Emerging Disease dan Re-Emerging Disease Emerging disease adalah penyakit baru, masalah baru dan ancaman baru. Emerging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Re-Emerging Disease adalah salah satu penyakit yang sebelumnya sudah dikontrol, namun muncul kembali menjadi masalah kesehatan yang signifikan. Ini juga mengacu pada penyakit yang awalnya terdapat pada satu area geografi yang sekarang menyebar ke daerah lain. Re-Emerging Infectious Disease dapat terjadi akibat perkembangan resistensi organisme karena obat atau karena vektor dengan pestisida atau insektisida. Faktor yang bertanggung jawab pada Re-Emerging dan Emerging disease adalah : 1.
Perencanaan Pembangunan Kota yang tidak semestinya.
2.
Ledakan penduduk, kondisi kehidupan yang miskin yang terlalu padat.
3.
Industrialisasi dan urbanisasi.
4.
Kurangnya pelayanan kesehatan.
5.
Meningkatnya perjalanan internasional, globlisasi ( gaya hidup )
6.
Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimicrobial yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin.
7.
Meningkatnya kontak dengan binatang.
8.
Perubahan lingkungan karena adanya perubahan pola cuaca.
9.
Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi
10.
Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)
11.
Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel
diseases) Ketika manusia terserang suatu penyakit infeksi, cenderung beranggapan bahwa tertular dari orang lain. Sekitar 132 dari 175 (75%)
kuman patogen penyakit infeksi manusia
mempunyai inang perantara organisme lain sebelum menyerang manusia. Keberadaan patogen di lingkungan merupakan suatu bagian yang integral dengan ekosistem, membentuk jejaring kompleks antar organisme yang mengatur timbulnya kejadian penyakit, transmisi dan penyebaran. Kontrol terhadap penyakit yang dilakukan oleh manusia juga mempengaruhi distribusi populasi dari spesies tersebut. Manusia memiliki kepandaian yang lebih untuk menghadapi penyakit. Ini dapat menyebabkan penyebaran penyakit jadi berpindah pada hewan. Selain itu juga, manusia melakukan kontrol terhadap hewan-hewan yang menjadi vektor dari penyakit. Tentu saja sebagai hasilnya populasi dari hewan yang menjadi vektor penyakit akan menurun. Emerging disease adalah suatu penyakit yang meningkat cepat kejadian dan penyebarannya.
Termasuk di dalamnya tipe-tipe infeksi baru yang merupakan akibat dari
perubahan organisme, penyebaran infeksi yang lama ke daerah atau populasi yang baru. Terjadinya gangguan terhadap ekosistem telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem dan fungsinya. Perubahan komposisi dan fungsi ekosistem mengakibatkan berubahnya keseimbangan alam khususnya predator, serta patogen dan vektornya. Beberapa perubahan ekosistem akibat aktivitas manusia yang mengganggu secara langsung ataupun tidak langsung terhadap ekosistem antara lain : perkembangan pertanian, manajemen sumberdaya air, deforestasi atau pertambangan. Penyebab gangguan ekosistem sangat banyak, termasuk perubahan suhu rata-rata lokal, perubahan siklus air, perubahan distribusi air akibat irigasi dan pembangunan bendungan, perubahan akibat pencemaran pupuk dan pestisida, sampai pada perubahan akibat urbanisasi. Umumnya gangguan ekosistem, kerusakan dan fragmentasi habitat terjadi sebagai akibat dari konversi habitat alami menjadi lahan pertanian atau peternakan, pemukiman. Hal tersebut menjadi penyebab utama meningkatnya penyakit infeksi menular pada manusia dewasa ini.
