gerai
3 Dilema Kelas Menengah
EDISI 45 n DESEMBER 2013 n TAHUN 4 n NEWSLETTER BANK INDONESIA
6
Bermigrasi Menuju Negara Maju
10
Bonus demografi dan lonjakan populasi kelas menengah belum bemanfaat optimal bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Respons Kebijakan BI: Memecah Karang Struktural
Membawa Ekonomi Indonesia
Melompat Lebih Tinggi
12 Susanto
M
emasuki 2014, perekonomian Indone sia akan berhadapan dengan tantangan yang tidak sederhana. Pada satu sisi se dang terjadi pergeseran lanskap ekonomi global. Bersamaan, dari dalam negeri ada tantang an struktural, dengan gelagat pa ling kentara berupa defisit neraca perdagangan pada 2013. Angka impor melonjak melampaui ekspor dengan beragam latar dan cerita. Bonus demografi dan lonjakan populasi kelas menengah di Indonesia belum bemanfaat optimal bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kelas menengah justru menjadi salah satu pendorong mem bengkaknya impor, mengingat struktur industri di dalam
negeri belum sepenuhnya mampu memasok standar ke butuhan kelas ini. Di sistem keuangan dan sistem pembayaran, tantang an struktural itu bernama pembenahan sistem pembayar an, menuju layanan yang meluas dan paripurna sekaligus mendorong kemandirian infrastruktur. Keuangan inklusif yang pada saatnya diharapkan dapat turut mengurangi ketimpangan ekonomi, mau tidak mau juga butuh kesiap an infrastruktur dari sistem pembayaran. Beralihnya pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan menjadi satu lagi momentum penting menyambut 2014. Bukan berarti Bank Indonesia pun lalu abai pada perbankan. u
Sistem Pembayaran: Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
16 Pengawasan Bank: Setelah Beralih ke OJK
DARI MEJA GUBERNUR
meja Redaksi
Dok BI
Tantangan Ekonomi Indonesia pada 2014 Agus DW Martowardojo
Gubernur Bank Indonesia
P
erekonomian Indonesia pada 2014 akan menghadapi tantangan yang ti dak ringan, terutama terkait upaya pemulih an kinerja neraca pembayaran. Selain berasal dari eksternal terkait siklus global, tantangan perekonomian sesungguhnya ber asal dari sisi internal yang bersifat struktural. Berkurangnya stimulus moneter The Fed yang nantinya berujung pada peningkatan suku bunga di Amerika Serikat, dapat me micu capital outflow. Risiko global itu sema kin meningkatkan kerentanan neraca pem bayaran, mengingat permasalahan struktural defisit neraca transaksi berjalan masih terjadi. Pekerjaan ke depan adalah bagaimana memperdalam pasar keuangan domestik, agar lebih berdaya tahan terhadap gejolak global. Diperlukan komitmen nasional untuk mempercepat proses pendalaman pasar do mestik, melibatkan Pemerintah, Bank Indo nesia, dan para pelaku pasar keuangan. Inti dari tantangan struktural adalah bagaimana kita berupaya memperkuat daya saing dan produktivitas melalui berbagai ke bijakan struktural. Tujuannya, menyehatkan postur neraca pembayaran, di tengah transisi Indonesia untuk menjadi negara berpenda patan menengah atas. Mempertimbangkan tantangan ekono mi tersebut, maka perekonomian nasional pada 2014 diperkirakan masih dalam ta
hap konsolidasi, terkait belum rampungnya proses koreksi ekonomi untuk memulihkan defisit neraca transaksi berjalan. Impor yang semakin terkendali sejalan dengan proses koreksi ekonomi domestik diharapkan men dukung perbaikan neraca transaksi berjalan. Pertumbuhan ekonomi pada 2014 diperkirakan membaik dengan kisaran 5,86,2 persen. Prospek ini ditopang perbaikan ekspor sejalan dengan membaiknya pere konomian global dan permintaan domestik. Namun, arah prospek dapat berubah jika proses pemulihan global kembali terhenti, seperti pada 2013, sehingga defisit neraca pembayaran menjadi berkelanjutan. Dari sisi harga, inflasi pada 2014 di perkirakan akan kembali terkendali pada kisaran target 4,5 plus-minus 1 persen. In flasi bahan makanan dan administered price diproyeksikan stabil lagi, ditopang harapan membaiknya pasokan dan distribusi pangan, dengan asumsi tidak ada kebijakan kenaikan harga barang atau jasa strategis. Pertumbuhan kredit perbankan pada 2014 diperkirakan berada pada kisaran 15-17 persen, ditopang pertumbuhan dana pihak ketiga pada kisaran yang sama. Menurut pe nilaian kami, pertumbuhan kredit tersebut cukup konsisten dengan upaya menyeim bangkan kembali perekonomian. Sesuai amanat Undang-Undang, Bank
Indonesia memiliki tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Sebelum nya, ini dijalankan dengan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayar an, serta mengatur dan mengawasi bank. Dengan beralihnya perizinan, pengatur an, dan pengawasan mikroprudensial bank ke OJK, BI memfokuskan fungsi perbankan pada kebijakan, pengaturan, dan penga wasan makroprudensial. Ini dilakukan untuk mewujudkan sistem keuangan yang lebih stabil dan berkualitas melalui prioritas peng awasan terhadap bank-bank dan lembaga keuangan lain yang digolongkan sistemik. Sejalan dengan pelaksanaan fungsi ba ru tersebut, dilakukan pula penajaman di bi dang moneter untuk menjaga dan me me lihara kondisi makroekonomi yang se hat dan pertumbuhan ekonomi yang ber kesinambungan. Untuk pengendalian inflasi, Bank Indonesia akan mengoptimalkan peran Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Koor dinasi dilakukan bersama segenap elemen daerah, mulai dari pemerintah, pelaku pasar, hingga media massa. Di bidang sistem pembayaran BI pun akan berperan lebih besar untuk mewujud kan kemandirian Indonesia dalam mem fasilitasi transaksi keuangan di masyarakat hingga sampai ke pelosok negeri. u
redaksi Penanggung Jawab Difi A Johansyah Pemimpin Redaksi peter jacobs
2
Redaksi Pelaksana Rizana Noor DWI MUKTI WIBOWo ERNAWATI JATININGRUM Wahyu Indra Sukma Surya Nanggala Dahlia Dessianayanthi lina ernawati
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Alamat Redaksi Departemen Komunikasi Jl MH Thamrin No 2 - Jakarta Pusat Contact Center BICARA: (Kode Area) 500 131 e-mail:
[email protected] website: www.bi.go.id twitter: @bank_indonesia
Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan.
fokus
Dilema
Kelas Menengah Kian makmur seseorang, kebutuhannya makin banyak.
S
elama satu dekade terakhir, proporsi kelas menengah di Indonesia melonjak lebih dari dua kali lipat. Bank Dunia mencatat ada lonjakan rasio kelas menengah Indonesia dari sekitar 20 persen jumlah penduduk pada 2000 menjadi 56,5 persen pada 2010. Kelas menengah menurut Bank Dunia adalah warga dengan pendapatan per hari antara 2 sampai 20 dolar AS. Dengan kriteria tersebut, jumlah mereka di Indonesia sekitar 134 juta berdasarkan data Sensus Penduduk 2010. McKinsey Global Institute lebih suka menyebut kelas menengah sebagai consuming class. Dalam definisinya, kelas menengah ada lah individu dengan pendapatan minimal 3.600 dolar AS per tahun. Menggunakan defisini McKinsey Global Institute, kelas menengah Indonesia diperkirakan mencapai 45 juta orang. Dengan laju per tumbuhan ekonomi sekarang, jumlahnya pun akan menjadi 134 juta orang dalam tempo kurang dari 20 tahun. Memiliki pendapatan per kapita 3.850 dolar AS dan demografi penduduk usia muda yang cukup besar, konsumsi kelas menengah Indonesia cenderung lebih tinggi pula daripada negara lain yang ber struktur demografi menua. Konsumsi menyumbang 55 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada praktik sehari-hari gambaran itu bisa dilihat setiap kali ada penjualan perdana produk merek terkenal, antrean pun mengular. Tak bisa disangkal, membesarnya kelas menengah berarti juga se makin beragam kebutuhan konsumsi.
