FK UNAIR Fisiologi Indonesia
Gelar Olimpiade Pertama di
UNAIR NEWS – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga semakin mengukuhkan reputasinya sebagai jawara menggelar lomba ilmiah bertaraf nasional. Tidak hanya kompetisi Medspin (Medical Science and Application Competition) yang sudah diakui secara internasional, kini melalui Departemen Ilmu Faal juga sukses menggelar acara Olimpiade bidang Fisiologi bernama Indonesian Medical Physiology Olympiad (IMPhO) yang juga berlabel nasional, hingga antusiasme pesertanya sampai tak terbendung. “Jumlah peserta IMPhO ternyata bertambah di luar dugaan kami,” demikian Kristanti Wanito Wigati, dr., M.Si, Panitia Seksi Acara, di Aula Gedung GrhaBIK-IPTEKDOK FK UNAIR, Selasa (14/2). Pihak panitia terpaksa harus membatasi peserta karena keterbatasan kapasitas. Jadi sebanyak 141 mahasiswa saja yang terdaftar dari 22 fakultas kedokteran asal perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Mereka berkompetisi memperebutkan gelar juara pada event tersebut. Seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Pekanbaru, Lampung, hingga Banjarmasin. Kompetisi ini berlangsung selama dua hari, 10-11 Februari 2017. Sebanyak 141 peserta itu dibagi dalam 35 tim. Mereka berkompetisi melalui tes tulis dan cerdas cermat. Para peserta ini juga adu pemahaman seputar materi fisiologi serta interaksi antar-peserta yang dituturkan dalam Bahasa Inggris. “Dari 35 tim tersebut diseleksi lagi menjadi 12 tim untuk dipilih tim tim terbaik. Juara I berhak mendapatkan akses untuk mengikuti IMSPQ (International Medical School Pysiology Quiz) 2017 di Malaysia.” Tambah Kristanti.
Alhasil, Juara I dan II diraih oleh tim asal FK Universitas Indonesia (FK-UI), sedangkan Juara III dimenangkan oleh tim tuan rumag Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kristanti menuturkan, acara ini merupakan hasil dari afiliasi antara FK UNAIR dengan IMPhO level internasional yang digagas oleh Prof. Cheng Hwee Ming dari Malaysia. “Kami melihat kompetisi ini belum ada di level nasional. Justru sudah lebih dulu aktif di level internasional. Maka dari itu kami berinisiatif menggelar acara serupa untuk level nasional. Soal-soal yang dilombakan pun hasil kolaborasi antara tim kami dengan Mr. Cheng,” kata Kristanti menambahkan. Penyelenggaraan IMPhO level internasional itu sendiri sudah berjalan selama 14 tahun. Setiap tahunnya IMPhO internasional diikuti oleh banyak sekali peserta mahasiswa kedokteran dari berbagai negara. Melihat reputasinya itu, menurutnya, betapa pentingnya ilmu fisiologi dalam dunia kedokteran, karena merupakan dasar pengetahuan. Ilmu fisiologi adalah salah satu ilmu dasar kedokteran yang patut dikuasai oleh setiap mahasiswa FK. Ilmu ini mempelajari mekanisme tubuh manusia dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Karena begitu banyak yang dipelajari, maka perlu dibuatkan inovasi atau cara mengemas ilmu fisiologi supaya lebih menyenangkan untuk dipelajari. Caranya bisa dengan quiz, sehingga peserta termotivasi untuk belajar,” tambahnya. Selain olimpiade, IMPhO juga mengadakan physiology educational group discussion bagi dosen yang mendampingi para peserta. Topiknya “Phisiology learning Output and How to Arrange in Integrated Block System”, juga dilaksanakan di FK UNAIR. “Jadi tidak hanya dilihat kompetensinya saja, kami berharap acara ini dapat menumbuhkan semangat bersilaturahim, menjaga koneksi dan persahabaan antar dosen dan mahasiswa kedokteran. Kami berharap, kedepannya universitas lain di Indonesia juga dapat ikut serta,” katanya.
Acara IMPhO tahun 2017 ini dibuka secara resmi oleh Dekan FK UNAIR Prof. Dr. dr. Soetojo, Sp.U (K) dan dihadiri pula oleh quist master dan founder IMPhO Prof. Cheng Hwee Ming. Mengingat respon yang luar biasa dari peserta, Prof. Cheng Hwee Ming menuturkan agar IMPhO tetap diselenggarakan dalam setiap tahunnya, dan memilih Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga sebagai tuan rumah/penyelenggaranya. (*) Penulis : Sefya Hayu Istighfaricha Editor : Bambang Bes
Proteomik Sebagai Tool dalam Pembuatan Vaksin Emerging dan Re-Emerging Disease SEJAK awal Abad ke-21, dunia kedokteran telah mengalami banyak revolusi, khususnya pada aspek epidemiologi molekular. Salah satu penemuan yang menjadi tonggak kemajuan ilmu medis tersebut adalah genomik. Perlu diketahui bahwa genomik merupakan salah satu teknik biologi molekular yang dikembangkan dari teori ekspresi, regulasi, dan struktur gen dalam tubuh manusia. Seiring dengan berjalannya waktu, genomik dirasa masih kurang mampu menjawab proses kompleks dalam tubuh manusia yang terdiri atas kurang lebih 100.000 gen. Padahal, setiap gen dapat menghasilkan lebih dari satu jenis protein dengan fungsi yang beragam. Kombinasi jenis protein yang berbeda itu juga akan menghasilkan fungsi yang berbeda pula. Dalam hal ini, genomik tidak bisa digunakan untuk memprediksi stuktur dan properti
dinamis dari semua rangkaian protein tersebut. Oleh karena itu, muncullah istilah proteomik yang secara khusus mempelajari tentang struktur dan fungsi protein. Penelitian yang dilakukan oleh Akhter J Dkk pada tahun 2009 menyebutkan bahwa proteomic sangat bermanfaat dalam kedokteran klinis, yaitu untuk uji diagnostik dan prognosis, identifikasi target terapeutik, serta terapi penyakit tertentu. Indonesia merupakan negara yang terletak di wilayah tropis. Ini dibuktikan dengan salah satu propinsinya yang terletak di daerah khatulistiwa. Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki mega biodiversitas flora dan fauna terbesar di dunia, tak terkecuali dengan penyakit. Penyakit
di
Indonesia
sebagai
negara
tropis
memiliki
spesifikasi dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki empat musim. Penyakit seperti demam berdarah, malaria, kusta, filariasis, diare, TBC, flu burung, merupakan penyakit emerging dan re-emerging yang masih memiliki prevalensi atau angka kesakitan yang terpecahkan sampai dengan saat ini.