Beberapa penyebab utama gangguan ekosistem yang menyebabkan ledakan penyakit infeksi menular pada manusia meliputi : perusakan ekosistem hutan, sistem pengairan, perkembangan pertanian, urbanisasi dan perubahan iklim. 1. Perusakan ekosistem hutan dan deforestasi Hutan merupakan habitat asli banyak jenis serangga yang terlibat dalam transmisi penyakit. Beberapa kelompok serangga yang menjadi vektor utama penyakit menular adalah nyamuk Anopheles, Aedes, Culex dan Mansonia ; lalat hitam Simulium ; lalat Chrysops dan lalat tsetse Glossina. Deforestasi menciptakan batas hutan dan interface baru yang memacu pertumbuhan populasi hewan inang reservoir dan vektor. Secara bersamaan adanya batas hutan yang baru seringkali menarik perhatian manusia untuk menghuni daerah perbatasan hutan yang beresiko tinggi. Kerusakan habitat hutan juga menyebabkan perubahan atau hilangnya vektor yang sebelumnya menempati habitat tersebut. Ketidakberuntungnya adalah jenis vektor pengganti ternyata merupakan inang yang lebih disukai oleh patogen dan mempunyai dominansi yang tinggi terhadap populasi vektor sebelumnya. Deforestasi semacam ini menyebabkan terjadinya penurunan biodiversitas vektor serangga hutan. Meledaknya penyakit malaria akibat populasi nyamuk Anopheles yang meningkat, merupakan contoh paling umum akibat deforestasi, seperti terjadi di negara-negara Asia tenggara dan Amerika Selatan. Deforestasi juga menyebabkan terjadinya wabah penyakit manusia yang diperantarai oleh siput. Wabah schistosomiasis terjadi akibat ledakan populasi siput yang menjadi vektor dari cacing Schistosoma. Meningkatnya populasi satu jenis siput menjadi yang dominan di ekosistem hutan yang rusak, telah menyebabkan berkurangnya biodiversitas siput dan meningkatnya penderita schistosomiasis penduduk yang tinggal di sekitar hutan. Contoh wabah schistosomiasis yang disebarkan oleh siput terjadi Kamerun dan Filipina. 2. Manajemen sumber dan badan air / Irigasi Sumber air dan badan-badan air yang secara alamiah berupa sungai, rawa dan danau merupakan habitat dari banyak jenis mahluk hidup yang membentuk ekosistem air tawar seperti sungai, rawa dan danau. Pembangunan saluran irigasi, waduk dan bendungan telah mengubah
keseimbangan ekosistem yang menyebabkan terjadinya ledakan penyakit menular. Contoh yang paling akurat adalah pada tahun 1990 di India terjadi wabah yang dikenal dengan “irrigation malaria” yang menimpa lebih dari 200 juta penduduk pedesaan di India. Hal ini terjadi akibat buruknya sistem irigasi yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi nyamuk Anopheles culicifacies yang merupakan vektor utama malaria di India. Perubahan ekosistem sungai juga telah menyebabkan wabah penyakit schistosomiasis yang disebarkan oleh vektor siput dan wabah penyakit onchocerciasis yang disebarkan oleh lalat hitam Simulium, serta wabah malaria yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles. Hal tersebut terjadi karena terjadinya perubahan ekosistem sungai dapat menyebabkan terbentuknya kolamkolam still-water yang menjadi tempat breeding yang ideal bagi vektor-vektor serangga tersebut. Beberapa kasus meledaknya penyakit schistosomiasis akibat kerusakan ekosistem sungai terjadi di DAS bendungan Diama Senegal dan bendungan Aswan di Mesir. Perubahan ekosistem bendungan buatan manusia juga menyebabkan terjadinya wabah schistosomiasis di Bendungan Aswan Mesir dan saluran irigasi sungai Nil di Sudan. Cacing Schistosoma ternyata dibawa oleh nelayan pendatang, kemudian disebarkan oleh vektor perantara yaitu siput Bulinus truncatus. Terjadinya kelimpahan populasi fitoplankton telah menyebabkan ledakan populasi B. truncatus. Selain penyakit schistosomiasis, juga terjadi wabah filariasis yang disebarkan oleh nyamuk Culex pipiens. Populasi Culex pipiens meledak akibat terbentuknya water-table pada saluran irigasi yang arusnya tertahan. 3. Perkembangan pertanian Pertanian dalam arti luas mencakup budidaya tanaman, perikanan dan peternakan. Ternak dan unggas menjadi hewan reservoir dari banyak patogen penyakit menular manusia. Perkembangan perikanan dan peternakan memberikan kontribusi pada penyebaran dan munculnya penyakit menular baru. Wabah penyakit salmonellosis yang disebabkan bakteri Gram negatif Salmonella enteridis, terjadi pada daerah yang berdekatan dengan peternakan unggas (ayam). Ledakan S. enteridis telah menghilangkan jenis Salmonella yang non patogenik pada manusia yaitu S. gallinarum.