Susanto
Kian makmur seseorang, kebutuhannya makin banyak. Sayang nya, peningkatan kebutuhan tersebut tak diimbangi kemampuan in dustri dalam negeri untuk memenuhinya. Sekalipun, struktur industri ini juga yang sudah mendongkrak jumlah kelas menengah Indonesia. Maka, impor adalah jalan pintas yang terjadi. Porsi impor untuk barang berteknologi menengah dan tinggi, terus membesar seiring bertambahnya jumlah kelas menengah di Indonesia sejak 2004. Sebut saja angka penjualan telepon pintar di Indonesia yang pada 2013 menembus angka lebih dari 14 juta unit. Nilainya lebih dari 3,33 miliar dolar AS, tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Struktur Ekonomi Indonesia
Pembangunan dan industri di Indonesia masih bertumpu pada sumber daya alam yang melimpah di luar Jawa dan surplus tenaga kerja di Jawa. Maka yang terbangun adalah antara industri padat kar ya atau industri berbasis sumber daya alam. Meski 'derajat' perekonomian banyak orang Indonesia mening kat dengan pilihan industri tersebut, kebutuhan mereka yang 'status sosial'-nya sudah naik tak terpenuhi oleh industri itu sendiri. Apalagi impor juga menjadi pemasok sebagian besar bahan baku dan barang modal industri domestik seperti besi baja, peralatan elektronik, teks til, dan plastik. Karenanya, tak aneh ketika harga komoditas melemah setelah ne gara maju sebagai pasar utama mengalami kelesuan ekonomi, neraca transaksi berjalan pun timpang. Impor tetap tinggi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, sementara ekspor yang masih didominasi komoditas berkurang karena susutnya permintaan. Semakin rumit pula bila dipaksakan mendongkrak ekspor untuk menambal defisit neraca. Sekali lagi, bahan baku industri domestik masih banyak yang mengandalkan impor juga. Pada saat yang sama, beragam kebutuhan kelas menengah pun tak bisa mendadak dihen tikan, walaupun pemenuhannya lagi-lagi dari impor. Silang sengkarut situasi inilah yang membuat Indonesia acap kali terguncang oleh dinamika perekonomian global. Pelahan defisit nera ca transaksi berjalan yang dipicu impor, merembet ke defisit neraca pembayaran, melemahkan nilai tukar rupiah, dan ujungnya ekonomi melambat. Di tengah situasi perekonomian global yang tak bisa lagi dipi sahkan dengan aliran modal, persoalan pun tak lagi tunggal. Kebijak an moneter semata menahan empasan gelombang geliat ekonomi global, tak akan memadai. Pembenahan juga harus merambah ke sistem pembayaran, pasar keuangan, dan yang terpenting tentu saja struktural perekonomian. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
3
fokus
Agar Bisa Naik Kelas... Kebijakan awal menghadapi krisis ekonomi selalu ditujukan untuk membuat stabil pasar keuangan.
J
eroen Dijsselbloem yang menjabat Pre siden Eurogroup, forum menteri keuangan negara-negara Eropa Barat, mengatakan kebijakan moneter tak benar-benar bisa menolong Eropa keluar dari krisis, tapi sekadar meringankan tekanan terhadap perekonomian dan mena warkan potensi pertumbuhan. Menteri Keuangan Belanda itu menekan kan urutan kebijakan yang perlu diambil da lam bauran kebijakan fiskal, moneter, dan re formasi struktural. ''Reformasi struktural yang pertama, kebijakan fiskal dengan target yang jelas untuk jangka menengah di urutan ke dua, dan kebijakan moneter yang mengako
modasi masalah ekonomi dalam negeri ma sing-masing untuk jangka pendeknya.'' Kebijakan awal menghadapi krisis eko nomi selalu ditujukan untuk membuat stabil pasar keuangan. Caranya bisa melalui penja minan tabungan, penyaluran likuiditas pada lembaga keuangan, maupun penyesuaian suku bunga acuan. Namun, begitu pasar dan lembaga ke uangan sudah bisa berfungsi normal, lang kah-langkah penyelamatan harus dikurangi porsinya atau bahkan dihentikan. Inilah sifat kebijakan siklikal yang memang berjangka pendek. Kebijakan stabilisasi fiskal seperti stimu Susanto
4
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
lus anggaran dan di kebijakan moneter se perti perubahan suku bunga maupun pasok an likuiditas, juga merupakan langkah yang bertujuan untuk mengendalikan sisi permin taan dalam ekonomi.
Tantangan Struktural
Namun, kadang kala masalah perekono mian yang mengalami perlambatan ternyata jauh lebih dalam dibandingkan sekadar kele bihan atau kekurangan di sisi permintaan. Bi sa jadi, masalah terbesar justru ada pada sisi penawaran. Kebijakan stabilisasi ekonomi secara ma kro memang penting dalam jangka pendek. Lebih mudah pula mengubah berbagai kom ponen yang mempengaruhi sisi permintaan dibandingkan membuat sumber daya eko nomi sebuah negara menjadi lebih produktif alias memperbaiki sisi penawaran. Masalah yang mendera perekonomian Indonesia sepanjang 2013 ini, seperti defisit transaksi berjalan, defisit neraca pemba yaran, pelemahan nilai tukar rupiah, dan in flasi tinggi, yang berujung pada pelemahan pertumbuhan ekonomi, jelas terlalu banyak dan ukurannya terlalu besar untuk ditangani semata dengan kebijakan moneter berjang ka pendek. Gubernur Bank Indonesia Agus Marto wardojo menyebut Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan struktural. Yaitu ke tika terjadi ketidakseimbangan antara struk tur permintaan agregat dan kapabilitas di si si penawaran. Permasalahan struktural tersebut meliputi basis perekonomian yang kurang kokoh karena mengandalkan sumber daya alam dan industri berteknologi rendah. Di sektor riil, industri domestik belum mampu memasok permintaan kelas mene ngah. Terjadi kesenjangan suplai domestik
fokus Susanto
untuk produk teknologi menengah dan ting gi. Sementara di sisi ekonomi makro, pasar keuangan belum cukup dalam untuk benarbenar dapat meredam fluktuasi nilai tukar rupiah. Karena itu, guna menjamin pertumbuh an ekonomi dalam jangka panjang, diperlu kan perubahan yang bersifat struktural yang berjangka panjang pula. Targetnya, menja min pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Ini berarti, struktur ekspor tak lagi bisa mengandalkan bahan mentah atau bahan baku dari sumber daya alam, namun harus punya nilai tambah tinggi. Industri harus mampu memproduksi barang antara dan jasa yang selama ini masih diimpor. Di sisi lain, pembiayaan neraca transaksi berjalan yang selama ini defisit harus berasal dari sumber yang lebih permanen selain eks por. Investasi harus dipastikan sebagai pen dorong tumbuh kembang sektor industri yang maju dan berdaya saing global.
Melompat Lebih Tinggi
Tantangan semakin tampak nyata di depan mata dengan rencana integrasi eko nomi kawasan melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Daya saing basis industri yang ada saat ini, low-tech labor intensive,
dapat menurun dibandingkan negara lain di kawasan. Tahapan migrasi menuju ting kat pendapatan yang lebih tinggi seiring penyesuaian upah sektor formal, akan meng hadapi tantangan lebih banyak. Kapabilitas industri suatu negara meru pakan salah satu faktor penting yang menen tukan kemampuan negara tersebut bermi grasi menjadi negara maju. Kemampuan memproduksi barang kompleks berteknolo gi menengah dan tinggi menjadi prasyarat migrasi ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi itu. Faktor penentu lain antara lain adalah kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, kualitas institusi, kecukupan fak
Kapabilitas industri suatu negara merupa kan salah satu faktor penting yang menen tukan kemampuan ne gara tersebut bermigrasi menjadi negara maju.
tor produksi komplementer, serta kapasitas inovasi. Tanpa reformasi struktural perekonomi an, Indonesia akan sulit mengelak dari 'je bakan' kelas menengah. Yaitu, punya banyak penduduk dari kalangan kelas menengah tetapi tak juga melaju menjadi negara maju. Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia mengatakan hanya 13 dari 101 negara yang berstatus negara berpendapatan kelas me nengah pada 1960 berhasil mencapai taraf negara berpenghasilan tinggi pada 2011. Banyak negara terjerumus masuk ke dalam middle income trap. Ada dua penyebab negara berpendapat an kelas menengah gagal naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi. Pertama, tak cukup investasi sumber daya manusia untuk mengerek pendapatan ke level lebih tinggi. Kedua, gagal melakukan reformasi institu sional dan pemerintahan, untuk mendorong tumbuhnya ekonomi masyarakat yang adap tif dan kreatif. Dalam bahasa lebih sederhana, kedua penyebab tersebut dapat dibaca sebagai rendahnya penguasaan teknologi, keterting galan pembangunan infrastruktur, serta ma sih lemahnya aturan untuk mendukung bis nis yang terbuka dan transparan. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
5
Kualitas dan kecepatan implemen tasi kebijakan publik di suatu negara merupakan indika tor penting dalam pergaulan global, terkait ketatnya persaingan menuju kesejahteraan.
