Perkembangan Konvensi-Konvensi IMO: Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut Dari Pencemaran Yang Bersumber Dari Kapal Suhaidi Program Studi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Inisiatip pertama dari masyarakat internasioal untuk mengontrol pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal sudah dihasilkan dalam suatu Konperensi Washington di Amerika Serikat pada tahun 1926. Konperensi ini mengeluarkan suatu rekomendasi bahwa "the discharge of oil at sea be limited".1 Pada tahun 1928 "the Financial Times of London" memberitakan bahwa lebih dari 500.000 barrel minyak tumpah setiap tahunnya ke laut. Selanjutnya pada tahun 1934 atas inisiatip Pemerintah Inggris masalah perlindungan lingkungan laut terhadap tumpahan minyak ini dibicarakan dibicarakan pada the League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa). Namun pembicaraan ini belum menghasilkan suatu persetujuan internasional sampai terjadi Perang Dunia I pada tahun 1939.2 Perhatian dari masyarakat internasional akan pencemaran lingkungan laut ini selanjutnya timbul kembali setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1952 Pemerintah Inggris membuat suatu laporan "to consider what practical measures can be taken to prevent pollution by oil of the waters around the coasts of the United Kingdom". Laporan ini juga merekomendasikan kemungkinan untuk mengontrol pencemaran lingkungan laut di luar jurisdiksi suatu negara. Selanjutnya laporan ini dibuat "a series of recommendations and generally built a framework for subsequent conventions".3 Pada tahun 1948 masyarakat internasional mendirikan IMCO (Intergovernmental Maritime Consultative Organization) yang saat ini dikenal dengan nama International Maritime Organization (IMO). IMO merupakan badan khusus PBB yang mengurus bidang kemaritiman yang didirikan di Jenewa.4 Tujuan didirikannya IMO adalah untuk memajukan kerjasama antar negara-negara anggota dalam masalah-masalah teknis dibidang pelayaran dengan perhatian khusus pada keselamatan di laut dan untuk menjamin tercapainya taraf keselamatan serta efisiensi pelayaran setinggi-tingginya.5 Dengan demikian IMO merupakan badan khusus PBB yang bertanggung jawab dalam keselamatan pelayaran secara luas dan pencegahan dari pencemaran lingkungan laut.6 Pasal 1 Konvensi IMO menyatakan bahwa:
1
Marine Pollution Legislation, (06-06-2000),
. 5 Mochtar Kusumaatmadja, "IMCO dan Pembinaan Hukum Pelayaran Nasional", Majalah Padjadjaran, (Jilid VII, No. 1-2, Bandung: 1976), h. 3. 6 Librando, Gaetano, "Maritime Liability and Chemical Transport; International Maritime Organization Committee", Society of Chemical Industry (UK), Chemistry and Industry, (No. 19; 7 Oktober 1996), h. 1-2. 2
1 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
"IMO should "provide machinery for cooperation among Governments in the field of governmental regulation and practices relating to technical matters of all kinds affecting shipping angaged in international trade; to encourage the general adoption of the highest practicable standards in matters concerning maritime safety, efficiency of navigation and the prevention of control of marine pollution from ships; and to deal with legal matters related to the purposes set out in this Article"7 Pada awalnya, pengaturan tentang perlindungan terhadap pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal disebabkan oleh adanya pertentangan antara negara-negara pantai di satu pihak yang menginginkan terlindungi wilayah perairannya. Sedangkan di pihak lainnya yaitu negara-negara pengguna kelautan (significant naval), seperti untuk komersil, dan negara-negara maritim yang merasa terancam hak tradisionalnya berupa "rights of innocent passage dan freedom of navigation". Negosiasi terus menerus dilakukan oleh para pihak, negosiasi yang cukup alot diantara para pihak terlihat pada waktu membicarakan pengawasan terhadap kapal-kapal yang membawa zat pencemar yang berbahaya dan perlindungan atas "special area".8 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan, khususnya industri perkapalan dewasa ini, seiring dengan peningkatan kebutuhan dari masyarakat internasional mengakibatkan pemanfaatan laut di bidang pelayaran semakin meningkat. Pemanfaatan laut di bidang pelayaran akan semakin meningkatkan pula potensi pencemaran pada lingkungan laut negara pantai. Kondisi ini dirasakan oleh masyarakat internasional, terutama negaranegara pantai untuk melindungi lingkungan lautnya dari ancaman pencemaran. Dengan demikian diperlukan adanya ketentuan-ketentuan untuk melindungi lingkungan laut dari potensi pencemaran tersebut, khususnya pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal.9 Pada saat ini IMO telah banyak menghasilkan ketentuan-ketentuan internasional tentang perlindungan lingkungan laut, terutama yang disebabkan adanya pencemaran. IMO membagi ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya atas 4 (empat) bagian, yaitu:10 (a) maritime safety;11 7
"IMO and Maritime Security; International Maritime Organization", Superintendent of Documents Department of State Bulletin, (1986), h. 3. 8 Sebagai perbandingan, pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal meliputi kira-kira 20% dari keseluruhan pencemaran lingkungan laut. Pencemaran yang bersumber dari dasar laut dan atmosfir kira-kira 70%, dari dumping kira-kira 10 %, dan produksi lepas pantai kira-kira 1 %. 9 Didalam tubuh IMO terdapat suatu badan "sub-committees" yang khusus mengurus pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kapal, yaitu "the Marine Environment Protection Committee (MEPC) yang ditetapkan pada tahun 1973. Lihat Marine Pollution Legislation (06-06-2000), . 11 Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada "Maritime safety" adalah: (1) International Convention for the Safety of Life at Sea (Solas), 1960 and 1974; (2) International Convention on Load Lines (LL), 1966; (3) Special Trade Passenger Ships Agreement (STP), 1971; (4) International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREG), 1972; (5) International Convention for Safe Containers (CSC), 1972; (6) Convention on the International Maritime Satellite Organization (INMARSAT), 1976; (7) The Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing Vessels (SFV);
2 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
(b) marine pollution;12 (c) liability compensation;13 dan (d) other subjects.14 Pencemaran yang bersumber dari kapal umumnya berupa pembuangan rutin yang dilakukan kapal berupa minyak, juga dapat berasal dari pembersihan kapal tanker dan kebocoran kapal pada waktu melakukan pelayaran. Pencemaran dapat pula terjadi sebagai akibat kecelakaan kapal, sehingga kapal tersebut pecah, kandas ataupun terjadinya tabrakan. Untuk memahami lebih baik penyebab pencemaran yang bersumber dari kapal, maka dibuat skema sebagai berikut:
(8) International Convention on Standard of Training, Certification and Watch-keeping for Seafarers (STCW), 1978; (9) International Convention on Maritime Search and Rescue (SAR), 1979; (10) International Convention on Standards of Training, Certification and Watch-keeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F), 1995. 12 Ketentuan-ketenuan yang terdapat pada " Marine Pollution" adalah: (1) International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil (OILPOL), 1954; (2) International Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution Casualties (INTERVENTION), 1969; (3) Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (LDC), 1972; (4) International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973, as modified by the Protocol of 1978 Relating thereto (MARPOL 73/78) (5) International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC), 1990. 13 Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada "Liability and Compensation" adalah: (1) International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC), 1969; (2) International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (FUND), 1971; (3) Convention relating to Civil Liability in the Field of Maritime Carriage of Nuclear Material (NUCLEAR), 1971; (4) Athens Convention relating to the Carriage of Passengers and their Luggage by Sea (PAL), 1974; (5) Convention on Limitation of Liability for Maritime Claims (LLMC), 1976; (6) International Convention on Liability and Compensation for Damage in connection with the Carriage of Hazardous and Noxious Substances by Sea (HNS), 1996. 14 Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada "Other subjects" adalah: (1) Convention on Facilitation of International Maritime Traffic (FAL), 1965; (2) International Convention on Tonnage Measurement of Ships (TONNAGE), 1969; (3) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA), 1988; (4) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA), 1988;
(5) International Convention on Salvage (SALVAGE), 1989. 3 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Skema 4: Sumber pencemaran dalam pelayaran kapal PEMBUANGAN MINYAK KEGIATAN
AIR TANKI KEBOCORAN
PELA YAR AN KAPAL
PECAH KECELAKAAN
KANDAS TABRAKAN
Di dalam pembahasan, ketentuan tentang dumping juga diberikan porsinya karena dumping juga merupakan pembuangan zat pencemar dengan sengaja oleh kapal.