Wabah penyakit Japanese encephalitis (JE) yang disebabkan oleh virus yang disebarkan nyamuk Culex sp. banyak terjadi di Cina, Nepal, India, Thailand, Sri Lanka dan Taiwan. Penyakit JE merupakan endemik daerah pertanian padi, dengan babi sebagai hewan reservoirnya. Ledakan wabah JE terjadi akibat perkembangan peternakan babi di negara-negara tersebut, yang menyebabkan virus JE meningkat jumlahnya. 4. Urbanisasi Manusia modern di banyak negara di dunia melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. Hal itu menyebabkan populasi penduduk kota lebih besar dibandingkan penduduk desa. Makin meningkatnya laju urbanisasi ke kota membutuhkan pemekaran daerah untuk pemukiman, sehingga terjadi perubahan ekosistem di daerah suburban. Perubahan daerah suburban telah menyebabkan ledakan penyakit menular manusia seperti demam berdarah dengue (DBD) yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti, seperti terjadi di Singapura, Rio de Janeiro dan Jakarta. Pemukiman kumuh akibat urbanisasi merupakan lingkungan dengan sanitasi yang sangat buruk. Genangan-genangan air banyak ditemukan di pemukiman kumuh dan sanitasi yang buruk tersebut menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk A. aegypti yang menjadi vektor utama virus DBD. Selain nyamuk, hewan reservoir yang menjadi vektor penyakit menular manusia yang hidup di daerah pemukiman kumuh adalah tikus. Tikus menjadi hewan yang mengikuti migrasi penduduk dari satu tempat ke tempat yang baru. Sanitasi lingkungan yang buruk menambah peluang populasi tikus untuk meledak sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penyakit leptospirosis menjadi wabah yang banyak terjadi di pemukiman kumuh. 5. Perubahan Iklim Bukti iklim bumi yang meningkat dikarenakan gas greenhouse yang berasal dari aktivitas manusia telah banyak buktinya, dan dampak dari iklim global telah merobah sistim biologi yang mengkontrol terjadinya suatu penyakit. Perobahan iklim telah mengganggu ekosistim sehingga mempengaruhi populasi serta interaksi antara vektor penyakit, inang dan patogen. Ledakan penyakit kolera telah dihubungkan dengan peningkatan suhu dimana suhu yang lebih panas tersedianya nutrisi seperti fitoplankton yang merupakan sumber makanan dari copepod yang
merupakan vektor Vibrio cholerae penyebab penyakit kolera.
Perubahan iklim juga
mempengaruhi vektor penyakit seperti dicontohkan pada nyamuk.
Nyamuk secara umum
repoduksinya meningkat, dan juga menggigit lebih banyak pada suhu yang lebih panas 6. Biogeografi Penyakit Penyebaran penyakit tergantung pada faktor-faktor seperti: interaksi antara kesesuaian abiotik, keterbatasan biotik, dan kemampuan penyebaran yang dicirikan dengan daerah distribusi. Faktor faktor di atas telah menjadikan perpindahan geografi penyakit menjadi sangat komplex. Suatu spesies patogen mungkin memiliki toleransi yang besar terhadap abiotik kondisi seperti temperatur, curah hujan atau radiasi matahari, namun faktor biotik seperti vektor menyebabkan penyebarannya terbatas. Kekebalan tubuh juga sangat berperan seperti pada penyakit Lesmaniasis yang disebabkan oleh Leishmania spp. Disamping itu ras manusia juga mempengaruhi terjadinya penyakit. Kemampuan mobility dari patogen membatasi penyebaran pada geografi potensial. Patogen dan parasit adalah organisme mikroskopik dan sering tidak dilengkapi dengan kemampun untuk bergerak, dengan demikian diasumsikan kemampuan meyebarnya rendah. Namun karena mereka berasosiasi dengan inang yang lebih besar (vektor) memungkinkan kemampuan menyebarnya menjadi sangat besar. Sudah banyak microbial agent ( virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola penyakit tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis dalam National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu : 1. Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir 2. Grup II : Re-emerging pathogen 3. Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme
Peningkatan dan penguatan di bidang pemantauan kesehatan masyarakat (public health surveillance) sangat penting dalam deteksi dini dan penatalaksaan emerging dan re-emerging disease ini. Pemantauan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan fungsi laboratorium klinis dan pathologis, pendekatan secara epidemiologi dan kesehatan masyarakat juga diperlukan dalam deteksi cepat terhadapat emerging dan re-emerging disease ini.
