KEBIJAKAN MANAJEMEN LINGKUNGAN UNTUK EMISI DIOKSIN/FURAN YANG BERSUMBER DARI INDUSTRI LOGAM Lina Warlina (
[email protected]) Universitas Terbuka Erliza Noor Akhmad Fauzi Rudy C. Tarumingkeng Surjono H. Sutjahjo Institut Pertanian Bogor ABSTRACT The aim of this research is to estimate dioxin/furan emission and concentration that can be used to present an alternative policy for emission reduction. The research applied the emission factor and dispersion methods. The result of estimation indicated that the dioxin/furan pollution has already high, therefore the estimated average exposure to dioxin also above total daily intake. The approaches on reducing the emission can be through command and control (CAC) and economic instrument (EI). In CAC, it is suggested that the government develop a standard such as air ambient concentration standard, maximum emission, and standard technology, while for EI by tax regulation and fine. The research conclusion is, dioxin/furan pollution should be reduced through the combination of CAC and EI system. In addition to common rules, the policy should include public campaign, best available technology, as well as define the responsibilities in every related institution. Key words: dioxin/furan, dispersion, emission, emission factor.
Perkembangan teknologi dan industri yang sangat pesat dewasa ini membawa dampak baik positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positif diharapkan dapat menaikkan kesejahteraan manusia, namun dampak negatif dapat menurunkan kualitas hidup manusia dan menyebabkan ketidakserasian dan keseimbangan lingkungan. Perkembangan teknologi dan industri telah memberikan peran yang berarti bagi pelaksanaan pembangunan. Peningkatan populasi dalam banyak hal juga mendorong dilakukannya industrialisasi. Sebagai konsekuensi, jumlah bahan baku dan buangan industri semakin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini berdampak pada meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan, baik yang terjadi di udara, tanah ataupun air. Jenis pencemar yang berasal dari senyawa kimia, ada yang bersifat relatif resisten (tahan) terhadap degradasi secara fisik atau metabolik, yang disebut senyawa kimia yang persisten. Salah satu senyawa persisten ini adalah dioksin dan furan yang dikeluarkan sebagai hasil samping industri, pembakaran ataupun sumber lainnya. Sumber dioksin/furan tidak saja terjadi dari industri atau insenerator, tapi dapat terjadi melalui pembakaran bahan yang mengandung klor, seperti dari limbah bahan organik dan produk kertas. Kandungan klor akan meningkat dengan semakin banyaknya
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, 63-72
limbah berbagai jenis plastik. Menurut Lemieux (dalam Sumaiku, 2004) peneliti dari National Risk Management Research Laboratory, US-EPA, pembakaran sampah rumah tangga pada kondisi pembakaran dan suhu yang rendah dapat menimbulkan gas racun dioksin/furan lebih tinggi daripada insenerator yang terkendali, oleh karena itu di AS dilarang untuk membakar sampah di udara terbuka. Emisi dioksin/furan juga terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA (Widyatmoko, 1999). Dioksin dan furan merupakan 2 senyawa yang berbeda, tapi mempunyai sifat fisik ataupun kimia yang hampir sama. Pencemaran akibat senyawa tersebut memberikan dampak untuk jangka panjang maupun jangka pendek terhadap kesehatan mahluk hidup ataupun lingkungan. Sifat persisten, akumulasi dan beracun dari dioksin/furan menyebabkan pencemaran dioksin/furan berdampak besar terhadap lingkungan, kesehatan (sosial) dan ekonomi. Terhadap kesehatan, untuk jangka panjang dioksin/furan akan menyebabkan kanker, gangguan pada sistem reproduksi dan cacat lahir; sedangkan jangka pendek akan menyebabkan kerusakan hati, kehilangan berat badan ataupun penurunan sistem kekebalan tubuh (Matsusshita, 2003; NIEHS, 2001). Menurut Ackerman (2003), apabila terpapar dioksin dengan konsentrasi 1 pg/kg. berat badan/hari, maka resiko terkena kanker adalah 1%. Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberi perhatian khusus terhadap bahaya pencemaran dioksin/furan. Hal ini terlihat dari tidak adanya perangkat kebijakan ataupun peraturan tentang tingkat pencemaran tersebut. Negara-negara seperti Amerika, Jepang dan Eropa sudah lama menyadari akan bahaya dioksin/furan yang termasuk golongan Persistent Organic Pollutants (POPs) terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Kepedulian ini ditandai dengan penyelenggaraan kesepakatan pada Konvensi POPs di Stockholm pada Mei 2001, dimana Indonesia juga turut ambil bagian pada konvensi tersebut. Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari pencemaran organik persisten. Salah satu butir kesepakatan yang dihasilkan adalah ketentuan untuk menurunkan emisi dioksin/furan (Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants, 2001). Sehubungan dengan POPs, sebenarnya Indonesia telah mempunyai PP No. 74 tahun 2001 tentang pengelolaan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) serta PP No. 18 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3. PP No. 74 tahun 2001 memuat daftar B3 yang dipergunakan dan daftar B3 yang dilarang dipergunakan. Berdasarkan daftar ini, bahan kimia POPs yang dilarang adalah aldrin, chlordane, DDT, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene serta PCBs tetapi dioksin/furan belum termasuk yang dilarang penggunaanya. Sedangkan dalam PP No. 18 tahun 1999, pada pasal 34 mengenai pengolahan limbah B3, disebutkan bahwa pada pengolahan secara thermal dengan insenerator, maka efisiensi penghilangan dioksin/furan harus mencapai 99,999%. Selain kedua kebijakan tersebut, secara makro, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan industri dan emisi ke udara yaitu UU No. 5 tahun 1985 tentang perindustrian, KepMen LH No. 13 tahun 1995 tentang baku mutu sumber tak bergerak dan PP No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Tetapi, pada kebijakan-kebijakan tersebut juga belum tercantum parameter untuk dioksin/furan. Di Indonesia, berdasarkan hasil inventarisasi Suminar (2003), estimasi total emisi dioksin/furan pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 21.126 g TEQ (Toxic Equivalent), yang sumber pencemarannya berasal dari pembangkitan tenaga dan pemanasan (66%), industri pulp dan kertas (21%), pembakaran tak terkendali (7,7%), industri logam besi dan non besi (4,5%) dan sisanya merupakan hasil pembakaran dari industri mineral, transportasi dan tempat pembuangan sampah; dan sebesar 71,4% terbuang ke udara, dimana udara merupakan faktor yang penting dalam
64
Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan
kehidupan. Jumlah ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Emisi Dioksin/Furan dari Berbagai Negara Negara AS Croatia Canada Jepang Cina Indonesia Sumber:
1987 g TEQ 13.948
1994/1995 g TEQ 3.252
1997 g TEQ
1999 g TEQ
290
199
2000 g TEQ 109,05
5.000 21.126
2001 g TEQ 115,7 7.144-13.575
2002/2004 g TEQ 1.106 967 10.200
Diolah dari The Chorine Chemistry Council (2002), Rodan (2002), Jerman (2003), CWS (1999), Jin et al. (2004), The People’s Republic of China (2007)
Dalam kurun waktu 7–8 tahun, AS berhasil menurunkan emisi dioksin/furan secara drastis. Penurunan yang subtansial ini disebabkan keberhasilan pemerintah AS untuk menetapkan peraturan yang ketat tentang penggunaan insenerator pada industri yang berpotensi mengeluarkan dioksin/furan. Selain peraturan yang ketat, monitoring dan pengawasan dilakukan juga secara terus menerus (The Chlorine Chemistry Council, 2002). Pembaharuan teknologi juga dilakukan untuk menekan emisi dioksin/furan. Di Jepang, dioksin merupakan salah satu zat pencemar berbahaya (Hazardous Air Pollutants) yang penanganannya diutamakan. Pada tahun 1999 pemerintah Jepang telah menetapkan langkah khusus penanganan jenis dioksin untuk mencegah dan mengatur pembuangan pencemaran lingkungan oleh senyawa ini. Peraturan ini menetapkan dasar penilaian