PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI LIMBAH PADAT INDUSTRI AGAR-AGAR SEBAGAI ADSORBEN LOGAM BERAT DAN BAHAN ORGANIK DARI LIMBAH INDUSTRI TEKSTIL
FITRIANY FAUJIAH
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN FITRIANY FAUJIAH. C34080044. Pemanfaatan Karbon Aktif dari Limbah Padat Industri Agar-agar sebagai Adsorben Logam Berat dan Bahan Organik dari Limbah Industri Tekstil. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan YUSLI WARDIATNO. Limbah padat agar-agar merupakan limbah yang dihasilkan dari industri agar-agar dimana jumlahnya mencapai 65–70% dari total bahan baku. Limbah agar-agar diketahui mengandung selulosa yang cukup tinggi sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membuat kabon aktif dari limbah padat agar-agar serta untuk mengetahui karakteristik karbon aktif yang dihasilkan. Karbon aktif terbaik kemudian diaplikasikan sebagai adsorben limbah industri tekstil. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2012. Karakterisasi limbah padat agar, pembuatan serta karakterisasi karbon aktif dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pengujian serat kasar dilakukan di Laboratorium Analisis Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Pengujian logam dilakukan di Laboratorium Bersama, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, sedangkan pengujian BOD dan COD dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan karbon aktif meliputi proses karbonisasi dan aktivasi. Proses aktivasi arang dilakukan dengan menggunakan larutan aktivator yang berbeda, yaitu H3PO4, ZnCl2 dan KOH. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan larutan aktivator tidak mempengaruhi karakteristik rendemen, kadar air, kadar zat mudah menguap, dan daya serap iod karbon aktif, tetapi perbedaan aktivator mempengaruhi karakteristik kadar abu dan kadar karbon aktif murni. Perlakuan terbaik dari penelitian ini adalah karbon aktif dengan aktivator H3PO4. Karakteristik karbon aktif dengan aktivator H3PO4 yaitu rendemen 77,60%, kadar air 2,97%, kadar abu 66,92%, kadar zat mudah menguap 5,99%, karbon aktif murni 27,40%, dan daya serap iod 143,67 mg/g. Aplikasi karbon aktif dilakukan untuk mengetahui kemampuan karbon aktif sebagai adsorben limbah industri tekstil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karbon aktif dapat mengadsorpsi logam Ag, Pb, dan Cu. Persentase penyerapan logam Ag mencapai 100%, sedangkan persentase penyerapan optimum logam Pb adalah 57,35% pada periode kontak 1 jam dan penyerapan optimum logam Cu adalah 86,30% pada periode kontak 2 jam. Karbon aktif hasil penelitian juga dapat menurunkan nilai BOD dan COD. Periode kontak selama 72 jam dapat menurunkan nilai BOD hingga 90%, sedangkan kondisi pH 5,0 dapat menurunkan COD hingga 48,15%.
PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI LIMBAH PADAT INDUSTRI AGAR-AGAR SEBAGAI ADSORBEN LOGAM BERAT DAN BAHAN ORGANIK DARI LIMBAH INDUSTRI TEKSTIL
FITRIANY FAUJIAH C34080044
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
:
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Limbah Padat Industri Agar-agar sebagai Adsorben Logam Berat dan Bahan Organik dari Limbah Industri Tekstil
Nama NRP Program studi
: : :
Fitriany Faujiah C34080044 Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui: Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si NIP. 1967 0922 1992 03 1 003
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP. 1966 0728 1991 03 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M. Phil. NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pemanfaatan Karbon Aktif dari Limbah Padat Industri Agar-agar sebagai Adsorben Logam Berat dan Bahan Organik dari Limbah Industri Tesktil” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Fitriany Faujiah C34080044
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya dengan judul “Pemanfaatan Karbon Aktif dari Limbah Padat Industri Agar-agar sebagai Adsorben Logam Berat dan Bahan Organik dari Limbah Industri Tekstil”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1.
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis selama penelitian maupun penyusunan skripsi.
2.
Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen penguji tamu atas kritik dan saran yang telah diberikan.
3.
Ibu Dr. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan serta arahan kepada penulis selama menyelesaikan studi.
4.
Bapak Soerianto dan Bapak Soekoco yang telah memberikan izin pengambilan sampel saat penelitian.
5.
Keluarga terutama papa Abdul Holik, mama Eulis Konaah, kakak Shandy Agusman dan Widi Utami serta keponakan tercinta Nayla Alzena Furqoni yang senantiasa memberikan dorongan moril maupun material.
6.
Dimas Utomo Aji yang telah setia menemani dan memberi dukungan serta kasih sayang kepada penulis.
7.
Teman-teman seperjuangan, Yulista, Hilda, Asny, Aulia, Wulan, Siluh, Fitri, Abas, dan Hilma yang telah membantu dan memberikan semangat selama penyelesaian penelitian ini.
8.
Bu Ema, Mbak Dini, Mbak Lastri, dan Pak Wawan yang telah membantu dalam analisis dan memberi masukan kepada penulis selama penelitian.
9.
Keluarga Pondok Malea Atas, Tutut, Echa, Eka, Putri, Caca, Lele, Nova, Sofi, Sella, Mbak Indri, Mbak Kiky, dan Teh Nurul yang telah berjuang bersama-sama untuk menyelesaikan studi di IPB.
10. Teman-teman THP 45 yang telah memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam perbaikan skripsi ini. Sangat diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2012 Penulis
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 9 April 1991 dari pasangan Ayahanda Abdul Holik dan Ibunda Eulis Konaah serta merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri Manggahang I dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Baleendah dan lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 22 Bandung dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada Program Studi S1 Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) Divisi Kewirausahaan periode 2010/2011 dan anggota Fisheries Processing Club (FPC) periode 2011/2012. Penulis aktif sebagai asisten mata kuliah Ekologi Perairan periode 2010/2011, asisten mata kuliah Penanganan Hasil Perairan periode 2010/2011, asisten Mikrobiologi Hasil Perairan periode 2011/2012, asisten Biotoksikologi Hasil Perairan periode 2011/2012, asisten Kimia Dasar untuk Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2012, dan asisten mata kuliah Teknologi Industri Tumbuhan Laut pada tahun 2012. Penulis juga merupakan salah satu penerima beasiswa National Champion Scholarship dari Tanoto Foundation periode 2010-2012. Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pemanfaatan Karbon Aktif dari Limbah Padat Industri Agar-agar sebagai Adsorben Logam Berat dan Bahan Organik dari Limbah Industri Tekstil” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Tujuan ....................................................................................................... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4 2.1 Rumput Laut .............................................................................................. 4 2.2 Agar-agar ................................................................................................... 5 2.3 Karbon Aktif ............................................................................................. 6 2.4 Limbah Industri Tekstil ............................................................................. 10 2.5 Adsorpsi .................................................................................................... 14 2.6 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) .......................................... 15 3 METODOLOGI ............................................................................................. 17 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................... 17 3.2 Bahan dan Alat .......................................................................................... 17 3.3 Tahapan Penelitian .................................................................................... 18 3.3.1 3.3.2 3.3.3 3.3.4 3.3.5
Karakterisasi limbah padat agar-agar .............................................. 18 Karakterisasi limbah industri tekstil ................................................ 20 Pembuatan karbon aktif (Budiono et al. 2009) ................................ 22 Karakterisasi karbon aktif ................................................................ 23 Aplikasi karbon aktif sebagai adsorben ........................................... 25
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .................................................. 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 28 4.1 Karakteristik Limbah Padat Agar-agar ..................................................... 28 4.2 Karakteristik Limbah Industri Tekstil ....................................................... 30 4.3 Karakteristik Karbon Aktif dari Limbah Padat Agar ................................ 33 4.4 Aplikasi Karbon Aktif sebagai Adsorben Limbah Industri Tekstil .......... 41 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 46 5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 46 5.2 Saran .......................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47 LAMPIRAN ......................................................................................................... 52
viii
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1
Standar mutu arang aktif teknis...................................................................... 8
2
Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil.................................................11
3
Jenis pewarna tekstil dan logam berat yang dikandungnya...........................13
4
Karakteristik limbah padat agar-agar.............................................................28
5
Karakteristik limbah cair industri tekstil........................................................30
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1
Struktur kimia agar-agar................................................................................. 5
2
Struktur grafit karbon aktif............................................................................. 7
3
Karbon aktif berbentuk granul.......................................................................10
4
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)...............................................16
5
Diagram alir pembuatan karbon aktif dari limbah padat agar-agar................23
6
Karbon aktif hasil penelitian..........................................................................33
7
Nilai rendemen karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda..................34
8
Nilai kadar air karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda...................35
9
Nilai kadar abu karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda..................36
10
Nilai kadar zat mudah menguap karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda...........................................................................................................38
11
Nilai kadar karbon aktif murni dengan tiga jenis aktivator berbeda..............39
12
Nilai daya serap iod karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda..........40
13
Persentase penyerapan logam oleh karbon aktif pada jangka waktu kontak berbeda...........................................................................................................41
14
Persentase penyerapan logam oleh karbon aktif pada nilai pH berbeda...........................................................................................................43
15
Grafik penurunan nilai BOD dan COD limbah industri tekstil setelah penambahan karbon aktif dengan periode kontak berbeda............................44
16
Grafik penurunan nilai BOD dan COD limbah industri tekstil setelah penambahan karbon aktif dengan nilai pH berbeda.......................................45
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1
Dokumentasi penelitian............................................................................... 53
2
Contoh perhitungan karakterisasi limbah padat agar-agar........................... 54
3
Contoh perhitungan karakterisasi limbah industri tekstil............................ 55
4
Contoh perhitungan karakterisasi karbon aktif............................................ 56
5
Hasil analisis ragam rendemen karbon aktif................................................ 57
6
Hasil analisis ragam kadar air karbon aktif.................................................. 57
7
Hasil analisis ragam kadar abu karbon aktif................................................ 57
8
Hasil uji Duncan kadar abu karbon aktif..................................................... 57
9
Hasil analisis ragam kadar zat mudah menguap.......................................... 57
10
Hasil analisis ragam kadar karbon aktif murni............................................ 58
11
Hasil uji Duncan kadar karbon aktif murni.................................................. 58
12
Hasil analisis ragam daya serap iod............................................................. 58
13
Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Ag pada periode kontak 58 berbeda.........................................................................................................
14
Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Pb pada periode kontak berbeda......................................................................................................... 58
15
Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Pb pada periode kontak berbeda......................................................................................................... 59
16
Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Cu pada periode kontak berbeda......................................................................................................... 59
17
Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Cu pada periode kontak berbeda......................................................................................................... 59
18
Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Ag pada nilai pH berbeda.......... 59
19
Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Pb pada nilai pH berbeda........... 60
20
Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Pb nilai pH berbeda.............. 60
21
Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Cu pada periode kontak berbeda......................................................................................................... 60
22
Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Cu pada periode kontak berbeda......................................................................................................... 60
23
Perbandingan karakteristik beberapa karbon aktif....................................... 61
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya perairan melimpah serta termasuk negara eksportir penting berbagai komoditas hasil perairan di Asia. Luas perairan laut Indonesia serta keragaman jenis rumput laut merupakan cerminan dari potensi rumput laut Indonesia (Anggadiredja et al. 2011). Salah satu jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia yaitu penghasil agar-agar atau agarophyte. Rumput laut jenis agarophyte, misal Gracillaria sp. dan Gellidium sp. dapat menghasilkan metabolit primer berupa hidrokoloid yang disebut agar-agar. Agaragar merupakan polisakarida rantai panjang yang disusun oleh ulangan dari pasangan dua unit molekul agarosa dan agaropektin (Anggadiredja et al. 2011). Nilai produksi rumput laut Gracillaria sp. pada tahun 2011 yaitu sebesar 95.200 ton, dan pada tahun 2012 ditargetkan produksi rumput laut ini meningkat hingga 157.600 ton (KKP 2012). Kebutuhan agar-agar yang terus bertambah mengakibatkan produksinya pun meningkat. Selain agar, industri agar juga menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Limbah padat yang dihasilkan dari industri agar-agar mencapai 65-70% dari total bahan baku. Jika semua rumput laut Gracillaria sp. dimanfaatkan menjadi agar-agar, maka pada tahun 2011 total limbah padat agar-agar yang dihasilkan sekitar 61.880-66.640 ton. Penumpukkan limbah dapat menjadi masalah, terutama jika sarana penimbunan sudah tidak mampu menampung limbah hasil produksi sehingga perlu suatu upaya untuk memanfaatkan limbah padat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah dan juga untuk menerapkan prinsip zero waste industry (Saputra 2008). Limbah padat agar memiliki kandungan karbon organik yang banyak. Karbon pada rumput laut berasal dari selulosa atau hemiselulosa dan karbohidrat sebagai hasil fotosintesis. Kandungan karbohidrat pada rumput laut Gellidium sp. mencapai 87%, sedangkan pada agar mencapai 15%. Kandungan selulosa pada tumbuhan memiliki kekuatan adsorpsi yang tinggi (Suwilin 2007). Oleh karena itu, limbah padat agar-agar ini berpotensi menjadi suatu adsorben.