WHO telah merekomendasikan kepada setiap negara dengan sebuah sistem peringatan dini (early warning system) untuk wabah penyakit menular dan sistem surveillance untuk emerging dan re-emerging disease khususnya untuk wabah penyakit pandemik. Sistem surveillance merujuk kepada pengumpulan, analisis dan intrepretasi dari hasil data secara sistemik yang akan digunakan sebagai rencana penatalaksaan (pandemic preparedness) dan evaluasi dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC). Contoh sistem surveillance ini seperti dalam kasus severe acute respiratory syndrome (SARS), di mana salah satu aktivitas di bawah ini direkomendasikan untuk harus dilaksanakan yaitu: 1. Komprehensif atau surveillance berbasis hospital (sentinel) untuk setiap individual dengan gejala acute respiratory ilness ketika masuk dalam rumah sakit. 2. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di dalam komunitas. 3. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di lingkup rumah sakit. 4. Memonitor distribusi penggunaan obat antiviral untuk influenza A , obat antrimicrobial dan obat lain yang biasa digunakan untuk menangani kasus acute respiratory ilness Fungsi utama dari sistem surveillance ini adalah :
(1) Menyediakan informasi seperti pemantauan secara efektif terhadap distribusi dan angka prevalensi, deteksi kejadian luar biasa, pemantauan terhadap intervensi, dan memprediksi bahaya baru.
(2) Melakukan tindakan dan intervensi. Sehingga diharapkan munculnya kejadian luar biasa yang bersifat endemik, epidemik dan pandemik dapat dihindari dan mengurangi dampak merugikan akibat wabah penyakit tersebut. Contoh penyakit yang termasuk dalam emerging disease : Penyakit infeksi yang dapat menular : 1. Human monkeypox 2. Diare infantile 3. Diare yang disebabkan oleh Campylobacter jejuni 4. Diare yang disebabkan oleh cryptosporidium 5. Legionellosis 6. Demam berdarah ebola 7. AIDS 8. Hanta virus 9. Penyakit Creutzfeldt-Jakob 10. Hepetitis E 11. SARS 12. Hepatitis C 13. Kolera 14. H5N1 15. H1N1 Penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius namun menyebabkan penyakit yang tidak menular : 1. HTLV1 (“Human T-Lymphotrophic Virus-1”) 2. HTLV2 (“Human T-Lymphotrophic Virus-2”) 3. Klamidia 4. Hepatitis C 5. Human Herpes Virus 8 Contoh Penyakit Re-Emerging Infeksius Diseases
1. Malaria 2. Kala-azar 3. Demam dengue 4. Plague 5. Tuberkulosis 6. Gonore 7. Tifoid 8. Disentri
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Definisi Demam dengue/DD dan Demam berdarah dengue/DBD (Dengue Haemorhagic Fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi yang disertai oleh leukopenia ,ruam, limfadenopati,trombositopeni,dan diatesis hemoragic. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan Hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom Renjatan Dengue (Dengue Syok Sindrom) adalah demam berdarah dengue yang ditandai dengan renjatan/syok Etiologi DD dan DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue yang mempunyai 4 serotipe yaitu den-1, den2, den-3, dan den-4. Virus dengue serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan di Indonesia dan paling banyak berhubungan dengan kasus berat. Patogenesis Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala seperti DD. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi. Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut : 1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan
c5a agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DHF. 2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi intravaskular. 3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut: 1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue. 2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus. 3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi. 4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.
Patofisiologi Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar–kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DD disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah kulit. Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DD dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat berkurangnya volum plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial. Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terganggu oleh aktivitasi sistem koagulasi. DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan. Pada awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol. Gambaran Klinis 1. Masa inkubasi biasanya berkisar antara 4 – 7 hari 2. Demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2 – 7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun. 3. Tanda-tanda perdarahan o
Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: Petekie, Purpura, Ekimosis, Perdarahan konjungtiva, Epistaksis, Pendarahan gusi, Hematemesis, Melena dan Hematuri. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk.
o
Untuk membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji Tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari
pertama demam terdapat pada sebagian besar penderita DBD. Namun uji Tourniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji Tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5×2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti) o
4. Pembesaran hati (hepatomegali) o
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit
o
Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
o
Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus.
5. Renjatan (syok) o
Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki
o
Penderita menjadi gelisah
o
Sianosis di sekitar mulut
o
Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba
o
Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang.
6. Trombositopeni o
Jumlah trombosit 100.000/•l biasanya ditemukan diantara hari ke 3 – 7 sakit
o
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bag. Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
o
Peningkatnya nilai hematokrit (Ht) menggambarakan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala.
o
Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit > 20% (misalnya 35% menjadi 42%: 35/100 x 42 = 7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai hematokrit >20% setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
Gejala klinik lain o
Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita DBD ialah nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang
o
Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosis sebagai ensefalitis
o
Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan
Derajat Penyakits Derajat Penyakit
Kriteria
DBD derajat I
Demam disertai gejala tidak khas, dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji torniquet positif.
