UNDIP PRESS
FAKTOR PENDORONG KEBERHASILAN DAN PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI JAWA TENGAH Agus Hermawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Email:
[email protected]
ABSTRACT Hermawan, A. The driving success factors and problems faced in implementation of sustainable food reserved garden in Central Java. In the past home garden functed as food reseved. In the incidences of famine or harvest failure in rice field or dry land, farmers rellied their food on other food crops plantation in their home garden. Along the time, function of home garden as food reserved was degradated. At present, aestetic aspects are more dominant in home garden. Model of sustainable food reserved garden (Model Kawasan Rumah Pangan Lestari/M-KRPL) was nationaly declared by President of Indonesia in 14 of January 2012 to: (i) improve family and community skill to manage optimally their home garden, (ii) Meet food and nutrition needs of families and communities in a sustainable manner, (iii) Develop productive economic activities of the family, and (4) create a clean environment and healthy green. In implementation phase, the community in the region are encouraged to jointly optimize their yards and build village nursery to ensure their sustainability. In Central Java, in 2012 M-KRPL were implemented in 18 districts. Based on observations during the M-KRPL implementation, the success driving factors of the implementation relies on the acurately selection of the location and the presence of local leaders who have a strong commitment and integrity tu develop their community. Meanwhile, the main problem faced was the lack ability of the agricultural cultivation technology, the limited supply of water for watering plants in the dry season, and for the urban areas was the limited labor and land for the planting medium. To solve the problen, the technology development of water-saving irrigation, labor-saving, and the development of non-soil growing media are required. Keywords: the driving success factors, problems, implementation, sustainable food reserved garden (M-KRPL)
PENDAHULUAN Pangan merupakan komoditas strategis yang bersifat multidimensi sehingga ketersediannya selalu mendapat prioritas tinggi pada setiap era pemerintahan. Nilai strategis pangan, mendorong dikeluarkannya Undangundang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang menegaskan bahwa ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. UU No 7 tahun 1996 itu juga menyebutkan bahwa “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.
176
Artinya, terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga merupakan tujuan sekaligus sebagai sasaran dari ketahanan pangan di Indonesia. Oleh karenanya pemantapan ketahanan pangan dapat dilakukan melalui pemantapan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (Saliem, 2011). Namun demikian menurut Simatupang (2006) dalam Saliem (2011) perwujudan ketahanan pangan perlu memperhatikan sistem hierarki mulai dari tingkat global, nasional, regional, wilayah, rumah tangga dan individu. Pelaksanaan UU tersebut selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan yang mencakup aspek ketersediaan pangan, cadangan pangan,
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
