FK UNAIR Jadi Tuan Rumah Seminar Bioetika UNESCO UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menjadi tuan rumah penyelenggaraan acara Ethics Teachers’s Training Course of UNESCO (ETTC). ETTC yang berlangsung selama lima hari pada 24–29 April 2017 dihadiri lima pakar bioetik dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Puluhan peserta acara ETTC dari berbagai belahan negara tiba di FK UNAIR, Selasa (25/4). Mereka disambut Dekan FK UNAIR beserta jajarannya di Aula FK. Beberapa peserta asing di antaranya berasal dari Universitas Pondicherry, Universitas Taibah, Universitas Alasala, Universitas Manitoba, dan King Abdullah Medical City in Holy. Sementara, peserta lokal berasal dari Universitas Diponegoro, Rumah Sakit Fatmawati, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan tentu saja UNAIR. ETTC merupakan bentuk kegiatan pelatihan rutin yang diselenggarakan oleh UNESCO setiap tahun. Jika tahun lalu Malaysia terpilih menjadi tuan rumah ETTC, maka tahun ini, UNESCO bekerjasama dengan FK UNAIR untuk menyelenggarakan acara tersebut. “Kegiatan ini ditujukan untuk membentuk kompetensi dosen dalam mengembangkan dan membangun Ilmu Bioetik di tingkat fakultas dan universitas. Mengingat, melalui training (pelatihan) ini pula, peserta dapat berbagi pengalaman mendidik, meneliti dan pelayanan bioetik di negara mereka masing-masing,” tutur Dekan FK Prof. Dr. Soetojo, dr., Sp.U. Selama lima hari, peserta mengikuti serangkaian kegiatan diskusi, lokakarya yang berkaitan dengan Ilmu Bioetik. Mereka melakukan simulasi presentasi mengajar dengan pendampingan
dari instruktur. Dalam acara ini juga akan dipaparkan diskusi perspektif global seputar pendidikan Bioetik. Irakli Khodeli, Programme Specialist for Social and Human Sciences UNESCO, mengatakan kurikulum Bioetika dikembangkan oleh UNESCO sebagai alat untuk memperkenalkan dan memperkuat pendidikan Bioetika di universitas di seluruh dunia. UNESCO merintis dalam Bioetika global dengan mendirikan program Bioetika di tahun 1993 dengan cara mendirikan badan ahli independen, seperti Komite Bioetik Internasional. Setelah lima hari peserta mengikuti kegiatan pelatihan ini, peserta akan memperoleh sertifikat resmi dari UNESCO. Dengan demikian, peserta diharapkan dapat memiliki kompetensi menjadi dosen Bioetik yang mumpuni. Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
UNAIR Siap Menjalin Kerjasama Akademik dengan Universitas Chengchi Taiwan UNAIR NEWS – Reputasi Universitas Airlangga sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia mendorong akademisi National Chengchi University (NCCU), Taiwan, untuk menjajaki kerjasama akademik. Penjajakan kerjasama ditandai dengan kunjungan delegasi NCCU ke UNAIR, Jumat (28/4). Dua delegasi NCCU yang hadir ke UNAIR adalah Kepala Kerjasama Internasional Prof. Mei-Fen Chen, dan Kepala Bagian Kerjasama Asia Pasifik dan Asia Selatan Sasha Ou Yang. Kunjungan
delegasi NCCU disambut oleh Wakil Rektor III UNAIR Prof. Ir. Amin Alamsjah, Ph.D., Sekretaris International Office and Partnership Margaretha, M.Sc, dan para wakil dekan tiga. Dipilihnya UNAIR sebagai mitra kerjasama akademik bukanlah tanpa alasan. Chen mengatakan, UNAIR adalah salah satu perguruan tinggi tertua dan terbaik di Indonesia. Ia juga berpendapat, UNAIR merupakan kampus modern dan secara terus menerus menghasilkan inovasi kepada masyarakat. Tujuannya ke UNAIR adalah untuk menjajaki kemungkinan kerjasama di bidang akademik. “Kedatangan kami ke UNAIR untuk membentuk atau menjajaki kemungkinan kerjasama. Saya berharap, kita akan menandatangani nota kesepahaman di bidang akademik secepatnya, atau ya, pada tahun ini,” tutur Chen, ketika ditemui di Ruang Sidang Pleno, Kantor Manajemen UNAIR. Profesor lulusan Moskow State University itu mengatakan, ada banyak sekali kemungkinan kerjasama yang bisa dijajaki dengan UNAIR. “Tidak hanya pertukaran mahasiswa atau pun pengajar, tetapi juga riset akademik, konferensi internasional, dan pengabdian masyarakat. Kami juga menyediakan beasiswa bagi yang ingin berkuliah di Chengchi (NCCU),” terang Chen. Wakil Rektor III menanggapi positif ajakan kerjasama dari NCCU. Amin mengatakan, ajakan kolaborasi akademik merupakan langkah internasionalisasi UNAIR, apalagi NCCU memiliki keunggulan di bidang ilmu sosial seperti UNAIR. Oleh sebab itu, dia berharap sivitas akademika UNAIR segera merespon kolaborasi tersebut. “Mereka juga punya banyak hal menarik yang bisa kita manfaatkan, seperti summer program. Intinya, bisa saling bekerjasama. Kalau dari pihak sana mengirimkan mahasiswa untuk student mobility (pertukaran mahasiswa), kami juga akan mengirimkan mahasiswa untuk belajar di sana. Selain pertukaran, pihak FISIP juga akan mengundang akademisi NCCU untuk menjadi keynote speaker dalam konferensi internasional