tinggi
dan
belum
Penggunaan proteomik dalam vaksin emerging dan re-emerging khususnya flu burung (merupakan salah satu penyakit yang memiliki daya bunuh sangat cepat dan menempatkan Indonesia menjadi negara nomor satu korban manusia dengan jumlah terbanyak di dunia), dan itu telah dibuktikan. Penelitian tersebut antara lain adalah telah ditemukannya protein yang bereaksi antara virus H5N1 di lapangan dengan vaksin flu burung homolog dan heterolog. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qosimah (2008), virus H5N1 yang berada di lapangan dapat digunakan untuk mengetahui reaksi vaksin H5N1 homolog dan heterolog berdasarkan ekspresi protein. Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan proteomik dan vaksin Influenza, khususnya flu burung, adalah penelitian yang
dilakukan oleh Hayati (2012) yang menemukan bahwa unggas yang telah divaksin dengan menggunakan vaksin flu burung memiliki ekspresi protein berbeda dengan isolate asli flu burung. Ini memberikan sinyal bahwa berdasarkan analisis proteomik, virus yang dikeluarkan dari hospes pasca vaksinasi telah terjadi perubahaan bentuk atau mutasi. Selain dua penelitian diatas, proteomik yang berkaitan dengan vaskin influenza, khususnya flu burung, adalah penelitian yang dilakukan oleh Alamudi (2013). Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa vaksin Influenza, khususnya flu burung, memiliki jalur berbeda di dalam memberikan perlindungan terhadap infeksi flu burung dari lapangan berdasarkan proteomik. Infeksi virus flu burung yang berasal dari unggas pada hospes inflamasi.
akan
menginduksi
timbulnya
apoptosis
dan
Hal ini berbeda dengan ketika infeksi virus flu burung berasal dari manusia. Berdasarkan ekspresi protein atau proteomik, ketika terjadi infeksi pasca vaksinasi, hospes tidak hanya memberikan respon timbulnya apoptosis dan inflamasi, namun akan memicu timbulnya mekanisme penghambatan terhadap pembentukan virion baru dan penyebaran progeni virus antar sel. Dari hasil pemaparan diatas, diharapkan memunculkan penemuanpenemuan baru dengan menggunakan bidang proteomic, khususnya dalam bidang pembuatan vaksin penyakit emerging dan reemerging seperti demam berdarah, malaria, filariasis, TBC. (*) Editor: Bambang Bes
Gandeng Pelajar SMA, Erasmus University dan FK UNAIR Kenalkan Bahaya Virus UNAIR NEWS – Sebuah ungkapan mengatakan, lebih baik mencegah dari pada mengobati. Selama ini, upaya preventif dinilai lebih efektif dalam menekan laju berkembangnya sebuah wabah penyakit. Tidak sampai menunggu status Kejadian Luar Biasa (KLB), baru bertindak. Upaya preventif ini justru bergerak mengedukasi melalui kegiatan yang sederhana namun terprogram dan berkelanjutan. Upaya tersebut seperti yang sudah konsisten dilakukan oleh Erasmus Medical Center, Totterdam University, Belanda, bersama Divisi Ilmu Penyakit Tropik dan Infeksi RSUD Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, keduanya konsisten mengedukasi puluhan pelajar SMAN 16 Surabaya melalui program bernama Virus Kenner. Tahun ini, tim Virus Kenner dari Erasmus Medical Center bersama koordinator Virus Kenner FK UNAIR kembali bertandang ke SMAN 16 Surabaya, Rabu (8/2). Koordinator proyek Virus Kenner Wesley de Jong, dr mengungkapkan, Virus Kenner merupakan program penyuluhan yang diinisiasi oleh kelompok Viroscience Laboratory, Erasmus MC, Rotterdam, Belanda. Tujuannya, untuk menguatkan esensi pentingnya gerakan prevensi dalam melawan berbagai jenis penyakit akibat virus. Program penyuluhan ini melibatkan peran para pelajar SMA. Dengan harapan, semakin dini mereka mengenal pengetahuan seputar penyakit virus, semakin cepat mereka waspada. Di Belanda, program Virus Kenner sudah berjalan selama lima tahun. Program Virus Kenner di sebarkan di tiga negara, yaitu Suriname, Indonesia, dan Somalia. Di Indonesia, program itu
