perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DALAM KAITAN PERLINDUNGAN SAKSI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (INSES) (STUDI KASUS NO. REG. PERK : 87/SKRTA/EP.2/07/2010 DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)
SKRIPSI
Oleh: ANTON DWI KRASIANTO NIM: E. 1105003
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SUR AK AR TA commit to user
2011
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Nama
: Anton Dwi Krasianto
NIM
: E.1105003
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : KAJIAN NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DALAM KAITAN PERLINDUNGAN SAKSI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (INSES) (STUDI KASUS NO.REG.PERK : 87/SKRTA/EP.2/07/2010 DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Mei 2011 \
Yang membuat pernyataan
Anton Dwi Krasianto NIM. E.1105003
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan akan datang kemudahan, maka kerjakanlah urusanmu dengan sungguh-sungguh, dan hanya kepada Tuhanmu kamu berharap”. (Q.S. Alam Nasyrah:6-8)
“Orang yang berhati-hati akan berhasil mendapatlan keinginannya sedang orang yang terburu-buru akan jatuh tergelincir karena di dalam hidup ini akan ada detik-detik yang berharga” (Penulis)
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati karya kecil ini hendak penulis persembahkan kepada : ·
Allah SWT yang senantiasa memberikan kemudahan dalam setiap langkahku.
·
Baginda Rosulullah SAW dan para Sahabatnya RA yang berani dengan tegas dan tegar mengobarkan semangat Islam di dunia ini.
·
Para Wali Allah dan Para Ulama yang senantiasa istiqomah dalam mengemban tugas tugasnya dalam memberikan pencerahan.
·
Bapak dan Ibuku tercinta, yang selalu memberikan doa restu dimana dan kapanpun aku berada, dan hanya dengan doa restu mereka aku menjalani hidup ini dengan terarah.
·
Istriku tercinta, Dian Rosiana Aryanti.
·
Anakku tersayang, Tinjung Mustika Al Khansa.
·
Bapak/Ibu Mertua, Kakakku Tonik, Adikku Karisma, dan seluruh keluarga tercinta.
·
Teman-teman di Fakultas Hukum UNS.
·
Almamaterku.
·
Pembaca yang budiman.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar S1 Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adapun judul Skripsi ini adalah: “KAJIAN NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DALAM KAITAN
PERLINDUNGAN
SAKSI
KORBAN
TINDAK
PIDANA
PERKOSAAN (INSES) (STUDI KASUS NO. REG. PERK : 87/SKRTA/ EP.2/07/2010 DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA). Dalam penulisan Skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, SH. M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Kristiyadi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat selesai. 4. Bapak Muhammad Rustamaji, SH., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga skripsi ini dapat selesai. 5. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum., selaku Dewan Penguji Skripsi yang telah memberikan kritik dan saran pada skripsi saya sehingga skripsi saya dapat selesai. 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada Penulis, commit to userlebih luas. sehingga dapat memberikan wawasan yang vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Kepala Kejaksaan Negeri Surakarta dan seluruh staf yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis selama penelitian. 8. Bapak Jaksa Ikkeu. Bachtiar, SH., yang telah memberikan informasi kepada penulis selama penelitian. 9. Bapak dan Ibu tercinta, atas dorongan moril
maupun spirituil sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Istriku Dian Rosiana Aryanti tercinta dan Anakku Tinjung Mustika Al Khansa tersayang yang telah memberikan semangat untuk meraih asa. 11. Bapak, Ibu Mertua, Kakakku Tonik, Adikku Karisma, dan seluruh keluarga besarku, yang selalu memberikan dorongan dan dukungan kepada Penulis untuk terus berjuang dalam menempuh Studi IImu Hukum ini. 12. Sahabat-sahabatku (Andra Armika, Septian, Nugroho, Tomy, Ali, Endras, Hengki, Didik), terima kasih atas suport yang telah diberikan kepada penulis. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis yakin sepenuhnya tanpa bimbingan, arahan dan petunjuk dari pihak-pihak tersebut, Skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu segala bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tak terhingga. Semoga amal kebaikan tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini dapat memberikan manfaat pada pihak-pihak yang berkepentingan. Dan demi kesempurnaan penulisan Skripsi ini, segala sumbangan pemikiran dan kritik yang membawa kebaikan dengan senang hati penulis perhatikan.
Surakarta, April 2011
Anton Dwi Krasianto NIM. E. 1105003 commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ..............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................
vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI .........................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................
xi
ABSTRAK ............................................................................................................. xii BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
5
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
6
E. Metode Penelitian ..........................................................................
7
F. Sistematika Skripsi ........................................................................ 13 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 15 A. Kerangka Teori ............................................................................ 15 1.
Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti............................... 15
2.
Tinjauan Umum Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana.................................................................................... 25
3.
Tinjauan Umum Tindak Pidana Perkosaan ........................ 33
B. Kerangka Pemikiran .................................................................... 41 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 44 commit to user A. Hasil Penelitian ............................................................................ 44 ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pembahasan .................................................................................. 48 1. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi yang Dibaca kan Terhadap Tindak Pidana Perkosaan (Inses) Pada Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010. ............................. 48 2. Hambatan yang ditemui berkait dengan pemberian perlin – dungan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 7/SKRTA/Ep.2/07/ 2010. ............................................... 54 3. Dasar Penuntut Umum untuk melindungi saksi korban dengan tidak menghadirkan saksi korban perkosaan (inses) pada Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010. .................. 58 BAB IV
PENUTUP .......................................................................................... 61 A. Simpulan ..................................................................................... 61 B. Saran ............................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Skema Analisis Interaksi ............................................................... 12
Gambar 2.
Skematik Kerangka Pemikiran...................................................... 41
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Nama: ANTON DWI KRASIANTO, NIM: E. 1105003 “KAJIAN NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DALAM KAITAN PERLINDUNGAN SAKSI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (INSES) (STUDI KASUS NO. REG. PERK : 87/SKRTA/EP.2/07 /2010” Skripsi, 2011. Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui nilai pembuktian keterangan saksi yang dibacakan terhadap tindak pidana perkosaan. 2. Mengetahui hambatan yang ditemui dalam memberikan perlindungan saksi korban tindak pidana perkosaan. 3. Mengetahui dasar penuntut umum untuk melindungi saksi korban dengan tidak menghadirkan saksi korban di persidangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode empiris. Menurut bidangnya penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat diskriptif. Tempat yang digunakan untuk penelitian adalah di Pengadilan Negeri Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta. Jenis dan Sumber Data adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan wawancara (Interview) dan metode kepustakaan. Teknik analisis data dengan menggunakan model analisis interaksi melalui tiga unsur utama yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Dengan tiga kegiatan ini menjamin penelitian ini mendapatkan hasil yang valid dari tambahan data-data yang terkumpul dengan didukung teori yang ada sehingga penelitian ini tidak menyimpang dari konsep yang telah ada. Hasil penelitian: 1. Keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan terhadap terdakwa Arman Kadarisman al Naon, maka nilai pembuktian tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sama. Adapun nilai pembuktian tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas bagi hakim, 2. Hambatan yang ditemui berkait dengan pemberian perlindungan saksi korban perkosaan (inses): a. Subyektifitas Hakim dalam Memberikan Putusan Hukum. b. Hambatan berkaitan dengan ranah domestik (hubungan rumah tangga). Dasar Penuntut umum untuk melindungi saksi korban dengan Tidak Menghadirkan Saksi Korban: Pasal 9 UU RI No. 13 Tahun 2006, bahwa Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Saran yang diajukan dalam penelitian ini: 1. Bagi Hakim dalam menghadapi atau memeriksa perkara tindak pidana perkosaan di lingkungan keluarga hendaknya lebih bersikap progresif, demi lancarnya jalanya proses pemeriksaan perkara guna mencapai kebenaran yang diharapkan. Kata kunci : Nilai pembuktian, keterangan saksi, tindak pidana, perlindungan hukum.
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial dewasa ini, banyak terjadi kejahatan perkosaan terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Contoh kasus: 1. Di Sleman, Yogyakarta, seorang pria divonis 2 tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Sleman dengan tuduhan pria tersebut memperkosa gadis dibawah umur, sebut saja “Mawar” (16 tahun) yang diperkosa beberapa kali di penginapan, serta menjual handphone milik korban untuk membayar penginapan tersebut”.(harian kedaulatan rakyat) 2. Di Karangdoro, Jawa Timur, seorang gadis diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri. Korban yang bernama Eni (18 tahun) mengaku diperkosa oleh kakaknya yang bernama Sukri (38 tahun) lalu menjualnya ke Surabaya selama 2 tahun berturut-turut.(tayangan derap hukum SCTV)
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang menyatakan: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Sudarto berpendapat (seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief
dalam
bukunya
Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana)
bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari Kebijakan
masyarakat, atau
defence).
utama
dari
politik
untuk mencapai Alasan
dengan
cara
politik kriminal.
upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya
merupakan bagian integral (social
yaitu
dari
Oleh karena
upaya perlindungan itu
dapat
kriminal adalah
dikatakan,
masyarakat bahwa
“perlindungan
tujuan
masyarakat
kesejahteraan masyarakat”. kasus-kasus
perkosaan
tidak dilaporkan
oleh
korban kepada aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin
aib yang menimpa dirinya diketahui oleh
orang
lain, atau
korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan ini tentu para
kejadian
tersebut
kepada
polisi. Hal
saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari to user korban dan juga commit berpengaruh pada proses penegakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
hukum itu sendiri
untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan
masyarakat. Upaya
perekayasaan
hukum
tentang
perkosaan
di
Indonesia kiranya merupakan momentum yang tepat karena pembangunan hukum di dalam era Pembangunan Jangka Panjang II antara lain bertujuan untuk hukum
melaksanakan
penyusunan
suatu
sistem
(pidana) nasional. Sekalipun naskah rancangan KUHP Nasional (di
bawah judul: Tindak Kesusilaan
Pidana
Terhadap
Perbuatan
di muka umum, Bab XVI Pasal
Melanggar
467) sudah selesai
disusun namun rancangan ketentuan sekitar tindak pidana di bidang kesusilaan masih
(bukan
jenisnya melainkan
memerlukan
kajian
konstruksi
hukumnya)
secara khusus terutama dari sudut
pendekatan kriminologi dan viktimologi. Faktor
korban
berperan
penting
untuk
dapat
mengatasi
atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban
untuk melaporkan
polisi, karena
pada umumnya
dilakukan perkosaan takut
kejadian
yang menimpanya
korban mengalami
kepada
ancaman
lagi dari pelaku dan hal ini membuat
akan korban
dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat
terbuka dan
dapat
dilakukan
proses
pemeriksaan
sehingga
korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya.
Menjadi suatu dilema apabila orang yang masih dekat kekerabatannya menjadi pelaku perkosaan, apalagi hal itu dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya siendiri (inses). Ayah sebagai orang tua yang menjadi panutan dalam keluarga tentunya dapat menjadi orang yang dihormati, tetapi manakala orang tua tersebut melakukan suatu tindak pidana berupa pemerkosaan terhadap anaknya sendiri, maka timbul permasalahan antara megnaku telah diperkosa apa tidak, dilaporkan ke polisi atau tidak. Tentu saja semua tindakan ini akan menjadi dilema yang dipertaruhkan. Kalau tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
dilaporkan semakin memperluas kebebasan berbuat pidana tetapi kalau dilaporkan bagaimana nanti kebutuhan hidup yang akan datang. Tindak pidana perkosaan adalah terhadap
perempuan
perempuan,
yang merupakan
utamanya
terhadap
salah satu bentuk kekerasan contoh kerentanan
kepentingan
seksual
posisi laki-laki.
Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual lakilaki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa
harus selalu menghadapi
kekerasan,
pemaksaan
dan
penyiksaan fisik serta psikis. Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan baik melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan kebijakan
sosial,
dalam baik
kebijakan oleh
hukum
lembaga
pidana dan kebijakan-
eksekutif,
legislatif
dan
yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada. Berdasarkan tujuan untuk mewujudkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi
pada
dasarnya
merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang jaminan sosial. Bertitik tolak dari uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang dewasa dengan fokus utama mengenai bagaimana kekuatan dan nilai pembuktian keterangan saksi yang dibacakan dalam kaitannyan perlindungan saksi. Berdasarkan alasan tersebut maka judul penulisan dalam penelitian ini adalah: “KAJIAN NILAI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DALAM KAITAN PERLINDUNGAN SAKSI KORBAN
TINDAK PIDANA
PERKOSAAN (INSES) (Studi Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010 di Pengadilan Negeri Surakarta)”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangat penting karena merupakan suatu pedoman untuk mendapatkan gambaran yang terarah dan mempermudah dalam membahas apa yang akan diteliti, sehingga sasaran dan tujuan yang diharapkan akan dapat tercapai. Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang dibacakan terhadap tindak pidana perkosaan pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010? 2. Hambatan apa saja yang ditemui berkait dengan pemberian perlindungan saksi
korban
perkosaan
(inses)
pada
kasus
No.
Reg.
Perk:
87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010? 3. Apa yang mendasari Penuntut Umum untuk melindungi saksi korban dengan tidak menghadirkan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan, selalu memiliki tujuan tertentu. Tujuan penelitian adalah hal-hal yang hendak dicapai oleh penulis melalui penelitian. Melalui penelitian ini yang berhubungan dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
1.
Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang dibacakan terhadap tindak pidana perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010. b. Untuk mengetahui hambatan yang ditemui berkait dengan pemberian perlindungan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010. c. Untuk mengetahui dasar Penuntut Umum untuk melindungi saksi korban dengan tidak menghadirkan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010.
2.
Tujuan Subyektif. a. Untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan khususnya dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya yang berkaitan dengan bidang Hukum Acara Pidana, dengan harapan dapat bermanfaat di kemudian hari. c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran badi ilmu hukum.
D. Manfaat Penelitian Tiap penelitian harus dipahami dan diyakini manfaatnya bagi pemecahan masalah yang diselidikinya. Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yaitu segi teoritis dan praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian yang penulis lakukan adalah : 1.
Manfaat Teoritis a. Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas commit to user Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan bidang Hukum Acara Pidana pada khususnya. c. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan data sekunder bagi penelitian berikutnya. 2.
Manfaat Praktis a. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang ilmu hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya. b. Dapat memberikan suatu data dan informasi tentang pertimbangan hakim dalam melaksanakan hak-hak perempuan melalui pemberian keputusan pada kasus perkosaan. c. Untuk mencocokkan bidang keilmuan yang selama ini diperoleh dalam teori-teori dengan kenyataan dalam praktek.
E. Metode Penelitian Metode merupakan unsur yang sangat penting dalam penelitian untuk mendapatkan data yang validitasnya tinggi. Tanpa suatu metode, maka seorang peneliti akan sulit menentukan, merumuskan, dan memecahkan masalah dalam mengungkapkan kebenaran. Metode penelitian adalah “Suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan pengujian” (Winarno Surachman, 1990 : 26). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
Metode dapat digunakan untuk menganalisa, mempelajari dan memahami keadaan-keadaan yang dihadapi. Sehingga penelitian akan disebut ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan metode yang tepat. 1.
Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian empiris. Pada penelitian empiris maka data yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder yaitu surat putusan pidana No 148/Pid.B/210/PN.SKA. dan surat dakwaan No 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010, kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada data primer di lapangan atau terhadap masyarakat ((Soerjono Soekanto, 2006 : 52 ). Dalam penelitian ini penulis melakukan peneliitian pada data primer yaitu di Pengadilan Negeri Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta.
2.
Sifat Penelitian Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah “Suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka penyusun teori baru” (Soerjono Soekanto, 1998 : 10). Dalam pelaksanaan penelitian deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai pengumpulan dan penyusunan data saja tetapi, juga meliputi analisa dan interprestasi data yang pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang dapat didasarkan penelitian data itu.
3.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada datadata yang dinyatakan responden secara lisan atau tulisan, dan juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1998 : 250). Pendekatan kualitatif ini penulis gunakan karena beberapa pertimbangan antara lain : a. Metode ini mampu menyesuaikan secara lebih mudah untuk berhadapan dengan kenyataan. b. Metode ini lebih peka dan lebih mudah menyesuaikan diri dengan banyak penajaman terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. 4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Pengadilan Negeri Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta, dengan alasan bahwa di Pengadilan Negeri Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta terdapat bahan permasalahan penelitian mengenai perkosaan seperti yang penulis teliti. 5. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data primer adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan, baik dengan cara wawancara dan observasi terhadap responden dalam penelitian. b. Data Sekunder Data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara tidak langsung pada sumbernya. Sumber data adalah tempat ditemukannya data. Adapun data dari penelitian ini diperoleh dari dua sumber yaitu: Pertama, sumber data primer yang berasal dari Pengadilan Negeri Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta. Kedua adalah sumber data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu kaidah dasar, peraturan perundangundangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
b. Data sekunder, adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh melalui hasil karya dari kalangan hukum, hasil-hasil penelitian, putusan pengadilan, dan artikel koran serta bahan lain yang berhubungan dengan pokok bahasan. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, Kamus Besar Bahas Indonesia dan sebagainya 6. Teknik Pengumpulan Data Dalam memperoleh data yang lengkap untuk penelitian ini menggunakan data yang bersifat primer maupun sekunder sebagai berikut: a. Data Primer Data yang diperoleh melalui studi langsung ke lapangan, dalam hal ini di Pengadilan Negeri Surakarta dan Kejaksaan Negeri Surakarta. Adapun data yang diperoleh melalui: 1) Wawancara (Interview) Yaitu proses tanya jawab secara langsung dua orang atau lebih berhadapan secara langsung atau tidak. Dalam penelitian ini menggunakan interview yang bebas terpimpin yaitu interview dalam pengumpulan data secara bebas dengan pengumpulan data berupa catatan-catatan mengenai pokok-pokok yang ditanyakan sehingga masih memungkinkan variasi pertanyaan sesuai dengan kondisi saat melakukan interview. Adapun wawancara dilakukan terhadap Jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta yang melakukan penuntutan terhadap kasus perkosaan yaitu Hakim Sugeng Budiyanto, SH dan Jaksa Ikeu Bachtiar, SH. 2) Observasi Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap objek yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
diteliti yaitu di
Pengadilan Negeri Surakarta dan Kejaksaan
Negeri Surakarta. b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan atau library research guna memperoleh landasan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan teori. Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, buku-buku yang berhadapan dengan materi kemudian diselaraskan dengan bahan dari kepustakaan sebagai bahan acuan dari bahan referensi penelitian. Studi
kepustakaan
mengidentifikasikan
ini
dilakukan
literatur-literatur
dengan yang
mempelajari berupa
dan
buku-buku,
peraturan-peraturan, dokumen, artikel-artikel serta hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli. 7.
Teknik Analisis Data Dalam pemecahan masalah penarikan kesimpulan dari kasus yang diteliti penelitian ini sangat tergantung dari analisis data sehingga diperoleh penelitian yang mempunyai kualitas yang baik. Pada analisa data, data dikerjakan dan digunakan sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran
untuk
menjawab
persoalan-persoalan
yang
diteliti dengan kebenaran analisa berdasarkan literatur dan dasar teori yang ada. Penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh, mengidentifikasikan, mengklarifikasikan, menghubungkan dengan teori yang mendukung masalah kemudian menarik kesimpulan. Analisis kualitatif dalam penelitian ini dengan menggunakan model analisis interaksi, yaitu melalui tiga unsur utama yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Dengan tiga kegiatan tersebut, penelitian ini diharapkan mendapatkan hasil yang valid. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Adapun tiga kegiatan yang utama dalam penelitian yaitu sebagai berikut: a. Data reduksi Merupakan proses seleksi, pemfokusan, dan penyederhanaan data pada penelitian. Data yang telah teridentifikasikan tersebut lebih memudahkan dalam penyusunan. b. Penyajian data Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan. c. Menarik kesimpulan Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi pencatatanpencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan (HB. Sutopo, 2002 : 37). Untuk lebih memudahkan mempelajari konsep analisis interaksi penelitian ini dibuat sebagai berikut : PENGUMPULAN DATA
SAJIAN DATA
REDUKSI DATA
KESIMPULAN
Gambar 1 Skema Analisis Interaktif Dengan model analisis ini, maka peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bolak commit to user balik diantara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
selama sisa waktu penelitian. Aktivitas yang dilakukan dengan proses itu komponen-komponen tersebut akan didapat yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara diskrptif, yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan masalah yang diteliti dan data yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian diambil kesimpulan dan langkah tersebut tidak
harus urut tetapi berhubungan terus menerus
sehingga membuat siklus (HB, Sutopo, 2002 : 13).
F. Sistematika Skripsi Dalam penelitian ini akan diuraikan secara sistematis keseluruhan isi yang terkandung dalam skripsi ini. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kerangka teoritis yang menjadi landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan hukum ini tinjauan pembuktian dan alat bukti, tinjauan umum perlindungan korban dan saksi, dan tinjauan umum tentang tindak pidana perkosaan serta kerangka pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh dari proses meneliti. Masalah yang commit to user1. Nilai kekuatan pembuktian dibahas antara lain adalah:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
keterangan saksi yang dibacakan terhadap tindak pidana perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010. 2. Hambatan yang ditemui berkait dengan pemberian perlindungan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/
2010, dan 3. Dasar Penuntut Umum
melindungi saksi korban dengan tidak menghadirkan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010. BAB IV PENUTUP Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian. Menurut
R.
Subekti
(2006:1)
yang
dimaksud
dengan
“Membuktikan” adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, dan bukanlah untuk mencari kesalahan seseorang. Tugas hakim atau pengadilan adalah menetapkan hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-undang, menetapkan apakah yang “hukum” atas pihak yang bersangkutan. Dalam melakukan pemeriksaan tadi hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan hukum pembuktian. Keyakinan hakim ini harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Dengan alat bukti ini masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan untuk memutusi perkara. Van Bemmelen dalam Suryono Sutarto (1985 : 34) mengatakan bahwa maksud dari pembuktian (bewijzen) sebagai berikut : “bewijzen is derhalve door onderzoek en redenering van de rechtereen redelijke mate van zekerheid de verschaffen” : 1) omtrent de vraag of bepaalde feiten hebben plauts gevonden; commit to user 2) omtrent de vraag waarom dit het geval is geweest. 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16 Bewijzen bestaat dus uit : 1) het wijzen op waarneembare feiten; 2) mededeking van waargenomen feiten; 3) logisch denken. Terjemahannya kurang lebih demikian: maka pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim: 1) Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah terjadi. 2) Mengenai pertanyaan apakah mengapa peristiwa ini telah terjadi Dari itu pembuktian terdiri dari : 1) Menunjukkan peristiwa-peristiwa tentang peristiwa-peristiwa yang dapat diterima panca indera; 2) Memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut; 3) Menggunakan pikiran logis. Dengan menunjukkan
demikian hal-hal
pengertian yang
dapat
membuktikan ditangkap
sesuatu oleh
berarti
pancaindera
mengutamakan hal-hal tersebut, dan berpikir secara logika. b. Alat-alat Bukti Di dalam pemeriksaan suatu perkara pidana, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi bahwa terdakwa benar-benar bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan barang bukti adalah barangbarang yang dapat menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana baik digunakan sebagai alat, hasil dari suatu kejahatan ataupun yang menunjukkan bekas telah terjadinya suatu tindak pidana. Gunanya barang bukti adalah untuk memperkuat alat-alat bukti yang sah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17 Yang disebut “terbukti dengan sah dan meyakinkan” apabila sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang bisa membuat Hakim yakin bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Berdasarkan hal tersebut maka syarat-syarat seseorang dapat dipidana apabila: (1) Ada alat bukti yang sah sekurang-kurangnya dua alat bukti; (2) Adanya keyakinan Hakim; (3) Adanya kesalahan yang didakwakan kepada dirinya (4) Yang bersangkutan dapat dianggap bersalah. Hakim dalam menjalankan tugasnya mencari kebenaran materiil wajib mentaati ketentuan-ketentuan tentang alat-alat bukti yang disebut dalam
undang-undang.
