11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Oksidasi Biologik Bahan Organik Bahan organik yang terdapat di perairan bersumber dari alanl atau air buangan, baik buangan domestik maupun buangan industri. Menurut Mason (1981), zat percemar organik secara umum terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak.
Komponen bahan organik merupakan komponen utama dalam air buangan
yaitu sekitar 70% dan sisanya komponen anorganik 30% (Cairncross dan Feachem, 1983). Terdapatnya bahan organik dalam jumlah yang banyak di perairan akan menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kualitas air. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dan melibatkan mikroba baik melalui sisteln oksidasi aerobik maupun anaerobik.
Oksidasi aerobik dapat menyebabkan turunnya kan-
dungan oksigen terlarut perairan sampai mencapai nol, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan. Pengukuran potensial pencemaran bahan organik dari suatu limbah cair sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut merupakan konsepsi yang logis dan masuk akal, sehingga banyak digunakan sebagai suatu pendekatan untuk menduga kekuatan dari suatu limbah (Gaudy, 1972). Mara (1978) menyatakan bahwa kekuatan limbah atau tingkat pencemaran dapat dinilai berdasarkan kandungan BOD nya, seperti dinyatakan dalam n b e l 1.
Tabel 1. Kekuatan Limbah Berdasarkan Nilai BOD, Penggolongan Kekuatan Limbah Lemah Sedang Kuat Sangat kuat
Nilai BOD5 (mg 02/1)
-<
200 350 500 2 750
Adanya oksigen rnenyebabkan proses oksidasi aerobik dapat berlangsung, bahan organik akan diubah menjadi produk-produk akhir yang relatif stabil dan sisanya akan disintesis menjadi mikroba baru. Secara umum reaksi oksidasi senyawa organik dapat diikuti pada persamaan 2.1.
Bahan Organik
+
mikroba
> C02
O2
I
+
H20
+
Energi..
.( 2 . 1 )
I Sel-sel > baru
sel-sel baru
cahaya
C
t
+
bakteri bahan organik
Ganibar 1.
4
sel-sel baru
Oksidasi Bahan Organik di Alam (Mara, D.D, 1978).
Pada Gambar 1, oksidasi berlangsung sebagai bagian dari rantai makanan di alam. Sebagian bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan un tuk mensintesis sel mikroba seperti lipida, karbohidrat, protein dan asam nukleat. Dalatn proses oksidasi, mikroba membutuhkan zat-zat nutrisi untuk sintesis ko~iiponensel dan merighasilkan energi.
Untuk menghasilkan ATP sebagai sumber
energi dibutuhkan karbohidrat dan atau protein. tuhkan faktor pertumbuhan lainnya.
Selain i t u niikroba juga membu-
Menurut Gunawan g t &. (1982), komposisi kimia sel mikroba dapat dijadikan petunjuk kebutuhan mikroba akan zat nutrisi. Unsur C, 0 , H , N, P, dan S menyusun sekitar 96% dari berat kering sel. Dari unsur-unsur tersebut, unsur C (karbon) merupakan penyusun utama yaitu sekitar 50% dari berat kering sel. Unsur C sebagai penyusun utama sel erat kaitannya dengan analisis BOD yang hanya
mendasarkan oksidasi pada bahan berkarbon (carbonaceous matter). Lynch dan Poole (1979) serta banyak penulis lainnya ~nenyatakanbahwa analisis BOD didasarkan pada sistem tertutup dan karbon sebagai zat nutrisi pembatas. Selama waktu inkubasi dalam botol BOD terjadi pengurangan bahan organik berkarbon dan penggunaan oksigen untuk pertumbuhan mikroba. Hampir semua organisme memperoleh karbonnya zat nutrisi organik. Selain untuk memenuhi keperluan biosintetik akan karbon, substrat organik juga digunakan sebagai energi untuk sel. Sebagian besar dari karbon yang terdapat pada substrat organik akan n~emasukilintasan metabolisme yang menghasilkan energi dan akhirnya dikeluarkan lagi dari sel sebagai CO,- atau sebagai campuran CO,- dan senyawa organik pada metobolisme fermentasi.
