1015
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
KARAKTERISTIK AIR BUANGAN LIMBAH BUDIDAYA UDANG VANAME SUPER INTENSIF Mat Fahrur, Makmur, dan Muhammad Chaidir Undu Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Budidaya udang vaname super intensif adalah system budidaya dengan kepadatan tebar udang yang tinggi. Kegiatan penelitian ini dilakukan pada instalasi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros yangb terletak di Kabupaten Takalar. Dalam penelitian ini menggunakan tiga petak tambak A, B, dan C dengan kepdatan masingmasing berturut-turut 750 ind./m2, 1.000 ind/m2 dan 1.250 ind./m2. Pemeliharaan dilakukan selama 105 hari dan dilakukan panen parsial sebanyak 2 kali. Selama pemeliharaan dilakukan pengamatan kualitas air setiap 7 hari melalui pembuangan sentral drain pada masing-masing petakan yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik air limbah budidaya. Hasil analisa air buangan limbah tambak parameter NO3 petak B lebih tinggi dibandingkan petak A dan B dan petak C lebih tinggi dibandingkan A. Konsentrasi NO2 petak C lebih tinggi dibandingkan A dan B, dan petak B lebih tinggi dibanding A. konsentrasi TAN petak C lebih tinggi dibandingkan A dan B. konsentrasi N-Total petak C lebih tinggi dibandingkan petak A dan B. Sementara kandungan BOT untuk petak A lebih tinggi dibandingkan B dan C. Tss (Total Suspended Solid) semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kepadatan dan umur udang. Karakteristik air buangan limbah tambak untuk parameter TAN, N-Total PO4, BOT, dan TSS telah melebihi batas ambang batas standar effluen limbah budidaya tambak. Pergantian air secara kontinu dan pengurangan biomassa secara parsial dapat meningkatkan kualitas air. KATA KUNCI:
super intensif, udang vaname, limbah budidaya
PENDAHULUAN Budidaya udang vanamei super intensif merupakan terobosan peningkatan produktivitas tambak dengan meningkatkan kepadatan penebaran benur udang untuk mendapatkan penghasilan dan keuntungan yang lebih tinggi. Cara tersebut terbukti mampu meningkatkan produktivitas tambak hingga mencapai 12 ton/1000 m 2 dengan kepadatan penebaran benur 1.250.000 ind./1.000 m 2 (Rachmansyah, 2014). Udang vaname adalah jenis udang putih yang tahan terhadap perubahan goncangan kualitas air dan mampu dipelihara dengan kepadatan tinggi hingga 650 ind./m 2. Tingginya kepadatan udang juga diikuti dengan kebutuhan pakan yang tinggi. Untuk mendapatkan udang 1 kg dibutuhkan pakan sebanyak 1,2-1,5 kg; yang artinya jika produksi udang mencapai 12 ton maka pakan yang dibutuhkan mencapai 16.000 kg (16 ton). Sementara pakan yang diretensi menjadi daging berupa N dan P berturut-turut hanya 22,7% dan 9,79% sisanya terbuang ke lingkungan (Rachmansyah, 2014). Limbah yang terakumulasi dalam air budidaya harus dibuang secara berkala untuk mengurangi beban limbah menumpuk dan menghindari menurunnya kualitas air budidaya secara drastis. Limbah yang terbuang langsung keperairan umum dapat menyebabkan pengkayaan nutrient. Jika hal tersebut terus terjadi dapat menurunkan kualitas air sumber dan memicu blooming alga yang selanjutnya membahayakan kelangsungan hidup hewan akuatik. Kualitas air sumber merupakan kunci budidaya yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Latt (2002) melaporkan bahwa dampak limbah tambak udang terhadap lingkungan dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu (1) dampak terhadap kualitas perairan pesisir dan hidrologi, (2) dampak terhadap organisme akuatik, dan (3) dampak terhadap mangrove dan vegetasi daratan. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah mengurangi konsentrasi parameter kualitas air yang melebihi ambang batas sebelum dibuang keperairan dengan pengelolaan limbah budidaya secara bertahap yang mengacu metode IPAL, namun pengelolaan tidak maksimal jika karakteristik limbah belum diketahui. Informasi mengenai karakteristik buangan limbah
Karakteristik air buangan limbah budidaya udang ..... (Mat Fahrur)
1016
cair budidaya udang vanamei super intensif masih minim. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik limbah cair budidaya udang vaname yang dibuang melalui pembuangan tengah. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2014 yang dilakukan pada instalasi tambak percobaan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros yang terletak di desa Punaga, kecamatan Manggarabombang kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Gambar 1). Penelitian ini menggunakan udang vanamei PL-9 yang ditebar kedalam tiga petak tambak dengan luasan 1.000 m2. Padat tebar yang digunakan masing-masing petakan A (750 ind./m 2), B (1.000 ind./m2), dan C (1.250 ind./m2).