II. International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil (OILPOL), 1954. Pada tahun 1954 atas prakarsa Pemerintah Inggris diadakan suatu Konperensi di London yang dihadiri oleh 40 negara. Konperensi ini menghasilkan "the International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil", dikenal dengan nama OILPOL.15 Konvensi ini di adopsi pada tanggal 12 Mei 1954, dan mulai berlaku (entry into force) pada tanggal 26 Juli 1958.16 Sampai saat ini (31 Mei 2000) negara yang telah meratifikasi Konvensi ini berjumlah 158 negara.17 Konvensi OILPOL 1954 merupakan usaha pertama dari IMO (dahulu IMCO) dalam mengatur pengawasan terhadap pencemaran lingkungan laut oleh zat pencemar minyak. Terutama pencemaran yang bersumber dari pengoperasian kapalkapal pengangkut minyak secara rutin. Substansi dari Konvensi ini melarang membuang dengan sengaja minyak atau campuran minyak dari semua kapal yang berlayar pada semua lingkungan laut sejauh 50 mil dari pantai suatu negara. Untuk zona khusus seperti prohibited zones, maka larangan tersebut diperluas menjadi sejauh 100 mil dari pantai terdekat, seperti laut Mediterania, laut Adriatic, laut Merah, pesisir Australia, pesisir Madagaskar, dan lain sebagainya.18 Konvensi ini juga mengharuskan setiap kapal untuk membawa "oil recoord book" yang memuat catatan berupa laporan tentang pergerakan kargo minyak, dan 15
Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), . 17 IMOs Web Site-Summary of Status of Convention, (24-06-2000), . 18 Marine Pollution, (26-06-2000), . 16
4 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
buangan minyak kotor, baik yang disengaja maupun yang disebabkan oleh kecelakaan dan pembersihan tanki-tanki minyak. Dalam hal oil recoord book, negara-negara peserta lainnya berhak untuk mendapatkan informasi manakala kapal yang membawa catatan tersebut melanggar ketentuan-ketentuan Konvensi. Walaupun ketentuan seperti yang diatur dalam OILPOL 1954 ini cukup efektif, namun perkembangan dari pengangkutan minyak sejak tahun 1960 jauh lebih meningkat. Untuk ini diperlukan suatu ketentuan yang lebih tegas (stringent regulations), maka ketentuan inipun diubah melalui bentuk amandemen. Amandemen I dilakukan pada tahun 1969, selanjutnya disebut dengan "Amandemen 1969". Amandemen ini diadopsi pada bulan April 1962, dan mulai berlaku pada tanggal 20 Januari 1978. Pembatasan yang terdapat pada Amandemen 1969 ini adalah: (a) Limitation of the total quantity of oil which a tanker may discharge in a ballast voyage to 1/15.000 of the ship's total cargo-carrying capacity; (b) Limitation of the rate at which oil may be discharge to a maximum of 60 liters per mile travelled by the ship; (c) Prohibition of discharge of any oil whatsoever from the cargo spaces of a tanker within 50 miles of the nearest land. Dengan demikian jumlah total kadar minyak, yang terkandung dalam air balast yang dibolehkan dibuang oleh kapal tanker dalam setiap perjalanannya tidak boleh melebihi 1/15.000 dari total kapasitas kargo yang diangkut oleh kapal tersebut. Sedangkan jumlah yang boleh dibuang sepanjang jalur yang dilayari kapal tidak boleh melebihi 60 liter per mil. Kapal-kapal yang berlayar tersebut dilarang untuk membuang air ballast tersebut pada radius jarak 50 mil dari daratan yang terdekat. Bagi pembuangan dari ruang-ruang mesin dari semua jenis kapal, jumlah minyak yang dibolehkan dibuang pada saat kapal melakukan perjalanan tidak boleh melebihi 60 liter per mil dari keseluruhan jarak yang dilakukan oleh kapal. Sedangkan kadar minyak yang terdapat pada buangan tersebut harus dibawah 100 bagian setiap jutanya (must be below 100 parts per million). Pembuangan ini harus dilakukan sejauh mungkin dari daratan. Selanjutnya dilakukan amandemen II pada tahun 1971, selanjutnya disebut dengan "Amandemen 1971". Terdapat dua masalah yang diamandemen oleh IMO Assembly, yaitu:19 (1) recognation the need to protect the Great Barrier reef as an area of unique scientific importence; and (2) set out the precise limits of a protective zone which is considerably in excess of the prescribled in the Convention. Dengan demikian memperluas upaya perlindungan dengan meningkatkan perhatian pada lingkungan laut yang unik, seperti batu karang yang memanjang di lautan. III. International Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution 1969 (Konvensi Intervensi 1969). International Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution 1969, selanjutnya disebut "Konvensi Intervensi 1969", diadopsi pada tanggal 29 November 1969, dan baru berlaku (entry onto force) pada tanggal 6 Mei 19
IMOs Web Site-Summary of Status of Convention, (24-06-2000), .
