peladang berdiri menghadap arah timur dan posisi bintang berada sebelum melewati kepala peladang, berarti waktu menugal sudah harus dimulai. Seandainya posisi bintang berada tepat di atas kepala, maka waktu menugal tidak bagus. Kini, kalender memberikan cara yang lebih mudah dan cepat Kedua, alat parang mulai teralihkan dengan teknologi baru yaitu obat semprot. Menurut peladang di Mantangai Hulu, jenis rumput ilalang yang tipis dapat langsung mati dengan cara penyemprotan. Contoh peladang yang melakukan teknik semprot adalah Dandang dan Pathur. Meskipun begitu, tidak semua peladang
6
Jenis-‐jenis bantuan diambil dari proposal Kelompok Tani “Manggatang Sewut” , milik peladang Pathur.
6 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
mau menerapkan ini dengan sempurna. Sebagai contoh yaitu Bangun Aspar, seorang peladang yang melakukan tebas dan obat semprot bersamaan. Menurut pengalamannya, kondisi tanah ladang di Sungai Asam bersifat subur. Setiap tahun kayu dapat tumbuh sampai ukuran sepergelangan tangan. Oleh karena itu, ia harus memulai dengan menebas kayu sampai ke akar-akarnya dengan parang. Ia lalu melanjutkan tahap membakar dan setelah itu baru menyemprot sisa rumput. Bangun tidak meninggalkan kampak sebagai alat sederhananya, tetapi juga tetap beradaptasi menggunakan obat semprot sebagai alat teknologi baru. Mesin rumput7, mesin gergaji kayu, dan obat semprot adalah alat alternatif yang memudahkan pekerjaan peladang untuk segi waktu dan tenaga. Meskipun banyak penawaran, ketiga alat alternatif tersebut hanya dapat diakses oleh peladang yang memiliki modal yang besar. Seperti yang disebutkan Ribot dan Peluso (2003:153) bahwa akses membuat semua orang memiliki kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan, baik dari segi materi, manusia, institusi, dan simbol. Sebagai contoh adalah peladang Supangan yang memanfaatkan basehak sebagai teknik pembukaan lahan. Ia dengan modal yang sedikit tidak perlu mengeluarkan biaya saat pembersihan lahan. Pembaruan (innovation) dan penemuan (discovery) adalah proses wajar dalam pembaruan kebudayaan. Pada hakikatnya, manusia mencari cara dan alat untuk memudahkan pekerjaan mereka. Inovasi adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi, dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, dan dibuatnya produkproduk yang baru (Koentjaraningrat 1980:256). Dalam tulisan yang sama, Koentjaraningrat juga mendefinisikan discovery sebagai suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik yang berupa suatu alat baru, suatu ide baru, yang diciptakan oleh seorang individu, atau suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurutnya, discovery baru menjadi invention apabila masyarakat sudah mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu. Meskipun banyak alat teknologi yang ditawarkan, penemuan tidak dapat langsung dikatakan pembaruan. Sebagai contoh adalah peladang Supangan yang berpandangan bahwa obat semprot hanya sekadar penemuan. Tetapi bagi peladang yang menggunakan obat, alat ini adalah bentuk pembaruan. Penggunaan kalender yang menggantikan bintang petendo adalah bentuk pembaruan, karena seluruh peladang sekarang mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru itu. Setyawati dan Vayda (1998:44-52) dalam Kurnianto (2010:129) mengungkapkan bahwa pengetahuan dan praktik milik petani melekat kuat ketika mengidentifikasi perubahan kondisi alam di sekitar mereka. Saya tidak heran bahwa peladang Mantangai Hulu memiliki tindakan atau adaptasi yang bervariasi. Hal ini dikarenakan mereka memiliki pengalaman pengetahuan dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda satu sama lain.
Tahapan Pembakaran Lahan yang Tidak Tergantikan Dari sekian banyaknya variasi pada praktik berladang, saya menemukan ada satu tahap yang tidak mungkin tergantikan atau hilang, yaitu tahap membakar. Meskipun tahap ini tidak hilang, seiring perkembangan zaman, peladang melakukan variasi pada cara pengendalian api, alat membuat api, dan alat memadamkan api. Pertama,
7
Menurut pernyataan masyarakat Mantangai Hulu, harga satu buah mesin rumput berkisar 900 ribu.
