9
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Limbah
2.1.1
Deskripsi Limbah Limbah adalah bahan buangan yang dihasilkan dari suatu aktivitas atau
proses produksi yang sudah tidak digunakan lagi pada kegiatan/proses tersebut dan diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Kata limbah berkaitan dengan pengertian sesuatu yang tidak bermanfaat, oleh karenanya harus dibuang (Owen dalam Bewick, 1980). Limbah merupakan bahan buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan hewan (Tchobanoglous, dkk., 1993). Limbah adalah hasil buangan pada suatu kegiatan yang tidak diperlukan lagi (Mulyani, 1999). Limbah tersebut dapat berupa cair (liquid waste), limbah padat (solid waste) dan limbah gas (gaseous waste). Ketiga macam limbah ini dapat dihasilkan sekaligus dari suatu kegiatan atau dapat pula kombinasi atau secara sendiri (Merkel, 1981). Limbah merupakan sumber daya potensial, yaitu sangat potensial mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, terutama bila tidak dikelola dengan benar dan tepat, namun sebaliknya limbah juga potensial sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu sebagai sumber pupuk organik, pakan ternak dan bahan bakar metan (Bewick, 1980). 2.1.2
Limbah Peternakan Sapi Perah Limbah ternak adalah bahan buangan sisa metabolisme ternak, yang
sebagian besar berupa feses dan urin, sedangkan limbah peternakan adalah bahan buangan yang dihasilkan dari seluruh kegiatan yang dilakukan dalam usaha peternakan tersebut, yang sebagian besar terdiri atas feses dan sisa hijauan pakan
10
(Merkel, 1981). Feses merupakan bahan utama limbah yang paling banyak dihasilkan dari usaha peternakan sapi perah dan masih mengandung ± 30 % bahan organik (Gaddie and Douglas, 1975), yang dapat didegradasi dengan mudah oleh mikroorganisme seperti fungi, bakteri dan aktinomycetes yang terdapat pada feses sapi perah tersebut (Haga, 1990).
Feses sapi perah,
berdasarkan berat kering mengandung unsur kimia rata-rata 1,65 % N; 0,50 % P dan 2,3 % K, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mensuplai unsur hara bagi tanaman (Abbot, 1968 dalam Manik, 1994). Menurut Gaur (1980), feses ternak dapat dimanfaatkan sebagai aktivator yaitu bahan yang dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme dekomposer bahan organik dalam pengomposan. Hal ini disebabkan feses ternak masih mengandung karbohidrat, protein, mineral dan vitamin yang larut dalam air dan dibutuhkan mikroorganisme sebagai sumber energi dan nutrisi untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel. Barnett, dkk,. (1978) menyatakan bahwa dari sapi yang bobot badannya 450 kg, setiap hari dapat dihasilkan 29 kg feses segar; 0,91 kg total mineral; 3,72 kg bahan organik; 0,17 kg N; 0,05 kg P2O5 dan 0,14 kg K2O. Jumlah produksi harian ternak merupakan fungsi dari tipe dan ukuran ternak, pakan yang diberikan, dan kondisi suhu dan kelembaban lingkungan (Loehr, 1974 dalam Bewick, 1980).