5 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
1975. Konvensi ini merupakan usaha dari masyarakat internasional (dalam hal ini IMO) dengan membuat ketentuan-ketentuan bagi perlindungan lingkungan laut dengan latar belakang peristiwa Torrey Canyon Case 1967. Pada tanggal 18 Maret 1967 kapal tanker Torrey Canyon berbendera Liberia kandas di dekat "the Scilly Isles" ketika memasuki the English Channel, peristiwa tersebut terjadi di laut lepas. Kapal tanker ini membawa lebih dari 119.000 ton the crude oil dalam bentuk kargo. Pada waktu terjadi kandas, cargo kapal tersebut mengalami kerusakan. Selanjutnya pada tanggal 20 Maret 1967 lebih dari 100.000 ton crude oil tumpah ke laut.20 Akibat terpaan angin keras tumpahan minyak tersebut sampai ke laut teritorial, sehingga menimbulkan kerusakan yang serius di sepanjang "the cornish Coast",21 berupa kerusakan serius pada ekologi kelautan dan perikanan. The English researchers at 100.000 tons of algae destroyed in a few weeks by oil slick. Setelah peristiwa kandasnya kapal tanker Torrey Canyon, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah bagi pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal, dan juga bagaimana membuat suatu sistem kompensasi bagi setiap kecelakaan kapal tanker. Konvensi Intervensi 1969 dikhususkan melindungi dan menyela-matkan negara-negara pantai dari bahaya pencemaran, khususnya yang diakibatkan oleh tumpahan minyak.22 Tidak membatasi pencemaran oleh minyak dari kapal tanker saja, tetapi mencakup bagi tumpahan minyak dari semua kapal-kapal. Pengecualian dari Konvensi ini mencakup pencemaran yang berasal dari instalasi-instalasi minyak dalam hal eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut, kapal perang, serta kapal-kapal milik pemerintah dengan tujuan pelayanan non-komersial.23 Pasal 1 Konvensi Intervensi 1969 menyatakan bahwa: "(1) Parties to the present convention may take such measures on the high seas as may be necessary to prevent, mitigate or eliminate grave and imminent danger to their coastline or related interests from pollution or threat of pollution of the sea by oil, following upon a maritime casualty or acts related to such a casualty, which may reasinably be expected to resulted in major harmful consequences; (2) However, no measures shall be taken under the present Convention against any warship or other ship owned or operated by a State and used, for the time being, only on government non-commercial service". Dengan demikian Konvensi ini membolehkan negara peserta untuk melakukan intervensi di laut lepas. Intervensi ini juga dalam rangka mengambil langkah-langkah di laut lepas yang dianggap perlu untuk mencegah, menghilangkan, atau menghalangi bahaya besar yang mungkin timbul pada pantai suatu negara . Sebelum diambil tindakan intervensi, negara pantai mengusahakan terlebih dahulu upaya konsultasi dengan negara lain yang kapalnya akan terkena intervensi. Pada kasus-kasus yang memerlukan tindakan cepat, negara pantai dapat langsung
20
RR. Churchill and A.V. Lowe, The Law Of the Sea, (Great Britain: Manchester University Press, 1995), h. 241. 21 Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), . 23 Marine Pollution Legislation, (06-06-2000),
6 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
melakukan intervensi, namun tindakan tersebut harus merupakan tindakan yang wajar dengan melihat dampak dari pencemaran.24 Untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam hal perlindungan lingkungan laut, diadakan perubahan-perubahan terhadap Konvensi Intervensi 1969. Perubahan I terjadi pada tahun 1973 melalui Protokol 1973. Protokol 1973 mulai berlaku sejak tanggal 30 Maret 1983. Protokol ini "increasing quantity of other substance, mainly chemical, carried by ship, some of which would, if released, caused serious hazard to the marine environment,...recognized the need extend the Convention to cover substances other than oil". Dengan demikian Protokol ini memperluas cakupan tidak hanya pada zat pencemar minyak saja, tetapi mencakup zat-zat lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran pada lingkungan laut.25 Selanjutnya pada tahun 1991 dan 1996 juga diadakan perubahan Konvensi 1969 dalam bentuk amandemen, disebut dengan "Amandemen 1991 dan Amandemen 1996". Amandemen 1991 dan Amandemen 1996 berhasil merivisi jenis-jenis zat pencemar yang tercakup dalam lampiran Protokol 1973. IV. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter, 1972. Setelah perang dunia kedua, pencemaran dengan cara melakukan dumping terus dilakukan oleh negara-negara, terutama dilakukan oleh negara Belgia, Belanda, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat, sehingga menimbulkan pencemaran bagi lingkungan laut.26 Untuk mengantisipasi bencana yang lebih besar, masyarakat internasional mulai memikirkan bagaimana dumping tidak dilakukan oleh negara-negara, yaitu dengan membuat ketentuan-ketentuan tentang pelarangan dumping yaitu Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter, selanjutnya disebut "Konvensi London 1972". Konvensi ini merupakan proses dari akumulasi dari masyarakat internasional untuk mencegah dilakukannya dumping. Diadopsi pada tanggal 13 November 1972, dan mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 1975. Dalam suatu laporan dari negara-negara peserta Konvensi,27 disebutkan bahwa pada saat ini pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari dumping diperkirakan mencapai 10 %, sedangkan dari daratan mencapai 44%, dari atmospir 33 %, dari transporatsi kapal diperkirakan mencapai 12 %.28 Perkiraan ini, walaupun pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari dumping persentasenya lebih kecil jika dibanding dengan sumber pencemaran lingkungan laut lainnya, namun jika dibiarkan maka akan menimbulkan kerusakan bagi lingkungan laut, terlebih zat pencemar yang dibuang tersebut merupakan zat yang berbahaya bagi lingkungan laut.
24
Ibid. Marine Pollution Legislation, (06-06-2000),
7 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Konvensi London 1972 mengatur tentang "the dumping of poisonous wastes and protection of the marine environment",29 Pasal 1 Konvensi London 1972 menyebutkan bahwa: "Contracting parties shall individually and collectively promote the effective control of all sources of pollution of the marine environment, and pledge themselves especially to take all practicable steps to prevent the pollution of the sea by the dumping of waste and other matter that is liable to create hazards to human health, to harm living resources and marine life, to damage amenities or to interfere with other legitimate uses of the sea". Negara-negara peserta diharuskan, baik secara individual maupun secara bersama-sama untuk mengembangkan pengawasan yang efektif atas semua sumber pencemaran yang dapat mencemari lingkungan laut. Negara-negara juga diharuskan untuk mengambil tindakan nyata untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh dumping, dan masalah lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia, merugikan kehidupan sumber daya dan kehidupan laut dan merusak kenyamanan atas penggunaan yang sah atas laut. Konvensi London 1972 mengatur secara rinci jenis zat-zat yang dilarang untuk dilakukan dumping.30 Negara peserta juga diharuskan untuk mengambil tindakan segera untuk mencegah dan menghukum pencemar31 Amandemen I terhadap Konvensi ini diadakan pada tahun 1978, disebut dengan Amandemen 1978 (incineration). Amandemen ini diadopsi pada tanggal 12 Oktober 1978 dan berlaku efektif pada tanggal 11 maret 1979. Amandemen ini mengatur tentang "the incineration of wastes and other matter at sea". Selanjutnya pada tahun 1978 dikeluarkan amandemen II, yaitu Amandemen 1978 (dispute). Amandemen 1978 diadopsi pada tanggal 12 Oktober 1978, dan akan berlaku efektip setelah 60 hari diratifikasi oleh dua pertiga negara peserta. Pada saat ini (26-062000) telah diratifikasi oleh 20 negara. Adapun yang diamandemen adalah masalah prosedur bagi penyelesaian sengketa. Amandemen selanjutnya terjadi pada tahun 1980, disebut dengan Amandemen 1980. Amandemen 1980 diadopsi pada tanggal 24 September 1980, dan mulai berlaku pada tanggal 11 Maret 1981. Amandemen yang dilakukan pada tahun 1980 ini menyangkut "incineration and list substances which require special care when being incinerated". Amandemen berikutnya terjadi pada tahun 1989, disebut dengan amandemen 1989. Amandemen 1989 ini diadopsi pada tanggal 3 November 1989 dan mulai berlaku pada tanggal 19 Mei 1990. Amandemen ini menyediakan informasi yang dapat dipergunakan untuk menghitung dampak lingkungan laut terhadap dumping. Pada tahun 1993 diadakan kembali amandemen terhadap Konvensi ini dengan nama Amandemen 1993. Amandemen 1993 diadopsi pada tanggal 12 November 1993 dan mulai berlaku pada tanggal 20 Pebruari 1994. Amandemen yang dilakukan adalah menyangkut larangan dumping pada "sea of low-level radioactive waste" dengan persyaratan sebagai berikut:
29
Wassermann, Ursula, "IMO: Prevention of Ocean Pollution", Journal of World Trade Law, (January/February ; Vol.17, 1983), h. 81-82. 30 Pasal 4 Konvensi London 1972. 31 Pasal 7 Konvensi London 1972.
