Suhaidi: Perkembangan Ketentuan tentang Perlindungan terhadap Lingkungan …
PERKEMBANGAN KETENTUAN TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN LAUT DARI PENCEMARAN DI INDONESIA Suhaidi Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: Sea pollution can damage the natural resources, either living or non-living. The implementation of national or international provisions showed improvements non-yuridically or yuridically. Indonesia’s non – Yuridis cally has already done research on sea geology or on potential of its natural resources, while yuridically after ratification, Indonesia has performed the international provisions. Kata kunci: Perlindungan, Lingkungan, Laut Lingkungan hidup Indonesia, termasuk yang terdapat di laut merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara. Dalam rangka mendayagunakan sumber kekayaan alam di laut diperlukan upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Sustainable development is the general principle that human development and used of natural resources must take plece in a sustainable manner (Sunkin, Ong & Wight, 1998). Struktur pulau-pulau Indonesia yang tersebar luas dalam jumlah lebih dari 13.000 buah pulau besar dan kecil, dengan garis pantai yang panjangnya sekitar 81.000 km memberikan ciri khas bagi lingkungan laut alaminya (Silalahi, 1992). Kasus-kasus pencemaran yang terjadi pada lingkungan laut, di samping merugikan negara pantai, sebenarnya juga membawa dampak yang positip bagi perkembangan ketentuanketentuan internasional dan nasional suatu negara. Tanpa adanya kasus Torrey Canyon, IMO belum tergugah untuk menetapkan konvensi-konvensi internasional tentang pencemaran lingkungan laut. Demikian pula dengan Inggris, dan Australia yang langsung merivisi ketentuan-ketentuan nasionalnya tentang pencemaran lingkungan laut. Canada's shipping act direvisi setelah peristiwa The Arrow, Perancis merevisi ketentuan nasionalnya setelah peristiwa Amoco Cadiz, Amerika Serikat memberikan reaksi yang tegas terhadap ketentuan-ketentuan nasionalnya setelah peristiwa Exxon Valdez. Australia juga memberikan reaksi tegas terhadap ketentuan nasionalnya setelah peristiwa The Kirki (Kriwoken, Hawvard, (ed). 1996). Ketentuan-ketentuan tentang perlindungan lingkungan laut dari pencemaran yang bersumber dari kapal, yang terjadi di Selat Malaka dengan melibatkan negara pantai, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga makin intensif dibicarakan setelah terjadi peristiwa Showa Maru (Hadiwiardjo, 1997). Secara umum perlindungan lingkungan laut dari pencemaran didasarkan pada kewajiban negara untuk melindungi lingkungan hidup Indonesia untuk dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. KETEN TUAN TEN TANG PERLINDUN GAN LINGKUNGAN LAU T DAR I PENCEMARAN D I IND ONES IA Penjabaran ketentuan tentang perlindungan lingkungan hidup tersirat dalam pasal 33 ayat (2) UUD 1945, selanjutnya dijabarkan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN mencatat bahwa terjadi perkembangan yang kontroversial di bidang arah kebijaksanaan di bidang hukum antara lain dilaksanakan dengan menegakkan hukum secara konsisten, melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, dan mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian. Tidak terkecuali upaya perlindungan lingkungan laut Indonesia. Lingkungan laut Indonesia merupakan modal dasar bagi pembangunan Indonesia. Umumnya ketentuanketentuan tentang perlindungan lingkungan laut Indonesia terkait dengan ketentuan yang mengatur tentang kelautan. Ketentuan tentang kelautan sebagian besar sudah mengacu pada Konvensi Hukum Laut 1982. Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari manapun sumbernya, namun peraturan perundangundangan tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang telah disetujui serta praktek-praktek dan prosedur-prosedur internasional yang dianjurkan. Di Amerika Serikat peraturan yang penting berkenaan dengan perlindungan lingkungan adalah "Federal Superfund Law" atau dikenal dengan nama "Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act (CERCLA) yang disahkan pada tahun 1980 (Rajagukguk, 1996). Di Indonesia UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia merupakan umbrella act bagi ketentuan-ketentuan nasional Indonesia tentang hukum laut yang sudah disesuaikan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Khusus dalam hal perlindungan terhadap lingkungan laut hal ini juga berhubungan dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Semua ketentuan-ketentuan tentang perlindungan lingkungan hidup harus selalu diiringi dengan fakta bahwa meningkatnya penggunaan lingkungan laut, baik sebagai sarana kegiatan ekonomi maupun tempat memperolah kekayaan alamnya, telah menimbulkan persoalan di bidang lingkungan laut (Sumardi, 38