dan standar-standar (lingkungan, pembuangan), regulasi dan langkah operasi (Imamura, 2003). Emisi dioksin/furan di Indonesia, bila dihitung paparan per orang per hari, maka telah mencapai 4.686 pgTEQ. Hasil penelitian Universitas Kiel dan Environmental Protection Agency (EPA) menunjukkan bahwa secara normal tubuh manusia dewasa dapat menerima dioksin sebanyak 1-10 pg/kg berat badan/hari tanpa membahayakan kesehatan (EPA, 2003). Sehingga paparan pada tiap manusia telah sangat membahayakan kesehatan. Di lain pihak, Indonesia masih belum mempunyai perangkat kebijakan untuk pengendalian emisi dioksin/furan. Bila dikaji dari sumbernya, maka sumber dioksin/furan yang dapat dikendalikan berasal dari industri, yaitu sebagai hasil samping dari produk yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, salah satu cara pengendalian dioksin/furan yaitu menerapkan kebijakan pada industri. Salah satu kendala pada penelitian dioksin/furan antara lain diperlukan biaya analisa yang mahal karena tingkat konsentrasi untuk dioksin/furan yang sangat rendah sehingga membutuhkan alat yang sangat sensitif. Untuk mengatasi kendala tersebut, maka estimasi emisi dilakukan dengan menggunakan faktor emisi yang dikeluarkan oleh United Nation Environmental Protection (UNEP). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan yang akan diterapkan pada industri sehubungan dengan emisi dioksin/furan yang berasal dari industri logam besi dan non besi. Untuk tujuan tersebut, maka terlebih dahulu akan di lakukan estimasi terhadap emisi dan konsentrasi yang dilepaskan industri. Berdasarkan sensus dari 21 industri logam besi dan non besi di daerah penelitian, maka ada 5 industri terpilih yang berpotensi mengeluarkan emisi dioksin/furan. Survei dilakukan terhadap industri untuk mengkaji teknologi yang digunakan sehubungan dengan emisi yang dilepaskan.
65
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, 63-72
Pengumpulan data dilakukan dengan secara primer ataupun sekunder untuk data produksi (BPS), secara time series dari tahun 1995-2004. Untuk mengkaji kebijakan manajemen lingkungan yang akan diusulkan, maka didasarkan pada jumlah emisi serta konsentrasi ambien pada daerah penelitian. Dengan demikian, ada 2 metode estimasi yang akan digunakan yaitu: - estimasi emisi - estimasi konsentrasi ambien Metode estimasi emisi Untuk menghitung estimasi emisi dioksin/furan ke lingkungan per tahun, (dinyatakan dalam gTEQ/tahun) sangat dipengaruhi oleh data aktivitas yaitu produksi yang dihasilkan atau bahan mentah yang digunakan sesuai dengan persamaan 1 (UNEP Chemicals, 2003; EPA, 2003): (1) Eyr = Ayr * EF Eyr = emisi /tahun (g TEQ/thn) Ayr = data aktivitas per tahun yaitu banyaknya bahan baku atau produk yang diproduksi (kg/thn) EF = faktor emisi, massa emisi dioksin/unit tingkat aktifitas, dinyatakan dalam μg I-TEQ per unit bahan baku atau produk yang diproduksi. Penentuan faktor emisi dapat dilakukan dengan menggunakan Standardized Tookit yang dikeluarkan UNEP (UNEP, 2003). Nilai faktor emisi tergantung pada kategori dan sub-kategori suatu aktivitas/kegiatan. Selain itu, faktor emisi juga ditentukan oleh jenis teknologi dan jenis penyebaran media emisi. Metode estimasi konsentrasi ambien Konsentrasi pencemar di udara dipengaruhi oleh faktor dispersi, dimana salah satu penentunya adalah kondisi metereologi. Model dispersi yang digunakan adalah model persamaan dispersi Gaussian yang telah dimodifikasi (Rufo & Rufo Jr., 2004; Rabl & Spadaro, 1998): 2 ⎡ ⎛ y ⎞⎤ χ= exp ⎢-0.5⎜⎜ ⎟⎟ ⎥ 2π u s σ y σ z ⎢ ⎝ σ y ⎠ ⎥⎦ ⎣
QKVD
(2)
χ = konsentrasi pada jarak x m dan y m Q = emisi polutan (massa per unit waktu) K = koefisien konversi V = jarak vertikal D = peluruhan (decay term) exp = eksponensial σy, σz = standar deviasi pada jarak lateral dan vertikal distribusi konsentrasi (m) Untuk mendapatkan nilai konsentrasi ambien, maka nilai konsentrasi emisi hasil dari model dispersi ini diperhitungkan dengan waktu paruh dari dioksin/furan di udara.