yang terindeks Scopus,” terang Amin. Selain masalah program, profesor Fakultas Perikanan dan Kelautan itu juga mengatakan bahwa UNAIR memiliki dukungan dana untuk menjalankan rencana kerjasama. “Ada pendanaan dari masing-masing universitas, sehingga sangat memungkinkan untuk kita kerjakan,” pungkas pakar rumput laut itu. Penulis: Defrina Sukma S
Merefleksi Setengah Abad Hubungan Diplomatik RI–Singapura UNAIR NEWS – Hubungan bilateral antara RI-Singapura memasuki setengah abad lamanya. Bertepatan dengan 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara tersebut, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga mengadakan focused group discussion (FGD) bertema “Peluang dan Tantangan dalam Refleksi 50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia–Singapura” pada 11–12 April lalu. Kegiatan diskusi tersebut dihadiri oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia di Singapura, H.E. I Gusti Ngurah Swajaya, dan dilaksanakan di Aula Soetandyo. Kegiatan diskusi yang berlangsung selama dua hari itu dihadiri oleh para stakeholder perguruan tinggi di antaranya perwakilan dari Kamar Dagang Indonesia Jawa Timur, Bank Jatim, Universitas Negeri Surabaya, Direktorat Bea dan Cukai, dan jajaran akademisi UNAIR.
“Beragam stakeholder yang hadir dalam FGD ini diharapkan dapat memantik diskusi yang komprehensif mengenai hubungan bilateral RI–Singapura sejak 50 tahun yang lalu, dan 50 tahun ke depan,” tutur Dekan FISIP UNAIR, Dr. Falih Suaedi, Drs., M.Si. Kegiatan FGD yang berlangsung selama dua hari tersebut bertujuan untuk mengajak para stakeholder di perguruan tinggi untuk berdiskusi mengenai tantangan baru dalam dinamika hubungan RI–Singapura. Hal ini berguna untuk mengoptimalkan peluang kerjasama di beberapa bidang baru bersama dengan pemerintah, institusi pendidikan dan sektor usaha. Sejak diresmikannya hubungan diplomasi antara dua negara sejak tanggal 17 September 1967, Ngurah Swajaya mengatakan ada banyak bidang yang sudah tertangani pada bidang ekonomi maupun pariwisata. Investasi pengusaha Singapura di Indonesia juga mencapai angka 9,2 milyar dolar Amerika Serikat atau naik sekitar 55 persen pada tahun 2016. Sedangkan, pada tahun 2015 investasi Singapura di Indonesia pada kisaran 5,8 milyar dolar Amerika Serikat. Meski di bidang ekonomi menunjukkan respon positif, namun hubungan Indonesia dan Singapura masih menyisakan problem. Seperti halnya ekstradisi, kerja sama pertahanan, penetapan garis batas maritim, pencemaran udara yang disebabkan kebakaran hutan (transboundary haze) serta persepsi negatif yang kerap muncul pada masing-masing negara akibat kurangnya interaksi intensif antarnegara. “Momen ini bisa menjadi alat bagi kedua negara untuk bangkit dan sejahtera bersama dalam mencapai stabilitas politik di ASEAN, sehingga semua ini akan bisa mendukung upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang terpenting adalah satu prinsip ini think big, start small, and act fast,” terang Ngurah Swajaya. Dalam konferensi pers, Ngurah mengutarakan tiga alasan utama mengenai penyelenggaraan FGD dan kuliah tamu. Pertama,
melakukan evaluasi dan sosialisasi lesson learned dari hubungan kedua negara. Kedua, upaya untuk meningkatkan kerjasama yang telah ada di berbagai sektor terutama ekonomi dan pendidikan. Ketiga, memberikan informasi mengenai ekonomi berbasis teknologi yang memilih potensi besar di Indonesia dan sudah dikembangkan dengan pesat di Singapura. Dalam kegiatan FGD, Ngurah Swajaya didampingi dengan Atase Pendidikan Aisyah Endah Palupi, Sekretaris Ketiga Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya Kedutaan Besar RI untuk Singapura Melati Sosrowidjoyo, dan Minister Counselor John Tjahjanto Boestami. Penulis: Disih Sugianti Editor: Defrina Sukma S