Ekskresi bahan
organik sisa metabolisme sangat bergantung pada daya cerna, yang besarnya ± 40 % dari jumlah bahan organik yang dikonsumsi, sedangkan estimasi ekskresi nutrien inorganik yang dicerna oleh ternak adalah sebesar 80 – 95 %, bergantung pada kondisi ternaknya. Ternak masa pertumbuhan dan laktasi lebih banyak menyerap nutrien inorganik dari makanan yang dikonsumsi dibandingkan dengan ternak masa kering dan penggemukan (Bewick, 1980). Gisinger (1960) dalam Bewick (1980) memperlihatkan hasil penelitiaanya bahwa sapi perah yang sedang laktasi mengekskresi 80 % N, 80 % P dan 95 % K lebih rendah bila dibandingkan
11
dengan sapi penggemukan yang mengekskresikan 94 % N, 98 % P dan 98 % K. Komposisi N, P dan K di dalam manur sangat dipengaruhi oleh komposisi feses dan urin di dalamnya. Pada kondisi normal urin mengandung P lebih rendah dan K lebih tinggi dibandingkan dengan feses, sedangkan kandungan N-nya kurang lebih sama banyaknya (Tietjen, 1976 dalam Bewick, 1980). 2.1.3
Limbah Kubis (Brassica oleracea var. capitata) Kubis termasuk tanaman sayuran semusim yang dipanen sekaligus,
yaitu tanaman sumber vitamin, garam mineral dan lain-lain yang dikonsumsi dari bagian tamanan yang berupa daun yang berumur kurang dari setahun dan pemanenannya dilakukan sekali kemudian dibongkar untuk diganti dengan tanaman baru (BPS, 2000). Limbah kubis adalah bahan organik yang berasal dari usaha pertanian kubis, yaitu merupakan bagian tanaman yang tidak dikonsumsi manusia. Limbah ini berasal dari lapangan setelah panen dan dari pasar setelah dibersihkan, yang jumlahnya bisa mencapai 20 % dari total panen (Hidayati, 2003). Kubis mengandung vitamin dan mineral yang tinggi. Kandungan dan komposisi gizi kubis tiap 100 g bahan segar sebagai berikut : Energi 25 kalori ; protein 1,7 g; lemak 0,2 g; karbohidrat 5,3 g; kalsium 64 mg; phospor 26 mg1' Fe 0,7 mg; Na 8 *g; niacin 0,3 mg; serat 0,9 g; abu 0,7 g; vitamin A 75 Sl; vitamin Bl 0,1 mg; Vitamin C 62 mg dan av 9l-93% (Direktorat Gizi Depkes RI, 1981). Menurut Hidayati (2003), limbah kubis di lapangan biasanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia, terutama pada saat musim kemarau, yaitu saat krisis hijauan pakan yang berasal dari jenis rumput-rumputan. Demikian juga limbah kubis yang berasal dari pasar, pada musim kemarau sering dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan selebihnya dimanfaatkan sebagai sumber pembuatan pupuk organik, baik dalam bentuk padat maupun dalam bentuk cair, seperti pada
12
saat musim hujan. Limbah ini berupa lapisan kubis paling luar yang sudah tidak segar atau rusak (busuk) sehingga dibuang.
Oleh karena itu, perlu segera
dilakukan pengolahan agar tidak mengakibatkan pencemaran dan sekaligus bermanfaat sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi, misal sebagai bahan baku pembuatan pakan, pupuk organik dan bahan bakar metan. 2.2
Pengomposan
2.2.1
Dekripsi Pengomposan adalah proses mikrobial yang mengubah bahan organik
kompleks menjadi produk yang bersifat stabil, higienis, produk semacam humus dan dapat digunakan untuk kesuburan tanah, yang pada usaha tani skala kecil secara tradisional, sebagaian besar limbah padat yang dihasilkan terdegradasi secara langsung dan kembali ke tanah sebagai kompos, serta tidak menimbulkan masalah yang berarti. Setelah berkembangnya urbanisasi dan usaha pertanian skala besar dilakukan, pembuangan limbah organik menjadi sulit dan mahal (Altas dan Bartha, 1981).