S
ejak tahun 2004, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia telah melewati ambang batas negara miskin versi Bank Dunia, yaitu melebihi 1.035 dolar AS. Alhasil masyarakat Indonesia pun sudah layak mendapat predikat masyarakat ke las menengah. Kelas menengah ini kemudian men dorong porsi konsumsi di kisaran 55 per sen pendapatan domestik bruto. Namun, be sarnya konsumsi ini belum mampu menggiring investasi melaju sama cepat mendongkrak industri. Padahal, investasi merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi yang sehat. Fakta saat ini, seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi, ketergantungan terhadap impor justru menjadi semakin besar. Mulai dari bahan baku sampai de ngan barang jadi, mulai dari bongkahan baja sampai dengan Tablet PC, ketergan tungan Indonesia semakin tinggi guna memenuhi kebutuhan kelas menengah yang semakin besar. Ibarat mobil, putaran mesin yang laju tak diimbangi dengan badan kendaraan yang kokoh. Pesatnya perkembangan teknologi in formasi, semakin murahnya ongkos trans portasi dan kolaborasi rantai nilai global, kemudian menjadi risiko yang dapat me ngurangi daya tarik bagi investor untuk membangun pabrik barang kebutuhan kelas menengah tersebut di Indonesia. Sektor ekstraktif berdaya saing tinggi se perti batu bara, timah, dan kelapa sawit, yang merupakan sumber daya alam di luar Pulau Jawa, masih belum menghasil kan produk bernilai tambah yang berarti. Sementara itu, Pulau Jawa sebagai pusat industrialisasi dan urbanisasi, masih cenderung menyerap tenaga kerja berke terampilan rendah. Barang yang dihasil
6
D Aulia
fokus
Bermigrasi Menuju Negara Maju Harry Satriyo Hendharto
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter
kan pun cenderung berteknologi rendah. Sebut saja sektor unggulan padat karya tekstil dan furnitur di Jawa Tengah, alas kaki di Jawa Barat, dan industri kertas di Jawa Timur. Industri manufaktur padat modal dan teknologi yang ada di Jawa juga ter lihat belum cukup mampu memenuhi permintaan kelas menengah, apalagi memasok barang modal canggih untuk mendukung sektor ekstraktif di luar Pu lau Jawa dalam memberikan nilai tambah sumber daya alam. Kondisi industrial di Indonesia, pada satu sisi patut disyukuri tetapi pada sisi lain harus diwaspadai pula. Disyukuri ka rena bagaimanapun juga struktur indus tri tersebut pernah membuat perekono mian Indonesia kuat di era setelah krisis Asia dan berhasil mengangkat Indonesia menjadi negara berpendapatan mene ngah. Sebaliknya, harus diwaspadai bila kita tidak ingin terjebak di dalam kelas pendapatan menengah (middle income trap) dan berkeinginan naik tingkat lebih jauh ke level negara maju.
Transformasi
Indonesia saat ini menempati pering kat 38 dari 148 negara, berdasarkan indi kator daya saing yang dikeluarkan World Economic Forum pada 2013. Terjadi pe ningkatan daya saing setelah pada 2012 berada pada posisi 50. Namun bila dicermati, banyak aspek yang masih harus digarisbawahi terkait implementasi kebijakan struktural bagi kesinambungan migrasi Indonesia me
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
nuju negara maju. Apalagi, saat ini kuali tas dan kecepatan implementasi kebijak an publik di suatu negara merupakan indikator penting dalam pergaulan glo bal, terkait ketatnya persaingan menuju kesejahteraan. Prasyarat dasar bagi perekonomian yang efisien seperti institusi, ketersedia an infrastruktur fisik dan digital, kesehat an, serta pendidikan dasar masih belum sepenuhnya terpenuhi. Defisit ini me nyebabkan pelemahan daya saing dan biaya tinggi bagi aktivitas perekonomian. Belum lagi, masih lemahnya kualitas pendidikan tinggi, usangnya kemampuan industri, lambatnya perkembangan pasar keuangan, serta penyerapan teknologi yang masih rendah, menjadi semacam achilles heel bagi aktivitas ekonomi yang lebih bergairah dan produktif. Di tengah besarnya pasar domestik sebagai potensi konsumsi yang sangat menjanjikan, deretan persoalan tersebut tentunya akan membuat pertumbuhan ekonomi tertahan. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas di sisi penawaran meru pakan kunci peningkatan kesejahteraan yang berkesinambungan. Pembenahan atas beragam titik lemah tersebut diharapkan dapat men jadi daya dorong baru bagi perekonomi an Indonesia ke depan. Bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia pada hari ini juga akan dapat dioptimalkan mendorong proses industrialisasi yang dibutuhkan Indonesia dalam bermigrasi menuju negara maju. Lebih dari itu, investasi dari swasta domestik maupun asing harus dikelola pula dan diarahkan sehingga relevan dengan isu besar industri di Indonesia. Investasi harus menghadirkan “hilirisasi” industri berbasis sumber daya alam di luar Pulau Jawa, memberinya nilai tam bah daripada sekadar ekstraktif seperti sekarang. Sebaliknya di Pulau Jawa, investasi harus melakukan “hulunisasi” industri. In vestasi musti membawa industri bertek nologi menengah tinggi di wilayah ini un tuk tak lagi tergantung pada bahan baku dan bahan antara yang didatangkan dari impor. u
P
residen Brasil terpilih Fernando Henrique Cardoso, membawa do kumen berisi program prioritas, ketika berbicara di depan senat pada Desember 1994. Dokumen itu adalah cetak biru reformasi ekonomi Brasil. Daftar program prioritas tersebut mulai dari sistem moneter untuk memerangi inflasi dua digit, kebijakan penghematan fiskal, sampai masalah hukum perburuhan, sistem peradil an, dan sektor politik. Brasil punya cukup modal untuk men jalankan Real Plan 1984. Saat itu, harga ko moditas pertanian dan pertambangan se dang melejit untuk jangka panjang karena peningkatan permintaan dari Cina. Rendah nya suku bunga di negara maju juga mem buat aliran modal asing membanjiri Brasil, menambah pundi-pundi cadangan devisa. Kebijakan perdagangan dan industri Bra sil yang ramah terhadap ekspor, juga telah men dorong perekonomian Brasil tumbuh pesat. Reformasi di sektor moneter pun su dah mengerek turun inflasi ke satu digit, ter jadi surplus fiskal, dan utang terestrukturisasi. Lalu kenapa dua dekade sesudahnya, reformasi ekonomi Brasil masih bisa goncang juga? Nilai tukar real anjlok, defisit neraca transaksi berjalan membesar, dan perekono mian melambat. Cetak biru Cardoso seolah tak berbekas. Cadangan devisa yang besar dan berkurangnya utang luar negeri telah membantu Brasil menahan tekanan krisis dari luar. Namun, kemampuannya memeli hara pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa inflasi tinggi, masih dipertanyakan. Ternyata, ki nerja perekonomian Brasil selama dua dekade terakhir lebih banyak di tunjang kebijakan ekonomi makro dan sek tor finansial, serta didukung situasi eksternal. Kinerja itu belum merupakan hasil reformasi struktural yang menyeluruh dan berkesinam bungan. Reformasi di Brasil belum rampung.
Meksiko
Tak paripurnanya reformasi struktural perekonomian juga dialami banyak negara berkembang lain. Meksiko, misalnya. Pada awal 1980-an, negara ini pun berhadapan dengan ketidakstabilan ekonomi makro. Inflasi tinggi, defisit fiskal, krisis neraca pembayaran, dan beban utang luar negeri yang membengkak membuat Meksiko me mutuskan mengubah strategi pembangun an ekonominya. Perekonomian yang sebe
Jalan Panjang
Reformasi Struktural
Susanto
Cile menempuh jalan panjang untuk me letakkan fondasi bagi kestabilan pertum buhan ekonomi. lumnya kental dengan warna campur tangan negara, menjadi lebih berorientasi pasar. Meksiko menggelar agenda privatisasi yang ambisius, reformasi dana pensiun, libe ralisasi perdagangan, dan tak lupa deregu lasi ekonomi. Hasilnya? Terhitung sejak 1981 sampai kini ekonomi Meksiko hanya tumbuh dengan laju rata-rata 0,5 persen per tahun. Tak hanya sangat rendah untuk ukuran negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Meksiko juga tak dibagi rata ke seluruh pen duduk. Tak ada penjelasan sederhana untuk kegagalan reformasi struktural perekonomian Meksiko. Sebagian berpendapat kegagalan itu karena reformasi dilakukan parsial, implemen tasi tak sesuai teori, dan sebagian lain berpen dapat urutan reformasinya kurang tepat.