2
Adsorben adalah senyawa tempat terjadinya proses adsorpsi. Adsorpsi merupakan peristiwa terakumulasinya partikel pada permukaan. Jenis adsorben yang umum digunakan adalah karbon aktif. Karbon aktif adalah karbon amorf yang memiliki porositas internal tinggi, sehingga merupakan adsorben yang baik. Karbon aktif telah banyak dimanfaatkan secara luas sebagai adsorben air limbah (Roy 1995). Konsumsi karbon aktif dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2001-2002 kegiatan impor karbon aktif Indonesia mengalami peningkatan sebesar 107,14% sedangkan ekspor karbon aktif mengalami penurunan sebesar 4,54% (Sirait dan Sisilia 2008). Konsumsi karbon aktif dunia mencapai 300.000 ton/tahunnya (Hadi 2011). Karbon aktif terbukti efektif dalam menghilangkan logam berat, namun membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menemukan biomaterial karbon aktif dari bahan baku yang murah dan mudah didapat (Esmaeili et al. 2010). Limbah industri merupakan masalah yang berdampak pada lingkungan, terutama apabila limbah tersebut mengandung zat pencemar. Salah satu limbah yang dapat mencemari lingkungan adalah limbah cair dari industri tekstil. Limbah ini diketahui mengandung cemaran organik dan juga anorganik. Banyaknya cemaran organik dalam limbah dinyatakan dalam nilai Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Semakin tinggi nilai BOD dan COD maka semakin rendah kualitas suatu perairan (Salmin 2005). Cemaran anorganik contohnya adalah logam berat. Hasil penelitian Suganda et al. (2002) menunjukkan adanya Cu, Zn, Pb, Cd, Co, Ni, dan Cr pada limbah tekstil dengan kandungan logam berat yang tertinggi adalah Zn, Cu dan Cr. Cemarancemaran tersebut dapat direduksi salah satunya dengan treatment menggunakan adsorben karbon aktif. Karbon aktif pada dasarnya dapat dibuat dari berbagai bahan yang mengandung karbon, seperti tulang, kayu-kayuan, serbuk gergaji dan tempurung kelapa (Roy 1995). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pengganti adsorben yang telah ada dengan menggunakan karbon aktif yang dibuat dari limbah padat agar. Karbon aktif yang dihasilkan kemudian diaplikasikan sebagai adsorben limbah industri tekstil.
3
1.2 Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membuat karbon aktif dari limbah padat agar. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: 1.
Mengetahui larutan aktivator terbaik untuk membuat karbon aktif dari limbah padat agar-agar.
2.
Mengetahui karakteristik karbon aktif yang dihasilkan.
3.
Menentukan efektivitas karbon aktif sebagai absorben limbah industri tekstil dengan lama periode kontak dan pH yang berbeda.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut adalah tanaman tingkat rendah berbentuk thallus (thallophyta) yang tidak memiliki akar, batang dan daun yang sejati. Rumput laut merupakan makroalga yang tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya. Berdasarkan kandungan pigmennya, alga dikelompokkan menjadi beberapa kelas, yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Cyanophyceae (alga hijau biru), Rodhophyceae (alga merah) dan Phaeophyceae (alga coklat) (Anggadiredja et al. 2011). Kandungan gizi rumput laut diantaranya adalah karbohidrat, protein, sedikit lemak dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Rumput laut mengandung vitamin-vitamin seperti A, B1, B2, B6, B12 dan C; betakaroten; serta mineral dan asam amino esensial (Anggadiredja et al. 2011). Komposisi kimia dalam rumput laut bervariasi setiap spesiesnya. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, seperti lokasi dan musim panen. Komposisi kimia rumput laut juga dipengaruhi oleh lingkungannya seperti temperatur, tekanan udara, jumlah karbondioksida, dan intensitas cahaya (Salamah et al. 2005). Pemanfaatan rumput laut awalnya hanya sebagai sayuran namun seiring perkembangan teknologi, rumput laut dapat diekstraksi menjadi produk hidrokoloid seperti agar-agar, alginat dan karaginan. Senyawa hidrokoloid merupakan produk dasar atau hasil dari proses metabolisme primer. Pemanfaatan senyawa hidrokoloid tersebar dalam berbagai aspek, misal industri pangan, kosmetik, farmasi, kertas, cat, tekstil, film, makanan ternak, keramik, kertas, dan fotografi (Anggadiredja et al. 2011). Rumput laut juga dapat dimanfaatkan sebagai adsorben karena di dalam rumput laut terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma. Pada sel rumput laut juga terdapat area dangkal yang luas, sebagai tempat terjadinya pengikatan ion secara cepat dan reversible (Saputra 2008).
5
2.2 Agar-agar Agar-agar merupakan senyawa polisakarida yang diperoleh dari pengolahan rumput laut kelas agarophyte, seperti Gracillaria sp, Gelidium sp, Hypnea sp., Acanthopelus sp. dan Ceramium sp. Hasil analisis laboratorium di Jepang menunjukkan komposisi kimia dari rumput laut yang menhasilkan agar meliputi kurang lebih 16-20% air; 2,3-5,9% protein; 0,3-0,55% lemak; 67,85-76,15% karbohidrat; 0,8-2,1% serat, dan 3,4-3,6% abu (Chapman 1970). Molekul agaragar terdiri dari rantai linier galaktan yang merupakan polimer dari galaktosa. Galaktan berupa rantai linear yang netral atau sudah terekstraksi dengan metil atau asam sulfat (Anggadiredja et al. 2011). Komponen utama agar-agar adalah agarosa dan agaropektin. Agarosa adalah polisakarida nertal yang terdiri dari rangkaian D-galaktosa dengan ikatan β-1,3 dan L-galaktosa dengan ikatan α-1,4. Agarosa merupakan komponen yang membuat agar menjendal. Komponen ini tidak mengandung sulfat dan persentase agarosa dalam ekstrak agar berkisar antara 50-80%. Agaropektin merupakan polimer sulfat dan bersifat lebih kompleks. Agaropektin mengandung residu sulfat 3–10%, asam glukuronat dan asam piruvat. Agaropektin memiliki rantai yang hampir sama dengan rantai agarosa, tetapi berbeda residu 3,6-anhidro-L-galaktosa digantikan oleh L-galaktosa sulfat dan sebagian residu D-galaktosa digantikan oleh asetal asam piruvat (Chapman 1970). Struktur kimia agar-agar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia agar-agar Sumber : Anonim (2007)
6
Agar-agar digunakan secara meluas dalam berbagai industri, antara lain industri makanan, obat-obatan, tekstil, kertas, susu, mikrobiologi, dan kosmetika. Agar digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengental, penstabil dan penjernih suatu bahan pangan. Agar-agar memiliki sifat larut pada air panas namun tidak larut pada air dingin (Anggadiredja et al. 2011). Limbah agar merupakan hasil samping dari proses pengolahan rumput laut kelas Rodhopyceae (alga merah) menjadi agar. Limbah yang dihasilkan ini mencapai 65-70% dari bahan baku yang digunakan. Limbah padat agar juga diketahui mengandung berbagai unsur hara seperti kalsium dan magnesium. Selain itu, limbah ini mengandung selulosa tinggi yaitu sekitar 27,8–39,45% (Fithriani et al. 2007 diacu dalam Triwisari 2010). Limbah yang dihasilkan oleh industri agar biasanya dibiarkan menumpuk di lokasi penimbunan. Limbah ini sebenarnya tidak berbahaya, namun apabila dibiarkan terus menumpuk maka akan menimbulkan masalah. Hal ini berarti perlu dilakukan suatu upaya pemanfaatan limbah padat agar (Saputra 2008). Saat ini limbah agar banyak dimanfaatkan sebagai pupuk untuk pertumbuhan tanaman. Limbah agar mengandung selulosa yang dapat meningkatkan porositas untuk menopang pertumbuhan tanaman sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Hasil penelitian Afif (2010) menunjukkan bahwa limbah padat agar dapat digunakan sebagai media pertumbuhan pakcoy dan selada, sedangkan Mandella (2010) menggunakan limbah padat agar sebagai pupuk untuk tanaman mahoni. Selain selulosa, limbah agar juga mengandung komponen serat lainnya. Hasil penelitian Triwisari (2010) menunjukkan bahwa limbah agar mengandung hemiselulosa (13,89%), selulosa (59,69%), dan lignin (2,37%). Kandungan serat ini merupakan sumber karbon yang baik oleh karena itu diduga limbah agar berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku karbon aktif. 2.3 Karbon Aktif Arang atau karbon adalah suatu bahan padat yang berpori-pori dan merupakan hasil dari pembakaran bahan yang mengandung karbon. Arang aktif atau karbon aktif adalah arang yang telah diaktifkan sehingga pori-porinya terbuka sehingga daya adsorpsinya tinggi (Djatmiko et al. 1985). Karbon aktif merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon yang telah
7
mengalami pengembangan pori. Karbon aktif memiliki kemampuan untuk menjerap gas dan uap dari campuran gas dan zat-zat yang tidak larut atau terdispersi dalam cairan. Karbon aktif dapat mengabsorpsi suatu zat dengan cara membentuk ikatan yang kuat antara pori-pori dari struktur karbon (Roy 1995). Struktur karbon aktif digambarkan sebagai jaringan yang tumpang tindih dari dataran lapisan karbon dengan ikatan silang oleh gugus jembatan alifatik. Hal ini memeberikan suatu sifat yang unik, disebut struktur pori internal yang mudah dipenetrasi. Mikropori merupakan jenis pori yang dianggap penting karena sebagian besar adsorpsi terjadi di dalamnya. Mikropori adalah ruang dua dimensi yang terbentuk dari dua dinding seperti grafit, bidang planar kristalit yang disusun oleh gugus aromatik atom-atom karbon. Banyaknya pori berkorelasi dengan luas permukaan yang meningkatkan kemampuan absorpsi dari karbon aktif. Mikropori merupakan salah satu kelebihan dari karbon aktif (Marsh dan Reinoso 2006). Struktur grafit dari karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur grafit karbon aktif Sumber : Anonim (2010)
Keistimewaan lain dari karbon aktif adalah gugus fungsional pada permukaannya. Gugus kompleks oksigen di permukaan karbon aktif akan membuat permukaan karbon aktif menjadi reaktif secara kimiawi dan menentukan sifat adsorpsinya seperti sifat hidrofilik, keasaman dan potensial negatif. Adsorpsi oleh karbon aktif bersifat fisik, artinya adsorpsi terjadi jika gaya tarik Van der Waals oleh molekul-molekul di permukaan lebih kuat daripada gaya tarik yang menjaga adsorbat tetap berada dalam fluida. Sifat ini menguntungkan karena
8
karbon aktif dapat dipakai ulang melalui proses regenerasi (Roy 1995). Standar mutu arang aktif menurut SNI-06-3730-1995 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Standar mutu arang aktif teknis No
Parameter
1 2 3 4
Bagian yang hilang pada pemanasan 950 oC Kadar air Kadar abu Bagian yang tidak terarang
5 6 7 8 9 10 11 12
Daya serap terhadap I2 Karbon aktif murni Daya serap terhadap benzena Daya serap terhadap biru metilena Kerapatan jenis curah Lolos ukuran mesh 325 Jarak mesh Kekerasan
Satuan
Persyaratan Butiran Serbuk
%
Maks. 15
Maks 25
% %
Maks. 4,4 Maks. 2,5 Tidak ternyata Min. 750 Min. 80 Min. 25 Min. 60 0,45-0,55 90 80
Maks. 15 Maks. 10 Tidak ternyata Min. 750 Min. 65 Min. 120 0,30-0,35 Min. 90 -
% mg/ℓ % % mg/ℓ % % % %
Sumber : SNI (1995)
Karbon aktif dapat dibuat dari berbagai bahan baku yang mengandung karbon, misal tulang, kulit biji, kayu keras dan lunak, kulit kayu, tongkol jagung, serbuk gergaji, sekam padi dan tempurung kelapa. Bahan lain yang dapat digunakan adalah limbah kilang minyak, tanah gambut, batu bara, limbah ubi kayu dan serat sayuran (Roy 1995). Pembuatan karbon aktif sendiri terdiri dari dua tahapan, yaitu karbonisasi dan aktivasi. Karbonisasi adalah proses penguraian selulosa organik menjadi unsur karbon dan pengeluaran unsur non karbon yang berlangsung pada suhu sekitar 600-700 oC (Djatmiko et al. 1985). Pemanasan pada saat karbonisasi dilakukan tanpa udara sehingga terjadi penguapan dan dekomposisi bahan yang menghasilkan bahan baku yang terdiri dari karbon. Viswanathan et al. (2009) menyatakan bahwa selama proses karbonisasi atau pirolisis terjadi dekomposisi lignin dan selulosa melalui reaksi pemutusan ikatan kimia dan depolimerasi yang menghasilkan ikatan baru. Ikatan tersebut akan menstabilkan atom-atom karbon yang berdekatan yang kemudian membentuk kerangka karbon non-volatile dan stabil. Selama pemanasan, beberapa fragmen akan menguap (volatil) dan fragmen
9