8 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
(a) Penghapusan secara bertahap dumping yang dilakukan oleh industri sampai dengan tanggal 31 desember 1995; (b) Larangan "the incineration at sea of industrial wastes". Pada tahun 1996 IMO mengeluarkan Protokol 1996 terhadap Konvensi. Protokol 1996 diadopsi pada tanggal 7 November 1996, dan mulai berlaku setelah 30 hari diratifikasi oleh 26 negara, termasuk 15 negara peserta Konvensi London 1972. Protokol 1996 cenderung untuk mengulangi apa yang telah diatur dalam Konvensi London 1972. Perubahan-perubahan yang penting,32 terdapat pada pasal 3 dari protokol ini, dikenal dengan "precautionary approach", disebutkan bahwa "appropriate preventive measures are taken when there is reason to believe that wastes or other matter introduced into the marine environment are likely to cause harm even when there is no conclusive evidence to prove a causal relation between inputs and their effects". Lampiran 1 Protokol 1996, membatasi larangan dumping, dengan pengecualian pada: (a) dredged material; (b) sewage sludge; (c) fish waste, or material resulting from industrial fish procesing operations; (d) vessels and platform or other man-made structures at sea; (e) inert, inorganic geological material; (f) organic material of natural origin; (g) Bulky items primarily comprising iron, steel, concrete and similar unharmful materials for which the concern is physical impact and limited to those circumstances, where such wastes are generated at locations such as small islands with isolated communities, having no practicable access to disposal options other than dumping. Pengecualian dari dibolehkannya dumping adalah jika diakibatkan oleh adanya "cases of force majeure", atau keadaan yang membahayakan kehidupan manusia, atau keadaan yang nyata-nyata mengancam keselamatan kapal.33 Incineration of wastes diizinkan oleh Konvensi London 1972, namun pada Protokol 1996 hal ini dilarang.34 Selanjutnya "contracting parties shall no allow the export of wastes or other matter to other countries for dumping or incineration at sea".35 V. The International Convention for the Prevention of Pollution from Ship (MARPOL). Sejalan dengan pertumbuhan perekonomian global, aktivitas manusia di laut juga semakin meningkat, termasuk aktivitas dalam perdagangan dan navigasi. Sarana laut diperkirakan mencapai 80 % dipakai sebagai sarana angkutan perdagangan internasional dibanding dengan darat dan udara, termasuk pengangkutan minyak oleh kapal tanker. Dengan pertumbuhan perekonomian global pada beberapa dekade belakangan ini membuat semakin meningkat pula permintaan negara-negara akan minyak. Diperkirakan lebih dari 100 juta ton minyak per hari diangkut antara 32
IMOs Web Site-Summary of Status of Convention, (24-06-2000), . 33 Pasal 8 Protokol 1996. 34 Pasal 5 Protokol 1996. 35 Pasal 6 Protokol 1996.
9 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
pelabuhan-pelabuhan sebagai konsumsi bagi negara-negara. Minyak-minyak tersebut diangkut dengan kapal tanker melalui laut. Pada saat ini pengangkutan minyak merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian dunia dan merupakan salah satu bisnis yang terbesar. Pengangkutan minyak melalui laut diperkirakan 40% dari keseluruhan perdagangan yang diangkut melalui laut. Sarana angkutan lautnya didominasi oleh kapal-kapal tanker yang diperkirakan lebih dari 400 super tanker berlayar setiap harinya.36 Kapal-kapal tersebut setiap tahun menumpahkan satu sampai dua juta ton minyak ke lingkungan laut. Tumpahan minyak ke laut ini diakibatkan oleh pengoperasian kapal, dan kecelakaan kapal, sehingga mengakibatkan penurunan mutu lingkungan laut. Pencemaran yang terjadi yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal diperkirakan mencapai 75%, sedangkan akibat dari kecelakaan kapal hanya 25% dari total pencemaran yang terjadi. Dalam pengoperasian kapal, pencemaran yang terjadi dapat diakibatkan oleh ballast dan pencucian tanki kargo.37 Pelayaran kapal tanker yang mengakibatkan ancaman pencemaran lingkungan laut dapat merugikan negara pantai yang perairannya dijadikan sebagai sarana pelayaran. Jika terjadi pencemaran maka dampaknya akan menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut negara pantai. Untuk mencapai keseimbangan konflik antara negara pantai pada satu pihak yang menginginkan terlindunginya lingkungan laut dan pemilik/operator kapal pada pihak lainnya, dimana laut merupakan sarana bagi mereka dalam melakukan transportasi, maka IMO mengeluarkan suatu bentuk perjanjian internasional yang disebut dengan the International Convention for the Prevention of Polution from Ship, untuk selanjutnya disebut MARPOL. Pada waktu MARPOL masih merupakan draft konvensi, lebih kurang 85 % kapal-kapal tanker melakukan pencemaran pada waktu pengoperasiannya. MARPOL effectively superseded OILPOL'54 and ushered in a considerable change in the international control of marine pollution.38 V.1. The International Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1973 (MARPOL 1973). MARPOL 1973 diadopsi pada tanggal 2 November 1973, dan mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983. MARPOL 1973 merupakan bentuk penyempurnaan yang dilakukan IMO dalam mengantisipasi upaya pencegahan terhadap pencemaran lingkungan laut tidak saja oleh minyak, namun juga mencakup bahan-bahan berbahaya lainnya, kecuali dumping.39 Dengan demikian MARPOL 1973 memuat seluruh aspek-aspek teknis dari pencemaran yang disebabkan dari kapal, juga dipergunakan untuk semua tipe kapal. Konvensi ini tidak mencakup pencemaran yang terjadi sebagai akibat dari explorasi dan ekspolitasi sumber mineral di dasar laut.40 Konvensi ini menetapkan persyaratan bagi semua kapal yang membawa minyak dalam pengoperasiannya, yaitu (a) load on top, (b) crude oil washing, dan (c) segregate ballast tanks. 36
Cross, Michael, Hamer, Mick, "How to Seal a Supertanker, Improving Ship Design to Prevent Oil Spills", New Scientist, (Vol. 133, No. 1812, March, 1992), h. 3-4. 37 Andrew Griffin, "Marpol 73/78 and Vessel Pollution: a Glass Half Full or Half Empty ?", Indiana Journal of Global Legal Studies, (1994), h. 1. 38 Edgar Gold, Gard Handbook on Marine Pollution, second edition, (London: Assuranceforeningen Gard, 1997), h. 98. 39 Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), .