Kisah Sukses Cile
Sebaliknya, ada contoh sukses dari refor
masi struktural yang dijalankan menyeluruh. Cile adalah salah satunya. Pada 1970-an, Cile dikenal sebagai ne gara yang melaksanakan kebijakan substitusi impor. Kebijakan ini membuat birokrasi Cile gemuk, ada dominasi campur tangan negara di sektor finansial, distorsi harga, inflasi ting gi, serta terjadi beragam pembatasan dan ta rif yang yang cenderung menurunkan daya saing ekonomi secara keseluruhan. Cile pun dikucilkan di kalangan internasional. Untuk membuat perekonomian lebih terbuka dan demokratis, Cile melakukan re for masi ekonomi tiga fase. Periodisasinya adalah 1973-1984, 1985-1989, dan setelah era 1990-an. Fase awal reformasi Cile dilakukan de ngan penghapusan beragam pembatasan dan pengurangan tarif perdagangan secara drastis. Tarif 100 persen diturunkan menjadi 10 persen, meskipun kemudian dinaikkan menjadi 35 persen. Reformasi fase ini berhadapan dengan inflasi tinggi dan ketidakstabilan makroeko nomi, dan liberalisasi prematur pasar keuang an. Penggunaan nilai tukar sebagai patokan pengendali inflasi ternyata mengurangi daya saing ekspor. Kebijakan pengupah an dan perburuhan yang kaku juga menjadi ken dala lain. Dampaknya, terjadi ledakan angka pengangguran. Fase kedua reformasi perdagangan dila kukan dengan lebih pragmatis. Cile menu runkan kembali tarif perdagangan dari 35 per sen ke 15 persen, melakukan devalu asi mata uang demi memacu ekspor, pasar tenaga kerja dibuat lebih fleksibel, dan priva tisasi kecuali untuk perusahaan tambang ne gara CODELCO. Hasilnya, pemulihan ekono mi terjadi dan Cile mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi di akhir dekade 1980-an. Sesudahnya, fase reformasi di Cile hanya menguatkan orientasi pasar dan perda gangan unilateral secara gradual. Di antara nya dengan kembali menurunkan tarif perda gangan dari 15 persen di 1990-an menjadi 6 persen pada 2003. Perjanjian bebas (FTA) Cile diperluas tak hanya dengan kawasan Ameri ka Latin, tapi juga dengan Eropa, Amerika, dan Asia, melengkapi reformasi struktural ini. Cile menempuh jalan panjang untuk meletakkan fondasi bagi kestabilan pertum buhan ekonomi. Hari ini, perekonomian Cile relatif stabil di antara negara-negara berkem bang lain yang sekarang bergoncang. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
fokus
Kinerja perekonomian Brasil belum merupakan hasil reformasi struktural yang menyeluruh dan berkesinambungan.
7
D Aulia
Dahlia Dessianayanthi
Departemen Komunikasi
Reposisi diperlukan Bank Indonesia untuk dapat berperan mewujudkan keseimbangan perekonomian, men cakup masalah nilai tukar, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas perekonomian.
Dok BI
liputan
DI BALIK nilai tukar “K
enapa ya (nilai tukar) dolar masih tinggi padahal BI rate sudah terus-terusan naik?” Pertanyaan itu mun cul dalam acara pelatihan wartawan ekonomi, di Bandung, Jawa Barat, pada 7 Desember 2013. Tak hanya wartawan tersebut yang ber tanya-tanya. Banyak kalangan juga menyata kan keheranan serupa. Obrolan tentang hal ini bisa ditemui di warung kopi hingga disku si di forum formal ekonomi. Kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 175 basis poin sejak Juni 2013 seolah tak berdampak pada perbaikan nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah masih berada dalam tekanan dolar AS dengan kurs Jakarta In terbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada 7 Desember 2013 hampir menyentuh Rp 12 ribu per dollar AS. Dolar AS merupakan mata uang yang terpopuler dan terbanyak diper dagangkan di dunia, selain euro Eropa, franc Swiss, poundsterling Inggris, dan yen Jepang. Deretan mata uang tersebut jamak dise but sebagai hard currency. Nilainya yang cenderung stabil, likuid, dan pergerakan nya di sisi penawaran maupun permintaan sangat mempengaruhi mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia. “Saat ini rupiah masih dalam tekanan di tengah ketidakpastian rencana tapering Bank Sentral Amerika, dan defisit neraca transaksi berjalan” ujar Kepala Departemen Komuni kasi Bank Indonesia, Difi A Johansyah, saat membuka pelatihan. Tapering adalah pengu rangan stimulus berupa pembelian obligasi negara yang selama ini diguyurkan The Fed
8
untuk membantu perekonomian Amerika. Stimulus itu membuat banyak negara berkembang terlena saat kebanjiran valas dan mendadak panik begitu mendengar ren cana tapering. Investor pun bersiap menarik valasnya keluar dari negara berkembang, ka rena tapering juga bermakna kondisi ekono mi Amerika sudah mulai pulih. Pada saat yang sama, defisit neraca tran saksi berjalan menjadi persoalan pula di In donesia. Nilai impor melampaui ekspor. Arti nya, kewajiban membayar valas lebih besar dibandingkan penerimaan valas. Ketika ke butuhan impor dan pembayaran utang luar negeri tetap tinggi sementara pasokan valas berkurang seiring rencana tapering, maka nilai tukar rupiah pun bakal tergerus.
BI Rate dan Rupiah
Bank Indonesia punya seperangkat ins trumen moneter. Suku bunga acuan, BI rate, merupakan salah satunya. Penggunaan ins trumen ini berdasarkan beragam pertimban gan dan tujuan. Kali ini, tiga kenaikan BI rate dari Juni sampai November 2013 terkait den gan upaya meredam fluktuasi kurs rupiah.
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Lantas, kenapa rupiah tetap saja berfluk tuasi dengan posisi tertekan dolar AS? Difi menjelaskan bank sentral sejatinya secara teori tidak bisa dan tidak berkewajiban me ngontrol nilai tukar, merujuk rezim nilai tukar mengambang yang digunakan termasuk oleh Indonesia. Sebagai contoh, Difi bertutur yen Jepang juga pernah punya nilai tukar sangat kuat terhadap dolar AS. Saat itu, Bank of Japan ber upaya melakukan intervensi. Namun yang terjadi, di pasar keuangan yen tetap saja lebih kuat dibandingkan dolar AS. Karenanya, meski kenaikan BI rate ber tujuan meredam fluktuasi nilai tukar rupiah, tetapi tidak dimaksudkan sebagai obat bagi permasalahan kurs ini. Hanya meredam alias meminimalkan dampak. Menurut Difi, per soalan nilai tukar tak lagi semata terkait ban yak atau sedikitnya permintaan valas. Kepala Grup Riset Ekonomi Bank Indone sia, Solikin M Juhro, menjelaskan sentimen pasar juga menentukan nilai tukar suatu mata uang. Sentimen pasar adalah kondisi atau kejadian yang mempengaruhi persepsi yang memicu minat jual atau beli pelaku
monetaria
S
elama 2013, banyak penyebutan nama neraca bermunculan di media massa. Di antaranya adalah neraca pembayaran Indonesia, neraca tran saksi berjalan, dan neraca perdagang an. Apakah itu semua? Neraca pembayaran (balance of payment) adalah ikhtisar yang meringkas transak si-transaksi di antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka
pasar. Wujudnya dapat berupa indikator ekonomi dan pasar keuangan, pernyataan tokoh kunci pasar keuangan, bahkan kondisi geo-politik suatu negara atau kawasan. Solikin mengatakan sentimen pasar su lit diprediksi dan diukur pengaruhnya. Dia memberikan contoh, mata uang shekel Israel mengalami pelemahan harian tertinggi se panjang sejarah ketika terjadi Black September pada 11 September 2001. Saat itu, tutur Solikin, pasar menilai Israel rawan secara geopolitik terkait peristiwa tersebut. Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menyebutkan setidaknya ada empat faktor utama yang dapat mem
waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan pen jualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. Umumnya neraca pembayaran terbagi atas ne raca transaksi berjalan, neraca lalu lintas modal dan finansial, dan item-item finansial lain. Neraca transaksi berjalan (current account) merupakan neraca yang merangkum transaksi ekspor dan impor (barang maupun
pengaruhi nilai tukar. Keempat faktor itu ada lah tingkat inflasi, suku bunga, pertumbuhan ekonomi, dan ekspektasi. Secara teori, tutur Lana, nilai tukar dolar AS pada hari ini sudah terlalu mahal. Namun, para pemegang valas ternyata tetap saja tak mau melepaskan mata uang itu ke pasar. Menurut Lana, saat ini yang bisa dilakukan untuk memulihkan nilai tukar rupiah adalah mendorong ekspektasi pasar. Ekspektasi penguatan rupiah, kata Lana, dapat didorong dengan pemunculan data perekonomian yang kuat. Data ekonomi yang membaik akan memberikan sinyal pe nurunan kebutuhan valas. Dia berpendapat
jasa), pendapatan investasi, pembayaran ci cilan dan pokok utang luar negeri, serta saldo kiriman dan transfer uang dari dan ke luar ne geri. Hasil dari perhitungan komponen ini akan menciptakan saldo dari neraca transaksi berja lan. Neraca perdagangan (balance of trade) adalah ikhtisar yang menunjukkan selisih anta ra nilai transaksi ekspor dan impor suatu negara dalam jangka waktu tertentu. u
monetaria
Sekilas Mengenal Neraca..
bahwa ekspektasi ini juga terkait erat dengan kredibilitas bank sentral dan pemerintah, di ukur dari efektivitas, konsistensi, dan fokus dari kebijakan yang dibuat. Bank Indonesia, kata Lana, sudah mela kukan banyak hal dengan proses penyesuai an yang tak sebentar. “Jangan sampai para pengambil kebijakan tak sabar dan akhirnya mengambil kebijakan yang tak perlu.” Tantangan ke depan terkait nilai tukar adalah pembenahan struktural, seiring upaya Bank Indonesia dan pemerintah mengawal pergerakan nilai tukar. Jadi, nilai tukar rupiah bukan semata berapa poin perubahan BI rate hari ini. u Dok BI
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
9
Respons Kebijakan BI ruang baca
Memecah Karang Struktural
10
M
engayuh biduk raksasa bukan perkara gampang. Meskipun ombak demi ombak bergulung yang da tang selama ini bisa dihindari dengan goncangan minimal, Bank Indonesia (BI) ibarat biduk itu tak boleh lengah. Tantangan perekonomian tak hanya datang dari ombak yang berpola siklikal tetapi juga berupa karang struktural. Apalagi, saat ini sedang terjadi pergeseran lanskap global. Pengu rangan stimulus (tapering) dari The Fed, bukan lagi isu melainkan fak ta di depan mata. Ada risiko arah aliran modal portofolio berbalik arah dari negara berkembang ke negara maju.
sional ‘seakan-akan’ berganti menjadi stabilitas nilai tukar. Tak dipungkiri bahwa stabilisasi nilai tukar harus dilakukan untuk stabilitas sistem keuangan dan menjaga pencapaian inflasi. Namun, efektifitas kebijakan juga butuh konsistensi dan kejelasan operasi moneter dalam kerangka kebijakan yang dikomunikasikan. Jangan sampai BI justru dinilai ibarat berlayar tanpa kompas.