penganeka ragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan. Kekhawatiran terhadap ketahanan pangan Indonesia mengemuka sejalan dengan perubahan iklim global serta tingginya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan terjadi akibat peningkatan jumlah penduduk yang mengancam keberadaan lahan pertanian, baik dalam bentuk penyempitan luas lahan maupun penurunan kemampuan daya dukungnya (Rozi, 1997). Pada periode 19992002 telah terjadi pengurangan lahan sawah seluas 563.156 hektar di seluruh Indonesia karena alih fungsi lahan dimana 30% (157.150 ha) di antaranya terjadi di Pulau Jawa. Sementara itu anomali iklim mulai dirasakan dampaknya. Di Indonesia anomali iklim pada tahun 2010 berbentuk kemarau basah telah menyebabkan banyak petani gagal panen dan bahkan gagal tanam akibat benih yang ditanam mati terendam air, termasuk banyaknya gagal panen karena serangan hama. Masalah lainnya adalah tingginya ketergantungan pangan Indonesia pada pasokan pangan global. Masyarakat di perdesaan sebenarnya sering mengalami masalah dalam penyediaan pangan, dalam bentuk gagal panen akibat bencana banjir dan kekeringan maupun serangan hama dan penyakit. Pada masa lalu paceklik akibat gagal panen di sawah dan tegalan diatasi dengan masih adanya sumber pangan alternatif di lahan pekarangan (Danoesastro, 1997). Hal ini disebabkan hasil panen pekarangan cenderung lebih stabil, tersebar di sepanjang waktu, dan merupakan penyangga pada saat gagal panen. Hasil panen pekarangan seringkali didisribusikan kepada snggota keluarga dan tetangga di sekitar rumah tinggal (Soemarwoto dan Conway, 1992). Pekarangan dengan demikian lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga atau lumbung pangan petani di pedesaan daripada sebagai sumber ekonomi atau fungsi lainnya. Menurut Danoesastro (1997), terdapat tujuh fungsi dari pekarangan, yaitu (1) penghasil bahan makanan tambahan berupa karbohidrat dan sayuran dan buah-buahan, (2) sumber pendapatan harian, (3) penghasil bumbu, rempah, obat, ramuan, dan bunga-bungaan, (4) penghasil bahan bangunan, (5) penghasil kayu bakar, (6) penghasil bahan dasar kerajinan rumah, dan (7) sumber bahan organik untuk menjaga kesuburan tanah pekarangan sehingga terhindar dari erosi dan
proses perusak lain. Masalahnya, dengan berjalannya waktu luas penguasaan lahan pekarangan menjadi semakin sempit (Hermawan, 1997; Hermawan et al., 2004) dan fungsi pekarangan sebagai lumbung pangan semakin terdegradasi. Saat ini aspek estetika lebih mendominasi fungsi pekarangan. Akibatnya, gagal panen dan goncangan harga pangan di pasar berdampak besar bagi ketahanan pangan petani. Salah satu upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat adalah dengan mendorong masyarakat untuk kembali mengoptimalkan lahan pekarangannya. Upaya untuk memfungsikan kembali lahan pekarangan sebagai lumbung pangan cukup relevan karena luas lahan pekarangan di Indonesia mencapai 10,3 juta hektar atau 14% dari seluruh luas lahan pertanian Indonesia (BBP2TP, 2011). Sementara itu, luas pekarangan di Provinsi Jawa Tengah pada 2010 mencapai 537.288 hektar (Bappeda Jateng dan BPS Jateng. 2012). Lahan seluas itu merupakan sumber daya yang potensial untuk menyediakan bahan pangan namun saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan kegiatan dimaksud. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, dalam kaitannya dengan KRPL Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menginisiasi Model KRPL (MKRPL) sebagai pembaruan rancangan dari program yang telah ada sebelumnya, yaitu Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dan Gerakan Perempuan Optimalisasi Pekarangan (GPOP) (Mardiharini et al., 2011). M-KRPL pada dasarnya merupakan tindaklanjut dari arahan Presiden RI pada acara Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Jakarta International Convention Center (JICC) bulan Oktober 2010 bahwa ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga (Kemtan, 2011). Pada tanggal 14 Januari 2012 KRPL dicanangkan sebagai model pemanfaatan pekarangan untuk memperkuat ketahanan pangan oleh Presiden di Desa Kayen, Kabupaten Pacitan dan harus dikembangkan di seluruh Indonesia. Di Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2011 MKRPL dilaksanakan di dua lokasi, masingmasing Desa Seboto, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali dan Desa Salam, Kecamatan