Dengan demikian substrat organik
mempunyai peran gizi yang lengkap dan pada waktu yang bersamaan berguna sebagai sumber karbon dan sebagai sumber energi. Banyak rnikroba dapat menggunakan senyawa organik tungggal untuk memenuhi keperluan dua zat gizi tersebut (Gunawan a d.,1982). Dalam analisis BOD, pada langkah pertama mikroba menggunakan bahan organik yang ada dalam contoh sebagai sumber karbon dan energinya. Akibatnya konsentrasi bahan organik berkurang dan biomassa mikroba akan meningkat. Pada dasarnya perubahan jumlah organisme mengikuti suatu pola yang tetap, yaitu pada awal tahapan pertumbuhan makanan dan nutrisi berlebihan. kenaikan jumlah ~nikrobamengikuti kecepatan eksponensial. Selanjutnya pada keadaan
konsentrasi makanan dan zat nutrisi menjadi pembatas, pertumbuhan mikroba juga menjadi terhambat. Pada tahapan akhir saat semua makanan telah dikonsumsi, pertumbuhan akan terhenti, mikroba ban yak yang mati, sehingga jumlahnya berkurang drastis.
Bahan organik yang berasal dari sel-sel mikroba yang mati dapat lagi digu-
nakan oleh organisme sisa secara auto-oksidasi atau respirasi endogen (persamaan 2.2.).
Sel-sel mati
+
mikroba O2
> C02
+
H20
+
Energi . . . (2.2)
Pada umumnya pertumbuhan mikroba di alarn mengikuti tahapan-tahapan meliputi fase adaptasi, fase logaritmik, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan statis, fase menuju kematian, dan fase kematian. Fase logaritmik rnerupakan fase mikroba membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik. Ukuran biomassa sel meningkat secara eksponensial atau logaritmik. Model kinetika pertumbuhan pada fase ini mengikuti orde pertama dan oleh beberapa ahli diakui sebagai hukum pertumbuhan Malthus (Gaudy dan Gaudy, 1980). Dengan rnakin berkurangnya zat-zat nutrisi di dalam medium dan adanya hasil-hasil metabolisme yang bersifat racun akan menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga pertumbuhan menuju ke fase stasioner dan akhirnya ke fase kematian. Pertumbuhan mikroba yang terjadi di alarn diasumsikan juga terjadi dalani botol BOD pada analisis BOD. Dalam botol BOD harus diusahakan terpenuhinya kondisi pertumbuhan yang optimum, sehingga diharapkan terjadi fase pertumbuhan logaritmik. Keadaan ini agar sesuai dengan kinetika BOD yang mengikuti kinetika orde pertama. Di dalani analisis BOD, bakteri akan mengoksidasi senyawa organik dan setelah inkubasi 20 hari senyawa organik tersebut dianggap telah habis.
Pada
keadaan ini BOD mencapai puncaknya dan jumlah bakteri berkurang drastis karena mati. Menurut Metcalf dan Eddy (1978) oksidasi biokimia senyawa organi k merupakan proses yang lambat dan secara teori memerlukan waktu yang relatif tidak terbatas untuk oksidasi lengkap. Dalam periode waktu 20 hari inkubasi, oksidasi senyawa organik mencapai sekitar 95 - 99% sedangkan dalam periode 5 hari oksidasi hanya sekitar 60 - 70 % . Biasanya oksidasi tidak akan sempurna dalam waktu 5 hari, seperti limbah domestik hanya dioksidasi sekitar 65% dalam periode waktu 5 hari (Tebbut, 1977). Alaerts dan Santika (1987) menyatakan bahwa proses oksidasi dalam 2 hari mencapai 50 % , dalam 5 hari 75 % dan dalam 20 hari proses oksidasi dianggap mencapai
100%.
2.2. Pengaruh Suhu Terhadap Oksidasi Biologik Bahan Organik dan Kelarutan Oksigen di Perairan 2.2.1. Pengaruh Suhu Terhadap Oksidasi Biologik Bahan Organik
Reaksi oksidasi bahan organik dipengaruhi oleh suhu. Suhu berpengaruh pada sistem biologi melalui dua cara. Pertama, pengaruhnya terhadap kecepatan reaksi-reaksi yang dikatalisis secara enzimatik. Kedua, pengaruhnya pada kecepatan difusi substrat ke sel. Laju reaksi yang dikatalisis enzim sebagaimana kebanyakan reaksi kimia lainnya akan meningkat dengan naiknya suhu. Pada reaksi enzim, molekul-molekul mempunyai energi aktivasi (E) tertentu sebelum dapat bereaksi.