Gambar 1. Warna air buangan limbah tambak superintensif Selama masa pemeliharaan dilakukan pengamatan kualitas air setiap 7 hari. Air yang diamati adalah air yang dibuang melalui sentral drain dengan cara mengambil sampel pada masing-masing pipa pembuangan petakan A, B, dan C. Air buangan dibagi menjadi tiga kategori yaitu air buangan yang paling pekat dengan waktu <3 menit, 46 menit, dan >6 menit. Pengambilan sampel air dilakukan dengan cara menadah air sampel menggunakan ember 10 liter kemudian dimasukkan kedalam botol poliyeteline 1.000 mL dan dimasukkan ke dalam coolbox yang telah diisi es batu yang berfungsi sebagai pengawet, selanjutnya sampel air dibawa kelaboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros untuk dianalisa. Parameter kualitas air yang diukur adalah: NO2, NO3, TAN, PO4, TSS, BOT, dan alkalinitas. Analisa Data Hasil analisa kualitas air kemudian di olah dan dibahas secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk gambar. Hasil analisa tersebut kemudian dibandingkan dengan standar mengenai air buangan limbah limbah (Tabel 1). HASIL DAN BAHASAN Hasil Konsentrasi NO3 selama masa pemeliharaan memperlihatkan dinamika yang fluktuatif cenderung menurun (Gambar 2). Konsentrasi antara petak A, B dan C memperlihatkan dinamika yang hampir sama. Kisaran konsentrasi petak A 0,39-55,30 mg/L; B 1,15-42,12 mg/L; dan petak C 0,09-41,88 mg/
1017
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Tabel 1. Standar air buangan limbah tambak
Peubah Suspended Solids
Nilai 70 mg/L
Metode Glass Fibre Filter Disc
NH3-N (Amonia Nitrogen)
1,1 mg-N/L
Modified idophenol blue
Total phosphorus
0,4 mg-P/L
Ascorbic Acid
H 2S (Hydrogen Sulfide)
0.01 mg./l
Methylene Blue
Total Nitrogen
4.0 mg-N./l.
Total Dissolved Nitrogen and Total Particulate Nitrogen
(1) Persulfate Digestion (2) Nitrogen Analyzer
Sumber: Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (APHA, AWwA and WEF), Practical Handbook of Seawater Analysis (Stickland and Parsons), Methods of Seawater Analysis (Koroleff), Determination of Ammonia in Estuary (Sasaki and Sawada) Methods of Seawater Analysis (Grasshoff K.) Notification of the Ministry of Natural Resources and Environment ,Effluent Standard for Brackish Aquaculture published in the Royal Government Gazette, Vol. 124 Part 84 D, dated July 13, B.E. 2550 (2007) Notification of the Ministry of Natural Resources and Environment: Designated Brackish Aquaculture as Pollution Point Sources published in the Royal Government Gazette, Vol. 124 Part 84 D, dated July 13, B.E. 2550 (2007)
Gambar 2. Konsentrasi NO3 selama masa pemeliharaan L, petak A dan B memiliki konsentrasi tertinggi terdapat pada bulan ke-4 yaitu pada umur 70-75 hari sedangkan petak C terdapat pada bulan ke-1. Begitu pula dinamika menurunnya konsentrasi NO3 pada petak A, B, dan C terjadi pada bulan ketiga. Secara umum konsentrasi petak B lebih tinggi dibandingkan petak A dan C sedangkan petak C lebih tinggi dibandingkan petak B. Konsentrasi NO2 selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 3, di mana antara petak A, B, dan C sangat fluktuatif namun menurun pada akhir penelitian. Kisaran konsentrasi petak A 0,042-26,600 mg/L; petak B 0,005-21,865 mg/L; dan C 0,010-26,850 mg/L. Peningkatan konsentrasi terjadi mulai minggu ketiga hingga minggu kesepuluh kemudian konsentrasi menurun pada minggu kedua belas hingga minggu terakhir. Konsentrasi secara umum petak C lebih tinggi dibandingkan petak A dan B, sedangkan petak B lebih tinggi dibandingkan dengan petak A.