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
177
UNDIP PRESS
Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Selanjutnya pada tahun 2012, di Jawa Tengah MKRPL dilaksanakan di delapan belas (18) kabupaten dan rencananya pada tahun 2013 MKRPL akan dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah. Untuk itu dipandang perlu untuk mengidentifikasi faktor pendorong keberhasilan dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan MKRPL di Jawa Tengah. Diharapkan faktor kunci yang dipaparkan dalam makalah ini dapat menjadi salah satu dasar bagi pengembangan KRPL sebagai solusi pemantapan ketahanan pangan. METODE Tulisan ini merupakan review dari berbagai bahan kajian dan dokumen yang terkait dengan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari sebagai upaya diversifikasi pangan dan optimalisasi lahan pekarangan khususnya yang terkait dengan implementasinya di Jawa Tengah. Untuk memudahkan pemahaman terhadap MKRPL, dipaparkan rancang bangun MKRPL dan perkembangan implementasinya di 18 lokasi MKRPLJawa Tengah sebagai bahan kajian. Berdasar review dan pemahaman pengembangan di lapangan dapat dirumuskan simpul-simpul kritis untuk faktor pendorong keberhasilan dan permasalahan dalam pengembangan MKRPL. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian hasil dan pembahasan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu rancang bangun MKRPL, implementasi MKRPL, serta fakor pendorong dan permasalahan pengembangan MKRPL. Rancang bangun MKRPL Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) dirancang untuk mendorong terciptanya Rumah Pangan Lestari (RPL) di satu kawasan. Rumah tangga, baik di perkotaan maupun perdesaan didorong untuk menciptakan RPL dengan memanfaatkan halaman atau pekarangan secara intensif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. RPL diterapkan pada rumah dengan pekarangan sempit, sedang maupun luas. RPL diupayakan dapat diterapkan
178
bersama-sama di satu kawasan, baik RT, RW, dusun, atau desa. Dengan demikian KRPL dapat didefinisikan sebagai suatu himpunan rumah yang mampu mewujudkan kemandirian pangan keluarga melalui pemanfaatan pekarangan (BBP2TP, 2011), Sebagai satu model, tujuan ideal dari MKRPL adalah untuk (1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat dengan mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan secara lestari, (2) meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam memanfaatkan lahan pekarangan di perkotaan maupun perdesaan untuk budi daya tanaman pangan, buah, sayuran, toga, ternak, dan ikan, pengolahan hasil, dan pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai kompos, (3) mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan pekarangan dan melestarikan tanaman pangan lokal untuk masa depan, dan (4) .mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri (BBP2TP, 2011; Mardiharini et al., 2011). Pada dasarnya MKRPL adalah kegiatan pemberdayaan berbasis partisipasi masyarakat. Untuk itu pemilihan komoditas dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pangan dan gizi keluarga setempat serta keaneka ragaman pangan dengan memperhatikan kesesuaian agroekologi dan upaya untuk melestarikan sumber daya genetik lokal setempat. Beragam jenis komoditas diusahakan dalam MKRPL untuk mendapat diversifikasi pangan dan prinsip keseimbangan gizi. Untuk menjamin kelestarian implementasinya MKRPL dilengkapi dengan kelembagaan Kebun Bibit Desa, unit pengolahan serta pemasaran untuk penyelamatan hasil yang melimpah (Kemtan, 2011). Aturan main dan pengelolaan Kebun Bibit Desa (KBD) yang dibangun secara partisipatif untuk memasok benih dan bibit yang dibutuhkan ditentukan bersama oleh masyarakat. MKRPL dikembangkan di daerah perdesaan maupun perkotaan. Dalam rancangannya, dilakukan pengelompokan atau strata luas lahan pekarangan, penataan, pemilihan komoditas, dan pengembangannya, serta dibedakan atas pekarangan perkotaan dan perdesaan.
