Executive summary KONTEKSTUALISASI AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG KISAH PARA NABI (QASASUL ANBIYA) TERHADAP PERADABAN KONTEMPORER Oleh: Khoirul Anam, SHI., MSI.
[email protected] Staf Pengajar dan Pembantu Ketua III di Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta dan Dosen LB di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Salah satu faktor dominan yang menjadikan peradaban Islam mundur adalah ketidakmampuan umat Islam dalam menangkap pesan ayat-ayat Allah, baik kauniyah maupun qauliyahnya. Padahal, dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa syari’at Islam bersifat kaffah, sempurna, salih li kulli zaman wa makan serta sudah pasti kebenarannya. Jika umat islam mampu memahami pesan tersebut dengan cermat, maka umat Islam tidak mungkin menjadi pecundang, tetapi akan menjadi pemenang karena semuanya sudah tersedia dalam Al-Quran. Umat Islam akan menjelma menjadi peradaban yang unggul dan tidak ada peradaban lain yang mampu mengunggulinya (ya’lu wala yu’la ‘alaih). Namun realitas berbicara lain. Umat Islam saat ini hidup dalam kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan ketertindasan. Salah satu faktornya adalah karena kesalahan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran yang ada kaitannya dengan sains. Sebagian besar umat Islam memahami ayat-ayat Al-Quran secara transenden, normatif dan mistik. Padahal dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang sains yang harus dipaami secara ilmiah dan empiris. Kesalahan ini membuat Al-Quran terlihat bertolak belakang dengan teori-teori ilmiah. Dibutuhkan langkah-langkah strategis agar umat Islam bisa mencapai puncak kejayaannya kembali seperti pada masa dinasti Abbsiyah. Salah satunya adalah dengan mengembangkan penafsiran ayat-ayat Al-Quran secara komprehensif, rasional dan kontekstual. Selama ini, mayoritas penafsir –terutama penafsir zaman klasik-- hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara tekstual dan parsial1 sehingga banyak ayat yang mestinya berbicara tentang experimental sciences malah dipahami secara mistis-transendental. Oleh Ignaz Goldziher
1
Tafsir parsial disebut juga dengan tafsir tahlili. Tafsir tahlili adalah tafsir ayat per ayat dan surat persurat. Untuk lebih jelasnya baca Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Tazzafa, 2012), hlm. 122.
disebut dengan tafsir bil ma’tsur2. Hal tersebut tentu berimplikasi bagi peradaban umat Islam. Sebagai kitab suci terakhir, Al-Quran tidak hanya berbicara tentang aqidah, syari’at dan akhlak tetapi juga berbicara tentang ilmu sosial, ekonomi dan ilmu alam. 3 Tafsir parsial telah menyebabkan umat Islam gagal dalam memahami keutuhan ajaran Al-Quran.4 Jika umat Islam tidak bisa memahami Al-Quran secara komprehensif sesuai dengan konteks zaman dan jenis keilmuannya, maka umat Islam sejatinya telah mengerdilkan Al-Quran itu sendiri. Secara tidak sadar, umat Islam telah melupakan salah persoalan penting Al-Quran, yaitu experimental sciences yang menjadi simbol kemajuan peradaban manusia di dunia. Jika umat Islam melupakan experimental sciences tersebut, maka umat Islam secara tidak langsung tidak mengakui kesempurnaan Al-Quran atau bisa disebut ―kafir‖ dalam masalah tersebut. Jika umat Islam ―kafir‖ dalam masalah exsperimental sciences, maka Allah menghukum umat Islam dengan kemunduran peradaban. Selain mundur peradabannya, tafsir tekstual-parsial juga membuat Al-Quran seperti buta dan bisu. Al-Quran terlihat tidak mampu merespon tantangan zaman, tidak kontekstual dan tidak mampu memberikan solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia modern. Imbasnya, banyak umat Islam yang berpaling dari Al-Quran. Banyak umat Islam yang lebih memilih hukum Barat maupun adat karena dianggap lebih menjamin kemaslahatan dan sesuai dengan standar keadilan mereka. Hal tersebut jelas bertentangan dengan jargon Al-Quran sebagai ajaran yang sempurna, lengkap, akan selalu kontekstual dan sudah pasti kebenarannya. Ayat-ayat experimental sciences yang ada dalam Al-Quran namun sering dilupakan oleh umat Islam adalah ayat-ayat tentang kisah para Nabi (qasasul anbiya’). Jika dicermati secara komprehensif, maka ayat-ayat Al-Quran yang terkait dengan kisah para nabi ini mencerminkan adanya kandungan experimental sciences. Namun karena selama ini penafsiran Al-Quran bersifat tekstual-parsial atau tahlili5, maka nilai-nilai exsperimental sciences-nya tenggelam dalam tekstualisme tersebut. Padahal, jika umat Islam mampu mengkontekstualisasikan nilai-nilai experimental sciences dari ayat Al-Quran tentang kisah para nabi tersebut, maka Islam akan 2
Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, Terj. Abdul Halim an-Najar, (Mesir: Maktabah al-Khanji, 1955), hlm. 73 3 Dalam Al-Quran disebutkan bahwa syari’at Islam bersifat kaffah. Itu artinya syari’at tidak hanya memuat ilmu agama (akidah, fikih dan akhlak) tetapi juga ilmu sosial dan alam. 4 Fazlurrahman, Islam and Modernity, Transformation of an intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 2-3. 5 Tafsir tahlili adalah bentuk penafsiran ayat per ayat dan surat persurat tanpa mempertimbangkan korelasi antara ayat yang satu dengan ayat yang lain.
