511
ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEDOKTERAN DI'IINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM * •
_ _ _ _ _ __ _ Oleh: Soerjono Soekanto _ _ _ _ _ _ __ Pengantar Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J .S. Poerwadarminta, tidak dijumpai istilah profesi maupun pengartiannya. Istilah profesional di dalam kamus terse but diartikan sebagai orang yang melakukan olah raga dengan menerima bayaran. Oleh karena itu mengenai istilah profesi terse but harus diearl dalam kamus-kamus lain, umpamanya di dalam kamus bahasa asing. Hal itu penting sekali, agar supaya ada suatu pegangan mengenai istilah-istilah, termasuk juga istilah etika (atau etik) maupun hukum kedokteran. Di dalam kamus van Dale's "Groot Woordenboek der Nederlandsche Taal" profesi diartikan sebagai ".. . beroep, bedriif, handwerk ", dan seterusnya. Rumusan tenta.Qg profesi terse but, akan diambil darl beberapa kamus lainnya, sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang r.elatif lengkap. Di dalam "A Modern Dictionary of Sociology" dinyatakan, bahwa suatu profesi adalah: "... a high·status occupation of highly trained experts performing a very specialized role in society. A profession has exclusive possession of competence in certain types of knowledge and skills ' crucial to society and its indivi· dual clients".
*
Disampaikan pada Simposium Etika Profesi dan Hukum Kedokteran, IDI Cabang Jambi, 21 Oktober 1983.
Selanjutnya di dalam "Dictionary of Sociology and Related Sciences" akan dapat dijumpai eiri-eiri profesi, sebagai berikut: ". . . a high degree of technical skill, entailing specialized preparation generally at recognized institutions of learning, official regulation and licensure, a strong feeling of class honor and solidarity, manifested in vocational associations to secure a monopoly of services, and in codes of ethics enjoining the responsibility of the profession to the collective it serves".
Hans-Dieter Evers dan Daniel Regan yang mengadakan penelitian tentang peranan dokter se bagai pelopor perubahan di Indonesia dan Malaysia berpendapat, bahwa seorang profesional (Hans-Dieter Evers and Daniel Regan 1978). ". . . practises a fulltime occupation; he is committed to a calling, i.e. he treats his occupation as an endurin$ set ofnormative and behavional expectations; he is identified with his peers, often in formalized organizations; he is in the possession of useful knowledge and skills based on specialized training or education of exceptional duration; he is committed to rules of competence, conscientious performance and service and he enjoys autonomy due to a high degree of technical specialization ".
Sebagai tambahan terhadap apa yang menjadi profesional terse but (atau fungsinya), maka Morse menyatakan bahwa (C. Morse 1961).
512 "The professional is expected above all to be loyal to the ideas, ethics, and standards of his profession rather than to the employer".
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa eiri-eiri suatu profesi (termasuk profesi kedokteran) terwujud di dalam asosiasi-asosiasi, dan kode etik. Apakah etika atau etik itu ? Etika diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan ten tang azas-azas ahlak atau moral, oleh Poerwadarminta. Seeara sederhana hal itu dapat dirumuskan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan falsafah sikap tindak yang benar dan/atau yang salah. Rumusan ten tang etika yang seeara relatif lengkap, dapat dijumpai di dalam "Dictionary of Modern Sociology", di mana etika diartikan seba• gal: "The normative study of norms; the philosophy specialty concerned with the systematic study of that which is defined as "the highest good", with ethical absolutism stressing the idea that there is a single, eternally true moral code that is applicable to all men regardless of time and culture, and with ethical relativity stressing the idea that there is no known moral standard which is equally applicable to all men ".
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa etika tidak mungkin dipisahkan dati profesi oleh karena etika tersebut merupakan suatu perwujudan datipada eiri-eiti profesi yang menyangkut tanggung jawab keahlian kepada masyarakat. Hukum Kedokteran dapatlah dikatakan merupakan perangkat norm anorma hukum yang mengatur profesi kedokteran. Dalam hal ini, maka norma-norma hukum tersebut memberikan batas-batas atau patokan-patokan mengenai sikap tindak yang dikehendaki atau yang pantas. Terhadap patokan tersebut mungkin dilldakan
Hukum dan Pembangunan
pengeeualian-pengeeualian; namun tidaklah mustahil, bahwa terjadi penyelewengan. Dengan demikian, maka etika menyangkut sikap tindak yang benar atau salah, sedangkan hukum betisikan larangan, suruhan dan kebolehan. Kalau etika berkaitan dengan hati nurani (geweten), maka norma hukum berkaitan dengan kedamaian (vrede).