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
1996). Perkembangan ketentuan-ketentuan tentang perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran di Indonesia dapat dilihat pada masa sebelum berlakunya UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan masa setelah berlakunya UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Hal ini dikarenakan UU No. 6 Tahun 1996 merupakan ketentuan yang mengatur tentang kelautan, UU No.6 Tahun 1996 juga sudah mengacu pada Konvensi Hukum Laut 1982. Masa Sebelum Berlakunya UU No. 6 Tahun 1996 Pengaturan tentang perairan Indonesia sebelum dikeluarkannya Deklarasi Juanda tanggal 13 Desember 1957, diatur di dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939. Pasal 1 ketentuan ini menunjukkan bahwa perairan yang berada di luar batas 3 mil laut dari setiap pulau Indonesia adalah perairan yang bebas untuk siapa saja, baik ruang udara, perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya. Juga sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketentuan demikian jelas tidak menguntungkan bagi usaha-usaha pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, juga tidak menguntungkan bagi kondisi usaha-usaha pembangunan nasional. Maka pada tanggal 13 Desember 1957 Indonesia mengumumkan apa yang dikenal dengan "Deklarasi Juanda 1957". Pengumuman ini merupakan konsepsi baru di bidang kelautan, yaitu konsepsi Negara Kepulauan sebagai Wawasan Nusantara yang menganggap seluruh perairan antar pulau Indonesia, berapapun lebar dan dalamnya, dinyatakan sebagai wilayah negara Republik Indonesia, dan karena itu berada di bawah kedaulatan Indonesia, termasuk ruang airnya, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan airnya, baik hayati maupun nabati (Ottawa, 2000). Kebijaksanaan Indonesia dengan mengeluarkan Deklarasi Juanda dicetuskan pada tahun 1957 ini mendapat kecaman dan protes keras dari masyarakat internasional, terutama dari negara-negara maritim yang menganggap kebijaksanaan Indonesia tersebut bertentangan dengan hukum internasional pada waktu itu. Namun demikian, demi kepentingan bangsanya, Indonesia tetap teguh mempertahankan kebijaksanaan tersebut. Lebih dari 300 tahun yang lalu sebenarnya masyarakat internasional telah mengakui adanya kedaulatan negara pantai atas perairan yang berada di dekat pantainya, disebut dengan laut teritorial. Seiring dengan ini, diterima pula adanya konsep hak lintas damai (the right of innocent passage) bagi lalu lintas kapal-kapal asing. Namun batasan sejauh mana laut teritorial dapat diklaim oleh suatu negara belum ada kesepakatan dari masyarakat internasional. Begitu pula dengan pengertian perairan kepulauan yang diklaim Indonesia (Gault, Ian, Djalal, 1998). Pengumuman pemerintah melalui Deklarasi Juanda pada tahun 1957 selanjutnya dikembangkan melalui UU No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia pada tanggal 18 Februari 1960. Pasal 1 ayat (1) UU No.4 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah, dan perairan pedalaman Indonesia. Laut wilayah merupakan bagian dari laut selebar 12 mil laut diukur dari garis-garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau Indonesia yang terluar, kecuali pada selat di mana Indonesia bukan merupakan satu-satunya negara tepi. Sedangkan pengertian perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam (darat) dari garis-garis pangkal. Selanjutnya UU No.4 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa lalu lintas damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kenderaan asing, disebut dengan hak lintas damai. Hak lintas damai ini selanjutnya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan kemudian keluar pada tanggal 25 Juli 1962, disebut dengan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Damai Kenderaan Asing dalam Perairan Indonesia. Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 selanjutnya menetapkan bahwa yang dimaksud dengan lalu lintas damai kenderaan asing dalam perairan Indonesia ialah pelayaran untuk maksud damai yang melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas damai dianjurkan untuk mengikuti alur-alur yang tercantum di dalam buku-buku kepanduan bahari dalam dunia pelayaran. Berhenti membuang jangkar dan/atau mondar-mandir, tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia atau di laut bebas yang berdekatan dengan perairan tersebut tidak termasuk pengertian lalu lintas damai. Lalu lintas dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian negara Republik Indonesia, Untuk menjaga kedaulatan dan keselamatan negara, presiden Republik Indonesia berhak melarang untuk sementara waktu lalu lintas laut damai di bagian-bagian tertentu dari perairan Indonesia. Pelarangan ini dilaksanakan setelah diadakan pengumuman terlebih dahulu. Kenderaan air penangkap ikan diharuskan menyimpan dalam keadaan terbungkus alat-alat penangkap ikan di dalam palkah-palkah, serta harus berlayar melalui alur-alur yang telah atau akan ditetapkan. Penyelidikan ilmiah oleh kenderaan asing di laut wilayah atau perairan pedalaman Indonesia hanya boleh dilakukan setelah mendapat ijin terlebih dahulu dari presiden Republik Indonesia. Kapal-kapal perang dan kapal pemerintah bukan kapal niaga asing sebelum mengadakan lalu lintas laut damai, harus memberitahukan lebih dahulu kepada menteri/kepala staf angkatan laut, kecuali jika lalu lintas itu melalui alur-alur yang telah atau akan ditetapkan oleh kepada menteri/kepala staf angkatan laut. Untuk kapal selam asing harus berlayar di permukaan air. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka pelayarannya dianggap tidak damai, dan diwajibkan untuk segera meninggalkan peraian Indonesia. Diadakannya Konferensi PBB III mengenai hukum laut dan pertemuan-pertemuan persiapan sebelumnya (1967-1982) telah memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memperjuangkan kembali konsepsi negara kepulauan dalam forum internasional. Setelah melalui perjuangan yang berat dan intensif selama 25 tahun (13 Desember 1957 – 10 Desember 1982) Konferensi Hukum Laut PBB III akhirnya menerima Konvensi Hukum Laut Internasional yang baru pada tanggal 10 Desember 1982. Konvensi tersebut antara lain mengakui konsepsi negara kepulauan/Wawasan Nusantara sebagai bagian yang integral 39
Suhaidi: Perkembangan Ketentuan tentang Perlindungan terhadap Lingkungan …
dari hukum laut internasional yang baru (Ottawa, 2000). Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan yang posisi geografisnya terletak pada posisi silang dunia, fungsi perlindungan lingkungan laut dari pencemaran akan lebih berat jika pengaturan hukum antar-rezim kelautan terhadap pencemaran belum jelas (Suhaidi, 2004). Misalnya UU No.1 Tahun 1971 tentang Landas Kontinen Indonesia masih berlaku, padahal UU ini masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 yang merupakan ketentuan lama sebelum Konvensi Hukum Laut 1982. Di dalam konsideran UU No.1 Tahun 1973 menyebutkan bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kedaulatan atas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia. Untuk melindungi instalasi-instalasi, kapal-kapal, dan/atau alat-alat lainnya yang terdapat pada daerah eksplorasi dan eksploitasi landas kontinen Indonesia terhadap gangguan pihak ketiga, pemerintah dapat menetapkan suatu daerah terlarang yang lebarnya tidak melebihi 500 meter, dihitung dari setiap titik terluar pada instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya. Bab V tentang Pencemaran, Pasal 8 UU No.1 Tahun 1973 menyebutkan bahwa barang siapa melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan penyelidikan ilmiah sumber-sumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya pencemaran air laut di landas kontinen Indonesia dan udara di atasnya serta mencegah meluasnya pencemaran dalam hal terjadi pencemaran. Selanjutnya Indonesia mengeluarkan UU No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Diundangkan pada tanggal 18 Oktober 1983 pada Lembaran Negara (LN) RI No.44 Tahun 1983. Tambahan Lembaran Negara (TLN) No.3260 dan mulai berlaku