SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENDIDIKAN KIMIA “Kontribusi Penelitian Kimia Terhadap Pengembangan Pendidikan Kimia”
KARAKTERISTIK BIOFLOKULAN DYT SEBAGAI BAHAN PENGOLAH LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL Afri Eldi, Asep Kadarohman, Hernani Program Studi Kimia Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia ABSTRAK Bioflokulan DYT telah berhasil diteliti dan digunakan sebagai bahan pengolah limbah cair industri tekstil. Untuk mengetahui kandungan komponen aktif bioflokulan ini berikut karakteristiknya, dilakukanlah isolasi dan karakterisasi terhadap bioflokulan ini. Isolasi dilakukan dengan teknik ekstraksi pelarut menggunakan metanol sebagai pelarut induk, kemudian komponen aktif Bioflokulan DYT dalam pelarut metanol ini berturut-turut dicuci dengan n-heksana, diklorometana, dan etil asetat. Sedangkan karakterisasi terhadap komponen yang telah diisolasi meliputi analisa gugus fungsi melalui metode spektrofotometri infra merah (IR), analisa jumlah komponen melalui metode kromatografi cair tekanan tinggi (HPLC), dan identifikasi muatan listrik menggunakan metode elektroforesis. Hasil isolasi diperoleh padatan komponen aktif Bioflokulan DYT yang selanjutnya padatan ini dikarakterisasi. Spektrum infra merah menunjukkan adanya gugus-gugus fungsi O-H, -CH2, -CH3, C=O, C-O, C-N, dan N-H dalam komponen aktif Bioflokulan DYT. Kromatogram HPLC menunjukkan setidaknya ada empat kelompok senyawa di dalam komponen aktif Bioflokulan DYT. Sedangkan hasil elektroforesis menunjukkan bahwa komponen aktif Bioflokulan DYT mengandung muatan listrik positif dan negatif. Kata kunci – karakteristik, bioflokulan, isolasi, industri tekstil. ABSTRACT DYT Bioflocculant was successfully researched and used as a material flocculant for wastewater treatment in textile industry. In order to find out the content of bioflocculant active components along with its characteristics, isolation and characterization were obviously needed. Isolation actually undertaken by the solvent extraction method using methanol as the main solvent. Furthermore, the DYT Bioflocculant active component in this methanol was extracted respectively by n-hexane, dichloromethane, and ethil acetate. Meanwhile, charac terization of this isolated component consisted of functional groups analysis through the infrared (IR) spectrophotometry method, analysis of component number using high performance liquid chromatography (HPLC) method, and identification of electrical char ge by an electrophoresis method. In the isolation stage, apparently gained a solid DYT Bioflocculant active component which in turn to be identified. The infrared spectrum detected several functional groups in this active component of bioflocculant, O-H, -CH2, -CH3, C=O, C-O, C-N, and N-H. HPLC chromatogram showed at least four groups of compound in this active component of bioflocculant. While the result of electrophoresis method showed that an active component of DYT Bioflocculant has both of positive and negative electrical charge. Keywords – characteristic, bioflocculant, isolation, textile industry.
PENDAHULUAN Industri tekstil merupakan industri yang bergerak dalam bidang produksi barang jadi tekstil. Sebagai salah satu sektor industri di Indonesia yang cukup berkembang pesat saat ini, industri ini menimbulkan dampak bagi masyarakat dan lingkungan. Kegiatan Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
industri tekstil telah banyak memberikan sumbangsih berharga bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan sandang sebagai suatu dampak positif. Akan tetapi, kita pun tidak bisa menghindar bahwa proses industri menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Bagian ini merupakan dampak negatif karena seringkali penanganan limbah tidak diperhatikan oleh kalangan 1
industri. Padahal limbah industri tekstil mengandung beban pencemaran kimia dengan kadar tinggi seperti pH, turbiditas, sejumlah zat warna, logam-logam, dan bahan organik dengan konsentrasi tinggi pula yang apabila dibuang langsung ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Untuk menghindari pencemaran, limbah tekstil tadi harus diolah terlebih dahulu dengan serangkaian proses untuk menurunkan kadar pencemarannya sebelum dibuang ke lingkungan. Pada skala industri, cara pengolahan limbah yang banya k digunakan adalah pengolahan secara kimia fisika. Metode yang digunakan adalah koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi. Pada proses koagulasi dan flokulasi ditambahkan zat kimia yang dinamakan koagulan dan flokulan. Jenis koagulan dan flokulan yang biasa digunakan melibatkan bahan-bahan kimia sintetik seperti garam Al(III) dan Fe(III) (Benefield, et al., 1982) , polyaluminium chloride (PAC), serta flokulan polimer sintetik yang secara ekonomis berharga cukup mahal. Untuk mengganti bahan-bahan kimia sintetik berharga tinggi ini, pada tahun 2002 kelompok riset Bioflokulan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) berupaya memberikan kontribusi dengan melakukan riset berkenaan penggunaan bahan alami dalam pengolahan limbah industri tekstil. Bahan-bahan alam yang digunakan sebagai flokulan dalam proses pengolahan limbah ini dinamakan bioflokulan . Bioflokulan mengandung komponen aktif polimer yang berperan sebagai flokulan pada proses pengolahan limbah. Sebuah literatur menerangkan bahwa komponen aktif polimer yang bertindak sebagai flokulan dalam proses flokulasi adalah gugus gugus amida. (http://www.wet-usa.com). Namun tidak menutup kemungkinan gugus -gugus lain yang dikandung polimer tersebut juga berperan pada proses itu. Salah satu bioflokulan yang telah diteliti adalah Bioflokulan DYT (Rustandi, 2003). Bioflokulan ini terbukti mampu menurunkan kadar pencemaran kimia limbah suatu pabrik tekstil. Selain bioflokulan ini tersedia melimpah di alam, bioflokulan ini juga bersifat ramah lingkungan. Untuk mengetahui apa kandungan komponen aktif bioflokulan ini maka dilakukanlah karakterisasi terhadap bioflokulan ini yang diawali dengan tahap isolasi. Berdasarkan hal tersebut, masalah yang muncul adalah bagaimana karakteristik komponen aktif Bioflokulan DYT yang diisolasi dengan pelarut tertentu? Seiring dengan itu, tujuan dari penelitian ini adalah 1) menentukan pelarut yang tepat untuk mengisolasi komponen aktif Bioflokulan DYT, 2) Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