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
Berdasarkan luasnya, pekarangan dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) tanpa pekarangan/tanpa halaman, (2) pekarangan sempit (3) pekarangan sedang; dan (4) pekarangan luas (BBP2TP, 2011; Kemtan, 2011). Sejak perencanaan hingga pelaksanaan pengembangan MKRPL, terdapat sembilan tahapan kegiatan (Kemtan, 2011), sebagai berikut: a) Persiapan berupa pengumpulan informasi potensi sumberdaya dan kelompok sasaran, serta koordinasi dengan para pemangku kepentingan,. b) Pembentukan Kelompok dari, oleh, dan untuk kepentingan para anggota kelompok. Kelompok dibentuk berdasarkan prinsip keserasian, kebersamaan dan kepemimpinan dari mereka sendiri. c) Sosialisasi kepada kelompok sasaran dan para pemangku kepentingan d) Penguatan kelembagaan kelompok, e) Perencanaan kegiatan: berupa
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
penyusunan perencanaan/rancang bangun bersama-sama dengan kelompok dan dinas instansi terkait. f) Pelatihan: teknis dan penguatan kelembagaan. g) Pelaksanaan secara partisipatif h) Pembiayaan, bersumber dari seluruh pemangku kepentingan, dan i) Monitoring dan Evaluasi. Perkembangan MKRPL di Jawa Tengah 2012 Pada tahun 2011-2012 MKRPL di Jawa Tengah dilaksanakan di 19 lokasi di 18 kabupaten (Tabel 1). Sesuai dengan rancang bangun di atas, pada masing-masing lokasi dilakukan pengelompokan berdasarkan luas lahan pekarangannya. Berbeda dengan rancang bangun menurut BBP2TP, (2011) dan Kementerian Pertanian (2011) di Jawa Tengah kelompok tanpa pekarangan/tanpa halaman dan pekarangan sempit digabungkan menjadi Strata I. Dengan demikian hanya terdapat tiga strata,
Tabel 1. Lokasi M-KRPL Dan Jumlah Peserta Awal (KK) Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Jumlah Jumlah Kabupaten Lokasi pelaksana No Kabupaten Lokasi pelaksana (KK) (KK) Boyolali Desa Seboto, Kec. 108 11 Kendal Ds Belimbing, Kec. 28 Ampel Boja Karanganyar Desa Salam, Kec. 55 12 Klaten Desa Puluhan, Kec. 35 Krgpandan Jatinom Tegal Ds. Kalisapu, Kec. 67 13 Magelang Ds Madukoro, Kec. 59 Slawi Kajoran Tegal Ds.Dukuhwaru 75 14 Pekalongan Ds Purwodadi, Kec. 58 Kec.Dukuhwaru Sragi Rembang Kel. Leteh, 50 15 Pemalang Ds.Jebet Utara Kec. 45 Kec. Rembang Taman BanjarDesa Kemiri, Kec. 38 16 Purworejo Ds. Seboro krapyak 54 negara Wanadadi Kec.Banyuurip Batang Ds. Wonokerto, 40 17 Semarang Desa Tawang, Kec. 70 Kec. Bandar Susukan Brebes Desa Pemaron, 15 18 Sragen Ds. Ngrombo, Kec. 25 Kec. Brebes Tangen Cilacap Desa Madura, Kec. 50 19 Wonosobo Ds. Sindupaten Kec. 40 Wanareja Kertek Grobogan Desa Wolo, 23 Kec Penawangan
Ket: * Selain Kabupaten Boyolali dan Karanganyar yang dilaksanakan sejak November 2011, lokasi lain dimulai pada Bulan Maret 2012. Sumber : BPTP Jawa Tengah (2012)
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
179
UNDIP PRESS
yaitu kelompok pekarangansempit dan tanpapekarangan (strata I), pekarangan sedang (strata II) dam pekarangan luas (strata III). Menurut pembagian strata ini, di sebagian besar lokasi, luas pekarangan peserta termasuk dalam strata 1 (Gambar 1). Hanya di Kabupaten Karanganyar, Purworejo, Semarang, dan Sragen yang lahan pekarangannya didominasi oleh strata III (pekarangan luas). Kondisi ini mengindikasikan bahwa di sebagian besar lokasi telah terjadi penyempitan lahan yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk. Penyempitan lahan terjadi disebabkan oleh adanya budaya pewarisan maupun jual-beli lahan. Semakin sempitnya lahan pekarangan, mengurangi kesempatan untuk dapat meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga karena menurut fungsi produksi pertanian luas lahan merupakan faktor produksi (Jatileksono, 1996).