66
Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan
HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi emisi Berdasarkan model persamaan (1), estimasi emisi dioksin/furan yang berasal dari industri pabrik logam besi dan non-besi di daerah penelitian dari tahun 1995-2004 adalah sebesar 9,38– 26,98 gTEQ (Gambar 1) yang berasal dari total produksi antara 1,87–2,15 juta ton. Emisi dioksin/furan di lingkungan bersifat akumulatif, sehingga walaupun emisi yang dikeluarkan industri kecil, tapi perlu diperhitungkan pula. Data pada tahun 1998 tidak diperhitungkan dalam analisis, karena merupakan pencilan. Bila dikaji berdasarkan jumlah penduduk daerah penelitian (tahun 2004 sebanyak 2.153.936 orang), serta paparan sebesar 10 pg TEQ/kg bb/hr (Kishimoto et al., 2001) maka seharusnya emisi yang dapat diterima oleh masyarakat adalah (50 kg * 2.153.936 orang * 10 pg TEQ/kg bb/hr * 365 hari) 0,3931 g TEQ/tahun. Sedangkan rata-rata emisi yang dikeluarkan industri di daerah tersebut dalam tahun 2004 adalah 11,03-11,86 g TEQ/tahun, sehingga pengurangan emisi yang harus dilakukan adalah sebesar 10,667 g.TEQ/tahun atau 97%. Bila dikaji emisi yang dihasilkan dari penelitian ini yang berasal dari industri logam besi dan non-besi, maka paparan per orang/hari/kg.bb telah mencapai 205,13-325,96 pgTEQ. Angka ini masih jauh di atas batas ambang maksimal yang telah ditentukan WHO ataupun EPA yaitu 10 pgTEQ, sehingga emisi dioksin/furan yang berasal dari industri logam besi dan non besi di daerah penelitian telah jauh melebihi ambang batas dan harus direduksi. Total emisi (gTEQ)
30.000000 25.000000 20.000000 15.000000 10.000000 5.000000
03
02
01
04 20
20
20
99
00
20
20
97
96
98
19
19
19
19
19
95
0.000000
Tahun
Gambar 1 Estimasi emisi dioksin/furan yang berasal dari industri logam tahun 1995-2004 Estimasi konsentrasi emisi dan konsentrasi ambien Berdasarkan emisi yang dikeluarkan, maka konsentrasi dioksin/furan dihitung berdasarkan persamaan Gaussian (persamaan 2). Konsentrasi dioksin/furan ini sangat dipengaruhi tidak saja oleh emisi tetapi juga oleh faktor metereologi, seperti kecepatan angin, kestabilan cuaca, suhu dan kondisi fisik industri, seperti tinggi cerobong, diameter cerobong dan kecepatan gas keluar. Setelah memperhitungkan faktor-faktor tersebut, maka estimasi konsentrasi emisi pada tahun 1995-2004 sebesar 62.850-96.165 pgTEQ/m3, dengan konsentrasi ambien 0,48-0,73 pgTEQ/m3. Hasil kajian menunjukkan bahwa, konsentrasi emisi dioksin/furan total yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi emisi standar dari beberapa negara, yaitu dari tahun 1995-2004 rata-rata konsentrasi emisi dioksin/furan yang berasal dari pabrik logam
67
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, 63-72