menentukan gugus fungsi yang terkandung di dalam komponen aktif Bioflokulan DYT, 3) menentukan jumlah komponen aktif yang terkandung di dalam Bioflokulan DYT, dan 4) menentukan muatan listrik yang dimiliki komponen aktif Bioflokulan DYT. METODE PENELITIAN Alat o Satu set alat destilasi untuk mengurangi kandungan pengotor pelarut teknis. o Peralatan pengolahan limbah, terdiri dari Mechanical Stirrer merk Eyela Mazela tipe 1100, alat-alat gelas standar, pH meter Hanna Instrument tipe HI 9214 untuk mengukur pH limbah, micropipet merk Siba ta untuk menambahkan koagulan dan flokulan, ditambah peralatan untuk analisa turbiditas limbah menggunakan Front Scatter Methode Turbidimeter merk Corona tipe UT-11. o Peralatan proses isolasi, menggunakan alat corong pisah merk Pyrex untuk ekstraksi cair cair sampel dengan beberapa pelarut. Lumpang dan alu digunakan pada tahap awal untuk mengekstrak (menggerus) sampel. Kain kasa berpori kasar digunakan untuk menyaring filtrat dari ampas sampel. Peralatan penyaringan lainnya menggunakan kertas saring jenis biasa dan jenis Whatman serta corong panjang dan corong pendek. Sementara untuk menguapkan sampel di dalam masing-masing fasa pelarut digunakan evaporator dan Freeze Dryer merk Eyela. o Peralatan untuk tahap karakterisasi. FTIR -8400 merk Shimadzu digunakan untuk analisa gugus fungsi, UV-VIS merk Camspec M330 digunakan untuk identifikasi pendahuluan panjang gelombang yang diterapkan pada penggunaan alat HPLC D-7000 merk Shimadzu untuk analisa komponen, dan set alat elektroforesis yang terdiri dari Power Supply, tabung reaksi, pipet Pasteur, kabel listrik, dan peralatan gelas standar. Gelas kimia dan tabung reaksi digunakan pada analisa kualitatif amida (gugus –CONH-) dengan pereaksi ninhidrin. o Peralatan penunjang, diantaranya neraca analitik merk Mettler tipe AE 240 untuk menimbang dan pengaduk magnetik VWR Scientific Nakamura untuk mengaduk sampel sebelum diolah.
2
Bahan
Diukur turbiditas awal
200 mL sampel limbah awal
o Bahan-bahan kimia yang digunakan terdiri dari larutan alum, larutan ninhidrin 0,1%, larutan H2SO 4 2 M, larutan NaCl 1 M, pelarut-pelarut metanol, n-heksana, diklorometana, dan etil asetat hasil destilasi, agar-agar putih, larutan buffer pH 8, dan aquades. o Ekstrak bioflokulan yang digunakan adalah Bioflokulan DYT yang diekstrak dengan pelarut metanol, n-heksana, NaCl 1 M, dan air. o Limbah industri tekstil yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah PT. LSI. Pembuatan Ekstrak Bioflokulan Sebanyak 2,5 gram sampel Bioflokulan DYT ditimbang dan dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian ditambahkan 100 mL pelarut, lalu digerus hingga sedikit halus. Campuran disaring dengan kain kasa untuk mendapatkan cairan bioflokulan. Dalam penelitian ini, untuk keperluan pemilihan pelarut, digunakan empat jenis pelarut yaitu metanol, nheksana, air, dan NaCl 1 M. Uji Aktivitas Flokulasi dan Pemilihan Pelarut Pemilihan pelarut didasarkan pada kemampuan pelarut bersangkutan mengekstrak senyawa aktif bioflokulan yang mampu menurunkan turbiditas limbah sekecil mungkin pada proses pengolahan. Pengolahan dilakukan dengan proses koagulasi dan flokulasi menggunakan stirrer. Sebelum diolah, limbah dinetralkan terlebih dahulu hingga pH kurang lebih 7. 200 mL limbah yang telah netral dikoagulasi selama beberapa menit. Setelah itu diflokulasi beberapa menit pula. Flok dibiarkan mengendap dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya turbiditas limbah hasil olahan diukur dengan alat turbidimeter. Bagan tahapan uji aktivitas flokulasi dan pemilihan pelarut disajikan pada Gambar 1. berikut.
Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
Dinetralkan hingga pH 7
Limbah netral
- Dikoagulasi - Diflokulasi - Diendapkan
Supernatan
Endapan
Diukur turbiditasnya Data Turbiditas Limbah
Gambar 1. Bagan Alir Tahap Uji Aktivitas Flokulasi
Tahap uji aktivitas flokulasi bioflokulan dan pemilihan pelarut ini terdiri dari dua bagian yang berbeda, yakni: 1. Pengujian aktivitas flokulasi bioflokulan yang berada di dalam pelarut pengekstraknya. Untuk tujuan ini ekstrak bioflokulan yang digunakan adalah ekstrak bioflokulan dalam pelarut metanol, air, dan NaCl 1 M. 2. Pengujian aktivitas flokulasi bioflokulan yang telah dipisahkan dari pelarut pengekstraknya. Untuk tujuan ini ekstrak bioflokulan yang digunakan adalah ekstrak bioflokulan dalam pelarut metanol dan n-heksana. Pemisahan dari pelarut dilakukan dengan cara : a. Pemisahan Bioflokulan dari Pelarut Metanol Bioflokulan yang telah diekstrak (digerus) dengan metanol disaring dengan kertas saring sehingga residu menempel di atas kertas saring, sementara filtratnya ditampung di dalam cawan penguapan. Residu pada kertas saring dikeringkan sedangkan filtratnya diambil sedikit dan disimpan untuk diuji aktivitas flokulasinya. Sisanya diuapkan hingga kering sehingga diperoleh residu pada cawan penguapan. Untuk diuji cobakan pada limbah, residu-residu ini dilarutkan terlebih dahulu ke dalam air. b. Pemisahan Bioflokulan dari Pelarut n-heksana Bioflokulan yang telah diekstrak (digerus) dengan n-heksana disaring dengan kertas saring. Jika terdapat residu pada kertas saring, kumpulkan dan keringkan. Filtrat pada cawan penguapan diuapkan dan dikeringkan. Untuk 3
diuji cobakan pada limbah, residu dilarutkan terlebih dahulu ke dalam air.
ini
aktif Bioflokulan DYT, panaskan hingga mendidih. Amati perubahan warna setelah dipanaskan beberapa menit.