Reformasi Kerangka Operasional
Karang pengganggu pelayaran ini harus dipecah. Senjata yang dipakai mesti tepat pula. BI rate harus dipakai secara konsisten untuk mengendalikan inflasi sesuai target, menopang penurunan defisit neraca transaksi berjalan ke arah yang berkelanjutan, dan menjaga Karang Pasar Keuangan Karang struktural pertama adalah pembenahan pasar keuangan. stabilitas sistem keuangan. Lalu, kebijakan nilai tukar pun mutlak diarahkan untuk memberi Fragmentasi ekses likuiditas rupiah di sektor perbankan serta pasar ruang lebih bagi rupiah bergerak sesuai dengan nilai fundamen keuangan yang belum dalam dan likuid, tercakup di dalamnya. Saat ini, ekses likuiditas rupiah hanya tersebar di beberapa bank talnya. Pemahaman terhadap mikrostruktur perlu diperdalam, untuk besar. Pelaku pasar cenderung memegang sendiri ekses likuiditas ru lebih memahami arus pasokan dan permintaan di pasar valas, seba piah atau menempatkannya di bank sentral untuk jangka pendek. Tak gai pendekatan agar strategi pengelolaan nilai tukar lebih efektif. Paradigma baru pengelolaan nilai tukar ini bisa disebut sebagai terjadi transaksi antar-pelaku pasar. Instrumen pasar menjadi tak pu erasional. Reformasi itu akan membarengi nya kesempatan dan ruang untuk berkembang. Pelaku pasar di luar reformasi kerangka op kerangka kebijakan utama BI, mencakup kebijakan makroprudensial, perbankan juga tak punya motivasi menerbitkan surat utang. sistem pembayaran, serta kebijakan pendukung kerja Sementara itu, utang di pasar tunai mudah dilaku Dok sama internasional dan ekonomi daerah. kan ketika pelaku pasar sedang tak memiliki likuiditas Arah kebijakan moneter diperkuat dengan strate lancar, tetapi dengan anomali dalam pembentukan har gi operasi moneter untuk memecah karang ekses li ganya. Berutang di pasar dengan jaminan (collateralized kuiditas. Penyerapan ekses likuiditas struktural akan market), yaitu melalui pasar repo surat berharga, justru tetap dijalankan berbasis target dan terukur sesuai lebih mahal dibandingkan di pasar tunai yang tanpa kemampuan industri keuangan. jaminan (uncollateralized market). Ada stigma bahwa Saat likuiditas di pasar keuangan tidak lagi berle masuk ke pasar repo berarti jatah berutang di pasar tu bih, operasi moneter BI akan mengambil alih kontrol nai sudah habis. penyediaan likuiditas yang dibutuhkan pasar dalam Lagu yang sama juga bergema di pasar valuta asing. manajemen harian. Pada tahap ini akan dijalankan Bedanya, pasar rupiah berhadapan dengan kelebihan perpanjangan tenor penyerapan operasi pasar ter likuiditas sementara pasar valuta asing kekurangan li buka, seperti penerbitan SBI tenor 1 tahun atau lebih, kuiditas alias mengalami ekses demand valas. Fitria Irmi Triswati dan Medium Term Notes (MTN). Permintaan valas terutama adalah untuk kebutuh Departemen Pengelolaan Moneter Untuk melanjutkan pendalaman pasar keuangan, an pembayaran impor dan utang luar negeri, dengan BI memperkuat pengembangan pasar uang rupiah pasokan didominasi intervensi bank sentral. Pemegang valas, seperti eksportir, masih enggan melepas devisanya untuk me dan valas. Misalnya, dengan memfasilitasi ‘mini’ Master Repo Agreement (MRA) bagi beberapa bank percontohan, menuju implementasi menuhi kebutuhan valas itu. Karenanya, aliran dana asing kerap dirindukan untuk menambah lebih besar yakni General MRA (GMRA) - Indonesia Annex. Dilakukan pula pengaturan unsur-unsur pasar uang , seperti pe suplai di pasar domestik walau kehadirannya sering menggoyang nilai tukar ketika berbarengan keluar. Pasar valas dengan volume sa nyempurnaan ketentuan Commercial Paper (CP), transaksi repo antarngat tipis dan minim transaksi lindung nilai (hedging) membuat nilai bank, dan bahkan mendiskusikan code of conduct transaksi antarpelaku pasar. Semuanya dibarengi dengan sosialisasi dan edukasi tukar mudah tertekan ketika permintaan valas melonjak. kepada pelaku pasar. Senjata struktural lainnya, juga ditempuh. Antara lain penguatan Karang Kebijakan Moneter Tantangan kedua bagi biduk BI, adalah pelaksanaan kebijakan second line of defense, serta kebijakan makroprudensial yang diarah moneter yang berbeda dengan kerangka operasional. Ini lebih ber kan pada pengelolaan risiko sistemik, termasuk risiko kredit, resiko likuiditas, risiko pasar, dan penguatan struktur permodalan. sifat struktural lagi. Ini pun rasanya masih belum cukup. Reformasi struktural di sektor Pergerakan suku bunga pasar uang antar-bank over-night (PUAB ON) sebagai sasaran operasional, menjauh dari suku bunga acuan BI riil yang menjadi wilayah pemerintah sangat diharapkan untuk bisa rate dan malah menggunakan suku bunga deposit facility (DF rate) berjalan pararel dengan kayuhan kebijakan BI. Karang tidak bisa diukur dari permukaan. Butuh menyelam lebih sebagai rujukan. Kerangka operasional pengelolaan nilai tukar juga dituntut un dalam untuk tahu betul karakter persoalan yang menghadang. Agar, tuk dilihat kembali perannya dalam keseluruhan kerangka kebijakan penyiapan dan pemilihan senjata untuk memecahnya juga lebih aku moneter. Selama ini, setiap kali tekanan kurs datang, sasaran opera rat. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
pemenang kuis Nama Pemenang Kuis Gerai Info Bank Indonesia Edisi Oktober 2013.
gerai canda
Djalu’13
1. Marnis Ramli Cempaka Putih Jakarta Tel: 08131490xxxx 2. Sidi Mastur Depok Tel: 0217521xxx 3. Yogi Ashari Depok Tel: 081692xxxx
Tarif Olah Data.. “Berapa biaya yang diperlukan untuk mengolah data dengan kondisi sedemikian rupa, dengan hasil maksimal, dibutuhkan segera, dan tak tertutup kemungkinan ko reksi berkali-kali?” tanya calon doktor itu. Dengan bahasa lugas, konsultan terse but menjawab, “Dengan tuntutan itu, kami batasi koreksi maksimal tiga kali, tarifnya Rp 50 juta.” Meski tahu kebutuhan datanya mende sak dan pengolahannya tak sederhana, si calon doktor mencoba menawar, dengan
dalih tarif konsultan lain. “Kalau pakai kon sultan yang itu, tarifnya hanya Rp 30 juta. Bisa kurang tidak tarif Anda?” “Kenapa Anda tak pakai konsultan yang itu?” jawab si konsultan. Calon doktor itu pun menjawab, “Di sana sedang penuh.” Pikir si calon doktor dia sudah memberikan jawaban cerdas dan memenangkan per cakapan. “Oh, begitu. Informasi saja, Pak. Di sini kalau pekerjaan sedang penuh, tarifnya Rp 100 ribu saja,” jawab konsultan itu tanpa berubah nada bicara. u
Djalu’13
S
eorang calon doktor ekonomi tak sem pat mengolah data yang menjadi ba gian penting disertasinya. Kesibukan dan rutinitas kerja sudah menghabiskan banyak waktunya. Data mentah itu pun dia dapatkan dengan membayar mahasiswa se jurusan untuk mengumpulkan data lapang an. Tak kehilangan cara, bermodal telepon, dia menghubungi seorang konsultan olah data, berdasarkan rekomendasi seorang te man. Percakapan telepon pun terjadi.