Karakteristik air buangan limbah budidaya udang ..... (Mat Fahrur)
1018
Gambar 3. Konsentrasi NO2 selama masa pemeliharaan Dinamika konsentrasi TAN pada petak A dan B berfluktuatif cenderung menurun namun petak C berfluktuatif cenderung meningkat (Gambar 4). Konsentrasi petak A berkisar antara 2,353-13,625 mg/L, petak B 1,791-11,213 mg/L dan 2,088-23,525 mg/L pada petak C. Petak A mengalami peningkatan sebanyak 4 kali, petak B hanya satu kali dan tiga kali pada petak C, sedangkan konsentrasi menurun petak A sebanyak 4 kali, B tiga kali dan C empat kali. Petak A dan B mengalami penigkatan pada minggu kedua kemudian menurun minggu kempat. Peningkatan kembali hingga minggu sembilan, sedangkan petak C mengalami penurunan konsentrasi mulai minggu kedua kemudian meningkat hingga minggu kesepuluh selanjutnya befluktuatif sampai minggu terakhir.
Gambar 4. Konsentrasi Total Amoniak Nitrogen (TAN) selama masa pemeliharaan Konsentrasi posfat petak A 0,250-25,200, B 1,750-16,525 mg/L dan C 0,025-27,450 mg/L, terjadi peningkatan konsentrasi mulai minggu pertama hingga minggu kelima kemudian menurun dan selanjutnya berfluktuatif hingga akhir penelitian baik pada petak A, B maupun C (Gambar 5). Selama masa pemeliharaan konsentrasi secara umum memperlihatkan petak C memiliki konsentrasi tertinggi yang kemudian disusul petak B dan A. Konsentrasi total suspended solid (TSS) selama masa pemeliharaan petak A berkisar antara 2152,123 mg/L, B 300-1,440 mg/L dan C 170-2,230 mg/L (Gambar 6). Konsentrasi petak A, B, dan C meningkat dan berfluktuatif, namun memiliki pola yang tidak sama antara minggu kedua hingga minggu kedelapan dan kesaam pola terjadi pada minggu kesembilan hingga sebelas. Pola fluktuasi petak C yang meningkat pada minggu keempat dan terus menurun hingga akhir penelitian, sedangkan petak B setelah meningkat pada minggu kedua kemudian menurun minggu kempat dan meningkat kembali pada minggu keenam selanjutnya menurun pada minggu kedelapan dan terus meningkat
1019
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Gambar 5. Konsentrasi posfat selama masa pemeliharaan
Gambar 6. Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) selama masa pemeliharaan hingga berakhir penelitian demikian pula pada petak A yang mengalami peningkatan cukup tajam pada akhir penelitian. Konsentrasi Total Orgaik Metter (TOM) pada petak A berkisar antara 67,255-135,652 mg/L, petak B 68,828-106,871 mg/L dan 46,256-103,819 mg/L. Fluktuasi petak A, B dan C mengalami pola yang hampir sama, peningkatan petak A yang lebih tinggi dibandingkan petak B dan C namun petak C lebih tinggi dibandingkan dengan petak B (Gambar 7).