Gambar 1. Persentase Strata Luas Pekarangan Pada MKRPL Jawa Tengah (Sumber: BPTP Jawa Tengah, 2012 – Data Diolah)
MKRPL pada dasarnya merupakan kegiatan pemberdayaan yang mengutamakan partisipasi masyarakat, sejak proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Komoditas yang dipilih dan diusahakan serta pola penataan pekarangan yang dikembangkan dengan demikian sangat ditentukan oleh preferensi, kebutuhan, dan kesesuaian agroekosistem setempat, serta kreativitas masyarakat. Gambaran umum pola penataan dan komoditas yang diusahakan masyarakat MKRPL di Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel di bawah (Tabel 2). Pada tahap awal, sebagian bibit, polybag, dan contoh rak untuk vertikultur diberikan kepada masyarakat. Mengingat bahwa komoditas yang diusahakan dalam MKRPL utamanya adalah tanaman semusim yang berumur pendek,
180
maka ketersediaan bibit sangat penting bagi kelestarian MKRPL. Untuk itu dikembangkan kebun bibit desa (KBD) yang operasionalisnya ditangani oleh lembaga setempat (Kelompok Wanita Tani/KWT, kelompok tani, RT/RW). Masyarakat didorong untuk kembali membeli bibit di KBD setempat setelah tanamannya panen. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat berkreasi untuk membuat persemaian bibit sendiri atau mencari sendiri benih yang diinginkan di luar daerah untuk ditanam. MKRPL dapat dipandang sebagai inovasi untuk suatu masyarakat tertentu dengan tujuan akhir adalah adopsi. Menurut Rogers (1983) inovasi merupakan sebuah ide, praktek, atau obyek yang dipahami sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang/individu. Sebelum pengambilan keputusan adopsi suatu inovasi, terjadi suatu proses dalam diri individu. Proses tersebut dimulai dari (1) pengetahuan awal tentang inovasi, diikuti dengan (2) pembentukan sikap terhadap inovasi dan menuju ke arah (3) pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau menolak; diikuti (4) implementasi inovasi baru serta diakhiri dengan (5) konfirmasi keputusan (Rogers, 1983). Sebagai inovasi, MKRPL mungkin belum sampai pada tahap adopsi, karena menurut Rogers (1983) adopsi mengandung arti sebuah keputusan untuk menggunakan inovasi karena dianggap sebagai praktek terbaik yang ada saat itu sehingga tidak sekedar mencoba. Namun demikian berdasarkan data jumlah pelaksana dan perkembangannya sampai dengan Bulan Juli 2012 (Tabel 3), inovasi MKRPL cukup berkembang dan dapat diterima masyarakat. Kecepatan perkembangan jumlah pelaksana bervariasi antar lokasi dan tampaknya tidak selalu terkait dengan lamanya waktu pelaksanaan. Perkembangan jumlah pelaksana di Karanganyar (269,1 %) dan Boyolali (139,8 %) justru lebih lambat dibandingkan dengan di lokasi lainnya. Persentase peningkatan jumlah peserta di dua lokasi tersebut berturut-turut berada pada urutan ketiga dan ketiga belas, sementara urutan perkembangan pelaksana tercepat di urutan pertama adalah Klaten (548,6 %) disusul oleh Wonosobo (287.5 %). Analisis menunjukkan bahwa kecepatan perkembangan jumlah pelaksana berkorelasi
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
Tabel 2. Implementasi Penataan MKRPL Jawa Tengah Berdasarkan Strata Luas Pekarangan Kelompok Lahan Pola Penataan Budidaya Contoh Komoditas Strata I (Pekarangan Vertikultur-gantung/tempel Bayam, kangkung, sawi, seledri, daun bawang sempit/tanpa Pot/polibag Cabe, tomat, terong, jeruk purut, kol, brokoli, kol halaman) bunga, jeruk purut, empon-empon Kandang ternak Kelinci, marmut Kolam di teras/emperan rumah Lele, nila Strata II (Pekarangan Vertikultur-gantung/tempel Bayam, kangkung, sawi, seledri, daun bawang, sedang) Pot/polibag Cabe, tomat, terong, sawi, seledri, daun bawang, kucai, kol, brokoli, kol bunga Bedengan/tanam di lahan Cabe, tomat, terong, sawi, daun bawang, kucai, kol, brokoli, kol