HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Secara umum penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan ternak percobaan yang seragam dalam umur dan bobot badan dan terdapat beberapa ternak terserang penyakit yaitu cacingan. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan melihat recording umur domba dan menimbang ternak lalu membuat range bobot badan domba (besar, sedang, kecil) sebagai ulangan. Untuk domba yang terserang cacingan diberikan obat merk “Kalbazen” dengan menggunakan pipet suntikan. Ternak diberikan vitamin minyak ikan pada masa adaptasi untuk merangsang nafsu makan. Pemberian obat dilakukan dengan cara memberikan langsung kepada ternak melalui oral (mulut) Gambar 6. Selama penelitian berlangsung ternak mengalami kenaikan bobot badan dan mengalami kenaikan konsumsi bahan kering yang normal. Pada akhir periode penelitian minggu ke 10-12 terjadi penurunan konsumsi pakan yang diakibatkan karena pada periode tersebut domba betina mengalami masa birahi.
Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian
25
Konsumsi Bahan Kering Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, dan zat yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tilman et al., 1998). Rataan konsumsi bahan kering ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataaan Konsumsi Bahan Kering Domba dengan Ransum Perlakuan Peubah
Perlakuan
M0
MJ
MIL
MILT
±SEM
…………………..g/ekor/hari………………….. Konsumsi Bahan Kering Hijauan (g/ekor/hari)
115,89
119,61
120,14
107,31
8,87
Konsentrat (g/ekor/hari)
285,87
302,21
277,49
267,26
2,06
(g/ekor/hari)
401,76
421,82
397,63
374,57
2,94
(g/kg BB0,75)
63,35
60,67
57,03
59,16
1,37
(% BB)
3,20
3,19
3,01
3,18
0,03
29:71
28:72
30:70
29:71
Total BK ransum
Hijauan:Konsentrat
Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Berdasarkan analisis ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang ditambah minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi memiliki palatabilitas yang sama dengan ransum tanpa minyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chruch dan Pond (1988), palatabilitas bahan pakan dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Hartati et al. (2007) menunjukkan bahwa penambahan mineral seng pada PPG (Pakan Padat Gizi) mengandung 1,50% minyak lemuru tidak berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering. Konsumsi bahan kering berkisar 374,57-421,82 (g/ekor/hari) atau 57,0363,35 g/kg BB0,75 atau 3,01%-3,20% dari bobot badan. Konsumsi bahan keringuntuk perlakuan M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 401,76; 421,82; 397,63; dan 374,57 (g/ekor/hari).
26
Maulidina et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering ransum domba betina calon induk yang menggunakan bungkil kelapa, onggok dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO) konsumsi bahan kering berkisar 450,29-517,21 (g/ekor/hari) atau 3,20%-3,49% bobot badan. Shaliha et al. (2012) juga melaporkan bahwa jumlah konsumsi bahan kering yang dikonsumsi oleh domba jantan yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi bahan keringnya 422-500 (g/ekor/hari) atau 59-68 g/kg BB0,75 atau 3,1%-3,5% dari bobot badan. Kearl (1982) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 15 kg dengan pertambahan bobot badan 50-100 (g/ekor/hari) mengkonsumsi bahan kering sebesar 530-560 (g/ekor/hari) atau 58,9-64,4 g/kg BB0,75. Menurut NRC (1985), domba dengan bobot tubuh 10-20 kg dengan pertambahan bobot tubuh domba 200-250 g/hari membutuhkan bahan kering 0,5-1 kg atau 5% dari bobot hidup. Konsumsi bahan kering dalam penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Maulidina et al. (2011), Shaliha et al. (2012), Kearl (1982) maupun NRC (1985). Hal ini diduga karena adanya perbedaan jenis bahan pakan dalam ransum yang dapat menimbulkan perbedaan palatabilitas, kandungan nutrisi dan kecernaan, yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Hamdan et al., 2004). Scollan et al. (2001) melaporkan bahwa ransum dengan minyak ikan cenderung mengurangi konsumsi pakan. Chillard dan Doreau (1997) juga melaporkan bahwa asupan jagung dan konsentrat yang dilengkapi dengan minyak ikan menurunkan konsumsi bahan kering pada sapi perah. Imbangan konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat agak sedikit berbeda dari yang diharapkan yaitu 30:70 dikarenakan pemberian yang terpisah antara hijauan dan konsentrat. Sehingga, ternak lebih menyukai konsentrat daripada hijauan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ternak lebih memilih pakan yang kualitas baik. Ratio hijauan dan konsentrat untuk perlakuan M0 (29:71), MJ (28:72), dan MILT (29:71) sedangkan untuk MIL (30:70) merupakan rasio yang tepat untuk perbandingan yang diharapkan pada perlakuan ini.