adalah 78.126,3599 pgTEQ/m3. Berdasarkan literatur, konsentrasi emisi standar tertinggi yaitu 30 ngTEQ/m3 atau 30.000 pgTEQ/m3 untuk negara Thailand (Kitcham, 2002), selain itu pada penelitian Rabl dan Spadaro (2002), menyatakan konsentrasi emisi maksimal yang berasal dari insenerator MSW adalah 38.600 pgTEQ/m3. Dengan demikian, berdasarkan konsentrasi emisi ini juga terbukti bahwa konsentrasi maka emisi dioksin/furan yang terjadi harus direduksi. Demikian pula untuk konsentrasi ambien, berdasarkan WHO, konsentrasi ambien yang aman bagi kesehatan dan lingkungan adalah 0,11 pgTEQ/m3 (European Commision, 2001). Konsentrasi ambien pada daerah penelitian juga telah melebihi ambang batas. Implikasi Kebijakan Berdasarkan estimasi emisi, konsentrasi emisi dan konsentrasi ambien, maka kebijakan yang harus diterapkan yaitu kebijakan untuk pengendalian emisi atau pengurangan emisi. Dampak emisi dioksin/furan terhadap mahluk hidup sifatnya tidak langsung terlihat atau dapat dirasakan, butuh waktu untuk melihat dampak yang diakibatkan emisi tersebut, sehingga banyak orang mengabaikannya. Karena sifatnya yang persisten dan akumulatif, maka emisi ini harus mendapat perhatian yang serius, karena menyangkut generasi yang akan datang pula. Masyarakat harus mengetahui akan bahaya emisi tersebut. Kebijakan pengendalian emisi, khususnya dioksin/furan masih belum diperhatikan. Pemerintah sudah harus menyadari dan mulai mengendalikan emisi dioksin/furan tersebut sehingga tidak membahayakan lingkungan. Walaupun Indonesia telah menandatangani Konvensi Stockholm tentang POPs, tetapi Indonesia masih belum mempunyai perangkat kebijakan yang khusus mengatur pengendalian dioksin/furan tersebut. Selain itu, pemahaman tentang dioksin/furan di kalangan masyarakat maupun aparat pemerintah belum dikenal secara jelas. Hal ini berimplikasi bahwa pencemaran atau emisi dioksin/furan belum dikenal oleh masyarakat luas serta belum ada komitmen dari pemerintah dan institusi untuk pengendalian emisi dioksin/furan. Di lain pihak emisi dioksin/furan telah cukup tinggi. Kebijakan makro yang sebaiknya dilakukan khususnya untuk pengendalian dioksin/furan adalah memasukkan parameter dioksin/furan ke dalam PP No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, bahwa emisi dioksin/furan merupakan emisi yang harus diperhatikan dengan mencantumkan nilai baku mutu ambien nasional. KLH diharapkan dapat membuat kebijakan secara nasional, agar emisi dioksin/furan juga menjadi perhatian. Emisi dioksin/furan dapat pula ditambahkan pada PP No. 74 tahun 2001 tentang penggelolaan B3. Dalam PP tersebut, penggunaan organoklorin POPs dan PCB telah dilarang, tetapi senyawa dioksin/furan belum tercantum. Walaupun dioksin/furan merupakan derivat pestisida yang peraturannya telah tercantum dalam peraturan B3, tetapi parameter dioksin/furan harus dicantumkan secara jelas untuk dilarang. Hal ini dikarenakan, sumber dioksin/furan tidak saja dari pestisida, tetapi dari bermacam-macam sumber. Selain PP No. 74 tahun 2001, parameter dioksin/furan juga dapat ditambahkan dalam peraturan mengenai baku mutu emisi sumber tak bergerak yang tertuang dalam KepMen LH No. 13 tahun 1995, khususnya untuk industri-industri yang berpotensi mengeluarkan emisi dioksin/furan, misalnya industri kertas, industri besi/baja, industri semen, industri kimia dan insenerator. Kebijakan lainnya yaitu pemerintah atau KLH juga dapat membuat kampanye publik untuk menyadarkan masyarakat akan dampak emisi dioksin/furan tersebut terutama terhadap kesehatan, sehingga masyarakat menjadi peduli. Masyarakat dapat berperan serta dalam mengontrol industriindustri yang mengeluarkan emisi dioksin/furan.