Sedangkan menurut Merkel (1981) pengomposan adalah
proses alami yang terjadi di alam dimana bahan organik di dekomposisi oleh mikroorganisme ke dalam bentuk bahan seperti humus. Proses ini bukanlah hal baru, yaitu sudah terjadi beberapa abad yang lalu didalam limbah organik yang berasal dari pertanian dan peternakan yang oleh petani ditimbun ke dalam lubang di kebun. Pada prinsipnya hasil penguraian limbah organik sangat bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan tanah (Bewick, 1980). Didalam proses pengomposan perlu di perhatikan beberapa syarat, yaitu keberadaan mikroorganisme yang terlibat, nutrisi yang dicerminkan dalam bentuk nisbah C/N, kadar air bahan, oksigen dan perawatan proses (CSIRO, 1989). Proses pengomposan dapat dibagi menjadi dua cara yaitu secara anaerob dan
13
aerob. Pada umumnya pengomposan secara anaerob lebih komplek dari pada aerobik. Akan tetapi, proses anaerob lebih menguntungkan yaitu diperolehnya bahan bakar biogas dalam bentuk metan. Sedangkan pada proses aerobik tidak menghasilkan metan karena energinya lebih banyak digunakan untuk proses biokimia yang membutuhkan oksigen (Tochbanoglous, 1993). Di negara tropis pada umumnya kondisi lingkungan bersifat lembab yang memungkinkan banyak jenis mikroorganisme mudah tumbuh baik kelompok kapang, ragi maupun bakteri sehingga persyaratan seleksi mikroorganisme yang harus tersedia tidak mutlak, yang mutlak harus dipenuhi adalah nisbah C/N berkisar 25 – 30 dan kadar air 40 % – 60 % (CSIRO, 1979). Kadar air berperan penting dalam proses dekomposisi secara enzimatis oleh mikroorganisme yang terlibat. Kadar air yang disarankan pada fermentasi antara 50 % - 70 %. Jika tumpukan bahan terlalu basah, maka akan terjadi kehilangan nutrisi dan kondisi menjadi anaerob, sehingga mikroorganisme aerob yang penting akan mati atau menjadi dorman (NAS, 1980). Menurut Bewick (1980) kadar air yang berlebih membuat komposan menjadi lebih padat yang menyebabkan kandungan oksigen berkurang, sehingga kondisinya menjadi anaerob dan menimbulkan bau busuk. Kadar air yang cukup untuk fermentasi adalah sebesar 50 % - 60 %. Persyaratan lain adalah terpenuhinya kebutuhan oksigen, karena pengomposan pada umumnya dilakukan pada kondisi aerobik. Untuk keperluan ini dapat dilakukan dengan cara manual yaitu melalui pembalikan substrat atau penggunaan alat sirkulasi udara baik secara elektrik maupun secara mekanik (Tochbanoglous, 1993). Ratusan spesies yang berupa bakteri, fungi dan ragi actinomycetes langsung mulai mendekomposisi bahan organik komposan setelah kadar air dan oksigen terpenuhi (CSIRO, 1979).
14
2.2.2
Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri
atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, dan atau hewan yang telah mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memasok bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Permentan, No.2/Pert/hk.060/2/2006).
Pupuk organik ditinjau dari bentuknya ada pupuk
organik cair dan organik padat. Sedangkan menurut Tisdale dan Nelson (1975), pupuk adalah suatu bahan yang terdiri atas satu atau lebih unsur hara yang tersedia dan bernilai bagi tumbuhan. Ada dua jenis pupuk berdasarkan bahan dasarnya yaitu pupuk anorganik dan pupuk organik. Pupuk organik adalah pupuk yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan dan hewan. Prinsip pembuatan pupuk organik cair pada dasarnya sama dengan membuat pupuk organik padat yaitu diawali dengan dekomposisi awal bahan organik limbah. Agar hasil yang diperoleh berkualitas baik, maka pada saat proses degradasi awal harus diperhatikan persyaratan tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme yang terlibat, terutama jenis kapang dan bakteri. Hal ini penting karena prinsip dasar pembuatan pupuk organik adalah penguraian senyawa protein yang dihasilkan dari proses degradasi awal berupa protein sel tunggal yang berasal dari biomassa mikroorganisme, baik dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk organik cair (CSIRO, 1979). Menurut Tisdale dan Nelson (1975), hampir seluruh unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman terdapat dalam senyawa protein.
Pupuk organik cair dapat diperoleh dari proses
pengomposan padat terlebih dahulu, yang dilanjutkan dengan proses ekstraksi, kemudian proses pengomposan cair secara aerobik (Hidayati, 2011).