Fungsi enzirn
sebagai katalis adalah menurunkan energi aktivasi reaksi tersebut, sehingga reaksi dapat berlangsung dengan lebih cepat.
Dari persanlaan Arrhenius dan teori laju
reaksi absolut dapat diringkas bahwa energi aktivasi E = H
+ RT,
H adalah kalor
aktivasi atau entalpi reaksi; R = konstanta gas; T = suhu mutlak (Nur dan Adijuwana, 1988). Menurut Grady dan Lim (1980) ada dua persalnaan yang umumnya digunakan untuk mengkuantitatifkan pengaruh suhu terhadap operasi-operasi biokimia, yaitu: (a) Arrhenius pada tahun 1889 menyatakan bahwa pengaruh suhu terhadap hidrolisis enzimatik mengikuti persamaan : k = A exp
{
-Ea/ (RT) )
. . . . . . . . . . . . . (2.3)
Atau: ln (k) =
k A Ea R T
= = = = =
-
Ea
1
R
T
- (-1
+
In ( A )
. . . . . . .
(2.4)
koefisien kecepatan reaksi konstanta energi aktivasi konstanta gas suhu absolut Pada kisaran suhu terbatas di bawah optimum, perubahan laju pertu~nbuhan
bakteri sebanding dengan respon laju terhadap suhu. Bila logaritma laju pertumbuhan digambar pada kurva terhadap kebalikan suhu mutlak (kurva Arrhenius), maka diperoleh kurva linier di dalam kisaran terbatas. Oleh karenanya bagi sebagian besar bakteri , koefisien suhu (Q,,) untuk laju perturnbuhan di dalam kisaran yang terbatas ini adalah sekitar dua, artinya laju pertumbuhan menjadi dua kali lipat dengan bertambahnya suhu 1OoC. Kecepatan reaksi (K) dipengaruhi langsung oleh suhu dengan demikian nilai
BOD juga dipengaruhi karena oksidasi senyawa organik meningkat dengan ningkatnya suhu.
me-
Hubungan suhu (T) dan kecepatan reaksi (K) ditunjukkan oleh
persamaan gabungan Van't Hoff-Arrhenius (Eckenfelder, 1970; Sawyer dan Mc
Carty, 1978) sebagai berikut :
8 = Koefisien suhu T = Suhu (OC)
Untuk air tercemar nilai K (dasar 10, 20°C) adalah 0.10lhari. Nilai BOD sangat bervariasi dan
dipengaruhi oleh kecepatan reaksi. Nilai BOD, sekitar 68%
dari total BOD apabila K = 0.10 dan sekitar 95% apabila K = 0.25lhari (Eckenfelder, 1970 dan Hammer, 1977). 2.2.2. Pengaruh Suhu Terhadap Kelarutan Oksigen Kelarutan gas-gas dalam cairan dipengaruhi oleh suhu, dimana kelarutan tersebut semakin menurun dengan kenaikan suhu. Pengaruh ini dirumuskan dalam persamaan Clausius-Claperon (Saeni, 1989) melalui persamaan :
C2
log-
C1
=
AH 2.303.
[G & ] -
. . . . . . . . . .
(2.6)
C = Konsentrasi gas T = Suhu mutlak ("K) A H = Kalor larutan dalam kallmol. R = Konstanta gas (1.987 kal. K-' .mol-')
Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, tekanan parsial oksigen dalam atmosfir dan kandungan garam dalam air. Kelarutan oksigen tersebut dapat dihitung berdasarkan Hukum Henry yang menyatakan bahwa kelarutan suatu gas dalam suatu cairan adalah sebanding dengan tekanan parsial gas yang kontak dengan cairan itu, yang dinyatakan dalatn bentuk persamaan :
X (aq)
=
K
PX
............