DBD Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain. derajat II Terdapat kegagalan sirkulasi (nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun DBD ( < 20 mmHg) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan derajat III lembab, dan anak tampak gelisah. DBD Syok berat (profound shock): nadi tidak dapat diraba, dan tekanan darah derajat IV tidak dapat diukur.
Diagnosis
Tersangka Demam Berdarah Dengue
Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif) dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/•l)
Penderita Demam Berdarah Dengue derajat 1 dan 2
Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan atau dinyatakan sebagai penderita DBD apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2 – 7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurangkurangnya uji Tourniquet positif), trombositopenia, dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis). atau hasil pemeriksaan serologis pada Tersangka DBD, menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan HI test atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris)
Pencegahan Penyakit demam berdarah, dapat dicegah dengan melaukan :
Menguras : Menguras tempat penampungan air secara rutin, seperti bak mandi dan kolam. Sebab bisa mengurangi perkembangbiakan dari nyamuk itu sendiri. Atau memasukan beberapa ikan kecil kedalam bak mandi atau kolam. Sebab ikan akan memakan jentik nyamuk.
Menutup : Menutup tempat-tempat penampungan air. Jika setelah melakukan aktivitas yang berhubungan dengan tempat air sebaiknya anda menutupnya agar nyamuk tidak bisa meletakan telurnya kedalam tempat penampungan air. Sebab nyamuk demam berdarah sangat menyukai air yang bening.
Mengubur. Kuburlah barang – barang yang tidak terpakai yang dapat memungkinkan terjadinya genangan air.
Penatalaksanaan Penatalaksana demam berdarah dengue (pada anak) 1. Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, tinja darah, maka pasien perlu dirawat / dirujuk. 2. Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet dan hitung trombosit
o
Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit 100.000/•l, penderita dirawat / dirujuk.
o
Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit > 100.000/•l atau normal, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.
3. Pasien dianjurkan minum banyak, seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lainlain. 4. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol jangan golongan salisilat. 5. Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok, yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki / tangan dingin, sakit perut, tinja hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht dan trombosit. 6. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Ht dan / atau penurunan trombosit, segera rujuk ke rumah sakit. Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada dewasa)
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol dalam waktu 24 jam berikutnya
Bila keadaan pasien memburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya.
Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara pasien tetap diobservasi dengan anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus ringer laktat sebanyak 500cc dalam 4 jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.
Pasien dirujuk ke rumah sakit apabila didapatkan hasil sebagai berikut.
Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit < 100.000/•l atau
Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit < 150.000/•l trombosit dalam batas normal atau menurun.
Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang tiap`hari sampai suhu turun.
Komplikasi DBD Pada DD tidak terdapat komplikasi berat namun anak dapat mengeluh lemah / lelah (fatigue) saat fase pemulihan. Penyebab kematian pada deman berdarah dengue:
Syok berkepanjangan (Prolonged shock)
Kelebihan cairan
Perdarahan masif
Manifestasi yang jarang : Ensefalopati dengue Gagal ginjal akut
Ensefalopati DBD
Diduga akibat disfungsi hati, udem otak,
perdarahan kapiler serebral
atau kelainan metabolik
Ditandai dengan kesadaran menurun dengan atau tanpa kejang, baik pada DBD dengan atau tanpa syok
Ketepatan diagnosis
Bila ada syok, harus diatasi dulu
Pungsi lumbal setelah syok teratasi, hati-hati trombosit < 50000/ul
Virus Influenza Tipe A (H1N1) Definisi Flu H1N1 merupakan infeksi pernapasan yang disebabkan oleh virus influenza yang ditemukan pada tahun 2009. Pada awalnya influenza ditemukan pada tahun 1918 dan saat diteliti ternyata H1N1 merupakan serangkain hasil mutasi dari virus yang terdiri dari 2 antigen utama virus yaitu hemagluttinin tipe 1 dan neuramidase tipe 1.Badan Kesehatan Dunia, WHO membenarkan bahwa setidaknya sejumlah kasus adalah versi H1N1 influenza tipe A yang tidak pernah ada sebelumnya. Etiologi dan Faktor Resiko H1N1 adalah virus yang menyebabkan flu musiman pada manusia secara rutin. Namun versi paling baru H1N1 ini berbeda. Virus ini memuat materi genetik yang khas ditemukan dalam virus yang menulari manusia, unggas dan babi. Virus flu memiliki kemampuan bertukar komponen genetik satu sama lain, dan besar kemungkinan versi baru H1N1 merupakan hasil perpaduan dari berbagai versi virus yang berbeda yang terjadi di satu binatang sumber.