Isolasi Komponen Aktif Bioflokulan DYT Bahan baku Bioflokulan DYT disampling sebanyak 1 kg yang diambil di daerah Cimahi, Jawa Barat, kemudian sampel dicuci dan dikeringkan. Sampel yang sudah kering, diekstrak (digerus) dengan 10 L metanol dalam lumpang secara bertahap, yang dimaksud secara bertahap di sini adalah 100 gram sampel diekstrak dengan 1 L metanol, kemudian 100 gram lagi diekstrak pula dengan 1 L metanol, demikian seterusnya hingga 1 kg sampel habis diekstrak oleh 10 L metanol. Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring menggunakan kertas saring. Residu pada kertas saring diambil, dikeringkan, lalu dikumpulkan. Padatan yang diperoleh dilarutkan kembali ke dalam 500 mL metanol kemudian diekstraksi cair-cair dengan beberapa pelarut secara berurutan, n-heksana, diklorometana, dan etil asetat. Pelarut-pelarut ini dipilih dan diurutkan berdasarkan tingkat kepolarannya. Ekstraksi dilakukan dua kali dengan masingmasing jumlah pelarut yang digunakan sebanyak 200 mL. Hasil ekstraksi dikumpulkan, kemudian pelarutnya diuapkan hingga sisa volume ± 50 mL. Pengeringan hasil ekstraksi ini dilakukan dengan bantuan alat freeze dryer. Bagan tahapan isolasi senyawa aktif bioflokulan disajikan dalam Gambar 2. Karakterisasi Komponen Aktif Bioflokulan DYT Empat fasa padat yang diperoleh dari hasil freeze drying yakni fasa padat n-heksana, fasa padat diklorometana, fasa padat etil asetat, dan fasa padat metanol, masing-masing dianalisa gugus fungsinya dengan metode spektrofotometri infra merah. Untuk keperluan analisa jumlah komponen hasil ekstraksi pelarut metanol dilakukan dengan teknik kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Sebelumnya, dilakukan scanning panjang gelombang (?) dengan metode spektrofotometri ultraviolet. Data panjang gelombang maksimum yang diperoleh dari metode spektrofotometri UV akan digunakan pada pemilihan panjang gelombang untuk analisis HPLC. Analisa Kualitatif Amida (Gugus –CONH-) dengan Pereaksi Ninhidrin Tambahkan 0,5 mL larutan ninhidrin 0,1% ke dalam tabung reaksi berisi 3 mL sampel komponen Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
Identifikasi Muatan Elektroforesis
Listrik
dengan
Metode
Ke dalam 20 mL larutan buffer yang mendidih dimasukkan sedikit demi sedikit agar-agar sambil diaduk hingga larutan agar-agar memiliki kekentalan yang memadai. Larutan agar-agar dimasukkan ke dalam pipet Pasteur hingga ketinggiannya ± 10 cm dari ujung bawah pipet, biarkan hingga memadat. Pipet berisi agar-agar ini digunakan sebagai kolom pemisahan. Dengan menggunakan syringe injectie masukkan sampel tepat di atas kolom kemudian tambahkan pula larutan buffer sehingga sampel dan larutan buffer bercampur. Masukkan pipet Pasteur tersebut ke dalam tabung reaksi berisi larutan buffer. Celupkan elektroda karbon yang satu ke dalam kolom pemisahan dan elektroda karbon lainnya dalam tabung reaksi yang berisi larutan buffer. Hubungkan elektroda karbon tersebut ke sumber arus listrik DC bertegangan 300 V, 20 mA beberapa saat sehingga terjadi proses migrasi sampel di sepanjang kolom. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Aktivitas Flokulasi dan Pemilihan Pelarut Pengujian aktivitas flokulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh komponen aktif bioflokulan terhadap kemampuannya menurunkan turbiditas limbah dalam proses flokulasi pada pengolahan limbah cair PT. LSI. Komponen aktif bioflokulan tersebut diekstrak dengan beberapa pelarut yaitu pelarut organik (metanol dan n-heksana) dan pelarut anorganik (air dan larutan NaCl). Berdasarkan aktivit asnya tersebut dipilihlah pelarutnya sebagai pelarut yang tepat untuk mengisolasi komponen aktif Bioflokulan DYT tersebut. Uji Aktivitas Flokulasi Bioflokulan dalam Pelarut Organik Pada tahap awal dilakukan uji aktivitas flokulasi bioflokulan yang diekstrak dengan pelarut metanol. Ekstrak bioflokulan dalam pelarut n-heksana tidak diuji cobakan karena n-heksana mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan air limbah sehingga sudah dipastikan pelarut n-heksana sendiri akan sangat mempengaruhi proses flo kulasi pada pengolahan limbah tersebut. Perbedaannya dengan ekstrak 4
bioflokulan dalam metanol, metanol memiliki sifat kepolaran yang hampir mirip dengan karakter sebagian limbah yang banyak mengandung air, sehingga meskipun pengaruh pelarut metanol ada, namun sangat kecil. Pada ekstraksi bioflokulan dengan metanol, ekstrak yang diperoleh, yang mengandung komponen aktif bioflokulan dan pelarut pengekstraknya, diuji cobakan pada limbah. Data uji aktivitas flokulasi ekstrak bioflokulan dalam metanol ini disajikan pada Tabel 1. berikut ini. Tabel 1. Data Uji Aktivitas Flokulasi Ekstrak Bioflokulan dalam Pelarut Metanol
Perc.