sudah berlangsung selama tiga tahun. Tim Virus Kenner berkolaborasi dengan sejumlah pakar Divisi Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR. Dalam agenda rutin tahunan itu, mereka secara kontinyu menggelar kegiatan penyuluhan ke SMAN 16 Surabaya. Puluhan pelajar kelas X ini diperkenalkan dengan ilmu dasar virologi. Acara penyuluhan dikemas secara sederhana. Para pelajar SMA diperkenalkan tentang jenis dan dampak penyakit akibat virus. Dalam sesi acara lainnya, tim Virus Kenner membagikan kuesioner berisi pertanyaan umum untuk mengasah ulang seberapa dalam pemahaman dan pengetahun peserta. Selanjutnya, para siswa dikelompokkan menjadi beberapa tim kecil. Setiap tim akan ditugaskan untuk mempelajari satu jenis virus, bisa itu Influenza, Hanta virus, Leptosirosis, HIV Aids, Hepatitis, dsb. Masing-masing tim kemudian ditugaskan untuk mengaplikasikan pemahaman mereka ke dalam bentuk video maupun poster. Dalam waktu tiga bulan ke depan, siswa diminta mempresentasikan pengetahuanya tentang satu jenis virus secara mendalam. Diharapkan, ke depan mereka akan menjadi agen informasi bagi masyarakat di sekitarnya. Karya para pelajar SMA ini nantinya akan dikompetisikan dan dipresentasikan ketika kunjungan kedua Tim Viruskenner pada bulan Juni 2017 mendatang. Selama ini SMAN 16 menjadi pilot project untuk kegiatan pengenalan virus oleh Erasmus Medical Center dan FK UNAIR. Tak heran jika kemudian sekolah ini menjadi satu-satunya tempat berlangsungnya proyek tersebut. Wesley berharap, SMAN 16 dapat menjadi sekolah yang menginspirasi program ini. “Sementara ini kami belum menargetkan apa-apa. Kami ingin memperkuat sistem Virus Kenner di sekolah ini terlebih dulu.
Ketika sudah dievaluasi dan hasilnya bagus, barulah kami berencana akan menyosialisasikan Virus Kenner ke sekolah lainnya,” jelasnya. Investasi Masa Depan PIC Viruskenner Indonesia dr. Musofa Rusli Sp.PD mengungkapkan, sebenarnya konsep kegiatan penyuluhan itu dikemas cukup sederhana. Namun karena tim Erasmus begitu fokus dan serius menjalankan program tersebut, maka perlahan namun pasti program ini tetap berlanjut hingga saat ini. Dengan memperkenalkan secara dini kepada remaja mengenai bahaya virus, maka langkah ini dinilai efekti dalam menumbuhkan kewaspadaan sejak dini. “Dampaknya memang tidak bisa cepat. Kalau anak remaja kita paham, minimal paham bahaya penyakitnya, maka harapannya mereka akan menyebarkan pemahaman itu dilingkungan mereka. Karena bagi tim Viruskenner sendiri, program ini merupakan bentuk investasi jangka panjang,” jelasnya. Kasus penyakit akibat virus sebenarnya masih banyak di temui di Indonesia. Salah satunya, kasus penyakit Leptospirosis yang pernah terjadi di Sampang, Madura dan menelan korban. Di Belanda, angka kejadian Leptospirosis sangat minim, dan jarang ditemui penderita yang sampai dilarikan kerumah sakit dan meninggal karena terlambat tertangani. “Karena di sana (di Belanda, -red) sistemnya berjalan, dimana masyarakat lebih mementingkan upaya prevensi. Sayangnya di Indonesia, perhatian belum tertuju ke sana. Kita baru ribut menangani kalau sudah terjadi breakout dan menelan korban,” ungkapnya. Musofa yang juga alumnus S-2 Erasmus University ini menjelaskan, di Belanda, sistem manajemennya berjalan dengan baik. Sehingga dalam aplikasi pembiayaan rumah sakit tidak sampai mengeluarkan biaya tinggi. Di negara kincir angin ini,
segala bentuk program yang bersifat awereness mendapat prioritas. Oleh sebab itu, bagi masyarakat di sana, menanamkan kewaspadaan kepada anak-anak sedini mungkin adalah upaya penting melakukan pencegahan. (*) Penulis : Sefya Hayu Editor : Binti Q. Masruroh