Apabila hal-hal tersebut diatas ditinjau dati sudut sosiologi hukum, maka masalahnya berkaitan dengan efektivitas dati efektivitas. Artinya, sampai sejauh manakah etika profesi dan hukum kedokteran (yang tertulis) efektif atau meneapai tuiuannya. Hal tersebut • kadang-kadang din am akan dampak yang positif ataupun negatif (dalam hal etika dan hukum tidak mencapai tujuan). Masalah itu akan dibahas secara garis besar di dalam tulisan ini.
Patokan negatif
dampak
positif dan
Dati sudut bahasa (Indonesia), maka "dampak" lazimnya diartikan sebagai suatu benturan, yang mempunyai konotasi negatif. Akan tetapi, apabila "dampak" merupakan terjemahan dati "impact" (bahasa Inggetis) , maka hal itu mungkin mempunyai pengaruh yang positif atau negatif. Di dalam hal ini, maka pengaruh terse but tertuju pada perilaku manusia, setelah melalui pengetahuan dan pemahaman tertentu. Oleh karena itu sepanjang mengenai etika profesi dan hukum kedokteran dati sudut dampaknya, harus ditinjau dati tahaptahap terse but. Dampak yang positif akan menghasilkan suatu proses kepatuhan, sehingga perilaku manusia menjadi sesuai dengan etika profesi atau hukum kedokteran. Misalnya, di dalam Kode
•
513
Hukum Kedokteran
Etik Kedokteran Indonesia antara lain dirumuskan, bahwa salah satu kewajiban dokter terhadap penderita adalah senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Contoh lain adalah, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, yaitu antara lain, bah wa setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Di dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1963 ten tang Tenaga Kesehatan , antara lain diatur perihal perilaku yang dilarang bagi tenaga kesehatan (termasuk dokter; lihat pasal 11). Kalau larangan tersebut tidak dilanggar, maka dokter melakukan perilaku yang sesuai dengan hukum tertulis yang berlaku (artinya dia mematuhi peraturan tersebut). Oleh karena itu dapatiah dikatakan, bahwa dampak positif dari etika profesi maupun hukum kedokteran akan ada, apabila para pihak yang terkena mematuhinya. Akan tetapi, kepatuhan terse but mungkin terjadi karena pelbagai sebab atau faktor , yang kemudian akan dapat memberikan petunjuk sampai sejauh manakah taraf ketaatan terse.but. Secara garis besarnya, maka faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepapatuhan adalah, sebagai berikut:
•
1. Untuk menghindarkan diri dari hukum atau sanksi negatif, sebagai akibat melanggar etika atau hukum, 2. Untuk mendapatkan kepuasan di dalam diri sendiri, yang terlepas dari suatu rasa kesetiaan, ataupun keadilan, 3. Untuk menyenangkan pihak-pihak lain, sehingga dihargai, 4. Untuk mendapatkan kehormatan, 'karena telah melakukan tugasj kewajiban, 5. Untuk mempertahankan stabilitas dalam masyarakat, 6. Untuk mempertahankan nilai-nilai
yang berlaku yang dianggap serasi baik diri sendiri, maupun bagi pihak-pihak lainnya. Faktor yang keenam terse but diatas secara teoritis dianggap telluasuk kategori kepatuhan yang tinggi, oleh karena di dalam wujud perilaku nyata merupakan konkretisasi dari nilai, etika maupun norma hukum yang berlaku. Secara visual sistematis gambarannya adalah, sebagai berikut: Nilai berkaitan dengan apa yang baik ;
apa yang buruk .j,
Etika berkaitan dengan apa yang benar;
apa yang salah
Norma hukum berkaitan dengan suruhan; larangan ke bolehan Dengan demikian dapatiah disimpulkan, bahwa dampak yang positif dari etika profesi dan hukum kedokteran menghasilkan perilaku yang sesuai dengannya. Dampak yang negatif akan menghasilkan perilaku nyata yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan etika profesi dan hukum kedokteran yang berlaku.