Adapun
alat-alat
bukti
yang
dimaksud
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah : (1) Keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat; (4) petunjuk; dan (5) keterangan terdakwa. 1) Keterangan saksi; Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan: Keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan
pengertian
keterangan
saksi
sebagai
alat
bukti,
dicantumkan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Untuk menjadi saksi dalam suatu perkara pidana maka terdapat syarat objektif dan subjektif yang harus dipenuhi. Syarat-syarat objektif untuk bisa menjadi saksi: a) Dewasa, telah berumur 15 tahun atau pernah kawin; b) Sehat akalnya c) Tidak ada hubungan keluarga baik karena pertalian darah atau karena perkawinan dengan terdakwa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18 Sedangkan syarat-syarat subjektif saksi adalah: Mengetahui secara langsung terjadinya peristiwa pidana, ialah melihat, mendengar atau merasakan sendiri. Dalam
memberikan
kesaksian, keterangan
saksi harus
memenuhi 2 syarat, yaitu : a) Syarat formil, dan b) Syarat materiil Mengenai syarat formil dapat dijelaskan, bahwa keterangan saksi seorang saksi dianggap sah, jika diberikan di bawah sumpah menurut cara agamanya (Pasal 160 ayat 3). Sedangkan keterangan saksi yang tidak disumpah menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP, “maka keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain”. Bagi saksi yang belum cukup 15 tahun atau karena ada hubungan keluarga dapat didengar tanpa disumpah dan keterangan dapat dijadikan tambahan bahan pertimbangan bagi Hakim. Bagi saksi yang meninggal sebelum didengar sebagai saksi tetapi di depan penyidik telah bersumpah, maka keterangannya mempunyai nilai yang sama dengan keterangan di depan sidang. Selanjutnya sebagai syarat formil, dinyatakan pula bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya (Pasal 185 ayat 2). Adapun mengenai syarat materiil dapat dikemukakan bahwa dinyatakan Pasal 1 butir 27 jo. Pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut dinyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan commit to user alasan dari pengetahuannya itu. Oleh karena itu keterangan saksi yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19 tidak didasarkan pada apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, tidak dapat dipakai sebagai alat pembuktian yang sah. Dengan demikian suatu kesaksian yang didengar dari orang lain (testomonium de auditu) tidak diakui oleh undang-undang sebagai alat pembuktian yang sah. Menurut Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan
seorang
saksi,
Hakim
harus
bersungguh-sungguh
memperhatikan : a) Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain: b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi factor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan “keterangan saksi” yang ditempatkan menjadi alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Seringkali saksi tidak dapat dihadirkan dalam persidangan, dikarenakan rasa takut karena ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan atau hartanya termasuk keluarganya, maka saksi wajib mendapat perlindungan khusus dari negara. Perlindungan khusus yang diberikan kepada saksi atau saksi korban adalah tanggung jawab dari Polri, kan tetapi Pununtut Umum (Kejaksaan) maupun Hakim (Pengadilan) juga diberi kewajiban untuk memberi perlindungan kepada saksi pada tahapan pemeriksaan yang menjadi kewenangan masing-masing. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjamin hak saksi dan korban pelanggaran HAM atas perlindungan fisik dan mentalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 34 yang berbunyi: (1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. (3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Adapun
perlindungan
terhadap
saksi/korban
dalam
memberikan kesaksiannya dalam persidangan dapat dilakukan dengan tanpa menghadirkan saksi dalam persidangan. Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2002 yang berbunyi : Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi : a.
Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental;
b.
Perahasiaan identitas korban atau saksi;
c.
Pemberian
keterangan
pada saat
pemeriksaan
di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. Berdasarkan bunyi Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2002 tersebut maka dalam persidangan saksi atau korban dapat memberikan kesaksian tanpa harus bertatap muka dengan tersangka atau tanpa dihadirkan dalam persidangan. Saksi juga sering merasa tertekan atau takut kalau harus memberikan keterangan di hadapan tersangka atau terdakwa sehingga kesaksiannya
dikhawatirkan
menjadi
kurang
objektif.
Untuk
menghindari hal itu maka Hakim Ketua sidang dapat mendengarkan keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa keluar dari ruang sidang, akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21 terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidak hadir. Hal ini mengacu pada Pasal 173 KUHAP sebagai berikut: “Apabila menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal yang tidak diinginkan hakim dapat menyuruh terdakwa keluar untuk sementara dari persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan”. Untuk menunjang hak dari saksi dan korban dalam memberikan kesaksian tanpa dihadirkan dalam persidangan diatur dalam pasal 116 KUHAP, sebagai berikut: (1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. (2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan satu yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya. Menurut Yahya Harahap (2008 : 182) mengatakan bahwa, nilai kesaksian yang dibacakan dapat digolongkan sebagai berikut : 1) Sama nilainya dengan keterangan saksi yang berhalangan hanya dibacakan saja di persidangan Sekalipun keterangan saksi yang berhalangan hanya di bacakan di persidangan namun nilai keterangan itu “disamakan dan sederajat” dengan keterangan seorang saksi yang disumpah di persidangan,
apabila
keterangan
itu
dalam
pemeriksaan
penyidikan “diberikan di bawah sumpah”. Pasal 116 ayat (1) memberi kemungkinan bagi penyidik untuk menyumpah seorang saksi dalam pemeriksaan penyidikan jika benar-benar cukup alasan untuk “menduga” bahwa saksi yang bersangkutan tidak dapat hadir dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Memang prinsip pemeriksaan saksi di depan penyidik tidak disumpah. Akan tetapi, dalam hal tertentu, apabila cukup alasan saksi diduga tidak dapat hadir dalam pemeriksaan sidang pengadilan, penyidik user pada waktu penyidik meminta dapat menyumpahcommit saksi. to Misalnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22 keterangan saksi yang sudah dapat diduga akan meninggal dunia sebelum perkara itu diperiksa di sidang pengadilan. Atau seorang saksi yang bertempat tinggal di luar negeri, sudah cukup alasan untuk menduganya akan berhalangan menghadiri pemeriksaan sidang pengadilan. 2) Golongan kedua, nilai keterangan yang dibacakan hanya merupakan keterangan biasa yang dapat dipergunakan hakim untuk menguatkan keyakinannya. Apabila keterangan saksi yang dibacakan merupakan keterangan yang diberikan tanpa sumpah dalam pemeriksaan penyidikan, nilai keterangan yang dibacakan di sidang pengadilan hanya bersifat dan bernilai “keterangan biasa:. Akan tetapi, sekalipun nilainya keterangan biasa, dapat dipergunakan hakim untuk “menguatkan” keyakinannya. Jadi keterangan saksi
yang
dibacakan seperti ini “tidak bernilai” sebagai alat bukti, tapi sebagai keterangan biasa dan hakim tidak terikat untuk menilainya. Menurut Muchamad Iksan (2009 : 135) mengatakan bahwa: “Perlindungan terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan dan atau permohonan yang disampaikan oleh korban dan saksi. Permohonan tersebut disampaikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahap penyelidikan, atau kejaksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan, atau pengadilan pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan”. Berdasarkan pendapat tersebut maka syarat-syarat saksi untuk tidak dihadirkan dalam persidangan adalah : a) Adanya inisiatif dari aparat penegak hukum setelah melihat kondisi fisik dan psikis saksi atau korban pada kewenangan masingmasing,
yaitu
kepolisian
pada
tahapan
penyelidikan
dan
penyidikan, kejaksaan pada tahapan penyidikan dan penuntutan, dan hakim pada saat pemeriksaan di persidangan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23 b) Permohonan saksi atau korban yang ditujukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 2) Keterangan ahli; Pengertian umum dari keterangan ahli dicantumkan dalam Pasal 1 butir 28, yang menyebutkan: “keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Selanjutnya dalam Pasal 186 KUHAP disebutkan: “keterangan ahli sebagai alat pembuktian yaitu apa yang seorang ahli menyatakan dalam sidang pengadilan”. Dengan demikian jelas bahwa keterangan dari seorang ahli harus dinyatakan dalam sidang. Seorang yang ahli dalam bidang tertentu wajib memberikan keterangannya jika diminta pendapatnya, demi keadilan (Pasal 179). Apabila seorang saksi ahli membuat keterangan dengan tulisan, maka bukan merupakan keterangan ahli (bukan di sidang pengadilan), tetapi merupakan bukti surat. Sebelum memberikan keterangan seorang ahli bersumpah. Perlu dikemukakan di sini bahwa menurut hukum acara pidana yang lama (HIR) keterangan ahli ini hanya berlaku sebagai penerangan (inlichtingen) saja untuk menguatkan keyakinan Hakim yang masih bimbang. Jadi dalam hal ini Hakim mempunyai kebebasan memilih bahwa keterangan tersebut akan dipergunakan atau tidak. Namun kini secara tegas dinyatakan bahwa keterangan ahli ini sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang (Pasal 184). 3) Surat Dalam Pasal 187 KUHAP disebutkan: Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c. dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a)
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh commit to user atau dibuat di hadapannya, yang pejabat umum yang berwenang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24 memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal-hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan. c)
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat: pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian Dengan surat baik akta autentik maupun akta di bawah tangan, dimaksudkan sebagai bukti tentang sesuatu hal yang termuat di dalamnya. 4) Petunjuk Menurut Pasal 188 ayat (1), petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari : a) Keterangan saksi; b) Surat; c) Keterangan terdakwa. Dengan demikian petunjuk adalah suatu kesimpulan dari Hakim tentang suatu hal, atas dasar beberapa hal yang satu sama lain saling bersesuaian. 5) Keterangan terdakwa. Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu commit to user bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25 sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu. Artinya ialah bahwa Hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan atas pada dalil-dalil tersebut (R. Subekti, 2005 : 51). Pengakuan terdakwa ialah pernyataan terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana dan menyatakan dialah yang bersalah. Dalam Pasal 189 dinyatakan : “Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahuinya sendiri atau dialaminya sendiri”. Jadi keterangan terdakwa itu sebagai alat bukti harus dinyatakan di sidang. Sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Dalam
hubungannya dengan
ini,
Pasal
175 KUHAP
menyatakan bahwa, “Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab, hakim ketua sidang memperingatkan supaya terdakwa menjawabnya. Dalam hal ini hakim ketua sidang tidak dapat memaksa terdakwa yang tetap tidak mau menjawab pertanyaan tidak ada sanksi pidananya” (Suryono Sutarto, 1985 : 28).