Ratih Pusparini, Alumnus Pembawa Misi Perdamaian di Negara Konflik UNAIR NEWS – Menjadi perempuan pertama Indonesia yang dikirim ke medan perang sebagai pasukan keamanan menjadi salah satu kebanggaan tersendiri baginya. Ia merasa senang ketika ditunjuk oleh atasannya di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk diterjunkan langsung di daerah yang penuh pergolakan. Ia adalah Ratih Pusparini, alumnus S-1 Sastra Inggris Universitas Airlangga tahun 1994 yang bertugas sebagai pembawa misi perdamaian di negara konflik. Meski sudah empat tahun
berselang, pengalaman yang ia dapatkan usai bertugas di negara konflik masih begitu jelas tersimpan dalam ingatannya. Tentang bagaimana peperangan antar suku, patroli tentara, dan bunyi timah panas yang berdesing di indera pendengarnya setiap hari. Tahun 2008 menjadi tahun bersejarah dalam karirnya. Pada tahun itu, Ratih pertama kali mengemban tugas sebagai military observer misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Demokratik Kongo. Ratih bercerita, suasana politik di Kongo kala itu amat dinamis. Penuh ketidakpastian. “Masih banyak pertempuran antar suku, antar kelompok-kelompok pemberontak yang tidak hanya berasal dari Kongo tapi juga dari negara-negara di sekitarnya, seperti dari Uganda, Rwanda dan Republik Afrika Tengah. Kami pernah harus tinggal di rumah selama tiga hari tidak diijinkan beraktivitas di luar pagar karena keamanan yang tidak terjamin,” kisah perwira TNI Angkatan Udara itu. Pada bulan Maret tahun 2012, ia kembali mendapatkan tugas ke Lebanon. Ia menjadi perwira siaga yang memonitor jalannya operasional United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Selang satu bulan berjalan, pada bulan April, ia mendapat perintah dari Mabes TNI untuk bergabung dengan tim aju di Suriah sebagai military observer dan staf operasi di Markas Besar United Nations Supervision Mission in Syria (UNSMIS). Namun, Ratih tak lama berada di Suriah, negeri yang kini diguncang keberadaan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Misinya diakhiri pada tiga bulan kemudian karena berbahaya bagi keselamatan pembawa misi perdamaian. Ia pun kembali ke Lebanon pada bulan September 2012 sebagai Shift Chief Joint Operation Centre UNIFIL. Kali ini, misinya berlangsung selama satu tahun. Di awal penugasan, suasana Lebanon cukup kondusif. Namun, sekitar awal tahun 2013, kontak senjata sempat terjadi di beberapa tempat karena iklim politik di negara tetangganya, Suriah, juga memanas.
Perempuan, agen perdamaian dunia Mendapatkan mandat sebagai salah satu perempuan militer pertama yang ditugaskan ke negara bertikai menjadi tanggung jawab yang tak mudah bagi Ratih yang kini berpangkat letnan kolonel. Ia merasa bahwa tanggung jawab ini perlu ditunjukkan melalui reputasi yang baik kepada pimpinan, senior, dan junior. Di penugasan pertamanya di Kongo dan Suriah, ‘hanya’ sekitar 20 perempuan militer yang bertugas. Para perempuan itu berasal dari Indonesia (2 orang), Tiongkok, Afrika Selatan, India, Ghana, Kanada, Malawi, dan Uruguay. Lainnya adalah laki-laki militer yang jumlahnya mencapai 17 ribu pasukan berseragam militer, polisi, dan staf sipil. Namun, perihal perdamaian, persatuan dan kesatuan adalah tanggung jawab seluruh anak bangsa. Tak pandang laki-laki dan perempuan. Meski demikian, perempuan kelahiran Denpasar 48 tahun lalu ini memandang bahwa perempuan bisa dijadikan agen perdamaian di berbagai wilayah konflik. “Kita butuh kepercayaan dari mitra kerja kita yang notabene adalah lelaki. Mereka perlu memandang bahwa perempuan pun mampu melaksanakan tugas yang sama dengan yang mereka kerjakan karena sebelum para perempuan diberangkatkan dalam misi, mereka menjalani berbagai pelatihan dan persiapan yang memadai,” tegas Ratih yang semasa kuliah mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Merpati Putih. Sejak menjalani misi perdamaian di wilayah bertikai, Ratih yang juga peraih gelar master di Universitas Monash, Australia, diganjar penghargaan Women of Change dari Pemerintah Amerika Serikat tahun 2013. Penghargaan tersebut diberikan bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional saat ia menjalani misi di Lebanon. Ia juga mendapat tanda kehormatan berupa The United Nations (UN) Medal, UN Medal Syria, dan UN Peacekeeping Medal in Lebanon.
