TINJAUAN PUSTAKA Cengkeh Tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum, (Linn.) Merr.) merupakan tanaman perdu yang memiliki batang pohon besar dan berkayu keras. Tanaman ini memiliki masa tumbuh puluhan hingga ratusan tahun. Tinggi pohon mencapai 20-30 m dengan banyak cabang. Daun cengkeh berbentuk bulat telur memanjang, sedangkan bunga dan buahnya terdapat pada ranting daun. Berikut ini merupakan klasifikasi tanaman cengkeh: - Divisi
: Spermatophyta
- Sub divisi : Angiospermae - Kelas
: Dicotyledoneae
- Sub kelas
: Monochlamydae
- Bangsa
: Caryophylalles
- Suku
: Caryophillaceae
- Famili
: Myrtaceae
- Spesies
: Syzygium aromaticum (L.) Meer. & Perry
(Hutapea, 1991)
Gambar 1. Daun Cengkeh dan Minyak Daun Cengkeh Sumber : www.bi.go.id dan Dokumentasi Penelitian
Tanaman cengkeh tersebar di seluruh wilayah Indonesia, Sulawesi Utara merupakan daerah yang paling luas memiliki lahan yang ditanami cengkeh sekitar 74.381 Ha (BKPM, 2011). Harnani (2010) melaporkan bahwa daerah produksi cengkeh di Indonesia berlokasi di sekitar Padang, Bengkulu, dan Lampung (Pulau Sumatera), Minahasa (Pulau Sulawesi) dan Ternate, Tidore, Makian, Ambon, Nusa Laut,
4
Saparua, Amadina, Seram, dan Banda (Kepulauan Maluku). Pemanfaatan tanaman
cengkeh digunakan dalam bidang farmasi, makanan, dan kosmetik. Minyak cengkeh merupakan hasil penyulingan tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum) berupa minyak atsiri yang terdapat dalam jumlah yang cukup besar, baik dalam bunga (10%20%), tangkai (5%-10%), dan daun (1%-4%) (Nurdjannah, 2004). Proses penyulingan minyak daun cengkeh secara lengkap disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Penyulingan Minyak Daun Cengkeh Sumber : Supriatna et al. (2004)
Penyulingan cengkeh dapat dilakukan dengan cara penyulingan air dan penyulingan dengan uap. Daun cengkeh kering dihasilkan dari daun-daun yang berguguran pada saat kemarau yang kemudian dilakukan penyulingan daun dengan 5
kadar air sekitar 7%-12% yang dilakukan dalam tangki stainless steel volume 100 L selama delapan jam. Daun kering akan menghasilkan minyak dengan rendemen sekitar 3,5% dengan kadar eugenol 76,8% (Nurdjannah et al., 1993). Minyak daun cengkeh mengandung senyawa eugenol yang merupakan bagian dari phenylpropanoids yang diduga dapat menghambat pertumbuhan bakteri melalui interaksi membran (Dorman dan Deans, 2000). Eugenol merupakan cairan tidak berwarna atau berwarna kuning-pucat, dapat larut dalam alkohol, eter dan kloroform. Mempunyai rumus molekul C10H1202 bobot molekulnya adalah 164,20 dan titik didih 250-255 °C. Eugenol telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri farmasi, makanan, dan kosmetik. Salah satu penggunaan eugenol seperti yang dilaporkan Chaieb et al. (2007) terhadap berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa eugenol terbukti memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan, antifungi, dan antiseptik. Struktur kimia dari senyawa eugenol disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia dari Eugenol Sumber : Bulan (2004)