10 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Pemakaian "the methode of retaining oily wastes on broad trough the "load on top" system or for discharge to shore reception facilities', meliputi pemasangan perlengkapan yang tepat atas oil-discharge monitoring, control system, oil-water separating equipment, and a filtering system, slop tanks, sludge tanks, piping and pumping arrangements, pengaturan ini disaratkan bagi: (1) Kapal-kapal tanker baru (yang dibuat di atas tahun 1975) dengan bobot 70.000 ton ke atas must be fitted with segregated ballast tanks large enough to provide adequate operating draught without the need to carry ballast water in cargo oil tanks. (2) Kapal-kapal tanker baru juga disyaratkan untuk 'meet certain subdivision and damage stability requirements'. Hal ini dimaksudkan agar dalam kondisi jika terjadi kecelakaan, seperti tabrakan, terdampar, maka kapal tersebut diharapkan survive. MARPOL mempunyai "6 technical annexes". Annex ini merupa-kan ketentuan yang diperuntukkan bagi semua kapal, kecuali kapal-kapal kecil. Bagi kapal-kapal tersebut harus dilakukan "reguler and complete survey" untuk menjamin bahwa "structure, equipment, fitting, materials dan perlengkapan lainnya sesuai dengan standard yang diharuskan Konvensi. Untuk semua ini ditandai dengan suatu sertifikat.41 Khusus untuk Annex VI mengatur tentang "air Pollution". Annex I berisi tentang Pencegahan Dari Pencemaran Minyak. Mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983. Didalam Annex ini dipertahankan kriteria dari "the oil discharge" yang telah ditentukan dalam Amandemen 1969 dari Konvensi OILPOL 1954, tanpa perubahan yang substansial. Kapal-kapal masih dapat melakukan pembuangan minyak kotor jika dipenuhi syarat-syarat yang hampir sama dengan Konvensi sebelumnya, kecuali jumlah maksimum yang diizinkan untuk melakukan pembuangan minyak kotor dengan kriteria, yaitu bagi kapal tanker baru, jumlah maksimum minyak kotor yang diizinkan untuk dibuang ke laut tidak melebihi 1/15.000 dari jumlah cargo yang dibawa. Bagi kapal yang sudah ada sebelumnya, diizinkan sampai 1/30.000 dari jumlah angkutan minyak. Ketentuan ini berlaku bagi "outside the special protected areas" (di luar daerah perlindungan khusus). Annex II tentang Control of Pollution by Noxious liquid Substan-ces, mulai berlaku pada tanggal 6 April 1987, berisi tentang kriteria dan langkah-langah pengawasan terhadap pencemaran yang disebabkan oleh zat cair berbahaya di dalam bulk. Terdapat daftar 250 zat yang sudah dievaluasi dan dimasukan dalam daftar lampiran dari Konvensi yang dikategorikan sebagai zat cair yang berbahaya. Annex III tentang Prevention of pollution by harmful substances carried in packaged form, or in freight containers or portable tanks or road and rail tank wagons. Mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1992, berisi tentang persyaratan tentang "standards on packing, marking, labelling, documentation, stowage, quantity limitations". Ketentuan ini juga untuk mencegah terjadinya pencemaran oleh zatzat yang berbahaya pada lingkungan laut. Selanjutnya Annex IV tentang Prevention of Pollution by Sewage. Mulai berlaku 12 bulan setelah diratifikasi oleh 15 negara yang merupakan gabungan "fleets of merchant shipping constitute" yang berjumlah sekurang-kurangnya 50% dari armada kapal dunia. Pada saat ini (26-06-2000) lampiran ini telah diratifikasi oleh 73 negara yang merupakan 42,59% dari armada kapal dunia.42 Annex ini berisi 41
Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), .
42
11 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
persyaratan untuk mengawasi pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh sewage. Annex V tentang Garbage, Mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1988. Annex ini melarang secara menyeluruh untuk melakukan dumping pada lingkungan laut atas semua bentuk plastik, termasuk "synthetic ropes dan fishing nets. Dari hasil penelitian yang dilakukan cukup mengagetkan masyarakat internasional, bahwa kapal-kapal melakukan pembuangan ke laut dalam bentuk kertas, plastik, metal, gelas dan material lainnya diperkirakan sebanyak 6, 4 juta ton pada tahun 1970. Diantaranya termasuk 1 juta ton dalam bentuk plastik yang didalamnya mencakup 639.000 dalam bentuk "plastic container". Plastik merupakan barang yang berbahaya bagi kehidupan laut, terutama bagi binatang laut. Diperkirakan seratus dari seribu burung laut dan seratus ribu jenis mamalia laut mati dalam beberapa tahun ini yang diakibatkan serakan plastik. Para saintis memperkirakan barang plastik akan bertahan utuh di laut selama lima puluh tahun. Pencemaran dalam bentuk plastik lebih mengancam kehidupan burung-burung dan mamalia laut dibandingkan dengan pestisida43 Pada tahun 1997 IMO berhasil mengadopsi suatu konsep baru dalam MARPOL, dikenal dengan "Annex VI". Annex ini antara lain mengatur tentang "SOx emission control areas" untuk menetapkan pengawasan yang lebih ketat atas emisi sulfur. Dalam hubungan antara Konvensi dengan annex-annexnya, ditentukan bahwa Annex merupakan "the convention's optional annexes". Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi, dibolehkan hanya menerima Annex I dan Annex II, namun dapat untuk tidak menerima Annex III, IV, dan V. Negara-negara tersebut dapat mengambil waktu yang panjang untuk memberlakukan Annex III, IV, dan V. Dengan demikian Annex I dan II merupakan mandatory annexes, sedangkan Annex III, IV dan V merupakan optional annexes. Dalam hal penegakan hukumnya, dapat dilaksanakan pada waktu Konvensi ini diberlakukan, untuk melakukan penegakan hukum (enforcement) didasarkan pada Konvensi ini dan hukum internasional lainnya. V.2. Protokol 1978. Masyarakat internasional merasakan bahwa ketentuan-ketentuan pada MARPOL 1973 belum memadai untuk melindungi negara pantai dari ancaman pencemaran. Untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada teknologi perkapalan, khususnya kapal-kapal tanker, dan dalam upaya perlindungan lingkungan laut, Masyarakat internasional (dalam hal ini IMO) kembali mengadakan konperensi internasional tentang "Tanker Safety and Pollution Prevention" yang diadakan dari tanggal 6-17 Pebruari 1978. Terdapat tiga pendapat yang terkandung dalam usulan bagi perubahan MARPOL 1973, yaitu: (a) pendapat yang menghendaki ketentuan lebih keras (onereous) sesuai dengan makin besarnya kapal; (b) pendapat yang menghendaki ketentuan lebih keras untuk crude oil carriers; dan (c) pendapat yang menghendaki ketentuan lebih keras pada kapal tanki baru dari pada kapal yang ada sekarang. 43
Berliant, Adam, "Man-mad Killerof the Seas; Plastic Pollution in the Ocean", U.S. News & World Report Inc., (Vol 103, 1987), h. 72.