Virus
influenza telah
menunjukkan variasi dalam
bertahun-tahun, kebanyakan terjadi pada protein HA dan NA.
sifat antigenik
ditandai selama
Host (Penjamu) dari penyakit flu babi adalah manusia, babi, ataupun hewan lainnya. Sub tipe H1N1 mempunyai kesanggupan menulari antara spesies terutama babi, bebek, kalkun dan manusia.
Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan penularan flu babi antara lain lingkungan fisik seperti musim. Penyakit ini cenderung mewabah di musim semi dan musim dingin tetapi siklusnya adalah sepanjang tahun. Ada banyak jenis flu babi dan seperti flu pada manusia penyakit ini secara konstan berubah. Penularan Virus Penyebaran virus influensa dari babi ke babi dapat melalui kontak moncong babi, melalui udara atau droplet. Faktor cuaca dan stres akan mempercepat penularan. Virus tidak akan tahan lama di udara terbuka. Penyakit bisa saja bertahan lama pada babi breeder atau babi anakan. Kekebalan maternal dapat terlihat sampai 4 bulan tetapi mungkin tidak dapat mencegah infeksi, kekebalan tersebut dapat menghalangi timbulnya kekebalan aktif. Transmisi inter spesies dapat terjadi, sub tipe H1N1 mempunyai kesanggupan menulari antara spesies terutama babi, bebek, kalkun dan manusia, demikian juga sub tipe H3N2 yang merupakan sub tipe lain dari influenza A. H1N1, H1N2 dan H3N2 merupakan ke 3 subtipe virus influenza yang umum ditemukan pada babi yang mewabah di Amerika Utara, tetapi pernah juga sub tipe H4N6 diisolasi dari babi yang terkena pneumonia di Canada. Rute utama penularan adalah melalui kontak langsung antara hewan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi Ini kontak dekat sangat umum selama transportasi hewan. Pertanian intensif juga dapat meningkatkan resiko penularan, karena babi yang dibesarkan dalam jarak yang sangat dekat satu sama lain. Para transfer langsung dari virus mungkin terjadi baik oleh babi menyentuh hidung, atau melalui lendir kering. Transmisi udara melalui aerosol yang dihasilkan oleh babi
batuk atau bersin juga merupakan sarana penting infeksi. Virus ini biasanya menyebar dengan cepat melalui kawanan, menginfeksi semua babi hanya dalam beberapa hari. Manusia dapat terkena penyakit influenza secara klinis dan menularkannya pada babi. Kasus infeksi sudah dilaporkan pada pekerja di kandang babi di Eropa dan di Amerika. Beberapa kasus infeksi juga terbukti disebabkan oleh sero tipe asal manusia. Penyakit pada manusia umumnya terjadi pada kondisi musim dingin. Transmisi kepada babi yang dikandangkan atau hampir diruangan terbuka dapat melalui udara seperti pada kejadian di Perancis dan beberapa wabah penyakit di Inggris. Babi sebagai karier penyakit klasik di Denmark, Jepang, Italia dan kemungkinan Inggris telah dilaporkan. Kasus zoonosis yang dilaporkan menimpa wanita umur 32 tahun, pada bulan September 1988, orang tersebut dirawat di rumah sakit akibat pnemonia dan akhirnya meninggal 8 hari kemudian. Dari hasil pemeriksaan ditemukan virus influensa patogen yang secara antigenik berhubungan dengan virus influenza babi. Setelah diselidiki ternyata pasien tersebut 4 hari sebelum sakit mengunjungi pameran babi. Sementara itu, hasil pengujian HI pada orang yang datang pada pameran babi tersebut menunjukkan sebanyak 19 orang dari 25 orang (76%) mempunyai titer antibodi ≥20 terhadap flu babi. Walaupun disini tidak terjadi wabah penyakit, namun terdapat petunjuk adanya penularan virus