Ratih yang menamatkan sekolah dasar hingga menengah atas di Jakarta itu terus melantangkan suaranya hingga ke tingkat forum PBB. Pada akhir Februari 2017 lalu, Ratih bersama Kristin Lund (mayor jenderal asal Norwegia yang juga komandan misi perdamaian PBB) berbicara dalam sesi forum United Nations Special Committee for Peacekeeping Operations di New York. Dalam forum itu, ia menyampaikan enam pokok pikiran mengenai keterlibatan perempuan dalam misi perdamaian PBB. “PBB harus membuat langkah-langkah afirmatif untuk menambah jumlah perempuan dalam misi PBB. Perlu ada perubahan kebijakan pro perempuan, dan reformasi budaya dan mindset,” cerita Ratih. “Adequate resources (sumber daya yang memadai) untuk meningkatkan peran perempuan dalam misi pemeliharan perdamaian, dan perlunya gender advisory network yang berisikan perempuan-perempuan pengambil keputusan untuk memastikan perspektif gender di semua tingkatan. Selain itu, perlu adanya penugasan perempuan di luar feminine duties seperti medis, logistik, dan administratif,” imbuh Ratih yang kini menjabat sebagai Kepala Sub Departemen Bahasa, Departemen Akademika, Akademi Angkatan Udara. Ratih lantas bercerita, bahwa kesempatan perempuan untuk menjadi pembawa misi perdamaian sebenarnya terbuka lebar. Perempuan haruslah memiliki kondisi fisik dan mental yang baik, mampu berbahasa asing, dan kemandirian. Ada pula proses seleksi yang harus diikuti dan dilaksanakan terpusat di Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI di Sentul, Bogor, Jawa Barat. “Peluang terbuka lebar bagi perempuan untuk bergabung dalam misi perdamaian PBB. Tak hanya militer dan polisi, warga sipil pun bisa bergabung. Kita punya banyak relawan PBB perempuan di berbagai misi. Kita punya banyak perempuan TNI dalam misi di Lebanon dan Sudan,” tutur Ratih. Secara pribadi, kesempatan yang
ia pun berharap agar perempuan diberi lebih luas untuk berperan aktif dalam
perdamaian dunia. Ia mengatakan, secara perlahan namun pasti, dunia akan menjadi kuat dan damai. Terkait dengan almamaternya, Ratih menuturkan bahwa keberhasilan UNAIR bertumpu pada sivitas akademika. “Kita harus punya kepedulian yang tinggi dari semua pihak. Baik itu rektorat, dekanat, dan mahasiswa. Ini untuk mendukung keberhasilan UNAIR menuju world class university,” pesannya. “Good luck, UNAIR!” pungkasnya. Penulis: Defrina Sukma S Editor
: Binti Q. Masruroh
Punya Banyak Pengalaman Menyenangkan? Yuk, Ikutan Kompetisi Fotografi UNAIR UNAIR NEWS – Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlangga pertama kalinya menyelenggarakan kompetisi fotografi untuk kalangan umum. Persyaratannya cukup mudah. Peserta hanya diminta untuk mengunggah foto dengan menandai akun Instagram (at)univ_airlangga, mengikuti seluruh akun media sosial resmi UNAIR, serta menggunakan tagar #universitasairlangga #unairphotographycontest. Tentunya, dalam setiap kompetisi pasti ada aturan berupa tema yang wajib diikuti. Tema kompetisi kali ini pun ringan dan cukup mudah. Yakni, “Pengalaman Menyenangkan Bersama Universitas Airlangga”. “Misalnya,
rekan-rekan
mahasiswa
UNAIR
pernah
mengikuti
kegiatan KKN-BBM (Kuliah Kerja Nyata-Belajar Bersama Masyarakat). Pasti dalam kegiatan tersebut, ada banyak pengalaman menyenangkan entah bersama warga setempat atau bersama kelompok. Jika dokumentasinya masih ada, bisa diikutsertakan kompetisi fotografi kali ini,” tutur Rekha Finazis, tim kompetisi fotografi. “Ide lainnya lagi, misalnya, teman-teman organisasi seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) itu kan sering ngadain acaraacara musik. Mungkin pernah selfie atau sekadar foto acara. Itu bisa juga lho untuk di-upload (diunggah) dan diikutsertakan kompetisi,” imbuhnya. Selain kedua ide di atas, masih ada banyak lagi ide-ide menarik yang bisa dieksplorasi untuk ikut serta dalam kompetisi fotografi. Misalnya, acara wisuda, diskusi dengan rekan-rekan seorganisasi, nongkrong di danau kampus C, jadi juara di kompetisi, dan banyak lagi. Terkait
penilaian,
foto-foto
yang
masuk
akan
diseleksi
berdasarkan jumlah likes, komposisi foto, dan teks foto (caption) yang menarik. Apa sih keuntungan yang didapat dari mengikuti kompetisi fotografi? Keuntungannya, foto-foto hasil bidikan para pemenang akan dimuat di laman berita UNAIR News. Selain itu, pemenang juga akan mendapat uang tunai senilai Rp 200ribu per orang. Yuk, ikutan kompetisi fotografi! Ditunggu karyamu. Penulis: Defrina Sukma S