lainnya akan saling berhubungan dengan karbon sehingga pada akhirnya menjadi arang. Tahapan karbonisasi dipengaruhi oleh suhu dan waktu yang digunakan. Bahan yang mengandung banyak selulosa diduga memiliki suhu optimum karbonisasi sekitar 300 oC. Hal ini karena penguraian selulosa terjadi pada suhu sekitar 300 oC, sedangkan penguraian lignin terjadi pada suhu 400 oC. Menurut Bagreev dan Bandosz (2002) suhu tinggi pada saat karbonisasi akan menyebabkan penguapan komponen-komponen organik serta dekomposisi dan dehidroksilasi komponen-komponen anorganik. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan rendemen arang dan kandungan karbon pada arang. Lamanya waktu atau periode karbonisasi juga mempengaruhi terhadap karakteristik arang yang dihasilkan. Semakin lama waktu karbonisasi maka proses penguraian komponen-komponen dalam sampel akan berlangsung sempurna sehingga yang tersisa hanya abu dan bahan-bahan anorganik lainnya. Tahapan selanjutnya dalam pembuatan arang aktif adalah aktivasi. Proses aktivasi bertujuan untuk membersihkan pori-pori arang yang dapat meningkatkan luas permukaannya (Djatmiko et al. 1985). Aktivasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah aktivasi kimia dengan menggunakan larutan aktivator H 3PO4, ZnCl2 dan KOH. Larutan aktivator ini memiliki efek dehydrating agent yang dapat memperbaiki pengembangan pori di dalam struktur karbon. Kelebihan lain dari aktivasi kimia yaitu suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi namun menghasilkan rendemen yang tinggi (Suhendra dan Gunawan 2010). Proses aktivasi diawali dengan merendam arang dalam larutan aktivator. Perendaman dengan larutan aktivator bertujuan agar terjadi kontak antara sampel dengan aktivator sehingga larutan aktivator dapat berdifusi ke dalam pori-pori arang. Larutan aktivator akan teradsorpsi oleh arang yang akan melarutkan tar dan mineral anorganik. Hilangnya zat tersebut dari permukaan arang berakibat meningkatnya luas permukaan karbon aktif (Budiono et al. 2009). Hal inilah yang akan berpengaruh terhadap kemampuan adsorpsi karbon aktif. Tahapan selanjutnya yaitu pencucian untuk menghilangkan residu aktivator lalu dilakukan netralisasi menggunakan akuades. Pencucian berulang-ulang juga bertujuan untuk menghilangkan pengotor dalam arang dan juga untuk membuat
10
arang dengan pH mendekati netral. Proses perendaman hingga pencucian ini berpengaruh terhadap gugus aktif pada karbon aktif. Gugus aktif pada aktivator akan digantikan oleh gugus OH dari aquades. Gugus OH menyebabkan permukaan karbon aktif menjadi hidrofilik sehingga akan berinteraksi lebih kuat dengan molekul polar (senyawa organik) dibandingkan dengan molekul-molekul non-polar (Budiono et al. 2009). Viswanathan et al. (2009) menyatakan bahwa reaksi pergantian gugus aktif ini dinamakan reaksi ion exchange yang terjadi antara gugus aktif larutan aktivator, seperti PO4 yang akan digantikan gugus OH dari aquades saat pencucian. Akhir proses aktivasi yaitu pengeringan sampel menggunakan oven untuk menguapkan air di dalam sampel serta untuk membuka pori-pori arang, sehingga pori-pori akan semakin besar. Suhu aktivasi berpengaruh besar pada pembentukan karbon dan kapasitas adsorpsi dari karbon aktif. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan terbentuknya abu. Hasil penelitian Suhendra dan Gunawan (2007) menunjukkan suhu aktivasi optimum untuk pembuatan karbon aktif dari sekam padi adalah sekitar 300 oC. Pada suhu yang lebih tinggi, rendemen yang dihasilkan akan semakin rendah karena terjadi proses pengabuan. Morfologi karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Karbon aktif berbentuk granul Sumber : Anonim (2009)
2.4 Limbah Industri Tekstil Limbah merupakan hasil buangan yang berasal dari kegiatan industri, rumah tangga maupun rumah sakit. Limbah dapat berupa padat, cair maupun gas yang akan menimbulkan gangguan baik terhadap lingkungan, kesehatan, kehidupan biotik, keindahan serta kerusakan benda. Limbah industri dapat berupa limbah
11
padat dan limbah cair (Khairani et al. 2007). Limbah padat industri tekstil berasal dari proses pemintalan dari yarn pada spinning mill, pelilitan benang pada kumparan, penenunan, perajutan dan production non woven, sedangkan limbah cair berasal dari proses penghilangan zat pelumas dan dari proses pencelupan. Limbah sering kali mengandung zat berbahaya seperti logam berat, sehingga perlu treatment khusus sebelum dibuang ke lingkungan (Siregar 2005). Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak paling luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik maupun kimianya yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Industri tekstil memerlukan bermacam zat warna, bahan kimia dan pembantu penyempurnaan bahan tekstil. Sebagian zat tersebut teradsorpsi oleh bahan tekstil, sedangkan sisanya berada dalam larutan yang akan dibuang bersama air bekas proses basah. Zat-zat dalam air buangan tersebut berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan (Hoo dan Suryo 1982 diacu dalam Ardhina 2007). Standar baku mutu air limbah industri tekstil sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Parameter BOD5 COD TSS Fenol Total Krom Total (Cr) Amonia Total (NH3N) Sulfida (sebagai S) Minyak dan lemak pH
Kadar Maksimum 60 150 50 0,5 1,0 8,0 0,3 3,0 6,0-9,0
Satuan mg/ℓ mg/ℓ mg/ℓ mg/ℓ mg/ℓ mg/ℓ mg/ℓ mg/ℓ -
Sumber : KEPMENLH (1995)
Cemaran limbah tekstil dapat direduksi dengan berbagai cara. Setiap industri memiliki treatment tersendiri untuk mereduksi cemaran pada air limbah yang dihasilkan. Air limbah yang telah ditreatment akan dibuang ke perairan, namun limbah tersebut harus dipastikan terlebuh dahulu memenuhi standar baku mutu agar tidak membahayakan lingkungan. Salah satu pengelolaan air limbah
12
tekstil ialah adsorpsi menggunakan karbon aktif. Penggunaan karbon aktif sebagai pengelolaan tahap akhir pada limbah tekstil merupakan metode yang cukup efektif. Adapun kelemahan dari karbon aktif yaitu tidak dapat menghilangkan sisa bahan pewarna dan bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara biologis. Beberapa bahan kimia dalam air limbah tekstil dapat diendapkan, diuraikan secara biologis, ataupun diserap, misalnya adalah senyawa polivinil alkohol (PVA) (Siregar 2005). Air limbah tekstil dapat dengan mudah dikenal karena warnanya. Selain zat warna yang menjadi kontaminan utama, ditemukan pula logam berat berbahaya seperti Cu, Zn, dan Cr (Suganda et al. 2002). Logam berat dihasilkan dari beberapa sumber dalam proses tekstil, seperti benang, suplai air bersih, bahan kimia (agen) oksidasi dan pereduksi elektrolit, asam dan basa, logam dalam proses penyelesaian (finishing), pewarna dan pigmen, herbisida dan pestisida, serta bahan kimia untuk perawatan (Smith 1988; Liu et al. 2006). Benang merupakan salah satu bahan baku dalam industri tekstil. Umumnya, logam berasal dalam benang alami, misalnya berasal dari kapas yang mengadsorpsi logam berat dari lingkungannya. Kontaminasi logam berat juga dapat berasal dari mesin pembuat benang. Logam berat pada limbah industri tekstil juga dapat berasal dari suplai air bersih. Konsentrasi logam berat dalam suplai air bersih tidak berada pada nilai yang signifikan (>1 ppm), misalnya logam tembaga, besi, dan seng. Tembaga (Cu) seringkali ditambahkan dalam sistem distribusi air minum untuk mencegah pertumbuhan alga dalam tangki dan kolam. Aluminum terdapat dalam dalam bentuk alum, juga merupakan logam yang sengaja ditambahkan ke dalam suplai air minum (Smith 1988). Bahan pengoksidasi pewarna vat (vat dyes) indsutri tekstil adalah logam kromium. Logam ini juga biasanya digunakan sebagai agen pengoksidasi. Kromium (Cr) memiliki karakteristik sebagai pengoksidasi yang kuat sehingga menjadi larutan yang berguna pada laboratorium, tetapi penggunanannya dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Masalah yang timbul antara lain yaitu pencemaran lingkungan, membahayakan pekerjaan mikrobiologis, serta bersifat toksik dalam fasilitas pengolahan limbah biologis (Smith 1988).
13
Proses penyelesaian (finishing) pada industri tekstil menggunakan beberapa bahan kimia organo-metalik, seperti water repellent, pencegah api (flame retardant), anti-jamur, dan anti-bau. Bahan ini dapat mengandung antimony, tin dan seng (Siregar 2005). Logam berat juga terdapat pada pewarna yang digunakan dalam industri tekstil. Beberapa jenis pewarna dan logam berat yang dikandungnya disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Jenis pewarna tekstil dan logam berat yang dikandungnya No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Pewarna Logam berat yang terkandung Vat Blue 29 Kobalt Pigment Blue 15 Tembaga Ingrain Blue 14 Nikel Ingrain Blue 5 Kobalt Ingrain Blue 13 Tembaga Direct Blue 86 Tembaga Direct Blue 87 Tembaga Pigment Blue 17 Tembaga, Barium Acid Blue 249 Tembaga Ingrain Blue 1 Tembaga Pigment Blue 15 Tembaga Pigment Green 37 Tembaga Pigment Green 7 Tembaga Ingrain Green 3 Tembaga Solvent Blue 25 Tembaga Solvent Blue 24 Tembaga Solvent Blue 55 Tembaga Reactive Blue 7 Tembaga
Sumber : Smith (1988)
Cemaran logam berat juga dapat berasal dari bahan-bahan yang digunakan dalam maintenance. Bahan kimia untuk perawatan seringkali merupakan sumber limbah toksik. Bahan kimia ini biasanya mengandung logam, asam, klor, perchloroethylene, dan materi toksik lainnya. Bahan kimia lain yang juga merupakan sumber logam (dan toksisitas) dari limbah cair adalah biosida dan herbisida. Biosida digunakan secara rutin untuk perawatan menara pendingin (cooling tower) dan pemurnian air. Biosida juga digunakan untuk beberapa aplikasi, misalnya proses penyelesaian (finishing) kaus kaki, tenda, tenda rumah, dan kain terpal, sedangkan herbisida digunakan untuk mengontrol rumput, rumput liar, dan tumbuhan lainnya di sekitar tangki penyimpanan, misalnya tangki gas,
14
bahan bakar, dan varsol. Sumber logam lain yang dapat terjadi adalah photographic processing yang biasa digunakan untuk mencetak screen atau operasi lainnya. Proses ini biasanya merupakan sumber logam perak yang cukup signifikan, tetapi logam tersebut dapat didaur ulang kembali dari limbah photo processing tersebut untuk mengurangi sumber pencemaran dan keuntungan ekonomi (Smith 1988).
2.5 Adsorpsi Salah satu metode untuk menghilangkan zat pencemar dari air limbah adalah adsorpsi. Adsorpsi merupakan peristiwa terakumulaisnya partikel pada permukaan. Partikel yang terakumulasi dan diserap oleh permukaan disebut adsorbat dan material tempat terjadinya proses adsorpsi disebut adsorben. Adsorben yang terbuat dari material biomassa umum disebut sebagai biosorben, sedangkan istilah biosorpsi dideskripsikan sebagai proses sorpsi menggunakan biomassa sebagai adsorben (Atkins 1990). Pemanfaatan biomassa sebagai adsorben bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi akan mendukung prinsip zerowaste, khususnya pada industri yang menghasilkan biomassa tersebut sebagai produk samping (Diantariani et al. 2008). Proses adsorpsi terdiri atas dua tipe, yaitu adsorpsi kimia dan adsorpsi fisika. Adsorpsi kimia adalah tipe adsorpsi dengan cara suatu molekul menempel ke permukaan melalui pembentukan suatu ikatan kimia. Ciri-ciri adsorpsi kimia adalah terjadi pada suhu tinggi, jenis interaksinya kuat, berikatan kovalen antara permukaan adsorben dengan adsorban, dan adsorpsi terjadi hanya pada suatu lapisan atas (monolayer). Adapun adsorpsi fisika adalah tipe adsorpsi dengan cara adsorbat menempel pada permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah. Ciri-ciri adsorpsi fisika adalah terjadi pada suhu yang rendah, jenis interaksi berupa gaya Van der Waals, dan adsorpsi dapat terjadi dalam banyak lapisan (multilayer). Adsorpsi fisika terutama disebabkan oleh gaya Van der Waals dan gaya elektrostatik antara molekul yang teradsorpsi dengan atom yang menyusun permukaan adsorben (Atkins 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah sifat fisik dan kimia adsorben, sifat fisik dan kimia adsorbat dalam fase cair, karakteristik fasa
15
cair seperti pH dan suhu, serta kondisi operasi adsorpsi. Adsorben terbagi menjadi adsorben yang bersifat polar (hidrofilik) dan nonpolar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben nonpolar antara lain arang (karbon dan batu bara) dan arang aktif (Sembiring dan Sinaga 2003). Daya serap arang aktif merupakan suatu akumulasi atau terkonsentrasinya komponen di permukaan muka dalam dua fasa. Bila kedua fasa saling berinteraksi, maka akan terbentuk suatu fasa baru yang berbeda dengan masingmasing fasa sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya gaya tarik-menarik antar molekul, ion atau atom dalam kedua fasa tersebut yaitu gaya Van der Walls. Pada kondisi tertentu, atom, ion atau molekul dalam daerah antar muka mengalami ketidakseimbangan gaya, sehingga mampu menarik molekul lain sampai keseimbangan gaya tercapai (Manocha 2003). Faktor yang mempengaruhi daya serap arang aktif, yaitu sifat arang aktif, sifat komponen yang diserapnya, sifat larutan dan sistem kontak. Daya serap arang aktif terhadap komponen-komponen yang berada dalam larutan atau gas disebabkan oleh kondisi permukaan dan struktur porinya. Penyerapan arang aktif tergolong penyerapan secara fisik karena arang aktif memiliki banyak pori dan permukaan yang luas. Faktor lain yang mempengaruhi penyerapan arang aktif adalah sifat polaritas dan permukaan arang. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap jenis arang dan tergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan aktivator yang digunakan (Lee dan Radovic 2003).