2. Tinjauan Umum Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana a. Perlindungan Saksi dan Korban Salah satu bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26 Dalam hal memberi kesaksian di depan pengadilan saksi sering mendapat ancaman dari pihak tersangka ataupun dari berbagai pihak yang berhubungan dengan tersangka agar ia tidak memberikan kesaksian yang benar atau bahkan memberikan kesaksian palsu. Dengan berbagai ancaman dari berbagai pihak ini, saksi menjadi takut atau merasa terancam sehingga tidak dapat memberikan kesaksian sebagaimana mestinya. Dengan alasan ini maka penegak hukum wajib memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Untuk itu pemerintah menerbitkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa : (1) Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. (2) Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. (3) Lembaga perlindungan saksi dan korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. (4) Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana. (5) Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban. (6) Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27 Berdasarkan Pasal 1 UU RI No. 13 Tahun 2006 di atas jelas bahwa saksi dan korban adalah orang yang mempunyai fungsi sebagai bukti yang kuat dalam suatu tindak pidana, dan untuk keamanan dirinya pribadi maupun keluarganya karena sering adanya ancaman dari pihak pelaku atau pihak lain yang berhubungan dengan pelaku, maka saksi dan/atau korban berhak mendapatkan jaminan keamanan atau perlindungan atas diri sendiri maupun keluarganya. Sedangkan dalam UU No. 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan HAM, saksi dikonstruksikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Sedangkan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan berat, dan kekerasan dari pihak manapun (Muchamad Iksan, 2009 : 135). Salah satu upaya perlindungan ini yaitu dengan didirikannya suatu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang disngkat dengan LPSK yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban. Undang-undang ini diterbitkannya sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau koraban dalam semua tahap proses peradilan sebagaimana disebutkan dalam Undangundang ini Pasal 2 sebagai berikut: “Undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses commit to userperadilan”. peradilan pidana dalam lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28 Adapun asas perlindungan saksi dan korban ini sesuai dengan Pasal 3 UU RI No. 13 Tahun 2006 adalah : Perlindungan saksi dan korban berasaskan pada : a. b. c. d. e.
penghargaan atas harkat dan martabat manusia; rasa aman; keadilan; tidak diskriminatif; dan kepastian hukum. Dari Pasal 3 tersebut di atas jelas bahwa perlindungan terhadap
saksi berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, kadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Sehingga upaya perlindungan terhadap saksi dan/atau korban ini tidak hanya untuk kepentingan saksi dan/atau korban saja tetapi juga demi tegaknya kepastian hukum dimana apa yang akan dikemukakan saksi dan/atau korban di depan persidangan merupakan suatu bukti yang nantinya akan berpengaruh terhadap putusan hakim dalam suatu persidangan perkara pidana. Selanjutnya dalam Pasal 4 UU RI No. 13 Tahun 2006 disebutkan tujuan dari perlindungan saksi dan korban ini adalah: “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”. b. Hak-hak Korban
Tindak Pidana dilihat dari Undang-undang
Perlindungan Saksi Korban Perlindungan dan hak saksi dan korban diatur dalam UU RI No. 13 Tahun 2006 Bab II Pasal 5 sebagai berikut : (1) Seorang saksi dan korban berhak : a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; commit to tanpa user tekanan; c) Memberikan keterangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29 d) e) f) g) h) i) j) k)
Mendapat penerjemah; Bebas dari pertanyaan yang menjerat; Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Mendapat identitas baru; Mendapatkan tempat kediaman baru; Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l) Mendapatkan nasehat hukum; dan / atau m)Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK Sementara itu pada korban pelanggaran hak asasi yang berat, akan mendapatkan perawatan khusus sebagaimana pasal 6 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut: “Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak mendapatkan: a) Bantuan medis; dan b) Bantuan rehabilitasi psiko-sosial” Apabila korban merasa dirugikan oleh tersangka, maka korban mempunyai hak untuk mengajukan hak kompensasi dan hak restitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut : (1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa : a) Hak kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. b) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatura dengan Peraturan Pemerintah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30 Adapun lamanya perlindungan hukum atas hak korban dan / atau saksi diatur dalam Pasal 8 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut: “Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini” Perlindungan hak kepada korban dan/atau saksi diberikan bilamana terjadi ancaman dari pihak-pihak tertentu. Adapun bila ancaman yang dirasa oleh korban dan/atau saksi terlalu berat maka korban dan/atau saksi boleh tidak secara langsung memberikan persaksian di pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut : (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksian secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. (3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Dalam memberikan kesaksian pada saat jalannya persidangan korban dan/atau saksi atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut: (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan. (2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31 (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Dengan berlakunya UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi korban, memberikan harapan yang cerah atas perlindungan hak-hak saksi korban, termasuk di dalamnya korban tindak pidana perkosaan dimana korbannya adalah perempuan. Dari beberapa hal yang merupakan hak perempuan korban perkosaan tersebut, nampaknya belum satu pun yang melaksanakan secara nyata di dunia hukum Indonesia. Apalagi dari pihak aparat penegak hukum khususnya hakim. Secara kasuistis, belum ada pelaku perkosaan yang dihukum secara maksimal, sehingga masyarakat khususnya kaum perempuan merasa
benar-benar
terlindungi.
Hal
ini
disebabkan
untuk
menjatuhkan pidana maksimal terhadap pelaku, kasus harus ada buktibukti yang cukup kuat untuk mendukungnya. Apabila bukti-bukti yang ada belum sepenuhnya mendukung, hukum yang dijatuhkan harus disesuaikan dengan bukti yang ada tersebut. Jadi tidak asal menjatuhkan hukuman. Namun juga harus disertai dengan dasar-dasar atau alasan apa yang menjadi sebab-sebab terjadinya tindak perkosaan itu. Dalam proses peradilan kasus perkosaan, praktisi hukum beranggapan bahwa dengan dihukumnya pelaku oleh pengadilan, maka hak-hak hukum dari korban sudah ikut melaksanakan dan mendapat perlindungan. Padahal tentu saja hal itu belum cukup bagi pihak korban. Selama ini, dalam memberikan keputusannya hakim tidak mempertimbangkan beberapa aspek yang penting, yang berkaitan dengan masa depan korban. Aspek-aspek tersebut ialah rehabilitasi, reproduksi, ekonomi, dan sosial dari pihak korban. Dengan melaksanakan aspek-aspek tersebut, hak-hak perempuan korban commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32 perkosaan akan dapat dilaksanakan oleh hakim melalui keputusannya, karena selama ini hak-hak perempuan korban perkosaan
telah
terabaikan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak kekerasan yang telah diatur lebih banyak merupakan tindak kekerasan secara fisik. Rumusan mengenai tindak kekerasan ini sebagian besar bersifat umum dilihat dari segi korban, yaitu: 1) Pornografi (Pasaldd 282) 2) Perbuatan cabul (pasal 290) 3) Penganiayaan (Pasal 351) 4) Pembunuhan (Pasal 338) 5) Penculikan (Pasal 328) Disamping kejahatan-kejahatan di atas, sejumlah tindak pidana fisik lainnya ternyata tidak diberi sanksi, padahal banyak sekali tindakan-tindakan yang merugikan harkat dan martabat perempuan atau viktimisasi terhadap perempuan
yang tidak mendapatkan
tindakan hukum bagi pelakunya, misalnya : incest, marital rape, sexual harassment. Tindak kekerasan non fisik yang dapat terjadi pada perempuan, yang ada sanksinya adalah penghinaan di muka umum yaitu dengan Pasal 310 KUHP. Tetapi kenyataannya pasal ini sangat jarang dipergunakan untuk membawa suatu kasus ke dalam proses peradilan pidana, disebabkan pada struktur dan budaya masyarakat yang ada, termasuk persepsi perempuan sendiri tentang kedudukan mereka di dalam masyarakat. Perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan sebenarnya telah ada seperti yang dijelaskan di atas yaitu dengan dimasukkannya perlindungan
hukum
terhadap
kasus-kasus
kekerasan
yang
menimpanya. Tetapi kelemahannya adalah persepsi masyarakat yang memandang kedudukan perempuan sebagai suatu bias gender dimana commit to masih user dinomerduakan. harkat dan martabat perempuan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33 3. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perkosaan a. Pengertian Tindak Pidana Dalam Wet boek van Strafrecht (WvS) atau KUHP dikenal istilah Straf boar feit, oleh bebarapa ahli straf boar feit sering diartikan sebagai tindak pidana perbuatan pidana dan peristiwa pidana. Kementerian kehakiman sering memakai istilah tindak pidana dalam perundangundangan. Meskipun “tindak” lebih pendek daripada perbuatan tapi “tindak” tidak menunjukkan hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan kongkrit sebagaimana halnya dengan peristiwa, dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerakgerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal sebagai tindak tanduk tindakan dan bertindak, belakangan juga sering dipakai istilah “tindakan”. Simoun. Menerangkan bahwa straf boar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel, merumuskan sebagai berikut: straf boar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet. Yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (staf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. (Moeljatno, 2000 : 56-57) Jika melihat pengertian di atas, maka pada intinya : 1) Bahwa feit dalam straf boar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku. 2) Bahwa pengertian straf boar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Mengenai
yang
pertama,
ini
berbeda
dengan
pengertian
“perbuatan” dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan dan to user atau singkatnya kelakuan dan kejadian yang ditimbulkancommit oleh kelakuan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34 akibat, bukan hanya kelakuan saja. Menurut Simous straf boar feit terdiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Sedangkan yang kedua, perbuatan pidana hanya menunjuk sifat perbuatannya saja yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana bilamana itu dilanggar. Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah direncanakan, ini tergantung pada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatan itu, yaitu kesalahannya. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dengan kesalahan berbeda dengan straf boar feit yang mencakup perbuatan pidana dan kesalahan. Vos, memberikan definisi yang singkat bahwa straf boar feit adalah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundangundangan diberikan pidana. Pompe memberikan dua macam definisi yaitu yang bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Dalam definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah, tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut hukum positif, Pompe merumuskan bahwa peristiwa pidana yang oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian tidak berbuat, berbuat pasif) biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedrag stype, itulah yang disebut uraian delik. Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno (2000:54) adalah: “Perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan yang ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbang oleh kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu”. Suatu perbuatan akan menjadi suatu perbuatan pidana apabila perbuatan itu (unsur-unsur perbuatan pidana): commit to user 1) melawan hukum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35 2) merugikan masyarakat. 3) dilarang oleh aturan pidana 4) pelakunya diancam dengan pidana. Perbuatan-perbuatan pidana itu bersifat merugikan masyarakat, jadi dapat dikatakan sebagai anti sosial, maka perbuatan itu dilarang keras atau pantang dilakukan. Dengan demikian, konsepsi perbuatan pidana seperti yang dimaksud di atas dapat disamakan dengan konsepsi perbuatan pantang atau pamali yang telah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu kala, dimana apabila perbuatan itu dilakukan akan mendapatkan sanksi atau hukuman dari masyarakat. Pengertian tindak pidana atau strafbaarfeit yang diberikan oleh beberpa ahli di atas menimbulkan kensekuensi bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang yaitu melanggar suatu aturan hukum pidana atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh suatu aturan hukum positif serta perbuatan yang apabila melanggar dincam dengan pidana antara lain artinya ada suatu kemungkinan dijatuhi pidana, oleh karena itu suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana atau tindak pidana apabila ada suatu kenyataan bahwa ada aturan yang melarang perbuatan tersebut dan ancaman pidana bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut, dalam larangan dan ancaman tersebut terdapat hubungan yang erat. Oleh karena itu antara peristiwa dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada suatu kemungkinan hubungan yang erat dimana satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Guna menyatakan hubungan yang erat itu maka digunakan perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan kongkrit yaitu: adanya kejadian yang tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36 b. Tinjauan Tindak Pidana Perkosaan Dalam pengertian umum yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986 : 673), yang dimaksud memperkosa adalah menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986 : 638), memaksa berarti memperlakukan (seperti menyuruh, meminta, dan sebagainya) dengan paksa melakukan (mendesak, menekan, dan sebagainya) dengan kekerasan (kekuatan), serta mengharuskan (dengan tak boleh tidak). Memaksa bersetubuh maksudnya apabila tidak ada tindakan yang dilakukan oleh si pelaku, maka korban tidak akan melakukan apa yang dikehendaki pelaku. Jadi korban tidak berbuat sesuai kehendak pelaku. Oleh karena itu pelaku melakukan tindakan pemaksaan terhadap korban. Berdasarkan pengertian tersebut perkosaan dimaksudkan adalah adanya perbuatan menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan. Dalam KUHP Pasal 285 dirumuskan norma dan sanksi tentang perkosaan. Pasal tersebut menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun” (R. Susilo, 1996 : 210). Berdasarkan isi Pasal 285 KUHP tersebut, definisi perkosaan sangat jelas yaitu bahwa seseorang dapat dikatakan telah melakukan perkosaan apabila ia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengan dia di luar perkawinan. Berdasarkan
ketentuan
tersebut
dapat
diketahui
mengenai
pengertian perkosaan, yaitu merupakan suatu peristiwa yang menyakitkan secara fisik dan memberikan luka psikologis yang dapat berlangsung seumur hidup, sebagai akibat terjadinya pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap bagian tubuh manusia yang mempunyai nilai commit to user kehormatan dan kesusilaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37 Dari definisi Pasal 285 KUHP tersebut, maka dapat ditarik unsurunsur perkosaan sebagai berikut : 1) Pelaku adalah seorang laki-laki; 2) Korban adalah seorang wanita yang bukan istri si pelaku; 3) Perbuatan itu termasuk memaksa untuk bersetubuh; 4) Ada upaya melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan dari si pelaku. Pengertian perkosaan yang dimaksud dalam pembahasan penelitian ini adalah tentu saja dalam hubungannya dengan perbuatan pidana. Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno: “Perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan yang ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbang oleh kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu” (Moeljatno, 2000 : 54). Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dijelaskan bahwa perbuatan pidana menurut aturan hukum yang berlaku dapat dikenakan ancaman pidana bagi pelaku perkosaan. Hal ini berarti, bahwa orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka pengadilan dan dapat dipidana karena telah melakukan perkosaan. Menurut Hisyam Syafiroedin dan Faturochman (2000 : 109-110), secara teoritis ada lima jenis perkosaan yaitu: 1) Sadistic rape. Seksualitas dan agresi berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak. Pelaku menikmati kesenangan erotik melalui serangan yang mengerikan pada alat kelamin dan tubuh korban. 2) Anger rape. Penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan marah. Tubuh korban dianggap sebagai obyek proyeksi pemecahan atas frustasi, kelemahan, kesulitan, dan kekecewaan hidupnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38 3) Dimination rape. Perkosaan dengan tujuan penaklukan seksual. Pelaku menyakiti korban namun tujuan sebenarnya adalah penguasaan secara seksual. 4) Seductive rape. Terjadi karena situasi merangsang yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Keduanya sudah saling mengenal dan sebagian besar diantaranya berhubungan dekat, seperti pacaran. Hubungan seks diantara keduanya dikatakan perkosaan, apabila terjadi ketidaksepahaman pengertian. Korban mengartikan keintiman harus dibatasi tidak sampai sejauh senggama, sedangkan pelaku sebaliknya menganggap dalam keintiman harus ada paksaan berkaitan dengan perilaku seksnya. 5) Exploitation rape. Perkosaan yang lebih dikondisikan oleh keadaan sosial ekonomi yang tidak merata. Posisi lemah wanita memaksanya untuk diam dan pasrah, walaupun hal itu menyakitkan. Di dalam konsep KUHP ada pula beberapa pasal yang mengatur perkosaan, perbuatan cabul, oncest, yaitu persetubuhan yang dilakukan karena diantara pelaku ada hubungan darah tertentu. c. Akibat yang Ditimbulkan dari Tindak Pidana Perkosaan Terjadinya
perbuatan
perkosaan
selalu
mengandung unsur
kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan oleh pelaku perkosaan. Adanya unsur kekerasan atau ancaman
kekerasan
membawa
akibat
penderitaan bagi korban, baik penderitaan lahir maupun berupa terserangnya kehormatan maupun kesusilaannya. Akibat dari suatu perbuatan perkosaan dapat bermacam-macam, dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang ilmu. Secara psikologis akibat perbuatan perkosaan tidak tidak hanya ditanggung oleh korban, tetapi
juga
oleh
keluarganya.
Tidak
sedikit
korban
yang
mengalami gangguan mental, tidak percaya diri, ketakutan akan commitrasa to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39 terulang kembali kejadian yang telah menimpanya, rasa benci terhadap lelaki, dan lain-lain. Sedangkan secara medis, akibat perkosaan yang diderita oleh korban, seperti yang dikemukakan oleh Soewadi (1991 : 7), seorang dokter jiwa, dapat bermacam-macam akibat, yaitu : 1) Bagi korban perkosaan yang hamil, problem yang dihadapinya sangat besar. Resiko medis sebagai akibat perawatan selama kehamilan tidak dilakukan dengan baik dan teratur, karena ada kemungkinan yang bersangkutan (korban) tidak mengetahui kalau dalam keadaan hamil, disebabkan hal itu merupakan pengalaman baru baginya. Partus atau kelahiran mungkin juga dilakukan secara diam-diam, karena rasa malu apabila diketahui oleh orang lain atau mungkin pula dilakukan dengan pertolongan seadanya, sehingga kadang terjadi suatu akibat yang membahayakan bayi maupun dirinya. Secara psikologis korban perkosaan yang hamil akan mendapatkan perlakuan yang tidak wajar dari masyarakat, bahkan terkucilkan, sementara bayi yang dilahirkan dianggap anak yang tidak sah, karena tidak mempunyai ayah. Akibat yang lebih parah yaitu apabila bayi tersebut kemudian secara diamdiam akan dibuang atau bahkan dibunuh, sehingga akan menimbulkan masalah sosial dan kriminal lainnya. 2) Terhadap korban yang tertular penyakit kelamin, seperti sypilis, gonorrhoea, HIV, akan menimbulkan gangguan fungsi pada alat genitalnya, misalnya keputihan. Seorang penderita penyakit kelamin, di dalam tubuhnya jelas mengandung bibit penyakit, namun secara fisik tidak menampakkan gejala atau tanda-tanda yang merupakan sumber penyakit yang berbahaya baik bagi dirinya maupun bagi orang lain di sekitarnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40 3) Akibat lain yang mungkin juga diderita yaitu gangguan mental, seperti kecemasan, depresi, dan gangguan psikosomatik. Pada umumnya gejala yang sering diperlihatkan korban adalah gejala depresi dan kecemasan. Akibat tekanan jiwa yang berlarut-larut mengakibatkan seorang korban perkosaan akan menjadi gila yang berkepanjangan sehingga akan
menyusahkan
dirinya sendiri dan
masyarakat
sekitarnya. 4) Akibat yang tentu diderita oleh setiap korban perkosaan adalah hilangnya keperawanan, meskipun kehamilan tidak sampai dialaminya. Pada masyarakat Barat yang menganut paham kebebasan sex, dimana setiap orang baik yang sudah berkeluarga, terlebih-lebih remaja yang sebelum terikat tali perkawinan, bebas mengadakan hubungan sex tanpa harus dengan pasangannya (suami atau istrinya). Ada sebagian masyarakat di sana yang masih mempermasalahkan keperawanan. Terlebih lagi masyarakat di Indonesia, keperawanan masih dijunjung tinggi baik oleh gadis maupun pria yang akan mencari calon istri. Semua gangguan tersebut mempunyai akibat berkepanjangan yang menyangkut kehidupan korban, bahkan dapat mengakibatkan keputusasaan yang kemungkinan besar berlanjut timbul niat bunuh diri. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa korban perkosaan dapat mengalami penderitaan baik penderitaan lahir maupun batin. Penderitaan lahir ditandai dengan hilangnya keperawanan yang dimilikinya dan juga kekerasan fisik yang menyertai saat terjadinya tindakan perkosaan. Sementara penderitaan, akibat medis psikologis kemungkinan besar akan dialami korban selama hidupnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41 B. Kerangka Pemikiran Secara sistematika kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut : Tindak Pidana Perkosaan
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Hambatan yang ditemui berkait dengan pemberian perlindungan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010?
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang dibacakan terhadap tindak pidana perkosaan pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010
Yang mendasari Penuntut Umum untuk melindungi saksi korban dengan tidak menghadirkan saksi korban perkosaan (inses)
Konsepsi keterangan saksi yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai perlindungan saksi korban Gambar 2 Skematik Kerangka Pemikiran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42 Tindak pidana perkosaan yang terjadi akibat adanya kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengannya di luar perkawinan. Tindak pidana perkosaan dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak ada hubungan darah dan ada pula yang dilakukan oleh keluarga sendiri yaitu orang yang biasa dekat dengan korban yang masih mempunyai hubungan darah (inses). Akibat yang ditimbulkan dari tindakan perkosaan ini adalah korban perkosaan yaitu perempuan yang diperkosa tersebut. Dalam hal ini korban perkosaan dapat mengalami penderitaan lahir maupun batin. Secara lahir, korban kehilangan keperawanan dan juga menderita pisik akibat kekerasan yang menyertai tindak pidana perkosaan. Secara psikis perempuan korban perkosaan malu dan trauma dengan keadaan yang dideritanya, sehingga ia tidak mau bertemu atau dilihat orang lain baik yang sudah dikenal maupun tidak dikenal. Perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan korban perkosaan adalah dengan mengadukan tindak pidana perkosaan yang dialaminya kepada pihak yang berwajib. Dalam memberikan perlindungan kepada korban perkosaan, Jaksa Penuntut Umum akan memperhatikan hak-hak yang perempuan korban perkosaan, dimana korban tidak dihadirkan dalam persidangan,
sehingga
dalam
pembuktian
Jaksa
Penuntut
Umum
membacakan keadaan yang dialami oleh saksi korban. Dengan berdasarkan yuridis, sosiologis dan psikologis sebagai perlindungan hukum terhadap hakhak perempuan korban perkosaan, maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan bukti-bukti dari saksi korban yang dibacakan dalam proses peradilan untuk melakukan dakwaan terhadap terdakwa. Hambatan-hambatan yang terjadi dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan dalam proses peradilan akan muncul dalam persidangan yang datangnya dari perlawanan penasehat hukum commit to user perkosaan sendiri yang merasa terdakwa dan juga dari perempuan korban
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43 masih ada hubungan darah sehingga tidak tega jika terdakwa menjalani hukuman. Pada akhir persidangan Jaksa Penuntut Umum akan melakukan penuntutan terhadap terdakwa berdasarkan bukti-bukti keterangan saksi korban yang telah dibacakannya dalam persidangan. Kesaksian yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum mempunyai nilai sebagai penguat keyakinan Hakim untuk memberikan putusan pengadilan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Untuk membahas nilai pembuktian keterangan saksi yang dibacakan dalam tindak pidana perkosaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan perlindungan hak-hak perempuan, berikut ini disajikan hasil penelitian terhadap Surat Dakwaan No. Reg. Perk. :87/SRKTA/Ep.2/07/2010. 1. Identitas Terdakwa Nama lengkap
: Arman Kadarisman alias Naon bin Suganda
Tempat lahir
: Kuningan
Tanggal lahir / Umur
: 31 Desember 1969 (41 tahun)
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Rejosari Rt. 04 Rw. 07, Kel. Purwodiningratan Kecamatan Jebres Surakarta
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh
Pendidikan
: SD
2. Penahanan - Penyidik
: sejak tanggal 29 Mei 2010 s/d 17 Juni 2010
- Perpanjangan penahanan
: sejak tanggal 18 Juni 2010 s/d 27 Juli 2010
- Penuntut Umum
: sejak tanggal 05 Juli 2010 s/d 24 Juli 2010
- Jenis penahanan
: Rutan Surakarta
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
3. Surat Dakwaan Primair Bahwa ia terdakwa Arman Kadarisman alias Naon bin Suganda pada hari Selasa tanggal 18 mei 2010 sekitar jam 12.00 WIB dan hari Rabu tanggal 19 Mei 2010 sekitar jam 15.00 WIB atau pada waktu-waktu lain dalam bulan Mei 2010 bertempat di rumah terdakwa Rejosari Rt. 004/007 Kel. Purwodiningratan Kecamatan Jebres Kota Surakarta atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, secara berturut-turut dan berlanjut, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak yaitu saksi korban Ratih Sukmawati Binti Arman Kadarisman untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, perbuatan mana terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut : -
Pertama pada hari Selasa tanggal 18 Mei 2010 sekitar jam 12.00 WIB saat di rumah tidak ada siapa-siapa, terdakwa memanggil saksi korban Ratih Sukmawati anak terdakwa sendiri yang masih berusia 16 (enam belas) tahun kemudian mengajak untuk bersetubuh namun saksi korban menolak selanjutnya terdakwa mengancam jika saksi korban menolak akan dibunuh, karena takut akhirnya saksi korban melayani keinginan terdakwa untuk bersetubuh sampai akhirnya terdakwa mengeluarkan air mani, kejadian pertama tidak diketahui oleh istri terdakwa.
-
Kedua pada hari Rabu tanggal 19 Mei 2010 sekitar jam 15.00 WIB, sebelumnya terdakwa menyuruh istrinya yaitu Saksi Sri Lestari membeli dading babi di pasar kemudian terdakwa tiduran di kamar atas, saat itu saksi korban naik ke atas untuk ganti celana, melihat anaknya ganti celana timbul nafsu dan niat terdakwa untuk bersetubuh kemudian mengajak saksi korban untuk bersetubuh namun saksi korban menilak selanjutnya terdakwa mengancam akan membunuh jika tidak mau melayaninya, setelah itu terdakwa membuka rok, menaikkan ke atas (tidak dilepas) dan melepaskan celana dalam saksi korban kemudian terdakwa juga melepaskan celana dalamnya, commit to user selanjutnya terdakwa menyuruh saksi korban tidur terlentang, setelah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
itu terdakwa membuka kedua paha dan memasukkan batang kemaluannya (penis) yang sudah menegang ke dalam kemaluan (vagina) saksi korban, kemudian terdakwa menggoyang-goyangkan pantatnya turun naik sekitar 5 (lima) menit sampai akhirnya terdakwa mengeluarkan air mani, saat iru istri terdakwa yang baru datang dari pasar curiga mendengar adanya bunyi kretek-kretek di kamar atas kemudian naik ke atas dan memergoki terdakwa baru selesai menyetubuhi anaknya dan sedang memakai celana pendek, melihat kejadian itu istri terdakwa marah dan mengusir terdakwa, sedangkan saksi korban menangis dan mengaku telah 2 (dua) kali disetubuhi terdakwa. -
Bahwa saat kejadian itu saksi korban mengenakan kaos lengan pendek warna pink, rok pendek jeans warna biru, celana dalam warna kuning dan BH warna pink.
-
Bahwa setelah kejadian itu saksi korban divisum sebagaimana Visum et Repertum Nomor: R/VER-79/V/2010 tanggal 21 Mei 2010 yang ditandatangani oleh Dr. Edy Wirastho dengan kesimpulan ditemukan selaput dara robek lama sampai dasar yang diduga akibat trauma benda tumpul.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Subsidair Bahwa ia terdakwa Arman Kadarisman alias Naon bin Suganda pada waktu dan tempat sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primair di atas, secara berturut-turut dan berlanjut, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yaitu terhadap saksi korban Ratih Sukmawati Binti Arman Kadarisman, perbuatan mana terdakwa lakukan dengan cara sebagai berikut : -
Pertama pada hari Selasa tanggal 18 Mei 2010 sekitar jam 12.00 WIB commit to user saat di rumah tidak ada siapa-siapa, terdakwa memamnggil saksi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
korban Ratih Sukmawati anak terdakwa sendiri yang masih berusia 16 (enam belas) tahun kemudian mengajak untuk bersetubuh namun saksi korban menolak selanjutnya terdakwa mengancam jika saksi korban menolak akan dibunuh, karena takut akhirnya saksi korban melayani keinginan terdakwa untuk bersetubuh sampai akhirnya terdakwa mengeluarkan air mani, kejadian pertama tidak diketahui oleh istri terdakwa. -
Kedua pada hari Rabu tanggal 19 Mei 2010 sekitar jam 15.00 WIB, sebelumnya terdakwa menyuruh istrinya yaitu Saksi Sri Lestari membeli dading babi di pasar kemudian terdakwa tiduran di kamar atas, saat itu saksi korban naik ke atas untuk ganti celana, melihat anaknya ganti celana timbul nafsu dan niat terdakwa untuk bersetubuh kemudian mengajak saksi korban untuk bersetubuh namun saksi korban menolak selanjutnya terdakwa mengancam akan membunuh jika tidak mau melayaninya, setelah itu terdakwa membuka rok, menaikkan ke atas (tidak dilepas) dan melepaskan celana dalam saksi korban kemudian terdakwa juga melepaskan celana dalamnya, selanjutnya terdakwa menyuruh saksi korban tidur terlentang, setelah itu terdakwa membuka kedua paha dan memasukkan batang kemaluannya (penis) yang sudah menegang ke dalam kemaluan (vagina) saksi korban, kemudian terdakwa menggoyang-goyangkan pantatnya turun naik sekitar 5 (lima) menit sampai akhirnya terdakwa mengeluarkan air mani, saat itu istri terdakwa yang baru datang dari pasar curiga mendengar adanya bunyi kretek-kretek di kamar atas kemudian naik ke atas dan memergoki terdakwa baru selesai menyetubuhi anaknya dan sedang memakai celana pendek, melihat kejadian itu istri terdakwa marah dan mengusir terdakwa, sedangkan saksi korban menangis dan mengaku telah 2 (dua) kali disetubuhi terdakwa.
-
Bahwa saat kejadian itu saksi korban mengenakan kaos lengan pendek warna pink, rok pendek jeans warna biru, celana dalam warna kuning commit to user dan BH warna pink.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
-
Bahwa setelah kejadian itu saksi korban divisum sebagaimana Visum et Repertum Nomor: R/VER-79/V/2010 tanggal 21 Mei 2010 yang ditandatangani oleh Dr. Edy Wirastho dengan kesimpulan ditemukan selaput dara robek lama sampai dasar yang diduga akibat trauma benda tumpul.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 82 UU No. 23 tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
B. Pembahasan 1. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi yang Dibacakan terhadap Tindak Pidana Perkosaan pada Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/2010 Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam Surat Dakwaan No. Reg. Perkara : 87/SRKTA/Ep.2/07/2010, bahwa Jaksa Penuntut Umum di persidangan yang dilakukan pada tanggal 12 Juli 2010 mengajukan dakwaan dengan membacakan keterangan saksi korban dan bukti lain berupa surat yaitu Visum et Repertum Nomor: R/VER-79/V/2010 tanggal 21 Mei 2010 yang ditandatangani oleh Dr. Edy Wirastho dengan kesimpulan ditemukan selaput dara robek lama sampai dasar yang diduga akibat trauma benda tumpul. Untuk meyakinkan Hakim dalam mencari kebenaran materiil tentang alat-alat bukti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah disamping membacakan keterangan korban, Jaksa penuntut Umum juga mengajukan: (1) Keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat; (4) petunjuk; dan (5) keterangan terdakwa. Berikut ini akan dibahas mengenai nilai pembuktian dalam persidangan dengan Surat Dakwaan No. Reg. Perkara : 87/SRKTA/Ep.2/07/2010. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan: Keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana commit to user yang ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
dari pengetahuannya itu. Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyatakan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Salah satu bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam perkara perkosaan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri ini, pada saat melakukan dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak menghadirkan saksi korban. Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan berdasarkan Surat Dakwaan. Seharusnya dalam persidangan tindak pidana saksi dihadirkan untuk dimintai keterangan tentang suatu kebenaran. Keterangan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut umum dimaksudkan sebagai pengganti saksi korban yang tidak bisa hadir di persidangan. Dalam perkara perkosaan ini, korban adalah anak kandung dari terdakwa sendiri. Dengan demikian maka korban dapat disebut sebagai saksi korban. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Bab I Pasal I tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan bahwa: (1) Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. (2) Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. (3) Lembaga perlindungan saksi dan korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. (4) Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian commit to user kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
(5) Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban. (6) Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 1 UU RI No. 13 Tahun 2006 di atas jelas bahwa saksi dan korban adalah orang yang mempunyai fungsi sebagai bukti yang kuat dalam suatu tindak pidana, dan untuk keamanan dirinya pribadi maupun keluarganya karena sering adanya ancaman dari pihak pelaku atau pihak lain yang berhubungan dengan pelaku, maka saksi dan/atau korban berhak mendapatkan jaminan keamanan atau perlindungan atas diri sendiri maupun keluarganya. Perlindungan hak kepada korban dan/atau saksi diberikan bilamana terjadi ancaman dari pihak-pihak tertentu. Adapun bila ancaman yang dirasa oleh korban dan/atau saksi terlalu berat maka korban dan/atau saksi boleh tidak secara langsung memberikan persaksian di pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut : (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksian secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. (3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU RI No. 13 tahun 2006 tersebut, maka saksi korban yang merupakan anak kandung dari terdakwa tidak dihadirkan. Hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara ayah dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
anak kandung (inses) ini dapat berpengaruh para proses persidangan. Hal ini sesuai dengan syarat-syarat objektif untuk bisa menjadi saksi yaitu: a) Dewasa, telah berumur 15 tahun atau pernah kawin; b) Sehat akalnya; c) Tidak ada hubungan keluarga baik karena pertalian darah atau karena perkawinan dengan terdakwa. Adanya hubungan darah antara saksi korban dan terdakwa yang merupakan ayah kandungnya sendiri dapat berpengaruh antara kesaksian saksi korban di hadapan sidang pengadilan, seperti rasa tidak tega, merasa kasihan, atau ketakutan tidak akan tercukupinya nafkah keluarga bila sang ayah dihukum. Selain itu rasa ketakutan saksi korban karena mendapatkan ancaman dari terdakwa juga berpengaruh pada keterangan saksi korban pada saat persidangan. Rasa ketakutan yang dialami oleh saksi korban ketika mendapat ancaman akan dibunuh bila tidak menuruti kemauan ayah kandungnya pada saat diperkosa juga dapat berpengaruh pada keterangan saksi korban apalagi terdakwa pernah menjalani hukuman 7 tahun penjara karena kasus pembunuhan. Berdasarkan berbagai alasan tersebut, maka keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan. Adapun bukti keterangan saksi yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut berdasarkan keterangan saksi korban sebagai berikut : - Bahwa
saksi
korban
mengetahui
secara
langsung
peristiwa
persetubuhan tersebut dan mengalaminya sendiri. - Bahwa peristiwa tersebut terjadi pada pada hari Rabu tanggal 19 Mei 2009 sekitar jam 15.00 WIB, bertempat di rumah saksi korban di Ledoksari Rt. 04 Rw. 07 Kel. Jebres Kec. Jebres Surakarta dan yang menjadi pelakunya adalah ayah kandung saksi korban Saudara Arman Kadarisman sedangkan korbanya adalah saksi korban sendiri. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
- Dalam melakukan persetubuhan terhadap saksi korban, ayah saksi korban tidak menggunakan alat, namun dengan menggunakan ancaman kekerasan terhadap diri saksi korban dan pacar saksi korban. - Terdakwa Arman Kadarisman menggunakan ancaman sebagai berikut: Apabila saya tidak tidak menuruti kemauan ayah saya maka saya akan dibunuh dan pacar saya akan dibunuh, sehingga saya takut dan mengikuti apa kemauan ayah saya. - Bahwa Saudara Arman Kadarisman melakukan perbuatan persetubuhan terhadap diri saya adalah awalnya saya sedang main di rumah tetangga yang bernama Saudari Gori, saat itu ayah saya Saudara Arman Kadarisman memanggil-manggil saya terus sambil marah-marah, selanjutnya saya pulang ke rumah dan menemui ayah saya dan saya tanya ada apa, saat itu ayah saya mengajak saya untuk bersetubuh namun saya tidak mau, karena saya dipaksa dan diancam akan dibunuh, maka saya menurut apa yang menjadi kemauan ayah saya. Selanjutnya ayah saya menyuruh saya untuk masuk ke kamar saya yang berada di atas dan setelah di dalam kamar ayah saya membuka rok saya ke atas tidak dilepas, selanjutnya ayah saya melepas celana dalam saya dan ayah saya juga melepaskan celananya tapi tidak melepas baju kemudian ayah saya menyuruh saya tidur di tempat tidur dengan posisi terlentang selanjutnya ayah saya menindih saya dari atas dan membuka kedua paha saya selanjutnya ayah saya memasukkan batang kemaluannya (penis) yang sudah tegang ke dalam kemaluan (vagina) saya dan menggoyang-goyang pantatnya turun naik secara berulang-ulang kirakira selama 5 (lima) menit saat itu ketahuan ibu saya yang bernama Sri Lestari, saat itu ayah saya langsung turun dari tubuh saya dan saat itu ibu saya marah-marah kepada ayah saya dengan kata-kata bahwa darah dagingnya sendiri kok dimakan, karena melihat orang tua saya bertengkar kemudian saya langsung pakai celana dalam saya dan pergi ke tempat jualan koran pacar saya di Bulakrejo, dan saat itu saya sudah commit to user tidak mengetahui tentang keadaan di rumah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Pembuktian yang kedua adalah surat berupa Visum et Repertum Nomor: R/VER-79/V/2010 tanggal 21 Mei 2010 yang ditandatangani oleh Dr. Edy Wirastho, merupakan bukti otentik dari ahli yaitu dokter poliklinik Polwil Surakarta dengan kesimpulan bahwa ditemukan selaput dara robek lama sampai dasar yang diduga akibat trauma benda tumpul. Sedangkan pembuktian yang ketiga adalah keterangan terdakwa, yang mengakui semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa ia melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak kandungnya sendiri (inses) Ratih Sukmawati sebanyak dua kali yaitu pada hari Selasa tanggal 18 Mei 2010 dan hari Rabu tanggal 19 Mei 2010, terdakwa Arman Kadarisman alias Naon mengakui dakwaan tersebut. Dengan demikian pengakuan terdakwa dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat bahwa Terdakwa telah melakukan persetubuhan kepada anak kandungnya (inses). Keterangan
saksi
yang
berhalangan
hanya
dibacakan
di
persidangan namun nilai keterangan itu “disamakan dan sederajat” dengan keterangan seorang saksi yang disumpah di persidangan, apabila keterangan itu dalam pemeriksaan penyidikan “diberikan di bawah sumpah”. Adapun tidak dihadirkannya dalam persidangan dikarenakan saksi korban masih trauma dan malu atas persetubuhan yang dialaminya dimana pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri. Saksi korban juga mendapatkan ancaman dari terdakwa akan dibunuh sedangkan terdakwa, maka sebagai wujud perlindungan saksi korban, korban boleh tidak dihadirkan dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta. Berdasarkan uraian di atas, maka keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan terhadap terdakwa Arman Kadarisman al Naon, maka nilai pembuktian tersebut mempunyai nilai pembuktian. Adapun nilai pembuktian tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas bagi hakim, karena keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa penuntut Umum sebagai pengganti saksi korban yang tidak dapat hadir dalam persidangan. Karena keterangan yang dibacakan bukan menjadi akta atau surat otentik maka hakim bebas menilai keterangan saksi korban yang dibacakan oleh commit to user Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
2. Hambatan yang Ditemui Berkait dengan Pemberian Perlindungan Saksi Korban Perkosaan (inses) pada Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/2010 a. Subyektifitas Hakim dalam Memberikan Putusan Hukum Pada Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/2010 tentang perkosaan yang dilakukan oleh Terdakwa Arman Kadarisman alias Naon terhadap putri kandungnya sendiri Ratih Sukmawati, saksi korban tidak dihadirkan dalam persidangan. Keterangan saksi korban dalam persidangan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pembacaan
kesaksian
saksi
korban
di persidangan
ini
mempunyai kelemahan, dimana Hakim sebagai pihak yang memberi putusan hukum tidak dapat mengeksplorasi dalam bentuk pertanyaanpertanyaan yang lebih mendalam terhadap saksi korban berkenaan dengan perbuatan si pelaku antara lain kapan kejadiannya, di mana terjadinya, siapa yang melakukannya, dan lain-lain pertanyaan yang menguatkan keyakinan Hakim bahwa telah terjadi suatu kejadian perkosaan atas saksi korban. Dengan tidak hadirnya saksi korban dalam persidangan maka putusan hukum atas perkara perkosaan yang dilakukan oleh Terdakwa Arman Kadarisman alias Naon yang melakukan perkosaan terhadap putrinya
sendiri
tergantung
dari
subyektifitas
Hakim
dalam
persidangan. Apabila Hakim yakin terhadap keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka perlindungan terhadap saksi korban dapat tercapai, tetapi apabila Hakim tidak yakin dengan keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa penuntut Umum, maka dapat saja Hakim memutuskan hukuman yang ringan atau bahkan membebaskan terdakwa dari tuntutan Hukum Jaksa Penuntut Umum, maka efek jera bagi terdakwa tidak diperoleh. Di dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi bahwa commit to user terdakwa benar-benar bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Sedangkan yang disebut dengan “terbukti dengan sah dan meyakinkan” apabila sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang bisa membuat Hakim yakin bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan hal tersebut maka syarat-syarat seseorang dapat dipidana apabila: (1) Ada alat bukti yang sah sekurang-kurangnya dua alat bukti; (2) Adanya keyakinan Hakim; (3) Adanya kesalahan yang didakwakan kepada dirinya; dan (4) Yang bersangkutan dapat dianggap bersalah. Hakim dalam menjalankan tugasnya mencari kebenaran materiil wajib mentaati ketentuan-ketentuan tentang alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang. Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah : (1) Keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat; (4) petunjuk; dan (5) keterangan terdakwa. Dalam persidangan Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010 tentang perkosaan yang dilakukan oleh Terdakwa Arman Kadarisman alias Naon terhadap putri kandungnya sendiri Ratih Sukmawati, saksi korban, hambatan yang terjadi adalah tidak hadirnya saksi korban. Keterangan saksi korban dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dimaksudkan sebagai pengganti keterangan saksi korban yang tidak dapat hadir di persindangan. Untuk menguatkan bahwa telah terjadi perkosaan, selain membacakan keterangan saksi korban dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum menyertakan alat-alat bukti lainnya berupa surat berupa Visum et repertum et Repertum Nomor: R/VER-79/V/2010 tanggal 21 Mei 2010 yang ditandatangani oleh Dr. Edy Wirastho, dan keterangan terdakwa dalam persidangan. Untuk selanjutnya Jaksa Penuntut Umum menyerahkan putusan hukum sepenuhnya pada Hakim. Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat jelas bahwa subyektifitas
user hakim commit dalam tomemberikan
putusan
hukum
atas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
permasalahan perkosaan yang dilakukan oleh Ayah terhadap anak kandungnya
sendiri
(inses)
merupakan
suatu
hambatan
bagi
perlindungan perempuan korban perkosaan. Hal ini dikarenakan tidak adanya saksi korban dalam persidangan. Keterangan saksi korban dalam persidangan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum hanyalah sebagai pengganti keterangan saksi korban yang tidak bisa hadir untuk memberikan kesaksian. Dengan tidak hadirnya saksi korban dalam persidangan, Hakim tidak dapat mengeksplorasi pertanyaanpertanyaan yang lebih mendalam kepada saksi korban yang dapat memberikan keyakinan bahwa telah terjadi perkosaan atas diri saksi korban. Untuk memberikan putusan hukum, maka Hakim harus melihat alat-alat bukti lainnya seperti Visum et Repertum dan keterangan terdakwa. Hakim dapat saja memberikan putusan ringan atau bahkan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum bila dalam persidangan hakim tidak yakin dengan keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan alat-alat bukti lainnya yang diajukan. b. Perlindungan Saksi Korban berkaitan dengan Ranah Domestik (Hubungan Rumah Tangga) Dalam upaya memberikan perlindungan hukum perempuan korban perkosaan, pemerintah memberikan kesempatan kepada korban untuk mengadukannya kepada yang berwajib apabila mendapatkan perlakuan perkosaan. Namun berkaitan dengan ranah domestik dimana terdapat hubungan kekerabatan yang erat antara saksi korban dan terdakwa menjadi suatu hambatan bagi perlindungan saksi korban. Adapun hambatan-hambatan tersebut adalah: 1) Alasan Takut Adanya Keretakan dalam Keluarga atau Demi Langgengnya Rumah Tangga Hambatan terhadap penegakan korban perkosaan oleh ayah kandungnya sendiri (inses) sering juga muncul karena alasan demi user Walaupun terdapat istri yang keberlangsungannyacommit rumah totangga.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
mengetahui anaknya disetubuhi suami, tetapi ada diantara mereka yang hanya menerima saja. Hal ini dikarenakan rasa takut mereka akan
keberlangsungannya
rumah
tangganya
apabila
sampai
melaporkan sang suami ke pihak yang berwajib. Alasan ini antara lain karena sang istri takut apabila dicerai setelah dilaporkan ke polisi sehingga keluarganya menjadi retak. Ada juga yang beralasan karena pencari nafkah adalah sang suami sementara istri hanya sebagai ibu rumah tangga. Apabila sampai istri melaporkan suami dan mendapatkan perlakuan hukum hingga akhirnya suami dihukum, maka yang mencari nafkah tidak ada. Hal ini yang menjadikan istri berpikir berulang kali untuk melaporkan suaminya kepada yang berwajib padahal ia mengetahui anaknya disetubuhi suaminya sendiri. 2) Ketidakberanian si korban untuk mengadu ke pihak berwajib Hubungan kekeluargaan yang erat antar keluarga apalagi antara bapak dengan anak dan istri dengan suami menjadikan ada rasa segan diantara mereka. Istri dan anak akan menghormati suami dan bapak sebagai kepala keluarga, maka apapaun yang dilakukan oleh kepala keluarga, istri atau anak segan untuk melaporkan kepada yang berwajib, apalagi tindakan perkosaan terhadap anak sendiri tersebut dilakukan dengan ancaman, perasaan takut sebagai anak terhadap bapak semakin besar. Biasanya anak akan memendam rasa tersebut dalam-dalam, bahkan ada anak perempuan yang bertahuntahun menjadi korban pelecehan seksual bapaknya sendiri tidak mau melapor karena takut dan segan terhadap bapaknya. 3) Rasa malu menyebarkan aib keluarga sendiri Rasa malu untuk melapor menyebabkan banyak perempuan lebih baik menyerahkan dirinya untuk menerima kenyataan yang dihadapinya. Merasa aib apabila permasalahan keluarga sampai diketahui umum. Hal ini merupakan budaya timur yang begitu kental commit to di Indonesia. Kenyataan iniuser dapat menjadi penghambat bagi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