Karakteristik Awal Limbah
pH
Turb
Warna
Hasil Pengolahan Limbah Menggunakan Ekstrak Bioflokulan dalam Pelarut Metanol Turb
EPT
I
7,96
233
CT
40,5
82,62
II
8,00
215
CT
18,3
91,49
III
8,11
185
CT
44,8
75,78
Keterangan : Perc. Turb EPT CT
: Percobaan : Turbiditas, dalam NTU : Efisiensi Penurunan Turbiditas, dalam % : Cokelat tua
Uji aktivitas flokulasi ekstrak bioflokulan dalam metanol ini dilakukan tiga kali percobaan dengan tujuan untuk memastikan bahwa komponen aktif bioflokulan tersebut benar-benar berperan dalam proses flokulasi sehingga dapat ditentukan pelarutnya cocok untuk mengisolasi komponen aktif bioflokulan tersebut. Ketiga percobaan pengujian aktivitas flokulasi ekstrak bioflokulan tersebut dilakukan dengan menggunakan sampel limbah cair yang sama, namun dengan karakteristik awal limbah yang sedikit berbeda. Perbedaan karakteristik awal limbah ini dapat terjadi karena aktivitas kimia dan biologi serta faktor fisik. Aktivitas kimia disebabkan oleh zat-zat kimia yang terkandung di dalam limbah yang dapat merubah pH limbah, misalnya, sementara aktivitas biologi dapat disebabkan oleh bakteri-bakteri, jamur, atau mikroorga nisme lainnya. Sedangkan faktor fisik, zat-zat tersuspensi dan partikel koloid dapat membentuk flok-flok sendiri dan mengendap. Hal ini akan menyebabkan turbiditas sampel berbeda dengan keadaan aslinya. (Alaerts, 1987). Dari ketiga percobaan, diketahui bahwa bioflokulan yang diekstrak dengan pelarut metanol mampu menurunkan turbiditas limbah yang cukup baik, dilihat dari turbiditas limbah hasil olahan dan efisiensi penurunan turbiditasnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa : 1) ekstrak bioflokula n dalam pelarut metanol mempunyai aktivitas flokulasi yang Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
baik pada pengolahan limbah dan 2) metanol mampu mengisolasi komponen aktif Bioflokulan DYT. Untuk melenyapkan dugaan adanya pengaruh pelarut pada pengolahan, maka perlu dilakukan percobaan berikutnya dengan menghilangkan pengaruh pelarut melalui penguapan. Pada percobaan ini, selain metanol, n-heksana juga diikutsertakan. Hal ini berkenaan dengan tujuan pemilihan pelarut yang tepat untuk digunakan pada tahap isolasi. Ekstrak bioflokulan dalam pelarut metanol dan nheksana diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh padatan. Untuk diuji cobakan, padatan ini dilarutkan di dalam air. Untuk pelarut metanol, pengujian dilakukan terhadap residu (padatan) pada kertas saring, residu (padatan) pada cawan penguapan, dan filtratnya. Sementara untuk pelarut n-heksana, hanya residu (padatan) pada cawan penguapan yang diuji cobakan. Tabel 2. menyajikan data dari percobaan ini. Dari tabel dapat diketahui bahwa metanol adalah pelarut terbaik untuk mengekstrak komponen aktif Bioflokulan DYT. Hal ini karena residu pada kertas saring yang telah diekstrak dengan pelarut metanol dapat memberikan turbiditas limbah hasil olahan paling kecil (8,77 dan 8,75 NTU) atau efisiensi penurunan turbiditas paling besar (93,50 dan 93,52%) dibandingkan dengan jenis ekstrak dan padatan bioflokulan lainnya. Apabila dibandingkan dengan ekstrak bioflokulan yang masih berada di dalam pelarutnya (Tabel 1., dengan mengambil rata-rata efisiensi penurunan turbiditas ketiga percobaan), maka bioflokulan yang telah dipisahkan dari pelarutnya (bioflokulan pada residu kertas saring) memiliki aktivitas flokulasi yang lebih tinggi. Keseluruhan data pada Tabel 1. dan Tabel 2. dapat dibandingkan karena memiliki karakter limbah yang hampir mirip dalam hal pH awalnya. Tabel 2. Data Uji Aktivitas Flokulasi Bioflokulan Terpisah dari Pelarut Hasil Pengolahan Limbah Menggunakan Bioflokulan Terpisah dari Pelarut Prmt.
KAL
Prmt.
Metanol
n-heksana
RKS
RCP
RCP
Filtrat
pH
8,00
Turb
135
Warna
CT
I
II
I
II
I
II
Turb
10,25
8,77
8,75
15,00
14,25
10,75
10,00
EPT
92,41
93,50
93,52
88,89
89,44
92,04
92,59
Keterangan : Prmt. KAL RKS RCP
: Parameter : Karakteristik Awal Limbah : Residu Kertas Saring : Residu Cawan Penguapan : Data Terbaik
Artinya, temuan dari percobaan ini adalah : 1) metanol merupakan pelarut pengekstrak paling baik untuk mengisolasi komponen aktif Bioflokulan DYT, 2) komponen aktif yang paling berperan dalam proses 5
flokulasi pada pengolahan limbah adalah komponen aktif yang terdapat pada residu (padatan) kertas saring hasil saringan ekstrak bioflokulan dalam pelarut metanol, dan 3) komponen aktif Bioflokulan DYT mengandung karakter senyawa polar. Uji Aktivitas Flokulasi Ekstrak Bioflokulan dalam Pelarut Anorganik Di bawah ini disajikan data hasil percobaan pengolahan limbah menggunakan ekstrak bioflokulan dalam pelarut air dan larutan NaCl 1 M dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas flokulasi yang paling baik. Tabel 3. Dat a Uji Aktivitas Flokulasi Ekstrak Bioflokulan dalam Pelarut Anorganik
Perc.