Sekelumit Kiprah Prof. Eddy Bagus di Bidang Mikrobiologi UNAIR NEWS – Salah satu pakar UNAIR di bidang mikrobiologi adalah Prof. Dr. H. Eddy Bagus Wasito, dr., MS., Sp.MK. Selama ini, selain mengajar dan menjadi Ketua Prodi Mikrobiologi Klinik FK, peserta Exchange Scientist Program : Enteropathogenic Bacteria : Its Pathogenic Mechanism(S) Okinawa, 1991 ini berkhidmat di RSUD dr Soetomo. Pengabdiannya di bidang mikrobiologi sudah tidak perlu disanksikan lagi. Terdapat banyak publikasi ilmiah maupun makalah seminar yang telah dihasilkannya dan menjadi referensi ranah mikrobiologi tanah air. Eddy Bagus menyatakan, prospek bidang Mikrobiologi di Indonesia begitu luas. Modal yang dimiliki negeri ini sudah melimpah. Khususnya, khazanah sumber daya alam yang sangat beragam. Semua itu bisa dimaksimalkan dengan pengelolaan yang baik. “Ilmuwan atau klinisi mikrobiologi tidak hanya dibebani tanggungjawab untuk mendeskripsikan suatu penyakit yang berasal dari mikroba. Lebih dari itu, harus pula sanggup mencari cara pencegahan dan pengobatannya,”
Dijelaskan penulis delapan buku ini, peminat bidang ini menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Tak heran, sebab persoalan di bidang mikrobiologi, terutama penyakit yang muncul dari situ, makin beraneka rupa. Jenis penyakit yang bersumber dari virus, jamur, dan bakteri, terus tumbuh macam dan modelnya. Bahkan, cenderung lebih sulit ditangani. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi para ilmuwan mikrobiologi. Di sisi lain, fenomena tersebut menjadikan orang-orang tertarik untuk mengkaji bidang ini. Menurut penulis 15 publikasi internasional dalam rentang 1993-2016 ini, terdapat sejumlah aspek yang menjadi penunjang pengembangan Mikrobiologi. Antara lain, Sumber Daya Manusia (brainware), fasilitas (hardware), metode, dan budget. Keempat elemen itu mesti dipenuhi dengan proporsional untuk bisa melakukan optimalisasi rencana besar tersebut. Sinergitas setiap pemangku kebijakan/kepentingan menjadi sangat sentral perannya. Tak dapat dimungkiri, pemikiran reviewer proposal penelitian program doktor Unair 2009 dan proposal penelitian strategis nasional 2010 ini tergolong brilian. Aksinya di dunia pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakatpun kongkret dan aplikatif. Pantaslah, bila ayah satu anak ini kerap diganjar penghargaan. Antara lain, dosen teladan III tingkat Bagian Mikrobiologi dan Parasitologi FK UNAIR 1982, dosen teladan III FK UNAIR 1990, Satya Lencana Karya Satya XX Presiden RI 1998, dan Penghargaan Sudjono Djuned Pusponegoro sebagai Penulis Ilmiah Bidang Kedokteran 2002. Guru Besar ini juga aktif memberikan bimbingan untuk para mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir. Baik di level S1, S2, maupun S3. Di rentang 2006 hingga sekarang, ada 21 orang mahasiswa S1 yang dibimbingnya. Sedangkan sejak 1994 hingga saat ini, tercatat 79 orang yang diarahkannya mengerjakan tugas akhir pada jenjang S2/Spesialis. Sementara di jenjang doktoral, sejak 1998 hingga 2016, ada 20 orang yang dibimbing Eddy Bagus untuk menyelesaikan desertasi. (*)
Penulis: Rio F. Rachman Editor: Defrina Sukma Satiti
Tempurung Kelapa Didedikasikan untuk Pasien Kanker Usus Besar yang Kurang Mampu UNAIR NEWS – Dokter penemu skin barrier dari tempurung kelapa, Dr. Vicky S Budipramana, dr., SpB., KBD, termasuk sosok yang peduli dengan pasiennya. Dulu, skin barrier tempurung kepala buatannya diproduksi sendiri lalu diberikan kepada pasien secara cuma-cuma. Pertimbangannya, batok kelapa bisa didapatkan secara gratis dari pasar. “Tapi lama kelamaan ndak bisa begitu. Sekarang mesti beli kelapa utuh. Satu batok bisa dibuat jadi empat sampai lima produk. Pasien cukup mengganti ongkos pembuatan dan bahannya saja, murah tidak lebih dari lima ribu rupiah,” jelasnya. Namun demikian, murah bukan berarti diminati banyak orang. Ia mengakui tidak semua pasiennya mau menggunakan skin barrier batok kelapa. Jika pasien tersebut mampu, maka mereka lebih memilih menggunakan colostomy bag. Produk colostomy bag karayagam buatan pabrik ini diklaim lebih nyaman digunakan. Tinggal ditempel di permukaan kulit, tanpa harus menggunakan sabuk atau tali elastis. Produk ini juga memiliki kemampuan daya serap tinggi tapi hanya bisa digunakan selama beberapa hari. Hanya saja, produk tersebut mesti didapat dengan harga cukup mahal.