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
11
Sistem Pembayaran perspektif
A
njungan tunai mandiri atau auto matic teller machine alias ATM, sekarang sudah menjadi barang keseharian bagi peng guna layanan perbankan. De mikian pula electronic data capture (EDC), alat baca kartu pembayaran seperti kartu debet atau kartu kredit Sayang, sebagian besar infrastruktur pen dukung sistem pembayaran itu ter nyata masih tergantung pada asing. Setiap tahun, 4 juta dolar AS mengalir ke pundipundi asing hanya untuk biaya transaksi, baru dari biaya transaksi memakai kartu pembayaran. Andai saja infrastruktur sistem pemba yaran bisa digarap sendiri oleh pelaku di dalam negeri, potensi penghematan bah kan dapat mencapai 15 juta dolar AS per tahun. Angka itu mencakup biaya yang bisa dikurangi dari pencadangan dana untuk penyelesaian akhir (settlement) transaksi.
Infrastruktur dan Akses
Sistem pembayaran sejatinya adalah urat nadi perekonomian karena merupa kan saluran perpindahan dana. Prasyarat sistem ini adalah kepastian keamanan, ope rasional yang efisien, mulus dipakai, dapat digunakan secara luas, dan semestinya me ngedepankan kepentingan nasional. Sistem pembayaran yang optimal dapat mendukung stabilitas perekonomian me lalui sistem keuangan. Mewujudkan mimpi ini tidaklah mudah dan butuh waktu berta hun-tahun. Ibarat membangun rumah, per tama yang seharusnya dipastikan ada adalah bangunan rumah itu sendiri, baru kemudian perabot dan hiasannya. Infrastruktur sistem pembayaran ibarat rumah itu. Bila ingin 'rumah' tersebut menjadi milik sendiri dengan kualitas yang tak ber kurang, standardisasi harus dilakukan. Ini ter kait masalah penggunaan teknologi, model bisnis, dan mekanisme penyeleng garaan sistem pembayaran yang beragam di antara para pelaku pasar. Jangan sampai, layanan, keamanan, dan harga terus saja beragam. Bila yang terjadi justru demikian, sistem pembayaran akan berkembang ke arah yang tak sehat. Sistem pembayaran berhadapan pula dengan masalah keterbatasan akses la yanan yang saat ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan, belum men
12
Dok
Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Susiati Dewi W
Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran
jangkau semua lapisan masyarakat. Fasilitas infrastruktur dan layanan masih terbatas di kota kecil dan pedesaan. Bila pada masa mendatang terjadi pe ningkatan taraf hidup dan kebutuhan transaksi non-tunai meluas sampai ke pe desaan, keterbatasan akses akan menjadi ken dala tersendiri bagi industri. Saat ini saja, transaksi sistem pembayaran sudah tumbuh rata-rata 15 persen per tahun, ter masuk transaksi masyarakat di pedesaan. Per tumbuhan itu terutama dari layanan transfer dana, pengiriman uang, serta pem bayaran tagihan rutin seperti telepon dan pembelian pulsa telepon selular.
Gerbang Pembayaran Nasional
Sebagai otoritas yang mengatur, me ngembangkan, mengawasi, dan memberi kan izin penyelenggaraan sistem pemba yaran, Bank Indonesia menilai ada tiga tan tangan masalah struktural terkait sis tem pembayaran. Yaitu, belum dapat ber saingnya industri domestik di sistem pem bayaran dengan pemain asing, inefisiensi penyelenggaraan layanan, dan masih ter batasnya jaringan layanan. Strategi mengatasi tantangan tersebut juga harus membuat sistem pembayaran yang mampu mendukung stabilitas sistem keuangan. Di dalamnya tercakup penyedia an infrastruktur yang mendukung perluas an akses partisipasi ekonomi masyarakat. Sekarang, sedang berlangsung proses pembangunan gerbang pembayaran na sional (GPN) yang direncanakan memakai empat tahap pada kurun 2014 sampai 2017. GPN diharapkan mengawali terwujudnya cita-cita kemandirian industri sistem pem bayaran nasional. Di dalamnya tertuang
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
rencana penyelenggaraan jaringan kartu debet dan kartu kredit yang dikelola indus tri nasional. Targetnya, pada 2014 sudah akan ter wujud mekanisme pertukaran (switching) domestik untuk melayani transaksi sistem pembayaran. Berikutnya adalah pengem bangan jaringan pembayaran domestik. Menyusul sesudahnya, penyediaan 'peng hubung' (hub) untuk integrasi sistem pem bayaran nasional, dan terakhir adalah ope rasionalisasi penuh GPN. Saat GPN beroperasi penuh, penghe matan 15 juta dolar AS menurut nilai saat ini dapat terjadi. Setidaknya, kualitas layan an dapat ditingkatkan dengan harga yang tak berubah untuk jangka waktu lebih lama.
Standardisasi dan Perluasan Akses
Membangun standardisasi industri ada lah niscaya. Namun kompetisi sehat pun tetap harus mengemuka. Standar teknis dan lembaga sertifikasi juga tak se harusnya dicemari rente ekonomi. Setiap pelaku industri idealnya punya peran setara dalam pengelolaan standardi sasi itu, dengan Bank Indonesia sebagai pengatur kebijakan harga atas layanan sis tem pembayaran kepada masyarakat. Efisiensi seharusnya otomatis terjadi. Bila sistem pembayaran telah terstan dardisasi, cita-cita masyarakat yang tak lagi banyak bertransaksi tunai dapat terealisasi pula. Bukan mustahil, beragam program dalam anggaran rutin pemerintah suatu ke tika cukup dikirim melalui jalur non-tunai, setelah GPN beroperasi. Misalnya, program bantuan sosial. Perluasan akses layanan finansial (keuangan inklusif) akan ikut terdorong, melalui pemanfaatan inovasi dan teknologi informasi, penyebaran agen layanan, serta edukasi dan penguatan perlindungan kon sumen. Pada akhirnya layanan sistem pem bayaran akan menembus hingga kota kecil dan pedesaan. Peluang perluasan akses akan sangat ter buka ketika infrastruktur sistem pembayaran sudah dikelola anak negeri sendiri, dengan standardisasi dan efisiensi yang dihasilkan. Manfaat lebih luas dari keberadaan sistem pembayaran akan sampai ke sektor lain perekonomian melalui akses itu. Sudah milik sendiri, bermutu, dan mendorong perluasan akses layanan keuangan. u
Keuangan Inklusif
Merangkul Lebih Luas
Karenanya, dengan latar di atas, ada dua alasan da ri keharusan merangkul masyarakat yang lebih luas masuk ke dalam sistem keuangan. Pertama, peningkatan simpanan masyarakat sekalipun kecil dapat menjadi alternatif sumber DPK baru yang lebih stabil bagi perbankan. Risiko likuiditas
Primitiva Febriarti
Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
lebih dapat dikurangi. Pembiayaan kepada sektor mikro dan kecil bermanfaat pula un tuk mitigasi risiko kredit. Kedua, masyarakat miskin masih men jadi bagian besar di piramida penduduk. Menghubungkan the bottom of the pyramid ke dalam sistem keuangan akan membuka akses yang lebih luas ke sektor keuangan formal, sehingga dampaknya positif bagi kelompok tersebut, ekonomi, perbankan dalam konteks mikro dan stabilitas sistem keuangan. Sekaligus, membantu mening katkan efisiensi perekonomian. Dalam perkembangannya, upaya per luasan akses keuangan melalui layanan pembayaran dan keuangan ke kelompok the bottom of the pyramid juga memanfaat kan teknologi berbasis mobile atau web dan unit ekonomi lokal sebagai jaringan agen. Terobosan ini dikenal sebagai kanal layanan keuangan digital (Digital Financial Services atau DFS). Bauran tersebut diyakini mampu menjangkau lapisan the bottom of the pyramid dengan nyaman dan aman untuk ber transaksi keuangan. Namun, pembukaan akses itu harus didukung responsible finance yang men cakup dua aspek utama, yaitu edukasi dan perlindungan konsumen. Edukasi teru tama terkait pengelolaan keuangan yang benar secara sederhana dan cara bertran saksi yang aman. Sementara perlindungan konsumen dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan, menjamin kelancaran, serta tidak hilangnya hak-hak masyarakat karena pemanfaatan teknologi dan penggunaan pihak ketiga oleh bank. Dengan berbagai argumentasi terse but, Bank Indonesia konsisten berupaya meningkatkan akses keuangan masyarakat melalui sejumlah langkah. Mulai dari pro gram tabungan murah, DFS dengan du kungan sistem pembayaran, hingga penye diaan sistem informasi harga komoditas dan pengembangan nomor identitas keuangan (financial identity number atau FIN).