Peranan dokter di dalam kenyataannya Apabila pembicaraan mengenai dampak positif dan negatif dilanjutkan, maka tibalah .saatnya untuk mengadakan identifikasi terhadap masalah apakah etika profesi maupun hukum kedokteran benar-benar diterapkan dalam masyarakat. Artinya, apakah po1a perilaku yang nyata dari dokterdokter cenderung mematuhi at au tidak mentaati etika profesi dan hukum kedokteran yang berlaku. Nopember 1983
•
•
Hukum dan Pembangunan
514
Untuk kepentingan identifikasi tersebut, akan diadakan analisa singkat, dengan jalan menghubungkan rumusan tertentu di dalam etika profesi dan pasal tertentu hukum kedokteran, dengan kenyataan yang ada. Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban Umum di dalam. pasal' 8 dirumuskan, bahwa : "Di dalam melakukan pekerjaannya. seorang , dokter harus mengutamakan/ mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pela· yanan kesehatan yang menyeluruh (pro· motif. preventif, kuratif, dan rehabili· tati!) serta berusaha menjadi pendidik dan, pengabdi masyarakat yang sebenar· nya".
Rumusan tersebut di atas dapat dikaitkan dengan pasal 1 dan 2 dari Undang-Undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Di dalam pasal-pasal terse but antara lain dinyatakan, bah wa setiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang a dan kesehatan tersebut mencakup kesehatan badan, rohaniah dan so sial. Bagaimanakah kenyataannYil ? Untuk menjelaskan hal tersebut diatas, akan disajikan beberapa pokok hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Hans-Dieter Evers bersama dengan Daniel Regan yang kemudian dimuat di dalam buku Sosiologi Perkotaan (1982) dengan judul Peranan para Dokter di Malaysia dan Indonesia. Studi terse but dilakukan terhadap para dokter di kota-kota kecil di negara yang sedang berkembang dengan mengambil contoh Malaysia dan Indonesia. Kedua peneliti tersebut bertitik: pada asumsi, bahwa (Hans-Dieter Evers 1982). "/(arena spesialisasi fungsional peranan mereka yang semakin meningkat, maka kIlum pT.ofesional itu cenderung bergerak rnakin terasing dari pembaharuan,
pembaharuan yang sedang berlangsung dari masyarakat luas. Spesialisasi yang meningkat mengurangi mantaat umum kelompok protesional dengan menyumbat komunikasi an tara mereka dengan lapisan sosial lainnyti. Dalam hal ini para protesional itu condong menggunakan spesilisasi profesional dan tingkat kecakapan teknik yang tinggi untuk mengkonsolidir status dan kekuasaan mereka sendiri dan bukan untuk pengembangan dan modernisasi sosia!. Dengan demikian maka sumber daya kaum protesional seperti pengetahuan modern dan kemampuan berorganisasi bukannya dipergunakan untuk menyebarkan pembaharuan-pembaharuan. melainkan untuk memonopolinya".
Secara sosiologis hal itu ada benarnya, oleh karena d6kter biasanya menikmati suatu kedudukan tinggi, dan dari sudut peranannya dokter tersebut mempunyai unsur-unsur dominasi tertentu (kalau umpamanya, dihubungkan dengan kedudukan dan peranan pasien). Dahulu pada masyarakat-masyarakat yang sekarang merupakan masyarakat berkembang, hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien didasarkan pada fungsi curing. Dewasa ini tekanan diletakkan pada fungsi caring. sehingga mernerlukan pola hubungan kepercayaan yang agak berbeda, oleh karena kedudukan ,dan peranan dokter adalah suatu unsur dari konteks kesehatan secara menyeluruh . (Ruud Verberne 1976). Di dalam penelitiannya tersebut, Dieter Evers dan Regan menemukan kenyataan, bahwa para dokter pada umumnya memperiihatkan hanya sedikit keterlibatan mereka di dalam rnasalah-masalah sosial. Mereka cenderung untuk membatasi aktivitas modernisasi (yang juga mencakup aspek kesehatan) pada spesialisasi profesi belaka. Beberapa faktor yang menyabkannya ada1ah sebagai berikut. "Pelbagai aspek proses protesionalisasi
.
.
515
Hukum Kedokteran terutama lamanya jangka waktu pendidikan yang diperlukan. semuanya bergabung dan menyebabkan orientasi individual ke arah masyarakat yang lebih luas sifatnya dan pada masyarakat setempat. Orientasi ke arah pusat profesional metropolitan menyebabkan hambatan terhadap keahlian mereka secara terus menerus di suatu kota kecil yang terpencil. Malahan, bagi para profesi, onal yang terus tinggal. ada beberapa faktor yang menghalangi potensi mereka sebagai penggerak modernisasi".
Bagaimanakah hubungan antara hasil penelitian tersebut dengan rumusan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia maupun Undang-Undang nomor 9 tahun 1960 yang disebutkan dimuka? Dari etika profesi maupun hukum kedokteran tersebut diambil beberapa pasal yang terutama menyangkut ke-· wajiban dokter untuk menjadi pendidik masyarakat dan bahwa warga masyarakat mempunyai hak untuk dididik (misalnya dalam bidang kesehatan oleh Dieter-Evers dan Regan dapat disimpulkan. bahwa aturan etika maupun hukum yang disebutkan di atas belum mempunyai dampak yang positif; artinya, belum efektif. Hal ini b ukanlah berarti bah wa dengan sendirinya terjadi dampak yang negatif, oleh karena perilaku dari dokter yang diharapkarr atau ditentukan, di dalam kenyataannya belum tentu berlawanan dengan n0Il11a yang ada, setidak-tidaknya dari sudut itikadnya. Ada kemungkinan bahwa justeru fak· tor-faktor lain yang menyebabkan peranan mereka agak kurang besar. Hal itu diakui juga oleh Dieter-Evers maupun Regan, yang menyatakan se·· bagai berikut: •
"Meskipun kepada para profesional yang trampil seperti dokter diberikan perala tan untuk melakukan tugas-tugasnya secara efisien, bertambahnya profesionalisasi cenderung .akan mengurangi ruang lingkup fungsi modernisasi mere-
ka. karena: a. Kaum profesional, seperti halnya para praktisi yang bekerja secara penuh, hanya sedikit mempunyai waktu untuk menerobos ke dalam kehidupan kota tempat mereka tinggal dan bekerja; b. Kepatuhan kepada norma-norma umum dalam suatu panggilan profesi berarti bahwa komitmen lain seorang dokter paling-paling hanyalah memperoleh kepingan-kepingan perhatian yang kecil; c. Tuntutan untuk memperoleh otonomi profesi adalah bagian tuntutan . para profesional untuk memperoleh kekuasaan mengatur sistem kualifikasinya dan juga untuk menentukan aktivitas mereka sendiri".
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa beberapa unsur-unsur tertentu dari profesi atau profesionalisasi yang menghambat para dokter untuk melaksanakan peranan yang diharapkan oleh etikamaupun hukum. Akibatnya antara lain adalah, bahwa masyarakat hanya dapat menuntut haknya sepanjang hal itu memberikan otonomi atau kehormatan yang lebih besar atau setidak-tidaknya mempertahankan keadaan yang ada dari profesi yang dijalankan para dokter. Hal ini menghasilkan suatu dilema, oleh karena semakin berhasil para dokter melakukan penyesuaian diri pada standar profesional, semakin kurang berhasil kemanfaatannya di dalam mendidik masyarakat. Oleh karena itu kiranya penting diketengahkan beberapa catatan penutup dari hasil penelitian yang telah disebutkan, sebagai berikut: "Penelitian kami menunjukkan adanya tingkat keterlibatan yang rendah dari kalangan profesional dalam masalahmasalah kemasyarakatan, dan kontribusi rnereka kedl sekali bagi pembangunan sosial pada umumnya dan kemanfaatan usaha modemisasi di luar batas-batas spesialisasi rnereka adalah rendah. Sebaliknya, pendidikan-yang sangat moderen dan modemitas perorangan kaum profesional itu sendiri nampaknya rnerupakan hambatan utamanya. Sifatnya profesionalisasi yang berlebihan . . . . . . . Nopember 1983
S16
Hukum dan Pembangunan
telah memba'Ml ketiga tahap proses diferensinsi, yaitu diferensiasi antara aktivitas profesional yang khas dan aktivitas pergaulan umum; diferensiqsi sosial dan kultural antara kaum elite profesional dan kelas ba'Mlhan, serta diferensiaSi antara pusat politik dan sosial dan daerah pinggiran propinsi. "
Bagaimana peranan pasien. ? Di dalam kenyataannya (secara sosiologis), maka kedudukan pasien lebih rendah dari dokter; peranannyapun lebih kurang dari dokter. Akan tetapi menurut etika profesi maupun hukum kedokteran, pasien juga mempunyai hak-hak tertentu, sehingga sebenamya secara yuridis kedudukan dokter sarna dengan pasien. Ruud Verbeme di dalam artikelnya yang be:rjudul ':Patient en Arts" yang dimuat dalam Ars Aequi (November 1976) menjelaskan tentang pelbagai hak pasien yangI kalau dikaji secara lebih mendalam , sebenarnya bertitik tolak pada etika profesi dan hukum kedokteran (dalam hal ini perundang-undangannya). Hak-hak tersebut adalah, antara Jain : .