27
Pola Konsumsi Bahan Kering (BK) Pola konsumsi rataan bahan kering selama penelitian terlihat pada Gambar 7. Rataan konsumsi bahan kering pada dua minggu pertama untuk M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 207,74; 216,81; 215,65; 194,20 (g/ekor/hari), kemudian meningkat masing-masing sebesar 534,54; 555.66; 485,47; dan 479,72 (g/ekor/hari).
600 Rataan Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari)
500 400 300
M0
200
MJ MIL
100
MILT
0 2
4
6
8
10
12
Minggu KeGambar 7 . Grafik Pola Konsumsi Bahan Kering Mingguan M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru
Secara umum, rataan konsumsi bahan kering penelitian tidak berbeda nyata, tetapi dari pola konsumsi bahan kering menunjukan bahwa ransum MJ mempunyai konsumsi lebih baik dan lebih tinggi dari ketiga ransum perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena panambahan sumber minyak nabati lebih disukai ternak dibandingkan dengan penambahan sumber minyak yang berasal dari hewani. Penambahan minyak ikan menyebabkan bau amis dalam ransum, sehingga menyebabkan palatabilitas menurun. Sudarman et al. (2008) menyatakan bahwa penambahan sabun-Ca yang berasal dari minyak ikan dalam ransum diduga menyebabkan adanya bau amis dalam ransum yang tidak disukai domba yang mengakibatkan palatabilitas ransum berkurang. Ransum yang ditambah minyak ikan lemuru terproteksi (MILT) lebih rendah sejak dari awal yaitu 194,20 menjadi 479,7 (g/ekor/hari). Khusus untuk MIL pada 28
minggu ke 10-12 terjadi penurunan konsumsi bahan kering harian kemungkinan disebabkan oleh adanya beberapa ekor domba yang menunjukan gejala birahi. Birahi menyebabkan konsumsi rendah sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering menurun. Tanda-tanda berahi yang paling penting adalah domba kelihatan tidak tenang dan nafsu makan biasanya turun (Ginting dan Sitepu, 1989). Konsumsi Protein Kasar (PK) Rataan konsumsi protein kasar ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rataaan Konsumsi Protein Kasar Domba dengan Ransum Perlakuan Peubah
Perlakuan
M0
MJ
MIL
MILT
±SEM
…………………..g/ekor/hari………………….. Konsumsi Protein Kasar Hijauan (g/ekor/hari)
10,17
10,50
10,25
9,42
0,77
Konsentrat (g/ekor/hari)
63,87
61,12
54,28
52,25
4,32
74,04
71,62
64,82
61,66
5,06
Total (g/ekor/hari)
Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi protein kasar. Nilai konsumsi protein kasar dari tiap perlakuan yaitu M0, MJ, MIL dan MILT masingmasing 74,04; 71,62;, 64,82; dan 61,66 (g/ekor/hari). Kebutuhan protein dalam pakan harus diperhitungkan dengan baik. Rataan konsumsi protein kasar perhari dari masing-masing perlakuan yaitu berkisar antara 62,76-71,03 (g/ekor/hari). Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan NRC (1985), domba dengan bobot tubuh 10-20 kg membutuhkan protein 127-167 (g/ekor/hari) untuk pertumbuhan, perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa atau potensi genetik ternak dan tingkat produksi, pertambahan bobot badan domba NRC
29
(1985) yaitu 200-250 g/hari, sedangkan pertambahan bobot badan dari penelitian ini adalah 81,32-88,64 (g/ekor/hari). Hasil ini mendekati dengan yang dilaporkan Maulidina et al. (2011) yaitu domba dengan bobot tubuh 10-25 kg dengan pertambahan bobot tubuh 50-100 g/hari membutuhkan protein 67,08-86,63 (g/ekor/hari). Shaliha et al. (2012) juga melaporkan bahwa jumlah konsumsi protein yang dikonsumsi oleh domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi protein kasar berkisar 67-80 (g/ekor/hari). Menurut Kearl (1982) bahwa domba dengan bobot badan 15 kg dengan pertambahan bobot badan 50-100 (g/ekor/hari) mengkonsumsi protein kasar sebesar 49-58 (g/ekor/hari). Peningkatan konsumsi protein kasar dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan yaitu semakin tinggi kandungan protein semakin banyak pula protein yang terkonsumsi. Boorman (1980) menyatakan semakin tinggi kandungan protein semakin banyak pula protein yang terkonsumsi. Tingginya protein terkonsumsi diharapkan dapat meningkatkan jumlah protein yang teretensi dalam tubuh ternak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk memenuhi hidup pokok dan produksi. Konsumsi Serat Kasar Rataan konsumsi serat kasar ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rataaan Konsumsi Serat Kasar Domba dengan Ransum Perlakuan Peubah
Perlakuan
M0
MJ
MIL
MILT
±SEM
…………………..g/ekor/hari………………….. Konsumsi Serat Kasar Hijauan (g/ekor/hari)
32,20
33,23
33,38
29,82
2,47
Konsentrat (g/ekor/hari)
26,87
30,92
27,38
25,59
2,10
59,07
64,16
60,76
55,37
4,53
Total (g/ekor/hari)
Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
30
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi serat kasar. Sejalan dengan konsumsi zat makananan lainnya, konsumsi bahan kering yang tidak berbeda nyata juga menyebabkan konsumsi serat yang tidak berbeda antar perlakuan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsumsi serat, yaitu kandungan serat kasar di dalam ransum, hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Suparjo et al. (2011) bahwa konsumsi serat kasar dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dalam ransum, karena serat yang terkonsumsi akan semakin tinggi jika kandungan serat kasar ransum juga tinggi dan begitu juga sebaliknya. Konsumsi serat kasar domba betina lepas sapih yang diperoleh pada penelitian sebesar 55,37-64,16 (g/ekor/hari). Rataan konsumsi serat kasar untuk perlakuan M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 59,07; 64,16; 60,76; 55,37 (g/ekor/hari). Hasil yang diperoleh tersebut lebih rendah dari hasil penelitian Shaliha et al. (2012) yang menggunakan domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan kandungan serat kasar sebesar 21,27%-22,25% konsumsi serat kasarnya sebesar 94106 (g/ekor/hari). Perbedaan konsumsi serat kasar ransum pada penelitian ini disebabkan karena kandungan serat kasar ransum pada penelitian ini lebih rendah yaitu berkisar 14,91%-15,50%. Konsumsi serat kasar sangat dipengaruhi oleh kandungan serat yang terkandung didalam ransum. Kandungan serat kasar didalam pakan dapat mempengaruhi kecernaan didalam ransum, karena menurut Tilman et al. (1991) semakin banyak serat kasar yang terdapat di dalam suatu bahan pakan, maka semakin tebal dinding sel dan akibatnya semakin rendah daya cerna dari bahan makanan. Menurut Maynard dan Loosli (1993) domba dan ternak ruminansia lainnya membutuhkan serat kasar sekitar 18% didalam ransum. Ternak ruminansia mempunyai kemampuan untuk mencema serat kasar dengan bantuan mikroba. Kecukupan konsumsi serat kasar akan berpengaruh pada pertumbuhan. Walaupun demikian, semakin tinggi konsumsi serat kasar bukan berarti akan menghasilkan pertumbuhan ternak dan produksi yang lebih baik. Hal ini dikarenakan serat kasar bersifat menurunkan daya cerna.
31
Konsumsi Lemak Kasar Rataan konsumsi lemak kasar ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Rataaan Konsumsi Lemak Kasar Domba dengan Ransum Perlakuan Peubah
Perlakuan
M0
MJ
MIL
MILT
±SEM
…………………..g/ekor/hari………………….. Konsumsi Lemak Kasar Hijauan (g/ekor/hari) Konsentrat (g/ekor/hari) Total (g/ekor/hari)
2,12
2,19
2,20
1,96
13,43a
20,12ab
23,06b
33,51c
2,69
a
ab
b
c
2,77
15,55
22,31
25,26
35,47
0,16
Huruf kecil superskrip dalam baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01). Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam yang tertera di Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan sumber minyak yang digunakan pada penelitian ini sangat nyata mempengaruhi konsumsi lemak kasar (P<0,01). Konsumsi lemak kasar berkisar 15,55-35,47 (g/ekor/hari). Rataan konsumsi lemak kasar untuk perlakuan M0, MJ, MIL, MILT masing-masing yaitu 15,55; 22,31; 25,26; 35,47 (g/ekor/hari). Ransum MILT menghasilkan konsumsi lemak kasar paling tinggi jika dibandingkan dengan MIL, MJ dan M0. Hal ini dikarenakan ransum MILT memiliki kandungan lemak kasar lebih tinggi dibandingkan M0, MJ, dan MIL (Tabel 6). Haddad dan Younis (2004) menyimpulkan konsumsi lemak kasar dapat meningkat sejalan dengan penambahan jumlah lemak dalam ransum. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Haddad dan Younis (2004) yang menyebutkan bahwa penambahan lemak dalam ransum sebesar 0%; 2,5%; dan 5% pada ransum domba awwasi jantan lepas sapih pada periode pembesaran signifikan dapat meningkatkan konsumsi lemak kasar secara linier sebesar 21%; 59%; dan 67%. Shaliha et al. (2012) juga melaporkan bahwa jumlah konsumsi lemak kasar yang dikonsumsi oleh domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi bahan keringnya berkisar 28-31 (g/ekor/hari). 32
Machmuler et al. (2000) menyebutkan hijauan dapat menyumbang komponen
lemak dalam pakan domba. Ransum penelitian ini terdiri atas hijauan yang mengandung 1,83%. Oleh karena itu, selain dari lemak konsentrat, tinginya lemak hijauan yang mendorong tingginya tingkat konsumsi lemak, meskipun konsumsi lemak hijauan tidak berbeda nyata. Menurut Parakkasi (1999), komponen asam lemak hijauan terdiri atas asam lemak tak jenuh. Konsumsi Total Digestible Nutrient (TDN) Rataan konsumsi Total Digestible Nutrient ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Rataaan Konsumsi Total Digestible Nutrient dengan Ransum Perlakuan Peubah
Perlakuan
M0
MJ
MIL
MILT
±SEM
…………………..g/ekor/hari………………….. Konsumsi TDN (g/ekor/hari)
267,30
292,67
280,49
279,40
2,04
Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi Total Digestible Nutrient. Rataan konsumsi Total Digestible Nutrient untuk perlakuan M0,
MJ, MIL
dan MILT masing-masing
sebesar 267,30; 292,67; 280,49 dan 279,40 (g/ekor/hari). Aboenawan (1991) menyatakan bahwa semakin tinggi Total Digestible Nutrient suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik karena banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan. Rataan
konsumsi
Total
Digestible
Nutrient
berkisar
279,67-292,67
(g/ekor/hari). Kisaran tersebut belum mencukupi kebutuhan pokok konsumsi Total Digestible Nutrient menurut NRC (1985) untuk domba dengan bobot badan 10-20 kg sebesar 400-800 (g/ekor/hari). Perbedaan ini dimungkinkan adanya perbedaan faktor genetik dengan domba yang digunakan dalam penelitian. Konsumsi Total Digestible Nutrient domba pada penelitian ini tercukupi jika berdasarkan Kearl (1982) yaitu berkisar 290-380 (g/ekor/hari), dan Shaliha et al. (2012) yaitu berkisar 277-327 (g/ekor/hari).
33
Konsumsi bahan kering dan kandungan energi dapat menjadi faktor tinggi rendahnya konsumsi energi, karena menurut NRC (1985) jumlah konsumsi energi merupakan korelasi antara konsumsi bahan kering dengan kandungan energi ransum, selain itu Lallo (1996) melaporkan bahwa konsumsi energi akan meningkat sejalan dengan peningkatan kandungan energi pakan. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan indikator kecepatan pertumbuhan seekor ternak selama penelitian. Rataan pertambahan bobot badan ransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Rataan Pertambahan Bobot Badan Domba dan Efisiensi Pakan Perlakuan
Peubah
±SEM
M0
MJ
MIL
MILT
Bobot awal (kg/ekor)
9,20
9,53
10
8,53
0,66
Bobot akhir (kg/ekor)
16,93
17,60
17,47
15,93
1,15
(kg/ekor)
7,73
8,07
7,47
7,40
0,55
(g/ekor/hari)
84,94
88,64
82,05
81,32
0,006
0,21
0,21
0,21
0,22
0,65
Pertambahan Bobot Badan
Efisiensi Pakan
Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa zat makanan utama yang dibutuhkan oleh ternak untuk tujuan pertumbuhan adalah energi, oleh karena konsumsi Total Digestible Nutrient antar perlakuan dalam penelitian ini tidak berbeda nyata, maka pertambahan bobot badan yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata. Hasil penelitian menunjukan bahwa rataan pertambahan bobot badan domba berkisar 81,32-88,64 (g/ekor/hari). Rataan pertambahan bobot badan untuk perlakuan M0, MJ, MIL dan MILT yaitu masing-masing 84,94; 88,64; 82,05 dan 81,32 (g/ekor/hari).
34
Rataan pertambahan bobot badan masih berada di antara pertambahan bobot badan domba pada penelitian. Maulidina et al. (2011) dengan ransum menggunakan bungkil kelapa, onggok dan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO) pertambahan bobot badannya yaitu sebesar 82,74-104,87 (g/ekor/hari). Shaliha et al. (2012) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan domba jantan lepas sapih yang diberi ransum dengan menggunakan jagung, onggok dan bungkil kelapa konsumsi protein kasar berkisar 67-80 (g/ekor/hari). Mathius et al. (1998) juga melaporkan ransum yang menggunakan bahan pakan bungkil kedelai yang mendapat perlindungan molases dan minyak kelapa sawit yang mendapat perlindungan CaCO3 menghasilkan pertambahan bobot badan domba sebesar 71,67-100 (g/ekor/hari). Hasil penelitian Hasnudi dan Wahyuni (2005) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata dapat juga disebabkan ternak domba mengonsumsi pakan yang jumlahnya tidak berbeda nyata. Pola Pertambahan Bobot Badan Pola rataan pertambahan bobot badanselama penelitian terlihat pada Gambar 8. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu indikator dari pengujian ransum. Gambar 8 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan untuk semua perlakuan relatif sama dan meningkat setiap minggunya. Cheeke (1999) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas pakan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Rataan pertambahan bobot badan awal untuk M0, MJ, MIL, MILT masingmasing yaitu 9,2; 9,53; 10; dan 8,53 (kg/ekor), kemudian meningkat masing-masing sebesar 16,59; 17.6; 17,47; dan 15,93 (kg/ekor). Peningkatan dan penurunaan bobot badan biasanya diikuti dengan peningkatan dan penurunan konsumsi pakan setiap minggunya. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan berkorelasi positif dengan konsumsi pakan dan zat makanan domba. Secara umum, rataan pertambahan bobot badan penelitian tidak berbeda nyata, tetapi dari pola pertambahan bobot badan menunjukkan bahwa ransum MJ mempunyai pertambahan bobot badan yang lebih baik dan lebih tinggi dari ketiga ransum perlakuan lainnya. Pada minggu kedelapan domba dengan ransum kontrol memiliki pertambahan bobot badan cenderung menurun hingga minggu kesepuluh. Hal ini disebabkan domba kurang merespon ransum yang diberikan.
35
Rataan Pertambahan Bobot Badan (kg/ekor)
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
M0 MJ MIL MILT 0
2
4
6
8
10
12
Minggu keGrafik 8. Grafik Pola Pertambahan Bobot Badan Mingguan M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru
Efisiensi Pakan Efisiensi pakan merupakan kebalikan dari konversi pakan. Efisiensi pakan merupakan perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Rataan efisiensi pakanransum selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil sidik ragam menunjukan bahwaperlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap efisiensi pakan.Rataan efisiensi pakan untuk perlakuan M0, MJ, MIL dan MILT masing-masing sebesar 0,21 ; 0,21; 0,21 dan 0,22. Hasil penelitian ini lebih tinggi bila dibandingakan dengan hasil penelitian Kook et al. (2002) yang memakai sapi jantan dan sapi jantan yang dikastrasi memiliki efisiensi 0,12 dan 0,08 dengan perlakuan 5% minyak ikan dalam ransum. Nilai efisiensi yang semakin tinggi menunjukan bahwa ransum yang dikonsumsi semakin baik yang diubah menjadi hasil produk pada ternak (pertambahan bobot badan). Campbell et al. (2006) menyatakan bahwa efisiensi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat makanan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang digunakan. 36
Income Over Feed Cost Salah satu cara untuk menghitung keuntungan secara sederhana adalah dengan perhitungan Income Over Feed Cost. Analisis pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga jual domba, harga beli bakalan dan biaya pakan. Rataaan Income Over Feed Cost dengan ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Rataaan Income Over Feed Cost dengan Ransum Perlakuan Perlakuan
Harga
Harga
Biaya
Beli
Jual
Pakan
IOFC
….…………………Rp/ekor ……………………… M0
276.000
677.333
54.178
347.156
MJ
286.000
704.000
67.732
350.268
MIL
300.000
698.667
57.773
340.894
MILT
256.000
637.333
54.004
327.330
Keterangan : M0=Ransum kontrol; MJ = Ransum mengandung 1,5% Minyak Jagung; MIL= Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru; MILT = Ransum mengandung 1,5% Minyak Ikan Lemuru Terproteksi SEM = standard error of mean.
Harga bakalan yang dibeli pada awal periode pemeliharaan adalah Rp 30.000/Kg, sedangkan harga jual domba adalah Rp 40.000/Kg. Pengeluaran biaya pakan selama proses pemeliharaan dihitung berdasarkan jumlah pakan yang dikonsumsi selama pemeliharaan 91 hari dikali harga ransum. Konsumsi rata-rata harian setiap perlakuan yaitu, M0 mengkonsumsi 401,8 g/ekor/hari, MJ mengkonsumsi 421,8 g/ekor/hari, MIL mengkonsumsi 397,6 g/ekor/hari, dan MILT mengkonsumsi 374,6 g/ekor/hari. Penelitian ini menggunakan ransum dengan harga setiap jenisnya yaitu, ransum M0 seharga Rp 1770/kg, ransum MJ seharga Rp 2079/kg, ransum MIL seharga Rp 1779/kg, dan ransum MILT seharga Rp 1854/kg. Berdasarkan hasil perhitungan Income Over Feed Cost yang diperoleh pada Tabel 13 dapat terlihat bahwa domba dengan ransum 1,5% minyak jagung memiliki biaya pakan paling tinggi, namun nilai Income Over Feed Cost juga paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan ransum MJ menghasilkan pertambahan bobot badan domba yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Kasim (2002) yang menyatakan bahwa konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan harga pakan saat pemeliharaan dapat
37
berpengaruh terhadap nilai perhitungan Income Over Feed Cost. Perlakuan dengan ransum MILT menghasilkan Income Over Feed Cost paling rendah dikarenakan pertambahan bobot badan yang rendah. Perlakuan dengan ransum M0 menggunakan ransum dengan harga paling murah, tetapi tidak menunjukan nilai Income Over Feed Cost yang paling tinggi. Jadi harga pakan yang murah belum bisa mengindikasikan Income Over Feed Cost yang tinggi, karena masih dipengaruhi efisiensi pakan dan pertambahan bobot badan.
38