12 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Konperensi ini berhasil merumuskan ketentuan-ketentuan yang lebih keras dari ketentuan yang terdapat pada MARPOL 1973. Protokol ini belaku efektip sejak tanggal 2 Oktober 1983. Ketentuan MARPOL tidak hanya ditujukan bagi kapal-kapal dari negara bendera yang menjadi peserta Konvensi saja, namun juga berlaku bagi kapal-kapal yang berlayar dari negara bendera yang tidak menjadi peserta Konvensi, namun dioperasikan oleh pihak peserta Konvensi. Pada MARPOL 1973 Kapal-kapal tanker baru (yang dibuat di atas tahun 1975) dengan bobot 70.000 ton ke atas "must be fitted with segregated ballast tanks large enough to provide adequate operating draught without the need to carry ballast water in cargo oil tanks". Sedangkan pada Protokol 1978 "Segregated ballast tanks (SBT) are required on all new ranker of 20.000 dwt and above". Dengan demikian semua kapal-kapal tanker yang baru dengan berat kotor 20.000 ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki-tanki ballast yang terpisah (SBT). Ketentuan baru dan penting lainnya adalah persyaratan bagi kapal tanker baru tentang "crude oil washing" (COW) sebagai penemuan baru yang berhubungan dengan sistem pencucian tanki, hal ini sebagai akibat perkembangan dari industri perminyakan yang semakin besar, maka pada COW pencucian tanki pada kapal tanker washed not with water but with crude oil-the cargo itself. Walaupun masyarakat internasional telah mampu untuk membuat ketentuan baru dalam Protokol 1978. Namun negara-negara yang meratifikasi protokol ini harus memberikan dampak pula pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada MARPOL 1973. Negara-negara tersebut tidak memerlukan suatu instrumen ratifikasi yang terpisah. Makanya ketentuan ini disebut dengan MARPOL 73/78.44 Indonesia meratifikasi MARPOL 73/78 melalui Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986.45 Pada saat ini ketentuan-ketentuan MARPOL berikut dengan perubahanperubahannya disebut dengan MARPOL 73/78. MARPOL 73/78 merupakan "specific international regulations to implement the objective of completely eliminating intentional pollution of marine environment by oil and other harmful substances and minimising accidental discharges. Perubahan yang terjadi pada MARPOL 73/78 melalui Amandemen 1984. Amandemen 1984 diadopsi pada tanggal 7 September 1984, dan mulai berlaku pada tanggal 7 Januari 1986. Persyaratan baru dalam amandemen 1984 menyangkut larangan pencucian tanki minyak pada daerah-daerah tertentu. Selanjutnya diadakan kembali amandemen melalui Amandemen 1985 (Annex II). Amandemen 1985 diadopsi pada tanggal 5 Desember 1984, dan mulai berlaku pada tanggal 6 April 1987. Perubahan yang terjadi adalah dengan membuat the International Bulk Chemical Code Mandatory (IBC). Hal ini penting karena dibanding dengan lampiran II MARPOL 1973 yang hanya menerapkan persyaratan discharge procedure the code contains carriage. Amandemen selanjutnya dari MARPOL 73/78 adalah dengan Amandemen 1985 (Protokol I). Amandemen 1985 diadopsi pada tanggal 5 Desember 1985, dan mulai berlaku efektip pada tanggal 6 April 1987. Perubahan yang terjadi adalah membuat persyaratan terhadap laporan-laporan setiap insiden/kejadian. Termasuk larangan untuk membawa paket yang berisi zat yang berbahaya dalam pelayaran kapal. 44
IMOs Web Site-Summary of Status of Convention, (24-06-2000), . 45 Wilayah Pesisir, http://www.pesisir.or.id/nasional/doc/10%20Bab%204.pdf.
13 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya IMO kembali mengadakan amandemen, disebut dengan Amandemen 1987. Amandemen 1987 diadosi pada Desember 1987, dan mulai berlaku pada tanggal 1 April 1989. Perubahan yang terdapat pada amandemen ini adalah menyangkut status Teluk Aden menjadi special area. Pada tahun 1989 kembali diadakan amandemen melalui Amandemen 1989. Amandemen 1989 diadopsi pada Maret 1989, dan mulai berlaku pada tanggal 13 Oktober 1990. Perubahan yang terjadi menyangkut 'the International Code for the Construction and Equipment of Ships Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (IBC Code) merupakan persyaratan yang berada di bawah MARPOL 73/78 dan SOLAS. Ketentuan dalam Amandemen 1989 diberlakukan bagi kapal-kapal yang dibuat setelah tanggal 1 Juli 1986, menyangkut "the Code for the Construction and Equipment of Ships Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (BCH), termasuk revisi dari daftar zat-zat kimia yang berbahaya berada dibawah ketentuan MARPOL 73/78, namun secara sukarela dapat memberlakukan ketentuan SOLAS 1974. Amandemen selanjutnya yaitu melalui Amandemen 1989. Amandemen 1989 ini diadopsi pada tanggal 17 oktober 1989 dan mulai berlaku pada tanggal 18 Pebruari 1991. Perubahan yang dibuat pada ketentuan ini adalah menyangkut Laut Utara yang dijadikan sebagai special area di bawah lampiran V dari Konvensi, hal ini merupakan perubahan yang besar bagi perlindungan lingkungan laut yang disebabkan oleh dumping. Pada tahun 1990 kembali diadakan amandemen melalui Amandemen 1990 (HSSC). Amandemen 1990 diadopsi pada Maret 1990, dan mulai berlaku bertepatan dengan diberlakukannya "the 1988 SOLAS dan Load Lines protocols, yaitu pada tanggal 3 Pebruari 2000. Perubahan pada amandemen ini adalah dimasukkannya "the harmonized system of survey and certificates (HSSC) ke dalam ketentuan MARPOL 73/78. Untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi, IMO kembali mengadakan amandemen melalui Amandemen 1990 (IBC Code). Amandemen 1990 diadopsi pada Maret 1990, dan mulai berlaku pada tanggal 3 Pebruari 2000. Perubahan yang terjadi adalah dengan dimasukkannya ketentuan "the HSSC" ke dalam IBC Code. Amandemen selanjutnya melalui Amandemen 1990 (BCH). Amandemen ini diadopsi pada November 1990, dan mulai berlaku pada tanggal 3 Pebruari 2000. Perubahan yang dilakukan adalah dimasuk-kannya ketentuan the HSSC ke dalam ketentuan the BCH Code. Pada tahun 1990 ini juga kembali diadakan amandemen yang disebut dengan Amandemen 1990 Annex I dan V. Amandemen ini diadopsi pada November 1990 dan mulai berlaku pada tanggal 17 Maret 1992. Perubahan yang dilakukan adalah memasukkan laut Antartika di bawah status special area seperti yang terdapat pada Annex I dan V. Amandemen selanjutnya terjadi pada tahun 1991, disebut dengan Amandemen 1991. Amandemen 1991 diadopsi pada tanggal 4 Juli 1991 dan mulai berlaku pada tanggal 4 April 1993. Perubahan yang diadakan adalah menyangkut laut Karibia dengan memasukkan lautan tersebut sebagai special area dibawah Annex V. Perubahan lainnya adalah menyangkut persyaratan bagi kapal-kapal yang membawa "an oil pollution emergency plan". Untuk kapal-kapal tersebut semua persyaratan dapat ditunda selama 2 tahun. Selanjutnya Amandemen 1992 keluar setelah masyarakat internasional melihat dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan laut pada peristiwa the Exxon Valdez case (1989) yang membawa 1.264.155 barrels of crude oil. Pada 14 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