Karakteristik Awal Limbah
Hasil Pengolahan Limbah Menggunakan Ekstrak Bioflokulan dalam Pelarut Air
Turb
I
7,96
233
CT
25,6
89,01
30,0
87,12
II
8,00
215
CT
16,4
92,37
12,3
94,28
III
8,11
185
CT
21,5
88,38
31,0
83,24
Rata-rata
Warna
Turb
NaCl 1 M
pH
EPT
89,92
Turb
EPT
88,21
Berbeda dengan percobaan uji aktivitas flokulasi ekstrak bioflokulan dalam pelarut organik, pada percobaan uji aktivitas flokulasi ekstrak bioflokulan dalam pelarut anorganik ini dilakukan tanpa memisahkan komponen aktif dari pelarut pengekstraknya. Hal ini karena pelarut anorganik yang digunakan adalah air dan larutan NaCl 1 M yang memiliki karakter senyawa yang sama dengan limbah yaitu sama-sama sebagian besar terdiri dari air. Air merupakan pelarut anorganik universal dan bersifat sangat polar. Sifat universal dan polar dari pelarut ini memungkinkannya dapat melarutkan banyak jenis senyawa, tidak terbatas pada senyawasenyawa polar, namun juga senyawa-senyawa nonpolar. Selain itu, pemilihan pelarut ini juga dilatar belakangi oleh penelitian sebelumnya yang berhasil menggunakan air sebagai pelarut pengekstrak komponen aktif bioflokulan. Ekstrak Bioflokulan DYT dalam pelarut air ini telah teruji mampu digunakan sebagai flokulan dalam pengolahan limbah cair beberapa industri tekstil (Rustandi, 2003). Larutan NaCl 1 M merupakan suatu larutan elektrolit. Suatu penelitian mengenai isolasi dan karakterisasi biokoagulan Moringa oleifera telah menggunakan larutan ini sebagai suatu pelarut untuk mengekstrak komponen aktif biokoagulan tersebut (Okuda, et al., 1999). Penelitian ini menyarankan untuk mempertinggi keaktifan koagulasi dari Moringa oleifera dengan cara mengekstraksi tumbuhan tersebut menggunakan larutan NaCl 1 M. Menurut Okuda (1999), pada ekstraksi, kuat ion dari larutan ini Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
mampu mempertinggi efisiensi ekstraksi. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh larutan ini dalam mengekstraksi komponen aktif bioflokulan, maka dipilihlah larutan ini sebagai salah satu pelarut anorganik disamping air yang telah digunakan lebih dahulu. Data pada Tabel 3. di atas menunjukkan bahwa ekstrak bioflokulan dalam pelarut air lebih baik kinerjanya sebagai flokulan dalam pengolahan limbah dibandingkan dengan ekstrak bioflokulan dalam larutan NaCl 1 M. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan rata-rata efisiensi penurunan turbiditas limbah dari ketiga percobaan itu. Rata -rata efisiensi penurunan turbiditas limbah yang diolah dengan ekstrak bioflokulan dalam air (89,92%) lebih besar daripada rata-rata efisiensi penurunan turbiditas limbah yang diolah dengan ekstrak bioflokulan dalam larutan NaCl 1 M (88,21%). Berdasarkan percobaan ini, diperoleh temuan yang agak berbeda dari temuan pertama, sebagai berikut : 1) air merupakan pelarut anorganik yang paling baik digunakan untuk mengisolasi komponen aktif Bioflokulan DYT ini, 2) tidak seperti pada penelitian isolasi dan karakterisasi biokoagulan Moringa oleifera, larutan NaCl 1 M tidak begitu cocok digunakan sebagai pelarut untuk mengekstrak komponen aktif bioflokulan ini, 3) serupa dengan temuan sebelumnya, komponen aktif bioflokulan diduga memiliki karakter senyawa polar. Pengaruh pelarut air diperkirakan tidak ada karena limbah sebagian besar mengandung air sehingga penambahan air dari ekstrak bioflokulan-pelarut air tidak mempengaruhi kerja pada proses flokulasi. Dari kedua percobaan uji aktivitas ekstrak bioflokulan di atas dapat dicari kesamaan berkenaan dengan temuan yang diperoleh yaitu bahwa komponen aktif Bioflokulan DYT memiliki karakter senyawa polar. Satu hal mendasar yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa senyawa-senyawa yang dikandung tumbuhan terdiri atas dua kelompok senyawa yaitu senyawa metabolit primer dan senyawa metabolit sekunder. Kedua kelompok senyawa itu digolongkan kepada kelompok besar senyawasenyawa organik. Penggunaan pelarut anorganik seperti air dirasakan akan kurang efektif untuk mengisolasi senyawa-senyawa organik di dalam suatu tumbuhan. Mendasari hal itu, maka akanlah sangat tepat bila ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut organik yang memiliki kemiripan sifat dengan senyawa organik pada tumbuhan yang diselidiki. Oleh karena itu, dapatlah diambil kesimpulan bahwa metanol adalah pelarut paling baik untuk mengisolasi komponen aktif Bioflokulan DYT yang memiliki karakter senyawa polar. 6
Temuan ini berguna bagi tahap selanjutnya yakni tahap isolasi komponen aktif Bioflokulan DYT dengan menggunakan metanol sebagai pelarut. Komponen aktif yang diisolasi adalah komponen aktif yang terdapat pada residu (padatan) kertas saring hasil saringan ekstrak bioflokulan dalam pelarut metanol. Isolasi Komponen Aktif Bioflokulan DYT Bioflokulan DYT diekstrak dengan pelarut metanol dengan cara digerus menggunakan lumpang dan alu. Cairan bioflokulan yang diperoleh berwarna hijau pekat. Mengacu kepada hasil percobaan uji aktivitas flokulan bahwa bioflokulan yang paling baik untuk mengolah limbah adalah bioflokulan pada residu kertas saring, maka cairan bioflokulan hijau pekat tersebut disaring dengan kertas saring dan diambil padatannya. Kuantitas dan warna padatan yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.. Untuk keperluan ekstraksi cair-cair, padatan tersebut dilarutkan kembali ke dalam pelarut metanol mengingat metanol sangat baik untuk mengekstrak komponen aktif Bioflokulan DYT. Ketika padatan itu dilarutkan, ternyata tidak larut semua, ada partikelpartikel yang melayang dan pada akhirnya mengendap. Oleh karena itu, suspensi ini