Lambert et al., (2000) melaporkan bahwa minyak cengkeh juga mempunyai aktivitas antimikroba. Minyak cengkeh dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif. Lebih lanjut dilaporkan oleh Lee dan Shibamoto (2001), bahwa komponen aroma utama pada minyak cengkeh yaitu eugenol, dilaporkan juga mempunyai aktivitas antijamur sehingga dapat digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida dan insektisida. Suplementasi ekstrak cengkeh sebanyak 0,5 g/L cairan rumen berhasil menurun total populasi protozoa (Patra et al., 2010). Hal ini berpotensi untuk menurunkan produksi metan, karena sekitar 20% bakteri metanogen rumen adalah parasit pada permukaan tubuh protozoa (Finlay,
1994; Newbold et al., 2005). Selanjutnya, Busquet et al. (2006)
menyebutkan penambahan minyak cengkeh pada level 30 mg/L dengan kadar eugenol 98% cenderung menurunkan VFA total, meningkatkan proporsi propionat 6
serta konsentrasi NH3. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian level 30 mg/L dapat memperbaiki fermentasi rumen, dilihat dari peningkatan propionat yang dapat mengurangi proporsi pembentukan gas metan serta penggunaan protein dari bahan pakan. Ampas Teh dan Daun Kembang Sepatu Ampas Teh Ampas teh diperoleh dari hasil pengolahan tanaman teh yang menghasilkan minuman teh dalam kemasan dan botol. Produksi teh di Indonesia cukup tinggi, hal ini didukung dengan banyaknya perkebunan teh yang tersebar di seluruh Indonesia dan terpusat di pulau Jawa. Menurut data yang diambil dari Badan Pusat Statistik (2011) menyebutkan bahwa Indonesia pada tahun 2010 memproduksi 108.963 ton dengan luas perkebunan mencapai 67.400 Ha. Kandungan nutrisi ampas teh berdasarkan bahan kering disajikan dalam Tabel 1. Selain memiliki kandungan protein yang tinggi, ampas juga mengandung tanin yang relatif tinggi. Penggunaan ampas teh dengan taraf yang tepat dapat menghasilkan performa yang baik bagi tubuh ternak, hal ini disebabkan kadungan tanin berfungsi sebagai by pass protein yang tidak akan terdegradasi di dalam rumen, berguna untuk melindungi deaminasi protein berlebihan dan juga mencegah bloat. Tanin merupakan senyawa polifenol yang mempunyai kemampuan mengikat protein sehingga meningkatkan protein tercerna bagi hostnya yang dalam jumlah kecil menguntungkan ruminansia karena dapat mencegah degradasi protein berlebih oleh mikroorganisme rumen sehingga protein asal rumen lebih banyak tersedia untuk proses pencernaan enzimatik pasca rumen (Min et al., 2003). Kadar tanin di dalam ternak ruminansia yang dapat ditoleransi sehingga tidak memberikan dampak negatif bagi ternak tersebut adalah sebanyak 20 mg/g (BK) atau setara dengan 0,4% dalam pakan secara in vitro (Chruch, 1988). Tanin merupakan senyawa sekunder yang terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin merupakan senyawa sekunder yang terdiri dari tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Carulla et al. (2005) bahwa ekstrak Acacia mearnseii sebanyak 25 g/kg (DM) yang mengandung tanin 0,615 g/g (DM) (tanin terkondensasi) secara in vivo menghasilkan total produksi VFA sebanyak 112,2 7
mmol/l dan terdiri dari 62,6% asetat; 26,8% propionat; 6,1% butirat; 0,8% isobutirat; 2,32% valerat; 1,41% isovalerat. Tabel 1. Kandungan Nutrien Ampas Teh Kandungan Nutrien
Persentase (%)
Bahan Kering
43,87
Abu
4,76
Protein Kasar
27,42
Serat Kasar
20,39
Lemak Kasar
3,26
Beta-N
44,20
TDN
66,71
Ca
1,14
P
0,25
Gross Energy (kkal/kg)
4994.00
Sumber : Istirahayu (1993)
Kelompok tanin terkondensasi memiliki sifat tahan terhadap degradasi enzimatis dan asam serta berstruktur komplek (Makkar, 1998). Struktur tanin baik tanin terkondensasi maupun tanin terhidrolisis, disajikan lengkap pada Gambar 4.