“Penggunaan batok kelapa memang spesifik untuk pasien kurang mampu dan tinggal di daerah periferi. Bayangkan, kalau mereka harus membeli yang mahal, satu kantong untuk penggunaan 3-4 hari saja dikalikan Rp 80ribu. Sebulan sudah habis berapa biayanya? Apalagi mereka orang desa, mau beli di mana? Karena persediaan colostomy bag hanya ada di perkotaan saja,” jelasnya. Lain halnya jika batok kelapa. Selain bahannya mudah didapat, batok kelapa ternyata memiliki kemampuan daya serap yang tinggi dan perawatannya mudah. Perawatannya mudah. Jika kantong stoma sudah penuh dengan cairan ekskreta, batok kelapa bisa dilepas dan dicuci. Sisa kerak yang menempel di permukaan batok bisa disikat sampai bersih, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 jam atau dioven 130 derajat selama 20 menit. Setelah itu dapat digunakan berulang kali seumur hidup. Keduanya memang memiliki kekurangan dan kelebihan. Sebut saja karayagam. Dalam kondisi kulit yang masih lecet dan basah, karayagam tidak bisa digunakan. Alhasil, mau tidak mau pasien harus menggunakan batok kelapa sementara waktu sampai kondisi kulitnya membaik. Sedangkan batok kelapa, hanya penggunaanya saja yang dianggap kurang nyaman, karena dinilai kurang praktis dan musti menggunakan tali elastis. Namun bagi pasien kurang mampu, itu saja sudah sangat membantu. Tanpa mengeluarkan biaya lebih besar, kulit mereka aman dari iritasi, tanpa mengganggu aktivitas mereka. Teknik pemanfaatan batok kelapa menjadi skin barrier tampaknya hanya ada di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan di beberapa wilayah tropis lainnya. Agar bisa diproduksi, tentu dibutuhkan sejumlah persyaratan. Pengalamannya dalam memperjuangkan hak paten dilaluinya dengan cukup berliku. Jauh sebelum hak paten diperjuangkan, ia
melakukan penelitian seputar potensi batok kelapa terlebih dulu, dan kemudian berhasil masuk jurnal internasional. Selanjutnya, tahun 2008 ia mencoba mengurus hak paten. Namun usahanya memperjuangkan hak paten sempat terhalang, karena dalam proses paten pihak tersebut menelusuri, ide hak patennya sama dengan hasil penelitian yang sudah ada di dalam jurnal, sehingga dianggap tidak orisinal lagi. Setelah melalui usaha yang cukup keras, inovasinya berhasil disetujui pada tahun tahun 2012. Menurutnya, angka prevalensi kanker usus meningkat setiap tahun. Diperkirakan setiap minggu, Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Soetomo menerima puluhan pasien baru kanker usus besar. Banyak dari mereka berasal dari luar kota, tinggal di pedesaan. Bahkan, ia mengajarkan kepada para pasien bagaimana cara membuat skin barrier dari batok kelapa. Tapi ternyata tak semua orang bisa membuat. “Kelihatannya sederhana, ya, tapi ternyata ndak semua orang mampu membuatnya. Karena kebutuhan terus meningkat, akhirnya saya minta bantuan orang lain untuk membuat, dan pasien tinggal ganti ongkos dan bahannya saja, dan ini bukan komersil,”
jelasnya. (*)
Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
Dosen FK Manfaatkan Tempurung
Kelapa Untuk Penderita Kanker Usus Besar UNAIR NEWS – Alam telah menyediakan segalanya. Kemanfaatan buah kelapa (Cocos nucifera) ternyata melebihi perkiraan orang. Dokter spesialis divisi bedah digestif, Dr. Vicky S Budipramana, dr., SpB., KBwD, menemukan bukti bahwa tempurung kelapa bagus digunakan sebagai skin barrier (penampung cairan) bagi pasien kanker kolostomi. Bahkan skin barrier dari batok termasuk aman, murah, dan memiliki nilai plus dibandingkan produk pabrikan. Vicky menjelaskan, penanganan kanker kolostomi selalu bermuara pada tindakan operasi pengangkatan benjolan kanker. Mulai dari bagian usus sampai ke jaringan sekitarnya. Setelah operasi pengangkatan kanker, bagian usus yang masih tersisa di dalamnya tidak bisa langsung disambung begitu saja. Solusinya, bagian usus dikeluarkan dari dalam perut sementara waktu selama proses pemulihan. “Nah, selama itu pula proses pengeluaran cairan ekskreta berlangsung di luar perut. Kondisi ini ternyata menyisakan persoalan baru. Pada kasus yang sering ditemui, seringkali pasien mengalami masrasi atau peradangan hebat di permukaan kulit disekitar perutnya,” kata peneliti di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo. Hal itu terjadi karena mereka tidak menggunakan penampung cairan ekskreta yang tepat. Akibatnya, setiap kali keluar dari usus, cairan tidak tertampung dengan baik. Sebagaimana diketahui, cairan ekskreta bersifat alkali, sedangkan permukaan kulit sifatnya asam. Kulit yang sering berkontak dengan cairan ekskreta akan mengakibatkan kerusakan pada pelindung kulit. Akibatnya terjadi peradangan.
“Seringkali kita melakukan tindakan operasi dari bagian usus halus karena lebih mudah dilakukan. Selain itu, yang keluar masih berupa cairan ekskreta yang encer dan tidak berbau, tidak seperti hasil buangan dari usus besar. Namun, risikonya bocor dan tumpah mengenai permukaan kulit, jika alat penampungnya kurang bagus,” jelasnya. Persoalan ini yang kemudian menginspirasinya untuk menemukan solusi. Apalagi kebanyakan pasien adalah mereka yang berasal dari desa. “Mayoritas pasien datang dalam kondisi memprihatinkan. Mereka mengeluh kesakitan karena kulitnya lecet dan meradang. Malah saking perihnya, pasien ada yang kemudian meninggal. Bukan karena penyakitnya, tapi karena tidak mampu menahan rasa sakit akibat luka sepsis,” jelasnya. Tentu untuk mencapai kesembuhan, harus diupayakan kondisi kulit tetap kering. Dengan begitu setelah dinyatakan pulih, maka bisa segera dilakukan operasi penyambungan usus. Namun, selama kondisi kulit belum membaik, maka operasi penyambungan usus belum bisa dilakukan.