Komitmen UNAIR Terhadap Dosen yang Aktif Menulis UNAIR NEWS – Lembaga Penelitian dan Inovasi (LPI) Universitas Airlangga menyelenggarakan lokakarya publikasi ilmiah hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah populer. Lokakarya yang diselenggarakan pada Rabu (26/4) ini dihadiri oleh tak kurang dari 75 peneliti maupun staf pengajar di UNAIR. Dalam lokakarya itu, LPI mengundang dua pembicara dari media massa nasional. Yakni, redaktur kolom opini Media Indonesia Sitria Hamid, dan Republika Irfan Junaidi. Keduanya menyampaikan materi tentang tips menembus tulisan di media massa serta memilih sudut pandang dan topik yang menarik untuk diterbitkan sebagai artikel ilmiah populer. Sekretaris LPI Dr. Ir. Sri Hidanah, M.S menyatakan, acara ini merupakan serangkaian lokakarya penulisan artikel ilmiah yang pernah diselenggarakan pada 7 April lalu. Pada lokakarya sebelumnya, para dosen diberi materi penulisan ilmiah populer oleh redaktur opini Jawa Pos. Selain itu, usai lokakarya diselenggarakan, muncullah minat para dosen UNAIR untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tulisan bergenre ilmiah populer di media massa. “Kita berpikir kalau banyak penulis dari UNAIR yang mengisi tulisan-tulisan di media massa, tentu akan meningkatkan reputasi positif bagi UNAIR,” ujar Sri Hidanah. Melalui lokakarya ini, paling tidak, ada jalinan silaturahmi antara UNAIR dan redaktur di media terkait. Lokakarya ini juga menjadi ajang bagi para dosen yang hadir untuk berkonsultasi mengenai ‘calon’ tulisan maupun ide-ide yang ingin mereka tuliskan. Tentunya, mereka adalah dosen dari berbagai bidang keilmuan
yang siap mengisi beragam topik terkini yang sedang in di media tingkat nasional. “Target kita dari lokakarya ini adalah munculnya penulispenulis baru yang akan menghiasi berbagai topik tulisan di media massa,” ujar Sri Hidanah. Sri Hidanah menambahkan, komitmen UNAIR agar para dosen menulis di media massa juga diwujudkan dalam bentuk pemberian reward. Selain reward yang didapat penulis dari media massa terkait, UNAIR juga memberikan reward untuk mereka yang karya ilmiah populernya berhasil dimuat di media massa nasional. “Rektorat punya target agar para dosen menulis di koran-koran. Ini bukti bahwa UNAIR serius ngasih penghargaan terhadap penulis-penulis. Semakin banyak yang nulis, maka reputasi UNAIR semakin bagus,” tambah Sri Hidanah. (*) Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S
Adakan Workshop untuk Picu Semangat Menulis Sejarah Lokal di Tulungagung UNAIR NEWS – Sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, salah satu tanggung jawab universitas adalah melakukan pengabdian kepada masyarakat (pengmas) sesuai bidang ilmu yang dimiliki. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya pengmas oleh Departemen Ilmu Sejarah dan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Ilmu Sejarah Universitas Airlangga di Kabupaten Tulungagung pada Sabtu (22/4) pekan lalu.
Pengmas tersebut berbentuk workshop dengan tema Penulisan Sejarah Lokal Tulungagung. Departemen dan IKA Ilmu Sejarah menggandeng komunitas Rumah Baca Onderan untuk mensukseskan acara ini. Mereka mengajak serta masyarakat setempat yang terdiri dari guru pengajar mata ajar Sejarah, pelajar SMA, dan masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap seni dan budaya di Tulungagung. Workhshop ini mengundang tiga pembicara kunci yang berasal dari alumni Ilmu Sejarah UNAIR. Mereka adalah dosen muda UNAIR Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari (alumnus th. 2003), Adrian Perkasa (alumnus th. 2006), dan Akhmad Ryan Pratama (alumni th. 2007). Dalam kesempatan ini, Adrian menyampaikan wawasan seputar sejarah lokal. Ia juga mencontohkan kepada peserta tentang topik-topik terkait sejarah lokal di Tulungagung yang menarik untuk ditulis. “Sejarah tidak selalu berkutat pada penguasa, dalam hal ini sejarah orang-orang besar semata, tetapi juga mengembalikan peran serta masyarakat kecil dalam panggung penulisan sejarah kita. Tidak akan ada perubahan tanpa peran serta masyarakat,” ujar Adrian. Sementara Ikhsan Rosyid, banyak memberikan wawasan kepada peserta tentang metode dan teknik penulisan sejarah yang bisa dipraktikkan oleh peserta. Dalam kesempatan ini ia juga menjelaskan bahwa program studi Ilmu Sejarah UNAIR memiliki kajian yang unik, yakni sejarah perkotaan. “Topik-topik sejarah perkotaan di UNAIR banyak tercermin dari judul-judul skripsi mahasiswa yang memiliki tema sub-altern, kelompok minoritas, dan permasalahan khas perkotaan. Kekhasan ini menjadi kunci agar historiografi di Indoneisa proporsional,” ujar Ikhsan. Menariknya dalam workshop ini, peserta bisa mengajukan tema yang akan mereka tulis untuk diterbitkan dalam sebuah buku.