sejak tanggal 18 Oktober 1983. Dalam hal perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, UU No.5 Tahun 1983 menyebutkan bahwa barang siapa di ZEE Indonesia menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam, memikul tanggung jawab mutlak dan membayar rehabilitasi lingkungan laut dan/atau sumber daya alam tersebut dengan segera dan dalam jumlah yang memadai. Sedangkan bentuk, jenis, dan besarnya kerugian sebagai akibat terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam ditetapkan berdasarkan pada hasil penelitian ekologis. Dengan demikian UU No.5 Tahun 1983 telah memperlakukan prinsip strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam pengaturannya. Selanjutnya disebutkan bahwa, dikecualikan dari tanggung jawab mutlak, jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam tersebut terjadi karena (1) akibat dari suatu peristiwa alam yang berada di luar kemampuannya dan kerusakan yang seluruhnya atau sebagian, disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian pihak ketiga. Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hayati di ZEE Indonesia merupakan peraturan pelaksana dari UU No.5 Tahun 1983. Di dalam Peraturan Pemerintah ini ditegaskan bahwa untuk melestarikan sumber daya alam hayati, dilarang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia dengan menggunakan bahan peledak, racun, listrik, dan bahan atau alat lainnya yang berbahaya. Pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan UU No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan, diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985 melalui LN RI No.46 Tahun 1985, TLN No. 3299. UU ini merumuskan bahwa, setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan dan/atau alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Juga setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang mengkibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, mulai berlaku sejak tanggal 17 September 1994. UU ini diberlakukan bagi pelayaran di perairan Indonesia dan bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia. Sehubungan dengan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan laut, UU ini menyebutkan bahwa, setiap nakhoda atau pemimpin kapal wajib menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kapalnya. Jika terjadi pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kapalnya, maka nakhoda atau pemimpin kapal wajib segera melaporkanya kepada pejabat pemerintah yang berwenang terdekat atau instansi yang berwenang menangani penanggulangan pencemaran laut. Pejabat pemerintah yang berwenang segera meneruskan laporan sebagaimana dimaksud kepada instansi yang berwenang menangani penanggulangan pencemaran laut di pelabuhan untuk penanganan lebih lanjut. Dalam hal pertanggungjawaban jika terjadi musibah pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapalnya, maka pemilik atau operator kapal yang bertanggung jawab. Untuk memenuhi tanggung jawab ini pemilik kapal atau operator kapal wajib mengasuransikan resiko yang timbul dari tanggung jawab tersebut. Pengertian tanggung jawab pemilik kapal atau operator kapal adalah tanggung jawab terhadap aspek perdata seperti penggantian kerugian atas kerusakan yang timbul akibat terjadinya pencemaran yang disebabkan oleh kapalnya, baik kerugian langsung maupun kerugian tidak langsung. Sedangkan pembebanan tanggung jawab tergantung pada perjanjian yang diadakan antara pemilik kapal dengan operator kapal. Pengertian tanggung jawab pemilik kapal atau operator kapal adalah tanggung jawab terhadap aspek perdata, seperti penggantian kerugian atas kerusakan yang timbul akibat terjadinya pencemaran yang disebabkan oleh kapalnya, baik kerugian langsung, maupun kerugian tidak langsung. Sedangkan pembebanan tanggung jawab tergantung pada perjanjian yang diadakan antara pemilik kapal dengan operator kapal. Masa Setelah Berlaku UU No. 6 Tahun 1996 Pada tanggal 8 Agustus 1996, Indonesia mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. UU ini merupakan tindak lanjut dari perjuangan Indonesia yang berhasil memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi PBB III tentang Hukum Laut. Dengan demikian UU No.6 Tahun 1996 merupakan bagian dari implementasi ketentuan yang terdapat pada Konvensi Hukum Laut 1982. Pengaturan hukum negara kepulauan yang 40