Tanin terkondensasi
Tanin terhidrolisis
Gambar 4. Struktur Kimia Tanin Sumber : Farmakognosi, 2009
8
Tanin dapat berinteraksi dengan protein dan ada tiga bentuk ikatan yaitu: 1). ikatan hidrogen, 2) ikatan ion, 3) ikatan kovalen. Ikatan hidrogen dibentuk karena adanya gugus hidroksil dari tanin dengan gugus reaktif protein. Ikatan ini yang paling banyak terjadi antara protein-tanin. Ikatan ion terjadi karena tanin sebagai anion dan protein sebagai kationnya, sedangkan ikatan kovalen terbentuk sebagai interaksi gugus quinon dari tanin yang teroksidasi dengan gugus reaktif dari protein (Makkar, 2003). Daun Kembang Sepatu Tanaman kembang sepatu termasuk famili Malvaceae. Tanaman ini banyak ditanam orang di halaman rumah sebagai tanaman hias atau sebagai pagar hidup. Perkembangbiakan tanaman kembang sepatu dapat dilakukan dengan stek batang atau cangkokan atau bisa dibiakkan dengan biji. Daun, bunga, dan akar Hibiscus rosasinensis mengandung flavonoida. Saponin merupakan senyawa glikosida rantai panjang yang bersifat faktor anti nutrisi (Teferedegne, 2000). Daun Hibiscus rosasinensis berkhasiat sebagai obat demam pada anak-anak, obat batuk, dan obat sariawan. Kembang sepatu diduga mempunyai kandungan saponin cukup tinggi, hal ini ditandai dengan keluarnya lendir apabila daun tersebut diremas (Perry dan Metzger, 1990). Senyawa saponin disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Umum Sapogenin sebagai Bagian Aglikon Saponin Sumber : www.artikelkimia.info
Berdasarkan uji fitokimia dilaporkan bahwa kandungan tanin dan saponin dari daun kembang sepatu masing-masing 8,40% dan 1,99% (Ayeni & Yahaya, 2010). Senyawa saponin yang disuplementasikan pada Pennisetum purpureum dengan level 10% dari bahan kering menyebabkan penurunan populasi protozoa dan produksi gas, VFA total pada level ini adalah 165,81 mM (Istiqomah et al., 2011). 9
Penambahan 0,1% ekstrak daun kembang sepatu menghasilkan kecernaan berkisar antara 67,43%-69,18%, total VFA yang berkisar antara 36.87-60.19 mM (Fitri et al., 2010)
Gambar 6. Tepung Ampas Teh dan Tepung Daun Kembang Sepatu Sumber : Dokumentasi Penelitian
Senyawa bioaktif merupakan senyawa kimia yang dimiliki tumbuh-tumbuhan sebagai mekanisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap kondisi lingkungan, baik faktor iklim maupun dari herbivora, serangga, dan hama penyakit (Arbain, 2004). Tanin dan saponin merupakan senyawa poliphenol (Min et al., 2003) dan glikosida (Teferedegne, 2000) sedangkan dari golongan minyak atsiri dikenal terpenoids (carvacrol, carvone, dan thymol) dan phenylpropanoids (cinnamaldehyde, eugenol, dan anethol) (Busquet et al., 2006). Pemanfaatan senyawa aktif tanaman telah banyak dikembangkan, diantaranya : sebagai penghambat aktivitas mikroba (Cowan, 1999), pengganti feed additive pada pada ransum pakan (Greathead, 2003), dan dapat memodifikasi fermentasi di dalam rumen sehingga menciptakan kondisi optimal dari penggunaan energi dan mengurangi emisi metan (Garcia-Lopez et al.,1996). Volatile Fatty Acid (VFA) Bahan pakan berupa karbohidrat terdegradasi menjadi monosakarida di dalam rumen oleh enzim-enzim mikroba rumen. Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen terutama berupa asam lemak terbang (volatile fatty acid/VFA) antara lain yang utama yaitu asetat, propionat, butirat. McDonald et al. (1995) melaporkan bahwa pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat pada domba (60:40) menghasilkan VFA sebanyak 87 mmol/l dengan perbandingan 61% asetat (C2), 23% propionat (C3), 13% butirat (C4) serta gas lainnya sekitar 3%. Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pemecahan karbohidrat 10
komplek menjadi gula sederhana. Selulosa didekomposisi menjadi selubiosa oleh β1,3-glukosidase, kemudian selobiosa diubah menjadi glukosa-1-fosfat melalui aksi fosforilase. Pati dicerna oleh amylase menjadi maltose dan isomaltose, kemudian maltose dan isomaltose diubah oleh maltase menjadi glukosa dan glokosa-6-fosfat. Fruktan dihidrolisis menjadi fruktosa oleh enzim mikroba yang menyerang ikatanikatan 2,1 dan 2,6 bersamaan dengan diuraikannya sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa oleh sukrase (McDonald et al., 1995). Pentosa merupakan hasil utama dari perombakan di dalam rumen. Hemiselulosa diubah menjadi xylosa dan asam uronat. Selain itu, asam uronat dihasilkan dari penguraian pektin-pektin oleh pektinase dan poligalakturonidase. Proses metabolisme karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia disajikan secara skematis pada Gambar 7. Tahap kedua adalah metabolisme gula sederhana oleh mikroba rumen secara intraseluler menjadi piruvat. Selanjutnya asam piruvat diubah menjadi VFA (McDonald et al., 1995). Asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) merupakan sumber energi utama pada ternak ruminansia. Kecepatan produksi VFA berhubungan dengan konsumsi TDN (Total Digestible Nutrient) (Arora, 1989). Volatile fatty acid umumnya terdiri dari asetat, propionat, butirat dan valerat serta beberapa jenis asam lainnya yang diproduksi dalam rumen sebagai hasil akhir dari fermentasi mikroba. Pada pakan ternak normal, penyerapan VFA akan bergantung pada jumlah konsentrasi yang ditentukan secara langsung oleh variasi konsentrasi hasil fermentasi produk akhir sesuai jenis pakan dan level pemberian pakan (Lopez et al., 2005). Faktor yang diperlukan untuk kelangsungan proses fermentasi oleh mikroba rumen adalah kondisi mendekati anaerob dengan pH pada 6-7 (Weimer et al., 1999). Menurut McDonald (1995) total konsentrasi VFA bervariasi secara luas tergantung dari jenis pakan ternak dan jangka waktu konsumsi pakan, secara normal berkisar antara 70-150 mmol/l. Jayanegara dan Sofyan (2009) menyatakan bahwa VFA total yang dihasilkan oleh hijauan mengandung tanin dengan penambahan PEG (750 mg) seperti, Salix alba, Rhustyphina dan Peltiphyllum peltatum adalah berturut-turut 21,4; 19,8; dan 20,2 mM dengan kandungan tanin sebesar 1,45; 0,08 dan 1,57%. Oliveira et al. (2006) menyatakan bahwa suplementasi tanin yang berasal dari tanaman sorgum dikombinasikan dengan konsentrat dengan dosis rendah (230 g/kg BK) menghasilkan 11
VFA total yang lebih tinggi daripada suplementasi tanin dengan dosis tinggi (410 g/kg BK).