peristiwa ini minyak yang tumpah mencapai 40.000 ton pada the Northeastern portion of prince William Sound di perairan Amerika Serikat. Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi Amerika Serikat mengeluarkan Oil Pollution act of 1990 (OPA 90) yang mengsyaratkan bagi kapal-kapal yang singgah pada pelabuhan Amerika Serikat harus mempunyai double hull. Amerika Serikat juga mengajukan pendapat pada IMO agar masalah double hull ini dapat dijadikan requirement of MARPOL.46 Dalam pertemuan "Marine Environment Protection Committee" (MEPC), mensyaratkan bahwa semua kapal-kapal super tanker baru, seperti VLCCs (very large crude carries), harus memakai "double hull". Amandemen 1992 diadopsi pada tanggal 6 Maret 1992, dan mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1993. Perubahan pada Annex I dari Konvensi adalah mengenai persyaratan bagi tanker dengan double hull. Persyaratan ini dikenakan bagi kapal tanker yang dibuat setelah tanggal 6 Juli 1993, atau yang pemasangannya di atas 6 Januari 1994, atau yang diserahkan setelah tanggal 6 Juli 1996. Bagi kapal bukan baru, peryarat-an ini akan dilaksanakan secara bertahap. Bagi kapal tanker baru dengan kapasitas crude oil tanker diatas 20.000 dwt dan dapat mengangkut lebih dari 30.000 dwt, ketentuan ini berlaku sejak 6 Juli 1995. Bagi kapal-kapal tanker dengan bobot lebih dari 5.000 dwt diharuskan untuk "fitted with double hulls" mempunyai ruang terpisah mencapai 2 meter. Bagi kapal dengan bobot di bawah 5.000 dwt ruang pemisahnya harus sekurang-kurangnya 0,76 meter. Sebagai alternatif, kapal tanker dapat membuat "the mid deck". Ketentuan ini dapat dijalankan jika tekanan muatan tanki tidak melebihi tekanan "the external hydrostatic water". Tanker yang seperti ini umumnya didisain dengan "double side", tidak dengan "double bottom" Perubahan lainnya adalah berhubungan dengan buangan rutinitas kapal, misalnya pembersihan cargo tanker atau buangan dari ruangan mesin. Dalam hal ini sebelumnya diizinkan untuk membuang minyak atau campuran minyak sebanyak 60 liter per mil laut, hal ini dirubah menjadi hanya 30 liter. Bagi kapal-kapal jenis bukan kapal tanker dengan bobot 400 grt atau lebih, dibolehkan melakukan pembuangan dari 100 parts per million sampai 15 parts per million. Ketentuan-ketentuan ini tidak diberlakukan bagi kapal-kapal tanker dengan usia lebih dari 25 tahun yang dirancang tidak memakai sistem "fitted with double sides dan double bottoms". Ketentuan dalam protokol ini diaplikasinya bagi tanker yang dibuat setelah tanggal 1 Juni 1979 dan mulai berlaku setelah 1 Januari 1980 atau berlaku secara keseluruhan setelah 1 Juni 1982. Ketentuan ini dirancang hanya Bagi kapal yang memang dibuat seperti standard pada Protokol dengan pengecualian bagi kapal-kapal yang berusia 30 tahun lebih. Perjalanan Konvensi ini terus diadakan amandemen, pada tahun 1994 kembali diadakan amandemen, yaitu Amandemen 1994. Amandemen ini menyangkut pada 4 Konvensi dan 5 Annex yaitu Annex I,II,III, V, dan semua disain bagi pengimplementasian ketentuan tersebut. Perubahan ini mencakup diberikannya kewenangan bagi suatu pelabuhan negara peserta untuk menginspeksi apakah kapal tersebut sudah laik layar sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh Konvensi, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan laut. Ketentuan ini diadopsi oleh IMO Assembly pada November 1993 dengan Resolusi No. A. 742 (18). Pengawasan yang dilakukan 46
Prevention of Pollution by Oil, (16-05-2002), w.ssa.org.sg/archive/seminar %20 Paper/ 1 st % 20 shipping%2021/Richard%20loo.liability of asis.pdf.
15 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
negara pelabuhan bagi persyaratan operasi kapal-kapal adalah penting untuk menerapkan "international safety dan anti-pollution". Pada tahun 1995 kembali diadakan amandemen melalui Amandemen 1995. Amandemen 1995 diadopsi pada tanggal 14 September 1995 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1997. Ketentuan dalam amandemen ini mengharuskan setiap kapal untk mengadakan "placards, garbage management plans dan garbage record keeping". Amandemen selanjutnya melalui Amandemen 1996. Amandemen 1996 diadopsi pada tanggal 10 Juli 1996 dan mulai berlaku evektif pada tanggal 1 Januari 1998. Perubahan menyangkut ketentuan-ketentuan bagi laporan setiap peristiwa yang berhubungan dengan zat-zat yang berbahaya, termasuk persyaratan untuk mengirimkan laporan tersebut. IMO merasa perlu mengamandemen konvensi yang dikeluarkan-nya, maka pada tahun 1997 diadakan kembali amandemen melalui Amandemen 1997. Amandemen 1997 diadopsi pada tanggal 23 September 1997, dan mulai berlaku pada tanggal 1 Pebruari 1999. Perubahan menyangkut kriteria yang lengkap tentang "double hull tankers". Perubahan lainnya adalah dengan menetapkan Perairan "the North West European" sebagai special area. perairan tersebut meliputi laut Utara, laut Irish, laut Celtic, Terusan Inggris, dan bagian dari "the North Atlantic memanjang sampai West of Ireland” Pada tahun 1997 IMO mengeluarkan Protokol 1997 (Annex VI). Protokol 1997 diadopsi pada tanggal 26 September 1997, dan mulai diberlakukan setelah 12 bulan diterima oleh sekurang-kurangnya 15 negara dengan tidak kurang dari 50% dari "world merchan shipping tonnage".47 Ketentuan-ketentuan yang diatur pada protokol ini adalah menyangkut pencegahan pencemaran udara dari kapal-kapal. Ketentuan ini membatasi zat sulphur oxide dan emisi nitrogen oxide dari kapal-kapal yang berlayar, juga melarang dikeluarkannya emisi-emisi yang merusak ozon. Dari laporan penelitian "Bluewater Network", sebuah organisasi lingkungan yang berkedudukan di San Fransisco (California), menyatakan bahwa kapal-kapal besar merupakan penyumbang terbesar dari bentuk-bentuk pengotoran dibanding dengan sarana transportasi lainnya, misalnya penggunaan Sulfur yang 5.000 kali lebih tinggi dibanding dengan truk diesel atau bus. Emisi pencemaran yang dikeluarkan dalam bentuk smog dan sulfur membawa konsekuensi bagi kerusakan kualitas hidup di sepanjang rute perjalanan kapal tersebut, sekaligus berdampak pada kesehatan manusia. Penelitian ini dilakukan pada rute-rute pelabuhan antara Los Angeles-San Diego-Baltimore, dan New York.48 Sulfur yang dapat dibuang oleh kapal harus tidak melebihi 4,5% m/m. Bagi kategori "SOx Emmission Control Areas" seperti laut Baltic, ketentuan ini lebih ketat lagi, yaitu tidak melebih 1,5% m/m. Sebagai alternatif untuk mengatasi hal ini, setiap kapal diharuskan untuk mengadakan "gas cleaning system" atau dapat dipergunakan teknologi lainnya yang dapat membatasi SOx emission. Zat-zat emisi yang dilarang tersebut termasuk halons dan chlorofluorocarbon (CFCs). Bagi kapal yang memakai instalasi baru ketentuan ini berlaku bagi semua kapal, namun bagi instalasi yang memakai hydro-chlofluorocarbons (HCFCs) diizinkan sampai 1 Januari 2020. Persyaratan ini disesuaikan dengan Protokol Motreal 1987, dan sudah diamandemen di London pada tahun 1990.