15
Kualitas pupuk organik diantaranya ditentukan dari bau yang dihasilkan seperti berbau tanah, berwarna coklat gelap atau hitam (BPT, 2004). Kandungan unsur hara yang bervariasi berupa nutrisi mikro maupun makro (CSIRO, 1979). Selama proses dekomposisi secara aerob populasi mikroorganisme selalu berubah. Pada fase mesofilik, fungi dan bakteri pembentuk asam bermultiplikasi secara cepat membentuk bahan makanan seperti asam amino dan gula-gula sederhana yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme termofilik pada proses dekomposisi berikutnya. Pada fase termofilik Actinomycetes lebih toleran terhadap perubahan suhu dibandingkan sejumlah bakteri lainnya dan jumlahnya meningkat pada fase ini, beberapa diantaranya dapat mendekomposisi selulosa. Fungi termofilik tumbuh pada suhu antara 40 – 60
o
C, yang mampu
mendekomposisi hemi-selulosa dan selulosa sehingga berperan penting pada formasi komposan (CSIRO, 1979). Pelczar dan Chan (1986) mengemukakan bahwa fungi atau cendawan merupakan organisme heterotrofik yaitu memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya. Heterotrofik yang hidup dari organisme mati yang terlarut disebut saprofit. Saprofit menghancurkan sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang kompleks, menguraikan menjadi zat-zat yang lebih sederhana, yang kemudian dikembalikan kedalam tanah, dan selanjutnya meningkatkan kesuburan. 2.2.3
Pupuk Organik Cair Pupuk organik cair adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati,
kotoran hewan dan atau bagian hewan atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Permentan Nomor 70/permentan/SR.140/10/2011).
Pupuk organik cair adalah larutan dari sisa
16
tanaman, kotoran hewan dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur (Sundari, 2012). Pupuk organik cair lebih mudah diserap dibandingkan dengan pupuk organik padat, dikarenakan senyawa komplek yang terkandung didalamnya sudah terurai dan dalam bentuk cair sehingga mudah diserap (Hidayati, 2011). Tanaman mampu menyerap unsur hara dengan menggunakan akar sebagaimana fungsinya, selain itu bagian tumbuhan yang mampu menyerap unsur hara dari pupuk organik cair adalah daun dengan melalui organ yang disebut stomata. 2.2.4
Kondisi Lingkungan
(1) Suhu Suhu adalah indikator utama yang merupakan akibat dari aktivitas mikroorganisme (Subadi dan Ellianawati, 2010).
Hal ini dikarenakan
mikroorganisme berkembangbiak dan mendekomposisi dengan pemindahan panas pada bahan organik. Menurut Stoffella dan Kahn (2001) berdasarkan kebutuhan suhu komposan mikroorganisme yang hidup pada proses pengomposan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : (1) psikrofilik yang hidup pada suhu 0 – 25 oC, (2) mesofilik hidup pada suhu 25 - 45 oC, (3) termofilik hidup di atas suhu 45 oC. Awal dekomposisi akan tumbuh mikroorganisme mesofilik yaitu pada suhu mencapai 40 oC.
Akibat aktivitas mikrorganisme ini suhu komposan
meningkat diatas 40 oC sehingga mikroorganisme mesofilik mati dan digantikan oleh mikroorganisme termofilik. Selama fase termofilik suhu terus meningkat sampai 70 oC dan akan menghentikan pertumbuhan mikroorganisme yang aktif. Terhentinya aktifitas mikrooganisme ini akan menurunkan suhu komposan hingga 40 oC, sehingga mikroorganisme mesofilik yang masih terdapat pada kondisi dorman tumbuh kembali sampai habisnya bahan organik komposan yang tersedia
17
untuk kehidupannya. Bilamana sumber energi tidak tersedia lagi maka secara keseluruhan aktifitas mikroorganisme akan terhenti dan suhu akan terus menurun mencapai suhu udara. Dekomposisi bahan organik berjalan lebih cepat pada fase termofilik, yang kemudian mikroorganisme termofilik akan mati pada suhu maksimum yaitu di atas 60 oC (CSIRO, 1979). Suhu yang tinggi disebabkan oleh populasi mikroorganisme yang ada pada bahan organik lebih dari 106 per gram, luas permukaan partikel bahan organik meningkat dan kadar air yang ideal (NAS, 1980). (2) Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Derajat keasaman pada awal proses fermentasi akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam fermentasi mengubah bahan organik menjadi asam organik.