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
ditetapkan dalam UU No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan. Dengan berlakunya UU No.6 Tahun 1996, maka UU No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LN Tahun 1960 Nomor 22, TLN No.1942) dinyatakan tidak berlaku lagi. UU No.6 Tahun 1996 memiliki sifat "umbrella act", oleh karena itu UU ini akan memayungi peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kelautan. Adapun wilayah perairan laut Indonesia mencakup laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman, yang dimaksud dengan laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Sedangkan perairan kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Sehubungan dengan perlindungan lingkungan laut, UU ini menyebutkan bahwa, pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian fungsi lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional. Dalam masalah administrasi, yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian fungsi lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan seperti yang termaktub dalam UU No.6 Tahun 1996 menunjukkan kepekaan Indonesia dalam mengantisipasi perkembangan dari hukum Internasional yang cukup berpengaruh bagi pembentukan hukum nasional Indonesia. Dengan demikian menjadi kajian selanjutnya bagi Indonesia untuk dapat meratifikasi ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat melindungi lingkungan laut Indonesia dari ancaman pencemaran setelah melakukan pemagaran pada batas kelautannya. Berkenaan dengan keluarnya UU No.6 Tahun 1996, terdapat beberapa permasalahan yang harus diantisipasi oleh Indonesia, misalnya pasal 25 ayat (1) menyatakan bahwa selama Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka pada undang-undang ini dilampirkan peta ilustratif dengan skala atau skala-skala yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis-garis pangkal kepulauan Indonesia. Selanjutnya pasal 25 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan pelaksana undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Dengan melampirkan peta ilustratif sebagai alternatif landasan hukum dalam mengatur perairan Indonesia menunjukkan adanya ketidakpastian isi dari suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan jika terjadi permasalahan yang berhubungan dengan perlindungan bagi perairan Indonesia, sebagai dasar hukum bagi kewilayahan, Indonesia tidak dapat menunjuk batas-batas seperti yang tertera pada peta ilustratif tersebut, karena peta tersebut bukanlah peta yang sesungguhnya sampai ditetapkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan bunyi Pasal 25 UU No.6 Tahun 1996. Permasalahan lainnya berkenaan dengan keluarnya UU No.6 Tahun 1996 adalah tentang status ketentuan nasional lainnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa UU No.6 Tahun 1996, padahal ketentuan tersebut belum secara tegas dicabut, misalnya UU No.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Pembentukan UU No.1 Tahun 1973 ini dilandasi oleh Konvensi Jenewa 1958. Sedangkan bunyi Konvensi Jenewa 1958 sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan yang terdapat pada Konvensi Hukum Laut 1982, misalnya dalam hal batasan dari landas kontinen, penetapan garis batas landas kontinen, dan lain sebagainya. Ketidakpastian tentang status landas kontinen ini dapat diantisipasi dengan mengemukakan teori "Lex Posteriori Derogat Lex Priori", yang mana teori ini menyebutkan bahwa jika terdapat dua ketentuan yang mengatur hal yang sama, maka yang akan berlaku adalah ketentuan yang datang belakangan. Berdasarkan ketentuan ini, maka UU No.17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 yang dapat diberlakukan dalam mengatur tentang landas kontinen Indonesia. PERKEMBANGAN KETENTUAN TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN LAUT MENURUT UU NO.23 TAHUN 1997 Indonesia secara berkesinambungan memandang perlu dilaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pada tanggal 19 Desember 1997 mulai diberlakukan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 No.68 dan Tambahan Lembaran Negara No.3699), untuk selanjutnya disebut dengan UUPLH. Dengan berlakunya UUPLH, maka Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1982) dinyatakan