47
Pada saat ini (Agustus 2000) baru tiga negara yaitu Norwegia, Swedia, dan Singapora yang telah menandatangi protokol ini. Lihat "S'pore to Curb Pollution at Sea", The Straits Times (Singapore), (14 Agustus 2000). 48 "Cruise Ships to Blame", Heldreft Publications Environmental, (No. 8; Vol 42, 2000), h.1-2.
16 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Ketentuan ini juga membatasi emisi dari nitrogen oxides (NOx) dari mesin diesel. Juga dilarang untuk melakukan pembakaran terhadap seluruh produk, termasuk packaging materials and polychlorinated biphenyls (PCBs). VI. International Convention on Oil Pollution Preparedness, Respon and Cooperation, 1990. Didasarkan pada peristiwa "the Exxon Valdez spill", pada tahun 1989 Amerika Serikat memprakarsai suatu Konperensi internasional di Paris dengan suatu proposal "internasional emergency response for oil spill clean up".49 Kasus Exxon Valdez ini memperlihatkan belum adanya suatu ketentuan-ketentuan internasional yang dapat mengkoordinir masyakarat internasional dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut, terutama penanggulangan pencemaran lingkungan laut dalam skala luas. Dengan belum adanya koordinasi antar masyarakat internasional ini, untuk mengangkut perlengkapan logistik saja datang terlambat, sehingga tumpahan minyak menyebar lebih luas. Amerika Serikat sendiri sebagai negara besar pada waktu kejadian tersebut tidak siap untuk mengantisipasi bencana sedemikian besar itu, sehingga diperlukan usaha internasional dalam menanggulangi pencemaran. Akhirnya pada tahun 1990 masyarakat internasioal (dalam hal ini IMO) berhasil menyepakati "the Internatioal Convention on Oil Polution Preparedness, Respon and Cooperation, 1990 (OPRC). Konvensi ini diadopsi pada tanggal 30 November 199050 Ketentuan-ketentuan dalam OPRC diperuntukkan sebagai usaha pencegahan dan penanggulangan tumpahan minyak, terutama tumpahan minyak dalam skala besar. Konvensi ini dalam preamblenya menyebutkan bahwa "... in the event of an oil pollution incident, promt and effective action is essential in order to minimize the damage which may result from such an incident". Jika terjadi pencemaran minyak maka diperlukan tindakan yang segera dan efektif, hal ini dilakukan untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi sebagai akibat tumpahan minyak, termasuk tindakan yang dapat diperkenankan dalam sistem nasional suatu negara. Konvensi ini menyatakan bahwa "each Party shall establish a national system for responding promptly and effectively to oil pollution incident". Dengan demikian upaya menanggulangi tumpahan minyak agar dapat dlakukan dengan segera dan efektif, maka negara-negara dapat menetapkannya dengan suatu sistem nasional. Dalam hal upaya penanggulangan agar dapat lebih berhasil. Konvensi ini selanjutnya menyatakan bahwa, "... each party, within its capabilities either individually or through bilateral or multilateral co-operation and, as appropriate, in co-operation with the oil and shipping industries, port authorities and other relevant entities". Dengan demikian upaya penanggulangan tumpahan minyak dapat lebih berhasil guna, maka negara-negara baik secara individu, secara bilateral, atau multilateral dapat bekerjasama dengan industri perminyakan, industri perkapalan, pejabat pelabuhan, dan kesatuan/instansi yang relevan lainnya.
49
Marine Pollution Legislation, (06-06-2000),
17 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
VII. Penutup Konvensi-konvensi yang dikeluarkan IMO merupakan suatu "specific aspects" membicarakan kelautan dibandingkan dengan Konvensi Hukum laut 1982 yang lebih umum. Ketentuan-ketentuan internasional yang dikeluarkan IMO juga merupakan ketentuan-ketentuan yang penting dan ambisius dibanding ketentuanketentuan internasional lainnya yang mengatur aspek-aspek teknis pencemaran lingkungan laut, termasuk tentang operasional dan kecelakaan kapal yang menimbulkan pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA
Berliant, Adam, "Man-mad Killerof the Seas; Plastic Pollution in the Ocean", U.S. News & World Report Inc., Vol 103, 1987. Churchill RR.,and Lowe A.V, The Law Of the Sea, Great Britain: Manchester University Press, 1995. Cross, Michael, Hamer, Mick, "How to Seal a Supertanker, Improving Ship Design to Prevent Oil Spills", New Scientist, Vol. 133, No. 1812, March, 1992. Cruise Ships to Blame, Heldreft Publications Environmental, No. 8; Vol 42, 2000. Gold, Edgar, Gard Handbook on Marine Pollution, second edition, London: Assuranceforeningen Gard, 1997. Griffin, Andrew, "Marpol 73/78 and Vessel Pollution: a Glass Half Full or Half Empty ?", Indiana Journal of Global Legal Studies, 1994. IMO and Maritime Security; International Maritime Organization", Superintendent of Documents Department of State Bulletin, 1986. IMO-index
of convention, index.htm>.
(24-02-2000),
IMO: the Magazine of the International Maritime Organization", IMO News, Number.3, 1994. IMOs
Web Site-Summary of Status of Convention, .
(24-06-2000),
Kusumaatmadja, Mochtar, "IMCO dan Pembinaan Hukum Pelayaran Nasional", Majalah Padjadjaran, (Jilid VII, No. 1-2, Bandung: 1976). Librando, Gaetano, "Maritime Liability and Chemical Transport; International Maritime Organization Committee", Society of Chemical Industry (UK), Chemistry and Industry, (No. 19; 7 Oktober 1996).
18 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
London Marine
Convention 1972, (21-02-2001),
Marine Pollution, (26-06-2000), . Ports, Maritime & Logistics: Marine Pollution Prevention, (6-08-2000), . Prevention of Pollution by Oil, (16-05-2002), w.ssa.org.sg/archive/seminar %20 Paper/ 1 st % 20 shipping%2021/Richard%20loo.liability of asis.pdf. Smith, J.N., Bewers, J.M., "Radio nuclides in the Marine Environment-Uses and Concern", Canadian Chemical News, Vol 45, No. 9, 1993), h. 23. S'pore to Curb Pollution at Sea, The Straits Times (Singapore), 14 Agustus 2000. Wassermann, Ursula, "IMO: Prevention of Ocean Pollution", Journal of World Trade Law, January/February ; Vol.17, 1983. Wilayah Pesisir, http://www.pesisir.or.id/nasional/doc/10%20Bab%204.pdf.
19 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
20 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara