EFEKTIF BIJI KELOR (MORINGA OLEIFERA) DALAM MENURUNKAN KEKERUHAN AIR SUMUR GALI DI KELURAHAN DENDENGAN DALAM KECAMATAN TIKALA Rahayu Akili* Irni Maino*, Rutler P Masalamate* *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado ABSTRAK Keperluan sehari-hari air dapat diperoleh dari beberapa macam sumber antara lain air tanah. Air tanah umumnya mencakup sumber yang paling cocok dalam penyediaan air bersih masyarakat kecil salah satunya sumur gali (SGL). Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka seharusnya air bersih yang digunakan selain harus mencukupi dalam arti kuantitas untuk kebutuhan sehari-hari juga harus memenuhi persyaratan kualitas yang telah ditetapkan, baik kualitas fisik, bakteriologis, kimia, maupun radioaktif. Persyaratan kualitas tersebut tertuang dalam Permenkes No. 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Kekeruhan pada air menunjukkan adanya bahan padat/partikel padat tersuspensi dan kadar yang maksimum yang diperbolehkan pada air bersih adalah 5 Nephelometric Turbidity Unit (NTU). Koagulasi atau flokulasi adalah bahan kimia yang dibutuhkan pada air untuk membantu proses pengendapan partikel-partikel kecil yang tidak dapat mengendap dengan sendirinya (secara gravitasi). Salah satu bahan untuk penjernihan air adalah biji Kelor yang banyak terdapat di daerah pedesaan, namun penggunaan biji Kelor belum dimanfaatkan sepenuhnya. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen. Dalam rancangan ini variabel bebas dimasukkan kedalam air keruh kemudian dilakukan pengadukan. Air sumur gali yang digunakan sebagai sampel penelitian mempunyai tingkat kekeruhan diatas 5 NTU (Nephelometric Turbidity Unit) dan diambil di Kelurahan Dendengan Dalam Kecamatan Tikala. Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh maka dapat dilihat dari dosis yang efektif dan yang tidak efektif. Dosis yang ditetapkan adalah 50, 65, 80, 95, 110, 125, 140, 155, 170, 185, dan 200 mg/l. untuk 1000 ml air dan setiap dosis diberikan perlakuan sebanyak 5 kali. Dari kesebelas dosis yang efektif menurunkan kekeruhan air yaitu 170, 185, dan 200 mg dan kalau dilihat dari dose-effectiveness maka dosis 170 yang paling efektif. Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu bahwa rata-rata kekeruhan awal itu 374,9 NTU dan kekeruhan akhir 287,3818 NTU sehingga mean beda kekeruhannya yang didapat adalah 87,5 NTU. Dosis yang paling efektif dari penelitian ini yaitu dosis 170 mg, 185 mg dan dosis 200 mg (kelompok 4) dan kalau dilihat dari doseeffectiveness maka dosis 170 mg adalah dosis yag paling efektif. Saran yang dapat diberika yaitu memberikan informasi tentang biji kelor yang dapat digunakan untuk menjernihkan air sumur gali keruh dan juga dapat disarankan untuk dapat menggunakan dosis 170 mg/l serta perlu dilakukan lagi penelitian lanjutan dengan mengambil sampel/sumur gali yang lain. Keyword : Dosis Biji Kelor, Kekeruhan, Sumur Gali
ABSTRACK Daily use of water can be obtained from a variety of sources such as ground water. Groundwater sources generally include the most suitable in the small community water supply wells dug one (SGL). In connection with this it should be used in addition to clean water should be sufficient in terms of quantity for daily needs also must meet the requirements set quality, good physical quality, bacteriological, chemical, or radioactive. The quality requirements set out in the Minister Regulation. 416 of 1990 on terms and Water Quality Monitoring. Turbidity in the water indicate the presence of solid material / suspended solid particles and the maximum levels allowed in water is 5 Nephelometric Turbidity Units (NTU). Coagulation or flocculation is needed chemicals to the water to help the process of deposition of small particles that can not be settled by itself (by gravity). One of the materials for water purification is Moringa seeds are widely available in rural areas, but the use of Moringa seeds have not been fully utilized. The design used in this study is experimental. In this design the independent variables entered into the murky water and then stirring. Dug well water is used as the study sample had a turbidity level above 5 NTU (Nephelometric Turbidity Unit) and are taken in the Village Dendengan In Tikala District. Based on the measurement results obtained, it can be seen from the effective dose and ineffective. Assigned dose was 50, 65, 80, 95, 110, 125, 140, 155, 170, 185, and 200 mg / l. to 1000 ml of water and every
52
dose of treatment given 5 times. From the eleventh dose that is effective to reduce the turbidity of water 170, 185, and 200 mg and judging the effectiveness of a dose-170 is the most effective dose. The conclusion that can be drawn is that the average initial turbidity was 374.9 NTU and NTU turbidity 287.3818 end so that the mean difference obtained turbidity was 87.5 NTU. The most effective dose of the study is a dose 170 mg, 185 mg and 200 mg dose (group 4) and judging the effectiveness of a dose-170 mg dose is the most effective dose yag. Suggestions may diberika that provide information about moringa seeds that can be used to clear the dug well water cloudy and can also be advisable to use a dose of 170 mg / l and further research needs to be done by taking samples / wells dug another. Keyword: Dose Seeds Kelor, Turbidity, Dug Wells
53
PENDAHULUAN Visi Indonesia Sehat 2010 mengatakan bahwa Lingkungan sehat itu adalah lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong-menolong dengan memelihara nilainilai budaya bangsa. Perilaku masyarakat Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Selanjutnya kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa depan adalah yang mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi (Depkes R.I.,1999). Ketergantungan manusia terhadap air semakin besar sejalan dengan bertambahnya penduduk. Saat ini, pasokan air berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika Bumi baru dihuni 1,8 milyar penduduk. Kelangkaan air sungguh ironis dengan predikat Bumi sebagai "Planet Air" lantaran 70% permukaan bumi tertutup air. Namun, sebagian besar air di Bumi merupakan air asin dan hanya sekitar 2,5% saja yang berupa air tawar (Media Transparansi Online,1999). Wilayah Indonesia, menurut LIPI, memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik. Namun demikian, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun. Dengan demikian di Indonesia, dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak (Riza, 2005)
Air bersih yang digunakan selain harus mencukupi dalam arti kuantitas untuk kebutuhan sehari-hari juga harus memenuhi persyaratan kualitas yang telah ditetapkan, baik kualitas fisik, bakteriologis, kimia, maupun radioaktif. Persyaratan kualitas tersebut tertuang dalam Permenkes No. 416 Tahun 1990 tentang syarat tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air (Depkes R.I.,1995). Pemeriksaan kualitas air secara fisik ada beberapa parameter, yaitu bau, Total Dissolved Solid (TDS), rasa, suhu, warna dan kekeruhan. Kekeruhan pada air menunjukkan adanya bahan padat / partikel padat tersuspensi dan kadar yang maksimum yang diperbolehkan pada air bersih adalah 25 Nephelometric Turbility Unit (NTU). Salah satu bahan untuk penjernihan air adalah Biji kelor (Moringa oleifera) yang banyak terdapat didalam masyarakat indonesia ini yang digunakan sebagai tanaman pagar (suriawaria,2002). METODE Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk eksperimen, di mana sampel air sumur akan dicampur dengan biji kelor pada dosis berbeda. Dosis biji kelor yang digunakan dalam percobaan ini adalah 50, 65, 80, 95, 110, 125, 140, 155, 170, 185, dan 200 mg/l. Masing-masing dosis diulang lima kali. Penelitian akan dilakukan di laboratorium Balai teknik kesehatan lingkungan dan Pemberantasan penyakit menular (BTKLPPM) pada bulan desember 2007-Januari 2008. Populasi penelitian adalah air sumur gali. Sampel dalam penelitian ini diambil dari sebuah air sumur gali di Kelurahan Dendengan Dalam, Manado. Besar sampel ditentukan dengan formula untuk mendapatkan perlakuan terbaik (best treatment), di mana perlakuan terbaik merupakan dosis kelor yang paling efektif dalam menurunkan tingkat kekeruhan sampel, yaitu: (kurner,2005) Pada penelitian ini terdapat 11 macam perlakuan (dosis kelor 50, 65, 80, 95, 110, 125, 140, 155, 170, 185 dan 200 mg/L) dan power penelitian yang diharapkan sebesar 0,90. Dengan demikian, nilai T* = 2.4516 (Kutner, Nachtsheim, Neter, dkk, 2005). Standar deviasi 54
perubahan kekeruhan air dengan biji kelor adalah 1 NTU (Muyibi dan Alfugara, 2004), dan perbedaan mean perubahan kekeruhan air sebesar 0,5 NTU dianggap cukup untuk membedakan perlakuan yang terbaik dari yang lainnya. Berdasarkan asumsi bahwa besar HASIL Karakteristik dasar Kekeruhan Awal Kekeruhan awal (dalam NTU) ke-55 sampel air sumur gali penelitian memiliki mean 374,9 kekeruhan awal
N 55
Minimum 211,00
Kekeruhan Akhir Mean selisih kekeruhan awal dan akhir dari ke55 sampel adalah 87,5 (SD 76,9) NTU. Angka ini bervariasi dari serendah -14 NTU (angka negatif berarti kekeruhan akhir lebih tinggi dari N Minimum kekeruhan akhir 55 18,00
sampel setiap perlakuan sama, maka untuk tiap perlakuan diperlukan sampel sebesar: n=
2,4516 X1
≈7
(SD 227,1) NTU, di mana nilai ini bervariasi besar dari serendah 211 NTU hingga 983 NTU. Maximum 983,00
Mean 374,9091
Std. Deviation 227,08770
kekeruhan awal, yakni penambahan biji kelor justru ―menambah‖ kekeruhan) hingga setinggi 255 NTU. Maxim-um 915,00
Mean 287,3818
Std. Deviation 236,92111
Beda Kekeruhan Beda kekeruhan air sumur gali sebelum dan sesudah penambahan biji kelor dosis 50 – 200 mg adalah sbb: N Minimum Maximum Mean Std. Deviation beda kekeruhan 55 -14,00 255,00 87,5273 76,88323 Mean selisih kekeruhan awal dan akhir dari keberpasangan (terlampir) ini yaitu bahwa Selisih 55 sampel adalah 87,5 (SD 76,9) NTU. Angka kekeruhan awal dan kekeruhan akhir (beda ini bervariasi dari serendah -14 NTU (angka kekeruhan) air sumur gali pada penelitian ini negatif berarti kekeruhan akhir lebih tinggi dari setelah penggunaan biji kelor dosis tertentu kekeruhan awal, yakni penambahan biji kelor rata-rata 87,53 NTU. Dengan uji t didapatkan justru ―menambah‖ kekeruhan) hingga setinggi hasil signifikan (nilai p 0,000 < α 0,05)— 255 NTU. disebut bermakna bila nilai p lebih kecil dari nilai α sebagaimana kasus ini—, yang berarti beda kekeruhan bermakna. Jadi dapat di tarik Dosis Optimal Untuk Tingkat Kekeruhan Kesimpulannya yaitu biji kelor memang Tertentu Air Sumur Gali Untuk mengetahui apakah memang terjadi mengubah kekeruhan air sumur gali secara perubahan kekekruhan dengan pengunaan biji bermakna. kelor maka kita akan mengunakan uji t dua Bentuk perbedaan kekeruhan dengan sample berpasangan karena data beda dosis biji kelor, dapat kita lihat dengan kekeruhan itu numerik dan terdistribusi relatif menggunakan bantuan boxplot berdampingan normal. Hasil dari uji t dua sampel atau side-by-side boxplots.
55
300.00
250.00
beda kekeruhan
200.00
150.00
100.00
12 50.00
16 11
0.00
-50.00
50.00
65.00
80.00
95.00
110.00
125.00
140.00
155.00
170.00
185.00
200.00
dosis (mg/l)
Grafik boxplot berdampingan di atas untuk Kelompok 1 : dosis 50 mg/l (paling bawah), beda kekeruhan pada dosis biji kelor berbeda Kelompok 2 : dosis 80, 95, dan 110 mg/l menunjukkan bahwa dosis-dosis yang (kedua dari bawah), Kelompok 3 : digunakan dapat dikelompokkan ke dalam dosis 65, 125, 140, dan 155 mg/l (tengah), setidaknya empat kelompok (lihat gambar)— Kelompok 4 : dosis 170, 185, dan 200 mg/l pengelompokkan dilakukan dengan (paling atas) berpedoman pada persamaan dan perbedaan ―tinggi‖ boxplot masing-masing dosis—: Tabel di bawah meringkaskan kekeruhan (awal) air sumur gali untuk keempat kelompok dosis sebagaimana pengelompokkan sebelumnya: Kekeruhan Awal (NTU) Mean SD 217,6 5,5 233,2 12,9 560,0 287,4 322,3 66,1
Kelompok Dosis Kelompok 1 (50 mg/l) Kelompok 2 (80, 95, dan 110 mg/l) Kelompok 3 (65, 125, 140, 155 mg/l) Kelompok 4 (170, 185, dan 200 mg/l) Perhatikan boxplot berdampingan di bawah ini: Grafik di atas memperlihatkan bahwa
sesungguhnya
keempat
Min 211 213 241 228
kelompok
Max 223 251 983 466
hampir
1000.00
kekeruhan awal
800.00
600.00
400.00
200.00
kelompok 1
kelompok 2 (80, 95, dan 110 mg/l)
kelompok 3 (65, 125, 140, 155 mg/l)
dosis
kelompok 4 (170, 185, dan 200 mg/l)
56
sejajar, namun kelompok 3 memiliki rentang - Dosis 50 mg/l tidak efektif untuk nilai yang terlalu besar. Rentang yang besar ini menurunkan kekeruhan air sumur gali, terjadi terutama karena kekeruhan awal air malah justru menambah kekeruhan. sumur gali yang digunakan untuk dosis biji - Dosis antara 65 hingga 200 mg/l kelor 125 dan 140 mg/dl berada antara 736 – terbukti efektif untuk menurunkan 983 NTU, jauh di atas kekeruhan awal dosiskekeruhan, walaupun dengan dosis pada kelompok dosis lainnya. Namun kemampuan berbeda-beda. Yang kekeruhan awal untuk dosis 65 dan 155 mg/l paling efektif adalah dosis 170, 185, sendiri yang berada di satu kelompok dosis dan 200 mg/l (kelompok 4), diikuti dengan 125 dan 140 mg/dl terentang antara 241 dosis 65, 125, 140, dan 155 mg/l – 377 NTU, tidak terlalu jauh berbeda dari (kelompok 3) dan dibawahnya dosis rentang kekeruhan awal kelompok dosis 80, 95, dan 110 mg/l (kelompok 2) lainnya. Berdasarkan hasil-hasil analisis di atas, diketahui bahwa pada kekeruhan air sumur gali dari 211 – 983 NTU: Untuk dapat mengetahui yang mana dari 3 dosis itu yang paling efektif maka perhatikan tabel dibawah ini : Beda Kekeruhan (NTU) Kelompok Dosis Mean SD Min Max Kelompok 1 (50 mg/l) -8,2 4,9 -14 -4 Kelompok 2 (80, 95, dan 110 mg/l) 33,9 11,6 14 68 Kelompok 3 (65, 125, 140, 155 mg/l) 63,7 10,6 45 86 Kelompok 4 (170, 185, dan 200 mg/l) 204,8 24,7 171 255 Kelompok 2 rata-rata menghasilkan penurunan sudah matang atau sudah tua, buah kelor yang kekeruhan sekitar setengah dari kelompok 3, sudah tua berwarna kecoklatan sedangkan buah padahal dosis pada kelompok 3 ada yang lebih kelor yang masih muda itu berwarna hijau. rendah dari kelompok 2 yakni 65 mg/l. Jelas Buah kelor yang sudah tua kulit mudah untuk kita akan memilih kelompok 3, karena terpisah dari bijinya. Biji dari buah kelor yang efektifitasnya lebih tinggi. Lebih khusus lagi sudah tua berwarna coklat,tapi warna coklatnya kita akan memilih dosis 65 mg/l (prinsip costitu adalah kulit dari bijinya,jadi saat kulit biji effectiveness: pilihan ditentukan berdasarkan itu dibuka atau dipisahkan akan terlihat biji biaya terendah—dosis lebih rendah dianggap kelor yang berwarna putih.biji kelor yang biayanya lebih rendah—untuk efektifitas yang berwarna putihlah yang akan kita pakai sebagai dikehendaki). bahan penjernihan air sumur (kharistya,2006) Untuk menentukan dosis Biji Kelor yang efektif dalam menurunkan kekeruhan air sumur PEMBAHASAN Keperluan air sehari-hari dapat diperoleh dari gali, maka dilakukan penelitian dosis biji kelor. beberapa macam sumber antara lain air tanah. Karena itu ditentukan sebelas dosis dengan Air tanah umumnya mencakup sumber yang interval 15 setiap dosis, yaitu mulai dari dosis paling cocok dalam penyediaan air bersih 50 mg, 65 mg, 80 mg, 95 mg, 110 mg, 125 mg, masyarakat kecil salah satunya sumur gali 140 mg, 155 mg, 170 mg, 185 mg dan 200 mg (SGL). dan masing-masing diberikan perlakuan Salah satu bahan untuk penjernihan air sebanyak 5 kali. adalah buah kelor yang banyak terdapat Hasil penelitian yang dilakukan tentang didaerah pedesaan dan perkotaan yang efektifitas dosis biji kelor dapat dilihat adanya biasanya dijadikan tanaman pagar, buah kelor perbedaan penurunan dari kesebelas dosis yang pembatas tanah,obat-obatan dan juga sesuai dengan hipotesis (Ha) yang diharapkan dimanfaatkan sebagai tempat penjalaran dan tujuan penelitian dimana pada dosis antara tanaman. buah kelor yang akan digunakan 170 mg/l sampai dengan dosis dalam penelitian ini adalah buah kelor yang 200mg/l(kelompok 4) yang paling efektif 57
diikuti dengan dosis 65 mg/l sampai dengan dosis 155 (kelompok 3) dan kemudian dosis antara 80 sampai dengan 110 mg/l (kelompok 2), sedangkan untuk dosis 50 mg/l sudah tidak efektif lagi untuk menurunkan kekeruhan air tapi justru membuat tingkat kekeruhan air malah menjadi bertambah. Hasil penelitian selama perlakuan untuk dosis 50 mg yang menyebabkan tingkat kekeruhan air menjadi bertambah karena dosis biji kelor yang dicampurkan ke dalam air tidak dapat mengikat kotoran yang ada didalamnya yang menyebabkan kekeruhan tapi justru dosis biji kelor itu ikut menjadi kotoran yang membuat kekeruhan itu.kalau dibandingkan dengan penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu efektifitas dosis arang sekam padi dalam menurunkan tingkat kekeruhan terhadap air sumur gali (Relly,2006) yang hasil dari penelitian itu didapati bahwa dosis yang paling besar dari arang sekam padi dapat menigkatkan tingkat kekeruhan dari air sumur gali itu dan
sedangkan untuk penelitian ini didapati dosis yang paling kecil yaitu dosis 50 mg/l itu yang dapat menyebabkan kenaikan kekeruhan air sumur gali, justru untuk dosis yang makin besar terlihat adanya kecendrungan bahwa makin besar dosis dari biji kelor yang dicampurkan kedalam air sumur gali yang keruh maka hasilnya dari absorbsi dan penetralisir biji kelor itu makin besar hasilnya. Kemampuan pengikatan dari biji kelor dengan kotoran dalam hal ini baik itu lumpur ataupun logam semuanya tergantung kepada zat aktif dari rhamnosyloxy-benzilisothiocyanate yang dapat mengabsorbsi dan menetralisir partikel-partikel Lumpur dan logam itu. Saat kita akan membuat paste yaitu dengan mencampurkan dosis biji kelor dengan air sebaiknya paste itu harus benar-benar sempurna dalam artian dosis yang dicampur air itu sebaiknya dihaluskan secara merata. Hal ini dilakukan agar supaya hasil dari biji kelor itu maksimal.