Untuk mencapai tujuan per lu asan akses layanan keuangan alias ke uang an inklusif ini, dukungan terhadap UMKM ju ga mutlak dilakukan. Keberpihakan pada UMKM tak hanya memperkuat sektor riil terkait stabilitas harga, tetapi juga penting bagi stabilitas keuangan. Intermediasi pun akan tumbuh lebih seimbang, ketika sis tem keuangan dapat lebih luas merangkul UMKM. Ada lima strategi ditempuh untuk keuangan inklusif. Pertama, penguatan edukasi keuangan sebagai upaya meng ubah perilaku pengelolaan keuangan, teru tama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Kedua, peningkatan akses keuang an melalui DFS. Ketiga, perlindungan kon sumen untuk memastikan terjaganya hak-hak masyarakat ketika memanfaatkan akses keuangan dan sistem pembayaran. Keempat, pengurangan informasi asimetris melalui penyediaan data profil keuangan masyarakat unbanked dan data informasi komoditas. Kelima, pengaturan dalam ke rangka stabilitas sistem keuangan untuk mendukung efektivitasnya, termasuk reko mendasi kebijakan kepada otoritas terkait. Adapun khusus untuk pengembangan UMKM, prinsip yang dipakai pada dasarnya sama dengan strategi keuangan inklusif. Namun, strategi untuk UMKM dilengkapi dengan upaya peningkatan kapasitas dan infrastruktur pendukung guna mengurangi asimetric information. Bentuk dukungan in frastruktur itu mulai dari layanan sertifikasi tanah, asuransi pertanian, pemeringkatan UMKM, pendirian lembaga penjamin kredit daerah, hingga informasi mengenai UMKM di situs BI. Selain meminimalkan informasi asimetris, langkah ini sekaligus mendorong penyaluran pembiayaan dan membantu peningkatan efisiensi perekonomian. Sinergi program keuangan inklusif dan UMKM akan sangat membantu pening katan akses keuangan secara terintegrasi dan menyeluruh. Mengingat peningkatan keuangan inklusif adalah program jangka panjang dan menyentuh wilayah berbagai instansi, baik pemerintah maupun otoritas lain, maka kesamaan visi dan misi diper lukan. Bahkan, perlu ada pula perubahan paradigma. Koordinasi dan kemitraan an tar-lembaga merupakan prasyarat mutlak. Di internal BI, peran Kantor Perwakilan BI pun akan sangat vital sebagai ujung tom bak di daerah, termasuk untuk berkoordi nasi dengan instansi setempat. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
perspektif
M
Mewujudkan stabilitas tak bisa dilakukan tanpa pengu atan aspek struktural. Tak terkecuali di sistem keuang an. Bila pertumbuhan eko no mi inklusif dan berkelanjutan disa sar, maka sejumlah masalah struktural di sistem keuangan pun harus segera dibenahi. Berdasarkan fakta di lapangan, pen duduk Indonesia yang melek keuangan masih rendah. Menurut survei Bank Dunia pada 2011, baru 19,6 persen penduduk de wasa memiliki rekening bank. Hal yang sama juga diinformasikan Lembaga De mografi Fakultas Ekonomi Universitas In donesia, bahwa hanya 35,31 persen pen duduk dewasa yang sudah terlayani bank pada 2012. Per Desember 2012 kontribusi tabungan masyarakat terhadap perekono mian baru 39,13 persen, sementara kredit perbankan menyumbang 32,85 persen. Menariknya, pertumbuhan tinggi eko nomi Indonesia ternyata belum sesuai eks pektasi. Meski pendapatan domestik bruto (PDB) meningkat dari Rp 1.681 triliun pada kuartal empat 2010 menjadi Rp 2.096 trili un pada kuartal empat 2012, dan ada pe nu runan tingkat kemiskinan, namun ke timpangan melebar. Indeks Gini yang pada 2010 tercatat 0,37, pada 2012 naik jadi 0,41. Artinya, pertumbuhan ekonomi ku rang menyentuh masyarakat lapisan bawah. Di sistem keuangan, pembiayaan per bankan yang tersalur ke usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) baru 19 persen dari total kredit perbankan. Bahkan, porsi pem biayaan untuk sektor mikro dan kecil relatif kecil, masing-masing tercatat hanya 21,8 persen dan 30,3 persen dari total kucuran kredit UMKM per November 2013 . Padahal, UMKM menyerap 97,16 per sen tenaga kerja menurut data Kemente rian Koperasi dan UKM pada 2012, dan me nyumbang 56 persen PDB. Krisis 1997-1998 menunjukkan pula bahwa UMKM adalah sektor yang paling tahan menghadapi ba dai besar perekonomian yang menghan tam Indonesia dan Asia pada waktu itu.
Dok
Dari, Untuk, dan Oleh Semua
13
UMKM
Tranformasi Menyongsong MEA 2015 peristiwa & humaniora
Dok BI
S
ektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) punya andil besar terhadap perekonomian Indonesia. Sektor ini menyumbang 56 persen Penda patan Domestik Bruto (PDB) pada 2012, menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja, dan menjadi komponen terbesar dari unit usaha di Indonesia. Namun, capaian ini belum cukup, apalagi untuk menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Di satu sisi, MEA membu ka peluang besar bagi UMKM karena produkproduk dalam negeri akan mendapat pasar di kawasan ASEAN. Pada 2012, kawasan ini berpopulasi 617,78 juta dengan PDB sebesar
2,1 triliun dolar AS. Pada sisi lain, MEA 2015 juga mengha dirkan tantangan lain untuk Indonesia, se lain target pasar. Pengembangan wirausaha diperlukan untuk menghasilkan produk ber nilai tambah dan berdaya saing yang punya kemampuan menembus pasar global. Men jadi pemain andal yang diperhitungan men jadi sebuah keharusan. Untuk itu, potensi UMKM harus lebih diangkat dan diperkaya dengan sentuhan kewirausahaan. Gubernur Bank Indonesia Agus Marto wardojo, saat membuka Global Entrepreneurship Week (GEW) 2013 di Bank Indonesia Ja karta, pada 20 November 2013, menekankan
pentingnya transformasi ekonomi. Ha nya bertahan, kata dia, tidak akan cukup di te ngah situsi global yang dinamis saat ini. Menurut Agus, peran wirausaha yang andal dibutuhkan agar Indonesia memiliki industri yang mandiri, mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah, se kaligus mampu bersaing di pasar global. Ia pun yakin apabila kondisi tersebut tercapai maka Indonesia akan memiliki postur neraca transaksi berjalan yang lebih sustainable. “Ekonomi kita juga perlu terus bertrans formasi karena tingkat persaingan global semakin meningkat, sementara masih ter dapat beberapa kelemahan struktural yang perlu terus dibenahi untuk memperkuat daya saing dunia usaha kita,” papar Agus. Karena nya, harus ada dukungan penuh dari semua kalangan untuk meningkatkan pengembangan UMKM dan kewirausahaan. Sebagai bentuk dukungan BI bagi sektor produktif dan UMKM, pada pengujung 2012 sudah diterbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan dan Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Ketentuan ini mewa jibkan bank umum menyalurkan 20 persen kredit/pembiayaan kepada UMKM yang se cara bertahap mulai berlaku pada 2015. Bank Indonesia juga memberikan bera gam bantuan teknis berupa penelitian, pe latihan, penyediaan informasi, serta fasilitasi kepada UMKM, perbankan, lembaga pem biyaan UMKM, serta lembaga penyedia jasa. Melalui Peraturan BI Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, Bank Indonesia mewajibkan pula bank menyalurkan 55-70 persen kredit/pembiayaannya ke sektor usa ha produktif, sesuai dengan modal inti bank yang bersangkutan. u
Penghargaan untuk Responden, Pelapor, dan Mitra Survei di Jatim
K
antor Perwakilan Bank Indonesia Wila yah IV Jawa Timur memberikan peng hargaan kepada 15 perusahaan atas kontribusi mereka membantu BI melakukan survei untuk menilai kondisi perekonomian Jawa Timur. Penghargaan diserahkan pada 9 Desember 2013. “Para penerima penghargaan adalah perusahaan yang menjadi responden survei, perusahaan pelapor data, dan perusahaan yang menjadi mitra informasi,” kata Kepala Kantor Perwakilan BI Wilayah IV Jatim, Dwi Pranoto. Kriteria dari penghargaan yang baru pertama kali digelar kantor perwakilan ini adalah kualitas informasi yang diberikan, ke tepatan waktu pelaporan, kelengkapan, dan
14
akurasi data. Hingga saat ini, tingkat partisipasi res ponden di Jawa Timur dinilai sangat baik dan positif. Pranoto mengatakan kualitas data dalam laporan juga sudah semakin lengkap,
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Dok BI
akurat, dan dapat diandalkan. Kelengkapan cakupan data, kata dia, memberikan ruang yang lebih luas bagi Bank Indonesia untuk melakukan analisa dan merumuskan kebijak an. u
K