68
Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan
Hal-hal yang juga harus diperhatikan dalam kebijakan yaitu besarnya emisi yang harus dikurangi, industri-industri yang mengeluarkan emisi serta peranan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal pengawasan dan kontrol. Pengurangan emisi dapat dilakukan antara lain dengan introduksi teknologi, dalam hal ini peranan Pemda sangat dibutuhkan untuk memonitor teknologi yang digunakan. Pemda sebaiknya lebih memperhatikan industri-industri yang berpotensi mengeluarkan emisi dioksin/furan, ada kebijakan untuk memonitor dan mengontrol emisi tersebut yang dilakukan secara berkala. Selain itu, ada kewajiban dimana industri harus melaporkan emisi yang dilepaskannya. Bapedal dan Pemda dapat menyarankan teknologi terbaik yang harus digunakan (Best Availabel Technology, BAT) untuk industri tersebut. Dalam hal ini, adanya koordinasi antara Pemda, Bapedalda dan industri merupakan hal yang sangat penting. Menurut Konvensi Stokhlom, emisi dioksin/furan merupakan emisi yang harus dieliminasi, sehingga berdasarkan sumbernya (dalam penelitian ini adalah industri), maka dapat dilakukan pengendalian/monitor terhadap industri tersebut. Pemerintah harus membuat peraturan-peraturan yang ketat untuk pengendalian emisi yang dikeluarkan industri, sehingga dapat digunakan instrumen Command and Control (CAC). Salah satu masalah yang timbul pada pengendalian pencemaran yaitu penentu kebijakan sulit untuk menentukan tingkat pencemaran tersebut. Pemerintah tidak terlalu berkepentingan untuk menentukan fungsi produksi dan fungsi biaya industri. Di lain pihak, bila menyerahkan pengendalian kepada industri saja tidak akan menjamin tercapainya efisiensi tersebut. Oleh sebab itu, pengendalian pencemaran melalui instrumen lain perlu dilakukan, yaitu dengan Instrument Ekonomi (IE), misalnya penggunaan pajak dan denda. Kebijakan-kebijakan yang diambil akan berimplikasi terhadap faktor ekonomi, lingkungan, sosial dan pemerintah/institusi. Adanya peningkatan produksi, secara tidak langsung akan berimplikasi terhadap peningkatkan kesejahteraan rakyat dan PDRB. Peningkatan produksi akan memberikan keuntungan industri, yang diharapkan dan secara langsung akan meningkatkan pendapatan masyarakat, karena sebagian besar masyarakat bekerja sebagai pegawai pada industri tersebut. Pengendalian emisi dioksin/furan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen ekonomi yaitu pajak dan denda. Dana yang masuk yang berasal dari pajak ataupun denda dapat dikelola dalam suatu wadah yang penggunaannya dikembalikan untuk perbaikan lingkungan. Masyarakat diinformasikan bahwa perbaikan lingkungan berasal dari pajak emisi dan denda. Hal ini dapat berimplikasi untuk pembelajaran masyarakat agar peduli akan lingkungan dan sebagai kontrol sosial terhadap industriindustri tersebut. Sebaliknya, bila industri tersebut berhasil mengurangi emisi dan memperbaiki lingkungan, maka pemerintah sebaiknya juga memberikan insentif terhadap industri tersebut. Adanya kebijakan dan aturan-aturan pengendalian dioksin/furan diharapkan akan berimplikasi terhadap masyarakat. Kebijakan atau aturan-aturan tersebut akan mengubah sifat (behaviour) serta pemahaman masyarakat terhadap lingkungan pada umumnya dan dioksin/furan pada khususnya. Tahap awal pengendalian dioksin/furan yaitu memberikan informasi kepada masyarakat dan kalangan industri mengenai dioksin/furan serta dampaknya terhadap kesehatan mahluk hidup. Emisi ini bersifat kumulatif, sehingga bila tidak dikendalikan, tidak saja generasi kini, tapi akan menggangu kesehatan generasi yang akan datang. Dengan informasi mengenai sumbersumber pencemaran dioksin/furan, maka diharapkan masyarakat dapat memahami emisi dioksin/furan, misalnya dengan tidak banyak menggunakan plastik dan tidak melakukan pembakaran sampah di udara terbuka. Informasi ini dapat diberikan melalui media-media massa (kampanye publik) oleh kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Departemen Kesehatan (menyangkut kesehatan masyarakat) dan Departemen Perindustrian (menyangkut industri-industri yang mengeluarkan emisi).