tidak berlaku lagi. UUPLH merupakan penyempurnaan dari UULH 1982, hal ini dilakukan agar lebih tercapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup yang merupakan kepentingan rakyat, sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat yang dapat disalurkan melalui orang-perorangan, organisasi lingkungan hidup seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok masyarakat lainnya, dan lain-lain. Sifat UUPLH mengatur tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup, sehingga berfungsi sebagai "payung" (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada (Hardjasoemantri, 1995). Adapun ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memakai Wawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya. Ruang lingkup lingkungan 41
Suhaidi: Perkembangan Ketentuan tentang Perlindungan terhadap Lingkungan …
hidup Indonesia termasuk pula lingkungan laut Indonesia yang berada pada perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan landas kontinen Indonesia. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan berdasarkan asas tanggung jawab negara, maka negara harus dapat menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup bangsa, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian negara harus dapat mencegah setiap usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi Indonesia, baik yang datang dari dalam wilayah negara maupun yang datang dari luar wilayah negara Indonesia. Selanjutnya pasal 6 UUPLH menyatakan bahwa "Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup". Selanjutnya pasal 35 UUPLH mengisyaratkan dapat diterapkannya asas tanggung jawab mutlak (strict liability) atas kerugian yang ditimbulkan, yaitu kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, prinsip ini dapat diterapkan jika (1) usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, (2) yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan (3) menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. Namun prinsip tanggung jawab mutlak ini tidak dapat diterapkan jika penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh (1) adanya bencana alam atau peperangan atau (2) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau (3) adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Semua ketentuan yang tercantum dalam UUPLH merupakan upaya bagi pengelolaan lingkungan hidup dan dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti yang diamanatkan UUD 1945 (Hardjasoemantri, 1999). Pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan makhluk hidup lainnya. Dengan meningkatnya kegiatan dan pemanfaatan laut beserta sumber daya alamnya, dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut yang akhirnya dapat menurunkan mutu serta fungsi laut. Dengan demikian oleh Indonesia dipandang perlu untuk mengeluarkan suatu bentuk peraturan pemerintah, yang disebut dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 mulai berlaku sejak tanggal 27 Februari 1999. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran/kerusakan laut. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran/kerusakan laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 juga mengisyaratkan bahwa setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak hanya wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan, namun wajib pula melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya, melakukan pemulihan mutu laut. Selain ketentuan Nasional yang mengatur dalam hubungannya dengan lingkungan laut, Indonesia yang wilayah perairannya lebih luas dari wilayah darat, juga dengan kondisi lingkungan lautnya yang kaya dengan sumber kekayaan alam cukup banyak meratifikasi ketentuan internasional, di antaranya adalah (a) UU No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan the United Nations Convention on the Law of the Sea, (b) Keputusan Presiden No.18 Tahun 1978 tentang Pengesahan CLC 1969, (c) Keputusan Presiden No.19 Tahun 1978 tentang Pengesahan Fund Convention 1971, (d) Keputusan Presiden No.46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973, beserta Protokol (the Protokol of 1978 Relating to the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973), dan (e) Keputusan Presiden No.52 Tahun 1999 tentang Pengesahan Protocol of 1992 to Amend the