III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic acid yang dibeli dari Sigma Aldrich sebagai senyawa kopigmen. Bahan baku pembuatan minuman adalah sukrosa dan air, tween 80, dan NaHCO3. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk keperluan analisis dan ekstraksi adalah etanol PA 96% yang dibeli dari Ruang Stok Laboratorium departemen ITP untuk analisis total brazilein, etanol teknis 96% yang dibeli dari Toko Kimia Cahyana, etanol teknis 50%, aquades, dan kertas saring Whatman Nomor 1. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah disc mill, evaporator vakum, penyaring vakum, water bath, termometer, refrigerator, timbangan analitik, pisau, chromameter, botol kaca bertutup, spektrofotometer, aluminium foil, dan alat- alat gelas. B. Metode Penelitian Tahap yang dilakukan
dalam penelitian ini antara lain: ekstraksi
pigmen brazilein dari kayu secang, karakterisasi ekstrak secang, pembuatan model minuman dan kopigmentasi, serta pengujian stabilitas model minuman terhadap panas dan sinar UV seperti yang tampak pada Gambar 6 dibawah ini:
Ekstraksi pigmen brazilein
Karakterisasi ekstrak
Pembuatan model minuman dan kopigmentasi
Pengujian stabilitas panas dan UV
Gambar 6. Kerangka penelitian
15
1. Ekstraksi Brazilein Ekstraksi brazilein dari kayu secang dilakukan dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Kristie (2008). Metode tersebut merupakan modifikasi metode yang dilakukan oleh Min et al. (2006) dengan modifikasi pada pelarutnya. Ekstraksi brazilein dilakukan dengan tahap seperti pada Gambar 7 di bawah ini: Kayu secang digiling dengan disc mill
Dipanaskan dengan etanol 50% suhu 80oC selama 30 menit @ 3x dengan rasio kayu dan pelarut 10 kali
Dipisahkan dengan ampas kayu secang
Filtrat disaring dengan kertas whatman nomor 1
Selanjutnya dikeringkan dengan vakum evaporator 50oC
Ekstrak secang
Gambar 7. Metode ekstraksi pigmen brazilein Selanjutnya, setelah dilakukan ekstraksi brazilein terhadap kayu secang, dilakukan penghitungan rendemen ekstrak terhadap berat kayu yang di ekstrak. Rendemen ekstrak dihitung dalam persen yang menyatakan banyaknya ekstrak yang terdapat di dalam sampel kayu secang berdasarkan berat basah. Penentuan rendemen ekstrak dapat dilihat pada rumus dibawah ini: Rendemen ekstrak = Berat ekstrak (g) x 100% Berat sampel (g)
16
2. Karakterisasi Ekstrak Secang a.
Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1999) Analisis kadar air dilakukan terhadap ekstrak brazilein yang sudah dikeringkan. Analisis ini dilakukan dengan cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 g sampel yang sudah dihomogenkan dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang beratnya. Kadar air dihitung dengan persamaan: Kadar air (%bb) = W3 x 100% W1 Dengan, W1 adalah berat sampel dan W3 adalah kehilangan berat.
b. Analisis Total Brazilein (Metode Spektrofotometri) Analisis total brazilein menggunakan standard brazilein yang diperoleh dari pemurnian ekstrak secang menggunakan HPLC untuk menentukan kurva standard. Cairan standard brazilein dengan pelarut etanol 95% diperoleh dari sampel penelitian yang dilakukan sebelumnya. Larutan stok brazilein murni dibuat dengan melarutkan 10 mg standard brazilein dalam 10 ml etanol 95% untuk selanjutnya dibuat seri pengenceran 0.3 mg/10ml, 0.4mg/10ml, 0.5mg/10ml, 0.6mg/10ml, 0.8mg/10ml,
0.9mg/10ml,
1.0mg/10ml.
Pengukuran
absorbansi
dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer 20D dengan panjang gelombang 445 nm (Oliveira et al., 2001). Penentuan panjang gelombang 445 nm juga dilakukan dengan melakukan pengukuran panjang gelombang maksimum pada ekstrak brazilein yang dilarutkan dengan pelarut etanol 95%. Untuk sampel brazilein, dilakukan pengenceran ekstrak dengan berat tertentu menggunakan etanol 95% sampai 10 ml kemudian diukur pada absoransi 445 nm. Apabila sampel terlalu pekat, maka dapat dilakukan pengenceran. Pengukuran dilakukan secara duplo dengan dua kali ulangan.
17
Absorbansi
yang
diperoleh
dengan
pengukuran
spektrofotometri dimasukkan ke dalam persamaan linier kurva standard sehingga diperoleh konsentrasi larutan sampel dalam [ ] mg/10 ml. Selanjutnya, perhitungan total brazilein dilakukan dengan rumus: Total brazilein = [ ] mg/10ml x 10 ml x FP mg ekstrak 3. Pembuatan Model Minuman dan Kopigmentasi Penelitian bertujuan melihat adanya pengaruh stabilitas pewarna alami
brazilein
dengan
pengkompigmentasian
sinapic
acid
yaitu
berkurangnya reaksi degradasi warna pada pH netral. Brazilein dilarutkan dalam minuman dengan konsentrasi akhir 1.8 x 10-4 M sedangkan sinapic acid dilarutkan pada konsentrasi tertentu sehingga model minuman akhir memiliki perbandingan konsentrasi atau molar brazilein- sinapic acid 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, 1:25. Berat ekstrak yang dilarutkan disesuaikan dengan kandungan total brazilein yang dikandungnya dalam tiap gram ekstrak. Pelarutan
sinapic
acid
dilakukan
terlebih
dahulu
dengan
menggunakan air, tween 80 sebanyak 0,25% dari volume model minuman akhir kemudian dipanaskan sampai sinapic acid larut. Model minuman ringan dibuat dengan melarutkan gula pasir, larutan ekstrak secang dengan konsentrasi tertentu, larutan sinapic acid dan air tanpa penambahan asam apapun karena menggambarkan minuman dengan pH netral. Agar pH minuman yang terbentuk seragam, maka ditambahkan NaHCO3 untuk menaikkan pH menjadi netral. Selanjutnya dibuat model minuman dengan menambahkan air sampai konsentrasi gula mencapai 10% dan konsentrasi pewarna secang dan sinapic acid sesuai dengan perbandingan yang diinginkan. Selain dibuat model minuman dengan kopigmentasi, dibuat juga model minuman tanpa kopigmentasi sinapic acid sebagai kontrol yang selanjutnya disebut 1:0.
18
4. Analisis Stabilitas Model Minuman a. Pengujian Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Pemanasan 1. Stabilitas terhadap Pemanasan Model minuman 1:0 maupun model minuman yang telah dikopigmentasi sinapic acid (perbandingan 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, 1:25) dimasukkan ke dalam botol berwarna sebanyak masing-masing 10 ml. Botol-botol tersebut kemudian dipanaskan dalam waterbath pada suhu
40°C, 50ºC,
60ºC, 70ºC, dan 80°C.
Selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap absorbansi model minuman dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang 535 nm dan parameter L, a, b dengan menggunakan chromameter. Pengamatan dilakukan setiap 75 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 40ºC, setiap 60 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 50°C, setiap 45 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 60ºC, setiap 30 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 70ºC, dan setiap 15 menit untuk model minuman yang dipanaskan pada suhu 80°C. 2. Stabilitas terhadap Sinar UV Model minuman 1:0 maupun model minuman yang telah dikopigmentasi sinapic acid (perbandingan 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, 1:25) dimasukkan ke dalam botol bening sebanyak masing-masing 10 ml. Botol-botol tersebut disusun dalam ruang kaca bertutup berukuran 90 x 60 x 45 cm yang disinari dengan lampu UV berkekuatan 20 Watt. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap absorbansi model minuman dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang 535 nm dan parameter L, a, b dengan menggunakan chromameter. Pengamatan stabilitas terhadap UV dilakukan terhadap model minuman yang telah diberi paparan sinar UV dengan waktu kontak 0, 3, 6, 9, 12 dan 15 jam.