perempuan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Terkadang seorang istri rela anaknya disetubuhi oleh suaminya karena merasa aib apabila sampai melapor ke pihak yang berwajib, takut kalau permasalahannya diketahui banyak orang. Hal ini wajar saja karena sistem sosial di Indonesia yang masih bercorak tradisional masih begitu kuat dipegang oleh masyarakat, terkadang terhadap masalah keluarga yang sampai keluar dapat menjadikan gunjingan yang tiada akhir. Hal ini perlu adanya suatu lembaga pelayanan masyarakat yang perduli terhadap tindak kekerasan terhadap rumah tangga dan perlu adanya kepedulian
masyarakat
dengan
usaha
yang
konkrit
untuk
menyadarkan bahwa permasalahan terhadap hak asasi perempuan bukan hal yang tabu untuk dilaporkan. 3. Dasar Penuntut Umum untuk Melindungi Saksi Korban dengan Tidak Menghadirkan Saksi Korban Perkosaan (Inses) pada Kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010 Dasar hukum tidak dihadirkannya saksi korban adalah Pasal 185 ayat (7) KUHAP, “maka keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain”. Bagi saksi yang belum cukup 15 tahun atau karena ada hubungan keluarga dapat didengar tanpa disumpah dan keterangan dapat dijadikan tambahan bahan pertimbangan bagi Hakim. Bagi saksi yang meninggal sebelum didengar sebagai saksi tetapi di depan penyidik telah bersumpah, maka keterangannya mempunyai nilai yang sama dengan keterangan di depan sidang. Menurut Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan
seorang
memperhatikan :
saksi, Hakim commit to user
harus
bersungguh-sungguh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
a) Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain: b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu; Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Perlindungan hak kepada korban dan/atau saksi diberikan bilamana terjadi ancaman dari pihak-pihak tertentu. Adapun bila ancaman yang dirasa oleh korban dan/atau saksi terlalu berat maka korban dan/atau saksi boleh tidak secara langsung memberikan persaksian di pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut : (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksian secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. (3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU RI No. 13 tahun 2006 tersebut, maka saksi korban yang merupakan anak kandung dari terdakwa tidak dihadirkan. Hal dikarenakan korban sering mendapatkan ancaman ketika hidup bersama dalam keluarganya. Saksi korban juga sering mendapat ancaman yang disertai dengan kekerasan, termasuk kejadian perkosaan yang terjadi sampai dua kali karena saksi korban mendapatkan ancaman akan dibunuh bila tidak menurutinya. Selain itu hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara ayah dengan anak kandung (inses) ini dapat berpengaruh para proses persidangan. Hal ini sesuai dengan syarat-syarat objektif untuk bisa menjadi saksi yaitu:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
(1) Dewasa, telah berumur 15 tahun atau pernah kawin; (2) Sehat akalnya; (3) Tidak ada hubungan keluarga baik karena pertalian darah atau karena perkawinan dengan terdakwa. Adanya hubungan darah antara saksi korban dan terdakwa yang merupakan ayah kandungnya sendiri dapat berpengaruh antara kesaksian saksi korban di hadapan sidang pengadilan, seperti rasa tidak tega, merasa kasihan, atau ketakutan tidak akan tercukupinya nafkah keluarga bila sang ayah dihukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ikeu Bachtiar, SH, Jaksa Penuntut
Umum
yang
melakukan
dakwaan
terhadap
terdakwa,
berpendapat bahwa, “Korban pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota kelaurganya sendiri terutama oleh ayahnya pasti akan mengalami tekanan mental yang amat berat setelah mengalami kejadian tersebut. Oleh karena itu, oleh karena itu saksi korban harus dilindungi, karena ia sudah menderita kerugian batin yang tidak dapat diganti dengan uang. Terlebih lagi, menghilangkan rasa malu di hadapan orang banyak akan menjadikan saksi korban semakin menderita”. Selain itu saksi korban sering mendapatkan ancaman dari terdakwa ketika hidup dalam satu atap. Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tetapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan. Berdasarkan alasan tersebut, maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kepada Hakim untuk tidak menghadirkan saksi korban dalam persidangan tetapi dengan cara tertulis yaitu Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaan sesuai dengan kesaksian saksi korban dalam penyidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP Berdasarkan data-data yang penulis peroleh dalam penelitian ini maka dapat dibuat simpulan dan saran sebagai berikut : A. Simpulan 1. Keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan terhadap terdakwa Arman Kadarisman al Naon, maka nilai pembuktian tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sama dengan keterangan saksi yang hadir dalam persidangan dan diterima sebagai alat bukti yang sah karena keterangan saksi yang dibacakan oleh penuntut umum itu diberikan di bawah sumpah terlebih dahulu sehingga mempunyai bobot dan nilai yang memadai. Adapun pembuktian tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas bagi hakim, karena keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa penuntut Umum sebagai pengganti saksi korban yang tidak dapat hadir dalam persidangan. Karena keterangan yang dibacakan bukan menjadi akta atau surat otentik maka hakim bebas menilai keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan. 2. Hambatan yang ditemui berkait dengan pemberian perlindungan saksi korban perkosaan (inses) pada kasus No. Reg. Perk: 87/SKRTA/ Ep.2/07/ 2010 a. Subyektifitas Hakim dalam Memberikan Putusan Hukum Pembacaan kesaksian saksi korban di persidangan ini mempunyai kelemahan, dimana Hakim sebagai pihak yang memberi putusan hukum tidak dapat mengeksplorasi dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam terhadap saksi korban berkenaan dengan perbuatan si pelaku terhadap saksi korban. Sikap progesif hakim sangat diperlukan untuk mencapai keadilan, dengan pertimbangan pertimbangan tertentu yang dipakai hakim, saksi korban dapat terlindungi haknya. Dengan tidak hadirnya saksi korban dalam persidangan maka putusan hukum atas perkara perkosaan yang dilakukan oleh si pelaku tergantung dari commit to user subyektifitas Hakim dalam persidangan. Apabila Hakim yakin sesuai 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Pasal 183 KUHAP maka terhadap keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka perlindungan terhadap saksi korban dapat tercapai, tetapi apabila Hakim tidak yakin dengan keterangan saksi korban yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka dapat saja Hakim memutuskan bebas atau hukuman yang ringan. b. Hambatan Berkaitan dengan Ranah Domestik (Hubungan Rumah Tangga) 1) Alasan takut adanya keretakan dalam keluarga atau demi langgengnya rumah tangga. Hambatan terhadap penegakan korban perkosaan oleh ayah kandungnya sendiri (inses) sering juga muncul karena alasan demi keberlangsungannya rumah tangga. Walaupun terdapat istri yang mengetahui anaknya disetubuhi suami, tetapi ada diantara mereka yang hanya menerima saja. Hal ini dikarenakan rasa takut mereka akan keberlangsungannya rumah tangganya apabila sampai melaporkan sang suami ke pihak yang berwajib. 2) Ketidakberanian si korban untuk mengadu ke pihak berwajib. Hubungan kekeluargaan yang erat antar keluarga apalagi antara bapak dengan anak dan istri dengan suami menjadikan ada rasa segan diantara mereka. Istri dan anak akan menghormati suami dan bapak sebagai kepala keluarga, maka apapaun yang dilakukan oleh kepala keluarga, istri atau anak segan untuk melaporkan kepada yang berwajib. 3) Rasa malu menyebarkan aib keluarga sendiri. Rasa malu untuk melapor menyebabkan banyak perempuan lebih baik menyerahkan dirinya untuk menerima kenyataan yang dihadapinya. Merasa aib apabila permasalahan keluarga sampai diketahui umum. 3.
Dasar Penuntut Umum untuk Melindungi Saksi Korban dengan Tidak Menghadirkan Saksi Korban Perkosaan (Inses) pada Kasus No. Reg. Perk: commit to user 87/SKRTA/Ep.2/07/ 2010.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Dasar perlindungan hak kepada korban dan/atau saksi diberikan bilamana terjadi ancaman dari pihak-pihak tertentu. Pasal 9 UU RI No. 13 Tahun 2006 sebagai berikut: Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Korban sering mendapatkan ancaman ketika hidup bersama dalam keluarganya. Saksi korban juga sering mendapat ancaman yang disertai dengan kekerasan, termasuk kejadian perkosaan yang terjadi sampai dua kali karena saksi korban mendapatkan ancaman akan dibunuh bila tidak menurutinya. Selain itu hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara ayah dengan anak kandung (inses) ini dapat berpengaruh para proses persidangan.
B. Saran 1. Bagi Hakim dalam menghadapi atau memeriksa perkara tindak pidana perkosaan di lingkungan keluarga hendaknya lebih bersikap progesif, demi kelancaran jalanya proses pemeriksaan perkara guna memperoleh kebenaran yang selektif. 2. Aparat
penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi
pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seyogyanya
dilandasi
oleh
rasa
kemanusiaan,
dan
menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan
dalam landasan
KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal) 3. Masyarakat korban
seyogyanya
kekerasan
juga ikut mendukung
(perkosaan)
untuk
para perempuan
mendapatkan
perlindungan
hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan
masyarakat
yang
kemanusiaan. commit to user
dilandasi
oleh
rasa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
DAFTAR PUSTAKA Buku / Literatur : Andi Hamzah. 1993. Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. Barda Nawawi Arief, 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cetakan Ketiga Edisi Revisi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. CST. Kancil, 1986. Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Indonesia. Jakarta:BP. Lamintang. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru. Mansyor Fakih. 1996. Analisis Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara. Muchamad Iksan. 2009. Perlindugnan Saksi dan Korban. Surakarta : UMS Press. Muladi dan Barda Nawawi. 1992. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara. Nursyahbani, Katjasungkana. 1998. Aspek Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan. Makalah: Yogyakarta : PSW. Tjoemi Sitti Soemiarti. 1994. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Surakarta : UMS. Soemitro. 1992. Hukum Pidana. Surakarta : Fakultas Hukum Unisri. Soetomo, A. 1990. Hukum Acara Pidana Indonesia Dalam Praktek. Jakarta : Pustaka Kartini. Sudarto, 1990, Hukum Pidana Ib. Semarang : Undip. Sumadi Suryabrata. 2000. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Rajawali Press. Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta : Aneka Karya. Wirjono Projdodikoro. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Eresco. Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid 2. Jakarta : Bina Aksara. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
Peraturan / Perundang-undangan : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-undang RI No. 23 Tahun 2004. Tentang Penghapusan Perkosaan oleh Ayah Kandungnya Sendiri (inses) Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981. Tentang KUHAP. UU RI No. 13 Tahun 2006. Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
commit to user