Skin barrier dari batok kelapa (Foto: UNAIR NEWS) Untuk mendapatkan skin barrier yang sempurna, maka bentuk tempurung kelapa disesuaikan sehingga permukaan cembung tempurung dapat ditempelkan pada kulit peristoma dan ujung (stump) usus menonjol (protrusi) melalui lubang tempurung yang terletak di bagian sentral. Bentuk tempurung kelapa secara alamiah sudah cekung sehingga bentuknya sesuai dengan skin barrier. Selain itu, daya serapnya juga tinggi. “Agar stump usus dapat protrusi, perlu diberi penekanan yaitu dengan sabuk yang melingkar pada pinggang, sehingga ekskreta yang keluar tidak kontak dengan kulit peristoma,” ujarnya. Kekencangan sabuk dapat diatur sendiri sesuai kenyamanan penderita karena lingkaran sabuk dapat diatur seperti halnya orang memakai ikat pinggang. Tempurung kelapa berporus sehingga dapat bersifat sebagai adsorben. Cairan ekskreta dan keringat pada permukaan kulit akan diserap oleh permukaan cembung tempurung kelapa, sehingga kulit bebas dari paparan ekskreta. Penderita bisa memakai kantong stoma tempurung kelapa untuk mengatasi problema kerusakan kulit. “Secara ekonomis pemakaian kantong stoma dengan skin barrier tempurung kelapa dapat meringankan beban penderita karena tempurung kelapa sangat murah, dapat dibuat sendiri, dan dapat dipakai berulang-ulang,” jelasnya. Ia mengklaim, penggunaan skin barrier dari batok kelapa memiliki daya serap tinggi. Semakin sering digunakan, maka daya serapnya semakin tinggi. Hal ini karena penggunaan yang sering membuat pori-pori tempurung makin lama makin lebar. “Kuman usus memiliki enzim celulase, sedangkan batok adalah selulose. Selulose pada tempurung kelapa akan dimakan oleh enzim celulase sehingga semakin lama pori-pori tempurung semakin melebar. Ini yang membuat tempurung memiliki daya serap makin tinggi. Tapi jangan sampai tertutup kerak. Harus
dibersihkan agar tidak sampai ada kerak. Karena kerak akan mengganggu proses penyerapan,” jelasnya. Spesifikasi batok kelapa yang digunakan pun harus batok kelapa tua karena sudah memiliki kemampuan daya serap. Berbeda dengan batok kelapa muda yang masih banyak mengandung air sehingga sulit menyerap air. (*) Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S
Dokter Anestesi FK UNAIR Sukses Dapatkan 7 HAKI UNAIR NEWS – Tingginya harga alat kedokteran, membuat sejumlah dokter Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga berkreasi menciptakan sendiri alat kedokteran dengan spesifikasi harga yang terjangkau. Namun meski demikian tak kalah bagus kualitasnya dengan buatan pabrik. Departemen Anestesiologi dan Reanimasi FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo berhasil mendaftarkan sebanyak 7 Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dengan rincian 2 Hak Paten dan 5 Hak Cipta yang dilindungi Undang-Undang. Ketujuh HKI tersebut meliputi Simulator alat Injeksi Peripheral Nerve Block (PNB) dengan Panduan Ultrasonografi untuk mengetahui anatomi syaraf, Modifikasi Lampu LED, dan Alat Perekam Audiovisual pada Laringoskop yang dapat Terhubung dengan Gadget, LCD, dan Laptop. Kemudian Alat Peraga Video Laryngoscope dengan tiga spesifikasi ukuran yang berbeda, Karya Sinematografi Tutorial Video Laryngoscope, serta Karya Sinematografi Video Tutorial Basic Life Support.
Dari ketujuh HKI tersebut, salah satu yang menarik adalah Alat Peraga Video Laryngoscope dengan inventor Soni Sunarso Sulistiawan, dr., SpAn.FIPM., Dr. Christrijogo Sumartono, dr.,SpAn.,KAR., dan Bambang Pujo Semedi, dr, SpAn. KIC. Kepada UNAIR NEWS, Soni mengklaim Video Laryngoscope ini adalah salah satu alat kedokteran yang lebih murah dengan kecanggihan yang tidak kalah dengan alat buatan pabrik. Alat ini bermanfaat untuk menunjang kegiatan pelayanan dan pendidikan. Kehadiran video Laryngoscope ini dapat membantu proses Intubasi pada kondisi yang sulit. Dalam kamus kedokteran, intubasi berarti memasukkan alat berbentuk mirip selang ke dalam organ berongga. Dalam hal ini, sering dikaitkan dengan memasukkan alat endotracheal tube atau selang nafas yang dimasukkan melalui mulut atau hidung hingga mencapai organ berongga (trakea), sehingga menjamin jalan nafas dapat bebas dan fungsi pernafasan dapat berjalan dengan baik. “Video Laryngoscope ini juga dapat dimanfaatkan ketika sedang dilakukan laringoskopi atau tindakan medis yang memungkinkan ahli anestesi melihat