Harapannya, tema-tema yang beragam itu bisa dipublikasikan dalam sebuah artikel sejarah yang diterbitkan menjadi Buku Bunga Rampai oleh Departemen Ilmu Sejarah UNAIR. Sehingga usai workshop, peserta bisa langsung merealisasikan ilmu yang didapat melalui penulisan artikel bertema sejarah lokal. Dalam mencapai tujuan itu, Pandu Diptya Yoga selaku ketua komunitas Rumah Baca Onderan mengaku siap untuk mengawal peserta workshop yang akan mengumpulkan artikel. “Antusiasme peserta yang besar untuk menulis sejarah lokal yang ada di daerahnya merupakah kebanggaan tersendiri kami sebagai alumni. Harapannya, pengetahuan tentang asal-usul sejarah masyarakat di Tulungagung dapat diabadikan dalam bentuk budaya literasi untuk bekal cerita anak cucunya nanti,” kata Ryan yang juga staf pengajar di Universitas Ciputra. Suasana keakraban dan rasa senang terpancar dari peserta workshop yang didesain dalam suasana cangrukan dan diskusi santai itu. (*) Penulis : Yudi Wulung Editor
: Binti Q. Masruroh
Dokter Masa Depan Harus Menguasai Teknologi Mutakhir Sejak Dini UNAIR NEWS – Kiprah Prof. Dr. David Sontani Perdanakusumah, dr., Sp.BP-RE (K) di ranah bedah plastik Indonesia sudah tidak terbantahkan. Begitu banyak prestasi yang diukir pria yang sekarang menjabat Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran (FK) ini.
Tak terhitung kasus bedah yang telah sukses ditanganinya. Keberhasilan yang merupakan buah dari kerja kerasnya tak lantas membuat pongah. Sebaliknya, ini merupakan motivasi bagi David untuk berbuat lebih banyak. Dia juga tak lelah merumuskan langkah-langkah strategis untuk kemajuan fakultas. Peningkatan mutu sivitas akademika terus dilaksanakan. Dengan harapan, FK UNAIR dapat bersaing dan menang di dunia global. “Kami ini levelnya bukan lagi nasional. Tapi, sudah antar negara,” kata dia saat ditemui seusai membuka acara Sosialisasai Pemutakhiran Data Website Kampus di FK pada pertengahan Maret 2017 silam. Yang tak kalah penting, imbuhnya, konsistensi penguasaan hitech di segala bidang. Sebab, kemajuan teknologi informasi yang sedemikian pesat merupakan sarana pengembangan potensi diri dan ilmu pengetahuan. “Dokter yang hebat di masa datang adalah dokter yang terpapar fasilitas berteknologi tinggi sejak dini. Mereka yang akan memenangkan persaingan,” ungkap dia. Dia yakin, dari Sumber Daya Manusia, Indonesia tidak kalah. Buktinya, tak sedikit orang Indonesia yang memiliki prestasi internasional. Bahkan secara khusus, ada banyak dokter dari FK UNAIR yang sudah kenyang berkiprah di tingkat global. Jadi, kualitas manusia di kampus ini tidak perlu diragukan lagi. Di sisi lain, komitmen untuk mempertahankan akreditasi sempurna pun merupakan jalan yang mesti ditempuh. Karena itulah, pemutakhiran data yang saat ini lagi gethol digelorakan di FK mesti menjadi atensi. David mengatakan, arsip yang dimiliki fakultas mesti rapi dan gampang diakses. Apalagi, bersama RSUD dr Soetomo, FK sudah mencetak banyak rekor dan raihan mentereng. “Rekam jejak yang lengkap harus dimiliki fakultas,” papar dia. Prof David, Si Kolektor Penghargaan
Sementara itu, Penelitian dan penemuan yang dihadirkan dokter kelahiran Singkawang ini memiliki manfaat kongkret di tengah masyarakat. Salah satunya, krim yang berfungsi untuk mengatasi keloid, jenis luka tubuh berserat, tebal dan berwarna kontras dengan kulit di sekitar. Dalam mengatasi keloid, pada umumnya dokter menggunakan berbagai cara, seperti operasi, suntikan kortison, cryotherapy, dan cara-cara lainnya. Namun, metode-metode itu tak dapat menghilangkan keloid. Bahkan, tindakan operasi justru memperbesar keloid. Tak jarang, keloid menjadi mimpi buruk bagi pasien ataupun dokter. Keloid tumbuh akibat aktivitas kolagen yang berlebih. Pertumbuhan kolagen itu dipengaruhi enzim kolagenase yang kurang terkontrol. Enzim kolagenase mengatalisis hidrolisis kolagen.