bunga, kacang panjang, Ubi jalar, jagung, talas, ubi kayu, Empor-empon Gapura masuk rumah Paria, gambas, labu siam, kecipir Tanaman buah Pepaya, mangga, kelengkeng, jambu biji, sawo Kandang ternak Kambing/domba, ayam/itik Kolam semen/terpal/tanah Lele, nila Intensifikasi pagar Katuk, mangkokan, beluntas Strata III Vertikultur-gantung/tempel Bayam, kangkung, sawi, seledri, daun bawang, (Pekarangan luas) Pot/polibag Cabe, tomat, terong, sawi, seledri, daun bawang, kucai, kol, brokoli, kol bunga Bedengan/tanam di lahan Cabe, tomat, terong, sawi, daun bawang, kucai, kol, brokoli, kol bunga, kacang panjang, Ubi jalar, jagung, talas, ubi kayu, suweg, gembili, empor-empon Gapura masuk rumah/lahan Paria, gambas, labu siam, kecipir Tanaman buah Pepaya, mangga, kelengkeng, jambu biji, sawo, pisang, durian, Kandang ternak Sapi. kambing/domba, ayam/itik Kolam semen/terpal/tanah Lele, nila Intensifikasi pagar Katuk, mangkokan, beluntas Tanaman pakan ternak Glirisidia Lahan terbuka hijau Gapura masuk gang Paria, gambas, labu siam, kecipir, markisa Tanaman buah jeruk pamelo, mangga, kelengkeng Sayuran Cabe, terong, tomat, daun bawang Tanaman pakan ternak Glirtisidia negatif (-0,444 dengan taraf signifikansi 0,199) dengan persentase Strata III. Artinya lokasi yang mayoritas pekarangannya sempit, perkembangan jumlah pelaksananya akan cenderung cepat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan lahan pekarangan sempit juga mempunyai minat besar memanfaatkan pekarangannya untuk mengusahakan komoditas pangan.
Faktor Pendorong Keberhasilan dan Permasalahan dalam Implementasi MKRPL di Jawa Tengah Berdasarkan pengamatan selama melaksanakan M-KRPL di Jawa Tengah, selain luas lahan pekarangan, terdapat sejumlah faktor pendorong keberhasilan implementasi di lapangan. Faktor pendorong tersebut antara lain
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
181
UNDIP PRESS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Tabel 3. Perkembangan Jumlah Peserta MKRPL Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Jumlah pelaksana awal Perkembangan peserta Lokasi (KK) per Juli 2012 (%) Desa Seboto, Boyolali 108 139.8 Desa Salam, Karanganyar 55 269.1 Desa Kalisapu, Tegal 67 189.6 Desa Dukuhwaru, Tegal 75 212.0 Kel. Leteh, Rembang 50 100.0 Desa Kemiri, Banjarnegara 38 144.7 Desa Wonokerto, Batang 40 177.5 Desa Pemaron, Brebes 15 100.0 Desa Madura, Cilacap 50 154.0 Desa Wolo, Grobogan 23 208.7 Desa Belimbing, Kendal 28 239.3 Desa Puluhan, Klaten 35 548.6 Desa Madukoro, Magelang 59 111.9 Desa Purwodadi, Pekalongan 58 236.2 Desa Jebet Utara, Pemalang 45 100.0 Desa Segorokrapyak, Purworejo 54 107.4 Desa Tawang, Semarang 70 130.0 Desa Ngrombo, Sragen 25 216.0 Desa Sindupaten, Wonosobo 40 287.5
Sumber: BPTP Jawa Tengah (2012) – Data diolah
adalah: 1. Kesesuaian konsep MKRPL dengan akar budaya masyarakat Degradasi fungsi pekarangan untuk usahatani non pangan pada dasarnya belum lama terjadi. Berdasarkan sumber tertulis di Jawa, pekarangan sudah ada pada 860 Masehi (Terra, 1954 dalam Soemarwoto dan Conway, 1992), bahkan pemanfaatan pekarangan diperkirakan sudah ada sejak lebih dari 10.000 tahun yang lalu. Terra (1954) dalam Soemarwoto dan Conway (1992), menduga Jawa Tengah merupakan tempat asal usul pemanfaatan pekarangan di Indonesia. Oleh karena itu MKRPL sebagai implementasi konsep pemanfaatan kembali pekarangan sebagai sumber pangan dapat diterima oleh masyarakat Jawa Tengah.. 2. Model diversifikasi dalam MKRPL menuju Pola Pangan Harapan, berpeluang memberikan kontribusi pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Masyarakat merasakan dampak langsung dari implementasi MKRPL berupa hasil panen yang dapat dikonsumsi, diolah, maupun dijual. Berbagai jenis komoditas
182