Selulosa
Pati
Selobiosa
Maltosa
Isomaltosa
Glukosa
Glukosa-1-phosphat
Glukosa-6-phosphat Pektin
Asam Uronik
Hemiselulosa Pentosan
Pentosa
Sukrosa Fruktosa-6-phosphat
Fruktosa
Fruktan
Fruktosa-1,6-diphosphat
Asam Piruvat Format Asetil CoA CO2
H2
Malonyl CoA
Metan Asetil phosphate
Asam Laktat
Oksalasetat
Metilmalonil CoA
Malat Laktil CoA Asetoasetil CoA
Fumarat Akrilil CoA
β-Hidroksibutiriil CoA Propionil CoA
Suksinat
Krotonil CoA Suksinil CoA
Butiril CoA Propionat
Asetat Butirat
Gambar 7. Proses Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber : McDonald et al. (1995)
Suplementasi saponin dari daun dan bunga kembang sepatu berhasil menurunkan total VFA pada level 0,001% (gr/100 ml cairan rumen) (Fitri et al., 12
2010). Saponin asal ekstrak lerak pada 0,18% BK berhasil meningkatkan VFA total dan proporsi propionat, butirat serta valerat masing-masing 31,26; 2,57; 1,43 dan 0,08 mM (Suharti et al., 2010). Wina et al. (2005) melaporkan bahwa penggunaan ekstra lerak menggunakan metanol 0,25; 0,5; 1; 2; 4 mg/ml ditambahkan pada rumput gajah : pollard (7:3 w/w) menghasilkan peningkatan pada proporsi porpionat dengan penambahan level ekstrak lerak. Pemberian eugenol minyak cengkeh pada level 3000 mg/l menghasilkan penurunan konsentrasi VFA total serta penurunan proporsi asetat dan peningkatan proporsi propionat (Busquet et al., 2006). Volatile fatty acid yang terbentuk dan diserap melalui dinding rumen merupakan sumber energi utama yang merupakan sumber energi utama yang merupakan salah satu ciri khas dari ruminansia, dan dapat menyumbang 55%-66% dari kebutuhan energi ternak ruminansia (Parakkasi, 1999). Konsentrasi Amonia (NH3) Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida, lalu dihidrolisis menjadi asam amino yang akan mengalami deaminasi menjadi amonia (NH3). Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70%-80% atau 30%-40% untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein ransum yang tinggi dan mudah didegradasi akan meningkatkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al., 1995). Amonia merupakan kunci yang menunjukkan degradasi dan sintesis mikrobial. Apabila pemberian pakan defisien protein atau protein tahan terhadap degradasi oleh mikroba rumen, konsentrasi amonia rumen menjadi rendah dan pertumbuhan mikroba menjadi lambat, namun apabila degradasi protein berjalan sangat cepat dibandingkan sintesis protein, maka akan terakumulasi dalam cairan rumen sehingga konsentrasinya berlebihan. Jika hal ini terjadi akan diserap ke dalam darah dan diubah menjadi urea yang sebagian besar akan diekskresikan melalui urin. Konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 1995). Amonia di dalam cairan rumen adalah kunci dari degradasi oleh mikroba dan sintesis protein. Apabila ransum pakan yang diberikan kekurangan sumber protein maka akan menurunkan konsentrasi NH3 dan menyebabkan pertumbuhan mikroba rumen melambat yang akan berakibat proses degradasi karbohidrat oleh mikroba 13
menjadi tidak optimal (McDonald et al., 1995). Pengukuran NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan penggunaannya oleh mikroba. Amonia berasal dari beberapa sumber, antara lain sebagai degradasi NPN (Non Protein Nitrogen) pakan, hidrolisis daur ulang urea dalam rumen, dan degradasi protoplasma mikroba (Egan, 1980). Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba. Penambahan minyak cengkeh dengan level 3000 mg/l menghasilkan penurunan konsentrasi ammonia N, yang menunjukkan adanya penurunan degradasi protein (Busquet et al., 2006). Oliveira et al. (2006) menyatakan bahwa suplementasi tanin yang berasal dari tanaman sorgum dikombinasikan dengan konsentrat dengan dosis rendah (230 g/kg BK) menghasilkan NH3 yang lebih tinggi daripada suplementasi tanin dengan dosis tinggi (410 g/kg BK) begitu juga dengan pH yang dihasilkan sekitar 6,47 dan 6,48. Senyawa aktif saponin ekstrak lerak (sapindus rarak) dengan taraf 0,25; 0,5; 1,0; 2,0 dan 4,0 mg/ml dalam ransum rumput gajah dan pollard (70:30) signifikan menurunkan NH3 (Wina et al., 2005). Proses metabolisme metabolisme protein pada ruminansia disajikan secara skematis seperti pada Gambar 8. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) Kecernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan bahan menjadi butir-butir atau partikel kecil. Selain itu, pada ruminansia pakan juga mengalami perombakan sehingga sifat-sifat kimianya berubah secara fermentatif sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dengan zat asalnya. Kecernaan bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, kekurangan sumber protein maka akan menurunkan konsentrasi ammonia dan menyebabkan pertumbuhan mikroba rumen melambat yang akan berakibat proses degradasi karbohidrat oleh mikroba menjadi tidak optimal (McDonald et al., 1995). Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran ransum, cairan rumen, pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya inkubasi, ukuran partikel sampel, dan larutan penyangga (Selly, 1994). 14
Pakan
Protein
Protein Tak Terdegradasi
Non Protein N
SALIVA
Non Protein Nitrogen
Protein Terdegradasi
Peptida RUMEN HATI Amonia
Asam Amino
Urea
NH3 HATI
Protein Mikroba
GINJAL
Dicerna di Usus Halus
diekskresi melalui urin
Gambar 8. Pencernaan dan Metabolisme Komponen Nitrogen dalam Rumen Sumber : McDonald et al. (1995)
Kadar tanin di dalam ternak ruminansia yang dapat ditoleransi, sehingga tidak melalui urin mempengaruhi dampak negatif bagi ternak tersebut adalah sebanyak 20 mg/g (BK) dalam pakan secara in vitro (Chruch, 1988). Suplemen tanin asal hijauan Rhus typhina dan Salix alba dengan kandungan tanin 20,93 dan 3,55% berhasil meningkatkan kecernaan bahan organik sebesar 68,9 dan 70% dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kecernaan lebih dipengaruhi oleh kadar ADF 15
dalam bahan dan kurang dipengaruhi oleh kadar tanin bahan (Jayanegara et al., 2009). Hubungan antara tingginya kandungan serat, khususnya komponen ADF yang mengandung lignoselulosa dengan rendahnya kecernaan telah lama diketahui. Komponen struktural tanaman seperti selulosa, lignin, dinding sel, NDF dan ADF mempengaruhi secara negatif kecernaan nutrien ransum pada domba, sedangkan karbohidrat mudah larut (pati) dan protein kasar dapat meningkatkan kecernaan nutrien tersebut (De Boever et al., 2005). Agen defaunasi asal kembang sepatu dapat menurunkan (P<0,05) populasi protozoa dalam rumen sehingga populasi bakteri meningkat, lebih efektif mendegradasi pakan, meningkatkan bahan kering dan bahan organik terdegradasi, VFA total serta N-amonia dibandingkan dengan kontrol (Putra, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa adanya penurunan aktivitas protozoa dapat meningkatkan fungsi dan bakteri yang didukung oleh suplai VFA total yang mencukupi sehingga tercipta kondisi optimal rumen. Rahmawati (2001) menyebutkan bahwa produksi amonia dan VFA pada rumen dapat menunjukkan nilai kecernaan bahan organik ransum yang dikonsumsi. Semakin tinggi produksi ammonia dan VFA dalam rumen menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik semakin tinggi pula. Suplementasi eugenol pada kombinasi bungkil kedelai, hay legum serta jagung tidak memberi pengaruh yang nyata pada degradasi bahan pakan (Benchaar, 2010). Produksi Gas Gas diproduksi langsung setelah bahan pakan dicerna dan diproduksi sebanyak 30 l/jam pada sapi. Komposisi gas yang dihasilkan dalam metabolisme rumen adalah karbondioksida 40%, metan 30%-40%, hydrogen 5%, dan sisanya berbagai gas lain yaitu oksigen dan nitrogen (McDonald et al., 1995). Hijauan dengan kandungan tanin berupa Salix alba, Rhus typhina, dan Peltphyllum peltatum memiliki jumlah produksi gas total yang meningkat setelah ditambah dengan PEG (Jayanegara dan Sofyan, 2008). Selain itu, pada Kondo et al. (2004) menyatakan bahwa penggunaan ampas teh hitam dengan kandungan tanin total 6,1%-9,6% dan tanin terkondensasi sebesar 0,8%-2,4% menghasilkan produksi gas total lebih rendah dibandingkan dengan lucerna dan ampas teh hijau. Penggunaan ekstrak daun kembang sepatu 1% meningkatkan produksi gas total sebesar 32,58% dibandingkan dengan kontrol. 16