1. Hak untuk memberikan persetujuan atau menolak untuk diperiksa atau dirawat di dalam taraflanjutan ; 2. Hak untuk mendapatkan infonnasi yang lengkap mengenai penyakitnya, perawatannya maupun akibat dari kedua-duanya ; 3. Hak atas kerahasiaan pertukaran infonnasi antara dokter dengan pasien atas dasar hubungan kepercayaan; 4. Hak untuk mendapatkap pertolongan; S. Hak untuk mendapatkan perawatan yang proporsional. Di Negeri Belanda, menurut Verber.ne, banyak pasien yang tidak menge· tahui akanadanya hak-hak terse but, kecuali tentunya apabila teJjadi suatu
perkara, sehingga pasien biasanya tidak siap. Kiranya hal itu juga berlaku di Indonesia, walaupun tentang masalah itu belum diadakan penelitian secara luas dan mendalam . Sepanjang pengamatan yang telah dilakukan , maka di dalam kebanyakan hal yang Ie bih banyak menonjol adalah penanganan hak-hak dokter dan kewajiban pasien untuk mernbayar sejurnlah uang se bagai honorarium hal mana rnerupakan masalah yang sangat sensitif oleh karena pada umurnnya daya beli warga masyarakat secara urn urn adalah rendah. Di sam ping adanya hak-hak dari pasien, maka sudah tentu harus ada kewajiban-kewajibannya. Mungkin dari • Bekian banyaknya kewajiban yang ada , lmaka yang hendaknya diperhatikan adalah kewajiban dari pasien untuk tidak menyalah gunakan hak-haknya terhadap dokter. Selain daripada itu, maka ada suatu kewajiban dari pasien , untuk ikut serta mernbantu dokter di dalam merawat dirinya pasien tersebut. Sudah tentu bahwa hal ini tidak dapat dipaksakan; akan tetapi setidaktidaknya itikad semacarn ini harus ditanamkan di dalam diri pasien.
Penutup Dari uraian singkat tersebut di .atas kiranya jelas, bahwa darnpak yang positif dari etika profesi rnaupun hukum kedokteran rnasih belum tampak di Indonesia. Mungkin hal itu disebabkan , oleh karena rnasalah tersebut dianggap masih baru , dan orang Indonesia pada urnurnnya masih memerlukan penyuluhan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya di dalarn hubungan-hubungan yang tl~rjadi dengan kalangan profesional sl!perti dokter. Mungkin pada taraf sekarang ini hal itu dapat dilakukan melalui Puskesmas-Puskesmas yang terse bar di Indonesia atau mungkin oleh
""
517
Hukum Kedokteran
Perguruan Tinggi di dalam rangka mengadakan penyuluhan hukum melalui program-program K uliah Kerja Nyata. Di samping hal-hal terse but di atas, maka segala hak dan kewajiban dokter maupun pasien hendaknya mendapatkan wadah yang mempunyai kewibawaan yang ditaati, oleh karena
benar-benar diterapkan secara bertanggung jawab. Disinilah muncul fungsi keIjasama antara kalangan medisi dengan kalangan hukum, yang tentunya harus didahului dengan pembenahan-pembenahan tertentu , misal. nya, telaah yang saksama terhadap perundang-undangan yang berlaku.
-
,
•
•
,
TINDAl< -n>5AS
peMS£,.p~R FOro PI RLILI ,
•
•
Nopember 1983