(2.7)
X (aq) adalah kelarutan gas dalam air K adalah konstanta suatu gas pada suhu tertentu P, adalah tekanan parsial gas
Kelarutan oksigen dalam perairan pada suhu tertentu telah dihitung oleh t d, 1971. Sawyer dan Mc Carty, 1978; Mc Caull dan Crossland, 1974; dan Clark g
Kelarutan oksigen pada suhu 20°C (standar suhu inkubasi dalam analisis BOD) adalah 9.2 mg 0,/1, sedangkan kelarutan oksigen pada suhu 30°C (suhu rata-rata 1. daerah tropis) adalah 7.6 mg 0,/
2.3. Konsepsi dan Kinetika BOD 2.3.1. Konsepsi BOD Konsepsi BOD didasarkan pada suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia aku mikrobiologik yang benar-benar terjadi di alatn (di air), sehingga uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologi oksidasi senyawa organik oleh mikroba perairan secara alamiah. Dalam botol BOD yang merupakan tempat pertumbuhan mikroba, pada dasarnya dianggap sumber karbon yang menjadi faktor pembatas zat nutrisi dan bukannya oksigen atau zat hara lainnya. Terpenuhinya kondisi pertumbuhan yang optimum merupakan ha1 yang penting, sehingga diharapkan suatu fase pertumbuhan logaritmik akan terjadi dan akan menghasilkan fase serapan oksigen yang logarittnik pula. Kecepatan konsumsi oksigen adalah proporsional dengan ju~nlahbahati organik yang dapat dioksidasi. Selama periode inkubasi, kecepatan konsutnsi oksigen akan menurun. Oleh karenanya kinetika respirasi i n i sedetnikian rupa, sehingga feno~nenaprosesnya didekati dengan kinetika laju reaksi menur\it orde
pertama.
2.3.2. Kinetika BOD Kinetika BOD didasarkan pada studi-studi yang telah dilakukan oleh Streeter dan Phelps pada tahun 1925 serta Theriault pada tahun 1927. Oksidasi biokimia bahan organik sebanding dengan konsentrasi zat yang tersisa yang lnasih beluln teroksidasi, yang diukur dalam bentuk "daya oksidasi". Secara umum didasarkan pada persamaan monomolekuler. Persamaan ini menggambarkan bahwa proses atau reaksi oksidasi didasarkan pada reaksi kimia orde perta~nasederhana dan tidak bolak-balik. Dengan asumsi bahwa kuantitas penguraian bahan organik adalah konstan dan tidak dipengaruhi oleh bahan organik, kecepatan penguraian sebanding dengan bahan organik yang ada, penguraian tidak bolak-balik (France dan Thornley, 1984). Jika L (mgll) menyatakan BOD pada waktu t (hari) dan K merupakan konstanta kecepatan reaksi (hari-I), maka model matematikanya berupa persamaan diferensial:
Apabila Lo menyatakan BOD pada waktu t = 0, maka penyelesaiannya persamaan diferensial tersebut ialah:
Dalatn ha1 ini juga Lo menunjukkan total oksigen ekuivalen dari bahan organik pada wakti~0, sedangkan L(t) jumlah oksigen ekuivalen sisa pada waktu t. Selisih antara nilai Lo dan L(t) adalah oksigen ekuivalen yang dikonsumsi atau BOD yang digunakan pada waktu t, dilambangkan sebagai Y(t) dan dapat dirumuskan sebagai : Yt = Lo (1 - e-K')
... .... ... . ...... . .
(2 9)
Dalam ha1 ini BOD total atau BOD akhir mendekati nilai Lo. Kurva L(t) dan Y(t) digambarkan serempak pada Gambar 2.
tL
0
Waktu (t), hari
Gambar 2. Formulasi kurva BOD atau Hubungan BOD dan oksi en ekuivalen Peavy, Rowe dan Tchobanoglous, 1986; Metcal dan Eddy,
&
197 ).
B
Kedua kurva berpotongan pada saat t = t*. Dalam ha1 ini Y(t*) atau Lo - L(t*) = L(t*), sehingga L(t*) = 112 Lo. Hal ini berarti jumlah oksigen ekuivalen sisa pada saat t =t* adalah separuh dari total oksigen ekivalen awal. 2.4. Metode Penentuan K (Konstanta Laju Oksidasi) dan L (BOD Akhir) Nilai K dan Lo dapat diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil terhadap persamaan diferensial yang solusinya adalah persamaan 2.10. Persa~naan diferensial tersebut adalah: Y'(t) = dyldt = K (Lo - Y) .................................................... (2.10) Karena Y1(t) merupakan laju perubahan Y dan berperan sebagai kemiringa~igaris
16
singgung terhadap kurva pada persamaan 2.10, maka metode ini disebut metode " kemiringan" (Thomas, 1937).