Manifestasi Klinis Masa inkubasi virus H1N1 3 sampai 5 hari meski ada pula yang menyebutkan 2-3 hari. Gejala klinis yang tampak, antara lain suhu tubuh mencapai 41 derajat celcius sampai 41,5 derajat celcius, gangguan pernafasan berupa batuk, bersin, susah bernafas, radang hidung, leleran hidung berlebih dan pneumonia. Babi tertular biasanya malas bergerak, saling bertumpuk, demam (sampai 41,5oC), rhinitis, leleran hidung, bersin, radang selaput mata (konjungtivitis) dan kehilangan berat badan, batuk hebat sampai punggung membusur, frekuensi nafas tinggi, sudah bernafas, dan pernafasan abdominal. Beberapa berkembang menjadi bronkopenumonia dan akhirnya mati. Tingkat kefatalan kasus kurang dari 1% . Masa laten virus H1N1 adalah 3-5 hari. Periode Infeksi pasien positif flu babi adalah sehari sebelum munculnya gejala sampai dengan 7 hari setelah muncul gejala. Pencegahan Terdiri dari 3 tahap yaitu : 1. Pencegahan primer a. promosi kesehatan b. kerjasama dengan instansi terkait seperti peternakan dan lain sebagainya c. menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) d. heat detector untuk memeriksa panas tubuh turis asing yang kemungkinan tertular flu babi. 2. Pencegahan sekunder a. Early diagnosis : dilakukan pada fase presimptomatis b. Prompt treatment : ada 2 obat yang direkomendasikan i. Zanamivir ii. Oseltamivir c. Obat diminum kurang dari 36-48 jam sesudah serangan flu babi 3. Pencegahan tersier a. Disability limitation : obat diberikan dengan adekuat b. Rehabilitasi pada pasien untuk mencoba kembali ke masyarakat agar mau menerima keberadaannya dan tidak dikucilkan
Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan spesifik untuk penyakit influenza. Hanya saja pengobatan dengan antibiotika seperti dengan penisilin, sulfadimidin atau mungkin antibiotik yang berspektrum luas dapat menghadang infeksi bakteri dalam mencegah infeksi sekunder. Pemerintah Amerika mengatakan dua obat yang biasa digunakan untuk mengobati flu, Tamiflu dan Relenza, tampaknya efektif dalam mengatasi kasus-kasus yang terjadi sejauh ini. Belum jelas keefektifan vaksin flu yang kini ada dalam melindungi manusia dari virus baru ini, karena secara genetik berbeda dengan jenis flu lain. Ilmuwan Amerika telah mengembangkan satu vaksin baru, namun diperlukan waktu untuk menyempurnakannya dan juga memproduksi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan. Perlakuan dapat menekan gejala klinis batuk dan anoreksia. Penyembuhan dilakukan secara simptomatis dan pengobatan dengan antimikrobial untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Babi harus dipelihara dalam keadaan sanitasi yang baik, kondisi kandang yang memadai dan eradikasi cacing askaris dan cacing paru-paru. Desinfektan dapat digunakan untuk melindungi hewan dari serangan kutu. Pada kasus-kasus penyakit yang dilakukan eradikasi, juga harus dilaksanakan pengurangan populasi dan restocking.
KESIMPULAN Populasi, masyarakat dan lingkungan selalu secara konstan berubah. Ketika sebuah keseimbangan terganggu akibat dari dinamika masyarakat dan lingkungan ini, maka kehidupan akan mengalami goncangan. Manakala muncul tekanan pada keseimbangan maka komponenkomponen dari keseimbangan itu akan terganggu. Maka, ketika terjadi perubahan dalam penggunaan lahan, peningkatan populasi dan tekanan-tekanan lainnya yang merusak keseimbangan tersebut, guncangan mengejawantah dalam bentuk kemunculan penyakit. Karena kemunculan penyakit mempengaruhi ekologi dan biogeografi dari spesies-spesies yangada di muka bumi, mengenali penyebab kemunculan penyakit dan penyebarannya menjadi pengetahuan yang sangat berharga. Telah kita pahami bahwa kemunculan penyakit dan penyebarannya tergantung dari begitu banyak faktor. Faktor-faktor ekonomi dan sosial serta faktor yang bersifat biologis dan ekosistem saling terintegrasi satu sama lain. Meramalkan bagaimana aktivitas manusia yang merusak ekosistim dan berakibat hilangnya biodiversity serta implikasinya terhadap penyebaran penyakit infeksi pada manusia merupakan tantangan bagi manusia. Untuk mengerti bagaimana interaksi antara patogen, inang (host) dan vektor pada suatu sistim alami adalah sangat sulit. Untuk beberapa penyakit seperti malaria, schistosomiasis dan penyakit Lyme, pengaruh perubahan ekologi akibat manusia telah diketahui hubungannya, namun bagi banyak penyakit informasi ini sangatlah sedikit. Disamping banyak ketidak jelasan, terdapat suatu pola yang jelas berupa peningkatan penyakit yang terbawa vektor merupakan dampak karena adanya deforestasi, perkembangan pertanian, pembangunan bendungan, urbanisasi dan pemanasan iklim.