Gambar 7. Konsentrasi Total Organik Metter (TOM) selama masa pemeliharaan
Karakteristik air buangan limbah budidaya udang ..... (Mat Fahrur)
1020
Hasil analisa kualitas air selama masa pemeliharaan memperlihatkan tiga parameter kualitas air buangan limbah yang memiliki nilai di atas ambang batas dari standar air buangan limbah tambak yang diperkenankan yaitu N Total, PO4, BOT, dan TSS. Kandungan N Total air buangan limbah berkisar antara 2,7744-19,770 (9,8389±5,4105) mg/L untuk petak A dan petak B antara 3,9146-22,1890 (10,7562-±5,3446) mg/L dan C 5,6907-29,0501 (14,6240±7,2050). Sementara kandungan BOT untuk petak A adalah 67,255-135,652 (88,641±18,5926) mg/L, petak B adalah 68,818-106,871 (83,692±12,072) mg/L dan 46,256-103,918 (81,227±18,622) petak C. Untuk nilai TSS air buangan limbah tambak berkisar 215-2.173 (2,94±6,06) mg/L untuk petak A dan petak B 300-1,140 (798±407) mg/L dan petak C 170-2,230 (918±660) (Tabel 2). Tabel 2. Karakteristik air buangan limbah tambak udang vaname superintensif
Peubah NO3
NO2
TAN
N Tot (mg/L)
PO4
BOT
TSS
Kode
Min
Max
Avg
Sd
A
0,39
55,30
8,33
14,46
B
1,15
42,12
12,64
13,18
C
0,09
41,88
10,36
12,65
A
0,042
26.600
6.843
8.749
B
0,005
21.825
9.659
8.167
C
0,010
26.850
11.491
9.552
A
2.353
13.625
6.882
3.744
B
1.791
11.213
5.999
2.648
C
2.088
23.525
10.014
8.014
A
27.744
198.770
98.389
54.105
B
39.146
221.890
107.562
53.446
C
56.907
290.501
144.260
72.050
A
0,250
25.200
9.214
7.092
B
1.750
16.525
7.877
3.956
C
0,025
27.450
11.872
7.680
A
67.255
135.652
88.641
18.592
B
68.818
106.871
83.692
12.072
C
46.256
103.819
81.227
18.622
A
215
2,173
924
606
B
300
1,44
798
407
C
170
2,23
918
660
Bahasan Meningkatnya konsentrasi NO3 secara umum disebabkan oleh jumlah pakan yang diberikan. System pemberian pakan secara bland feeding bertujuan untuk mengurangi variasi bobot udang, memicu pertumbuhan udang pada fase post larva, namun system ini ternyata menyebabkan meningkatnya NO 3. Pakan dengan kadar protein antara 35-41% memberi kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan konsentrasi TAN. Pakan yang tidak termakan serta sisa metabolism udang akan larut kemudian di proses oleh bakteri nitrifikasi. Hal ini menjadi faktor utama dan bakteri nitrifikasi secara cepat mengkonversi amoniak nitrogen menjadi nitrat. Konsentrasi amoniak diatas 4 atau 5 mg/L
1021
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
akan menjadi racun bagi udang (Boyd & Clay, 2002). Dalam penelitian ini, konsentrasi nitrat pada semua petak telah melebihi ambang batas, tetapi nitrat tidak bersifat racun bagi udang pada konsentrasi dibawah 50 mg/L (Boyd & Clay, 2002). Dalam penelitian ini petak A konsentrasinya mencapai 55,30 mg/L, namun tidak menyebabkan kematian massal bagi udang vannamei. Meningkatnya konsentrasi nitrit disebabkan oleh proses nitrifikasi yang sangat dipengaruhi oleh banyak factor. Karena nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) dari proses amoniak ke nitrat sehingga harus mengeliminir factor-faktor yang menghambat. Menurut Krenkel & Novonty (1980) dalam Novonti & Olem (1994) dalam Effendi (2003) menyatakan kadar oksigen <2 mg/L, pH optimum 8-9 (<6 reaksi akan berhenti), bakteri nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen dan padatan lain, kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat dibandingkan bakteri heterotrof dalam perairan kaya bahan organic dan suhu optimum 20-25 oC. Tingginya nitrit dalam penelitiuan ini disebabkan oleh rendahnya kadar oksigen pada saat listrik padam. Jika melihat konsentrasi oksigen terlarut