Dari persamaan diferensial 2.10 tampak bahwa hubungan antara Y ' dan Y bersifat linier dengan KLo berfungsi sebagai intersep dan -K berfungsi sebagai kemiringan, selanjutnya dengan memisalkan KLo = a dan b = -K, maka persamaan diferensial 2.10 dapat ditulis sebagai: Y'(t) = a
+ bY
Apabila dapat diperoleh n pasangan data berbentuk (Y ', Y), yaitu ( Y o , ,Y ,), (Y12,Y2)..........., (YenYn)maka metode kuadrat terkecil dapat menghasilkan nilai dugaan bagi a dan b dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat n galat berbentuk: g,' = a
+ by, - Y',, i =
1, 2, 3 .
.. .n
Dengan menggunakan kalkulus differensial ternyata C gi2 minimum jika a dan b memenuhi persamaan normal di bawah ini: na+ bCYi-CYil=O a C Yi
+bC~
dan
i -' C YYi' = 0
Setelah a dan b dihitung dari persamaan normal ini, maka K dan Lo diperoleh dari hubungan K = -b dan Lo = Kla
2.5. Konsep Pencemaran Bahan Organik dan Pendugaannya Air merupakan sumberdaya multiguna dan manfaatnya akan hilang atau berkurang kalau taraf oksigen terlarut yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan ekologis dalam perairan tidak dapat dipertahankan. Bahan organik yang ada di perairan akan dirombak oleh mikroba dengan menggunakan oksigen terlarut. Penggunaan ini dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen perairan sampai mencapai tingkat terendah, sehingga dikatakan telah terjadi pencemaran. Konsepsi u n t u k mengukur potensi pencemaran dari suatu limbah yang mengandung sumber karbon organik yang tersedia bagi mikroba adalah dengan cara
17
mengukur banyaknya oksigen yang digunakan selama pertumbuhan organisme pada contoh air limbah. Ini berarti inti masalah pencemaran bahan organik berhubungan
dengan ban yaknya oksigen yang diperlukan untuk reaksi metabolisme
mikroba yang terjadi sebagai akibat dari masuknya bahan organik ke dalam badan air. Pengukuran potensi pencemaran dari suatu limbah cair sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut dalam air, adalah konsepsi yang logis dan masuk akal. Dalam skala luas merupakan suatu pendekatan untuk lnenduga kekuatan dari suatu limbah (Gaudy, 1972). Kandungan oksigen yang digunakan secara biokimia maupun secara kirnia dapat digunakan untuk menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalarn suatu perairan melalui pengukuran BOD dan COD.
2.5.1. BOD (Biochemical Oxygen Demand) BOD memberikan gambaran seberapa banyak oksigen yang telah digunakan oleh aktivitas mikroba selama kurun waktu yang ditentukan. Analisis BOD adalah suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia atau mikrobiologis yang benar-benar terjadi di alam atau perairan, sehingga uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologis yaitu oksidasi senyawa organik yang terjadi di perairan secara dami. Indikator pencemaran organik BOD didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba sehubungan dengan penggunaan dan stabilisasi bahan organik yang terdapat di dalam limbah. Saat ini BOD rnerupakan jurnlah oksigen yang diperlukan, setelah contoh air diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C. Reaksi dalarn botol BOD dalam analisis BOD diasumsikan sama dengan sernua reaksi aerobik dan terjadi dalam dua tahap yang terpisah. Mula-mula bahan organik yang terdapat dalam limbah cair digunakan oleh mikroba untuk energi dan
18
pertumbuhan.
Bila bahan organik yang semula terdapat dalam limbah cair atau air
buangan dipisahkan, organisme yang ada terus menggunakan oksigen t~ntukautooksidasi atau metabolisme endogen dari masa seluler. Jika massa seluler habis teroksidasi, hanya residu seluler yang tidak dapat diurai yang tertinggal dan reaksi berakhir. Oksidasi massa sel total akan berlangsung lebih dari 20 hari.
Dalam prosedur baku penentuan BOD hanya didasarkan
pada oksidasi bahan organik berkarbon. Untuk menentukan BOD dilakukan dengan cara contoh limbah dimasukkan ke dalam botol kedap udara (botol BOD) diinkubasi dengan kondisi dan waktu tertentu.
Oksigen terlarut dalam contoh air tersebut diukur sebelum contoh air diinkuba-
si.