adalah
enzim
yang
Melanin, pewarna pada kulit, memiliki sifat kimia asam. Agar kolagenase berfungsi, maka enzim tersebut harus bersifat basa. Pada orang yang tidak berkulit putih, banyaknya melanin membuat suasana kulit bersifat asam. Bertolak dari fakta itu, David merumuskan cara agar melanin itu turun dengan pemutih yang menggunakan pelarut basa. Agar keadaan asam dan basa tak membuat kulit kian sensitif, ia mengombinasikan pemutih dengan liposom sehingga sifat basa baru keluar ketika sudah memasuki lapisan dermis. Pemutih yang ia gunakan adalah Hydroquinone dengan kadar empat persen. Ide yang dia dipatenkan adalah pemutih dalam suasana basa untuk keloid. Dituangkan dalam karya berjudul Penggunaan Hidrokuinon untuk Mencegah dan Mengobati Keloid. Yang akhirnya berhasil dipatenkan pada tanggal 17 Oktober 2012 dengan nomor paten ID P0031959. “Saya mengurus paten sekitar tahun 2004, tetapi baru keluar tahun 2012. Delapan tahun. Karena hydroquinone dianggap bukan barang baru. Itu sudah lama dipakai untuk pemutih, tapi
hydroquinone untuk keloid tidak pernah ada di dunia. Itu riset saya orisinal,” tambahnya. Dia sudah sering mengaplikasikan temuan itu pada pasien yang telah melalui tindakan operasi dan meninggalkan keloid di tubuh. Hasilnya, keloid mengecil dan warna di kulit tersebut jadi lebih cerah. Untuk keloid yang bentuknya besar, pemberian krim perlu dikombinasikan dengan tindakan bedah. Selain pasien dengan keloid, dia pernah memberikan krim pemutihnya pada pasien dengan bekas cacar dan luka bakar. “Bekas luka bakar di tangan, saya kasih terus mulus. Ada luka trauma, bekas operasi, saya kasih kemudian memudar dan halus,” terang peraih penghargaan Science Achievement Award 2015 dari media Republika. Saat ini, melalui Institute of Tropical Disease UNAIR, krim milik David tengah dihilirisasi oleh salah satu industri farmasi. Uji produk sudah masuk tahap uji stabilitas. Setelahnya, uji klinik di berbagai pusat kesehatan. Kepiawaian ayah empat anak ini “memainkan” pisau bedah, membuatnya banyak diganjar penghargaan (lihat tabel). Baik dari asosiasi, pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Profesor yang pernah mengikuti training dan pelatihan di Singapura, Belgia, Australia, Amerika Serikat, dan Kanada ini juga rutin menjadi pembicara di banyak seminar, kongres, maupun event ilmiah lain. Mulai level nasional, hingga level internasional. Selain mengajar, penulis setidaknya delapan buku ini aktif pula melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Tercatat di rentang 2006 hingga 2014, sekitar 10 aktifitas pengabdian masyarakat berskala regional/nasional dilaksanakannya. Selain itu, dia juga resmi didaulat sebagai penguji eksternal program S-3 (Doktor) pada Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran, serta Universitas Gajah Mada pada periode 2012-2015. Dia juga
tak henti menelurkan paten maupun hak cipta. Kekayaan intelektual yang dimaksud antara lain Penggunaan Hidrokuinon untuk Mencegah dan Mengobati Keloid, Hak Cipta Manekin Luka, Hak Cipta Poster Luka, Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Pernafasan (Modul 1), dan Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Sirkulasi (Modul 2). Termasuk, Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Luka Bakar dan Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Pediatri. David mengatakan, aplikasi ilmu bedah plastik berawal dari upaya rekonstruksi struktur di bagian tubuh manusia. Misalnya, bagi mereka yang mendapat kecelakaan atau kondisi yang perlu dibenahi sejak lahir. Sebagai contoh, mereka yang lahir sumbing atau tanpa telinga. “Bedah plastik tidak mengubah kodrat dari Tuhan. Bidang ilmu ini hanya membuat struktur yang berbeda dari sebelumnya, sesuai permintaan yang bersangkutan. Dengan harapan, mendapatkan kondisi yang lebih bagus. Selayaknya penghias. Saya sering menganalogikan ini dengan seniman yang ingin membuat sesuatu menjadi lebih indah,” urai dia. Dalam perjalanannya, bedah plastik menyentuh bidang estetik. Ini berkaitan dengan orang yang secara subjektif ingin memperbaiki wajah atau bagian tubuhnya yang dirasa perlu dibenahi. Dengan catatan, dia berhasrat melakukannya tanpa paksaan dan dengan alasan yang logis. Ahli bedah plastik wajib untuk taat pada rambu-rambu etik dan agama. Sehingga, tidak semua calon pasien bisa dilayani secara langsung. Sementara itu, prospek ilmu bedah plastik di Tanah Air sangat terang. Ini menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, kebutuhan akan ahli bedah plastik pun ikut naik. Maka itu, sudah menjadi tugas institusi pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya FK di semua kampus, untuk mencetak pakar-pakar muda di bidang ini. (*)
Editor: Nuri Hermawan