pangan yang diusahakan dapat memperbaiki pola pangan keluarga. Kelebihan hasil panen juga dapat dijual untuk menambah pendapatan. Selain hasil panen, pelaksana MKRPL menyatakan bahwa MKRPL juga memberikan kebahagiaan bagi mereka. 3. Ketepatan pemilihan lokasi Sebagai sebuah model yang diharapkan dapat menjadi contoh untuk direplikasi secara luas di daerah lain, ketepatan pemilihan lokasi MKRPL merupakan faktor kunci keberhasilan. Selain lokasinya harus strategis, keberadaan dan pelibatan tokoh lokal yang mempunyai komitmen dan integritas kuat membangun masyarakat sangat penting. Tokoh lokai sebagai agen pembangunan di daerah, paling tidak pada tahap awal, diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk secara serius menangani MKRPL. Termasuk dalam agen pembangunan ini adalah para penyuluh lapangan, pengurus kelompok tani, maupun pamong desa. Menurut Saliem (2011) pelibatan para petugas lapangan setempat dan ketua kelompok mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
kegiatan diharapkan akan berdampak positif pada keberlanjutan dan kemandirian MKRPL 4. Jaminan ketersediaan input dan kesiapan lembaga pengolahan hasil dan pemasaran untuk antisipasi over produksi. Kelestarian implementasi MKRPL juga ditentukan oleh ketersediaan benih/bibit. Hal ini mendasari ditumbuhkannya kebun bibit desa/KBD. Menurut Saliem (2011), penumbuhan dan penguatan lembaga Kebun Benih/Bibit diperlukan untuk menjamin ketersediaan benih/bibit yang diperlukan masyarakat. Selain itu, penyiapan lembaga pengolahan hasil, dan pemasaran juga perlu untuk mengatasi over produksi dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Sejumlah permasalahan juga ditemukan dalam Implementasi MKRPL. Permasalahan utama yang dihadapi antara lain adalah: 1. Perubahan nilai, norma, dan kondisi sosial budaya masyarakat Walaupun pengelolaan pekarangan bukan merupakan hal asing bagi masyarakat Jawa Tengah, saat ini telah dan sedang terjadi perubahan nilai, norma, dan kondisi sosial budaya masyarakat. Nilai individualis sebagai nilai global yang mengutamakan efisiensi, mulai tumbuh dalam masyarakat. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan KBD yang cenderung non profit dan sarat dengan nilai sosial menjadi sulit dioperasionalisasikan. Selain itu, saat ini semakin banyak keluarga yang cenderung membeli dan tidak menyiapkan sendiri makanannya atau hanya menyiapkan makanan setengah masak/instan. Alokasi waktu anggota keluarga untuk berdiam di rumah juga manjadi semakin sempit dan semakin banyak pasangan yang bekerja di luar rumah sehingga lebih banyak waktu yang dihabiskan di luar rumah. Akibatnya, anggota keluarga tidak optimal melakukan perawatan komoditas pangan yang perlu dilakukan secara intensif. 2. Belum dikuasainya teknologi budidaya pertanian, Menurut konsepnya, MKRPL diharapkan dapat diterapkan di perdesaan dan perkotaan. Paling tidak untuk daerah perkotaan dan peri urban, tidak banyak
anggota masyarakat yang menguasai ketrampilan dalam budidaya pertanian. Karena banyak teknologi budidaya yang tidak dikuasai masyarakat, produktivitas tanaman dan ternak/ikan yang diusahakan menjadi rendah. 3. Pasokan air untuk menyiram tanaman dan tanah untuk media tanam di perkotaan dan peri urban terbatas Luas pekarangan saat ini cenderung sempit dan ditutup secara permanen, maka budidaya di pekarangan lebih banyak dilakukan dengan pot/polybag. Di perkotaan dan peri urban, masyarakat harus membeli tanah dan bahan organik untuk media tanam. Media tanam dalam pot/polybag yang terbatas juga menyebabkan hara dan air perlu dipasok terus menerus. Masalah muncul karena di banyak lokasi, air merupakan barang ekonomi yang bernilai tinggi khususnya pada musim kemarau. Karenanya paling tidak pada musim kemarau, banyak masyarakat yang tidak mampu mempertahankan tanamannya. 4. Tenaga kerja terbatas Secara umum jumlah anggota keluarga yang tertarik untuk secara serius melakukan budidaya pertanian menurun. Perubahan struktur dan budaya masyarakat yang lebih banyak berada di luar rumah, menyebabkan waktu yang tersedia untuk merawat berbagai komoditas pangan yang diusahakan dalam MKRPL semakin sempit. KESIMPULAN •