Setelah diinkubasi, nilai BOD dihitung dari selisih antara nilai oksigen terlarut
(DO) sebelum inkubasi dan setelah inkubasi. Penggunaan sistem tertutup (Botol BOD) dan pengembangan teknik pengenceran dalam analisis BOD bertujuan untuk menstimulasi kondisi alamiah yang ada dalam sungai yang menerima limbah.
Tujuan utama bukan untuk menduga ke-
kuatan air limbah, melainkan untuk menduga berapa banyak oksigen yang digunakan dalam kondisi encer seperti yang terjadi dalam air sungai, kalau limbah tersebut dibuang ke badan sungai.
Tujuan utama adalah untuk meramalkan efek dari suatu
limbah terhadap perairan sungai. Menurut Gaudy (1972), minat utama dari para peneliti terdahulu adalah untuk menentukan profil oksigen terlarut dalam air sungai dalam hubungannya dengan pengenceran lirnbah.
Pokok bahasannya ialah dalam menentukan kapasitas
air sungai un tuk mengasimilasi limbah organik. Kapasitas ini terutama tergantung kepada dua faktor yang saling berlawanan yaitu laju penggunaan oksigen karena metabolisme mikroba terhadap bahan organik yang ada dalam air sungai dan laju reaerasi dalam air sungai. Uji BOD dirancang untuk melukiskan secara kinetika
19
model deoksigenasi dalam perairan yang menerima limbah. Konsepsi pengukuran BOD lebih menuju ke inti masalah pencemaran, yaitu berhubungan dengan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk semua reaksi metabolisme mikroba yang terjadi sebagai akibat dari masuknya bahan organik. Rangkaian reaksi penguraian secara oksidasi aerobik dapat terjadi dengan leluasa di perairan (alami), tetapi dalam botol BOD apalagi hanya dala~n5 hari rangkaian reaksi tersebut mungkin tidak akan terjadi. Walaupun semua bahan organik dalam suatu contoh dapat dipakai sebagai sumber makanan oleh mikroba, BOD 5 hari hampir tidak pernah sama dengan COD (Chemical Oxygen Demand), kecuali jika mikroba mampu mendorong rantai makanan untuk mendekati kesempurnaan. Pada kondisi ekologis yang terbaik, BOD dapat mendekati nilai COD (Gaudy dan Gaudy, 1980). Dengan adanya perbedaan ini, dapat diupayakan untuk mengkoreksi nilai-nilai BOD dengan hasil-hasil dari Uji COD. 2.5.2. COD ( Chemical Oxygen Demand)
"Chemical Oxygen Demand" (COD) adalah ukuran banyaknya oksigerl total yang diperlukan dalam proses oksidasi kimia bahan organik dalam limbah. Bahan oksidasi yang digunakan adalah kalium dikromat dan merupakan zat pengoksidasi yang kuat untuk mengoksidasi zat organik secara lengkap menjadi karbor~dioksida dan air. Ini berarti uji COD hanya merupakan suatu analisis yang menggu~akan suatu reaksi oksidasi kimia yang meniru oksidasi biologis yang sebenarnya terjadi di alam.
Selama proses penetapan COD bahan organik akan diubah menjadi CO,- dan
-
H,O tanpa melihat kemarnpuan asimilasi secara biologis terhadap bahan organik tersebut. Dengan demikian uji COD tidak memberikan data yang mengubungkan kinetika model deoksigenasi dalam perairan yang menerima limbah. Menurut metode baku (standard method) prosedur untuk menetapkan kebutuhan oksigen kimiawi ialah dengan menggunakan kalium dikromat dengan perak sulfat
sebagai katalis.
Apabila dalam larutan terdapat senyawa klorida, maka ditambah-
kan raksa-sulfat untuk mengikat klorida tersebut menjadi ikatan kompleks. Dengan demikian koreksi terhadap klorida dapat dihindari. Tidak semua senyawa organik teroksidasi dengan prosedur kromat. Gula, senyawa alifatik dan rantai benzena dapat secara sempurna dioksidasi dengan mudah atau hanya sedikit kesulitan. Akan tetapi benzena, piridina, toluena tidak dapat dioksidasi dengan cara ini.
Gugusan lain seperti ikatan asam jenuh, alkohol, asam
amino hanya dapat dioksidasi jika terdapat perak-sulfat sebagai katalis.