kondisi pita glotis dan vokal untuk melindungi organ berongga dari kemungkinan cedera oleh intubasi,” ungkapnya. Alat ini juga dapat merekam audiovisual yang terjadi selama proses laringoskopi. Gambar audiovisualnya dapat terlihat dari layar komputer maupun smartphone, sehingga dapat sekaligus dimanfaatkan untuk live streaming dan dokumentasi pendidikan. Dengan begitu, otomatis hasilnya dapat disimpan dalam bentuk softcopy dan dapat disimpan di dalam komputer atau smartphone. “Alat Video laryngoskop yang sekarang kami punya sangat terbatas kegunaannya dan mahal sekali. Kami membutuhkan alat kedokteran yang bukan saja berfungsi sebagai pendukung pelayanan, tapi juga sebagai sarana belajar. Dan alat ini adalah jawabannya, karena dapat difungsikan juga untuk
mengatasi kasus sulit sekaligus merekam audiovisual untuk pembelajaran,” ungkapnya. Adapun ukuran Blade yang tersedia mulai blade panjang no.4 untuk pasien dewasa dengan overweight hingga ukuran no.00 yang digunakan pada intubasi bayi neonatus prematur dengan berat lebih 1000 gram. Menurutnya, Videolaryngoskop ukuran tersebut sangat jarang di pasaran. Rekaman tersebut dapat membantu departemen anestesi untuk melakukan evaluasi kemampuan intubasi setiap mahasiswa dalam proses belajar mengajar. “Kami telah melakukan studi bahwa alat ini berfungsi sangat baik dan bisa menggantikan fungsi Videolaryngoscope buatan pabrik yang harganya jauh lebih mahal,” ungkapnya. Selain Videolaryngoscope, ada juga simulator alat Injeksi Peripheral Nerve Block (PNB) dengan Panduan Ultrasonografi untuk mengetahui anatomi syaraf. Alat ini berguna untuk proses pendidikan keterampilan intervensi dengan menggunakan USG guiding. Yang lebih menarik lagi, Soni dan tim Anestesiologi dan Reanimasi FK UNAIR juga mematenkan Karya Sinematografi untuk promosi kesehatan Basic Life Support penanganan henti jantung pada Awam. Sinematografi ini berisikan Film pendek yang berkisah tentang pentingnya pertolongan pertama pada suatu kegawatan henti jantung. “Kita tidak tahu sampai dimana umur seseorang dan musibah yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Untuk itu peran serta masyarakat sangat diperlukan. Mengingat keselamatan korban sangat ditentukan oleh respon awal dan pijat jantung,” jelasnya. Melalui film pendek ini, Soni mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk turut berperan memberikan pertolongan BLS (Basic Life Support) berupa pijat jantung dan call for help agar keberhasilan penanganan henti jantung menjadi lebih tinggi. Karena keberhasilan terapi dokter juga sangat
bergantung dari respon awal masyarakat, seawal setelah jantung berhenti. (*)
mungkin
Penulis: Sefya Hayu Editor: Nuri Hermawan
Mitos dan Fakta Rambut Beruban
Seputar
UNAIR NEWS – Seringkali masyarakat awam meyakini, jika rambut beruban disebabkan karena terlalu sering keramas atau karena tidak cocok dengan jenis shampo tertentu. Ada juga yang meyakini, rambut beruban karena terlalu banyak memikirkan sesuatu hal. Benarkah demikian?
Dokter ahli kulit kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Dr. Afif Nurul Hidayati Sp.KK, FINSDV (Foto: Istimewa)
Kepada UNAIR NEWS, dokter ahli kulit kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Dr. Afif Nurul Hidayati Sp.KK, FINSDV menjelaskan seputar mitos dan fakta rambut beruban. Setiap hari, siapapun, dihadapkan dengan banyak masalah atau urusan yang menuntut kita untuk berfikir. Selama berfikirnya wajar, maka tak akan berdampak bagi kesehatan. Namun ketika berfikir terlalu berat hingga mengakibatkan stres psikologis, maka itu yang harus dihindari. Sebab, stres yang berlebihan justru mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar oksidan di dalam tubuh. Dampaknya jelas merugikan tubuh, termasuk rambut. Sementara itu, pemakaian shampo sebenarnya tidak akan memicu munculnya uban secara dini. Sebab, shampo tidak memiliki efek menghilangkan melanin di rambut, mengandung bleaching agents.
kecuali
shampo
yang
Apakah mencabut rambut beruban aman dilakukan? Rambut beruban merupakan kondisi yang sifatnya progresif dan menetap, meskipun, dapat dimungkinkan terjadi repigmentasi. Pencabutan uban dianggap efektif jika dilakukan kurang dari 10% rambut yang beruban. Hindari pencabutan rambut yang terlalu banyak, karena kebiasaan ini sebenarnya dapat menyebabkan terjadinya
keradangan pada kulit kepala.