7 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
untuk cara pengendalian api, peladang membuat sekat bakar (tatas apoi). Tetapi kini ada peladang yang tidak membuat sekat bakar. Sebagai tambahan pengendalian, peladang juga membuat parit. Tujuan utama parit untuk menandakan kepemilikan lahan. Keuntungan lainnya adalah sumber mata air di parit dapat digunakan untuk memadamkan api. Kedua, alat culuk untuk membuat api. Kini ada alat mancis dan botol plastik berisi minyak tanah yang sudah banyak digunakan. Banyak peladang di Mantangai Hulu mengatakan kedua alat ini mudah ditemukan dan digunakan. Ketiga, alat mematikan api bervariasi, mulai dari ranting kayu, ember, dan gayung. Penggunaan api dalam berladang adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan sejak dulu, mulai dari peladang generasi atas sampai peladang generasi sekarang. Kebiasaan yang dilakukan terus menerus dapat disebut sebuah kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1980:182), culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam. Peladang merasa api memiliki manfaat besar untuk berladang. Pertama, api menghasilkan abu untuk pupuk. Kedua, api memudahkan peladang untuk pembersihan lahan dari pohon, kayu dan rumput. Ketiga, api memusnahkan hama tanah seperti belalang dan cacing. Keempat, tidak ada alternatif lain, karena membakar adalah cara paling efisien dari segi biaya, waktu, dan tenaga. Dalam tulisannya Jack Rieley (2001:2) mengatakan bahwa “In developing countries, fire is the only effective tool for clearing land cheaply prior to converting it to agriculture.” Dari berbagai pengalaman-pengalaman diatas terbentuk satu kesamaan gagasan dan tindakan. Strauss dan Quinn (1997:7) mengartikan budaya sebagai kumpulan dari pengalaman-pengalaman berupa hasil karya manusia dan praktik. Pengalaman yang sama mengantarkan pada pengembangan skema. Dengan kata lain, kebudayaan yang berhasil diturunkan secara generasi ke generasi melahirkan satu buah skema yang sama. Skema ini terlihat dari peladang yang menggunakan api. Meskipun banyak alternatif tanpa bakar, peladang kembali pada kebudayaannya dengan berbagai alasan. Kebudayaan memakai api terus bertahan dan bereproduksi. Penjelasan ini persis seperti yang dikemukakan Strauss dan Quinn (1997:85) dalam kategori daya sentripetal, “Cultural understandings have five centripetal tendencies. First, they can be relatively durable in individuals. Secondly, cultural understandings can have emotional and motivational force, prompthing those who hold them to act upon them. Thirdly, they can be relatively durable historically, being reproduced from generation to generation. Fourthly, they can be relatively thematic, in the sense that certain understandings may be repeatedly applied in a wide variety of contexts. Finally, they can be more or less widely shared; in fact, we do not call an understanding “cultural” unless it is shared, to some extent, in a social group.” Meskipun perkembangan sudah semakin pesat dan maju, penggunaan api tidak pernah hilang sejak dulu sampai sekarang. Membakar adalah satu-satunya pilihan yang dipraktikkan para peladang Mantangai Hulu.
Variasi Praktik Berladang yang Rentan Terhadap Terjadinya Kebakaran Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, kedua inistitusi seperti handil dan poktan memiliki peran yang besar pada pengelolaan berladang. Institusi memiliki peraturan yang mengikat dan memaksa. Melalui institusi, anggota mempunyai visi, misi, dan tujuan yang harus dipenuhi tanpa terkecuali. Ostrom (1992:13) mendefinisikan institusi sebagai “the process of developing a set of rules that participants in a process
8 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
understand, agree upon, and are willing to flow.” Dari kedua inistitusi tersebut, saya dapat menganalisa praktik para peladang yang cenderung rentan terhadap kebakaran hutan. Variasi pertama adalah peladang yang berpindah-pindah cenderung membuat api di banyak lokasi. Bagi peladang yang masih melakukan bera8, mereka sengaja meninggalkan lahan dengan tujuan rumput semakin tebal dan lebat. Pada satu sisi, ketebalan rumput menghasilkan abu yang banyak untuk kesuburan tanah. Tetapi pada sisi lainnya, rumput tebal menjadi media paling mudah proses pembakaran. Kondisi rumput berbeda di lokasi yang terus menerus diladangi, seperti pada kasus Pathur. Rumput di ladang Pathur menjadi tipis, karena sudah diladangi selama enam tahun. Meskipun cara berladang Pathur cukup aman untuk pengendalian api, tanah yang diolah menjadi tidak subur. Pathur menyiasatinya dengan menaburkan pupuk. Sistem seperti ini membutuhkan kuantitas pupuk yang banyak. Oleh karena itu, ia bersama anggota kelompok taninya sedang berusaha meminta bantuan sejumlah pupuk kepada Pemerintah. Variasi kedua adalah peladang yang tidak membuat sekat bakar. Cara pembuatan sekat bakar adalah membersihkan rumput sepanjang 1-2 meter di sekeliling ladang. Seandainya masih ada rumput, maka api mudah berpindah. Pengendalian ini adalah bentuk kearifan lokal peladang untuk menjaga alamnya. Pembuatan sekat bakar juga dilakukan peladang Kantu di Kalimantan Barat (Dove 1988:99). Bagi peladang Tanjung Paku, pembuatan sekat bakar dan perhitungan arah mata angin adalah bentuk antisipasi terjadinya penjalaran api (Nugraha 2005:136). Kedua aspek tersebut masih dijalankan peladang Mantangai Hulu. Kebakaran semakin beresiko apabila tidak ada pengendalian sekat bakar, “It is now believed that most of the wild fires started when agricultural fires escaped their bounds into nearby drought stricken secondary….” (Mackie 1985:2). Bangun Aspar adalah salah satu contoh peladang yang tidak membuat sekat. Ia berpendapat bahwa sekat diperlukan apabila letak ladang bersebelahan dengan kebun karet. Ia merasa mampu menjaga api bersama ketiga anaknya. Berdasarkan paparan diatas, peladang yang tergabung dalam institusi memiliki dua praktik yang rentan terhadap kebakaran. Pertama, variasi peladang yang berpindah-pindah. Kedua, variasi peladang yang tidak membuat sekat bakar.