Pada proses
selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi kemudian secara perlahan mendekati normal (Djuarnani, dkk, 2005). Nilai pH yang baik pada fermentasi berkisar antara 6,5 – 8,5 (Stoffella dan Kahn, 2001). Kemudian tumpukan menjadi lebih asam (pH rendah) karena asam seperti asetat, sitrat, laktat, 2-ketoglukonat, sulfat, nitrat, dll, yang diproduksi oleh bakteri. Selama tahap termofilik tumpukan menjadi alkali melalui pembentukan amonia dan akhirnya mendekati netral atau sedikit basa, amonia diubah menjadi nitrat (CSIRO, 1979).
18
2.3
Unsur Hara Nitrogen, Fosfor dan Kalium
2.3.1
Nitrogen Nitrogen merupakan unsur hara makro utama yang menyusun sekitar 1,5%
bobot tanaman dan sangat berfungsi dalam pembentukan protein.
Unsur ini
mudah berubah bentuk dan mudah hilang baik lewat volatisasi (gas N2) maupun lewat pelindian (NO3).
Proses dekomposisi nitrogen yang tidak benar dapat
menyebabkan tanaman mengalami defisiensi (Hanafiah, 2007). Sumber nitrogen dalam tanah antara lain berasal dari fiksasi oleh mikroba, air irigasi, hujan, perombakan bahan organik dan pemupukan (Krishna, 2002). Nitrogen termasuk unsur hara yang sangat mudah larut dan mudah hilang melalui drainase dan pada situasi tertentu akan hilang menguap atau kembali dalam bentuk gas N2. Pemupukan nitrogen dapat meningkatkan kandungan protein, meningkatkan pertumbuhan vegetatif terutama daun dan meningkatkan tingginya tanaman (Jumin, 2008). Fungsi unsur nitrogen bagi tanaman yaitu merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan khususnya batang, cabang dan daun. Berperan dalam pembentukan hijau daun yang berguna dalam fotosintesis, serta berperan dalam pembentukan protein dan senyawa organik lainnya (Sutanto, 2002). Tisdale dan Nelson (1975) menyatakan bahwa kekurangan nitrogen menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan dan daun-daun menjadi kering. Pada keadaan kandungan nitrogen yang sangat rendah, daun akan menjadi coklat dan mati.
Fiksasi nitrogen dilahan terestial dilakukan oleh sejumlah bakteri
rizobium melalui tumbuhan kacang- kacangan, sebanyak 250 kg nitrogen dapat dihasilkan hektar/tahun. Sumber utama nitrogen yang digunakan tanaman adalah gas N2 yang kadarnya kurang lebih 78% dalam udara, akan tetapi gas tersebut tidak dapat digunakan oleh tanaman tingkat tinggi.
Oleh karena itu harus
19
dikonversi menjadi bentuk yang dapat digunakan, yaitu dengan cara pertama, fiksasi rizobium dan mikroorganisme lain yang hidup bersimbiose pada akar tanaman kacang-kacangan dan tanaman bukan kacang-kacangan tertentu. Kedua, fiksasi oleh mikrooganisme tanah yang hidup bebas dan dimungkinkan oleh mikroorganisme yang hidup pada daun tanaman tropis. Ketiga, fiksasi salah satu dari nitrogen oksida oleh kilat. Yang ke empat, fiksasi sebagai amonia, asam nitrat atau asam sianida melalui beberapa proses industri pada pembuatan pupuk nitrogen sintetis, contohnya urea. Sedangkan menurut Barber (1984) nitrogen tanah terutama terdapat dalam bentul fraksi organik dan di udara diatas permukaan tanah mengandung 79 % nitrogen, akan tetapi nitrogen ini hanya dapat digunakan
oleh
tanaman
kacang-kacangan
yang
bersimbiosis
mikrooganisme pengikat N, seperti rizobium didalam nodul akar.