Oleh karena belum ada terapi yang efektif untuk rambut beruban, maka terapi yang efektif dilakukan adalah dengan kamuflase. Bagaimana caranya? Yakni dengan mengecat rambut menggunakan pewarna sementara (pewarnatekstil), natural (henna), semipermanen, dan permanen. Namun jika rambut beruban disebabkan karena penyakit atau kondisi tertentu, maka kondisi rambut akan membaik seiring dengan pulihnya kondisi fisik. (*) Penulis : Sefya Hayu Editor : Binti Q. Masruroh
Prof. Fedik: Stem Cell adalah Senjata Pemungkas Bagi Banyak Penyakit UNAIR NEWS – Prof. Dr. Fedik A. Rantam, DVM, merupakan pakar UNAIR yang membidangi Ilmu Virologi dan Imunologi. Fedik juga menggeluti penelitian tentang demam berdarah. Fedik mengembangkan Vaksin Dengue di Indonesia. Bahkan, Fedik juga menjadi anggota consortium vaksin demam berdarah. Selain vaksin demam berdarah, Fedik giat dalam meneliti Stem Cell. Kehadirannya setelah obat tradisional dan obat anti biotik, dianggap sebagai obat regeneratif termutakhir. Sehingga, prospek Stem Cell ke depan sangatlah luas. Mengingat, banyaknya permintaan pasar. Secara sederhana, Stem Cell merupakan sel calon berbagai macam organ. Sering kali disebut sebagai sel yang belum berdiferensiasi. Stem Cell bisa berubah menjadi beragam sel, mulai dari sel jantung, sel hati, hingga sel saraf. Sehingga, Stem Cell dapat menjadi senjata pemungkas bagi semua penyakit, terutama penyakit degeneratif layaknya parkinson. Saat ini, Kepala Stem Cell Research And Development Center tersebut terus mengembangkan beragam karakter Stem Cell. Yang terbaru, Fedik mengembangkan Hair Follicle Stem Cell, yaitu memasukkan sel pori-pori dengan mengecilkan grows factor dari sel tersebut menjadi tingkat nano. Sehingga, rambut yang sudah mulai menghilang bisa tumbuh kembali. Selain itu, saat ini juga ada pengembangan Stem Cell yang ditambahi dengan genetik, sehingga mampu membawa gen ke dalam tubuh. Bahkan, Stem Cell juga mulai dikembangkan untuk membawa
obat-obatan, mengingat karakter Stem Cell langsung “bergerak” menuju ke organ yang injury. “Prospek Stem Cell di Indonesia sangat baik. Kita masih sepakat ingin jadi yang terbaik. Di Indonesia memang baru mengenal Stem Cell. Jadi, prospeknya luas sekali. Di sisi lain, saya ingin menunjukkan masyarakat pada luar negeri, bahwa kita punya teknologi sendiri yang bisa dikembangkan” ujarnya. Terkait Vaksin Dengue, Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Hewan tersebut juga mengembangkan Vaksin Dengue untuk demam berdarah. Sepulang dari Jerman pada tahun 1998, peraih gelar Doktor dari Freie Universitaet, Jerman tersebut mulai menggeluti riset demam berdarah beserta dengan imunologinya. Sehingga desain pengembangan vaksin demam berdarah tidak hanya model biasa, melainkan Vaksin Chimera. Di sela kesibukannya dalam penelitian, Fedik juga aktif dalam memublikasi karya ilmiah, baik nasional hingga skala internasional. Di antaranya, “Hybrid Fab Immunoglobuline (IgG) as development of vaccine and diagnostic hit” pada 2015, dan “Analysis of recombinant envelope (E) protein multivalent dengue virus serotype -1,-3,-4 expressed by baculovirus System” pada 2013. (*) Penulis: Dilan Salsabila Editor: Rio F. Rachman
Tekad
Mengabdi
Satria
Airlangga Asal Papua UNAIR NEWS – “Kasumasa UNAIR, su mau terima anak-anak tanah. Terlalu baik. Sa bangga jadi anak UNAIR”. Itulah sepenggal kata-kata yang diucapkan oleh Stevany Rumbobiar. Berasal dari daerah Pesisir Pantai Manokwari, Papua, membuat Stevany merasa senang bisa diberi kesempatan berkuliah di tanah Jawa. Sejak tahun 2012, Stevany menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan dokter. Kini, ia juga tengah menjalani program Co-Asst. Stevany merupakan salah satu mahasiswa dari program beasiswa ADIK Papua. Program ini memang memberikan banyak kesempatan kepada putra putri daerah Papua dan 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) yang ingin menempuh pendidikan lebih baik. Sebelum diterima di UNAIR, Stevany bercerita bahwa ia telah mendaftar dan diterima di salah satu Universitas di Papua jurusan pertambangan. Namun, ia memiliki angan besar untuk merajut cita di FK UNAIR. “Saya memang sudah punya tekad, kalau lolos pendidikan dokter, saya rela lepas kuliah di Papua waktu itu. Namun, jika tidak lolos pendidikan dokter atau saya lolos namun bukan pendidikan dokter, saya tidak akan melepas kuliah saya,” ujar gadis kelahiran 3 Mei 1994 ini. Mengenai makanan, Stevany mengaku tidak terlalu kaget dengan makanan di Surabaya. Karena sewaktu kecil hingga SD ia pernah tinggal di Jombang. Namun, terkadang ia rindu dengan keseharian makanan di Papua yang lebih sering mengonsumsi ikan segar dan papeda. “Kalau di Papua tak ada uang, kami masih bisa makan. Tinggal ambil apa gitu di hutan atau langsung ambil ikan di pantai. Tapi kalau di Surabaya, tak ada uang kami tak bisa makan,” tambah Stevany
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran, Stevany berencana untuk mengambil magister dan mendalami ilmu kesehatan tropis. Ia bertekad untuk kembali ke tanah Papua setelah menyelesaikan studinya nanti. Ia ingin mengabdikan dirinya sebagai dosen di Papua. “Saya pengen balik ke Papua, saya ingin Mengajar. Pengen ngasih tahu ke teman-teman yang ada disana. Untuk jadi dokter itu tidak hanya butuh IPK saja, tapi karakter itu lebih penting. Jadi buat apa pinter dan lulus cepat kalau semua itu hasil nyontek,” tandasnya. (*) Penulis: Farida Hari Editor: Nuri Hermawan