2.6 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) atau spektrofotometer serapan (SSA) atom merupakan suatu alat dapat digunakan untu mengetahui kandungan logam pada suatu bahan. Prinsip kerja dari AAS adalah absorpsi energi radiasi oleh atom-atom netral pada keadaan dasar. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu dan tergantung pada sifat unsurnya. Penyerapan tersebut menyebabkan tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih tinggi. Keadaan ini bersifat labil sehingga elektron kembali ke tingkat energi dasar sambil mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Teknik analisis
16
AAS berdasarkan pada penguraian molekul menjadi atom (atomisasi) dengan sumber energi dari api atau arus listrik. Setiap AAS terdiri dari tiga komponen utama, yaitu unit teratomisasi, sumber radiasi dan sistem pengukur fotometrik (Darmono 1995). Kelebihan dari AAS dibandingkan dengan spektrofotometer lainnya adalah metode yang digunakan sangat spesifik dan selektif, logam-logam yeng membentuk campuran kompleks dapat dianalisa. Selain itu, tidak selalu membutuhkan sumber energi yang besar (Cahyady 2009). Spektrofotometer ini memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi. Teknik analisa menggunakan AAS tidak selalu memerlukan pemisahan unsur yang ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur dengan kehadiran unsur lain dapat dilakukan. Kelemahan dari AAS adalah adanya pengaruh kimia yang menyebabkan AAS tidak mampu menguraikan zat menjadi atom. Selain itu juga dapat terjadi pengaruh ionisasi apabila atom tereksitasi (tidak hanya diisolasi) sehingga menyebabkan emisi pada panjang gelombang yang sama. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja AAS yaitu adanya pengaruh matris, yaitu pelarut yang digunakan (Maria 2009). Gambar alat AAS disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Sumber : Alexander (2011)
17
3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2012. Karakterisasi limbah padat agar, pembuatan serta karakterisasi karbon aktif dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pengujian serat kasar dilakukan di Laboratorium Analisis Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Pengujian logam dilakukan di Laboratorium Bersama, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, sedangkan pengujian BOD dan COD dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah padat agaragar yang berasal dari perusahaan agar yang berlokasi di Tangerang serta limbah cair dari industri tekstil di daerah Bogor. Bahan yang digunakan untuk pengujian meliputi H3PO4 4 M; KOH 4 M; ZnCl2 4 M; Iodium 0,1 N; Na2S2O3 0,1 N; indikator pati 2 %; HCl 0,1 N; NaOH 40 %; H3BO3 2 %; H2SO4 pekat, NaOH; K2SO4 10 %; alkohol 95 %; MgSO4.7H2O; CaCl2; FeCl3.6H2O; MnSO4; Ag2SO4; larutan AIA, pelarut heksan, tablet selenium, buffer fosfat, larutan pencerna, dan akuades. Alat yang digunakan terdiri atas berbagai alat gelas, buret, cawan porselen, tabung soxhlet, tabung kjeldahl, timbangan analitik, kompor listrik, kertas saring, kertas saring Whattman no. 42, orbital shaker, magnetic stirrer, desikator, kertas pH, pH meter merk Eutech Instrumen pH5+, oven merk Yamato DV41, tanur merk Yamato FM38, pencatat waktu, botol winkler, seperangkat alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) merk Shimadzu AA-7000 untuk uji logam dan Spektrofotometer UV-Vis merk HACH DR 5000 untuk uji Chemical Oxygen Demand (COD).
18
3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui lima tahapan, yaitu karakterisasi limbah padat agar, karakterisasi limbah industri tekstil, pembuatan karbon aktif serta karakterisasi karbon aktif yang dihasilkan. Tahapan selanjutnya yaitu aplikasi karbon aktif sebagai adsorben limbah industri tekstil dengan lama periode kontak dan pH berbeda yang dilanjutkan dengan analisis logam berat, BOD dan COD. 3.3.1 Karakterisasi limbah padat agar-agar Karakterisasi limbah padat agar-agar meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, serat kasar dan karbohidrat. Prosedur masing-masing analisis dapat dilihat di bawah ini. 1) Analisis kadar air (AOAC 2005) Penentuan kadar air didasarkan pada berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama ± 30 menit pada suhu 105 oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 6 jam kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus:
Keterangan:
A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)
2) Analisis kadar abu (AOAC 2005) Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan kemudian dibakar di atas kompor listrik (diarangkan) sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:
19
3) Analisis kadar protein (AOAC 2005) Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran ini dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 mℓ, lalu ditambahkan setengah tablet kjeldahl dan 10 mℓ H2SO4 pekat ke dalam tabung kjeldahl dan didiamkan selama 10 menit di ruang asam. Sampel didestruksi pada suhu 400 oC selama kurang lebih 1 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan aquades 100 mℓ, kemudian 10 mℓ sampel dimasukkan ke dalam alat destilasi. Destilasi dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 50 mℓ ke dalam alat destilasi hingga tertampung destilat di dalam erlenmeyer yang berisi 25 mℓ asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1%. Uap nitrogen yang tertangkap menyebabkan asam borat berubah warna menjadi hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCL 0,1446 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Sampel seberat 5 g (W1) diletakkan di atas kapas bebas lemak lalu dimasukkan ke dalam kertas saring dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat kosongnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana). Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC dengan menggunakan pemanas listrik dan direfluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu
20
105 oC, setelah itu labu dimasukkan ke dalam desikator hingga beratnya konstan lalu ditimbang (W3). Kadar lemak ditentukan dengan rumus:
Keterangan:
W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
5) Analisis kadar serat kasar (Van Soest 1963) Sebanyak 2 g sampel (W1) dimasukkan ke dalam erlenmayer 500 mℓ. Sampel ditambahkan dengan 200 mℓ larutan H2SO4 mendidih kemudian ditutup dengan pendingin balik dan dididihkan selama 30 menit. Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring (W2) kemudian residu yang tertinggal dicuci dengan air mendidih. Residu yang tertinggal dipindahkan ke dalam erlenmayer kemudian dicuci dengan 200 mℓ larutan NaOH. Erlemnayer ditutup dengan penutup balik kemudian sampel dididihkan selama 30 menit. Sampel kembali disaring menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Sampel dicuci dengan larutan K2SO4 10% kemudian dicuci lagi menggunakan air mendidih lalu dengan alkohol 95% sebanyak 15 mℓ. Kertas saring dan residu (W3) dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 105 oC hingga berat konstan (1-2 jam). Sampel kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar serat diperoleh dari perhitungan berikut:
Keterangan
: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat kertas saring (g) W3 = Berat kertas saring dengan residu serat (g)
3.3.2 Karakterisasi limbah industri tekstil Limbah cair industri tekstil berasal dari inlet Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) perusahaan tekstil yang berlokasi di Bogor. Karakterisasi limbah meliputi kandungan logam berat, Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD) dan pH. Prosedur masing-masing analisis dapat dilihat di bawah ini.
21
1) Analisis kandungan logam berat (SNI 2004) Pengujian logam awal limbah cair industri tekstil dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spechtrophotometer. Konsentrasi logam berat dalam sampel dapat dihitung dengan persamaan:
Keterangan : Ac = Absorban contoh Ab = Absorban blanko a = Intercept dari persamaan regresi standar b = Slope dari persamaan regresi standar W = Berat contoh (g) 2) Analisis Biological Oxygen Demand (BOD) (APHA 5210-B-2005) Prinsip pengukuran BOD yaitu mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DO0), kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (20 oC) yang disebut DO5. Selisih DO0 dan DO5 merupakan nilai BOD (mg/ℓ). Analisis BOD dilakukan menggunakan metode titrimetri. Pertama-tama sebanyak 1 ℓ aquades dimasukkan ke dalam erlenmayer 1 ℓ lalu ditambahkan nutrien-nutrien yang terdiri dari buffer fosfat, MgSO4.7H2O; CaCl2; dan FeCl3.6H2O. Campuran nutrien diaerasi selama 1 jam. Sampel air limbah dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan larutan nutrien. Sebanyak 1 mℓ MnSO4 dan larutan AIA (campuran NaOH dan KI) ditambahkan ke dalam sampel. Larutan sampel diaduk kemudian didiamkan selama 10 menit hingga terbentuk endapan. Tahap selanjutnya adalah penambahan H2SO4 sebanyak 1 mℓ kemudian diaduk hingga endapan terlarut sempurna. Sebanyak 50 mℓ larutan sampel dititrasi dengan larutan Na 2SO2O3 kemudian ditambahkan indikator kanji dan dititrasi kembali hingga tidak berwarna. Hasil titrasi tersebut akan menghasilkan nilai DO0, sedangkan nilai DO5 didapat dengan prosedur yang sama setelah 5 hari inkubasi. Perhitungan nilai DO dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Keterangan: N Na2S2O3 BE O2
= 0,0241 N =8
22
3) Analisis COD (APHA 5220-C-2005) Chemical Oxygen Demand menggambarkan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk menguraikan seluruh bahan organik yang terkandung di dalam sampel. Analisis COD dilakukan menggunakan metode dikromat refluks-tertutup. Sebanyak 2,5 mℓ sampel limbah dimasukkan ke dalam botol reaksi. Sampel ditambahkan 1,5 mℓ larutan pencerna serta 3,5 mℓ campuran Ag2SO4 dan H2SO4. Sampel dipanaskan pada suhu 150 oC selama 2 jam kemudian didinginkan. Sampel kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 600 nm. Konversi nilai absorbansi menjadi nilai COD didapat melalui persamaan regresi kurva standar. Nilai COD dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
4) Nilai pH Nilai pH dari limbah industri tekstil diukur dengan alat pH meter. Alat ini dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan.
3.3.3 Pembuatan karbon aktif (Budiono et al. 2009) Limbah padat agar-agar yang telah kering kering dikarbonisasi hingga didapatkan arang. Sebanyak 50 g arang ditambah aktivator berbeda, yaitu H3PO4, KOH, dan ZnCl2. Volume aktivator yang digunakan yaitu 100 mℓ dengan konsentrasi masing-masing 4 M. Campuran sampel dengan aktivator kemudian direndam selama 10 jam dengan pengadukan (agitasi) menggunakan magnetic stirrer. Sampel kemudian disaring menggunakan kertas saring dan diambil residunya. Residu dicuci berulang-ulang menggunakan akuades hingga pH netral. Sampel dikeringkan selama 3 jam di dalam oven dengan suhu 105 oC. Setelah itu, sampel didinginkan di dalam desikator. Karbon aktif yang dihasilkan dikarakteriasi dan selanjutnya diaplikasikan sebagai adsorben limbah industri tekstil. Diagram alir pembuatan karbon aktif dari limbah padat agar-agar disajikan pada Gambar 5.
23
50 gram limbah agar
Analisis kadar air, abu, lemak, protein dan serat kasar
Pengarangan/ karbonisasi
Penambahan 100 mℓ H3PO4 4 M
Penambahan 100 mℓ KOH 4 M
Penambahan 100 mℓ ZnCl2 4 M
Pengadukan selama 10 jam
Penyaringan dengan kertas saring
Pencucian residu hingga pH netral
Pengeringan dalam oven 105 oC selama 3 jam
Pendinginan dalam desikator
Karbon aktif
Karakterisasi dan aplikasi karbon aktif sebagai adsorben
Gambar 5 Diagram alir pembuatan karbon aktif dari limbah padat agar-agar 3.3.4 Karakterisasi karbon aktif Karbon aktif yang diekstraksi dari limbah padat agar dikarakterisasi sesuai dengan persyaratan SNI-06-3730-1995 meliputi perhitungan rendemen, kadar air, kadar abu, bagian kadar zat mudah menguap, kadar karbon aktif murni serta pengujian daya serap terhadap larutan iodium. Prosedur analisis kadar air dan
24
kadar abu sama seperti pada karakterisasi limbah padat agar, sedangkan prosedur analisis lain dapat dilihat di bawah ini. 1) Rendemen (SNI 1995) Rendemen karbon aktif merupakan bobot karbon aktif yang dihasilkan dibandingkan dengan total bahan baku. Perhitungan rendemen karbon aktif dilakukan menggunakan persamaan:
2) Kadar zat mudah menguap (ASTM 1999) Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot keringnya. Sampel kemudian dipanaskan dalam tanur 950 oC selama 10 menit. Cawan ditutup serapat mungkin. Perhitungan kadar zat mudah menguap menggunakan persamaan:
Keterangan:
A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel setelah dipanaskan (g)
3) Kadar karbon aktif murni (SNI 1995) Karbon dalam arang adalah zat yang terdapat pada fraksi padat hasil pirolisis, selain abu (zat anorganik) dan zat atsiri yang masih terdapat pada poripori arang. Perhitungan kadar karbon aktif murni menggunakan persamaan:
Keterangan:
b = kadar zat mudah menguap (%) c = kadar abu (%)
4) Penentuan daya serap terhadap iod (ASTM 1999) Sampel karbon aktif sebanyak 0,2 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sampel ditambahkan 25 mℓ larutan iodium 0,1 N dan dikocok selama 15 menit pada suhu ruang, larutan langsung disaring. Selanjutnya, 10 mℓ sampel diambil dan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai didapatkan larutan berwarna kuning muda lalu ditambahkan beberapa tetes larutan kanji 1 % sebagai indikator.
25
Kemudian titrasi kembali sampai warna biru tepat hilang. Perhitungan daya serap iodium menggunakan persamaan:
Keterangan: a = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi larutan sampel (mℓ) b = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi larutan blanko (mℓ) N = Normalitas Na2S2O3 fp = faktor pengenceran S = bobot arang aktif (g) BE I2 = 126,93 3.3.5 Aplikasi karbon aktif sebagai adsorben Karbon aktif yang dihasilkan diaplikasikan sebagai adsorben logam berat pada limbah industri tekstil. Aplikasi ini dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum dan efektivitas adsorbsi karbon aktif. Penentuan kondisi optimum karbon aktif meliputi penentuan lama periode kontak dan pH terbaik. Aplikasi karbon aktif ini dilakukan pada lima jenis logam berat yang paling banyak terdapat dalam limbah tekstil. 1) Penentuan lama periode kontak (Sulistyawati 2008) Sebanyak 5 g karbon aktif dimasukkan ke dalam 500 mℓ limbah tekstil kemudian dikocok dengan shaker. Adsorpsi dilakukan dengan ragam periode kontak 0,5; 1; 1,5; dan 2 jam. Setelah itu sampel disaring lalu dilakukan pengujian meliputi uji logam, BOD dan COD. Waktu optimum dapat dilihat dari persentase penyerapan tertinggi yang dihitung dengan persamaan:
Keterangan : Co = konsentrasi awal larutan (ppm) Ca = konsentrasi akhir larutan (ppm) 2) Penentuan pH optimum (Sulistyawati 2008) Sebanyak 5 g karbon aktif dimasukkan ke dalam 500 mℓ limbah tekstil dengan pH 5,0; 5,5; 6,0; dan 6,5. Adsorpsi dilakukan selama waktu optimum. Setelah itu sampel disaring lalu dilakukan pengujian meliputi uji logam, BOD dan COD. Penentuan pH optimum diketahui setelah perhitungan kapasitas absorspi.