kemudian disaring kembali menggunakan kertas saring sehingga cairan yang diperoleh betul-betul bebas dari partikelpartikel yang melayang, membentuk semacam larutan sejati berwarna hijau. Sementara residunya dilarutkan ke dalam air untuk mengetahui sifat kelarutannya di dalam air. Faktanya, tidak semua residu dapat larut di dalam air sehingga suspensi yang terbentuk harus disaring untuk mendapatkan larutan sejati. Sifat larutan ini tak berwarna dan memiliki viskositas cukup besar, diketahui dari cairannya yang sedikit kental. Larutan ini dikeringkan dengan alat freeze dryer dan padatan yang diperoleh dilabel dengan nama padatan bioflokulan fasa air yang kemudian dianalisa berikutnya pada tahap karakterisasi. Kuantitas dan warna padatan bioflokulan fasa air ini disajikan pada Tabel 4.. Larutan sejati berwarna hijau yang mengandung komponen aktif bioflokulan ini kemudian diekstraksi cair-cair mulai dari pelarut nonpolar ke pelarut polar karena diduga komponen aktif Bioflokulan DYT bersifat polar. Dimulai dari n-heksana, diklorometana, dan etil asetat, larutan sejati bioflokulan berwarna hijau tersebut diekstraksi secara berturut-turut. Pada ekstraksi dengan n-heksana terbentuk dua fasa, masing-masing fasa n-heksana yang berwarna kuning terletak di atas dan fasa metanol yang berwarna hijau terletak di bawah. Fasa n-heksana ditampung dan dikumpulkan untuk tahap berikutnya. Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
Pada lanjutan ekstraksi dengan pelarut diklorometana, juga terbentuk dua fasa, masing-masing fasa diklorometana yang berwarna hijau pekat terletak di bawah dan fasa metanol yang berwarna kuning terletak di atas. Fasa diklorometana ditampung dan dikumpulkan untuk tahap berikutnya. Terakhir, ekstraksi dengan etil asetat terbentuk dua fasa, masing-masing fasa etil asetat yang berwarna putih (keruh) terletak di atas dan fasa metanol yang berwarna kuning pudar terletak di bawah. Fasa etil asetat pun ditampung dan dikumpulkan untuk tahap berikutnya. Dengan menggunakan alat freeze dryer, keempat fasa tersebut yakni fasa n-heksana, fasa diklorometana, fasa etil asetat, dan fasa metanol diuapkan pelarutnya sehingga dihasilkan berturutturut, padatan kuning kehijauan, hijau, cokelat tua, dan kuning kecokelatan. Padatan-padatan ini digunakan pada tahap berikutnya yakni tahap karakterisasi. Kuantitas dan warna masing-masin g fasa padatan bioflokulan ini selengkapnya disajikan pada Tabel 4. berikut. Tabel 4. Data Kuantitas dan Warna Padatan Hasil Isolasi Label Padatan Residu kertas saring
Kuantitas (g) 12,9917
Warna Cokelat
Bioflokulan fasa n- heksana
0,0132
Kuning kehija uan
Bioflokulan fasa diklorometana
0,0022
Hijau
Bioflokulan fasa etil asetat
0,0061
Cokelat tua
Bioflokulan fasa metanol
0,1021
Kuning kecokelatan
Bioflokulan fasa air
0,0209
Putih
Gugus Fungsi Bioflokulan DYT
Gambar 1. Spektrum Infra Merah Bioflokulan DYT Fasa Metanol
Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1., pada fasa metanol ini dapat diidentifikasi beberapa gugus fungsional diantaranya gugus N-H pada bilangan gelombang 3363,6 cm-1. Adanya gugus –CH2 dan CH 3 ditunjukkan oleh serapan pa da bilangan gelombang 2931,6 cm-1 dan diperkuat oleh serapan 7
pada 1411,8 cm -1. Serapan pada bilangan gelombang 1604,7 cm -1 dideteksi sebagai gugus C=O akibat vibrasi ulur dari suatu amida. Serapan pada 1072,3 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk gugus C -O dari s uatu alkohol, eter, atau ester. Disimpulkan bahwa fasa metanol Bioflokulan DYT mengandung gugus -gugus fungsi N -H, -CH2, -CH3, C=O, dan C-O. Keberadaan gugus fungsi N-H dan C=O pada spektrum infra merah di atas menimbulkan dugaan bahwa komponen aktif bioflokulan yang berperan dalam proses flokulasi adalah amida. Sebab, terdapat sebuah literatur yang mengungkapkan bahwa komponen aktif polimer yang bertindak sebagai flokulan dalam proses flokulasi adalah gugus -gugus amida (http://www.wet-usa.com). Bioflokulan yang sedang diteliti ini adalah termasuk golongan polimer alam. Analisa Kualitatif Amida (Gugus -CONH-) Di antara gugus fungsi yang terdeteksi pada spektrofotometri infra merah terdapat gugus fungsi C=O dan N-H. Kedua gugus fungsi ini merupakan gugus fungsi penyusun senyawa amida yang berikatan satu sama lain melalui atom karbon dari gugus karbonil (C=O) dan nitogen dari gugus N-H. Untuk mendukung temuan kedua gugus fungsi ini dilakukan analisa kualitatif gugus –CONH-. Sampel bioflokulan fasa metanol dan fasa air diuji keberadaan gugus –CONH- -nya dengan menggunakan pereaksi ninhidrin. Ninhidrin merupakan oksidator lunak yang mampu mendeteksi gugus amino dan gugus karboksil dari suatu protein atau peptida. Fessenden (1986) mengemukakan, “Tak perlu dipersoalkan lagi bahwa poliamida yang paling penting adalah protein. Berdasarkan definisi yang juga diberikan oleh Fessenden (1986) bahwa “Amida adalah suatu senyawa yang mempunyai suatu nitrogen trivalen yang terikat pada suatu gugus karbonil”, adalah benar ungkapan bahwa protein adalah suatu poliamida. Sebab, protein merupakan polimer yang tersusun oleh banyak asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida yang tak lain adalah gugus amida (-CONH-). Demikian pula halnya dengan peptida. Peptida merupakan senyawa yang tersusun oleh beberapa asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Dengan demikian uji kualitatif protein atau peptida yang sering dilakukan melalui reaksi dengan pereaksi ninhidrin, secara ungkapan lain juga merupakan uji kualitatif senyawa amida, tepatnya poliamida. Berikut adalah reaksi ninhidrin dengan asam amino (Poedjiadi, 1994).
Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
O
O
C C
OH
+ R
OH
C
C O
O
hidrindantin
O C
C O
ninhidrin
C
+ R CH + NH3 +CO2
C H
NH2
O
C
OH CH COOH
OH OH
OH + NH3 +
O
O
C
C
C
C
C
O
OH
O
C H
O C C N
C
+3 H2O
hasil reaksi warna ungu
Gambar 2. Reaksi Asam Amino dengan Ninhidrin
Kereaktifan ninhidrin terhadap protein atau peptida berkaitan dengan sifat asam dan basa dari gugus –COOH dan –NH2, namun menurut Poedjiadi (1994), “Pada peptida rantai panjang, gugus –COOH dan –NH2 yang terletak di ujung tidak lagi berpengaruh”. Hal ini menyebabkan kemungkinan besar berperannya gugus amida (–CONH-) ketika direaksikan dengan ninhidrin. Sampel fasa metanol (warna kuning) dicampur dengan pereaksi ninhidrin (tak berwarna) menjadi larutan berwarna kuning pudar, kemudian dipanaskan beberapa menit, terjadi perubahan warna menjadi ungu yang menandakan adanya gugus –CONH- pada sampel. Demikian juga halnya dengan sampel fasa air dimana terjadi perubahan warna dari tak berwarna menjadi ungu. Gugus –CONH- yang ada pada sampel menunjukkan bahwa sampel mengandung suatu senyawa amida. Dengan hasil yang positif pada analisa kualitatif sampel Bioflokulan DYT dengan pereaksi ninhidrin ini menguatkan dugaan bahwa salah satu komponen aktif yang bertindak sebagai flokulan pada sampel bioflokulan ini adalah amida dengan gugus –CONH- nya, sebagaimana yang telah diungkapkan pada Pendahuluan di atas. Poliamida merupakan polimer yang mengandung gugus –CONH-. Gugus fungsi tersebut mempunyai karakteristik adsorbsi yang baik yang bermanfaat dalam proses pembentukan jembatan (bridging ) pada proses flokulasi polimer dengan partikel koloid (http://www.wet-usa.com). Pada proses flokulasi, polimer harus teradsorbsi sangat kuat oleh partikel koloid sehingga menyebabkan partikel koloid menjadi tidak stabil. Gugus –CONH- dari amida dapat mengalami resonansi menjadi amida bermuatan listrik sehingga memungkinkannya teradsorbsi pada permukaan partikel koloid melalui gaya tarik Coulomb jika polimer ini berlawanan muatan dengan partikel koloid. Kemungkinan lain, adsorbsi dapat terjadi melalui ikatan hidrogen antar gugus –CONH dari poliamida dengan partikel koloid atau melalui gaya tarik Van der Waals. Rantai yang panjang dari polimer ini mampu mengumpulkan partikel-partikel koloid yang terdestabilisasi membentuk partikel 8
Identifikasi Panjang Gelombang Maksimum
intensitas
dengan ukuran sangat besar yang disebut flok sehingga dapat diendapkan.
Waktu retensi (menit) Gambar 4. Kromatogram Bioflokulan DYT Fasa Metanol, Eluen Metanol 100%, Laju Alir 0,1 mL/menit
Gambar 3. Spektrum Ultraviolet Bioflokulan DYT Fasa Metanol
Grafik pada Gambar 3. di atas memperlihatka n puncak serapan panjang gelombang maksimum sampel Bioflokulan DYT fasa metanol yaitu pada 218 nm dengan absorbansi 0,690 Å. Serapan pada panjang gelombang ini terjadi sebagai akibat transisi elektron nonbonding ke tingkat energi orbital sigma antibonding (n s*). Gugus kromofor yang menyebabkan terjadinya transisi ini adalah molekulmolekul senyawa yang memiliki pasangan elektron bebas. Transisi ini tidak memerlukan energi yang cukup tinggi untuk terjadi, oleh karena itu serapan muncul pada panjang gelombang 218 nm. Senyawa yang menyebabkan terjadinya transisi n s* ini adalah senyawa organik jenuh yang mempunyai satu atau lebih atom dengan pasangan elektron bebas. (Creswell, 1972). Analisa Jumlah Komponen Berbekal data panjang gelom bang maksimum sampel DYT, dilakukanlah analisa jumlah komponen dengan cara kromatografi cair bertekanan tinggi (HPLC). Berikut adalah salah satu kromatogram dari sampel Bioflokulan DYT fasa metanol. Kromatogram pada Gambar 4. dihasilkan pada pemisahan sampel dengan mengatur kondisi percobaan sebagai berikut : panjang gelombang 218 nm, eluen digunakan metanol 100%, laju alir 0,1 mL/menit, dan waktu elusi selama 50 menit.
Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
Kromatogram di atas menunjukkan keterpisahan yang baik dengan adanya empat puncak yakni pada waktu retensi 7,97; 10,06; 14,56; dan 23,62 menit sementara puncak lain, hanya berupa bahu, terdeteksi pada waktu retensi 8,97 menit. Puncak pada waktu retensi 37,09 menit dianggap sebagai puncak pengotor. Dari hasil ini ditemukan bahwa pada komponen aktif Bioflokulan DYT setidaknya terdapat empat kelompok senyawa yang berperan sebagai flokulan. Identifikasi Muatan Pada percobaan dengan metode elektroforesis cara kolom dilakukan dua kali pengujian. Pertama , batang karbon pada kolom tempat cuplikan dihubungkan dengan kutub negatif sumber arus sedang batang karbon pada tabung reaksi berisi larutan buffer dihubungkan dengan kutub positif sumber arus. Pada percobaan ini, sampel yang disimpan di kolom, setelah 1 jam 13 menit akhirnya turun ke dalam media agar-agar. Dari hal ini dapat diketahui bahwa sampel menuju ke kutub positif sehingga dengan demikian sampel merupakan partikel/komponen bermuatan negatif. Bila dihubungkan dengan kondisi percobaan yang bersifat basa karena menggunakan buffer pH 8 dan adanya dugaan bahwa komponen aktif mengandung gugus amino, maka keberadaan partikel/komponen bermuatan negatif adalah benar, sebab asam amino dalam keadaan basa akan bermuatan negatif. Namun hal ini bukanlah untuk mengeneralisasikan bahwa komponen aktif bioflokulan ini memiliki muatan listrik negatif, karena sampel yang diidentifikasi belum murni secara kualitas. Kedua , batang karbon pada kolom dihubungkan dengan kutub positif sumber arus sedang batang karbon pada tabung reaksi dihubungkan dengan kutub negatif sumber arus. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan ada komponen yang berbeda muatan. Dengan kondisi percobaan seperti 9
ini, ternyata dalam 47 menit sampel turun ke dalam media agar-agar. Hal ini menandakan bahwa sampel mengandung komponen bermuatan positif karena ia menuju ke kutub negatif. Dari kedua percobaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampel Bioflokulan DYT mengandung komponen-komponen bermuatan positif dan negatif karena pergerakan sampel terjadi pada kedua elektroda. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh keadaan sampel yang tidak murni, masih berada dalam campurannya yang mengandung berbagai jenis partikel. Berkaitan dengan proses flokulasi pada pengolahan limbah, flokulasi dengan menggunakan Bioflokulan DYT yang memiliki banyak partikel bermuatan, positif dan negatif, dapat terjadi melalui mekanisme adsorpsi dan netralisasi muatan pada permukaan partikel koloid, serta pembentukan jembatan (bridging) karena bioflokulan merupakan suatu polimer. Partikel koloid dapat mengadsorbsi bioflokulan ini kemungkinan melalui gaya tarik Coulomb jika bioflokulan ini dan partikel koloid berlawanan muatan, atau gaya tarik Van der Waals jika muatannya sama (Benefield, 1982; O’ Melia, 1969). Akibat dari ini semua partikel koloid menjadi tidak stabil. Ujung atau ‘ekor’ dari bioflokulan yang teradsorpsi pada partikel koloid ini akan menyerang partikel-partikel terdestabilisasi lain membentuk jembatan (bridging) yang panjang dan kokoh dengan ukuran partikel besar yang dinamakan flok dan akan terendapkan. Reaksi antar partikel koloid dengan polimer ini diilustrasikan pada Gambar 5. berikut. Reaksi 1 : Adsorpsi awal pada dosis polimer optimum
Polimer
koloid
Partikel koloid terdestabili sasi
(2) Gugus fungsi yang dimiliki oleh senyawa aktif Bioflokulan DYT diantaranya O-H, -CH 2, -CH3 , C=O, C-O, C-N, dan N-H. (3) Setidaknya terdapat empat kelompok senyawa di dalam komponen aktif Bioflokulan DYT. (4) Bioflokulan DYT mengandung komponenkomponen bermuatan listrik positif dan negatif. SARAN Banyak kekurangan yang dijumpai di dalam penelitian ini dan dirasakan perlu dilakukan penelitian lanjut untuk menyempurnakannya. Beberapa saran berikut dapat direkomendasikan bagi para peneliti. (1) Ada baiknya untuk melakukan uji aktivitas flokulasi terhadap komponen yang telah diisolasi sehingga kita yakin bahwa komponen tersebut adalah senyawa aktif yang diinginkan. (2) Komponen yang telah terisolasi disarankan untuk lebih ditingkatkan kemurniannya dengan cara kromatografi, sehingga dapat diperoleh senyawa tunggal agar pada tahap karakterisasi dapat diarahkan pada penentuan struktur atau bahkan nama senyawa komponen yang dimaksud. (3) Untuk keperluan isolasi bahan alam seperti bioflokulan ini sebaiknya pada tahap awal dilakukan screening fitokimia untuk penentuan golongan senyawa yang terkandung di dalam bahan alam tersebut. Ucapan Terima Kasih – Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta yang telah membesarkan dan mendidik, kakak dan adik-adik yang turut memberikan semangat, DR. Asep Kadarohman, M.Si, Dra. Hernani, M.Si, dan Drs. Yaya Sonjaya, M.Si yang telah membimbing, para laboran Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI serta temanteman yang telah membantu segalanya.
Reaksi 2 : Pembentukan flok
DAFTAR PUSTAKA
Partikel koloid yang terdestabilkan
Flok
Gambar 5. Skema Reaksi antar Partikel Koloid dan Polimer
KESIMPULAN Beberapa butir penjelasan berikut merupakan kesimpulan dari seluruh rangkaian penelitian ini : (1) Meta nol merupakan pelarut paling baik untuk mengisolasi komponen aktif Bioflokulan DYT yang berperan dalam proses flokulasi. Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
Alaerts, G., Dr., Ir., Santika, S., S., Ir., M.Sc., (1987), Metoda Penelitian Air, Surabaya : Usaha Nasional.
Benefield, D. Larry. Judkins, F. Joseph Jr..Weand, L. Barron, (1982), Process Chemistry for Water and Wastewater Treatment, Rainbow-Bridge Book Co. Creswell, J. Clifford. Runquist, A. Olaf. Campbell, M. Malcom, (1982), Analisis Spektrum Senyawa Organik, Bandung : Penerbit ITB. Fessenden & Fessenden, (1986), Kimia Organik Jilid II, Jakarta : Erlangga. Forbes, David, L., (Tanpa Tahun), Theory of Flocculation, [Online], Tersedia : http://www.wet -usa.com, [Maret
10
Okuda, Tetsuji, Nishijima, Wataru, and Mitsumasa, (1999), Isolation and Characterization of Coagulant Extracted from Moringa oleifera Seed by Salt Solution, Department of Environmental Science, Faculty of Engineering, Hiroshima University 1-4-1 Kagamiyama, Higashi-Hiroshima, J apan : tidak diterbitkan. Poedjiadi, Anna, Dr., (1994), Dasar-dasar Biokimia, Jakarta : UIPress. Rustandi, D., (2003), Proses Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil secara Kimia dengan Menggunakan Melastoma polyanthum B. sebagai Bioflokulan, Skripsi Sarjana Satu Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung : tidak diterbitkan.
Seminar Nasional Penelitian & Pendid ikan Kimia, 9 Oktober 2004
11