pada saat listrik padam menyebabkan kincir mati dan dengan cepat oksigen terlarut mengalami penurunan hingga 0,5 mg/L. Hal ini terjadi pada petak A, B, dan C, sehingga menyebabkan nitrit pada level tertinggi selama masa pemeliharaan. Oleh sebab itu genset sebagai pengganti listrik saat padam merupakan peralatan sekunder yang harus selalu tersedia dan dalam kondisi siap pakai. Selain itu pH merupakan parameter yang sangat penting untuk selalu dipantau. Konsentrasi pH juga memperlihatkan konsentrasi yang menurun hingga level 6,5 dan mendekati kerawanan proses nitrifikasi mulai terganggu sehingga kondisi ini juga memicu meningkatnya nitrit. Sedangkan tingginya konsentrasi TSS selama penelitian tidak dapat terhindarkan karena input pakan yang besar, sementara penggunaan sumber C organic dari molase menyebabkan kerja bakteri pengurai lebih cepat. Bahan organic yang larut akan dikonversi kedalam bioflok sehingga diduga bakteri nitrifikasi mengalami pertumbuhan lebih lambat dibandingkan bakteri heterotrof dan bakteri nitrifikasi menempel pada sedimen sehingga pada saat dibuang bakteri nitrifikasi ikut terbuang dan konsentrasinya menjadi rendah. Seperti yang dikatakan Jorang et al. (1995), bahwa bioflok ini merupakan campuran heterogen dari mikroba (bakteri, plankton, fungi, protozoa, ciliata, nematoda), partikel, koloid, polimer organik, kation yang saling berintegrasi cukup baik dalam air untuk tetap bertahan dari agitasi (goncangan) air yang moderat. Pemicu pembentukan bioflok adalah populasi bakteri heterotrof. Pada kepadatan bakteri heterotrof yang cukup tinggi dalam media akan memicu terbentuknya bioflok. Flok mikroba ini mengandung nutrisi seperti protein (19-58%), lemak (2-39%), karbohidrat (27-59%), dan abu (217%) yang cukup bagus bagi ikan/udang budidaya (Verstraete et al., 2008; Crab et al., 2009). Perkembangan populasi bakteri heterotrof ini jauh lebih cepat dibandingkan kecepatan tumbuh bakteri nitrifikasi dan fitoplankton (Ebeling et al., 2006). Selain itu di dalam sedimen biasanya kaya akan fosfat. Fosfat yang bersifat mengendap bersama sedimen menyebabkan meningkatnya konsentrasi dalam limbah yang terbuang melalui sentral drain. Namun konsentrasi posfat dalam air budidaya juga mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat seiring dengan masa pemeliharaan (Undu, 2015). Tingginya konsentrasi posfat dalam air budidaya adalah rendahnya retensi P dalam daging udang. Salah satu cara adalah dengan pergantian air merupakan salah satu harapan yang dapat digunakan untuk mengurangi bahan organic yang menumpuk dan mengendap didasar tambak, sehingga terjadi penumpukan bahan organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan dan sisa hasil metabolism udang. Standar air buangan limbah tambak untuk kandungan N-Tot, PO 4, BOT, dan TSS masingmasing adalah 4 mg/L; 0,4 mg/L; 30 mg/L; dan 70 mg/L sehingga kandungan air buangan limbah tambak superintensif untuk ketiga parameter tersebut telah melewati batas ambang yang diperkenankan. Sehingga menurunkan beberapa parameter yang terdapat dalam limbah cair sangat penting. Menurunnya konsentrasi buangan limbah budidaya udang vanamei yang dibuang melalui sentral drain sangat dipengaruhi oleh pergantian air. Panen parsial berdampak pada biomassa udang dan input pakan yang diberikan, sehingga sangat signifikan mengurangi konsentrasi bahan organic. Selain itu pada saat proses panen parsial yg membuang air sebanyak 50% dari volume air tambak menyebabkan pengenceran air yang berdampak pada menurunnya beberapa parameter kualitas air.