26
Perhitungan persentase penyerapan karbon aktif sama seperti perhitungan sebelumnya. 3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk menguji pengaruh perbedaan larutan aktivator terhadap karakteristik karbon aktif yang dihasilkan adalah metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor dan 3 taraf, yaitu H3PO4, KOH dan ZnCl2. Data dianalisis dengan ANOVA (Analysis of Variance) menggunakan uji F. Hipotesis terhadap karakteristik karbon aktif dengan larutan aktivator yang berbeda adalah sebagai berikut: H0 = Perbedaan larutan aktivator
tidak memberikan pengaruh
terhadap
karakteristik karbon aktif yang dihasilkan H1 = Perbedaan larutan aktivator memberikan pengaruh terhadap karakteristik karbon aktif yang dihasilkan. Rancangan percobaan juga dilakukan untuk menguji pengaruh perbedaan periode kontak dan pH terhadap persentase penyerapan logam berat. Metode rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL. Faktor dalam percobaan ini ialah waktu kontak, dengan taraf 0; 0,5; 1,0; 1,5; dan 2 jam serta nilai pH dengan taraf 5,0; 5,5; 6,0; dan 6,5. Hipotesis terhadap persentase penyerapan logam pada periode kontak yang berbeda adalah sebagai berikut: H0 = Perbedaan periode kontak tidak memberikan pengaruh terhadap persentase penyerapan karbon aktif yang dihasilkan H1= Perbedaan periode kontak memberikan pengaruh terhadap karakteristik karbon aktif yang dihasilkan. Hipotesis terhadap persentase penyerapan logam pada nilai pH yang berbeda adalah sebagai berikut: H0 = Perbedaan nilai pH tidak memberikan pengaruh terhadap persentase penyerapan logam berat H1 = Perbedaan nilai pH memberikan pengaruh terhadap persentase penyerapan logam berat
Model rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:
27
yij = µ +
i
+ έij
Keterangan: yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3) µ = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan = Pengaruh perbedaan larutan aktivator pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3) i έij = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap karakteristik karbon aktif yang dihasilkan, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan rumus sebagai berikut: Duncan = t α/2; dbs Keterangan : KTS = Kuadrat tengah sisa dbs = Derajat bebas sisa r = Banyaknya ulangan
28
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Limbah Padat Agar-agar Limbah hasil ekstraksi agar terdiri dari dua bentuk, yaitu padat dan cair. Limbah ini mencapai 65-70% dari total bahan baku, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan limbah padat agar dapat dilakukan di berbagai bidang, oleh karena itu perlu dilakukan karakterisasi komposisi kimia limbah yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan serat kasar. Data hasil karakterisasi limbah padat agar-agar disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik limbah padat agar-agar No. 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Satuan Air % Abu % Protein % Lemak % Serat kasar %
Nilai 16,22 ± 0,34 42,15 ± 0,21 1,70 ± 0,13 0,20 ± 0,00 38,05 ± 0,58
Tabel 4 menunjukkan komposisi limbah padat agar terdiri dari kadar air 16,22%, kadar abu 42,15%, kadar protein 1,70%, kadar lemak 0,20%, dan kadar serat kasar sebesar 38,05%. Kadar serat kasar limbah agar yang cukup tinggi menunjukkan kandungan karbon di dalam bahan tersebut. Hal ini menunjukkan limbah padat agar berpotensi sebagai bahan baku karbon aktif. Kadar air pada limbah padat agar ialah sebesar 16,22%. Nilai ini cukup rendah karena sampel dikeringkan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis. Kandungan air pada limbah agar dipengaruhi oleh jenis rumput laut yang digunakan dan tingkat kekeringan sampel yang digunakan. Kadar air yang rendah dibutuhkan dalam pembuatan karbon aktif agar proses pengarangan berlangsung lebih cepat (Suwilin 2007). Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu menunjukkan total mineral yang terkandung dalam suatu bahan (Winarno 2008). Berdasarkan Tabel 4, kadar abu pada limbah padat agar adalah sebesar 42,15%. Kadar abu yang cukup tinggi ini disebabkan limbah merupakan konsentrat bahan-bahan anorganik sisa hasil
29
produksi agar. Hasil penelitian Afif (2010) menunjukkan bahwa limbah padat agar mengandung mineral-mineral seperti Na, Mn, Ca, Mg, K, Fe, P, Zn, dan Cu. Kandungan bahan anorganik yang tinggi tidak diinginkan dalam pembuatan karbon aktif karena dapat mengurangi kemampuan arang aktif dalam proses adsorpsi (Suwilin 2007). Kandungan mineral pada limbah pengolahan rumput laut juga dipengaruhi proses yang diberikan selama pengolahan (Triwisari 2010). Proses pengolahan agar menggunakan bahan-bahan kimia seperti CaO atau NaOCl dalam proses pemucatan serta berbagai larutan asam maupun basa dalam proses ekstraksi agar (Anggadiredja et al. 2011). Bahan-bahan kimia inilah yang diduga menyebabkan tingginya kandungan abu pada limbah padat agar. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 2008). Kadar protein pada limbah padat agar adalah sebesar 1,70%. Kadar protein yang rendah karena rumput laut sendiri mengandung sedikit protein, namun protein ini dapat digunakan sebagai sumber karbon sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi karbon aktif. Tabel 4 juga menunjukkan kadar lemak limbah padat agar yaitu sebesar 0,20 %. Nilai ini sesuai dengan hasil penelitian Riyanto et al. (1998) diacu dalam Riyanto dan Wilakstanti (2006), yaitu sekitar 0,1-0,2%. Kadar lemak yang rendah disebabkan rumput laut mengandung sedikit lemak. Serat kasar merupakan komponen sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat atau basa kuat sehingga kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa sekitar 85% (Andarwulan et al. 2011). Berdasarkan hasil penelitian, kandungan serat kasar pada limbah padar agar yaitu sebesar 38,05%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Triwisari (2010) dengan kandungan serat kasar sebesar 48,84%. Tingginya kandungan serat kasar ini disebabkan limbah sebagian besar merupakan konsentrat serat yang sudah tidak dapat diekstrak lagi. Serat merupakan komponen penyusun dinding sel pada tumbuhan, yang biasanya meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil penelitian Triwisari (2010) menyatakan bahwa limbah agar mengandung 59,69% selulosa, 13,89% hemiselulosa, 2,37% lignin dan 24,05% bahan ekstraktif lainnya. Kandungan
30
selulosa yang tinggi akan meningkatkan kualitas arang aktif. Hal ini karena selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut (Suwilin 2007). Hal ini menunjukkan bahwa limbah agar berpotensi dimanfaatkan sebagai suatu adsorben.
4.2 Karakteristik Limbah Industri Tekstil Limbah industri tekstil merupakan suatu masalah yang berdampak penting bagi lingkungan. Limbah cair industri tekstil berasal dari proses penghilangan zat pelumas dan dari proses pencelupan (Siregar 2005). Limbah ini mudah dikenali karena memiliki karakterisasi yang khas. Hasil karakterisasi limbah cair industri tekstil disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik limbah cair industri tekstil No Parameter Hasil Satuan Baku mutu 1 Logam berat 1 ppm a. Cr < 0,005 ppm b. Zn 0,1854 ppm c. Fe 0,4157 ppm d. Co < 0,005 ppm e. Cu 0,1804 ppm f. Pb 0,1496 ppm g. Cd < 0,005 ppm h. Ni < 0,005 ppm i. Mn < 0,005 ppm j. Al < 0,005 ppm k. B < 0,005 ppm l. Ba < 0,005 ppm m. Hg < 0,005 ppm n. Ag 0,0064 ppm o. Se < 0,005 ppm p. As < 0,005 ppm 50 2 Biological Oxygen Demand (BOD) 107,37 mg/ℓ 150 3 Chemical Oxygen Demand (COD) 436,33 mg/ℓ 6,0-9,0 4 Nilai pH 12,56 Tabel 5 menunjukkan limbah industri tekstil mengandung logam berat Zn, Fe, Cu, Pb, dan Ag dengan konsentrasi masing-masing 0,1845; 0,4147; 0,1804; 0,1496; dan 0,0064 ppm. Limbah tekstil diketahui pula tidak mengandung cemaran logam berat Cr, Co, Cd, Ni, Mn, Al, B, Ba, Hg, Se, dan As. Limbah
31
industri tekstil juga mengandung nilai Biologycal Oxygen Demand (BOD) sebesar 107,37 mg/ℓ, nilai Chemical Oxygen Demand (COD) 436,33 mg/ℓ, dan nilai pH sebesar 12,56. Berdasarkan Tabel 5, limbah cair industri tekstil mengandung Zn sebesar 0,1854 ppm. Logam Zn dapat berasal dari zat warna maupun dari peralatan produksi. Seng (Zn) sering digunakan sebagai pelapis logam, seperti baja dan besi yang merupakan produk anti-karat. Seng merupakan logam esensial yang dalam konsentrasi tertentu dalam air tidak terakumulasi terus-menerus oleh organisme dan diekskresikan sehingga kandungannya dalam jaringan tetap (Darmono 1995). Logam berat lainnya yang terdapat dalam limbah industri tekstil adalah besi (Fe). Cemaran Fe ditemukan dalam limbah tekstil dengan konsentrasi tertinggi, yaitu 0,4157 ppm. Besi (Fe) ini diduga berasal dari air minum, pipa, peralatan besi dan juga karat. Cemaran besi dalam air akan menimbulkan warna (kuning), rasa, pengendapan pada pipa, pertumbuhan bakteri besi dan kekeruhan (Yudo 2006). Cemaran logam tembaga (Cu) juga terdeteksi dalam air limbah tesktil sebesar 0,1804 ppm. Logam Cu dapat berasal dari proses pewarnaan (dyeing) karena logam ini banyak terkandung dalam zat pewarna. Tembaga (Cu) juga ditambahkan dalam sistem distribusi air minum untuk mencegah pertumbuhan alga dalam tangki dan kolam (Smith 1988). Logam Cu dapat pula berasal dari proses pencucian (washing) dan pencelupan (rinsing) (Palar 1994). Logam berat lain yang terdapat dalam limbah tekstil adalah timbal (Pb). Logam ini sering dipakai dalam bahan pewarna karena toksisitasnya relatif rendah dibandingkan logam pigmen lainnya, selain itu juga logam Pb memiliki daya larut yang rendah terhadap air (Sudarmaji et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan cemaran Pb pada limbah industri tekstil mencapai 0,1496 ppm. Nilai ini cukup tinggi mengingat logam Pb bersifat racun. Logam Pb dapat masuk ke tubuh manusia melalui rantai makanan dan terakumulasi dalam tubuh hingga mengakibatkan keracunan bahkan kematian (Darmono 1995). Tabel 5 menunjukkan limbah industri tekstil juga mengandung logam Ag atau perak sebesar 0,0064 ppm. Perak biasanya digunakan sebagai senyawa antibakteri dalam bentuk larutan perak nitrat (AgNO 3). Hasil penelitian Haryono dan Harmami (2010) menunjukkan bahwa senyawa perak memiliki kemampuan
32
antimikroba pada bakteri Gram-positif (Staphylococcus aureus) dan bakteri Gram-negatif (Escherichia coli). Adanya senyawa anti-mikroba akan mencegah biodegradasi kain sehingga dapat berperan juga sebagai bahan pengawet. Logam Zn, Fe, dan Cu merupakan makro mineral yang masih dibutuhkan tubuh dalam konsentrasi yang rendah, sedangkan logam berat Pb dan Ag merupakan logam berat yang berbahaya dan bersifat racun. Logam ini dapat diserap oleh biota air melalui pernapasan dan pencernaan, kemudian terakumulasi di dalam tubuh. Keberadaan logam-logam tersebut tidak diinginkan di dalam limbah industri tekstil. Pengolahan limbah cair sebelum dibuang ke perairan harus dilakukan untuk mengurangi cemaran logam tersebut. Nilai BOD, COD dan pH merupakan parameter untuk menentukan kualitas air. Nilai BOD dan COD merupakan nilai yang menunjukkan kandungan zat organik dalam suatu limbah. Tabel 5 menunjukkan nilai BOD limbah tekstil yaitu 107,37 mg/ℓ, sedangkan nilai COD sebesar 436,33 mg/ℓ. Nilai BOD dan COD ini masih berada di atas standar baku mutu air limbah yang ditentukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Standar baku mutu air limbah yang ditentukan adalah nilai BOD sebesar 50 mg/ℓ dan nilai COD sebesar 150 mg/ℓ. Limbah industri tekstil memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi karena limbah cair tekstil mengandung zat pewarna. Sumber utama BOD adalah bahan kimia, kanji dari proses sizing, minyak untuk menenun, dan surfaktan biodegradable. Umumnya limbah tersebut sulit didegradasi oleh mikroorganisme atau pengolahan secara biologis. Kandungan organik dalam air limbah akan semakin mudah didegradasi secara biologi apabila semakin tinggi rasio BOD/COD (Siregar 2005). Nilai pH ini menunjukkan tingkat keasaman atau alkalinitas suatu sampel. Nilai pH limbah tekstil hasil penelitian yaitu 12,56. Nilai pH ini melebihi standar baku mutu limbah industri tekstil. Nilai pH yang diperbolehkan bagi limbah industri tekstil yaitu berkisar antara 6,0-9,0. Tabel 5 menunjukkan kualitas air limbah belum memenuhi standar baku mutu. Agar memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka harus dilakukan pengolahan terhadap limbah ini sebelum di buang ke perairan. Salah satu alternatif pengolahan air limbah yang dapat dilakukan adalah adsorpsi menggunakan karbon aktif.