69
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, 63-72
Pada pembuatan kebijakan untuk pengendalian dioksin/furan ini, sebaiknya unsur masyarakat dilibatkan, terutama dalam penentuan insentif dan disinsentif yang diberlakukan terhadap industri. Hal ini dilakukan agar masyarakat bertindak sebagai sarana kontrol sosial yang efektif. Pemerintah tetap mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengatur. Industri diharapkan mempunyai konsep Corporate Social Responsibility (CSR). CRS berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak hanya pada faktor keuangan semata, tapi juga harus mendasarkan konsekwensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang (Wikipedia, 2007). Industri wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan CSR. Kelangsungan hidup industri tidak hanya ditentukan oleh keuntungan ekonomi, tapi pemenuhan tanggung jawab lingkungan hidup dan sosial juga ikut menentukan. Dalam pelaksanaannya suatu kebijakan harus didukung oleh pemerintah. Tidak ada kebijakan yang dapat berjalan tanpa dukungan pemerintah. Untuk itu, dalam pengendalian emisi dioksin/furan dukungan pemerintah sangat diharapkan. Adanya koordinasi dari departemendepartemen terkait menjadi agenda pemerintah yang utama, yaitu Departemen Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kesehatan serta Departemen Perdagangan. Ada tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing instansi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri dan masyarakat. Pemerintah harus dapat mengeluarkan kebijakan yang tidak merugikan masyarakat ataupun kalangan industri. Langkah awal dalam pengendalian emisi dioksin/furan yaitu pemerintah harus menetapkan baku mutu dioksin/furan. Selanjutnya baku mutu tersebut dimasukkan ke dalam PP ataupun peraturan-peraturan lain. Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan segala fasilitas yang berhubungan dengan emisi dioksin/furan, misalnya sarana laboratorium untuk pemeriksaan dioksin/furan dan sarana monitoring dioksin/furan yang hingga saat ini belum ada. Tak kalah pentingnya yaitu penyiapan SDM yang dapat dilakukan dengan pelatihanpelatihan, serta adanya dukungan pemerintah yang bekerjasama dengan perguruan tinggi (PT) untuk melakukan penelitian-penelitian mengenai dioksin/furan. Hal yang juga penting dari kebijakan ini adalah memberikan penjelasan umum mengenai dioksin/furan serta dampak emisi terhadap mahluk hidup dan kesehatan manusia serta melakukan inventarisasi berkala untuk dioksin/furan. PENUTUP Dari analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diuraikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Emisi dioksin/furan telah melewati ambang batas sehingga paparan untuk tiap orang telah melampaui ambang batas. 2. Adanya kebijakan pengurangan emisi terhadap industri, diharapkan dapat mengurangi emisi yang berasal dari industri, sehingga akan dapat mengurangi dampak negatif yang cukup signifikan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. 3. Pengendalian pencemaran dioksin/furan dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan gabungan antara sistem Command and Control (CAC) yaitu dengan adanya penetapan standar teknologi, konsentrasi di ambien dan emisi maksimum yang diperbolehkan dan sistem instrumen ekonomi (EI) yaitu penetapan pajak atau denda. 4. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah selain melakukan monitoring dan pengawasan juga harus bekerjasama dengan instansi-instansi terkait, menetapkan standarstandar yang diperlukan, melakukan inventarisasi emisi dioksin/furan, menyiapkan
70
Warlina, Kebijakan Manajemen Lingkungan untuk Emisi Diksin/Furan
sarana/prasarana, melakukan kampanye publik dan bersama dengan perguruan tinggi melakukan penelitian-penelitian. Di sisi industri, industri dapat menggunakan konsep CSR, malakukan pemeriksaan emisi yang dilepaskan serta terbuka untuk melakukan penelitianpenelitian dalam rangka penggunaan Best Available Technology (BAT). REFERENSI Ackerman, F. (2003). The outer bounds of the possible: Economic theory, precaution, and dioxin. Organohalogen Comp, 65, 378-381. Canada-wide Standards (CWS). (1999). Socio-economic analysis for dioxin and furans: Summary by Priority Sector. Diambil 12 September 2004, dari http://www.ccme.ca/initiatives/standards.html?category_id=51. Environment Protection Agency (EPA). (2003). Evaluating Atmospheric Releases