menjadi peradaban maju bahkan unggul. Hal ini dibuktikan oleh umat Islam pada masa dinasti Abbasiyah yang maju peradabannya karena menggunakan tafsir ilmiah dalam memahami AlQuran. Ada beberapa ualama’ kontemporer yang mempunyai penafsiran progresif terkait dengan ayat-ayat Al-Quran tentang kisah para nabi. Di antaranya adalah professor Yudian Wahyudi, seorang guru besar filsafat Hukum Islam dari UIN Sunan Kalijaga (sekarang Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Ia mencoba menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tentang kisah para nabi dengan penafsiran yang progresif-kontekstual. Dalam penafsirannya, para nabi sebenarnya adalah ilmuan pada zamannya. Para Nabi disebut ilmuan (ulama’) karena mereka tidak hanya mempunyai syir’ah tetapi juga menguasai ilmu praktis. Nabi Nuh misalnya adalah arsitektur kapal yang sangat luar biasa sehingga kapal buatannya tidak tenggelam oleh banjir maupun badai yang maha dahsyat. Namun karena semuanya dikaitkan dengan mukjizat yang bersifat mistik, maka umat Islam hanya memahami ayat tersebut secara mistis-transendental, bukan ilmiahkontekstual. Masih banyak cerita para Nabi yang dijelaskan dalam Al-Quran yang ada kaitannya dengan exsperimental sciences, seperti kisah Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Namun karena penafsiran parsial terkait dengan ayat-ayat qasasul anbiya’ tersebut, maka ayat-ayat tersebut menjadi tidak kontekstual dan tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh manusia kontemporer.6 Di era kontemporer seperti sekarang ini, dibutuhkan penafsiran Al-Quran secara progressif-kontekstual –terutama yang terkait dengan ilmu alam— agar jargon Al-Quran sebagai kitab yang lengkap, sempurna dan akan selalu kontekstual sampai kapanpun dan di manapun bisa dibuktikan keabsahannya. Hal ini penting, karena jika umat Islam tidak mampu membuktikan kebenaran Al-Quran, maka sebagian umat Islam akan berpaling dari Al-Quran. Mereka akan lebih memilih hukum lain yang selaras dengan nilai kebenaran dan keadilan menurut perspektif mereka. Inilah pentingnya para mujtahid dan para ulama’ kontemporer menemukan kebenaran Al-Quran, terutama yang terkait dengan ilmu alam (exsperimental siciences). Jika umat Islam mampu menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara komprehensif-kontekstual, maka sebenarnya ayat-ayat tentang kisah para Nabi tersebut memuat keilmuan exsperimental siciences.
6
Untuk lebih jelasnya baca Prof. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D. Dari McGill ke Oxford, Bersama Ali Shari’ati dan Bint al-Shatti, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2014), hlm. 43.