33
4.3 Karakteristik Karbon Aktif dari Limbah Padat Agar-agar Pembuatan karbon aktif meliputi dua tahapan utama, yaitu karbonisasi dan aktivasi. Karbonisasi adalah proses penguraian selulosa organik menjadi unsur karbon dan pengeluaran unsur non karbon yang berlangsung pada suhu sekitar 600-700 oC (Djatmiko et al. 1985). Proses karbonisasi pada penelitian dilakukan dengan cara memanaskan sampel limbah agar di atas kompor listrik hingga sampel berwarna kehitaman seperti arang. Tahapan selanjutnya dalam pembuatan arang aktif adalah aktivasi. Proses aktivasi bertujuan untuk membersihkan pori-pori arang yang dapat meningkatkan luas permukaannya (Djatmiko et al. 1985). Aktivasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah aktivasi kimia dengan menggunakan larutan aktivator H3PO4, ZnCl2 dan KOH. Larutan aktivator ini memiliki efek dehydrating agent yang dapat memperbaiki pengembangan pori di dalam struktur karbon (Suhendra dan Gunawan 2010). Karbon aktif hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
(a)
(b)
(c) (a) aktivator H3PO4, (b) aktivator ZnCl2, (c) aktivator KOH Gambar 6 Karbon aktif hasil penelitian
34
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis aktivator yang terbaik dalam proses pembuatan karbon aktif dari limbah padat agar. Karbon aktif hasil penelitian juga dikarakterisasi untuk mengetahui kualitas karbon aktif yang dihasilkan. Karakterisasi ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar zat yang mudah menguap, kadar karbon aktif murni dan daya serap terhadap iod. Rendemen karbon aktif adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui persentase bobot karbon aktif yang dihasilkan dari bahan baku awal. Rendemen ini biasanya menjadi parameter yang diperhatikan untuk sisi ekonomis suatu bahan. Menurut Pari et al. (2008), rendemen karbon aktif dipengaruhi oleh waktu aktivasi, suhu aktivasi dan adanya penambahan larutan aktivator. Peningkatan suhu dan waktu aktivasi mampu mengakibatkan terjadinya reaksi antara karbon dengan uap air. Reaksi ini cenderung meningkat dengan semakin tingginya suhu dan lamanya waktu aktivasi sehingga karbon yang bereaksi menjadi CO2 dan H2 dalam satuan waktu menjadi banyak, sebaliknya karbon yang dihasilkan semakin sedikit (Djatmiko et al. 1985). Hasil penelitian Nilai rendemen karbon aktif hasil penelitian disajikan pada Gambar 7. 120
Rendemen (%)
100
77,60 ± 17,12a
87,19 ± 11,92a 74,32 ± 12,44a
80 60 40 20 0 H3PO4
ZnCl2 Jenis Aktivator
KOH
angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) terhadap rendemen
Gambar 7 Nilai rendemen karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda; tanda bar menunjukkan standar deviasi Rendemen karbon aktif dengan aktivator H3PO4, ZnCl2, dan KOH berturutturut adalah 77,60%, 87,19%, dan 74,32%. Nilai rendemen hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Pari dan Hendra (2006), dimana rendemen karbon aktif
35
dari kayu mangium dengan aktivasi kimia berkisar antara 67,40-99,40%. Berdasarkan hasil analisis ragam rendemen (Lampiran 5) pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa jenis aktivator yang digunakan tidak mempengaruhi rendemen karbon aktif yang dihasilkan. Aktivator yang ditambahkan bertujuan untuk membuka pori-pori arang. Sirait dan Sisillia (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi aktivator maka akan semakin banyak pori-pori yang terbuka melalui proses erosi pada permukaan karbon aktif sehingga rendemen karbon aktif yang dihasilkan lebih rendah. Wijayanti (2009) juga menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi aktivator maka akan menurunkan rendemen karbon aktif. Hal ini karena bahan kimia yang ditambahkan dapat memperlambat laju reaksi pada proses oksidasi. Secara keseluruhan, bahan aktivator merupakan oksidator lemah sehingga rendemen karbon aktif yang dihasilkan lebih rendah. Karakteristik lain yang menentukan kualitas karbon aktif adalah kadar air. Pengujian kadar air bertujuan untuk mengetahui tingkat higroskopisitas arang. Diagram batang karakteristik kadar air karbon aktif disajikan pada Gambar 8. 4
2,97 ± 0,48a
3,31 ± 0,27a
3,15 ± 0,29a
Kadar Air (%)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
H3PO4
ZnCl2
KOH
Jenis Aktivator angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) terhadap kadar air
Gambar 8 Nilai kadar air karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda; tanda bar menunjukkan standar deviasi Kadar air karbon aktif dengan aktivator H3PO4, ZnCl2, dan KOH berturutturut adalah 2,97%; 3,31%; dan 3,15%. Kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini telah memenuhi standar SNI-06-3730-1995 mengenai mutu karbon aktif.
36
Standar SNI untuk kadar air karbon aktif serbuk adalah tidak melebihi 15%, sedangkan untuk karbon aktif butiran adalah maksimal 4,4%. Nilai kadar air hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian Budiono et al. (2009), dimana kadar air karbon aktif dari tempurung kelapa dengan aktivator H3PO4 yaitu 3,35%. Berdasarkan analisis ragam kadar air (Lampiran 6) pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perbedaan larutan aktivator tidak memberikan pengaruh terhadap karakteristik kadar air karbon aktif. Kadar air pada karbon aktif dipengaruhi oleh kandungan air sampel sebelum aktivasi. Kadar air yang rendah diduga karena kandungan air yang terikat pada bahan telah menguap ketika proses karbonisasi. Wijayanti (2009) menyatakan bahwa kadar air rendah dapat juga disebabkan adanya reaksi antara H2O yang terdapat pada karbon aktif dengan CO sehingga menghasilkan gas CO2 dan H2O selama proses pemanasan. Parameter uji selanjutnya yaitu kadar abu. Pengujian kadar abu ini penting dilakukan karena abu merupakan salah satu pengotor pada karbon aktif sehingga dapat mempengaruhi kualitasnya. Nilai kadar abu karbon aktif hasil penelitian dsajikan pada Gambar 9. 100
Kadar abu (%)
80
89,72 ± 2,35b
66,62
2,19a
68,21 ± 1,19a
60 40 20 0 H3PO4
ZnCl2
KOH
Jenis Aktivator angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) terhadap kadar abu
Gambar 9 Nilai kadar abu karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda; tanda bar menunjukkan standar deviasi Gambar 9 menunjukkan bahwa kadar abu karbon aktif dengan aktivator H3PO4, ZnCl2, dan KOH berturut-turut adalah 66,62%; 68,21%; dan 89,72%. Berdasarkan SNI-06-3730-1995, nilai ini melebihi standar yang telah ditetapkan.
37
Karbon aktif yang baik memiliki kadar abu maksimal 10% untuk karbon aktif serbuk dan 2,5% untuk karbon aktif butiran. Nilai kadar abu ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Budiono et al. (2009) yang membuat karbon aktif dari tempurung kelapa dengan nilai kadar abu 0,62%. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perbedaan aktivator memberikan pengaruh terhadap karakteristik kadar abu karbon aktif. Gambar 9 menunjukkan bahwa karbon aktif dengan aktivator KOH memiliki kadar abu yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan H3PO4 dan ZnCl2 merupakan asam organik dan garam yang memiliki kemampuan lebih baik dalam mengikat zat pengotor dalam pori-pori arang, meskipun kadar abu yang dihasilkan tidak memenuhi standar karbon aktif. Irawaty et al. (2010) menyatakan bahwa KOH mempunyai kemampuan yang lebih lemah untuk membuka pori-pori arang jika dibandingkan ZnCl2 dan H3PO4 sehingga hanya menghasilkan karbon aktif dengan mikropori. Hal ini berarti masih banyak abu dan zat pengotor yang tidak hilang selama pencucian sehingga nilai kadar abunya tinggi. Kadar abu yang tinggi juga dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Hasil karakterisasi limbah padat agar-agar menunjukkan kadar abu sampel adalah 42,15%. Kadar abu yang tinggi juga dipengaruhi oleh proses pengarangan. Proses pengarangan saat penelitian dilakukan di ruangan terbuka sehingga terjadi kontak udara yang mengakibatkan proses pembentukan arang menjadi tidak sempurna dan kemungkinan terbentuknya abu juga semakin besar (Wijayanti 2009). Parameter uji selanjutnya adalah kadar zat yang mudah menguap yang bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa yang belum menguap pada proses karbonisasi dan aktivasi tetapi menguap pada suhu 950 oC. Diagram batang karakteristik zat mudah menguap disajikan pada Gambar 10.
Kadar zat mudah menguap (%)
38
9
5,99
2,02a
7,33 ± 1,15a
8 7
5,33 ± 0,58a
6 5 4 3 2 1 0 H3PO4
ZnCl2 Jenis Aktivator
KOH
angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) terhadap kadar zat mudah menguap
Gambar 10 Nilai kadar zat mudah menguap karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda; tanda bar menunjukkan standar deviasi Gambar 10 menunjukkan bahwa kadar zat mudah menguap karbon aktif dengan aktivator H3PO4, ZnCl2, dan KOH berturut-turut adalah 5,99%; 7,33%; dan 5,33%. Nilai ini telah memenuhi standar SNI-06-3730-1995 karena kurang dari 25%. Kadar zat mudah menguap hasil penelitian lebih rendah jika dibandingkan hasil penelitian Pari dan Hendra (2006), dimana karbon aktif dari kayu mangium memiliki kadar zat mudah menguap sekitar 6,08-11,70%. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9) pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perbedaan larutan aktivator tidak memberikan pengaruh terhadap nilai zat mudah menguap karbon aktif. Pari et al. (2008) menyatakan bahwa kadar zat mudah menguap dipengaruhi oleh suhu aktivasi. Semakin tinggi suhu aktivasi maka cenderung menurunkan zat mudah menguap. Hal ini karena pada suhu tinggi penguraian senyawa nonkarbon berlangsung dengan sempurna. Besarnya kadar zat mudah menguap menunjukkan bahwa permukaan karbon aktif masih ditutupi oleh senyawa bukan karbon. Karbon aktif merupakan suatu padatan yang mengandung unsur karbon. Kadar karbon aktif murni atau kadar karbon terikat adalah suatu parameter untuk mengetahui kandungan karbon setelah karbonisasi. Diagram batang kadar karbon aktif murni disajikan pada Gambar 11.
Kadar karbon aktif murni (%)
39
35
27,40 ± 3,46b
30
24,45 ± 2,20b
25 20 15 10
4,95 ± 1,79a
5 0
H3PO4
ZnCl2
KOH
Jenis Aktivator angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) terhadap kadar karbon aktif murni
Gambar 11 Nilai kadar karbon aktif murni dengan tiga jenis aktivator berbeda; tanda bar menunjukkan standar deviasi Hasil penelitian menunjukkan kadar karbon aktif murni perlakuan aktivator H3PO4, ZnCl2, dan KOH berturut-turut adalah 27,4%; 24,45%; dan 4,95%. Nilainilai ini lebih rendah jika dibandingkan hasil penelitian Pari dan Hendra (2006) yang menghasilkan karbon aktif dari kayu mangium dengan kadar karbon aktif murni sekitar 54,60-79,70%. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 10) pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perbedaan aktivator memberikan pengaruh terhadap karakteristik kadar karbon aktif murni. Gambar 11 menunjukkan bahwa karbon aktif dengan aktivator KOH memiliki kadar karbon aktif murni yang paling rendah dan juga berbeda nyata dengan karbon aktif lainnya. Larutan KOH memiliki kemampuan untuk membersihkan pori-pori yang lebih lemah dibandingkan aktivator lainnya sehingga menghasilkan kadar abu yang tinggi dan kadar zat menguap yang cukup rendah (Irawaty et al. 2010). Semakin besar kadar zat mudah menguap dan kadar abu maka kadar karbon terikat akan semakin rendah (Pari et al. 1996). Parameter lainnya yang diujikan adalah daya serap iodin. Daya serap iodin ditunjukkan dengan besarnya bilangan iod (iodine number) yaitu angka yang menunjukkan seberapa besar adsorben dapat mengadsorpsi iod. Daya serap iodin berkorelasi dengan luas permukaan arang aktif karena semakin besar daya serap iod maka semakin besar dalam kemampuan dalam mengadsorpsi larutan atau
40
substrat tersebut (Budiono et al. 2007). Nilai daya serap iod karbon aktif disajikan padan Gambar 12.
Daya serap iod (mg/g)
250
143,67 ± 67,10a
186,89 ± 23,68a
200 150
111,66 ± 11,94a
100 50 0 H3PO4
ZnCl2
KOH
Jenis Aktivator angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) terhadap daya serap iod
Gambar 12 Nilai daya serap iod karbon aktif dengan tiga jenis aktivator berbeda Gambar 12 menunjukkan daya serap iodin karbon aktif dengan aktivator H3PO4, ZnCl2 dan KOH berturut-turut adalah 143,67 mg/g; 186,89 mg/g; dan 111,66 mg/g. Nilai ini masih belum memenuhi standar SNI-06-3730-1995 karena nilainya masih dibawah 750 mg/g. Nilai yang didapat juga lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Budiono et al. (2009) yang membuat karbon aktif dari tempurung kelapa dengan daya serap iod sebesar 1275,3 mg/g. Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% perbedaan jenis larutan aktivator tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kemampuan daya serap iodin. Besarnya daya serap iodin berkaitan dengan terbentuknya pori pada karbon aktif yang semakin banyak seiring dengan bertambahnya waktu aktivasi. Daya serap iodin juga berhubungan dengan pola struktur mikropori yang terbentuk dan mengindikasikan besarnya diameter pori-pori karbon aktif tersebut yang hanya mampu dimasuki oleh molekul dengan diameter kurang dari 10 Å (Pari 2002). Berdasarkan hasil karakterisasi dapat ditentukan bahwa karbon aktif terbaik adalah karbon aktif dengan aktivator H3PO4. Hal ini terlihat dari kadar karbon aktif murni yang tertinggi. Karbon aktif dengan aktivator H3PO4 juga memiliki daya serap iod yang tinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan
41
lainnya. Pari et al. (2008) menyatakan aktivator H3PO4 memiliki keunggulan dibandingkan dengan ZnCl2. Hal ini karena ZnCl2 bersifat korosif dan dapat mengeluarkan gas khlor, meskipun rendemen dan daya serap iodnya tidak berbeda nyata. Hasil penelitian Budiono et al. (2007) juga menunjukkan bahwa aktivator H3PO4 menghasilkan karakteristik karbon aktif yang lebih baik dibandingkan dengan aktivator H2SO4. Aktivator H2SO4 diduga dapat merusak dinding struktur dari arang sehingga karakteristik karbon aktif yang dihasilkan kurang optimal.