Dioxin-Like Coumpounds from Combustion Sources. Diambil 6 Februari 2006, dari http://www.epa.gov/ncea/pdfs/dioxin/nas-review/pdfs/part1_vol3/ dioxin_pt1_vol3_ch03_dec2003.pdf . European Commision. (2001). Community strategy for dioxin, furan and polychlorinated biphenyls, COM (2001) 593 final. Diambil 25 Desember 2005, dari http://europa.eu.int/eur.lex/en/com/pdf/2001/com2001_0593en01.pdf Imamura, K. (2003). Penanganan zat kimia di Jepang: Zat pencemar udara dan analisanya. Diambil 5 Desember 2004, dari http://www.menlh.go.id/apec_vc/osaka/eastjava/seminar2003/4.pdf. Jerman, M. (2003). Dioxin and furan inventory in Republic of Croatia (Summary). EKONERG-Energi and Envinronmental Protection Institute, Ltd., Zagreb. Diambil 12 September 2004, dari http://www.cro-cpc.hr/projekti/pops/ PCDD_PCDF%20Sazetak_eng.pdf. Jin, J., Peng, H., Xiaoyan, T. (2004). An inventory of potential PCDD and PCDF emission sources in mainland of China. Organohalogen Comp, 66, 852-858. Kictham, P. (2002). Air Quality Management. Nonthaburi. Diambil 6 Maret 2007, dari http://www.unescap.org/esd/environment/ kitakyushu/urban_air/Nothaburi.pdf. Kishimoto, A., Oka, T., Yoshida, K., Nakanishi, J. (2001). Socio economic analysis of dioxin reduction measures in Japan. Diambil 17 Juli 2005, dari http://risk.kan.ynu.ac.jp/rmg/ws2001/Kishimoto_slide.pdfabst(E).pdf. Matsushita, M. (2003). Enabling facilities to facilitate early action on implementation of the Stochkolm Convention on organics pollutants (POPs) in Indonesia, Makalah pada Workshop Sosialisasi Hasil Inventarisasi Bahan Kimia POPs di Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. NIEHS-National Institute of Environmental Health Sciences. (2001). Dioxin research at the National Institute of Environmental Sciences (NIEHS). Diambil 4 Oktober 2004, dari http://www.niehs.nih.gov/oc/factsheets/ dioxin.htm. Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants. (2001). Swedia. Diambil 21 Februari 2004, dari http://www.pops.int/documents/convtext/convtext_en.pdf. The People’s Republic of China. (2007). National implementation plan for the Stockholm Convension on persistent organic pollutants. Diambil 21 November 2004, dari http://www.pops.int/documents/implementation/nips/ submission/China_NIP_En.pdf. Rabl, A. & Spadaro, J.V. (1998). Health risk of air pollution from incenerators: A persfective. Waste Man Res Waste, 16, 365-388.
71
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 2, September 2008, 63-72
Rabl, A. & Spadaro, J.V. (2002). Health impact of waste inceneration. Environmental and Science Technology,18, 171-193. Rodan, B.D. & Cleverly, D.H. (2002). Polychlorinated dioxins and furans: sources, emission, and levels. Diambil 26 Agustus 2004, dari http://www.chem.unep.ch/pops/POPs_Inc/proceedings/bangkok/DIOXRODA.html. Rufo & Rufo Jr. (2004). Clean incinerator of solid waste: A cost- benefit analysis for Manila. Economy and Environment Program of Southeast Asia. Singapore Sumaiku, Y. (2004). Apa akibatnya dari pembakaran sampah di pekarangan rumah tangga dan pembakaran/kebakaran hutan terhadap kesehatan. Diambil 2 September 2004, dari http://www1.bpk.penabur.or.id/kps-jkt/sehat/sampah.htm. Suminar, S.A. (2003). Estimasi emisi dioksin dan furan. Hasil penelitian disampaikan pada Enabling Activities to Facilitate Early Action on the Implementation of the Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs) in Indonesia. Workshop Hasil Inventarisasi POPs. UNIDO. KLH. Jakarta. The Chlorine Chemistry Council. (2002). A comparison of dioxin risk characterizations. Diambil 29 November 2004, dari http://www.dioxinfacts.org/dioxin_health/dr.pdf. UNEP. (2003). Standardized toolkit for identification and quantification of dioxin and furan releases. Inter-Organization Programme for the Sound Management of Chemicals. GenevaSwitzerland. Diambil 2 September 2004, dari http://www.pops.int/documents/guidance/Toolkit_2003.pdf. UNEP Chemical. (2003). Formation of PCDD and PCDF – an overview. Geneva, Switzerland. Diambil 27 Desember 2006, dari http://www.pops.int/documents/meetings/bat_bep/1st_session/EGB1_INF12doclist.pdf. Widyatmoko, H. (1999). Masalah pencemaran dioksin. Diambil 2 September 2004, dari http://www.partaihijau.or.id/five-artikel 1.html. Wikipedia. (2007). Tanggung jawab sosial perusahaan. Diambil 5 Desember 2007, dari http://en.wikipedia.org/wiki/CSR.
72