Kesimpulan Perladangan adalah pilihan mata pencaharian yang masih dilakukan masyarakat Mantangai Hulu. Mereka bekerja di lahan sendiri maupun bekerja di lahan orang lain. Tahap perladangan di Mantangai Hulu dimulai dengan mencari lokasi, menebang (maneweng), menebas (mandirik), membakar (manusul), menugal-menanam (manugal), dan memanen (manggetem). Dari tahap-tahap konvensional tersebut, variasi yang dianalisa dalam satu skema waktu terlihat pada empat peladang di Mantangai Hulu. Variasi terjadi pada tiga hal yaitu (1) cara berladang, (2) peralatan teknologi yang digunakan, dan (3) siklus tahapan berladang
8
Bera adalah kondisi dimana peladang meninggalkan lahannya dengan tujuan menyuburkan tanah kembali.
9 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
Dari sekian banyaknya variasi yang terjadi, ada satu tahap yang tidak mungkin tergantikan atau hilang, yaitu tahap pembakaran. Variasi terjadi pada cara pengendalian api, alat membuat api, dan alat memadamkan api. Meskipun perkembangan cara dan alat sudah semakin pesat dan maju. Penggunaan api tidak pernah hilang sejak dulu sampai sekarang. Membakar adalah satu-satunya pilihan yang dipraktikkan para peladang dulu sampai sekarang. Hal ini dikarenakan penggunaan api sangat bermanfaat. Pertama, api menghasilkan abu sebagai pupuk. Kedua, api memudahkan peladang untuk pembersihan lahan dari pohon, kayu dan rumput. Ketiga, api memusnahkan hama tanah seperti belalang dan cacing. Keempat, tidak ada alternatif lain, karena membakar adalah cara paling efisien dari segi biaya, waktu, dan tenaga. Penjelasan praktik membakar persis dengan konsep daya sentripetal yang dijelaskan Strauss dan Quinn (1997). Salah satu arti daya sentripetal adalah kebudayaan dapat bertahan dan bereproduksi, baik selama kehidupan individu maupun antar generasi (Strauss dan Quinn 1997:85). Setiap tindakan peladang juga dapat dianalisa mengenai praktik yang rentan terhadap terjadinya kebakaran. Praktik yang dapat digolongkan rentan, yaitu pertama, variasi peladang yang berpindah-pindah cenderung membuat api di banyak lokasi. Kedua, variasi peladang yang tidak membuat sekat bakar.
Referensi Buku Teks Dove, M.R. 1988
Sistem Perladangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Geertz, Clifford 1976 Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (terj.) Jakarta: Bhratara Karya Aksara Hammersley dan Atkinson 2007 Ethnography. United Kingdom: The Taylor & Francis e-Library Koentjaraningrat 1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. PT. Rineka Cipta Nugraha, A. 2005 Rindu Ladang: Perspektif Perubahan Masyarakat Desa Hutan. Banten: Wana Aksara Strauss dan Quinn 1997 “A Cognitive Theory of Cultural Meaning”. United Kingdom: Cambridge University Press Jurnal Bennett, J.W. 1980
“Human Ecology as Human Behaviour: A Normative Anthropology of Resources Use and Abuse”, dalam Altman, I., et al, eds. Human Behaviour and Environment. Advances in Theory and Research. New York: Plenum Press. Hlm 243-278
Mackie, C. “Shifting Cultivators and Deforestation: The Case of Borneo’s Forest Fires”, dalam Bulletin of The Anthropological Study Group on Agrarian Systems Number 25 Ostrom, E. 1992 “Crafting Institutions for Self-Governing Irrigation Systems”. San Francisco: ICS Press Ribot dan Peluso. 2003 “A Theory of Access”. Rural Sociology; Juni 2003; 68, 2; ProQuest pg 153-181
10 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014
Rieley, J. 2001 Lubis, Z. 2012 2013
Inside Indonesia 65: Jan-Mar “Forensic Fire-Scene Investigation: Testing The Ace Methodology KFCP Project Area, 30 August-12 September 2012”. Tidak diterbitkan “Ringkasan Identifikasi Sejarah Permasalahan, dan Kerawanan Kebakaran di 7 Desa”.Tidak diterbitkan
Referensi lain Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
11 Dinamika praktik..., Giska Adilah Sharfina Saputra, FISIP UI, 2014