•
•
•
MKRPL dapat diterima oleh masyarakat dan dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai suatu model optimalisasi pekarangan untuk meningkatkan Pola Pangan Harapan/PPH, pendapatan, dan kesejahteraan keluarga. Perkembangan jumlah pelaksana MKRPL cenderung lebh cepat di kawasan yang didominasi oleh pekarangan yang lebih sempit Keberhasilan implementasi MKRPL didorong oleh sejumlah faktor, utamanya kesesuaian MKRPL dengan akar budaya dan dampak langsung yang dirasakan oleh pelaksana MKRPL Implementasi MKRPL menghadapi
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
183
UNDIP PRESS
permasalahan utama berupa perubahan nilai, norma, dan kondisi sosial budaya masyarakat, belum dikuasainya teknologi budidaya pertanian, dan terbatasnya sumberdaya air dan tanah untuk media tanam. Untuk itu perlu adanya pengembangan teknologi irigasi hemat air dan hemat tenaga kerja serta pengembangan media tanam non-tanah.. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Jateng dan BPS Jateng. 2012. Jawa Tengah Dalam Angka 2012. Kerjasama Bappeda Provinsi Jawa Tengah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. http://jateng.bps.go.id/Publikasi %20Terbit/jawa%20tengah%20dalam %20angka%202012/index.html. [30 Oktober 2012]. BBP2TP. 2011. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Pengembangannya ke Seluruh Provinsi di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Volume 33 (6): 3-5. BPTP Jawa Tengah. 2012. Laporan Tengah Tahun: Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-Krpl) Di Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Danoesastro, H. 1997. Peranan pekarangan dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional pedesaan. Pidato Dies Natalis XXVIII UGM. Hadjah Mada University Press. Hermawan , A. 1997. Dampak revolusi hijau pada distribusi pendapatan di daerah pedesaan. Dian Ekonomi. FE-UKSW. Hermawan, A., A. Choliq, F.D. Ariyanti, Sarjana, Sumardi, Suprapto. 2004a. Ketimpangan penguasaan lahan dan sumber pendapatan petani: Kasus Kabupaten Temanggung. dalam I.W. Rusastra et al. (Eds.).
184
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Lokal Untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. PPSEP bekerjasama dengan BPTP Bali. Pp. 25-30. Jatileksono, T. 1996. "Meningkatkan pendapatan petani dengan teknologi". Makalah pada Seminar Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bappeda TK I Jawa Tengah, Semar¬ang 13-14 Nopember 1996. Kemtan. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Kementerian Pertanian. Mardiharini, M., K. Kariyasa, Zakiah, Dalmadi, A. Susakti. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 45 hal. Saliem, H.P. 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL): Sebagai Solusi Pemantapan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS), di Jakarta tanggal 8-10 November 2011 Rogers, E.M. 1983. Diffusion of Innovation. 3rd Ed. The Free Press. A division of Macmillan Pub. Co. Inc. New York Rozi.
F. 1997. Nilai ekonomi dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya tanah. Dalam Sudaryono et al. (Eds.). Perlindungan Sumberdaya Tanah untuk Mendukung Kelestarian Pertanian Tangguh. Balitbangtan, Puslitbangtan, Balitkabi. Edisi Khusus Balitkabi No. 101997. Pp. 112-119.
Soemarwoto, O., and G. R. Conway. 1992. The Javanese homegarden. Journal for Farming Systems Research-Extension 2 (3): 95118.
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012