Karakteristik air buangan limbah budidaya udang ..... (Mat Fahrur)
1022
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian budidaya udang vaname superintensif di tambak 1.000 m 2 dapat disimpulkan: Karakteristik air buangan limbah tambak untuk parameter TAN, N-Total PO4, BOT dan TSS telah melebihi batas ambang atas standar effluen limbah budidaya tambak yaitu berturut-turut TAN (NH 3-N) 1,1 mg/ L; N-total 4,0 mg/L; PO4 0,4 mg/L; dan TSS 70 mg/L. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan effluen limbah tambak udang vaname superintensif sebelum dibuang ke lingkungan perairan. Pergantian air secara kontinu dan pengurangan biomassa secara parsial dapat meningkatkan kualitas air. Teknologi budidaya udang vaname superintensif dapat mendukung upaya pencapaian sasaran produksi udang nasional sekaligus mendorong berkembangnya kegatan industrialisasi perikanan budidaya dalam konteks blue economy. Namun demikian, masih diperlukan kajian aplikasi Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) dalam sistem produksi budidaya udang vaname superintensif dan dampaknya terhadap lingkungan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada BPPBAP, Maros yang telah mendanai penelitian ini melalui anggaran APBN 2014 Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Keberhasilan penelitian ini sangat ditentukan oleh kerjasama semua pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan kepada tim peneliti, teknisi litkayasa dan analis yang terlibat serta pengelola anggaran yang telah mendukung jalannya penelitian ini dengan sangat baik. DAFTAR ACUAN Anonim. (2012). Produksi udang 100 ton/ha bukan mustahil. http://www.dkp.sulteng.go.id. 2p. [2 November 2012]. APHA (American Public Health Association). (2005). Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. Twentieth edition APHA-AWWA-WEF, Washington. Aslamiyah, S. (2006). Peningkatan peran Mikroba saluran pencernaan untuk memacu pertumbuhan dan kelangsunganhidup ikan gurame (Osphronemus gouramy Lacepede). Laporan penelitian hibah bersaing DIKTI Tahun III. Atjo, H. (2013). Budidaya udang vaname supra-intensif Indonesia. Dipresentasikan pada Launching Budidaya Udang Vaname Supra-intensif Indonesia. Barru, 24 Oktober 2013. MAI-SCI Sulawesi Selatan, 4 hlm. Avnimelech, Y. (1999). Carbon / nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture, 176, 227235. Avnimelech, Y. (2007). Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge bio-flocs technology ponds. Aquaculture, 264, 140-147. Avnimelech, Y. (2009). Biofloc Technology. World Aquaculture Society, Louisiana, USA, 182 pp. Brune, D.E., Schwartz, G., Eversole, A.G., Collier, J.A., & Schwedler, T.E. (2003). Intensification of pond aquaculture and high rate photosynthetic systems. Aquaculture Engineering, 28, 65-86. Barg, U.C. (1992). Guidelines for the promotion of environmental management of coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 121990, 2 pp. Blaxhall, P., & Daishley, K. (1973). Some Blood Parameters of the Rainbow Trout I. The Kamloops variety, J. Fish. Biol., 5, 1-8. Boyd, C.E. (1995). Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 348 pp. Boyd, C.E., & Clay, J.W. (2002). Evaluation of Belize Aquaculture, Ltd: A Superintensive Shrimp Aquaculture Systems. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Public Discussion. Published by the Consortium, 17 pp. Braak, K. Van den. (2002). Haemocytic Defence in Black Tiger Shrimp (Panaeus monodon). PhD thesis, Wageningen University – with ref. – with summary in Dutch. Nedherlands, 159 pp. Chang, C.F., Chen, H.Y., Su, M.S., & Liao, I.C. (2003). Immunomodulation by dietary â- 1,3-glucan in the brooders of the black tiger shrimp Penaeus monodon. Fish Shellfish Immunol, 10, 505-514.
1023