Selama ini, mayoritas umat Islam meganggap bahwa ayat-ayat Al-Quran yang terkait dengan kisah para Nabi hanya memberikan pelajaran theologis-normatif bukan ilmiahkontekstual. Bahkan samapai sekarang ini, di mana dunia sains Islam mengalami kemunduran dahsyat, penafsiran ayat-ayat tentang qasasul anbiya tetap saja tidak beranjak dari pakemnya. Tak heran jika keberadaan ayat-ayat qasasul anbiya terkesan tidak relevan dengan zaman dan kurang bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh manusia kontemporer. Padahal, jika berbicara tentang syari’at yang kaffah, maka ayat-ayat Al-Quran tentang kisahkisah para Nabi tidak hanya berbicara tentang akidah, fikih dan akhlak, tetapi juga terkait dengan ilmu sosial dan ilmu alam. Kisah para Nabi dalam Al-Quran menunjukkan bahwa para Nabi selain mempunyai soft skill (akidah, ibadah mahdlah dan akhlak) juga mempunyai hard skill (minhaj experimental sciences sebagai mode of production) sehingga mereka dapat menyelamatkan dan memperjuangkan umatnya melalaui ketrampilan yang mereka miliki.7 Seperti diketahui bersama, hampir semua Nabi mempunyai ketrampilan dalam bidang experimental sciences yang berguna untuk menjawab/menyelesaikan berbagai macam problem dan tantangan umatnya. Nabi Nuh mempunyai kemampuan membuat kapal yang megah dan kuat (K.H. ..., S.T. Perkapalan )8, Nabi Dawud mempunyai kemampuan membuat baju perang dari besi (K.H. …, S.T. Besi)9, Nabi Yusuf mempunyai kemampuan dalam bidang menejemen ekonomi (K.H. ..., S.E.)10 dan Nabi Isa mempunyai skill di bidang kedokteran (K.H. dr).11 Berbagai macam keilmuan praksis ini telah menjadikan para Nabi sebagai manusia luar biasa yang tidak hanya bisa shalat, zakat, puasa dan beramal shalih, namun juga mempunyai ketrampilan praktis (hard skill) untuk menyelesaikan berbagai macam problem yang dihadapi oleh umatnya. Jika memahami ayat-ayat qasasul anbiya secara mendalam dan seksama, maka akan terlihat bagaimana semua Nabi, selain dibekali dengan soft skill juga dibekali dengan hard skill agar mampu menciptakan sesuatu yang bisa dimanfaatkan serta mampu menghadapi tantangan umatnya.12
7
Untuk lebih jelasnya baca Yudian Wahyudi, dari McGill ke Oxford, bersama Ali Syari’ati dan bin alShati, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2014), hlm. 43. 8 QS. Al-Mukmunun: 28 dan QS. al-Qamar: 13.) 9 QS. al-Anbiya: 80. 10 QS. Yusuf: 47-49. 11 QS. al-Maidah: 110. 12 Untuk lebih jelasnya baca Yudian Wahyudi, dari McGill ke Oxford, bersama Ali Syari’ati dan bin alShati, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2014), hlm.
Namun kenyataan ini ―gagal‖ dipahami oleh umat islam pada umumnya yang hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang terkait
dengan kisah para Nabi dengan penafsiran
transendental, mistis, abstrak dan spiritual. Mereka menafikan keberadaan hard skills para Nabi dalam memproduksi berbagai macam alat untuk menjawab tantangan umatnya. Mayoritas umat Islam hanya menganggap bahwa mukjizat yang dimiliki oleh para Nabi yang bersifat experimental sciences bersifat mistis dan nilainya tidak bisa ditiru dan diaplikasikan dalam kehidupan rill umat Islam. Mukjizat hanya dipahami sebagai sesuatu yang di luar kemampuan logika manusia dan hanya diberikan kepada para Nabi. Manusia biasa tidak bisa melakukan hal tersebut karena tidak mendapat mukjizat dari Allah. Pemahaman seperti ini sudah berlaku secara turun temurun bahkan sudah mendarah daging sehingga susah dirubah. Padahal, perlu dipahami bahwa para ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sebagai pewaris Nabi, orang-orang ‘alim harus bisa meniru keilmuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para Nabi agar mampu menjawab berbagai macam tantangan zaman. Para Nabi selain mempunyai ilmu syir’ah juga mempunyai experimental sciences sebagai alat produksi sehingga para ulama’ juga mestinya mempunyai modal yang sama. Selama ini ada kekeliruan di kalangan umat islam dalam memahami arti ulama’. Umat Islam kebaayakan menyamakan pengertian ulama’ (jama’ dari kata alim) dengan fuqaha (jamak dari kata faqih). Padahal keduanya jelas berbeda. Sekarang ini, ulama’ identik dengan sarjana agama yang hanya mempunyai syir’ah sehingga umat Islam lemah. Ulama’ sebagai pewaris Nabi hanya sarjana soft skill (akidah, ibadah mahdlah dan akhlak). Mereka hanya punya syir’ah (nilai-nilai metafisis, transendental, spiritual, abstrak dan teoritis sehingga lebih banyak bicara sedikit bekerja. Bagaimana sarjana syari’ah bisa menjadi pewaris Nabi Nuh yang bisa membuat kapal dan bagaimana pula sarjana ushuluddin bisa menjadi pewaris Nabi Dawud yang bisa menciptakan Pakaian besi. Selain menafsirkan ayat-ayat qasas al-anbiya secara progressif-kontekstual, professor Yudian Wahyudi juga merekomendasikan agar umat Islam segera melakukan pertaubatan ilmiah dengan memfardu’ainkan ilmu-ilmu umum bagi umat Islam agar lahir generasi-generasi saintis muslim namun tetap menguasai bahasa Arab. Caranya adalah dengan mendirikan atau mengembangkan berbagai lembaga pendidikan dalam semua tingkatannya yang concern terhadap pengembangan ilmu sains namun tetap mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, terutama bahasa Arab sebagai bahasa ibu Al-Quran.