International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 1969. Dengan ratifikasi maka Indonesia telah mengikatkan diri dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan atau menyerap ketentuan-ketentuan internasional ke dalam ketentuan-ketentuan nasional. Dengan demikian merupakan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvensi internasional yang telah diratifikasi tersebut. Perkembangan terbaru dari proses ratifikasi ketentuan-ketentuan tentang perlindungan lingkungan laut di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No.41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keppres No.19 Tahun 1978. Adapun pertimbangan pemerintah untuk mencabut Keppres No.18 Tahun 1978 antara lain bahwa keanggotaan Indonesia atas Fund Convention 1971 dengan adanya kontribusi yang dikenakan bagi negara peserta, dirasa memberatkan anggaran negara. Alasan lainnya adalah keanggotaan Indonesia atas CLC 1969 dirasa sudah cukup untuk menyediakan jaminan ganti rugi. Sebenarnya dengan kondisi lingkungan laut sebagai modal dasar bagi pembangunan Indonesia, pencabutan Keppres No.19 Tahun 1978 ini dapat menjadi bumerang bagi Indonesia jika suatu saat nanti terjadi bencana besar sebagai akibat dari pencemaran lingkungan laut. Alasan keberatan bagi pencabutan Keppres No.19 Tahun 1978 antara lain (1) lingkungan laut Indonesia sebagai modal dasar bagi pembangunan perekonomian Indonesia, (2) posisi geografis Indonesia yang unik mempunyai perbandingan wilayah laut lebih luas daripada daratannya, (3) Indonesia berada pada posisi silang dunia, dan (4) terdapatnya hak pelayaran internasional melalui perairan Indonesia. 42
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
KESIMPULAN Indonesia sebagai negara kepulauan dengan letaknya yang strategis, memiliki perairan laut lebih luas dari pada daratnya, pada perairan tersebut terdapat lingkungan laut Indonesia. Lingkungan laut Indonesia merupakan modal dasar bagi pembangunan, kaya akan sumber kekayaan laut, baik hayati maupun non-hayati, oleh karena itu sangat perlu untuk melindunginya. Perkembangan ketentuan tentang perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran di Indonesia belum terpadu, masih terdapat ketentuan yang belum selaras dengan ketentuan yang lain sehingga menyulitkan dalam implementasinya. SARAN Dalam mengimplementasikan suatu ketentuan-ketentuan internasional ada faktor-faktor yang harus diperhitungkan. Di samping terdapatnya perbedaan interpretasi atas pasal-pasal tertentu, juga disebabkan masih kurangnya informasi yang menyangkut kelembagaan, biologi, serta ekonomi perikanan. Dengan demikian diperlukan upaya yang serius baik dari segi yuridis dan non-yuridis dalam rangka pembinaan hukum nasional yang mengarah pada perlindungan lingkungan laut Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Buletin Informasi Hukum dan Advokasi Lingkungan. 2000. ICEL, No. 03-Tahun VI, April. Jakarta. Diraputra, Suparman A. 1992. “Perumusan Kembali Rezim Hukum Perikanan Samudera dalam Rangka Pengimplementasian Konvensi Hukum Laut Ketiga: Prospek bagi Indonesia", Majalah Padjadjaran, No. 1-2, Jilid XX. Bandung Gault, Townsend, Ian, Djalal, Hasjim. 1998. “Law for the Ocean”, UNESCO (France) UNESCO Courier. Hadiwiardjo, Bambang H. 1997. ISO 14001 Panduan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hardjasoemantri, Koesnadi. 1999. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. KBRI-Ottawa,(05-12-2000),
. Kriwoken, Lorn K., Hawvard, Marcus (ed). 1996. Oceans Law and Policy in the Post-Unced Era: Australian and Canadian Perspectives, Kluwer Law International Rajagukguk, Erman. 1996. "Perlindungan Lingkungan Hidup Dari Sudut Kepentingan Bisnis.", Seminar Nasional Hukum Lingkungan, Kantor Menteri LH-Bapeda . Jakarta. Silalahi, M. Daud. 1992. Pengaturan Hukum Lingkungan Lut Indonesia dan Implikasinya Secara Regional. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Suhaidi. 2004. Perlindungan terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang Bersumber dari Kapal. Pustaka Bangsa Press. Jakarta. Sumardi, Juajir. 1996. Hukum Pencemaran Laut Transnasional, PT Citra Aditya Bakti. Jakarta. Sunkin, Maurice, Ong, David M & Wight, Robert. 1998. Sourcebook on Environmental Law, Cavendish Publishing Limited. Great Britain.
43