dengan Nitrogen
didalam fraksi mineral termasuk amonium terdapat di dalam mineral tanah liat, ion amonium dan nitrat di dalam larutan tanah. Bahan organik tanah merupakan istilah yang sulit digunakan untuk menjelaskan bahan organik dalam semua tahapa dekomposisi. Pada umumnya menyatakan, bahan organik tanah dapat dibagi menjadi dua kategori, antara lain : pertama, material yang relatif stabil yang disebut humus yaitu yang tahan dengan dekomposisi lanjut.
Yang kedua, yaitu meliputi bahan organik yang mudah
terdekomposisi seperti limbah pertanian yang melalui rantai makanan yang terurai menjadi kondisi yang lebih stabil. Nitrogen dalam beberapa bentuk dibutuhkan untuk proses dekomposisi bahan organik oleh mikrooganisme hetrorofik tanah. Jika pada proses dekomposisi bahan organik memiliki nitrogen ukuran rendah, dalam
hubungannya
dengan
keberadaan
karbon,
mikroorganisme
akan
menggunakan beberapa amonium dan asam nitrat yang tersedia (Tisdale dan Nelson, 1975).
20
Pupuk organik memiliki humus mencapai 60 % dan dapat berpengaruh terhadap porositas tanah liat sehingga membentuk fisik serupa pasir.
Pupuk
organik dapat digunakan sebagai campuran permukaan tanah sedalam 15 cm. Humus di dalam pupuk organik tidah hanya memperbaiki struktur tanah tetapi juga dapat menyimpan air dan nutrien yang dibutuhkan yaitu disekitar tanaman. Penggunaan pupuk organik dapat meningkatan hasil tanaman sebesar dengan penambahan hasil 30 % seperti pada tanaman tomat, bawang daun, bawang merah, melon dan rumput. Kandungan nitrogen yang terdapat didalam top soil bisa mencapai 0,02 – 0,4 %, yang berasal dari proses dekomposisi bahan organik yang ada dan mengandung kurang lebih 5 % nitrogen (Barber, 1984). 2.3.2
Fosfor Fosfor merupakan nutrien penting pada produksi tanaman, disebabkan
kandungannya di dalam tanah secara alami tidah cukup tersedia bagi tanaman. Total kandungan fosfor di dalam kerak bumi kurang lebih 0,12 % (Cathcart, 1980 dalam Barber 1984). Sedangkan menurut Georgievskii, dkk (1982) fosfor seperti halnya kalsium terdapat melimpah di alam yaitu sebanyak 0,08 – 0,12 % di dalam kerak
bumi
dalam
bentuk
garam
fosfat
(calcium
fluoroapatite)
dan
hydroxyapatite. Tanaman dapat mengabsorbsi fosfat organik larut tertentu seperti asam nukleat dan pitat. Kedua asam ini merupakan produk dekomposisi dari bahan organik tanah dan secara langsung dapat digunakan bagi tanaman yang sedang tumbuh.
Disebabkan oleh tidak stabilnya keberadaan populasi
mikrooganisme yang aktif, peranan sumber fosfor yang tinggi bagi tanaman menjadi terbatas. Penambahan fosfor yang cukup berkaitan dengan besarnya kebutuhan tanaman padi-padian yang tinggi.