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Chien, Y.H., & Lain, H.T., (1988). The effect of aged sediments and stocking density on freshwater prawn Macrobrachium rosenbergiii culture. J. Worl Aquaculture Soc., 19(1), 22-2A. Crab, R., Chielens, B., Wille, M., Bossier, P., & Verstraete, W. (2009). The effect of different carbon sources on the nutritional value of bioflocs, a feed for Macrobrachium rosembergii postlarvae. Aquaculture Research, p. 1-9. Ebeling, J.M., Timmons, M.B., & Bisogni, J.J. (2006). Engineering analysis of the stoichiometry of photoautotrophic, autotrophic and heterotrophic removal of ammonia–nitrogen in aquaculture systems. Aquaculture, 257, 346–358. Effendi. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Ekasari, J. (2008). Biofloc technology: The effect different carbon source, salinity and the addition of probiotics on the primary nutritional value of the bio-flocs. Thesis. Ghent University, Belgium, 72 pp. Fox, C., & Kilvert, A. (2007). Bersahabat dengan diabetes. Penebar swadaya. Jakarta. Gunarto & Hendrajat, A. (2008). Budidaya udang vaname, Litopenaeus vannamei, pola semiintensif dengan aplikasi beberapa jenis probiotik komersil. J. Ris. Akuakultur, 3(3), 339-349. Hangsheng, Y., Ying, L., Kui, Y., & Shilin, L. (2008). Design and Performance of Superintensive Shrimp Culture System. Institute of Oceanology, Chinese Academy of Siences. Hananto, A. (2015). Produsen Udang Terbesar Kedua Dunia. Goodnews Indonesia. http:// www.goodnewsfromindonesia.org/2015/03/14/produsen-udang-terbesar-kedua-di-dunia/. Hastuti, S., Supriyono, E., Mokoginta, I., & Subandiyono. (2003). Respon glukosa darah ikan (Osphronemus gouramy, LAC.) terhadap stres perubahan suhu lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 2(2), 73-77. Hopkins, J.S., Stokes, A.D., Browdy, C.L., & Sandifer, P.A. (1991). The relationship between feeding rate, paddlewheel aeration rate and expected dawn dissolved oxygen in intensive shrimp ponds. Aquacultural Engineering, 10, 281-290. Hossain, M.S., Uddin, M.J., & Fakhruddin, A.N.M. (2013). Impacts of shrimp farming on the coastal environment of Bangladesh and approach for management. Rev Environ Sci Biotechnol, 12, 313332. Jorand, F., Zartarian, F., Thomas, F., Block, J.C., Betteru, J.V., Villemin, G., Urbain, V., Manen, J. (1995). Chemical and structural (2nd) linkage between bakteria within activated-sludge flock. Water Res, 29(7), 1639-1647. Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2012). Statistik Kelautan dan Perikanan 2010. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kim, J.S., & Jang, I.K. Limited water exchange shrimp culture. West Sea Mariculture Research Center, National Fisheries R & D Institute. http://www.yslme.org/doc/rmc/Presentation/JongSheek%20Kim.pdf [25 November 2013]. Komata, Y. (1990). Umami taste of seafoods. Food Reviews International, 6, 457-487. Kuhre, W.L. (1996). Sistem Manajemen Lingkungan. Sertifikasi ISO 14001. Penuntun praktis dalam mempersiapkan sistem manajemen lingkungan yang efektif, 368 hlm. Latt, U.W. (2002). Shrimp pond waste management. Aquaculture Asia, 3, 11-16. Li, C.K. (1989). Prawn culture in Taiwan, 1989. World Aquaculture, 20(2), 19-20. Lignot, J.H., Spnings-Pierrot, C., & Charmantier, G. (2000). Osmoregulatory capacity as tool in monitoring the physiologycal condition and the effect of stress in crustaceans. Aquaculture, 191, 209245. Limsuwan, C. (2009). Experiences cultivating white shrimp in Thailand. Boletines nicovita. April-June 2009, 7 pp. Listianingsih, W. (2013). Tidak perlu lagi fobia N tinggi. Agrina, Vol. 9, No. 213, 22 Oktober 2013, 24 hlm. Lopez-Ivich, M.A. (1996). Characterization of Effluents from three Commercial Aquaculture Facilities in South Texas. Master’s Thesis. Texas A&M University. Corpus Christi, Texas.
Karakteristik air buangan limbah budidaya udang ..... (Mat Fahrur)
1024
Lovell, R.T. (1991). Laboratory manual for fish feed analysis and fish nutrition studies. Department of Fisheries and Allied Aquacultures. International Center for Aquaculture, Auburn University, 65 pp. Martin, J., Veran, Y., Guelorget, O., & Pham, D. (1998). Shrimp rearing: Stocking density, growth, impact on sediment, waste output and their relationships studed through the nitrogen. Aquaculture, 164, 135-149. Manopo, H. (2011). Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 121 hlm. Moos, S.M., Otoshi, C.A., & Leung, P. (2005). Bigger shrimp: Optimizing strategies for growing larger L. vanamei. Global Aquaculture Advocate. October 2005, p. 68-69. Otoshi, C.A., Naguwa, S.S., Falesch, F.C., & Moss, S.M. (2007). Shrimp behaviour may affect culture performance at superintensive stocking densities. Global Aquaculture Advocate. March/April 2007, p. 67-69. Parsons, T.R., Maita, Y., & Lalli, C.M. (1989). A Manual of Chemical and Biological Methods for Seawater Analysis. Pergamon Press, Oxford. Pascual, G., Gaxiola, G., & Rosas, C. 2003. Blood metabolites and hemocyanin of the white shrimp, Litopenaeus vannamei: the effect of culture conditions and comparison with other crustacean spesies. Marine Biology, 142, 735-745. Syah, R., Usman, & Pongsapan, D.S. (2003). Pendugaan beban limbah dari budidaya bandeng dalam keramba jaring apung di laut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9(2), 5-76. Rachman Syah, H.S. Suwoyo, M.C. Undu, Makmur. 2006. Pendugaan nutrien budget tambak intensif udang vaname, Litopenaeus vannamei. Jurnal Riset Akuakultur Vol.1(2), 2006:181-202. Rukyani, A. (2000). Masalah penyakit udang dan harapan solusinya. Makalah disampaikan pada Sarasehan Akuakultur Nasional 2000, IPB Bogor, 5-6 Oktober 2000, 7 hlm. Samocha, T.M., & Lawrence, A.L. (1995). Shrimp farm’s effluent waters: environment impact and potential treatment methods. Water effluent and Quality, with special emphasis on finfish and shrimp aquaculture. U.S.-Japan Cooperative Program in Natural Resources. Corpus Christi, Texas. Samocha, T.M. (2010). Use of no water exchange and Zeigler 35% CP HI diet for the production of marketable Pacific White Shrimp, Litopenaeus vannamei, in a super-intensive raceway system. The Practical Asian Aquaculture.Vol.1 Issue3, July-Sep 2010, p. 8-10. Shrestha, M.K., & Lin, C.K. (1996). Phosphorus fertilization strategy in fish ponds based on sediment phosphorus saturation level. Aquaculture, 142, 207-219. Smal, B.C. (2004). Effect of isoeugenol sedation on plasma cortisol, glucose, and lactate dynamics in channel catfish Ictalurus punctatus exposed to three stressors. Aquaculture, 238, 469-481. Soderhall, K., & Cerenius, L. (1998). Role of the prophenoloxidase-activating system in invertebrata immunity. Curr opin immunol., 10, 23-28. Tacon, A.G.J. (2000). Shrimp feeds and feeding regime in zero exchange outdoor tanks. Global Aquaculture Advocate, 3(2), 15-16. Tampangallo, B.R., Pakidi, C.S., & Rantetondok, A. (2013). Sintasan pasca larva udang windu Penaeus monodon yang dipelihara dengan menggunakan beberapa jenis probiotik RICA dan resistensinya terhadap bakteri patogen Vibrio harveyii. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Jakarta. Taqwa, F.H., Djokosetiyanto, D., & Affandi, R. (2008). Pengaruh penambahan kalium pada masa adaptasi penurunan salinitas terhadap performa pascalarva udang vaname (Litopenaeus vannamei). Jurnal Riset Akuakultur, 3(3), 52-59. Taw, N., Fuat, H., Tarigan, N., & Sidabutar, K. (2009). Partial harvest with BFT, a promising systems for Pacific White Shrimp. World Aquaculture 2009. Veracruz, Mexico. 2009. Teichert-Coddington, D.R., Rouse, D.B., Potts, A., & Boyd, C.E. (1999). Treatment of harvest discharge from intensive shrimp ponds by settling. Aquacultural Enggenering 19(1999), 147-161. Verstraete, W., Schryver, P.D., Defoirdt, T., & Crab, R. (2008). Added value of microbial life in flock. Laboratory for Microbial Ecology and Technology, Ghent Univeristy, Belgium. 43 p. http:// labmet.ugent.be. 43 pp.
1025
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Watanabe, T. (1988). Fish nutrition and mariculture. JICA Texbook the General Aquaculture Course. Departement of Aquatic Bioscience, Tokyo University of Fisheries, Japan, 233 pp. Yu., R., & Leung, P. (2006). Optimal partial harvesting schedule for aquaculture operations. Marine Resources Economics, 21, 301-315. Yu, R., Leung, P., Kam, L.E., & Bienfang, P. (2010). A Decision Support System for Scheduling Partial Harvesting in Aquaculture. 2010. IGI. Global, p. 406-509.
Karakteristik air buangan limbah budidaya udang ..... (Mat Fahrur)
1026
DISKUSI
Nama Penanya: Fairus Pertanyaan: Treatment pengolahan limbang menggunakan sensi fugasi untuk filtuasi dengan memisahkan padatan dan cair. Padatan digunakan untuk pupuk Tanggapan: Pengelolaan limbah (IPAL) menggunakan pengendapan sudah cukup cepat. Selama 21 menit sudah 40% limbah terendap. Metode ini dianggap efektif, efisien dan mudah untuk petambak