19
b. Perhitungan Stabilitas Berdasarkan Retensi Warna Menggunakan Spektrofotometer Pengamatan stabilitas diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis melalui parameter A atau absorbansi pada λmax (535 nm) lalu dibuat kurva retensi warna. Nilai retensi warna menunjukkan jumlah kandungan brazilein yang tersisa di dalam model minuman sesudah atau selama pemanasan. Degradasi warna dapat diestimasi dari persamaan linier kurva yang menghubungkan ln At/Ao (ln retensi) dengan waktu (pemanasan). Pada penelitian ini menggunakan persamaan reaksi ordo 1. Penurunan rumus reaksi ordo satu yang didasarkan konsep integrasi kalkulus maka dihasilkan persamaan: ln C/Co = -kt........................................................... (1) Karena dalam penelitian ini menggunakan spektrofotometer sehingga memperoleh nilai absorbansi yang berbanding lurus dengan konsentrasi, maka perhitungan persamaan Arrhenius menggunakan Absorbansi sebagai pengganti nilai C (konsentrasi). Persamaannya akan menjadi sebagai berikut: -ln (A/Ao) = kt + I................................................... (2) Dalam penelitian ini diperoleh persamaan seperti di atas dengan memplotkan nilai ln (A/Ao) atau ln retensi warna dengan waktu dalam menit. Persamaannya memiliki nilai intersep (dilambangkan dengan I) yang akan berpengaruh pada nilai waktu paruh (t1/2). Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan suatu zat bereaksi
hingga
diperoleh konsentrasi setengah konsentrasi awal. Pada penelitian ini yang dimaksud waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan agar mencapai retensi warna 50% (degradasi brazilein yang ditunjukkan oleh retensi warna). Waktu paruh diperoleh dengan persamaan sebagai berikut: Ln (A/Ao)
= -kt + I
Ln (1/2/1)
= -k(t1/2) + I
k(t1/2)
= I - ln (1/2)
20
k(t1/2)
= I - (ln 1- ln 2)
k(t1/2)
= I - (0 – ln 2)
k(t1/2)
= I + ln 2
t1/2
= (I + ln 2) .................................. (3) k
c.
Pengamatan Kualitas Warna yang Diukur Menggunakan Chromameter Pengamatan kualitas warna dengan Chromameter CIE Lab Minolta CR 310 dilakukan pada model minuman 1:0, 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, dan 1:25 yang dipanaskan pada suhu 40, 50, 60, 70, 80oC setiap waktu tertentu. Parameter yang diamati adalah nilai L (kecerahan), a (merah hijau), dan b (kuning biru), C, hue, dan ∆E. C atau Chroma purity adalah parameter yang menunjukkan intensitas ketajaman warna dari suatu sampel yang dihitung dengan rumus √a2+b2. Hue merupakan besaran yang menunjukkan posisi warna objek ke dalam diagram warna Lab. Nilai hue diperoleh dengan menghitung invers tangen perbandingan b dan a atau hue = (arctan (b/a)) sehingga didapatkan sudut dari diagram warna. Dengan memasukkan derajat hue ke dalam diagram warna (peta warna kromasitas Munsell) maka dapat ditentukan secara objektif apakah sampel tersebut berwarna merah, hijau, dsb.
Gambar 8. Peta Warna Kromasitas Munsell
Dalam peta warna kromasitas tersebut terdapat pembagian wilayah-wilayah warna seperti pada Tabel 1. Peta warna kromasitas
21
tersebut diinterpretasikan berdasarkan warna yang terlihat pada setiap derajat nilai huenya, dimana setiap derajat nilai hue tertentu akan memiliki warna tertentu. Tabel 1. Interpretasi warna hue pada peta warna kromasitas Munsell Nilai ohue
Daerah Kisaran Warna
342o-18o
Red Purple
18o-54o
Red
o
54 -90 o
o
90 -126
Yellow Red
o
Yellow
126o-162o
Yellow Green
162o-198o
Green
o
198 -234
o
Blue Green
o
234 -270
o
Blue
o
270 -306
o
Blue Purple
o
o
Purple
306 -342
Nilai ∆E merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai ∆E menunjukkan perubahan warna sampel selama perlakuan semakin besar (Hutching, 1999). ∆E dihitung dengan rumus √∆L2+∆a2+∆b2.
22