Fosfor bersama-sama dengan
nitrogen dan potasium di kelompokan ke dalam elemen nutrien mayor, walaupun jumlah yang dibutuhkan lebih sedikit dari pada nitrogen dan potasium. Pada
21
umumnya dapat dijelaskan bahwa tanaman menyerap sebagian besar fosfor dalam bentuk ion ortofosfat primer, yaitu 10 kali lipat dari pada penyerapan dalam bentuk ortofosfat sekunder (Tisdale dan Nelson, 1975). Fosfor merupakan elemen penting di dalam sistem semua kehidupan. Pada sistem biologis sebagian besar melimpah dalam bentuk fosfat. Di dalam sel sebagian besar dalam bentuk RNA. Sebagian besar transformasi fosfor yang dilakukan oleh mikroorganisme berupa transfer fosfat inorganik kedalam fosfat organik atau berupa tranfer fosfat dari bentuk senyawa tidak aktif menjadi senyawa aktif. Beberapa mikrooganisme hetrotrofik mampu melarutkan fosfat dari beberapa sumber dan mengasimilasi dalam jumlah yang besar dari fosfat inorganik yang tidak larut dan melepaskannya untuk digunakan oleh mikroorganisme lain.
Mekanisme pelarutan fosfat secara normal bersamaan
dengan produksi asam organik. Beberapa mikroorganisme kemolitotrofik seperti nitrosomonas dan tiobacillus, memobilisasi fosfat inorganik bersamaan dengan menghasilkan asam nitrit dan asam nitrat secara terus menerus. Bentuk terlarut fosfat inorganik dapat diserap oleh tanaman dan mikrooganisme diasimilasi ke dalam fosfat organik. Sebagai contoh reaksi fosfat inorganik adalah perubahan ADP menjadi ATP. Fosfat inorganik juga bereaksi dengan kabohidrat seperti glukosa pada awal glikolisis (Bartha, 1981). Bewick (1980) menyatakan bahwa tanaman pangan
secara normal
mengandung fosfor sebanyak kurang lebih 0,4 %, misal untuk tanaman kubis segar mengandung fosfor 0,35 %, yang apabila diberikan pada ternak sebanyak 80 – 95 % akan di eksresikan kedalam bentuk feses dan urin. Ternak pada fase pertumbuhan dan laktasi mencerna fosfor dari makanannya lebih banyak dibandingkan dengan ternak potong. Sebagai contoh, Gissinger (1960) dalam Bewick (1980) memperlihatkan bahwa sapi perah akan mengeksresikan fosfor
22
sebanyak 80 % dan ternak potong disisi lain mengekskresikan fosfor sebanyak 98 %. Kandungan fosfor didalam manur (campuran feses, urin dan rarapen) ternak sapi adalah sebanyak 4 – 18 kg setiap 10 ton bahan segar (Tunney 1977 dalam Bewick, 1980). Sedangkan menurut Merkel (1980), kandungan fosfor total di dalam manur sapi perah segar (campuran feses, urin dan rarapen) adalah sebanyak 0,125 %, kandungan unsur hara kompos untuk fosfor P2O5 yaitu 0,83 %. (Bewick, 1980). Barber (1984) menyatakan jumlah total fosforus didalam top soil rata-rata 1000 kg per hektar, yang tidak sebanding bila dibandingkan dengan kemampuan tanaman yang hanya bisa menyerap 10 – 40 kg per hektar per tahun. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar fraksi fosforus berada di dalam bentuk mineral tidak dapat diserap atau tidak dapat diabsorpsi oleh tanaman. Fosfor organik yang teridentifikasi di dalam tanah terjadi dalam tiga bentuk dasar, yaitu fosfolipid, asam nukleat dan fosfat inositol. Kandungan fosfor yang terdapat didalam hexafosfat inositol berkisar antara 3 – 52 % atau rata-rata 17 %. Persentase ini jumlahnya lebih besar di dalam tanah aktif di bawah hutan yaitu sebesar 24 % dibandingkan dengan yang terdapat di dalam tanah aktif padang rumput. Persentase tersebut akan berkurang sehubungan dengan bertambahnya pH tanah. Fosfor merupakan unsur hara kedua setelah nitrogen yang diperlukan oleh tanaman. Di dalam tanah jenis tertentu kebutuhan P seringkali menjadi lebih kritis daripada N. Defisiensi fosfor, berbagai proses di dalam tanaman dapat terhambat sehingga pertumbuhan dan perkembangannya tidak berlangsung optimal (Balitpa, 1991), karena fosfor sangat dibutuhkan untuk perkembangan akar, penguatan batang, dan produksi (Beard, 1973).
Fungsi utama fosfor
merangsang pertumbuhan akar, khususnya akar benih dan tanaman muda.
23
Sebagai bahan mentah pembentuk sejumlah protein tertentu, membantu asimilasi dan pernafasan sekaligus mempercepat pembungaan, pemasakan biji dan buah (Yuwono, 2005).
Soepardi (1983) menyatakan bahwa fosfor diserap oleh
tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk ion PO4 yang ketersediannya sangat dipengaruhi oleh pH tanah, kadar Al, Fe serta Mn terlarut, kalsium, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik serta jenis dan populasi mikroorganisme tanah. 2.3.3
Kalium Kalium digunakan oleh mikrooganisme dalam bahan substrat sebagai
nutrien atau sebagai katalisator. Senyawa kalium yang diikat dan disimpan dalam bahan organik senyawa komplek oleh bakteri dan jamur di dekomposisi ke dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman (Sutedjo, 1996). Dinyatakan juga bahwa adanya kehadiran bakteri beserta aktifitasnya sangat mempengaruhi jumlah kandungan kalium.
Unsur kalium pada tanaman berperan sebagai aktivator
berbagai enzim dan merangsang pertumbuhan akar (Soepardi, 1993). Kalium sangat berperan penting dalam peristiwa fisiologis antara lain metabolisme karbohidrat (pembentukan, pemecahan dan translokasi pati), metabolisme nitrogen dan sintesa protein, mengawasi dan mengatur aktivitas beragam unsur mineral, mengaktifkan berbagai enzim, mempercepat pertumbuhan jaringan meristematik, serta mengatur pergerakan stomata dan hal-hal yang berhubungan dengan air (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Fungsi kalium yaitu membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat tumbuhnya tanaman agar daun, bunga dan buah tidak gugur, serta sebagai sumber kekuatan bagi tanaman menghadapi kekeringan dan penyakit. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman yang lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif
24
kecil (Yuwono, 2005). Devlin (1975) menyatakan bahwa walaupun defisiensi dapat berpengaruh terhadap berbagai proses seperti, respirasi fotosintesis perkembangan klorofil dan kandungan air daun, peranan kalium secara spesifik belum diketahui. Georgievskii, dkk (1982) menyatakan bahwa sumber kalium didalam kerak bumi adalah sebesar 1,5 %.
Kalium merupakan elemen penting bagi
tanaman dan hewan. Terdapat di dalam seluruh bagian tanaman tapi konsentrasi terbanyak terdapat di dalam organ vegetattif, yaitu berada di dalam protoplasma sel sebagai ion bebas atau terikat, yang diperlukan untuk pembentukan pati dan protein dan juga memelihara tingkat respirasi yang optimum. Kandungan kalium di dalam tanaman bergantung pada fase vegetatif yang konsentrasinya menurun seiring dengan waktu, tipe tanah dan dosis kalium pupuk organik.
Menurut
Bewick (1980) kandungan kalium di dalam tanaman pangan berkisar 1 – 3 %, dan di dalam manur (campuran feses, urin dan rarapen) berkisar 0,2 – 0,58 %, yang pada umumnya diakui bahwa kandungan tersebut efektif sebagai pupuk kalium. Sedangkan di dalam air selokan atau lumpur selokan sangat bervariasi 0,02 – 2,6 % atau rata rata 0,3 %. Kadar ini tidak dapat berubah bila dibandingkan dengan kandungan kalium di dalam kompos yaitu sebesar 0,36 %.