Prof. Coen, Guru Besar FKG yang Kaya Penelitian dan Prestasi UNAIR NEWS – Prof. R.M Coen Pramono menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, pada tahun 1978. Pada tahun 1984, Prof. Coen menuntaskan pendidikan magister kesehatan gigi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pendidikan spesialis bedah mulut dan maksilofasial juga ia tuntaskan di UGM. Dia yang kini menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Gigi dan Mulut UNAIR itu memiliki sejumlah penelitian yang terpublikasi pada jurnal internasional bereputasi dan puluhan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal nasional bereputasi. Penelitian yang telah terpublikasikan secara internasional antara lain, “Mandibular reconstruction using non-vascularized autogenous bone graft applied in decorticated cortical bone” pada tahun 2011, “The Osteogenic Capacity of Human Amniotic Membrane Mesenchymal Stem Cell (Hamsc) and Potential for Application in Maxillofacial Bone Regeneration in Vitro Study” pada tahun 2014, dan “Healing Mechanism and Osteogenic Capacity of Bovine Bone Mineral – Human Amniotic Mesenchymal Stem Cell and Autogenous Bone Graft in Critical Size Mandibular Defect” pada tahun 2015. Sedangkan, penelitian yang terpublikasi pada jurnal nasional
bereputasi antara lain “Cytotoxicity difference of 316L stainless steel and titanium reconstruction plate” pada tahun 2011, “Effect of soybean extract after tooth extraction on osteoblast numbers” pada tahun 2011, dan “Degrees of chitosan deacetylation from white shrimp shell waste as dental biomaterials” pada tahun 2012. Prof. Coen memiliki dua paten alat operasi rahang. Yaitu, plat rekonstruksi rahang yang pemotongannya tanpa melibatkan sendi mandibula, dan plat rekonstruksi rahang yang pemotongannya melibatkan sendi mandibula. Guru Besar Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG itu sudah menerbitkan empat buku yaitu “Kista Odontogen dan Non Odontogen” pada tahun 2006, “Odontektomi dengan Metode Split Technique” pada tahun 2006, “Penuntun Praktik Kerja Profesi Dokter Gigi” pada tahun 2014, dan “Penuntun Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi” pada tahun 2015. (*) Editor: Nuri Hermawan
Perempuan Mesti Secara Finansial
Mandiri
UNAIR NEWS – Ada fakta menarik yang ditemukan Diah Ariani Arimbi S.S., MA., Ph.D., dekan Fakultas Ilmu Budaya yang merupakan salah satu pakar kajian budaya, sastra, dan gender UNAIR, saat melakukan penelitian tentang Gerakan Tarbiyah (khusus perempuan) di kampus pada 2008, 2011, 2015, dan 2016. Berdasarkan riset yang dijalankannya di beberapa kampus Jawa
Timur termasuk UNAIR, ITS, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Brawijaya, dan Universitas Jember itu, diketahui kalau para perempuan di gerakan itu fokus pada pemberdayaan komprehensif. Khususnya, di bidang sosial dan pendidikan. Hal ini menunjukkan, kalau Gerakan Tarbiyah itu pantas untuk dilestarikan dan digiatkan. Karena, sasaran pemberdayaan di sana komplit. Semua anggota didorong untuk pandai, peka terhadap situasi sosial, paham nilai moral/agama/ dan budaya, juga independen di aspek ekonomi. “Kemandirian finansial diajarkan dalam gerakan itu. Ini merupakan bentuk kesetaraan yang memang mesti dicapai. Perempuan tidak hanya diajarkan tentang kesalehan. Tapi juga, soal bagaimana tidak tergantung pada orang lain,” ungkap dia. Diah merupakan pakar UNAIR yang memiliki kiprah moncer di ranah internasional. Setelah lulus program sarjana di Universitas Airlangga pada tahun 1997, dua tahun kemudian, Diah melanjutkan studi magister di University of Northern Iowa, Amerika Serikat, dan meneruskan program doktor di University of New South Wales pada tahun 2006. Berbagai publikasi di tingkat internasional pernah ditorehkannya. Tercatat tak puluhan artikel yang ditulisnya di level global. Dia juga sering mengikuti konferensi internasional. Plus, menjadi reviewer jurnal terbitan luar negeri. Publikasi yang sudah ditulisnya antara lain, Women and The Politics of Piety: Women’s Right, Roles and equality in Tarbiyah Movement in Indonesia, Rethinking Indonesianess in Indonesian Teen Magazines in the New Millennium dan Finding Feminist Literary Reading: Portrayals Of Women In The1920s Indonesian Literary Writings. Perempuan yang sangat mengidolakan Kartini itu juga aktif di beberapa asosiasi. Antara lain Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), Asian Association of Women’Studied (AAWS),
Women Scholars Network (WSN) – International Association of The History of Religion (IAHR). Di tengah kesibukannya sebagai dosen, Diah juga telah menerbitkan banyak buku. Selama karirnya, Diah mendapatkan sejumlah penghargaan. Antara lain, Recipient of Australian Development Scholarship for Doctoral Degree Study 2002, dan Recipient of Fulbright Scholarship of Master Degree 1997. (*) Editor: Nuri Hermawan