4.4 Aplikasi Karbon Aktif sebagai Adsorben Limbah Industri Tekstil Tahapan terakhir dalam penelitian ini adalah aplikasi karbon aktif perlakuan terbaik sebagai adsorben limbah industri tekstil. Aplikasi karbon aktif dengan aktivator H3PO4 bertujuan untuk melihat kemampuan karbon aktif dalam mereduksi cemaran logam berat serta kemampuan untuk menurunkan nilai BOD dan COD pada limbah industri tekstil. Aplikasi ini dilakukan pada jangka waktu kontak dan pH yang berbeda. Waktu kontak yang dilakukan yaitu 0,5; 1; 1,5; dan 2 jam serta tambahan perlakuan 24, 48, dan 72 jam untuk BOD dan COD. Logam uji pada aplikasi ini adalah Ag, Pb, dan Cu. Ketiga logam ini terdapat pada limbah industri tekstil dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan logam lainnya. Hubungan antara perbedaan periode kontak dengan persentasi penyerapan menggunakan karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 13.
Pernyerapan (%)
100
a
a
y
80
x,y
x
x,y
q
60 40
a
a
Ag (a) Ag PbPb (p,q)
p
p
p
20
Cu (x,y) Cu
0 0,5 jam
1 jam
1,5 jam
2 jam
Periode kontak angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) untuk masing-masing logam berat
Gambar 13 Persentase penyerapan logam oleh karbon aktif dari limbah agar pada jangka waktu kontak berbeda
42
Gambar di atas menunjukkan bahwa perbedaan jangka waktu kontak tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penyerapan logam Ag, namun perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penyerapan logam Pb dan Cu. Persentase penyerapan logam Ag mencapai 100% pada semua perlakuan dan tidak berbeda nyata pada semua ragam periode kontak. Hal ini karena konsentrasi awal logam Ag juga rendah, yaitu 0,0064 ppm. Barros et al. (2003) menyatakan bahwa persentase penyerapan dipengaruhi oleh konsentrasi adsorbat. Konsentrasi yang lebih sedikit maka akan relatif lebih banyak terserap karena jumlah molekul dalam larutan juga sedikit. Hasil penelitian juga menunjukkan persentase penyerapan Pb dan Cu bervariasi tiap perlakuan. Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa penyerapan logam Pb terbanyak berlangsung pada periode kontak 1 jam, sedangkan logam Cu terjadi pada periode kontak 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan periode kontak mempengaruhi jumlah ion logam yang terserap. Gambar 13 menunjukkan bahwa penyerapan ion logam memiliki waktu optimum yang berbeda-beda karena adanya persaingan antar ion logam untuk memasuki tapak aktif karbon aktif. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Sulistyawati (2008) dimana penyerapan logam Pb oleh karbon aktif pada larutan tunggal jauh lebih tinggi dibandingkan penyerapan Pb pada limbah aki. Adanya logam lain pada limbah aki, seperti Cd dan Fe membuat penyerapan logam Pb menurun. Saat persentase penyerapan suatu ion lebih tinggi maka persentase penyerapan ion logam lainnya akan lebih rendah. Luas permukaan pori-pori karbon aktif juga mempengaruhi banyaknya tapak aktif yang tersedia, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai waktu kesetimbangan lebih lama (Sulistyawati 2008). Aplikasi karbon aktif juga dilakukan pada ragam nilai pH yang berbeda. Perlakuan pH yang diberikan pada penelitian ini adalah 5,0; 5,5; 6,0; dan 6,5. Diagram batang persentase penyerapan logam oleh karbon aktif disajikan pada Gambar 14.
43
Penyerapan (%)
100
a
a
a
a
80 60
p
x
y
y
x
Ag Ag (a)
40
PbPb (p,q)
20
q
q
q
CuCu (x,y)
0 5
5.5
6
6.5
nilai pH angka yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p < 0,05) untuk masing-masing logam berat
Gambar 14 Persentase penyerapan logam oleh karbon aktif dari limbah agar pada nilai pH berbeda Gambar 14 menunjukkan bahwa perbedaan pH mempengaruhi proses adsorpsi logam Pb dan Cu, namun tidak berpengaruh bagi adsorpsi logam Ag. Berdasarkan gambar di atas juga dapat dlihat bahwa pH optimum penyerapan ion logam berbeda-beda. Logam Pb terserap optimum pada pH 5,0 dan logam Cu terserap optimum pada pH 6,5. Hal ini menunjukkan bahwa pH berpengaruh terhadap penyerapan ion logam. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Suhendra dan Gunawan (2010) dimana pada pH optimumnya, penyerapan logam Cu jauh lebih tinggi dibandingkan pada larutan dengan pH yang lebih basa. Hal ini karena pada pH yang tinggi maka akan terbentuk endapan sehingga akan sulit teradsorpsi. Proses adsorpsi juga dipengaruhi oleh adanya proton H+ yang berkompetisi dengan ion logam untuk menempati tapak aktif dari karbon aktif. Faktor lain yang mempengaruhi proses adsorpsi yaitu ukuran ion logam (Notodarmojo 2004). Ukuran ion Ag2+, Pb2+, dan Cu2+ berturut-turut adalah 1,15; 1,21, dan 0,69 Å. Ukuran ion yang lebih kecil cenderung lebih mudah terjerap di dalam karbon aktif dibandingkan dengan ion yang berukuran lebih besar. Berdasarkan jari-jari ion, maka logam Cu akan lebih mudah terserap dibandingkan Ag dan Pb. Aplikasi karbon aktif juga dilakukan untuk mengetahui kemampuan karbon aktif dalam menyerap bahan organik di dalam limbah. Limbah industri tekstil
44
diketahui memiliki nilai BOD dan COD tinggi yang berasal dari air sisa pencucian yang mengandung larutan penghilang kanji, PVC, CMC, asam, enzim, dan zat warna. Hasil penurunan BOD dan COD pada periode kontak berbeda disajikan
120
500
100
400
80
300
60 200
40
100
20
COD (mg/ℓ)
BOD (mg/ℓ)
pada Gambar 15.
BOD COD
0
0
Periode kontak
Gambar 15 Grafik penurunan nilai BOD dan COD limbah industri tekstil setelah penambahan karbon aktif dengan periode kontak berbeda Gambar 15 menunjukkan nilai BOD dan COD cenderung menurun seiring lamanya periode kontak. Penurunan nilai ini disebabkan bahan organik yang terserap oleh karbon aktif. Semakin lama periode kontak akan berpengaruh terhadap jumlah bahan organik yang terserap oleh adsorben. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Manurung et al. (2004) dimana nilai BOD dan COD akan semakin menurun pada waktu penyimpanan karena degradasi zat warna dalam limbah tekstil membutuhkan waktu yang lama. Penyerapan zat organik ini juga dipengaruhi oleh zat-zat anorganik lainnya seperti logam berat yang berkompetisi untuk menempati tapak aktif dari karbon aktif (Ardeniswan et al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah penambahan karbon aktif maka terjadi penurunan nilai BOD di bawah 50 mg/ℓ. Nilai tersebut merupakan batas maksimal BOD untuk limbah industri tekstil, sedangkan nilai COD setelah ditambahkan karbon aktif masih belum memenuhi standar baku mutu limbah. Nilai COD yang diperbolehkan dalam limbah tekstil adalah di bawah 150 mg/ℓ. Aplikasi karbon aktif untuk menurunkan nilai BOD dan COD juga dilakukan pada ragam pH yang berbeda. Nilai pH yang digunakan yaitu 5,0; 5,5;
45
6,0; dan 6,5. Hasil penurunan BOD dan COD pada kondisi pH berbeda disajikan
120
500
100
400
80
300
60 200
40
100
20 0
COD (mg/ℓ)
BOD (mg/ℓ)
pada Gambar 16.
BOD COD
0
Nilai pH
Gambar 16 Grafik penurunan nilai BOD dan COD limbah industri tekstil setelah penambahan karbon aktif dengan nilai pH berbeda Gambar 16 menunjukkan kemampuan karbon aktif dalam menurunkan nilai BOD dan COD pada pH berbeda. Nilai BOD dan COD semakin menurun seiring dengan penurunan nilai pH. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kasam et al. (2005) dimana semakin rendah pH maka persentase penurunan nilai COD pun semakin besar. Pada pH rendah, jumlah ion H+ akan semakin banyak sehingga akan menetralisasi permukaan karbon aktif. Hal inilah yang menyebabkan bahanbahan organik lebih mudah terserap dalam pori-pori karbon aktif. Sebaliknya, pada pH yang lebih tinggi, jumlah ion OH- akan menghalangi bahan-bahan organik terjerap di dalam pori-pori karbon aktif (Kasam et al. 2005).
46
5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Limbah padat agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif. Pembuatan karbon aktif meliputi proses karbonisasi dan aktivasi. Proses aktivasi arang dilakukan menggunakan larutan aktivator yang berbeda, yaitu H3PO4, ZnCl2 dan KOH. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan larutan aktivator tidak mempengaruhi karakteristik rendemen, kadar air, zat mudah menguap, dan daya serap iod, tetapi perbedaan aktivator mempengaruhi karakteristik kadar abu dan kadar karbon aktif murni. Aktivator terbaik dari penelitian ini adalah H3PO4. Karbon aktif dengan aktivator H3PO4 dapat mengadsorpsi logam Ag, Pb dan Cu pada periode kontak dan nilai pH yang berbeda. Karbon aktif hasil penelitian juga dapat menyerap bahan organik pada limbah industri tekstil. Hal ini terlihat dari penurunan nilai BOD dan COD limbah industri tekstil setelah penambahan karbon aktif.
5.2 Saran Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan optimalisasi dan modifikasi metode pembuatan arang aktif. Selain itu juga dapat dilakukan penelitian untuk aplikasi karbon aktif sebagai adsorben logam berat lainnya. Aplikasi karbon aktif sebagai adsorben juga dapat dilakukan pada limbah industri rumah tangga.
47
DAFTAR PUSTAKA Afif AK. 2011. Pemanfaatan limbah padat proses pengolahan agar PT Agarindo Bogatama sebagai media tanam holtikultura [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Alexander W. 2011. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). http://www.wiropharmacy.com. [8 Februari 2012]. Andarani P, Roosmini D. 2009. Profil pencemaran logam berat (Cu, Cr, dan Zn) pada air permukaan dan sedimen di sekitar industri tesktil PT X (sungai Cikijing). Bandung : Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta : Dian Rakyat. Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2011. Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya. Anonim. 2007. Agar structure. http://www.agar.com. [8 Februari 2012]. Anonim. 2010. Chemical structure of activated carbon. http://www.desotec.com. [8 Februari 2012]. Anonim. 2009. Karbon aktif. http://www.filterpenyaringair.com. [8 Februari 2012]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. [APHA] American Public Health Association. 2005. APHA 5210-B-2005 : 5Days BOD Test. Washington : American Public Health Association. ___________________________________. 2005. APHA 5220-C-2005 : Closed Reflux, Titrimetric Method. Washington : American Public Health Association. Ardeniswan, Mulyati Y, Tontowi, Rahman A. 1997. Evaluasi kembali metode analisis untuk penetapan nilai BOD di Indonesia. Buletin IPT Vol 3(3): 1926. Ardhina A. 2007. Dekolorisasi limbah cair industri tekstil dengan menggunakan Omphalina sp. [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. [ASTM] American Society for Testing and Material. 1999. ADTM D 5832-98 : Standard Test Method for Volatile Matter Content of Activated Carbon. Philadelphia : American Society for Testing and Material. _______________________________________. 1999. ASTM D 4607-94 : Standard Test Method for Determination of Iodine Number of Activated Carbon. Philadelphia : American Society for Testing and Material.
48
Atkins PW. 1990. Kimia Fisika. Penerjemah : Wahyu IP. Jakarta : Erlangga. Bagreev A, Bandosz. 2002. H2S adsorption/oxidation materials obtained using sulfuric acid activation od sewage sludge-derived fertilizer. Journal of Colloid and Interface Science Vol 252: 188-194. Barros LM, Macedo GR, Duarte MML, Silva EP, Lobato AKCL. 2003. Biosorption of cadmium using the fungus Aspergillus niger. Braz Chem Eng Vol 20(3): 1-17. Budiono A, Suhartana, Gunawan. 2009. Pengaruh aktivasi arang tempurung kelapa dengan asam sulfat dan asam fosfat untuk adsorpsi fenol [skripsi]. Semarang : Universitas Diponegoro. Cahyady B. 2009. Studi tentang kesensitifan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) teknik Vapour Hydride Generation Accessories (VHGA) dibandingkan dengan SSA nyala pada analisa unsur arsen (Ar) yang terdapat dalam air minum [tesis]. Medan : Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Chapman VJ. 1970. Seaweed and their Uses. New York : Menthen and Co. Ltd. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta : UI Press. Diantariani NP, Sudiarta IW, Elantiani NK. 2008. Proses biosorpsi dan desorpsi ion Cr (IV) pada biosorben rumput laut Eucheuma spinosum. Jurnal Kimia Vol 2(1): 45-52. Djatmiko B, Ketaren S, Setyahartini S. 1985. Pengolahan Arang dan Kegunaannya. Bogor : Agro Industri Press. Esmaeili A, Ghasemi S, Rustaiyan A. 2010. Evaluation of the activated carbon prepared of algae Gracilaria for the biosorption of Cu (II) from aqueous solution. Journal of Agriculture and Environmental Science 3(6): 810-813. Hadi R. 2011. Sosialisasi teknik pembuatan arang tempurung kelapa dengan pembakaran sistem suplai udara terkendali. Buletin Teknologi Pertanian Vol 16(2): 77-80. Haryono A, Harmami SB. 2010. Aplikasi nanopartikel perak pada serat katun sebagai produk jadi tekstil antimikroba. Jurnal Kimia Indonesia Vol 5(1): 1-6. Irawaty W, Susiany E, Hinadrso H, Mulyono Y, Hendra K. 2010. Pengaruh temperatur dan konsentrasi zat aktivator pada pembuatan adsorben [makalah]. Surabaya : Unika Widya Mandala. Kasam, Yulianto A, Sukma T. 2005. Penurunan COD (Chemical Oxygen Demand) dalam limbah cair laboratorium menggunakan filter karbon aktif arang tempurung kelapa. Logika Vol 2(2) : 3-17. Kementerian Lingkungan Hidup. 2010. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.:Kep-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu air limbah bagi kegiatan industri. Jakarta : Kemenetrian Lingkungan Hidup.