Pesantren selama ini hanya mem-fardu ain-kan kitab kuning bagi semua santrinya. Seluruh potensi dan bakat santri pada akhirnya hanya diarahkan pada satu bidang, yakni penguasaan kitab kuning. Padahal, bakat yang dimiliki oleh santri sangat banyak. Dalam hal ini, pesantren menghasilkan over spesialisasi: ratusan ribu lulusan dengan hanya dalam satu bidang. Karena hanya muslim dalam satu bidang, maka ada sanksi sosialnya yang bersifat universal dan absolut, yakni kelangkaan lulusan pesantren yang pakar dalam bidang biologi, geologi, fisika, kimia, matematika, bahasa asing (Inggris, Perancis dan Jerman misalnya) dan lain-lain. Jadi, peradaban NU adalah satu dimensi (one dimensional civilization). Pesantren panen STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam Islam), tetapi miskin universitas! Pesantren panen guru agama Islam, tetapi miskin, misalnya, guru matematika.13 Pesantren harus segera mem-fardu ain-kan ilmu-ilmu empiris sebagai penguatan sains dan teknologi. Tanpa basis ilmu-ilmu empiris, maka gagasan tentang penguatan sains dan teknologi akan sulit terwujud. Jika pun bisa, maka umat Islam hanya akan menjadi konsumen bukan produsen. Dengan kata lain, pesantren harus segera melakukan ―pertaubatan ilmiah‖ (kembali ke ilmu-ilmu alam), apalagi banyak bakat, potensi dan minat santri. Kalau pesantren sudah established baik perangkat konseptual maupun aplikatifnya –yang meliputi: (1) kemampuan bahasa Inggris, Perancis atau Jerman (karena bahasa Arab sudah selesai dikuasai dari dulu) dan (2) kemampuan di bidang ilmu-ilmu eksak (karena bidang dirasah Islamiah juga memang sudah lama terkuasai)— maka akan mudah mewujudkan proses tersebut.14 Inilah yang oleh Profesor Yudian disebut sebagai Ulama’ Plus yang siap menggantikan posisi para Nabi. Prof Yudian Wahyudi juga mendirikan sekolah TK, SD, SMP IT Sunan Averroes untuk merealisasikan gagasan besarnya tersebut. Di lembaga pendidikannnya tersebut Prof Yudian menerapkan kurikulum tersendiri yang berbeda dengan kurikulum sekolah pada umumnya. Kurikulum tersebut bertujuan untuk melahirkan ulama’-ulama’ plus pengganti para Nabi yang tidak hanya mempunyai syir’ah tetapi juga menguasai eksperimental sciences agar di kemudian hari mampu menjawab tantangan zaman. Inilah jawaban terhadap berbagai macam kemunduran yang selama ini dialami oleh umat Islam.
13
Untuk lebih jelasnya, baca Yudian Wahyudi, Islam: Percikan Sejarah, Filsafat,Politik, Hukum dan Pendidikan, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2010)., hlm. 121. 14 Ibid.
Inilah pentingnya mengilmiahkan ayat-ayat qasasul anbiya agar ayat-ayat tersebut kontekstual, membumi dan bisa dirasakan manfaatnya di dunia maupun di akhirat. Ayat-ayat AlQuran yang berbicara tentang kisah para Nabi secara tekstual, melangit, mistis, transenden dan spiritual harus dirubah menjadi pemahaman Al-Quran yang bercorak kontekstual, rasional, ilmiah dan membumi. Dan salah satu tafsir progresif tersebut adalah tafsir yang dilakukan oleh Profesor Yudian Wahyudi.