elompok Tani Ternak (KTT) Bina Ternak Desa Kendalrejo, anggota Klaster Ayam Petelur Kabupa ten Pemalang binaan Kantor Per wa kilan Bank Indonesia Tegal, menja di juara pertama lomba Kelompok Peternak Ayam Lokal Tingkat Nasional 2013. Lomba ini digelar Kementerian Pertanian. Atas pres tasi itu, KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo menerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2013. Wakil Presiden Boediono menyerahkan langsung penghargaan tersebut kepada perwakilan KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo, di Istana Wakil Presiden, pada 29 November 2013. Wakil Presiden mengapresiasi para pe nerima penghargaan yang telah menunjuk kan konsistensi dan dan keberhasilan me ningkatkan kemandirian ketahanan pangan di daerah masing-masing. Penilaian lomba berlangsung pada 17 Juli 2013. Tim penilai berasal dari Direktorat Jendral Peternakan, Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia, dan Institut Perta nian Bogor. Mereka mendatangi KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo, Kecamatan Petaruk an, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Empat aspek menjadi poin utama peni laian, mencakup administrasi dan organisa si, usaha hulu, usaha budidaya, dan usaha hilir. KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo dinilai memiliki keunggulan dalam hal diversifikasi produk dan pemasaran. Selain telur ome ga-3, golden yolks, dan probiotik, KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo juga menghasil
kan produk turunan seperti chicken nugget, keripik ceker, abon, dan bakso. Dari sisi fasilitas, kelompok tani ini juga telah memiliki kandang terpadu dengan ka pasitas 1.000 ekor ayam dalam satu kawasan. Seluruh siklus usaha ternak ayam dapat di laksanakan di kandang terpadu tersebut, mu lai dari penetasan, pemeliharaan anak ayam, pemeliharaan ayam dewasa, sampai ayam tidak produktif lagi. Dalam hal pemasaran, kelompok tani binaan Kantor Perwakilan Bank Indone sia Tegal ini telah menjangkau toko dan swa layan besar di Pemalang seperti Basa Toserba, Yogya Swalayan, dan Swalayan Pe malang Permai. Produk mereka juga dijual di koperasi dan sekolah-sekolah di Pemalang. Keunggulan lain KTT Bina Ternak Desa Ken dalrejo adalah kemampuannya meng akses pembiayaan dari lembaga perbankan berupa kredit umum atau kredit bersub sidi, yang menandakan usaha ternak ayam tersebut layak dibiayai dan dipercaya oleh perbankan. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Tegal, Bandoe Widiarto, mengatakan kantornya bersama bersama Dinas Pertanian dan Ke hutanan Kabupaten Pemalang akan terus meng awal perkembangan klaster ayam petelur. “Kami telah melaksanakan pelatih an mengenai manajemen administrasi dan keuangan pada 3 sampai 4 Desember 2013. Harapannya pelatihan tersebut dapat se makin memajukan kelompok-kelompok da lam klaster,” ujarnya. u
B
ank Indonesia memberikan peng hargaan kepada bank dan lembaga bukan bank yang menjadi pelapor terbaik Lalu Lintas Devisa (LLD) dan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Penghargaan diserahkan De puti Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo kepada 24 pelapor LLD dan DHE. Penyerahan penghargaan pe lapor terbaik itu dilakukan dalam Temu Akhir Tahun Pelapor LLD dan DHE 2013, pada 4 Desember 2013. Perry mengatakan, kontribusi pen catatan statistik LLD dan DHE yang lengkap, dapat dipercaya, akurat, dan tepat waktu merupakan amuni si yang diperlukan dalam perumus an kebijakan di bidang moneter, makroprudensial, perbankan, dan sistem keuangan. “Dengan pelaporan yang efek tif maka hal ini diharapkan dapat berkontribusi besar pada stabilitas makroekonomi, sehingga pelaku bisnis yang di antaranya termasuk pe lapor LLD dan DHE juga akan dapat menjalankan roda bisnisnya dengan lebih baik,” ujar Perry. Perry berharap para pelapor menjaga kualitas, kuantitas, keleng kapan, akurasi, dan ketepatan waktu laporan LLD dan DHE. Hingga Sep tember 2013, Bank Indonesia men catat 120 pelapor LLD Bank, 2.514 pelapor LLD LBB, dan 2.131 LLDULN. Sedangkan 11.700 eksportir tercatat menjadi pelapor DHE. u
peristiwa & humaniora
Dok BI
BI Beri Penghargaan Pelapor Terbaik LLD dan DHE
D Aulia
Peternak Pemalang Raih Penghargaan APN 2013
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
15
Setelah Beralih ke OJK
T
onggak sejarah telah dipancangkan. Pengaturan dan pengawasan individual bank (mikroprudensial) ber alih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Desember 2013. Pengalihan ini membuat BI tidak lagi mengatur dan mengawasi kegiatan ope rasional dan kinerja dari setiap bank. BI lebih fokus pada pengaturan dan peng awasan terhadap sistem keuangan (ma kroprudensial) serta pada bank-bank dan lembaga keuangan tertentu yang diang gap memiliki peran penting atau signifi kan dalam sistem keuangan. Pengalihan pengaturan dan peng awasan mikroprudensial bank ke OJK tidak kemudian serta-merta memutus hubung an BI de ngan bank. UU OJK mem be rikan ama nat kepada BI untuk melakukan pengaturan dan pengawasan secara makroprudensial. BI pun tetap dapat melakukan peme riksaan kepada bank jika dirasa perlu. Ha nya, pemeriksaan itu tak lagi untuk membe rikan penilaian atas kesehatan bank yang sudah menjadi menjadi kewe nangan OJK.
Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
Pengaturan dan pengawasan oleh BI lebih bertujuan menjaga dan memeliha ra stabilitas sistem keuangan. Prinsipnya, me mitigasi risiko di sistem keuangan yang dapat mengancam integritas dan stabilitas sistem keuangan. Risiko-risiko itu mencakup risiko kredit, risiko likuidi tas, risiko pasar, dan ketahanan permo dalan bank. Semua risiko tersebut bersifat sis temik. Pengawasan dilakukan mela lui mekanisme pemantauan (surveillance) terhadap indikator tertentu di pasar ke uangan dan lembaga keuangan yang di anggap bisa merepresentasikan kondisi sistem keuangan. Karena sistem keuang an sekarang masih didominasi industri perbankan, maka pemantauan terhadap lembaga keuangan pun diprioritaskan pada indikator-indikator terkait industri
16
perbankan. Misalnya terkait risiko kredit. BI akan mencermati indikator-indikator tertentu seperti keselarasan antara pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Dicermati pula kerentanan di sektor-sektor ekonomi tertentu yang memperoleh pembiayaan (kredit) cukup besar dari perbankan.
D Aulia
ekspose
Pengawasan Bank
apabila pembiayaan yang diberikan bank bukan untuk tujuan produktif. Untuk memitigasi risiko kredit di atas, ada dua hal yang akan dilakukan BI seba gai otoritas makroprudensial. Pertama, mengeluarkan regulasi untuk membatasi dan menurunkan risiko kredit. Seperti, kebijakan loan to value ratio untuk sek tor properti dan down payment di sektor otomotif. Juga, kebijakan yang mengait kan giro wajib minimum dengan loan to deposit ratio. Kedua, melakukan tindakan peng awasan (supervisory actions) untuk meng arahkan pembiayaan bank agar tidak terkonsentrasi pada sektor ekonomi ter tentu dan memprioritaskan pembiaya an pada sektor-sektor ekonomi yang produktif yang membantu kinerja pere konomian nasional.
Koordinasi
Jika pertumbuhan kredit secara rela tif terlihat lebih tinggi dibandingkan de ngan pertumbuhan ekonomi nasional, risiko kredit di sistem keuangan akan me ningkat. Karena, kemampuan perekono mian untuk menyerap dan mendayagu nakan pembiayaan perbankan terbatas. Bila kredit melaju lebih kencang dibandingkan pertumbuh an ekonomi, terdapat potensi ketidakseimbangan di sektor riil. Pelunasan kredit dari bank da pat meleset dari harapan. Sistem keuang an pun bisa terganggu. Karenanya, BI per lu mengambil tindakan makroprudensial untuk mengatasi hal tersebut. Demikian pula halnya jika pembia ya an bank pada sektor-sektor tertentu tumbuh jauh melebihi rata-rata pertum buhan kredit secara keseluruhan (agre gat). Peningkatan risiko kredit akan ter jadi untuk sektor-sektor tersebut, terlebih
desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA EDISI 45 u desember
Pada 18 Oktober 2013, BI dan OJK menandatangani Surat Keputusan Ber sama. Inti isinya, memastikan pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan mi kroprudensial berjalan dengan baik, serta fungsi, tugas, dan wewenang ma singmasing lembaga dapat dilaksanakan dengan efektif. Surat Keputusan Bersama tersebut akan memayungi koordinasi makro-mi kroprudensial. Kesepakatan itu pun akan diperkuat untuk meyakinkan pengalihan pengaturan dan pengawasan mikropru densial bank ke OJK tidak menimbulkan peningkatan regulatory cost, mampu mencegah regulatory arbitrage, serta da pat meningkatkan kualitas manajemen krisis nasional. Jadi, walaupun pengaturan dan pengawasan mikroprudensial bank ber alih ke OJK, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa pengawasan industri keuangan akan menjadi terganggu. Fungsi peng aturan dan pengawasan yang saling me lengkapi antara BI dan OJK justru akan mendukung upaya pemeliharaan sta bilitas sistem keuangan, sekaligus mem berikan ruang yang lebih kondusif bagi pengembangan industri perbankan ke depan. u