Penyakit disebabkan oleh patogen seperti virus, bakteri, fungi, protozoa, dan avertebrata yang menginvasi tubuh suatu individu dan mengakibatkan sakit.
Proses suatu penyakit adalah
dynamik dan komplex yang melibatkan ruang (mikroskopik seperti sel sampai benua), time (menit sampai berabad-abad) dan hasil interaksi biotik (patogen, reservoir, dan vektor); faktorfaktor ini menyebabkan ekologi dan dinamik distribusi dari masing-masing penyakit menjadi berbeda. Secara umum faktor A (abiotik), B (biotik) dan M (mobility dari penyakit) menentukan distribusi geografi penyakit, dan kesesuain biogeografi daerah tertentu serta interaksi faktorfaktor ini memungkinkan munculnya suatu penyakit baru.
DAFTAR PUSTAKA Lago,E., G. Ritt, A. Góes-Neto, A. L.F. Schriefer, L. W. Riley & E. M. Carvalho. Geographic Clustering of Leishmaniasis in Northeastern Brazil. Emerging
2009.
Infectious Diseases
http://www.cdc.gov/eid • Vol. 15, No. 6, June 2009.May, R. M. 1988. Conservation and Disease. Conservation Biology Vol. 2 no. 1. Mayer, J. D. 2000. Geography, Ecology and Emerging Infectious Diseases. Social
Science and
Medicine ? Molyneux, D.H., R.S. Ostfelt, A. Bernstein & E. Chivian. 2008. Ecosystem disturbance, biodiversity loss, and human infection diseases. Dalam: Chivian, E & A. 2008. Sustaining Life: How human health depends on Paterson,
A.T.
2008.
Biogeography
of
Bernstein (eds.).
biodiversity. Oxford Univ. Press.
diseases:
a
framework
for
analyis.
http://specify5.specifysoftware.org/Informatics/bios/biostownpeterson/P_N_2008. pdf?q=Informatics/bios/biostownpeterson/P_N_2008.pdf. 9 hlm. Schriefer A., L. H. Guimarães, P. R.L. Machado, M. Lessa, H.A. Lessa, Tishkoff, S.A & K.K Kidds. 2004. Implication of biogeography and human population
for
“race” and medicine. Natural Genetic Supplement 36(11): 21 – 27. Syafriati,Tatty. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis : Mengenal Penyakit Influensa Babi. Balai Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata 30, PO Box 151, Bogor. 16114. (Serial on the Internet). Date: Availbale From :http://klikbatam.com/index.php/tips-healthy/1287-sekilasmengenal-flu-babi
Situs Resmi Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat (serial on the Internet). Date : 28 Oktober 2010. Available From : http://disnak.sumbarprov.go.id/index.php?disnak=berita&j=1&id=178
Solo Pos. WHO : Hampir 100.000 Kasus Flu Babi Terjadi Di Dunia. Date : 15 Juli 2009 Available
From
: http://www.solopos.com/2009/channel/internasional/who-hampir-100000-
kasus-flu-babi-terjadi-di-dunia-1586
Wikipedia.
2009
Flu
Pandemic.
Date
:
Available
From
:http://en.wikipedia.org/wiki/2009_flu_pandemic#Epidemiology
Swine
Flu
Case
by
Case.
2010.
Available
From
:https://spreadsheets.google.com/pub?key=rFUwm_vmW6WWBA5bXNNN6ug
Seputar Indonesia. 15 Provinsi Terjangkit Flu Babi. 2009. (serial on the Internet) Date : 27 Juli 2009. Available From: http://www.civas.net/id/content/15-provinsi-terjangkit-flu-babi
Abdi Susanto. Flu Babi : Segala sesuatu yang perlu anda tahu. Jakarta : Grasindo
Dinas Peternakan Gunung Kidul. Mengenal Penyakit Flu Babi. Date : 24 Mei 2011 Available From : http://peternakan.gunungkidulkab.go.id/berita-145-mengenal-penyakit-flu-babi.html 9.J.B Suharjo B. Cahyono. Flu Babi-Flu Burung. 2009. Yogyakarta: Kanisius.Hal 50