49
Khairani N, Azam M, Soffian F, Soeleman. 2007. Penentuan kandungan unsur krom dalam limbah tekstil dengan metode analisis pengaktivan neuron. Berkala Fisika Vol 10(1): 35-43. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. KKP pacu produksi rumput laut di Pantura. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lee YJ, Radovic LR. 2003. Oxidation inhibition effects of phosphorus and boron in different carbon fabrics. Carbon Vol 41(1): 1987-1997. Liu L, Li F, Xiong D, Song C. 2006. Heavy metal contamination and their distribution in different size fractions of the surficial sediment of Haihe river, China. Environ Geol Vol 50: 431-438. Mandella ABM. 2010. Pengaruh pupuk limbah agar-agar terhadap pertumbuhan semai mahoni (Swietenia macrphylla, King) di media tailing tambang emas PT Antam UPBE Pongkor [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Manocha S. 2003. Porous carbon. Sadhana 28(1-2): 335-348. Manurung R, Hasibuan R, Irvan. 2004. Perombakan zat warna azo secara anaerob-aerob. Medan : Universitas Sumatera Utara. Maria S. 2009. Penentuan kadar logam besi (Fe) dalam tepung gandum dengan cara dekstruski basah dan kering dengan spektrofotometri serapan atom sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3751-2006 [skripsi]. Medan : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumetra Utara. Marsh H, Reinoso FR. 2006. Activated Carbon. Amsterdam : Elsevier. Notodarmojo S. 2004. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Bandung : ITB Press. Palar H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Rineka Cipta. Pari G. 1996. Pembuatan arang aktif dari serbuk gergajian sengon dengan cara kimia. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol 14(8): 308-320. _____. 2002. Teknologi alternatif pemanfaatan limbah industri pengolahan kayu [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Pari G, Hendra D. 2006. Pengaruh lama waktu aktivasi dan konsentrasi asam fosfat terhadap mutu arang aktif kayu Acacia mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 24(1): 33-46. Pari G, Hendra D, Pasaribu RA. 2008. Peningkatan mutu arang aktif kulit kayu mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 26(3): 214-277. Raghuvansi SP, Sing P, Kaushik CP. 2004. Kinetics study of methylene blue dye bioadsorption on bassage. App Ecol Env Researches Vol 2: 35-43. Riyanto B, Wilaksanti M. 2006. Cookies berkadar serat tinggi substitusi tepung ampas rumput laut dari pengolahan agar-agar kertas. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol 9(1): 47-56. Roy GM. 1995. Activated Carbon Applications in the Food and Pharmaceutical Industries. Pennsylvania: Technomic Publications.
50
Salamah E., Susanti D, Wikanta T. 2005. Kualitas agarosa hasil isolasi Rhodymenia cilliata menggunakan DEAE-Selulosa. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol 8(1): 13-20. Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana Vol 30(3): 21-26. Saputra DR. 2008. Aplikasi Bioteknologi Pemanfaatan Limbah Rumput Laut. Yogyakarta : Kanisius. Sembiring MT, Sinaga TS. 2003. Arang aktif (pengenalan dan proses pembuatannya). Medan : Universitas Sumatera Utara. Sirait SM, Sisilia L. 2008. Kualitas arang aktif tempurung nipah (Nypa fruticans Wurmb) dengan bahan pengaktif NH4HCO3 dan H3PO4 dan penggunaannya sebagai pemurni minyak goreng. Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Vol 10(2): 58-69. Siregar SA. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Yogyakarta : Kanisius. Smith B. 1988. A Workbook for Pollution Prevention by Source Reduction in Textille Wet Processing. North Carolina: North Carolina State University. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI-06-3730-1995 : Arang Aktif Teknis. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. __________________________. 2004. SNI-06-6989-2004 : Air dan Air Limbah. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. Sudarmaji, Mukono J, Corie IP. 2006. Toksikologi logam berat B3 dan dampaknya terhadap kesehatan. Jurnal Kesehatan lingkungan Vol 2(2): 129-142. Suhendra D, Gunawan ER. 2010. Pembuatan arang aktif dari batang jagung menggunakan aktivator asam sulfat dan penggunaannya pada penjerapan ion tembaga (II). Makara Sains Vol 14(1) : 22-26. Sulistyawati S. 2008. Modifikasi tongkol jagung sebagai adsorben logam berat Pb (II) [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Suganda H, Setyorini D, Kusnasi H, Saripin I, Kurnia U. 2002. Evaluasi pencemaran limbah industri tekstil untuk kelestarian sawah. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Suwilin. 2007. Efektifitas arang aktif kayu sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) dan tempurung kelapa (Coconus nucifera L.) untuk pemurnian minyak goreng bekas [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Triwisari DA. 2010. Fraksinasi polisakarida beberapa rumput laut [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
51
Viswanathan B, Neel PI, Varadarajan TK. 2009. Methods of Activation and Specific Applications of Carbon Material. Chennai : national centre for Catalist Research, Indian Institute of Technology Madras. Van Soest, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Carbohydrate methodology, metabolism, and nutritional implication in dairy cattle. J Dairy Sci Vol 74: 3583-3597. Wijayanti R. 2009. Arang aktif dari ampas tebu sebagai adsorben pada pemurnian minyak goreng bekas [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Winarno F G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor : M-Brio Press. Yu LJ, Sukhla SS, Dorris KL, Sukhla A, Margrave JL. 2003. Adsorption of chromium from aqueous solution by maple sawdust. J. Hazard Mater 100: 53-63. Yudo S. 2006. Kondisi pencemaran logam berat di perairan sungai DKI Jakarta. JAI Vol 2(1): 1-15.
LAMPIRAN
53
Lampiran 1 Dokumentasi penelitian
Gambar 1 Karbonisasi arang Gambar 2 Proses pengadukan
Gambar 3 Hasil aplikasi karbon aktif
Gambar 5 Limbah padar agar-agar
Gambar 4 Proses pengovenan uji COD
Gambar 6 Uji BOD
54
Lampiran 2 Contoh perhitungan karakterisasi limbah padat agar-agar Contoh perhitungan kadar air Kadar air (%) = = = 16,93 % Contoh perhitungan kadar abu Kadar abu (%) = = = 41,92 % Contoh perhitungan kadar protein Kadar N (%) = = = 0,2549 % Kadar Protein (%)
= = = 1,54 %
Contoh perhitungan kadar lemak Kadar lemak (%)
= = = 0,20 %
Contoh perhitungan kadar lemak Kadar serat kasar (%) = = = 37,50 %
55
Lampiran 3 Contoh perhitungan karakterisasi limbah industri tekstil Nilai BOD limbah DO
=
DO0
=
DO0
= 352,68 mg/L
DO3
=
×fp ×50
×50
= 274,31 BOD =
× 1,370
= (352,68 ˗ 274,31) × 1,370 = 107, 37 mg/L Nilai COD limbah COD = = = 463,33 mg/L
56
Lampiran 4 Contoh perhitungan karakterisasi karbon aktif Contoh perhitungan rendemen % Rendemen = = = 83,53 % Contoh perhitungan kadar air Kadar air (%) = = = 2,97 % Contoh perhitungan kadar abu Kadar abu (%) = = = 64,68 % Contoh perhitungan kadar zat mudah menguap (ZMM) Kadar ZMM (%)
= = = 3,96 %
Contoh perhitungan kadar karbon aktif murni Kadar karbon aktif murni (%) = = = 31,36 % Contoh perhitungan daya serap iod Daya serap iod (%)
= = = 221,022 mg/g
57
Lampiran 5 Hasil analisis ragam rendemen karbon aktif rendemen Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
268,148
2
134,074
Within Groups
1179,501
6
196,584
Total
1447,649
8
F
Sig. ,682
,541
,672
Sig. ,545
Lampiran 6 Hasil analisis ragam kadar air karbon aktif kadar_air Sum of Squares ,170
2
Mean Square ,085
Within Groups
,760
6
,127
Total
,930
8
Between Groups
df
F
Lampiran 7 Hasil analisis ragam kadar abu karbon aktif kadar_abu Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
998,553
2
499,276
23,527
6
3,921
1022,079
8
F 127,330
Sig. ,000
Lampiran 8 Hasil uji Duncan kadar abu karbon aktif Duncan N Perlakuan asam fosfat
Subset for alpha = .05
1
2
1
3
66,6167
zink klorida
3
68,2133
kalium hidroksida
3
89,7167
Sig.
,362 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Lampiran 9 Hasil analisis ragam kadar zat mudah menguap kadar_zat_mudah_menguap
Between Groups
Sum of Squares 6,240
df 2
Mean Square 3,120 1,916
Within Groups
11,494
6
Total
17,735
8
F 1,629
Sig. ,272
58
Lampiran 10 Hasil analisis ragam kadar karbon aktif murni kadar_karbon_aktif_murni Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
892,896
2
446,448
40,036
6
6,673
932,932
8
F
Sig.
66,907
,000
F 2,464
Sig. ,166
Lampiran 11 Hasil uji Duncan kadar karbon aktif murni Duncan N Perlakuan kalium hidroksida
Subset for alpha = .05
1 3
2 4,9500
1
zink klorida
3
24,4533
asam fosfat
3
27,3967
Sig.
1,000 ,212 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Lampiran 12 Hasil analisis ragam daya serap iod daya_serap_iod Sum of Squares 8551,259
2
Mean Square 4275,629
Within Groups
10411,343
6
1735,224
Total
18962,602
8
Between Groups
df
Lampiran 13 Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Ag pada periode kontak berbeda Ag
Between Groups
Sum of Squares ,000
df 3
Mean Square ,000 ,000
Within Groups
,000
8
Total
,000
11
F
Sig. .
.
Lampiran 14 Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Pb pada periode kontak berbeda Pb
Between Groups
Sum of Squares 3120,577
3
Mean Square 1040,192
Within Groups
1373,158
8
171,645
Total
4493,735
11
df
F 6,060
Sig. ,019
59
Lampiran 15 Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Pb pada periode kontak berbeda Duncan N periode_kontak 2 jam
Subset for alpha = .05
1
2
1
3
13,6800
1,5 jam
3
25,6933
0,5 jam
3
26,7824
1 jam
3
57,3500
Sig.
,274 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Lampiran 16 Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Cu pada periode kontak berbeda Cu Sum of Squares 13,281
3
Mean Square 4,427
Within Groups
15,441
8
1,930
Total
28,722
11
Between Groups
df
F 2,294
Sig. ,155
Lampiran 17 Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Cu pada periode kontak berbeda Duncan N periode_kontak 0,5 jam
Subset for alpha = .05
1 3
2 69,7333
1 jam
3
70,3600
70,3600
1,5 jam
3
70,9900
70,9900
2 jam
3
Sig.
1
72,5633 ,319
,099
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Lampiran 18 Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Ag pada nilai pH berbeda Ag Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
,000
3
,000
Within Groups
,000
8
,000
Total
,000
11
F
Sig. .
.
60
Lampiran 19 Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Pb pada nilai pH berbeda Pb Sum of Squares
df
Between Groups
4661,594
Within Groups Total
Mean Square 3
1553,865
1164,864
8
145,608
5826,457
11
F 10,672
Sig. ,004
Lampiran 20 Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Pb nilai pH berbeda Duncan N nilai_ph 6,5
Subset for alpha = .05
1 3
2 4,3667
5,5
3
7,0867
6,0
3
12,5667
5,0
3
1
53,0100
Sig.
,448
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Lampiran 21 Hasil analisis ragam aplikasi penyerapan Cu pada periode kontak berbeda Cu Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
71,815
3
23,938
Within Groups
17,772
8
2,222
Total
89,587
11
F 10,775
Sig. ,003
Lampiran 22 Hasil uji Duncan aplikasi penyerapan logam Cu pada periode kontak berbeda Duncan N nilai_ph 5,0
Subset for alpha = .05 3
2 60,3133
5,5
3
61,5667
6,0
3
6,5
3
Sig.
1
1
64,3933 66,5933 ,333
,108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
61
Lampiran 23 Perbandingan karakteristik beberapa karbon aktif Karbon Karbon Karbon Karbon aktif aktif dari aktif dari aktif dari Parameter terbaik tempurung tempurung kayu hasil kelapa* kelapa mangium** penelitian sawit* 77,60% 67,40Rendemen 99,40% 2,90% 3,35% 6,11% 8,39Kadar air 12,90% 66,62% 0,62% 0,98% 12,30Kadar abu 32,70% Kadar zat 5,99% 6,08mudah 11,70% menguap Kadar 27,40% 55,60karbon 79,70% aktif murni 143,67 1275,3 1199,2 369-607 Daya mg/g mg/g mg/g mg/g serap iod Keterangan : * Budiono et al. (2009) ** Pari dan Hendra (2006) *** Sirait dan Sisilia (2008)
Karbon aktif dari tempurung nipah*** 25,7357,02% 0,92-3,52% 8,3915,35% 16,2326,81% 59,2872,51%
686,501003,42 mg/g