KESIMPULAN 1. Kekeruhan awal (dalam NTU) ke-55 sampel air sumur gali penelitian memiliki mean 374,9 (SD 227,1) NTU, di mana nilai ini bervariasi besar dari serendah 211 NTU hingga 983 NTU sedangkan untuk kekeruhan akhir memiliki mean 287,3818 dimana nilai ini bervariasi dari 18 NTU hingga 915 NTU 2. Mean selisih kekeruhan awal dan akhir dari ke-55 sampel adalah 87,5 (SD 76,9) NTU. Angka ini bervariasi dari serendah -14 NTU (angka negatif berarti kekeruhan akhir lebih tinggi dari kekeruhan awal, yakni penambahan biji kelor justru ―menambah‖ kekeruhan) hingga setinggi 255 NTU. 3. Dosis yang paling efektif dari penelitian ini yaitu dosis 170 mg, 185 mg dan dosis 200 (kelompok 4) dan kalau dilihat dari costeffectiveness maka dosis 170 mg adalah dosis yang paling efektif. SARAN 1. Bagi masyarakat dapat diinformasikan bahwa Biji Kelor bukan hanya dapat digunakan sebagai tanaman pagar saja tetapi Biji Kelor dapat digunakan sebagai
bahan pelengkap pada proses pengolahan air kotor untuk menurunkan kekeruhan. 2. Sangat perlu penelitian lebih lanjut mengenai letak pasti dari zat aktif rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate apakah ada didalam biji atau pembukus dari biji selain itu perlu lagi penelitian lanjut mengenai lamanya waktu penyimpanan dosis yang paling baik dan juga penelitian mengenai dosis efektif yang diatas 200 mg 3. Masyarakat perlu diberikan pelatihan teknik penggunaan Biji Kelor untuk menurunkan kekeruhan pada sumur gali mereka.
58
DAFTAR PUSTAKA Anderson CR. 1975. Petunjuk Modern Kepada Kesehatan. Bandung : Indonesian Publishing House. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2004. Cara Sederahana Menjernihkan Air. (Online), (www.bppt.go.id.htm, diakses 28 Februari 2008). Departemen Kesehatan RI. 1986. Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kualitas Air Tanah dan Hujan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Departemen Kesehatan RI. 1990. Pedoman Bidang Studi Pengawasan Pencemaran Lingkungan Fisik pada Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Pusat Pendidikan Tenaga Kerja Proyek Pengembangan Pendidikan Tengaa Sanitasi Pusat. Departemen Kesehatan RI. 1995. Materi Pelatihan Penyehatan Air. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Teknis Perbaikan Kualitas Air Pembuatan Sumur Gali. Jakarta : Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Fisik. Departemen Kesehatan RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius. Harsono H. 2002. Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu Dasar, 3(2) : 98-103. Puslitbank fisika terapan penjernihan air : penjernihan air dengan cara penyaringan I. www.warintek.Progressio.or.id/ttg/air/sa ring.htm.diakses 22 maret 2008 Patandung P, dkk. 1993. Penelitian Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa Untuk Arang. Manado : Departemen Perindustrian RI. Polii FF, dkk. 1994. Pengembangan Pembuatan Arang (Carbon) dari Batang Kelapa. Manado : Departemen Perindustrian RI. Sanropie Dj. 1984. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi (APK-TS). Jakarta. Siswanto. 1984. Studi Tentang Pengaruh Ketebalan Arang Sekam Sebagai Saringan Air Terhadap Penurunan Derajat Kekeruhan Air Kali Manyarsabiangan di Surabaya Tahun 1984. Surabaya : Departemen Kesehatan RI. Slamet JS. 1994. Kesehatan Lingkungan. Bandung : Gadjah Mada University Press. Sutrisno CT, dkk. 2004. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta : Rineka Cipta. Sudiarsa IW. 2004. Air Untuk Masa Depan. Jakarta : Rineka Cipta. Wardhana WA. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta : Andi.
59